BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara heterogen yang memiliki beragam suku bangsa, bahasa, dan agama. Nilai- nilai moral dan agama sangat melekat dan menaungi kehidupan bangsa Indonesia dan menjadi dasar pijakan setiap langkah dan perbuatan bangsa Indonesia selain hukum positif negara yang berlaku. Masyarakat Indonesia dalam berperilaku sehari- hari tidak dibenarkan melanggar ramburambu norma agama, susila, kesopanan dan norma hukum yang hidup di masyarakat, oleh karena adanya keterikatan dengan nilai- nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Kepatuhan dan ketaatan terhadap nilai- nilai sosial dan agama semakin harus dipertanyakan kepada bangsa Indonesia dalam perilaku sehari-hari, seiring dinamika masyarakat dan globalisasi yang semakin pesat. Perbuatan kriminal seperti pencurian, pembunuhan, korupsi yang semakin membudaya, kasus amoral /asusila seperti perkosaan, pencabulan, cukup banyak terjadi di masyarakat, terlebih kasus perzinaan. Perzinaan yang terjadi di masyarakat meliputi perbuatan hubungan seksual/persetubuhan antara laki-laki dan perempuan baik yang terikat dalam perkawinan yang sah, maupun yang tidak sama sekali diantaranya terikat dalam hubungan perkawinan yang sah. Masyarakat berpendapat bahwasanya dalam status apapun orang-orang yang melakukan zina, baik itu lajang ataupun salah satu atau keduanya memilki
1 Universitas Sumatera Utara
hubungan perkawinan dengan orang lain, tetap saja hal tersebut dianggap tabu dan terlarang, dan tentunya menimbulkan dampak yang negatif di lingkungan masyarakat dan juga bagi diri pelaku. Perbuatan zina berpotensi menyebabkan remaja hamil di luar nikah. Fakta dimasyarakat menunjukkan bahwa salah satu faktor penyebab remaja melakukan aborsi dikarenakan hamil di luar nikah, oleh karenanya terdorong rasa malu dan akhirnya menggugurkan kandungan. Remaja yang hamil di luar nikah yang apabila tidak menggugurkan kandungannya, dan kemudian menikah, sering terjadi rumah tangga pelaku “MBA” ( Married by Accident ) ini tidak bertahan lama/tidak harmonis yang kemudian berujung dengan perceraian, dan akhirnya tumbuh pola keluarga dengan orang tua tunggal (Single Parenthood) yang tidak jarang ditemui di masyarakat saat ini. Alasan lain yaitu bahwa salah satu penyebab utama penyebaran HIV dan AIDS adalah hubungan seks di luar nikah. Perbuatan itu jugalah yang kemudian menimbulkan reaksi keras dari masyarakat yang merasa perasaan susila dan agamanya telah tercederai, yang akhirnya main hakim sendiri. Para pelaku perzinaan di luar perkawinan yang sah ketika tertangkap basah oleh masyarakat akan dihakimi sendiri, sebab untuk perbuatan zina antara pasangan yang belum menikah di Indonesia belum ada hukum positif yang mengaturnya. Sebagian daerah ada yang memiliki peraturan daerah tersendiri seperti Daerah Istimewa Aceh, yang mengatur hukuman terhadap perbuatan melakukan hubungan perzinaan baik di luar perkawinan, maupun adanya ikatan perkawinan di antara pasangan tersebut, seperti yang diatur dalam Perda Aceh
2 Universitas Sumatera Utara
yang disebut “Qanun” yang membawa unsur agama Islam dalam butir- butir peraturannya. 4 Satu-satunya ketentuan hukum positif yang mengatur tentang perzinaan di Indonesia kita secara menyeluruh adalah Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 284 ayat (1) KUHP menentukan ancaman pidana penjara paling lama 9 bulan terhadap seorang laki-laki yang telah menikah yang melakukan perzinaan, dengan perempuan baik itu telah terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain, maupun tidak, ataupun sebaliknya 5, yang pasti, delik perzinaan (Overspel) yang dimaksud KUHP saat ini pengertiannya hanya sebatas terhadap perbuatan hubungan seksual yang dilakukan laki-laki dan perempuan (bukan pasangan suami istri) yang minimal salah satunya terikat dalam ikatan perkawinan dengan orang lain (pasal 27 Burgerlijke Wetboek). Laki-laki dan perempuan yang apabila kedua-duanya belum menikah dan melakukan hubungan seks di luar ikatan pernikahan yang sah maka tidak dapat dikategorikan sebagai perzinaan dan tidak dapat dijerat oleh hukum. Ketentuan Pasal 284 KUHP selama ini baik secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan peluang kepada pihak- pihak yang melakukan persetubuhan di luar nikah antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat pernikahan dengan orang lain untuk leluasa melakukan perbuatan tersebut tanpa aturan hukum positif yang membatasinya, padahal oleh sebagian masyarakat
4
http://www.portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/2593691_4264.html, Agus Luqman, Qanun- Qanun yang Menjerat Wanita Aceh, 15 April 2013, diakses pada tanggal 1 Mei 2013, pukul 16.00 WIB 5 P.A.F. Lamintang, Delik- delik Khusus “ Tindak Pidana- Tindak Pidana Melanggar Norma-Norma Kesusilaan dan Norma- Norma Kepatutan”, CV Mandar Maju, Bandung, 1990, Hal. 87
3 Universitas Sumatera Utara
perbuatan tersebut dinilai bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat istiadat, dan kesusilaan. Berdasarkan konsep KUHP baru tahun 2012, pemerintah melakukan pembaharuan terhadap Rancangan KUHP mengenai perzinaan yaitu dalam Pasal 483 Rancangan KUHP 2012, menambahkan beberapa hal dalam delik perzinaan yang baru yakni pertama, revisi terhadap sanksi pidana penjara yaitu yang semula paling lama 9 (sembilan) bulan menjadi paling lama 5 (lima) tahun. Kedua, revisi terhadap pelaku perzinaan yaitu yang semula pelaku perzinaan adalah hanya lakilaki menikah dan perempuan menikah yang melakukan hubungan seks bukan dengan istri atau suaminya maka dalam Rancangan KUHP baru ini juga meliputi laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah dengan orang lain 6. Pembaharuan terhadap pasal perzinaan, bagi masyarakat yang pro akan kebijakan kriminalisasi ini, ibarat angin segar yang menghembuskan perubahan dan pembaharuan dalam hukum pidana di Indonesia, akan tetapi itu hanya bagi sebagian pihak yang pro saja terhadap aturan tersebut, sebab ada pula pihak yang kontra
terhadap
kriminalisasi
perbuatan
melakukan
hubungan
seksual
(persetubuhan) di luar perkawinan yang sah yang menilai bahwa adanya kriminalisasi terhadap pelaku perzinaan terlalu mencampuri dan memasung kehidupan pribadi seseorang, dalam hal ini negara telah melakukan intervensi kehidupan wilayah pribadi warga negaranya. 6
law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Lidya Suryani Widayawati, Revisi Pasal Perzinaan dalam Rancangan KUHP: Studi Masalah Perzinaan di Kota Padang dan Jakarta, Jurnal Hukum No. 3 Vol. 16, DPR RI, Jakarta, 2009, hal. 313. Diakses pada tanggal 15 Februari 2013, pukul 09.00 WIB.
4 Universitas Sumatera Utara
Menurut pihak yang kontra terhadap kriminalisasi hubungan seksual di luar perkawinan yang sah, hal ini dinilai sebagai ketentuan yang melanggar hak asasi manusia, dan cenderung Islamisme dan karena itu mengancam demokrasi. Mereka juga berpandangan bahwa Rancangan KUHP harus mengedepankan prinsip unifikasi, Rancangan KUHP merupakan kodifikasi hukum yang harus bisa diterima seluruh elemen masyarakat. Pasal yang tidak bisa dilaksanakan di suatu daerah, tetapi dilaksanakan di daerah lain dikarenakan adat dan budaya di setiap daerah berbeda-beda akan menimbulkan ketidakpastian hukum. 7 Pihak yang pro kembali menilai bahwa masalah perzinaan muncul dari public demand bukan pribadi atau keluarga, karena public demand, maka diatur dalam UU. Menurut negara liberal, lazim terdapat hukum yang mengatur kegiatan pribadi., warga tidak boleh melakukan hubungan seks sedarah (incest), warga tidak boleh mengumpulkan foto-foto yang masuk dalam kategori ‘’pornografi anak’’, warga tidak diizinkan berpoligami, dalam aktivitas seks atau kalau menggunakan contoh yang lebih ekstrem warga tidak boleh melakukan bunuh diri dan warga tidak boleh menjadi pecandu narkotika, kendati pun kedua kegiatan itu bisa dilihat sebagai ‘’kegiatan sadar yang dilakukan orang dewasa dengan akibat yang harus ditanggung oleh orang dewasa itu sendiri’’. Intervensi negara terhadap wilayah pribadi dengan demikian tidak pernah diharamkan, bahkan dalam masyarakat liberal yang menjadi kunci adalah alasan, sebuah kegiatan pribadi yang dipercaya berpotensi menimbulkan efek negatif atau dipandang sebagai
7
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0310/02/utama/599064.htm, Tunda Dulu Revisi KUHP Sosialisasikan Dulu ke Publik, Kamis, 02 Oktober 2003, diakses 02 Maret 2013, pukul 11.00 WIB.
5 Universitas Sumatera Utara
sebuah tindakan tidak bermoral, lazim dinyatakan terlarang. Perzinaan meskipun tampak sebagai kegiatan yang bersifat sangat pribadi, namun pada dasarnya adalah kegiatan pribadi yang memiliki dimensi sosial luas 8 , oleh karena itu, intervensi negara mempunyai landasan yang kokoh dalam kebijakan kriminalisasi ini. Revisi terhadap pasal perzinaan dalam Rancangan KUHP masih menimbulkan perdebatan antara pihak yang pro dan yang kontra terhadap revisi tersebut, dengan kata lain masyarakat Indonesia dalam hal ini belum sepenuhnya mencapai kata mufakat untuk menyepakati konsep kebijakan ini, padahal salah satu alasan kriminalisasi pada umumnya harus adanya kesepakatan sosial ( Public Support) 9 yang dalam hal ini masih dipertanyakan kejelasannya. Masalah kriminalisasi haruslah sesuai dengan politik kriminal yang dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Revisi terhadap ketentuan mengenai perzinaan oleh karena itu pun patut untuk dikaji dengan prinsip kehati-hatian. Bagaimana akibatnya jika suatu perbuatan dijadikan sebagai perbuatan pidana (tindak pidana) sedangkan masyarakat menilai perbuatan tersebut sebagai perbuatan yang patut atau tidak tercela. 10
8
http://www.republika.co.id/koran, Soal Zina dan KUHP, Sabtu, 11 Oktober 2003, diakses 02 Maret 2013, pukul 09.00 WIB. 9 Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, Nusa Media, Bandung, 2011, hal.45 10 law.uii.ac.id/images/story/jurnal, Op. Cit. hal. 313-314
6 Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini oleh karenanya difokuskan pada beberapa permasalahanpermasalahan berdasarkan latar belakang tersebut diatas, yakni bagaimana konsep pengaturan terhadap delik persetubuhan diluar perkawinan yang sah tersebut dalam Rancangan KUHP khususnya KUHP 2012, landasan kebijakan terhadap pembaharuan pasal perzinaan tersebut yaitu kriminalisasi terhadap hubungan persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah pada pasal 483 angka (1), huruf (e) RUU KUHP 2012, apakah kebijakan tersebut sudah tepat, dan bagaimana pula peluang berlakunya aturan tentang kebijakan kriminalisasi tersebut.
7 Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah Masalah yang penulis angkat sehubungan dengan topik ataupun judul penelitian ini, adalah : 1. Bagaimana konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012 ? 2. Apa landasan kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012 ? 3. Bagaimana peluang berlakunya aturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan Tujuan penulisan dari penelitian ini adalah bertolak dari perumusan masalah di atas, yaitu : a). Untuk mengetahui konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012. b). Untuk mengetahui landasan kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam RUU KUHP 2012. c). Untuk mengetahui seberapa besar peluang berlakunya aturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012.
8 Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Penulisan Bertolak dari rumusan masalah dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari penelitian ini, adalah : 1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu bahan bacaan di dalam menguraikan bagaimana konsep pengaturan tindak pidana persetubuhan di luar perkawinan yang sah menurut RUU KUHP 2012, perkembangannya dalam RUU KUHP lainnya yang telah mengatur perbuatan tersebut, serta kebijakan penuntutan dalam penegakan hukum terhadap konsep kriminalisasi perbuatan tersebut. 2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya landasan dari kebijakan kriminalisasi terhadap persetubuhan di luar perkawinan yang sah dalam RUU KUHP 2012, serta mengenai kelemahan, kelebihan dan peluang berlakunya aturan tindak pidana tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk berlakunya konsep aturan tersebut pada masa yang akan datang.
D. Keaslian Penulisan Tulisan tentang Delik Perzinaan dan Pembaharuannya dalam RUU KUHP terlebih dahulu telah banyak dibuat, namun mengenai Kajian tentang Kebijakan Kriminalisasi terhadap Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah sebagai Delik Perzinaan dalam RUU KUHP 2012 yang penulis buat ini memang asli dibuat oleh penulis sendiri. Proses pembuatan skripsi ini penulis memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan masalah Politik Hukum Pidana, Kebijakan
9 Universitas Sumatera Utara
Kriminalisasi, Sosiologi Hukum, Delik Perzinaan, RUU KUHP, KUHP, Kajian Konsep KUHP dalam berbagai literatur, artikel seputar perbuatan melakukan hubungan seksual di luar nikah, kajian moral dan agama, kemudian penulis merangkai sendiri menjadi suatu karya tulis ilmiah yang disebut dengan skripsi. Penulis oleh karena itu dapat menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya asli penulis sendiri, selain itu dalam pengajuan skripsi ini, penulis telah melewati pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di Perpustakaan Fakultas Hukum USU.
Hal ini dengan demikian dapat mendukung tentang
keaslian penulisan.
10 Universitas Sumatera Utara
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Kebijakan Kriminalisasi “Kebijakan” secara terminologis berasal dari istilah policy (Inggris) atau politiek (Belanda). Terminologi itu dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak hukum) dalam mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan- urusan publik, masalah-masalah
masyarakat
atau
bidang-bidang
penyusunan
peraturan
perundang-undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara). 11 Kebijakan kriminalisasi tidak terlepas dari pembahasan kebijakan kriminal (Criminal Policy) atau politik kriminal, serta kebijakan hukum pidana (Penal Policy) atau politik hukum pidana dalam pembaharuan hukum pidana, oleh karenanya maka terlebih dahulu akan dibahas mengenai hal-hal tersebut. Marc Ancel mengemukakan, Modern Criminal Science terdiri dari tiga komponen, yaitu : 1. Criminology 2. Criminal Law, dan 3. Penal Policy 12 Kriminologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan. Pada dasarnya, kriminologi ini sangat bergantung pada disiplin ilmu-ilmu lainnya yang
11
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Victimologi, Cet. 2, Djambatan, Jakarta, 2007, hal.26 12 M. Hamdan, Politik Hukum Pidana, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 20
11 Universitas Sumatera Utara
mempelajari kejahatan, bahkan dapat dikatakan bahwa keberadaan kriminologi itu merupakan hasil dari berbagai disiplin ilmu yang mempelajari kejahatan tersebut. Kriminologi dengan demikian bersifat “Interdisipliner”, suatu disiplin ilmu yang tak berdiri sendiri, atau dengan kata lain hasil kajian dari ilmu lainnya terhadap kejahatan Oleh karena itulah Thorsten Sellin menyebutnya sebagai “ a king without a country “. Kriminologi pada fungsinya yang klasik, berkaitan dengan hukum pidana, dimana dua disiplin ilmu ini saling berhubungan dan saling bergantung antara satu dengan yang lainnya, bahkan sebelumnya kriminologi dianggap sebagai bagian dari hukum pidana. Perkembangan selanjutnya kriminologi dijadikan sebagai ilmu yang membantu hukum pidana ( ilmu pembantu) dan sekarang hal tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, karena perkembangan kriminologi sudah menjadi disiplin yang berdiri sendiri. Fungsi kriminologi yang klasik dalam masalah hukum pidana, yaitu : 1. Dalam perumusan atau pembuatan hukum pidana ; 2. Dalam penerapan hukum pidana ; dan 3. Dalam pembaharuan hukum pidana, yakni dalam hal : 1) Kriminalisasi ; 2) Deskriminalisasi ; dan 3) Depenalisasi. 13 Sudarto mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal/politik kriminal (criminal policy) dalam hal ini, yaitu :
13
Ibid, hal. 17-18
12 Universitas Sumatera Utara
a) Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dan reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana ; b) Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara bekerja dari pengadilan dan polisi. c) Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang- undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan normanorma sentral dari masyarakat. Beliau juga mengemukakan defenisi singkat, bahwa politik kriminal merupakan “Suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”. Defenisi ini diambil dari defenisi Marc Ancel yang dirumuskan sebagai berikut “ the rational organization of the control of crime by society ”. Bertolak dari pengertian yang dikemukakan Marc Ancel ini, G. Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa ruang lingkup politik criminal (criminal policy) sangat luas, karena merupakan keseluruhan upaya untuk penanggulangan kejahatan yang dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu : a) Penerapan hukum pidana ( criminal law application ) ; b) Pencegahan tanpa pidana ( prevention without punishment ) ; c) Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media ( influencing views of society on crime and punishment/mass media ) Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur “penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non penal” (bukan/di luar hukum pidana) dalam pembagian tersebut diatas, upaya- upaya yang disebut dalam butir (b) dan (c) dapat dimasukkan dalam kelompok upaya “non penal”. Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” dapat lebih menitikberatkan pada sifat “repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” lebih menitik beratkan pada sifat “preventive” (pencegahan/ penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan
13 Universitas Sumatera Utara
terjadi. Tindakan represif dikatakan sebagai perbedaan yang kasar karena pada hakikatnya juga dapat dilihat sebagai tindakan preventif dalam arti luas. 14 Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” atau (penal policy) ini disebut pula dengan istilah “ kebijakan hukum pidana” atau dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana “. Istilah “penal policy” ialah istilah yang dilihat dari kepustakaan asing, sama juga seperti “criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. Pengertian kebijakan atau politik hukum pidana dapat dilihat dari politik hukum maupun dari politik kriminal. Menurut Prof. Sudarto, “Politik Hukum” adalah : a) Usaha untuk mewujudkan peraturan- peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat. b) Kebijakan dari Negara melalui badan- badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan – peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita- citakan. Politik hukum pidana yang merupakan bagian dari politik hukum mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang- undangan pidana yang baik, sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa yang akan datang. Pengertian demikian dapat dilihat dalam defenisi “penal policy” dari Marc Ancel, yakni “ suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik “. Menurut defenisi Marc Ancel “peraturan hukum positif “ ( the positive rules ) tersebut yakni peraturan perundang- uundangan hukum pidana.,
14
Ibid., hal. 45-46.
14 Universitas Sumatera Utara
Istilah “penal policy” dengan demikian adalah sama dengan istilah “ Kebijakan atau politik hukum pidana “. Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan, upaya penegakan hukum, dan usaha perlindungan masyarakat oleh karena itu politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal ( criminal policy ), kebijakan penegakan hukum ( law enforcement policy ), dan politik social (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jadi dalam pengertian “social policy”, sekaligus tercakup di dalamnya “social welfare policy” dan “social defence policy”. 15 Pembahasan kebijakan/ politik hukum pidana ini, akan mengerucut pada pembahasan pembaharuan hukum pidana (penal reform) yang seyogyanya merupakan bagian dari kebijakan/politik hukum pidana (penal policy) dan merupakan bagian dari fungsi kriminologi secara klasik yang mencakup tiga hal/permasalahan dalam pembaharuan hukum pidana, hal menambahkan aturan dalam hukum pidana, menghapuskan aturan positif yang tidak cocok lagi dengan keadaan yang ada, serta mempertahankan aturan positif yang ada. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana berkaitan erat dengan latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana itu sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari
15
Lilik Mulyadi, Op.Cit., hal. 30
15 Universitas Sumatera Utara
aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum). Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus merupakan perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan kebijakan yang melatarbelakanginya itu, dengan demikian, pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai- nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya dapat dikatakan bahwa harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ( policy oriented approach ) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai ( value oriented approach). 16 Pembaruan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan atau “policy” (yaitu bagian dari politik hukum/ penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Kebijakan (policy) di dalamnya harus terkandung pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaruan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Makna dan hakikat pembaruan hukum pidana dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
16
Barda Nawawi, Op.Cit., hal. 25
16 Universitas Sumatera Utara
a) Dilihat dari sudut Pendekatan Kebijakan : 1) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan sosial pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi masalah- masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang
tujuan
nasional
(kesejahteraan
massyarakat dan sebagainya); 2) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan masyarakat ( khususnya upaya penanggulangan kejahatan) ; 3) Pembaruan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum
pada
hakikatnya
merupakan
bagian
dari
upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
b) Dilihat dari sudut pendekatan nilai : Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (‘reorientasi dan re- evaluasi’) nilai- nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan. Bukanlah pembaruan (reformasi) hukum pidana, apabila orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru) sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah ( KUHP lama atau
17 Universitas Sumatera Utara
WVS). 17 Pembaharuan hukum pidana ini (KUHP) dirasakan sudah hal yang mendesak karena baik itu ditinjau dari segi sosiologis, filosofis, dan politis, maupun praktis, KUHP yang berlaku tidak memadai lagi. Upaya pendekatan dalam pembaharuan hukum pidana untuk membentuk atau mewujudkan KUHP baru adalah menempatkan KUHP sebagai pokok atau bahan yang diperbaharui, dengan melihat kepada doktrin dasar nasional (Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara), melihat pula aspek Internasional (global dan Regional). Subjek pembaharuan adalah Lembaga Legislatif (DPR), suprastruktur adalah pemerintah (partner dalam mekanisme pembuatan Undang- Undang), Infrastruktur yakni aspirasi masyarakat, aspirasi kepakaran dan aspirasi Internasional. 18Objek yang diperbaharui adalah secara makro dan mikro hukum pidana. Makro yakni pembaharuan pada struktur atau lembaga- lembaga sistem peradilan pidana, substansinya yang menyangkut harmonisasi atau sinkronisasi hukum pidana, dan pembaharuan aspek budaya masyarakat dan nilai-nilai filosofis kehidupan, sedangkan secara mikro pembaharuan itu menyangkut tiga masalah
pokok
dalam
hukum
pidana,
yaitu,
“perbuatan
pidana”,
“pertanggungjawaban pidana”, dan “pidana”. Objek pembaharuan hukum pidana tersebut baik yang makro maupun yang mikro, tentunya akan terjadi kalau ada perubahan perkembangan dalam studi terhadap apa yang dinamakan kejahatan. 19
17
Ibid., hal. 26 Teguh Prasetyo, Op. Cit, hal. 30-31 19 Ibid, hal. 31 18
18 Universitas Sumatera Utara
Metode yang dipakai adalah metode komprehensif integrative, baik secara deduktif (menurut doktrin), maupun secara induktif (empirik). Pembaharuan hukum pidana dengan demikian berdasarkan pendekatan sistemik ini adalah pembaharuan yang menyeluruh dari segala aspek terkait dengan hukum pidana (umum), oleh karenanya perlu dicatat secara total, selain melakukan penyempurnaan dalam artian yang baik tetap dipertahankan, aturan yang tidak cocok lagi dalam KUHP dihilangkan dan yang kurang ditambah. Oleh karenanya pembaharuan hukum pidana selalu saja berkisar kepada masalah kriminalisasi, diskriminalisasi, dan penalisasi. Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan pidana yang semula bukan tindak pidana atau tidak ada diatur dalam hukum pidana, karena perkembangan masyarakat kemudian menjadi tindak pidana atau dimuat ke dalam hukum pidana, artinya tahap akhir proses kriminalisasi adalah pembentukan hukum pidana. Kriminologi
(dengan
penelitiannya
memberikan
masukan
tentang
perbuatan- perbuatan apa saja yang “layak” dimasukkan ke dalam hukum pidana, di samping itu tentunya para ahli hukum pidana tidak dapat bekerja sendiri untuk memasukkan perbuatan menjadi perbuatan pidana, melainkan perlu bantuan dari para ahli ilmu sosial lainnya, termasuk kriminologi, seperti yang dikemukakan oleh Mochtar Kesumaatmadja, pada Seminar Hukum Nasional ke-III di Surabaya tahun 1974 : ‘Bahwa dalam usaha pembinaan dan pembaharuan hukum nasional, apabila perlu akan juga diikutsertakan kalangan diluar bidang hukum yang erat hubungannya dengan pembinaan dan pembaharuan hukum seperti ahli
19 Universitas Sumatera Utara
di bidang ilmu sosial lainnya serta di bidang- bidang ilmu lain yang perlu diikutsertakan apabila masalah yang ditangani menghendaki.’ 20 Soetandyo Wignyosoebroto mengartikan kriminalisasi yaitu : ‘Suatu pernyataan bahwa suatu perbuatan tertentu itu harus dibilang sebagai perbuatan pidana. Judgements dan Decisions demikian itu, selalu dikonsepkan sebagai hasil proses- proses formal yang berlangsung dalam atau lewat lembaga-lembaga politik dan/atau pemerintahan (khususnya lembaga legislatif) dengan hasil akhirnya yang berupa produk perundangundangan khususnya perundang- undangan hukum pidana’. Sudarto memberikan defenisi tentang kriminalisasi sebagai berikut “Suatu proses dimana perbuatan yang semula bukan tindak pidana kemudian diancam dengan pidana dalam undang- undang“ 21 , dengan kriminalisasi dimaksudkan proses penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya Undang- Undang dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana, dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (eksekutif), dibawah pimpinan Menteri Kehakiman. Pengertian dekriminalisasi yang merupakan kebalikan dari kriminalisasi yaitu suatu proses dimana dihilangkan sama sekali sifat pidananya suatu perbuatan. Dekriminalisasi ini harus dibedakan dengan depenalisasi. Depenalisasi mengandung arti suatu perbuatan yang semula diancam pidana, ancaman
20
Ibid, hal. 32 Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi_Haryadi, Kebijakan Formulasi Delik Perzinaan dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, hal. 45, diakses pada tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB. 21
20 Universitas Sumatera Utara
pidananya dihilangkan, tapi masih dimungkinkan adanya penuntutan dengan cara lain, melalui hukum perdata atau hukum administrasi. 22 Nigel Walker mengingatkan adanya “ prinsip- prinsip pembatas” (the limiting principles) yang sepatutnya mendapat perhatian dalam menggunakan ketiga sarana penal (kriminalisasi, dekriminalisasi, dan penalisasi), antara lain : a) Jangan hukum pidana digunakan semata- mata untuk tujuan pembalasan ; b) Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan ; c) Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana- sarana lain yang lebih ringan ; d) Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian yang ditimbulkan lebih besar daripada kerugian/bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri ; e) Larangan- larangan hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah ; f) Hukum pidana jangan memuat larangan- larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik. 23 Sedangkan menurut Barda Nawawi Arief, terkait kebijakan “penal” beliau memaparkan khusus untuk masalah kriminalisasi, bahwa dalam proses kriminalisasi harus memperhatikan berbagai aspek pertimbangan sebagai berikut : 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan Pancasila ; 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga masyarakat ; 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cost and benefit principles) juga sosial cost atau biaya sosial 22
Nanda Agung Dewantara, Kemampuan Hukum Pidana dalam Menanggulangi Kejahatan-Kejahatan Baru yang Berkembang dalam Masyarakat, Liberty, Yogyakarta, 1988, hal.3. 23 Barda Nawawi Arief, Buku I, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal. 48
21 Universitas Sumatera Utara
4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan- badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas (overbelasting). 24 Bassioni berpendapat, keputusan untuk melakukan kriminalisasi dan dekriminalisasi harus didasarkan pada faktor- faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor sebagai berikut : a) Keseimbangan sarana- sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil yang ingin dicapai. b) Analisa biaya terhadap hasil- hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan- tujuan yang dicari. c) Penilaian atau penaksiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas- prioritas lainnya dalam pengalokasian sumber daya manusia. d) Pengaruh sosial dari kriminalisasi dan dekriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh- pengaruhnya yang sekunder. Laporan simposium khususnya mengenai kriteria kriminalisasi itu antara lain menyatakan : untuk menetapkan suatu perbuatan itu sebagai tindak kriminal, perlu memperhatikan kriteria umum sebagai berikut : 1.
Apakah perbuatan itu tidak disukai atau dibenci oleh masyarakat karena merugikan, atau dapat merugikan, mendatangkan korban atau dapat mendatangkan korban.
2.
Apakah biaya mengkriminalisasi seimbang dengan hasilnya yang akan dicapai, artinya cost pembuatan undang-undang, pengawasan dan
24
Teguh Prasetyo, Op.,Cit., hal. 44- 45.
22 Universitas Sumatera Utara
penegakan hukum serta beban yang dipikul oleh korban, dan pelaku kejahatan itu sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai. 3.
Apakah akan semakin menambah beban aparat penegak hukum yang tidak seimbang atau nyata-nyata tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimilikinya.
4.
Apakah perbuatan-perbuatan itu menghambat atau menghalangi citacita bangsa sehingga merupakan bahaya bagi keseluruhan masyarakat.
Alasan kriminalisasi dari beberapa pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan tersebut diatas pada umumnya meliputi : 5. Adanya korban ; 6. Kriminalisasi bukan semata- mata ditujukan untuk pembalasan ; 7. Harus berdasarkan asas ratio principle ; dan 8. Adanya kesepakatan sosial (public support). Alasan yang menyebutkan adanya korban ini menyiratkan bahwa perbuatan tersebut harus menimbulkan sesuatu yang buruk atau menimbulkan kerugian. Salah satu kesimpulan dari seminar Kriminologi ketiga tahun 1976 di Semarang antara lain menyatakan, hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk social defences 25 . Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan yang dipaparkan oleh Bassiouni disamping itu menimbulkan problem yakni kecenderungan untuk menjadi pragmatis dan kuantitatif serta tidak memberi kemungkinan untuk
25
Ibid., hal. 44-45.
23 Universitas Sumatera Utara
masuknya faktor-faktor yang subjektif, misalnya nilai-nilai, ke dalam proses pembuatan keputusan. Pendekatan yang berorientasi pada kebijakan ini menurut Bassioni seharusnya dipertimbangkan sebagai salah satu scientific device dan digunakan sebagai alternatif dari pendekatan pertimbangan nilai yang bersifat emosional ( the emosionally laden value judgement approach ) oleh badan legislatif, dikemukakan pula bahwa perkembangan dari a policy oriented ini lamban datangnya karena proses legislatif belum siap untuk pendekatan yang demikian. Kelambanan yang dimaksud antara lain terletak pada sumber- sumber keuangan untuk melakukan orientasi ilmiah. Kelambanan yang demikian ditambah dengan proses kriminalisasi yang berlangsung terus tanpa didasarkan pada penilaian- penilaian yang terpuji dan tanpa suatu evaluasi mengenai pengaruh terhadap keseluruhan sistem dapat mengakibatkan timbulnya : (a) krisis kelebihan kriminalisasi (the crisis of overcriminalization), dan (b) krisis pelampauan batas dari hukum pidana ( the crisis of overreach of the criminal law). Akibat yang pertama mengenai banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan- perbuatan yang dikriminalisasikan, dan yang kedua mengenai usaha pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi pidana yang lebih efektif. 26 Kebijakan hukum pidana harus merupakan suatu usaha atau langkah- langkah yang dibuat dengan sengaja dan sadar. Memilih dan menetapkan hukum pidana sebagai sarana untuk menaggulangi kejahatan harus benar- benar
26
Ibid., hal. 136-138
24 Universitas Sumatera Utara
telah memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung fungsi hukum pidana itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan fungsional, yang bersifat melekat (inheren) pada setiap kebijakan yang rasional. Pendekatan lain yang diperhatikan juga tentang sikap dan pandangan masyarakat mengenai patut tercelanya suatu perbuatan tertentu dengan melakukan penelitian, khususnya yang berhubungan dengan kemajuan teknologi dan perubahan sosial, yang berhubungan dengan kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan harus sesuai dengan politik kriminal yag dianut oleh bangsa Indonesia, yaitu sejauh mana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai- nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. 27 Di
Indonesia
kemerdekaan
dan
proses
berlangsung
kriminalisasi
dilakukan
terus-menerus
sampai
sejak
proklamasi
sekarang
seiring
perkembangan yang ada dalam masyarakat. Demikian pula halnya dengan dekriminalisasi, meskipun dalam pembaharuan hukum pidana proses kriminalisasi lebih sering dipergunakan dibanding dengan proses diskriminalisasi. 28
27 28
Ibid., hal. 138-139 Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi_Haryadi, Op.,Cit., hal. 45- 46
25 Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah Persetubuhan merupakan perbuatan melakukan hubungan persenggamaan antara laki-laki dan perempuan (hubungan persetubuhan antara lawan jenis ) yang dalam hal ini keduanya melakukan perbuatan tersebut atas dasar suka sama suka, kerelaan, sadar dan sengaja. Menurut Hoge Raad dalam pertimbangan hukum suatu arrestnya menyatakan bahwa “Persetubuhan adalah perpaduan antara alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin perempuan yang biasanya dilakukan untuk memperoleh anak, dimana alat kelamin laki-laki masuk ke dalam alat kelamin perempuan yang kemudian mengeluarkan air mani” Pengertian bersetubuh seperti itu sampai saat ini tetap dipertahankan dan dalam praktik hukum digunakan sebagai dasar pembuktian dalam konteks delik perzinaan. Alat kelamin penis apabila tidak sampai masuk ke dalam vagina walaupun telah mengeluarkan air mani, atau masuk tetapi tidak sampai keluar sperma, menurut pengertian bersetubuh seperti itu, maka belumlah terjadi persetubuhan, namun telah terjadi percobaan persetubuhan, dan jika dikaitkan dalam konteks hukum pidana, maka ketentuan pasal 53 telah dapat dipidana karena telah masuk percobaan zina, yang tentunya diikuti dengan unsur- unsur lain agar dapat digolongkan ke dalam delik perzinaan. 29 Perkawinan yang sah menurut pasal 1 Undang- Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yakni ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) 29
Adami Chazawi, Tindak Pidana mengenai Kesopanan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal. 58
26 Universitas Sumatera Utara
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. UndangUndang ini menyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. 30 Perkawinan yang sah juga diatur dalam surat edaran Menteri Agama 3 Maret 1960 No. F/II/3123 31, Jadi dari pengertian ini dapat disimpulkan bahwasanya yang dimaksud dengan persetubuhan di luar perkawinan yang sah ialah hubungan seksual (persenggamaan) yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang keduanya tidak dalam ikatan perkawinan yang sah, maupun masing-masing diantara keduanya, tidak dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain ( lajang ), dalam artian yang tergolong melakukan hubungan persetubuhan di luar perkawinan yang sah yang dimaksud ialah apabila masingmasing antara laki-laki dan perempuan masih dalam status lajang. Persetubuhan di luar perkawinan yang sah merupakan penggalan kalimat “....masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah...” yang terdapat dalam pasal 483 RUU KUHP 2012. Hal ini yang menjadi fokus persoalan dalam pembahasan ini yang menjadi bagian rumusan baru dari delik perzinaan, dalam KUHP selama ini perzinaan hanyalah perbuatan melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang kedua-duanya atau minimal salah satunya harus memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain (memiliki suami/istri).
30
Undang Undang Perkawinan, Nomor 1 Tahun 1974 Moeljatno, KUHP: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. 21, PT. Bumi Aksara, 2001, hal 104-105 31
27 Universitas Sumatera Utara
Kata zina secara etimologis berasal dari bahasa Arab yang artinya persetubuhan di luar pernikahan 32. Menurut kosa kata Inggris, zina disebut sebagai fornication yang artinya persetubuhan di antara orang dewasa yang belum kawin dan adultery yang artinya persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki dengan perempuan yang bukan suami istri dan salah satu atau keduanya sudah terikat dalam perkawinan dengan suami/istri lain. 33 Kamus Besar Bahasa Indonesia secara terminologis mendefenisikan perzinaan ke dalam dua pengertian, pertama adalah perbuatan bersenggama antara laki-laki dan perempuan yang tidak terikat oleh hubungan pernikahan (perkawinan), dan kedua adalah perbuatan bersenggama seorang laki-laki yang terikat perkawinan dengan seorang perempuan yang bukan istrinya, atau seorang perempuan yang terikat perkawinan dengan seorang laki-laki yang bukan suaminya. 34 Hukum Islam membagi perzinaan dalam dua pengertian sama seperti pengertian dalam Bahasa Inggris, dan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yakni pertama zina yang dilakukan oleh pelaku yang belum menikah ( ghairu muhsan ) atau dalam bahasa Inggrisnya yang telah disebutkan tadi yakni fornication dan kedua, zina yang dilakukan oleh pelaku yang sudah menikah (muhsan) 35 atau adultery dalam bahasa Inggrisnya. Perbuatan zina yang dimaksud dalam Islam 32
Fadhel Ilahi, Zina (terjemah), Qisthi Press, Jakarta, 2004, hal. 7 Eprints.undip.ac.id/15487/1/Dwi_Haryadi, Op. Cit., hal. 60-61 34 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991, hal. 1136. 35 Digilib uin-suka.ac.id, Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana Perzinaan (Studi Komparasi antara Hukum Pidana Islam dan Pasal 284 KUHP ), Yogyakarta, 29 Mei 2009, hal. 21, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB. 33
28 Universitas Sumatera Utara
dengan kata lain ialah perbuatan melakukan hubungan seksual (persenggamaan) antara laki- laki dengan perempuan atas dasar kerelaan dan sadar, baik keduanya dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, ataupun salah satunya, maupun keduanya tidak dalam ikatan perkawinan (remaja). Pengertian perzinaan sebagaimana rumusan pasal 284 KUHP menurut beberapa sumber tersebut yaitu pengertian dalam istilah adultery ataupun muhsan, jadi persetubuhan yang dilakukan oleh laki- laki dengan perempuan yang samasama masih lajang bukanlah termasuk perzinaan menurut hukum positif. RUU KUHP dalam perkembangannya dari rancangan tahun 2004 sampai dengan 2012, memuat pengertian zina yang tidak lagi sebagaimana yang tercantum
dalam
hukum
positif (pasal
284
KUHP),
melainkan
telah
diformulasikan secara lebih luas yakni mencakup pengertian zina sebagaimana yang diatur dalam Hukum Islam dan menurut bahasa Inggris yaitu disebut dengan istilah ghoiru muhsan dan fornication. Lingkup zina yang diatur dalam hukum Islam dengan zina yang diatur dalam RUU KUHP terdapat sedikit perbedaan, dalam hukum Islam mengenai aturan pidana dalam Fiqih Jinayah, antara delik zina dan kumpul kebo tidak dibedakan, sebab pengertiannya sama dan delik kumpul kebo dapat dibuktikan apabila terdapat unsur persetubuhan/persenggamaan yang dilakukan oleh pelaku 36, sementara RUU KUHP membedakan antara pembuktian dalam delik perzinaan dengan kumpul kebo meskipun merupakan satu bagian yang sama
36
Digilib uin-suka.ac.id, Zina dan Kumpul Kebo dalam Perspektif Hukum Islam ( Studi atas delik zina dan Kumpul Kebo dalam RUU KUHP 2005), Yogyakarta, 2008, hal. 88, tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB.
29 Universitas Sumatera Utara
sebagai delik kesusilaan dan ditempatkan dalam bagian yang sama dalam RUU KUHP dalam bagian delik Zina dan Perbuatan Cabul. Perbedaanya yakni dalam delik zina, harus memenuhi adanya unsur persenggamaan/persetubuhan, sementara
untuk
delik
kumpul
kebo
tidak
harus
dengan
adanya
persetubuhan/persenggamaan, sebab unsur yang terpenting ialah apabila dapat dibuktikan bahwasanya terdapat orang-orang yang hidup bersama sebagai suamiistri di luar perkawinan yang sah, ini sudah dapat dikatakan sebagai delik kumpul kebo. 37 Permasalahan kriminalisasi terhadap persetubuhan diluar perkawinan yang sah dalam konteks RUU KUHP yang dibahas dalam konteks permasalahan ini oleh karena itu tidak termasuk membahas delik kumpul kebo. 3. Pengertian Rancangan Undang-Undang KUHP Undang-undang (bahasa Inggris: Legislation - dari bahasa Latin lex, legis yang berarti hukum) berarti sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis. Undang-undang merupakan karya legislatif, sering diwujudkan dalam parlemen yang mewakili rakyat. Undang-undang yang dibuat terlebih dahulu harus dipersiapkan dalam bentuk konsep/rancangan Undang-Undang. 38 Rancangan Undang-Undang berisi format Undang- Undang yang dibuat secara normatif yang berisi materi rumusan pasal undang-undang yang akan dibuat.
37
News.detik.com, RUU KUHP (Pasangan Kumpul Kebo Dipidana, Tak Perlu Pembuktian adanya Hubungan Seks), Rabu, 20/03/2013, 15.15 WIB, diakses pada tanggal tanggal 30 Maret 2013, pukul 16.00 WIB. 38 http://www.wikipedia.or.id, Defenisi Undang-Undang, diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 09.00 WIB.
30 Universitas Sumatera Utara
RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan LPND sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. RUU ini kemudian diajukan dengan surat Presiden kepada DPR, dengan ditegaskan menteri yang ditugaskan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU di DPR. DPR kemudian mulai membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden diterima. RUU yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden. Presiden kemudian menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam jangka waktu 60 hari sejak surat Pimpinan DPR diterima. Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden atau menteri yang ditugasi, melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna. DPD diikutsertakan dalam Pembahasan RUU yang sesuai dengan kewenangannya pada rapat komisi/panitia/alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi. DPD juga memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama, RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu. RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU, dalam jangka waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama.
31 Universitas Sumatera Utara
RUU tersebut disahkan oleh Presiden dengan menandatangani dalam jangka waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden, jika dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui bersama tidak ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. 39 Rancangan KUHP dalam bahasan ini merupakan rancangan/konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam rangka pembaharuan hukum pidana Indonesia yang secara garis besar sudah dipandang tidak relevan lagi jika ditinjau dari segi sosiologis, filosofis dan yuridisnya, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam sub bab pengertian kebijakan kriminalisasi. Isi dari Rancangan KUHP bisa berupa penambahan isi pasal/delik (kriminalisasi), meniadakan/menghapuskan pasal yang semula ada, dan bisa juga mempertahankan rumusan pasal/delik yang sudah ada sejak semula (penalisasi). Proses pembuatan Rancangan KUHP selama ini disadari sangatlah tidak mudah, begitu banyak dinamika yang terus menerus dialami Tim Perumus naskah RUU KUHP dari masa ke masa, sebab untuk dapat membuat rancangan UndangUndang KUHP yang matang, banyak hal krusial yang patut dipertimbangan dalam merumuskannya. Proses pembuatan RUU KUHP ini telah memakan waktu yang cukup lama, yakni selama 49 tahun. 40 RUU KUHP yang terbaru sampai pada periode 2013 yakni RUU KUHP tahun 2012.
39
Ibid. http://nasional.news.viva.co.id/news/read/402032-denny-indrayana, Sudah 49 Tahun RUU KUHP digarap, diakses pada tanggal 2 Juli 2013, pukul 09.00 WIB. 40
32 Universitas Sumatera Utara
F. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum yaitu dengan pengumpulan data yang berkaitan dengan permasalahan yang kemudian mengadakan analisa terhadap masalah yang dihadapi tersebut. 1. Jenis penelitian Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundangundangan,
buku-buku
dan
data-data
yang
berkaitan
dengan
kebijakan
kriminalisasi, persetubuhan di luar perkawinan yang sah antara laki-laki dan perempuan
“hubungan
seksual
di
luar
nikah”,
delik
perzinaan
dan
pembaharuannya. 2. Jenis Data dan Sumber Data Adapun jenis data dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : a. Bahan hukum primer, yang diperoleh dari peraturan perundangundangan, yang bersifat mengikat dan disahkan oleh pihak yang berwenang. b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang menunjang bahan hukum primer seperti buku-buku dan literarur-literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji.
33 Universitas Sumatera Utara
3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini, adalah : a) Library Research, yaitu penelitian kepustakaan seperti melakukan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan dan dokumen serta literatur yang berkaitan dengan persoalan yang dikaji. 4. Analisis Data Analisa data dalam penulisan ini digunakan data kualitatif, yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas yang dalam hal ini berhubungan dengan skripsi ini.
G. Sistematika Penulisan Sistematika, organisasi penelitian dan penulisan skripsi ini, dirumuskan sebagai berikut : Bab I,
PENDAHULUAN, terdiri atas sub-sub bab yang datangnya dari penulis, terhadap topik dan atau pokok persoalan yang akan diteliti dan dibahas. Sub-sub bab yang dimaksud adalah : Latar Belakang Penelitian, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keasliaan Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode penelitian dan terakhir Sistematika Penulisan.
Bab II,
KONSEP
PENGATURAN
PERSETUBUHAN
DI
TENTANG
LUAR
TINDAK
PERKAWINAN
PIDANA
YANG
SAH
SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012, yang berisikan mengenai bab-bab pembahasan, yang merupakan konsep
34 Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang diteliti dan dibahas, yang terdiri atas sub-sub bab : Delik
Perzinaan,
Delik
Perzinaan
menurut
KUHP
dan
Perkembangannya di dalam RUU KUHP, Delik Perzinaan menurut RUU
KUHP
2012,
Kebijakan
Penuntutan
Tindak
Pidana
Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah. Bab III,
LANDASAN
KEBIJAKAN
PERSETUBUHAN
DI
LUAR
KRIMINALISASI PERKAWINAN
TERHADAP YANG
SAH
SEBAGAI DELIK PERZINAAN DALAM RUU KUHP 2012, yang berisikan uraian-uaraian mengenai pokok permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yang menitikberatkan kepada kajian terhadap judul skripsi ini. Terdiri dari sub-sub bab : Kriminalisasi, KriteriaKriteria Penentuan Kebijakan Kriminalisasi,
Permasalahan dan
Akibat adanya Perbuatan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah di Masyarakat, Urgensi dan Tujuan Kebijakan Kriminalisasi terhadap Perbuatan Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia. Bab IV,
KEBIJAKAN KRIMINALISASI TERHADAP PERSETUBUHAN DI
LUAR
PERKAWINAN
YANG
SAH
SEBAGAI
PEMBAHARUAN DELIK PERZINAAN DI INDONESIA, yang berisikan uraian- uraian mengenai kelemahan dan keuntungan dari penerapan konsep RUU KUHP 2012 mengenai kriminalisasi hubungan persetubuhan diluar perkawinan yang sah antara laki- laki dan perempuan sebagai delik perzinaan, serta bagaimana peluang
35 Universitas Sumatera Utara
penerapan aturan tersebut dimasa yang akan datang, yang terdiri dari sub- sub bab Kelemahan dan Keuntungan adanya Pengaturan tentang Tindak Pidana Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU KUHP 2012 serta Peluang Berlakunya Aturan Tindak Pidana Melakukan Persetubuhan di Luar Perkawinan yang Sah dalam RUU KUHP 2012. BAB V,
PENUTUP, yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian terhadap permasalahan-permasalahan yang ada dan saran-saran penulis dari hasil penelitian untuk perbaikan hukum kedepan khususnya yang berhubungan dengan kebijakan kriminalisasi terhadap hubungan seksual di luar perkawinan yang sah sebagai delik perzinaan dalam konsep KUHP baru. Terdiri dari sub-sub bab : Kesimpulan dan Saran.
36 Universitas Sumatera Utara