BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Skripsi ini akan membahas secara komprehensif strategi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang dalam memengaruhi pemerintah dalam negosiasi Japan-Mexico Economic Partnership Agreement 2004. Kasus ini menjadi menarik untuk dibahas karena periode 2000-an menjadi titik balik kebijakan perdagangan internasional Jepang, di mana Jepang mulai melakukan negosiasi untuk dibentuknya perjanjian FTA bilateral dengan berbagai pihak. Perjanjian FTA yang paling awal ditandatangani oleh Jepang adalah JapanSingapore Economic Partnership Agreement di tahun 2002. 1 Namun kemudian, Jepang menandatangani perjanjian FTA keduanya dengan Meksiko di tahun 2004. Hal ini menjadi menarik karena pada dasarnya tingkat perdagangan Jepang dan Meksiko pada saat itu tidak sebesar tingkat perdagangan Jepang dengan negara/kawasan lain, dengan Amerika Serikat, Cina dan Eropa menjadi rekanan dagang terbesar Jepang.2 Hal ini ternyata dipengaruhi oleh negosiasi dan lobi panjang yang dilakukan oleh perusahaan multinasional Jepang yang telah lama berinvestasi dan beroperasi di Meksiko, yang terkena dampak dari North Atlantic Free Trade Agreement (NAFTA) di tahun 1994.3
R.S. Rajan dan R. Sen, The Japan-Singapore “New-Age” Economic Partnership Agreement’, Mei 2002, , diunduh dari 18 April 2015 2 Fund Supermart Singapore, ‘Is It The Right Time to Invest in Japan?’, 7 Mei 2008, https://secure.fundsupermart.com/main/research/viewHTML.tpl?articleNo=2636, diakses pada 18 April 2015 3 M. Manger, Investing in Protection: The Politics of Preferential Trade Agreements between North and South, 2009, Cambridge: Cambridge University Press, p.124 1
Jepang mengalami peningkatan ekonomi yang cukup signifikan pada tahun 19601970an. Hal ini mendorong peningkatan jumlah ekspor industri dan investasi asing oleh Jepang. 4 Sejak pertengahan 1980-an, Jepang mulai menanamkan investasinya di Meksiko. Investasi yang ditanamkan Jepang terkonsentrasi pada sektor komponen elektronik dan otomotif. Perusahaan-perusahaan Jepang seperti Sony, Sanyo, Sharp, Hitachi dan Matsushita (Panasonic) telah memproduksi produk-produk elektronik, terutama televisi, di Meksiko. Investasi Jepang ini pun meningkatkan tingkat ekspor Meksiko ke Amerika Serikat dari 2.6 persen di tahun 1985 menjadi 40 persen di tahun 1989.5 Di sini terlihat bahwa tujuan utama perusahaan-perusahaan Jepang berinvestasi di Meksiko adalah untuk menembus pasar Amerika Serikat. Sampai tahun 2002, tercatat ada kurang lebih 205 perusahaan Jepang yang beroperasi di Meksiko.
6
Kedekatan geografis Meksiko dengan Amerika Serikat
mempermudah Jepang menjangkau pasar nomor satunya itu.
7
Investasi perusahaan-
perusahaan Jepang ini ditanamkan di Meksiko menggunakan mekanisme Maquiladora. Mekanisme Maquiladora merupakan kebijakan ekonomi industri, pemerintah Meksiko yang telah dilaksanakan sejak tahun 1965. Mekanisme ini memungkinkan Meksiko untuk mengimpor sementara selama periode tertentu bahan mentah komponen, mesin dan barang mentah/setengah jadi lainnya untuk dirakit di Meksiko, dan kemudian diekspor kembali, dengan tujuan mayoritas ke Amerika Serikat. Maquiladora berkembang menjadi komponen
M. Solis dan S.N. Katada, ‘The Japan-Meksiko FTA: A Cross-Regional Step in The Path towards Asian Regionalism’, Pacific Affairs, vol. 80, no. 2, 2007, p. 280 5 Manger, p.127 6 Manger, p.127 7 L. Rohter, ‘Plants in Meksiko Help Japan Sell to US’, The New York Times, 16 Mei 1987, < http://www.nytimes.com/1987/05/26/business/plants-in-Meksiko-help-japan-sell-to-us.html> diakses pada 10 Maret 2015 4
ekonomi yang sentral di Meksiko, dan berkontribusi terhadap lebih dari 50 persen ekspor Meksiko di tahun 2006.8 Namun pada tahun 1992, Meksiko menandatangani kesepakatan North American Free Trade Agreement (NAFTA) bersama Kanada dan Amerika Serikat yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1994. 9 Salah satu pasal dalam NAFTA, terutama pasal 303, secara spesifik meregulasi mekanisme Maquiladora. Pasal ini menyebutkan bahwa negara-negara yang bukan anggota NAFTA yang mengekspor material ke Meksiko untuk dirakit dan diproses akan dikenakan tarif yang sama dengan tarif ekspor barang ke Meksiko secara permanen.10 Hal ini pun menyulitkan perusahaan-perusahaan yang bukan anggota NAFTA yang telah menanamkan investasi di Maquiladora, terutama perusahaan-perusahaan Jepang. Pada saat perjanjian ini sedang dinegosiasikan, terhitung sebanyak 6% dari keseluruhan maquiladora plants merupakan perusahaan Jepang dengan 25.000 karyawan, di mana 55% di antaranya memproduksi komponen elektronik dan sisanya memproduksi komponen otomotif. 11 Perusahaan-perusahaan Jepang melalui federasi-federasi dagangnya, terutama Japan Chambers of Commerce and Industry (JCCI) dan Japan Maquiladora Association (JMA), mulai mengajukan keberatan terhadap NAFTA sejak perundingan NAFTA pada tahun 1991. JCCI dan JMA pun mulai memfokuskan advokasi kepentingan mereka kepada pemerintah Meksiko, dengan harapan agar tarif yang diberlakukan kepada barang-barang impor dari
J. Carillo dan R. Zarate, ‘The Evolution of Maquiladora Best Practices: 1965-2008’, Journal of Business Ethics, vol. 8, no. 2, 2009, p.335 9 US Customs and Border Protection, North American Free Trade Agreement (NAFTA), < http://www.cbp.gov/trade/nafta> diakses pada 10 Maret 2015 10 NAFTA Secretariat, Article 303: Restriction on Drawback and Duty Referral Programs, < https://www.nafta-secalena.org/Home/Legal-Texts/North-American-Free-Trade-Agreement#A303> diakses 15 Maret 2015 11 A. Koido, ‘The Color Television Industry: Japanese-US Competition and Mexico’s Maquiladoras’, dalam G. Szekely (ed.), Manufacturing across Borders and Oceans: Japan, The United States, and Mexico, 1991, La Jolla, California: Center for Us-Mexican Studies, University of California San Diego, p.64 8
negara nonanggota NAFTA dikurangi. Setelah melalui serangkaian perundingan dengan pemerintah Meksiko di tahun 1993, mekanisme atas Maquiladora ini pun ditunda sampai 2001.12 Pada tahun 1998, wakil menteri MITI dan ketua Japan External Trade Organization (JETRO), Hatakeyama Noboru, bertemu dengan Menteri Perdagangan dan Industri Meksiko, Herminio Blanco. Dalam pertemuan tersebut, Blanco menginformasikan Hatakeyama bahwa Meksiko telah dalam tahap akhir negosiasi dengan Uni Eropa untuk membentuk perjanjian yang akan mengarah kepada terbentuknya free trade agreement antara kedua pihak. Hal ini dilaporkan menjadi salah satu faktor yang mendorong Hatakeyama untuk mempertimbangkan pembuatan kerangka perjanjian FTA antara Jepang dan Meksiko untuk menjaga daya saing perusahaan Jepang di Meksiko. Hatakeyama pun membawa hal ini kepada menteri MITI saat itu, Yosano Kaoru. Hal ini menarik karena selama ini pun pada dasarnya Jepang tidak memiliki tingkat investasi asing yang sangat besar di Meksiko apabila dibandingkan dengan investasi asing yang ditanamkan Jepang di kawasan lain, terutama Asia Tenggara. Selain itu, tren diplomasi perdagangan Jepang pada saat itu adalah memfokuskan diri pada level multilateral, terutama di WTO dan APEC.13 Kemudian, perusahaan-perusahaan multinasional Jepang, di bawah keidanren, JCCI, dan federasi bisnis lain seperti JMA dan JETRO (Japan External Trade Association) mulai melakukan advokasi ke pemerintah Jepang untuk menegosiasikan pembentukan economic partnership agreement dengan Meksiko. Perundingan semakin sulit setelah pemerintah Meksiko pada awal 2003 meminta Jepang untuk membuka pasarnya dalam beberapa sektor pertanian, terutama daging babi dan buah12 13
Manger, p.129 Manger, p.139
buah sitrus. Hal ini menjadi dikotomi karena Jepang selama ini telah melakukan perlindungan terhadap lebih dari 30000 peternak babi di Jepang, dan telah menyulut protes keras dari Japan Agricultual Group (JA Group). 14 Setelah perundingan yang alot dan setelah menempuh beberapa kompromi dengan pemerintah Meksiko di awal 2000-an, akhirnya economic partnership agreement di antara kedua negara diresmikan pada tahun 2004.
B. Pertanyaan Penelitian Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis mengangkat pertanyaan penelitian utama; Bagaimana strategi perusahaan-perusahaan multinasional Jepang memengaruhi pemerintah dalam negosiasi Japan-Mexico Economic Partnership Agreement 2004? C. Landasan Konseptual Penulis akan menggunakan dua konsep utama untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas. a. Lobi Bisnis Organisasional (Organizational-level Business Lobbying) Sebagai salah satu aktor yang juga bermain dalam politik negara, pelaku bisnis pun turut melakukan upaya-upaya politis dalam usaha mencapai kepentingan pribadinya. Pebisnis melakukan teknik-teknik dan strategi lobi politis kepada pemerintah; dalam
A.G Mulgan, ‘Where Tradition Meets Change: Japan’s Agricultural Politics in Transition’, Journal of Japanese Studies, vol. 31, no.2, 2005, pp. 261-298 14
konteks perusahaan multinasional, baik pemerintah dalam konteks negara asal (home government) maupun pemerintah negara penerima (host government). Menurut Carroll dan Bucholtz, dalam buku mereka Business & Society: Ethics and Stakeholder Management, dipaparkan bahwa masyarakat bisnis melakukan lobi melalui organisasi-organisasi. Cara organisasional ini melibatkan beberapa jalur, yaitu umbrella organizations lobbying, trade associations lobbying, grass root lobbying, dan company lobbying. Pada dasarnya, lobi-lobi ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh akses kepada pembuat kebijakan. Apabila akses telah diperoleh, maka difusi kepentingan dapat lebih mudah dijalankan. Orang-orang kunci yang berperan dalam sebuah perusahaan biasanya memiliki hubungan dekat dengan birokrat dan politisi di pemerintahan. Bahkan dalam beberapa kasus, petinggi dalam sbeuah perusahaan Amerika Serikat merupakan mantan birokrat senior di pemerintahan.15 Berikut penjelasan detil mengenai empat jalur lobi bisnis organisasional; 1.
Lobi Organisasi Payung (Umbrella organizations lobbying) merupakan lobi yang dilaksanakan dalam wadah terbersar bagi komunitas bisnis dalam mengadvokasikan kepentingan mereka ke pemerintah. Umbrella organizations memayungi bisnis antarsektor industri, dan beranggotakan komunitas bisnis dari berbagai level ekonomi dan sektor. Contoh dari umbrella organizations adalah Chamber of Commerce of the United States. Organisasi ini juga memiliki peran penting dengan memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam pengambilan kebijakan. Dalam
15
A.B. Carroll dan A.K. Buchholtz, Business and Society: Ethics and Stakeholder Management 7th edition, 2008, Mason:South-Western Cengage Learning, pp.247-254
konteks Jepang, umbrella organizations ini mencakup Japan Chamber of Commerce and Industry (JCCI) dan Keidanren. 2. Lobi Asosiasi Dagang (Trade associations lobbying) merupakan lobi yang dilaksanakan dalam asosiasi bisnis dalam sektor yang spesifik, misalnya National Association of Wholesalers of the United States. Dalam konteks Jepang, trade associations dapat ditranslasikan sebagai asosiasi sektor bisnis tertentu, misalnya Japan External Trade Organization (JETRO). 3. Lobi Perusahaan (Company lobbying) merupakan lobi yang dilaksanakan oleh masing-masing perusahaan langsung kepada pemerintah, baik kepada birokrat senior maupun kepada bagian-bagian/bidang-bidang dalam kementrian atau bentuk birokrasi lainnya. 4. Lobi Akar Rumput (Grass root lobbying) merupakan lobi yang dilakukan kepada masyarakat luas secara langsung, dengan memobilisasi masyarakat. Lobi ini bertujuan untuk membentuk dan mengarahkan opini masyarakat. Lobi ini biasanya dilakukan melalui kampanye publik dan penerbitan jurnal dan opini di media. Secara bersamaan, grass root lobbying juga dilaksanakan dalam trade association lobbying dan umbrella organizations lobbying. b. Zaikai Secara spesifik, sektor bisnis di Jepang sudah sangat terorganisasi secara vertikal. Perusahaan-perusahaan umumnya tergabung dalam asosiasi dan federasi bisnis tertentu. Dalam sistem politik Jepang, khususnya pembuatan kebijakan, sektor bisnis ini, dilihat
oleh banyak pihak, mampu mengartikulasikan kepentingannya ke dalam kebijakankebijakan yang spesifik. Terdapat dua institusi utama yang mengakomodasi sektor bisnis di Jepang; yaitu Zaikai dan Gyokai. Kedua institusi ini dibahas oleh Hidetaka Yoshimatsu dalam tulisannya yang bertajuk Business-Government Relations in Japan: The Influence of Business on Policymaking through Two Routes.16 Menurut Yoshimatsu, Perusahaan-perusahaan besar dan sektor bisnis di Jepang memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses pembuatan kebijakan di Jepang. Sektor bisnis menyalurkan peran besar di pemerintahan melalui dua institusi utama yang terorganisasi secara vertikal, yaitu zaikai dan gyokai. Zaikai didefinisikan sebagai sekelompok orang yang, terlepas dari keterlibatannya dalam perusahaan/industri tertentu, mewakili para kapitalis dan menggunakan pengaruh kuat dalam politik. 17 Zaikai berinteraksi dan bernegosiasi dengan birokrat level tinggi dan pemimpin senior partai. Zaikai tertua dan terbesar adalah Japan Chamber of Commerce and Industry (Nissho), sedangkan Zaikai dengan pengaruh paling dominan adalah Keidanren. Gyokai merupaka asosiasi industri Jepang yang mewakili suara di level sektoral. Gyokai lebih banyak berinteraksi pada level biro, bagian dalam kementrian, serta zoku partai. Zaikai menunjukkan pengaruh kuat dalam politik level kebijakan makroekonomi dan isu nasional, sedangkan gyokai memainkan pengaruhnya dalam pembuatan kebijakan yang sektornya (baik isu maupun actor) tunggal/spesifik. Dalam
H. Yoshimatsu, ‘Business-Government Relations in Japan: The Influence of Business on Policy-making through Two Routes’, Asian Perspective, vol. 21, no. 2, 1997, pp. 123-30 17 Y. Tanaka, ‘The World of Zaika’, dalam H. Murakami dan H. Johannes, Politics and Economics in Contemporary Japan, 1979, Tokyo: Japan Culture Institute, p.64 16
kasus ini, jalur zaikai lebih relevan untuk dilakukan karena berhubungan dengan kebijakan makroekonomi dan melibatkan banyak isu/sektor. Zaikai memengaruhi proses pembuatan kebijakan di Jepang melalui tiga metode, yaitu: 1. Pengumpulan rekomendasi kebijakan formal kepada kementrian relevan. Dalam metode ini, federasi bisnis mengadakan riset pada isu domestic dan internasional. Rekomendasi-rekomendasi ini berisi pembahasan masalah dalam sektor tertentu secara detil, serta menyajikan alternatif solusi yang dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah dihadapi. 2.
Penempatan perwakilan dalam dewan penasihat/advisory council (shingikai). Dewan ini terdapat dan dipilih oleh kementrian-kementrian dan beranggotakan perwakilan industri, bisnis, investor, jurnalis dan akademisi. Dewan penasihat ini berfungsi untuk menyampaikan kepentingan sektor bisnis dan industri untuk kemudian dijadikan pertimbangan dalam pembuatan kebijakan.
3. Koordinasi kebijakan antara sekretariat serikat bisnis dengan kementrian melalui interaksi informal. Dalam kasus keidanren, masing-masing divisi dalam keidanren menjalin kontak yang intens dengan biro dan bagian kementrian. D. Argumentasi Utama Sebagai konsekuensi dari diberlakukannya NAFTA di tahun 1994 (terutama penghapusan mekanisme Maquiladora bagi negara nun-anggota), perusahaan multinasonal Jepang yang beroperasi di Meksiko merasa terhimpit, di mana kepentingannya untuk tetap melakukan
aktivitas bisnis terancam. Maka dari itu, perusahaan-perusahaan multinasional tersebut melakukan beberapa strategi untuk tetap dapat mempertahankan kepentingannya. Strategi yang diambil pun dinilai berhasil, degan ditandatanganinya perjanjian Japan-Mexico Economic Partnership Agreement 2004 yang sebenarnya sangat memuat kepentingan sektor bisnis di mana perusahaan multinasional Jepang tetap dapat beroperasi di Meksiko dan tetap menuai keuntungan ekonomi. Dalam negosiasi Japan-Mexico Economic Partnership Agreement tahun 2004, perusahaan-perusahaan multinasional Jepang telah melakukan beberapa langkah strategis yang membuatnya berhasil dalam mengartikulaiskan kepentingannya dalam negosiasi ini. Strategi para perusahaan multinasional tersebut dalam dilihat sebagai sebuah kombinasi dari lobi bisnis yang dapat dikemas dalam konsep lobi bisnis level organisasi, serta pengaruh yang diberikan melalui zaikai. Kedua strategi utama inilah yang mampu membawa sektor bisnis dengan sukses mendorong pemerintah Jepang untuk memulai dan menandatangai perjanjian FTA dengan Meksiko. Secara umum, sektor bisnis sebagai kelompok kepentingan yang berpengaruh dalam proses pembuatan kebijakan, melakukan artikulasi kepentingannya melalui lobi bisnis di level organisasi. Hal ini dapat dipahami sebagai cara yang digunakan oleh sektor bisnis untuk memengaruhi pemerintah, sehingga pemerintah dapat mengambil keputusan yang menguntungkan bagi mereka. Yang harus digarisbawahi adalah bahwa strategi ini dapat ditranslasikan sebagai usaha difusi kepentingan sektor nonpolitik dan nonpemerintahan yang sebelumnya belum terinkorporasi dalam sistem pembuatan kebijakan secara keseluruhan, dengan memperoleh akses kepada pengambil kebijakan. Strategi ini dilakukan melalui empat jalur, yaitu umbrella organizations lobbying, trade associations lobbying, company lobbying,
serta grass-root lobbying. Keempat strategi utama inilah yang mampu membawah perusahaan multinasional Jepang sukses dalam mengartikulasikan kepentingannya dalam negosiasi Japan-Mexico Economic Partnership Agreement 2004. Lebih lanjut lagi, sektor bisnis Jepang memiliki institusi spesifik yang mampu mengakomodasi kepentingannya di pemerintah. Langkah-langkah ini pun tercermin dalam zaikai sebagai penghantar kepentingan sektor bisnis. Melalui federasi bisnis, terutama keidanren dan JCCI, perusahaan-perusahaan multinasional ini mampu menyajikan berbagai rekomendasi kebijakan hasil riset yang telah mereka lakukan tentang peluang dan keuntungan FTA dengan Meksiko, serta kerugian yang dialami oleh para perusahaan multinasional yang beroperasi di Meksiko akibat dampak NAFTA yang tidak dibendung. Petinggi-petinggi di kementrian pun, misalnya METI, merangkap jabatan penting di federasi bisnis. Hal ini mempermudah penyampaian kepentingan para perusahaan multinasional Jepang tersebut. Kedua strategi utama ini lah yang kemudian mampu membawa sektor bisnis di Jepang, terutama perusahaan multinasionalnya berhasil mendifusikan kepentingannya kepada pemerintah, dengan ditandatanganinya perjanjian Japan-Mexico Economic Partnership Agreement 2004. E. Metode Penelitian Skripsi ini akan menyoroti strategi perusahaan multinasional Jepang, terutama yang beroperasi di Meksiko pada saat itu (Sony, Sanyo, Sharp, Hitachi, Matsushita/Panasonic, Nissan, Toyota, Honda dan Denso), serta federasi-federasi bisnis (keidanren, JCCI, JMA, JETRO, JA Group) yang terkait, selama negosiasi Japan-Mexico Economic Partnership Agreement, mulai dari tahun 1991 hingga 2004. Data-data akan dihimpun dengan mengambil
data sekunder dengan sumber dan jenis yang variatif, mulai dari data tabel dan grafik hingga fakta-fakta empiris, yang berasal dari buku, artikel jurnal, internet, majalah dan surat kabar.
F. Sistematika Penulisan Rencana penelitian ini akan ditulis dalam empat bab, yang terdiri dari: a. BAB I Pendahuluan Bagian ini berisi paparan singkat mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, argumentasi semetara serta konsep-konsep yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. b. BAB II Aktivitas dan Kepentingan Perusahaan Multinasional Jepang di Meksiko Bagian ini berisi tentang kronologi masuknya perusahaan-perusahaan Jepang di Meksiko, aktivitas-aktivitas ekonomi apa saja yang telah mereka lakukan, serta perkembangan mekanisme Maquiladora. Akan disertakan pula data-data yang berisi signifikansi aktivitas bisnis Jepang di Meksiko. Selanjutnya, akan dibahas pula kepentingan dari perusahaan-perusahaan multinasional Jepang yang beroperasi di Meksiko. Selain itu, akan dibahas bagaimana NAFTA muncul sebagai ancaman terhadap terpenuhnya kepentingan perusahaan multinasional Jepang di Meksiko, sebagai awal munculnya usaha perusahaan multinasional Jepang untuk melakukan penetrasi kepentingan kepada pemerintah Jepang. c. BAB III Strategi Perusahaan Multinasional Jepang dalam Memengaruhi Pemerintah Jepang
Bagian ini mencakup strategi dan langkah-langkah yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan multinasional Jepang dalam usahanya untuk tetap mempertahankan kepentingannya yang terancam di Meksiko, di bawah panduan dua konsep utama; lobi bisnis organisasional dan zaikai. Bagian ini akan menjustifikasi keberhasilan perusahaan multinasional Jepang dalam melakukan artikulasi kepentingannya kepada pemerintah melalui perjanjian Japan –Mexico Economic Partnership Agreement 2004. d. Bab IV Kesimpulan Bagian ini berisi kesimpulan dari pembahasan yang telah terpapar di bab-bab sebelumnya, terutama dalam merangkum analisis yang ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian.