BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perkembangan peradaban manusia dipengaruhi oleh berbagai hasil budaya ciptaan manusia, seperti hasil budaya materiil, ide dan sistem. Bentuk dari hasil kebudayaan dalam masyarakat meliputi sistem kemasyarakatan, sistem
nilai,
bahasa,
kesenian,
pendidikan, khasanah pemikiran, dan
berbagai benda. Berbagai nilai kearifan lokal dan unsur budaya (bahasa, kesenian, sistem nilai, dan sebagainya) telah menjadi pembentuk identitas bangsa. Negara Indonesia yang memiliki semboyan “Bhennika Tunggal Ika” sesuai dengan kondisi yang terjadi bahwa terdiri dari banyak pulau, ras tau etnis, agama, bahasa, budaya atau adat istiadat yang berbeda. Perbedaan bukanlah masalah dan sesuatu yang harus dipertentangkan karena semuanya adalah satu. Arti dari kata satu yakni satu tujuan, satu perjuangan, satu keturunan, satu cita-cita dan satu kesatuan. Menarik sekali saat mendengar kata “budaya” karena dari budaya kita dapat mengetahui ikon satu sama lain antar daerah yang masing-masing berbeda, menurut ajaran nenek moyang yang diturunkan. Setelah melalui verifikasi dan penilaian oleh tim ahli menurut apa yang saya dengar dari salah satu media televisi swasta, bahwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
1
Republik Indonesia melalui Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya menetapkan 77 karya budaya yang telah didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Nasional Indonesia. Enam diantaranya telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Indonesia yang diakui oleh UNESCO, seperti wayang, batik, keris, reog ponorogo, tari saman, dan lain sebagaianya. Wayang menjadi salah satu ikon budaya nasional yang sangat popular secara mancanegara, banyak sekali festival wayang yang dihadiri oleh turis mancanegara. Merupakan suatu kebanggan bahwa budaya yang kita miliki diakui dan disanjung serta di hormati oleh bangsa lain, maka dari itu kita sebagai
warga
Negara
Indonesia
yang
baik
harus
menjaga
dan
melestarikannya. Selain budaya nasional, Indonesia juga memiliki budaya lokal yakni suatu kebiasaan daerah tertentu yang diwariskan secara turun menurun oleh generasi terdahulu pada generasi berikutnya
pada ruang lingkup daerah
tersebut. Dalam budaya lokal juga terdapat nilai-nilai lokal hasil budi daya masyarakat suatu daerah yang terbentuk secara alami dan melalui proses dari waktu kewaktu. Budaya lokal tersebut dapat berupa hasil seni, tradisi, pola piker, atau hukum adat. Indonesia saat ini terdapat lebih 300 dari suku bangsa yang berbicara dalam 250 bahasa yang berbeda dan memiliki karakteristik budaya lokal yang berbeda pula. Sebagai contoh ikon budaya lokal dari masyarakat Ponorogo yakni reog Ponorogo, dari Madura yakni karapan sapi, dari Aceh yakni tari
2
saman, Bali dengan tari kecaknya dan lain sebagainya. Dari berbagai macam budaya daerah atau budaya lokal tersebut maka munculah sesuatu yang disebut Budaya Nasional.1 Sosiologi dan budaya sangat erat hubungannya, karena kebudayaan tidak bisa dilepaskan dari manusia dan masyarakat. Sosiologi mempelajari kebudayaan dari sudut pandang dinamika hubungan antara manusia dan kelompok, serta interaksi kelompok dengan kelompok lain melalui budayanya. Sosiologi memberikan banyak kajian tentang interaksi manusia yang melahirkan suatu pola kebudayaan, bagaimana lembaga-lembaga masyarakat memiliki kebudayaan tertentu, dan bagaimana antar-kelompok sosial berbeda namun secara budaya mereka berinteraksi. Bali termasuk salah satu daerah di Indonesia yang sangat kental dengan budayanya. Kebudayaan Bali dikelilingi dengan Agama Hindu yang asal muasalnya dari India, penyebarannya di Indonesia berlangsung secara damai dan bertahap, kontak pendahuluan melalui media yang dilakukan oleh para pedagang dari India dengan para pedangan Indonesia terutama di daerah pesisir. Dari peristiwa tukar-menukar barang dagangan kemudian lebih mendalam lagi pada kontak kebudayaan yang merambat dari daerah pesisir sampai ke daerah pedalaman. Begitulah proses itu terus berkembang dari kontak kebudayaan sampai kepada masalah agama, sehingga pada perkembangan selanjutnya berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu di Bali. 1
Geertz. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. 1981
3
Budaya di Bali memang tidak bisa dilepaskan dari Agama Hindu kerana memang sudah menjadi dua hal yang melekat bagi umat Hindu di Bali. Kebudayaan di Bali semuanya menarik untuk dikaji, dari beberapa yang diketahui seperti tari kecak, atau pun subak juga budaya omed-omedan yaitu sebuah budaya yang sudah turun-menurun bagi kaum Hindu di Bali. Budaya Omed-omedan sangat menarik untuk dikaji karena ternyata dilaksanakan hanya pada pasca Nyepi dan usai mensucikan diri mereka kembali, yakni di hari Ngembak Geni2. Makna Budaya Omed-omedan yang di warisi oleh leluhur, yakni berkaitan dengan apa yang menjadi segala kesulitan dan kesusahan dalam Nyepi, menahan nafsu, tidak berbicara, dan dalam kegelapan itu sebagai simbol bahwa mereka sedang bersama dan turut merasakan bersama orang-orang yang hidup dalam serba kekurangan, setelah usai nyepi selama 24 jam barulah masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali ini merayakannya dengan budaya Omed-omedan, yakni sebagai penutup dari Hari Raya Nyepi dan disitulah terlihat realitas sosiologis bahwa mereka mempunyai solidaritas yang tinggi akan apa yang menjadi senang dan mudah itu tidak bisa didaptkan secara mudah dan instan akan tetapi dengan cara bersusah dahulu. Hindu di India dan di Bali mengalami perbedaan dalam pemaknaan kelas kastanya, seperti yang dikutip dari karya AAGN Ari Dwipayana
2
Ngembak Geni merupakan tahun baru Saka kedua, yakni hari raya ke-2 setelah Nyepi.
4
“bahwa sistem kelas-kelas tradisional di Bali bukan merupakan kasta Hindu seperti halnya di India. Kalau hal itu dikatakan sebagai sistem kasta, maka tidak terdapat pembagian seluruh masyrakat ke dalam tingkat tingkat dengan fungsi khusus, sebagaimana merupakan ciri khas dari sistem kasta di India. Juga tidak terdapatnya gagasan penting mengenai dapat timbulnya pengotoran upacara karena persentuhan kelompok rendah dengan kelompok yang lebih tinggi. Memang terdapat pembatasan perkawinan antara kelompok yang berbeda tingkatannya, tetapi pembatasan ini tidak melarang semua perkawinan yang melampaui batas kelompok status, tetapi lebih merupakan larangan bagi wanita untuk kawin dengan lelaki yang lebih rendah martabatnya dari dirinya”.3 Menarik saat suatu tradisi atau ritual agama suatu kaum, namun tidak semua umat melakukan ritual bahkan hanya segelintir kelompok masyarakat saja yang meyakininya sebagai suatu hal yang sangat sakral, dan akan menimbulkan marabahaya jika tidak melakukan tradisi budaya tersebut. Sebagai bahan penelitian menggunakan analisis sosiologis, mencoba mempelajari budaya Omed-omedan yang saling tarik ulur antara kedua belah pihak yakni 40 Teruna4 dan 40 Teruni dan saling bersentuhan satu sama lain, yang mereka dalam pelaksanaan ritual ini tidak mementingkan kasta sebagai pembatas interaksi, sosialisasi maupun komunikasi demi terjalinnya hubungan atau ikatan sosial mereka menjadi persaudaraan yang kuat. Memang dalam ilmu antropologi, hal seperti ini tidak boleh terjadi karena merusak tatanan kasta yang memang sudah menjadi kelas keturunan bagi kaum hindu. Akan tetapi dalam ilmu sosiologi, ini menarik sekali untuk dikaji karena mereka
3
Hildred Greertz, Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia, yayasan Ilmu Ilmu Sosial bekerjasama dengan FISIP UI, Jakarta, 1981, Hal. 29. 4 Teruna & Teruni adalah pemuda dan gadis lajang yang terbentuk dalam suatu organisasi banjar. Dan sebagai anggota kepanitiaan Budaya Omed-omedan
5
merelakan apa itu yang disebut kasta dan melupakan sejenak, demi terjalinnya ikatan sosial erat dan solidaritas yang kuat. Realita yang terjadi saat salah satu seka teruna yang tidak mengikuti ritual omed-omedan memilih untuk berlibur ke daerah Bedugul, akhirnya mengalami musibah yang tak terduga. Musibah- musibah atau malapetaka yang menimpa teruna-teruni ini sering terjadi, maka dari itu masyarakat Banjar Kaja Sesetan sangat berhati-hati dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan tradisi-tradisi atau ritual dari leluhur mereka, termasuk mengenai budaya Omed-omedan karena mereka percaya disetiap budaya dan tradisi mengandung sesuatu yang sakral dan mistik. Struktur kebudayaan dan struktur sosial tidak bisa dilepaskan, karena saling berkaitan satu sama lain. Struktur kebudayaan: kerangka nilai-nilai normative yang terorganisasi mengatur perilaku umum anggota masyarakat atau kelompok tertentu. Struktur sosial: kerangka terorganisasi dari hubungan sosial yang melibatkan anggota-anggota kelompok atau masyarakat5. Saat dikaitkan dengan struktur kebudayaannya, jelas ada sanksi yang diberikan kepada masyarakat Banjar Kaja saat tidak mematuhi atau menjalankan sesuai budaya mereka. Dari struktur sosial masyarakat Banjar Kaja terkenal kesadaran akan berbagai tugas masing-masing individu dalam kelompoknya, dan kaitannya dalam budaya ini mereka rela melepaskan kasta untuk sementara waktu demi terjalinnya hubungan sosial yang menyatu tanpa 5
Rachmad K. Dwi Susilo, 20 Tokoh Sosiologi Modern, Yogyakarta: Ar-ruzz Media, 2008, Hal. 207
6
melihat kelas dalam agama mereka. ini membuat sistem sosial pada masyarakat Banjar Kaja terlihat begitu sempurna dalam pelaksanaanya, terbukti bahwa sistem sosial telah menggerakkan mereka dalam kesadaran kolektif. Berkaitan dengan hasil wawancara kepada Parwati Dewi yakni teruni anggota perkumpulan Satya Dharma Kerthi Banjar Kaja Sesetan, “Omedomedan” adalah sebuah tradisi sakral yang harus dilaksanakan dan disaksikan oleh seluruh masyarakat daerahnya, untuk menjauhkan diri dari segala marabahaya dan untuk memperkuat ikatan sosial masyarakat Banjar Kaja. Dalam budaya omed-omedan mengandung unsur religious dan ikatan sosial yang kuat. Disamping itu, kita sedang mengalami krisis budaya, dan masyarakat hidup dengan dirinya masing-masing. Maka penelitian ini ingin dan akan menggali lebih dalam lagi dan ingin menggambarkan proses secara sosiologis apa yang berkaitan dengan bagaimana budaya Omed-omedan menjadi suatu unsur atau elemen dalam system sosial kemudian terbentuknya struktur sosial dan budaya Omed-omedan menjadi salah satu identiats di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali.
7
1.1.1 Rumusan Masalah Merujuk pada uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah adalah sebagai berikut : Bagaimana budaya omed-omedan sebagai identitas sosial masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali?
1.1.2 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian sebagai berikut : Menggambarkan budaya omed-omedan sebagai identitas sosial masyarakat Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali
1.1.3 Manfaat penelitian Manfaat Teoritis a. Dapat bermanfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan terutama pengembangan teori sosiologi maupun teori sosiologi pembangunan
8
b. Dapat bermanfaat untuk pengembangan pembelajaran tentang identitas budaya serta konstruksi sosial atas budaya Manfaat Praktis a. Penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi dan bahan kajian dalam penelitian yang lebih luas dan pengembangan ilmu sosiologi dan budaya khususnya pada budaya Omed-omedan di Banjar Kaja sesetan, denpasar selatan, Bali. b. Dapat memberikan manfaat bagi instansi terkait, yakni kepada Industri Pariwisata agar tetap melestarikan dan menjaga Budaya Omed-omedan.
1.2 Definisi Konsep 1.2.1
Identitas Sosial Definisi Identitas sosial yakni adalah sebagai pengetahuan individu
merasa sebagai bagian anggota kelompok yang memiliki kesamaan emosi serta nilai6. Identitas sosial juga merupakan konsep diri seseorang sebagai anggota kelompok. Identitas bisa berbentuk kebangsaan, ras, etnik, kelas . Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya, ia dipelihara, dimodifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh
6
Tajfel, H., & Turner, JC 1979 dalam Nuraeni 2005 . Sebuah teori integratif konflik antarkelompok. Psikologi sosial hubungan antarkelompok.
9
hubungan-hubungan sosial7. Identitas akan tetap tidak bisa dipahami kecuali jika ia berlokasi dalam dunia tersebut.
1.2.2
Budaya Budaya merupakan wujud ideal yang bersifat abstrak dan tak dapat
diraba yang ada didalam pikiran manusia yang dapat berupa gagasan, ide, norma, keyakinan dan sebagainya. Dalam setiap kebudayaan terdapat unsurunsur yang juga dimiliki oleh berbagai kebudayaan lain. Koentjaraningrat menyebutnya sebagai unsur-unsur kebudayaan yang universal, meliputi: sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup (suatu kompleks aktivitas serta tindakan manusia dalm suatu masyarakat), dan sistem teknologi dan peralatan (sebagai benda-benda hasil karya manusia).8
1.2.3
Omed-omedan Med-medan adalah suku kata asli dari Omed-omedan berasal dari kata
“omed” yang artinya “tarik” Jadi, omed-omedan artinya tarik-tarikan, itulah gerakan utama yang dilakukan pada waktu acara ini. Sesuai namanya, tradisi unik ini yang diikuti puluhan teruna dan teruni itu diwarnai tarik-menarik. 7
Berger; penerjemah, Hasan Basari. Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES, 1990. Hal. 235 8 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. 1989 . Hal : 186
10
Para peserta yang mengenakan pakaian adat madya secara bergiliran dipertemukan dengan calon dari kelompok masing-masing untuk saling tarik dan berciuman.9
1.3
Metode Penelitian Metode adalah suatu cara yang digunakan peneliti sebagai pedoman dalam melakukan penelitian dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pengumpulan data:
1.3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angkaangka. Metodologi kualitatif, berusaha memahami fact yang ada di balik kenyataan, yang dapat diamati atau diindra secara langsung, atau istilahnya biasa disebut verstehen. Sehubungan dengan metodologi kualitatif, Denzin dan Lincoln mengemukakan bahwa Qualitative research is a field of inquiry in it’s right. It crosscuts disciplines, fields, and subject matter (1994:1). Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa penelitian kualitatif sebagai medan penemuan pemahaman merupakan kegiatan yang tersusun atas sejumlah wawasan,
9
Munggah, I Made. 2008. Med-medan Tradisi Unik dari Sesetan. Denpasar : PT Offset BP
11
disiplin, maupun wawasan filosofis sejalan dengan kompleksitas pokok permasalahan yang digarap.10 Berdasarkan karakteristik yang telah dibaca dan dipahami dari kedua metode penelitian yakni kualitatif dan kuantitatif, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan atau metode kualitatif cenderung lebih tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Dalam menggunakan metode atau pendekatan tersebut diharapkan dapat mendeskripsikan segala sesuatu hal yang terjadi di lapangan berkaitan dengan Budaya Omed-omedan Sebagai Identitas Sosial Masyarakat Desa Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Pada penelitian ini sejalan dengan kompleksitas permasalahan yang digarap, dalam metodologi penelitian kualitatif juga terdapat sejumlah paradigma, yang akan memberikan peluang kepada peneliti untuk
melakukan rekonstruksi ulang ataupun penggabungan karena
penggunaan metodelogi kualitatif berkaitan dengan penyusunan tindak kreatif dan tidak mengandaikan adanya sebuah paradigma dan sebuah metode yang siap pakai. Pendekatan penelitian ini menggunakan etnometodologi, karena dalam pendekatan ini akan memahami visi dan esensi pandangan budaya suatu masyarakat, secara kelompok dan individual.11
10
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara. 12
Etnometodologi adalah penelitian empirik mengenai metode-metode yang digunakan individu untuk memaknai dan sekaligus melaksanakan kegiatan sehari-harinya: berkomunikasi, mengambil keputusan, dan penalaran. Etnometodologi adalah studi tentang kehidupan sehar-hari baik yang umum, biasa atau alamiah, karena mereka berpandangan bahwa sosiologi itu sendiri harus dianggap sebagai suatu kegiatan praktik.12 Etnometodologi mempunyai pengertian sekumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur serta pertimbangan (metode) yang mana masyarakat biasa dapat memahami, mencari tahu, dan bertindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan jati diri. Penelitian etnometodologi
berupaya
untuk
memahami
bagaimana
masyarakat
memandang, menjelaskan dan menggambarkan kata atas hidup mereka sendiri.13 Beberapa konsep penting dalam etnometodologi: 1. Indeksikalitas (indexicalite) Kehidupan sosial terbentuk melalui bahasa, tetapi bukan bahasa para ahli tata bahasa dan para linguis, melainkan bahasa kehidupan sehari-hari. Manusia saling bercakap, menerima perintah, menjawab
pertanyaan,
mengajar,
menulis,
berjualan,
belanja,
berbohong, menghadiri pertemuan semua menggunakan bahasa. 11
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara. Alain, coulon. Etnometodologi. 2008: 28 13 Ibid. hal 31 12
13
Indeksikalitas adalah ide yang menyatakan ungkapan bahasa umum. Misal: “itu”, “saya”, “anda” yang bermakna sesuai dengan konteksnya. Indeksikalitas menggambarkan ketidaklengkapan kata. Kata hanya bermakna lengkap dalam konteks pengungkapannya dan jika diindeksikan pada situasi pertukaran linguistik. Pemaknaan suatu kata atau suatu ungkapan berasal dari faktor kontekstual seperti biografi pengujar, niat seketika, hubungan yang khusus antara pengujar dan teman ujar, percakapan sebelumnya.14 2. Refleksivitas (reflexivite) Refleksivitas menggambarkan praktik yang sekaligus juga merupakan suatu kerangka sosial sebagai suatu kondisi yang utama. Refleksivitas adalah suatu sifat khas kegiatan sosial yang mensyarakan kehadiran sesuatu yang dapat diamati dalam waktu yang bersamaan15. (dalam kegiatan sehari-hari kita tidak sadar akan kenyataan bahwa ketika kita sedang berbicara pada waktu yang bersamaan kita membangun makna, tatanan dan rasionalitas yang sedang kita kerjakan pada saat itu. Penggambaran sosial menjadi unsur-unsur dari yang digambarkan).
14 15
Ibid, alain. Hal 32 Ibid, alain. Hal 42
14
3. accountability Penelitian etnometodologi menganalisis kegiatan-kegiatan keseharian para anggota sebagai metode yang menjadikan kegiatankegiatan tersebut terlihat rasional dan terlaporkan untuk semua tujuan praktik yakni dapat dideskripsikan (accountable) sebagai organisasi biasa kegiatan seari-hari. Dua sifat penting dari accountability adalah refleksif dan rasional. Refleksif: menekankan bahwa accountability adalah suatu unsur utama kegiatan tersebut. Sedangkan rasional: menekankan bahwa konsep tersebut secara metodik dihasilkan dalam situasi dan kegiatannya dapat dipahami dapat dideskripsi dan dievaluasi dengan aspek rasionalitasnya.16 4. Member (anggota) Konsep anggota mengacu tidak pada keanggotaan sosial, tetapi pada penguasaan bahasa. “….. bahwa manusia, karena ia berbicara bahasa alamiah, boleh dikatakan terlibat dalam produksi dan peragaan objektif pengetahuan bersama dari kegiatan sehari-hari sebagai gejalagejala yang dapat diamati dan diceritakan” (Garfinkel: 1970). Singkatnya, anggota adalah kemampuan praktik yang sebagai kemampuan biasa, penting untuk memproduksi unsur fenomena tatanan sosial sehari-hari.17
16 17
Ibid, alain. Hal 49 Ibid, alain.
15
5. Kategorisasi anggota Maksudnya adalah kategori linguistik dan kategori sosial yang merupakan bagian dari suatu koleksi18. Sebagai contoh: “the baby cried and the mommy picked it up” Kita faham bahwa yang dibicarakan adalah si anak tersebut adalah ibu dari si bayi dan bukan sembarang ibu yang kebetulan lewat di depan anak, walaupun tidak ada hubungan tata bahasa di dalam kalimat antara baby dan mommy. Mengapa bisa begitu, karena keduanya adalah kategori linguistik dan juga sosial. Jadi ditarik dalam kesimpulan bahwa penelitian etnometodologi memang sangat mempersilahkan objek yang berbicara, dalam arti kata situasi atau realitas sosial dibebaskan untuk berbicara tentang dirinya sendiri dan tugas bagi peneliti cukup menyimak dan melukiskan apa yang terjadi. Wawancara jamak digunakan sebagai cara memperoleh data dalam penelitian kualitatif. Wawancara dinilai mampu menggali opini dan informasi yang bisa dijadikan asumsi kebenaran suatu realitas. Opini dari narasumber diyakini adalah pengakuan jujur atas alam pikiran yang dijadikan sebagai motif dari tindakan-tindakan sosial individu. Akan tetapi, wawancara dalam penelitian etnometodologi dimengerti dalam makna yang berbeda, wawancara formal penting sebagai cara memperoleh data. Namun, tidak bias dijadikan sebagai sumber utama. Data bukan hanya hasil jawaban narasumber terhadap 18
Ibid alain. Hal 53
16
pertanyaan yang diajukan pewawancara namun proses wawancara itu sendiri merupakan sebuah data yang harus dianalisa pula. Fokus kajian dari Etnometodologi bukan hanya “orang” sebagai kediriannya yang tunggal namun sebagai anggota atau bagian dari sebuah struktur luaran yang lebih luas, misalkan masyarakat ataupun komunitas. Sehingga wawancara bukan hanya untuk mengetahui jawaban-jawaban terhadap pertanyaan namun aturan atau struktur yang membuat individu atau orang tersebut memproduksi tindakan-tindakan atau jawaban tersebut.19 Tahap penelitian etnometodologi: 1. observasi 2. merekam percakapan dengan prinsip speaker-hearer 3. interview 4. mentranskip semua hasil rekaman percakapan dan hasil interview 5. reduksi dan kategorisasi data 6. menarik kesimpulan
19
Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln. Handbook Of Qualitative Research (Terj: Dariyanto dkk) Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999
17
1.3.2 Lokasi Penelitian Penelitian
dilaksanakan
di
Banjar
Kaja,
Kelurahan
Sesetan,
Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Alasan dalam pengambilan lokasi di daerah tersebut, karena merupakan tempat yang masih melaksanakan dan membudidayakan atau mentradisikan Budaya Omedomedan, dan tidak berada di tempat atau lokasi lain dalam pelaksanaannya, pada saat ini selain hanya di Banjar Kaja, kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali.
1.3.3
Subyek Penelitian Aktivitas awal dalam proses pengumpulan data adalah menentukan
subyek penelitiannya. Hal ini penting agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan subyek penelitian sebab dari merekalah diharapkan informasi dapat terkumpul sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan penelitian yang diajukan dan menjadi acuan jawaban dari apa yang diteliti. Dalam teknik penentuan subyek penelitian dapat digunakan model Snow Ball sampling. Metode ini digunakan untuk memperluas subyek penelitian atau informan, karena dalam hal penelitian kualitatif, kuantitas subyek bukanlah hal yang utama, sehingga harus didasari pada pemilihan informan atau penentuan subyek penelitian didasari pada kualitas informasi
18
yang terkait dengan tema penelitian20. Dalam penelitian ini menggunakan snow ball sampling harus mempunyai key person, yakni seseorang yang memang mampu untuk membantu memperolehnya data awal untuk melanjutkan dan menentukan informan selanjutnya, berdasarkan observasi maka peneliti menentukan key person yakni tokoh masyarakat dari Banjar Kaja yakni kepala Banjar atau kelihan Banjar yang tugas utamanya yakni sebagai pengurus utama atas semua upacara adat dan urusan keagamaan di tingkat Banjar, alasan menggunakan Kelihan Banjar yakni I Wayan Sunarya sebagai Key Person karena beliau termasuk seseorang yang mengurusi budaya Omed-omedan dan sebagai Key Person juga termasuk memenuhi syarat dengan umurnya yang diatas 30 tahun. Dengan menggunakan Snow Ball Sampling, dalam penelitian kualitatif ini diharapkan mampu memperoleh subyek penelitian yang berkualitas dengan informasi secara utuh, benar dan tepat dalam mendukung berjalannya penelitian. Dalam penentuan subyek dengan metode snow ball sampling dalam penelitian ini menggunakan kriteria yakni; sebagai warga Banjar Kaja Asli dan mengetahui akan perihal budaya Omed-omedan tentunya dengan umur diatas remaja.
20
Muhammad Idrus, Metode Penelitian Ilmu Sosial: Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif: Jakarta: Erlangga. 2002. Hal. 96.
19
1.3.4
Sumber Data Data yang diperoleh dari dua sumber, yakni: 1. Data Sekunder, yaitu sumber data diperoleh dari internet, arsip pemerintah lokal maupun pusat yang berkaitan dengan budaya omed-omedan. 2. Data Primer, sumber data yang diperoleh dari subyek yang diteliti, dengan cara wawancara dan observasi langsung dilapangan.
1.3.5
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk memperoleh
data yang sesuai dengan pokok permasalahan adalah sebagai berikut: 1. Wawancara, merupakan pertemuan dua orang untuk mendapatkan atau bertukar informasi dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksi makna dalam suatu topik tertentu. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data-data tentang Budaya Omedomedan di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. Jenis wawancara ada wawancara terstruktur dan wawancara tidak terstruktur. Jenis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara tidak terstruktur karena dalam wawancara ini tidak ingin mengikat informan terpaku dalam pertanyaan dalam wawancara.
Dalam
20
penelitian kualitatif diperlukan wawancara mendalam untuk memperoleh data keaslian dari informan sebagaimana dituturkan dalam bahasanya. 2. Observasi, atau pengamatan dengan panca indera serta aktivitas pencatatan fenomena yang dilakukan secara sistematis. Jenis dalam observasi ada partisipatif dan non partisipatif, yang akan digunakan dalam observasi ini adalah yang partisipatif atau terlibat dalam
kegiatan
yang
menjadi
sasaran
penelitian,
tanpa
mengakibatkan perubahan pada kegiatan atau aktifitas yang bersangkutan.21 3. Dokumentasi. Dokumen ini dapat berupa dokumen publik (seperti Koran, makalah, laporan kantor) dapat juga berupa dokumen privat (seperti buku harian, surat, dan email). Juga dapat Menggunakan jenis instrument seperti check list (daftar cocok) juga tabel. 4. Materi audio dan visual, data ini dapat berupa foto, objek-objek seni, videotape, atau segala jenis bunyi/suara.22
21
Ibid, Muhammad Idrus, hal. 101. John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012, hal. 267. 22
21
1.3.6
Teknik Analisa Data Analisis merupakan kegiatan: (1) pengurutan data sesuai dengan rentang permasalahan atau urutan pemahaman yang ingin diperoleh; (2) pengorganisasian data dalam formasi, kategori, ataupun unit perian tertentu sesuai dengan antisipasi peneliti; (3) interpretasi peneliti berkenaan dengan signifikansi butir-butir ataupun satuan data sejalan dengan pemahaman yang ingin diperoleh; (4) penilaian atas butir ataupun satuan data sehingga membuahkan kesimpulan: baik atau buruk, tepat atau tidak tepat, signifikan atau tidak signifikan.23 Mengacu pada model analisis interaktif, dalam melakukan kegiatan analisis data tersebut peneliti perlu memperhatikan tahap kegiatan interaktif sebagai berikut: 1. Pengumpulan Data, merupakan bagian intergral dari kegiatan analisis sehingga pengumpulan data dan analisis dilakukan bersamaan. Serta penataan “data mentah”, data tersebut mungkin
berupa
catatan
lapangan,
rekaman,
maupun
dokumen. 2. Reduksi Data, adalah proses pengolahan data dari lapangan dengan pemilahan data kemudian menyederhanakan data dengan merangkum atau membuat intisari dari hasil penelitian. 23
Maryaeni. 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara, hal: 75. 22
3. Penyajian Data, dilakukan untuk menyistematiskan data yang telah direduksi sehingga terlihat sosoknya yang utuh. Dalam display data laporan yang sudah direduksi dilihat kembali gambaran secara keseluruhan, maka kemudian dapat dilakukan penggalian data kembali apabila dipandang perlu untuk mendalami permasalahannya. 4. Menarik kesimpulan dan verifikasi, ini dilakukan sejak awal data yang diperoleh, tetapi kesimpulannya masih kabur. Kesimpulan harus diverifikasi selama penelitian masih berlangsung.24
1.3.7
Validasi Data Uji keabsahan data yang digunakan adalah triangulasi data.
Trianggulasi dalam uji keabsahan data ini diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Trianggulasi terdiri dari tiga yaitu: 1. Trianggulasi Sumber, yakni dilakukan dengan cara cross-check data dengan fakta dari sumber lainnya dan menggunakan kelompok informan yang berbeda25. Trianggulasi ini dilakukan dengan mencari orang-orang yang terlibat langsung dalam 24
Miles dan Huberman Dalam Maryaeni, 2005. Metode Penelitian Kebudayaan. Jakarta: PT Bumi Aksara, hal: 75. 25 Maloeng, lexy. Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Rosdakarya, 2004.
23
permasalahan yang akan diteliti yaitu pihak-pihak yang terlibat dalam Budaya Omed-omedan di Banjar Kaja, Kelurahan Sesetan, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar, Provinsi Bali. 2. Trianggulasi Metode, yakni dilakukan dengan cara menggunakan beberapa metode dalam pengumpulan data26. Selain menggunakan metode
observasi,
peneliti
juga
menggunakan
wawancara
mendalam terhadap informan untuk memastikan kondisi yang sebenarnya. 3. Trianggulasi Data, yakni analisis dilakukan dengan cara meminta umpan balik dari informan yang berguna untuk alasan etik serta perbaikan kualitas laporan, data, dan kesimpulan yang ditarik dari data tersebut27. Untuk trianggulasi data peneliti mengecek kembali jawaban yang diberikan informan dengan cara menanyakan kembali maksud
dari jawaban informan, serta bisa juga
pengecekan dilakukan pada orang terdekat informan, untuk memastikan kebenaran data yang diberikan.
26 27
Ibid. Ibid , Maloeng Lexy.
24