INTERNALISASI NILAI-NILAI KESENIAN BARONGSAI dan LIONG (Studi Deskriptif Kualitatif Internalisasi Nilai-Nilai Kesenian Barongsai dan Liong Melalui Kompetensi Komunikasi Antar Budaya Antara Pembina dengan Pemain Barongsai dan Liong dari Etnis Jawa di Kelompok Barongsai Tripusaka)
Felisia Oktaviani Eko Setyanto
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta
Abstract An art of Chinese origin which had banned by the Indonesian government during the reign of President Suharto has been growing since generally allowed to be staged by Gusdur. Uniquely, this Chinese art is dominated by players from the Javanese in Tripusaka Lion and Dragon Dance Group in Surakarta. If remember riots between Chinese and Javanese ethnic which got crowded in 1998, it is very interesting to observe how this harmony can be established in a Tripusaka lion and dragon dance group. Form of research used in this thesis is qualitative descriptive study. Qualitative research is a research method used to examine the condition of natural objects, where the researcher is as a key instrument. The technique of collecting data used interview, obervation, and documentation. Data Validity using interactive model of analysis. Result of qualitative research was expressing narative. Its population is Tripusaka lion and dragon dance player who comes from the Javanese and founders. Informant will be obtained by using the snowball technique sampling. Intercultural communication is realized quite well, their sense of tolerance, empathy, and respect in the interacting with each other. It is applied for each others has the intercultural communication competence which can be determined from: orientation of knowledge, display of respect, task role behavior, tolerance for ambiguity, interaction posture, empathy, interaction management, and relational role behavior. Internalization of lion and dragon dance art values are also quite attached to most players, especially the senior players who have long devoted themselves, internalization of values can be determined from: cultural systems, 1
social system, the system of personality and organic systems. Because of togetherness and compactness that exists between members and founder that makes acculturation well established. Keywords: Intercultural Communication, Internalization, Intercultural Competence
Pendahuluan Indonesia merupakan Negara yang memiliki beragam suku dan budaya yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Berdasarkan survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah suku bangsa di Indonesia melalui sensus penduduk pada tahun 2010 diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Secara umum, suku bangsa di Indonesia terbagi menjadi 2, yaitu etnis pribumi dan etnis pendatang. Yang dimaksud etnis pribumi ialah Jawa, Sunda, Batak, Manado, dsb. Sedangkan etnis pendatang ialah etnis China, Arab, India, Pakistan, dsb. Banyaknya etnis dan budaya yang ada di Indonesia ini, mengakibatkan toleransi dan kesadaran akan perbedaan harus dipegang erat dalam diri setiap penduduk supaya seluruh masyarakat yang tinggal di Indonesia dapat hidup secara harmonis. Meskipun begitu, Indonesia tetap saja mengalami permasalahan yang disebabkan oleh perbedaan etnis. Jika melihat ke masa lalu, terdapat peraturan yang berhubungan dengan etnis pendatang, yaitu keputusan Presidium Kabinet No. 127/U/Kep/1966 mengenai pergantian nama yang mengakibatkan masyarakat etnis China harus menggunakan nama khas Indonesia bukan nama khas China beserta nama keluarga etnis China itu sendiri. Setelah itu pada tahun 1998 Kota Solo dihebohkan dengan adanya kerusuhan etnis China dengan etnis Jawa. Berbagai polemik dianggap menjadi penyebab terjadinya kerusuhan tersebut, mulai dari jarak sosial antara etnis China dan Jawa yang ada di Kota Solo, kesenjangan sosial, dan politik pun juga ikut serta pada peristiwa kerusuhan 1998. Hingga akhirnya dengan diterbitkannya Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 oleh Presiden Abudrahman Wahid yang menyebabkan tarian Barongsai hidup kembali dan menjadi atraksi yang memikat di seluruh Indonesia. Uniknya, di Kota Solo terdapat Kelompok Barongsai dan Liong yang berdiri sejak 25 Juni 1998 yang bernama Tripusaka. Kelompok Barongsai dan 2
Liong Tripusaka ini menarik karena sebagian besar para pemain berasal dari etnis Jawa, bukan etnis Tionghoa. 90 persen pemain barongsai dan liong Tripusaka adalah etnis Jawa. Bahkan bukan hanya multi ras, namun kelompok ini juga multi agama, dalam Kelompok Barongsai dan Liong ini terdiri dari pemain beragama islam, kristen, dan konghucu. Setiap akan melakukan atraksi, biasanya diadakan doa dengan kepercayaan konghucu dari pendeta dimana Tripusaka bernaung. Namun para pemain tidak dipaksakan untuk masuk ke kelenteng (tempat ibadah Agama Tridharma) ataupun berdoa dengan kepercayaan konghucu. Bahkan, saat
permainan barongsai dilakukan untuk ritual agama dalam Konghucu pun, para pemain juga tidak pernah dipaksakan untuk masuk kedalam kelenteng. Karena peneliti ingin meneliti bagaimana internalisasi nilai-nilai Kesenian Barongsai dan Liong kepada para pemain barongsai dari etnis Jawa di Tripusaka Surakarta oleh pembina mereka.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana proses internalisasi nilai-nilai kesenian barongsai dan liong melalui kompetensi komunikasi antar budaya antara pembina barongsai dengan pemain barongsai dari etnis Jawa di kelompok barongsai dan liong tripusaka?”
Tujuan Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memahami dan memaparkan setiap proses internalisasi nilai-nilai Kesenian Barongsai dan Liong melalui kompetensi komunikasi antar budaya antara pelatih barongsai dengan pemain barongsai dan liong dari etnis Jawa di Kelompok Barongsai dan Liong Tripusaka.
3
Tinjauan Pustaka 1. Pengertian dan Proses Komunikasi Komunikasi atau communication berasal dari bahasa Latin, communicatio yang berarti pertukaran. Kata sifatnya adalah communis, yang berarti umum atau bersama-sama (Effendy, 2004: 3). Menurut Laswell, (dalam Mulyana 2005: 62) terdapat definisi singkat dari komunikasi dengan menjawab pertanyaan “Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect” atau “Siapa Mengatakan Apa Melalui Saluran Apa Kepada Siapa dengan Pengaruh Bagaimana?”. Berdasarkan definisi Laswell ini, maka dapat diturunkan menjadi 5 unsur penting dalam komunikasi, yaitu: sumber (source), pesan (message), saluran, penerima (receiver), efek (Effect). 2. Komunikasi Antar Budaya Liliweri (2004: 9) mengatakan definisi yang paling sederhana dari komunikasi antar budaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan. Sedangkan untuk mencapai komunikasi antar budaya yang efektif, maka seseorang wajib memiliki kompetensi komunikasi antarbudaya yang mumpuni. Berikut ini sebuah definisi dari kompetensi komunikasi: “komunikasi yang kompeten merupakan sebuah interaksi
yang
dianggap
efektif
dalam
memenuhi
tujuan
dan
saling
menguntungkan satu sama lain yang dilakukan dengan cara dan konteks yang dianggap sesuai terjadinya interaksi tersebut” (Spitzberg dalam Lustig dan Koester 1993: 63). Definisi ini memberikan pemahaman mengenai berbagai cara untuk memperoleh kompetensi komunikasi antar budaya. Kata kuncinya adalah “yang dianggap”, karena itu menunjukkan bahwa kompetensi tersebut paling baik jika ditentukan oleh mereka yang menjalaninya. Kompetensi komunikasi melibatkan persepsi sosial secara spesifik pada konteks dan hubungan interpersonal mendalam yang terjadi. Oleh karena itu, meskipun penilaian kompetensi antar budaya dipengaruhi oleh penilaian karakteristik dari pribadi seseorang, namun penilaian kompetensi tidak dapat sepenuhnya ditentukan oleh penilaian kepribadian orang semata, karena kompetensi melibatkan interaksi dengan orang lain. Penilaian bergantung pada 4
konteks, seperti hubungan dari mereka yang saling berkaitan, target atau sasaran yang ingin dicapai dari mereka yang berkaitan, serta pesan verbal dan nonverbal secara spesifik yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Berikut beberapa hal yang mempengaruhi kompetensi antar budaya: a. Komponen Kompetensi Antar Budaya Tidak ada seorangpun dapat kompeten dalam interaksi antar budaya hanya dengan menggunakan satu langkah saja (Lutig dan Koester 1993: 64). Komunikasi antar budaya yang kompeten bersifat kontekstual, maksudnya adalah menghasilkan perilaku yang baik, sesuai dan efektif dengan pengetahuan yang memadai, karena motivasi yang tepat, dan melalui tindakan yang terampil. Berikut ini penjabaran mengenai komponen yang mempengaruhi kompetensi komunikasi antar budaya: (1)Konteks, kompetensi antarbudaya bersifat kontekstual. Kesan atau penilaian bahwa seseorang kompeten dalam antar budaya dibuat berdasarkan hubungan kedua relasi tertentu dan konteks situasi tertentu dan tidak terlepas dari hubungan serta situasi dimana komunikasi terjadi. (2)Kesesuaian dan Efektivitas, kompetensi antar personal ataupun kompetensi antar budaya sama-sama membutuhkan perilaku yang sesuai dan efektif. Kesesuaian merupakan perilaku yang dianggap tepat dan cocok mengingat harapan yang dihasilkan oleh budaya tertentu, kendala situasi tertentu, dan hubungan yang terjalin secara alami dari mereka yang berinteraksi. Sedangkan efektivitas merupakan perilaku-perilaku yang mengarah pada hasil pencapaian yang diinginkan, seperti kepuasan seseorang dalam berkomunikasi dengan orang lain. (3)Pengetahuan, Motivasi, dan Tindakan. Kompetensi antarbudaya membutuhkan pengetahuan yang cukup, motivasi yang sesuai, dan tindakan yang terampil. Hanya menggunakan satu komponen dari ketiga komponen saja tidak cukup untuk mencapai kompetensi antarbudaya. Pengetahuan, hal ini mengacu pada informasi secara kognitif yang dibutuhkan mengenai seseorang, konteks, dan norma-norma yang digunakan dalam budaya tertentu. Sebuah penemuan yang dilakukan di perusahaan Coca Cola di China mengenai pengetahuan kebudayaan
5
dalam komunikasi anatar budaya juga pernah dilakukan oleh Morse, dirinya menemukan:“one of the main problems we face in communication is that since we all use the same words, we assume that they have the same definitions” (Morse, J.S.B., Et Cetera Full Color Journal Of Historical Typewriter Topics, Vol. 66, April 2009: 164). Motivasi, motivasi meliputi rangkaian dari keseluruhan emosional seseorang mengenai apa yang mereka harapkan pada saat berkomunikasi antar budaya. Seperti pengetahuan, aspek yang berbeda dari pusat emosional yang berkontribusi pada pencapaian kompetensi antarbudaya. Actions, tindakan mengacu pada penampilan yang sesungguhnya dari perilaku-perilaku yang dianggap tepat dan efektif (Lustig dan Koester 1993: 71). Dengan demikian, akan diperoleh informasi yang diperlukan, dimotivasi oleh perasaan dan niat yang tepat, namun masih memiliki kekurangan dalam tindakan yang diperlukan untuk mencapai kompetensi. Terdapat sebuah alat dasar untuk melengkapi kompetensi antar budaya yaitu skala penilaian perilaku untuk kompetensi antar budaya atau sering disebut dengan BASIC (The Behavioral Assesment Scale for Intercultural Competence) yang dikembangkan oleh Koester dan Margaret Olebe (Lustig dan Koester 1993: 71). Terdapat 8 kategori dalam BASIC, dan masing-masing memberikan peran pada kompetensi antar budaya. Berikut delapan jenis perilaku komunikasi yang masing-masing dibahas dan diringkas dalam tabel: Tabel 1: The Behavior Assessment Intercultural Competence Tampilan Hormat
Kemampuan untuk menunjukkan perhatian dan sikap positif kepada orang lain.
Orientasi Pada
Istilah yang digunakan orang untuk menjelaskan diri
Pengetahuan
mereka dan dunia di sekitar mereka.
Empati
Kemampuan untuk berperilaku seolah memahami dunia seperti yang dialami orang lain.
Menejemen Interaksi
Kemampuan dalam mengatur percakapan.
Peran Tugas Perilaku
Perilaku yang melibatkan inisiatif ide yang berhubungan dengan kegiatan pemecahan masalah
6
dalam kelompok. Peran Hubungan Perilaku
Perilaku yang berhubungan dengan keselarasan interpersonal dan mediasi interpersonal.
Toleransi Terhadap
Kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap
Kerancuan
situasi baru dan ambigu yang terlihat tidak nyaman.
Interaksi Sikap
Kemampuan untuk menanggapi orang lain dengan penjelasan, tidak bersifat menggurui, dan tidak dengan cara menghakimi.
3. Internalisasi Nilai Kesenian Reber (dalam Mulyana 2004: 21) mengartikan internalisasi sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap, praktik dan aturan-aturan baku pada diri seseorang. Oleh karena proses internalisasi bersifat pribadi, proses ini diperhatikan melalui proses pengembangan diri dengan belajar dari orang lain, orang tua, guru, instruktur dalam situasi tertentu, sesuai dengan kapasitas sistem organik dan kejiwaannya. Dari kedua pendapat tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa internalisasi merupakan proses belajar tanpa tekanan dan menyadari bahwa norma-norma yang dipelajarinya sangat berarti bagi setiap pengembangan diri, hingga akhirnya menjadi bagian dari pribadinya. Dalam penelitian ini penulis ingin mengetahui internalisasi budaya Tionghoa yang diterima oleh para pemain barongsai dan liong dari etnis Jawa. Kebudayaan hanya dapat terjadi pada manusia, hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa faktor dalam pembentukkannya. Menurut Parson (dalam Tugiman, 2007: 18) dalam proses internalisasi maka akan mempengaruhi empat sistem dalam diri seseorang, yaitu : a. Sistem Budaya (Culture System) Merupakan komponen abstrak seperti pengetahuan, gagasan, nilai dan keyakinan yang berfungsi mengendalikan, menanamkan, dan memantapkan tingkah laku atau tindakan individu. b. Sistem Sosial (Sosial System) Sistem sosial terdiri atas pola-pola aktivitas tingkah laku atau tindakan berinteraksi dengan kehidupan masyarakat lingkungan lain. Tindakan ini dapat 7
diobservasi, sehingga sifatnya lebih konkret. Parsons tertarik pada cara mengalihkan norma dan nilai sistem sosial di dalam sistem sosial itu. Dalam proses sosial yang berhasil, norma dan nilai itu diinternalisasikan (internalized). c. Sistem Personalitas (Personality System) Hal ini bersangkutan dengan psikis atau watak pribadi seseorang yang berinteraksi dengan masyarakatnya. d. Sistem Organik (Organic System) Hal ini berfungsi sebagai sumber energik dalam keseluruhan sistem organik makhluk atau individu.
Metodologi Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai sesuatu atau kejadian. Penelitian kualitatif memberikan gambaran secara terperinci mengenai potret kondisi dan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan (Sutopo, 2002: 74). Penelitian ini akan diadakan di TK/SD Tripusaka, SMP/SMA Tripusaka, Klenteng Pasar Gede, Gereja St. Antonius Purbayan Surakarta sebagai tempat para pemain barongsai dan liong Tripusaka berlatih dan melakukan pementasan. Populasi pada penelitian ini adalah para pemain barongsai yang terdiri dari dari etnis Jawa dan seluruh pembina kelompok barongsai dan liong Tripusaka. Narasumber akan diperoleh dengan menggunakan teknik snowball sampling. Berdasarkan bentuk penelitian kualitatif dan jenis sumber data
yang
dimanfaatkan, maka menggunakan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan dokumentasi. Agar data yang diperoleh dapat dijamin tingkat validitasnya, maka dilakukan triangulasi metode dan triangulasi teori. Peneliti membandingkan hasil dari 3 metode pengumpulan data yang dilakukan, yaitu metode wawancara, observasi dan mencatat dokumen lalu akan ditarik benang merah dari ketiga metode yang digunakan. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis pada waktu pengumpulan data atau interactive model of analysis sesuai dengan metode penelitian kualitatif yang melaksanakan analisis data berbarengan 8
dengan pengumpulan data. Dalam model analisis ini, tiga komponen analisisnya yaitu reduksi data, sajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasinya, aktifitasnya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses siklus. Dalam melaksanakan proses ini, peneliti aktifitasnya tetap bergerak diantara komponen analisis dengan pengumpulan datanya selama proses pengumpulan data masih berlangsung.
Sajian Data dan Analisis Data 1. Motivasi Dapat diketahui bahwa motivasi para pembina untuk menerima para pemain barongsai karena semakin banyaknya etnis Jawa yang tertarik untuk bermain kesenian barongsai dan liong yang diiringi menurunnya jumlah etnis Tionghoa yang tertarik untuk bermain barongsai dan liong. Para pemain etnis Jawa dengan sukarela, sadar diri, dan tanpa paksaan ingin bergabung dan bermain kesenian barongsai dan liong. Rasa bangga ini yang membuat para pemain tetap bertahan dan ingin terus menerus tampil memainkan barongsai dan liong. Meski saat awal beberapa pemain etnis Jawa merasa ragu untuk bergabung karena harus masuk ke lingkungan yang baru, namun ternyata sikap postif dan hormat dari para pemain etnis Tionghoa dapat menghilangkan segala keraguan dalam diri pemain etnis Jawa. Hal itulah yang membuat mereka untuk tetap bertahan hingga saat ini. Hal ini serupa dengan pendapat Lustig dan Koester (1993: 70) yang mengatakan bahwa keinginan dan kerelaan untuk menghadapi ketidakpastian adalah bagian penting dari motivasi seseorang untuk mencapai kompetensi antarbudaya, dan motivasi dapat diwujudkan melalui bagaimana seseorang
menunjukkan
motivasinya pada budaya lain, dan dirinya bersemangat saat berbicara dengan orang dari budaya lain atau bahkan justru merasa cemas. 2. Pengetahuan Para pemain memiliki pengetahuan yang cukup mengenai nilai-nilai kesenian barongsai dan liong dengan mampunya para pemain dari etnis Jawa dalam menjawab pertanyaan dari penulis dengan yakin dan mantap. Komunikasi antarbudaya juga bergantung pada informasi budaya secara spesifik yang 9
digunakan untuk memahami bagian-bagian dari budaya itu sendiri (Lustig dan Koester, 1993: 69). Jenis-jenis pengetahuan yang penting itu meliputi pandangan budaya secara umum dan informasi secara spesifik tentang budaya tertentu. Pengetahuan yang lain mengenai kesenian barongsai dan liong dilakukan untuk bertoleransi dengan para pembina yang berasal dari etnis Tionghoa seperti bagaimana memperlakukan kepala barongsai dan kepala liong. Hal ini mereka lakukan karena kebiasaan yang diajarkan oleh para senior sebelumnya. Sedangkan pengetahuan mengenai asal usul dan sejarah diperoleh dengan mendengarkan narasi yang diceritakan oleh Pak Adjie pada saat pementasan baik pada saat di Karnaval Grebeg Sudiro, Misa Imlek, ataupun pada saat berlatih. Para pemain memiliki pengetahuan yang cukup karena telah dilakukannya briefing pada saat berlatih, hal ini nampak pada saat penulis melakukan observasi di depan Klenteng Pasar Gede dengan keluwesan para pemain untuk melakukan rangkaian ritual yang dilakukan tanpa perintah dan dilakukannya dengan baik dan tepat. 3. Internalisasi Nilai-Nilai Kesenian Barongsai dan Liong a. Sistem Budaya Pemain barongsai dan liong Tripusaka menerapkan kebudayaan Tionghoa hanya untuk misi ritual yang ada. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan diluar keperluan barongsai hanya Ari saja yang melakukannya seperti datang ke misa imlek menggunakan pakaian berwarna merah, dan keinginannya untuk menggunakan adat Tionghoa pada saat dirinya akan menikah nanti. Kebiasaankebiasaan etnis Tionghoa seperti pai, menggunakan dupa saat imlek ataupun di klenteng, sembahyang untuk menghormati para leluhur, juga dilakukan oleh beberapa pemain pada saat akan dilakukannya pementasan barongsai untuk misi ritual saja. Hal ini selaras dengan penemuan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti asal Australia yang berjudul “Intercultural spaces and communication within: An explication”, sesuatu yang menjadi biasa dalam kebiasaan suatu budaya akan berbeda dengan kebiasaan budaya lain dan hal itulah yang menyebabkan seseorang berpikir untuk memutuskan untuk bergabung atau tidak dalam sebuah organisasi atau kelompok yang berbeda budaya Arasaratnam (Australian Journal of Communication, Vol. 39, 2012: 137).
10
b. Sistem Sosial Para pemain dari etnis Jawa sebagian besar merubah pikirannya mengenai etnis Tionghoa, yang awalnya mereka berpikir tentang keburukan dari etnis Tionghoa namun ternyata hal tersebut tidak terbukti saat berkumpul dan setelah mereka mengenal para etnis Tionghoa. Hal ini menyebabkan mereka menjadi mampu untuk menyesuaikan diri dengan permainan kesenian barongsai dan liong serta menyesuaikan diri dengan para pemain dan pembina dari etnis Tionghoa. Hal ini juga selaras dengan temuan dari penelitian yang dilakukan sebelumnya yang menganggap bahwa ruang/tempat/organisasi dapat memberikan pengarahan pada seseorang untuk memiliki kualitas sebagai seorang komunikator antarbudaya yang kompeten (Arasaratnam, Australian Journal of Communication, Vol. 2, 2012: 136). c. Sistem Personalitas Perubahan sifat dan watak pribadi dari masing-masing pemain etnis Jawa terjadi juga dalam diri mereka masing-masing. Hal itu terjadi dengan adanya penuturan dari para narasumber diatas. Hal ini serupa dengan penemuan yang dilakukan Roth, Klaus dan Juliana Roth saat mereka memasukkan materi komunikasi antar budaya kedalam sistem pembelajaran, maka akan memberikan dampak positif bagi para siswa. Perubahan ini mereka pelajari dari cara mereka berinteraksi satu dengan yang lain. Sifat dan perbuatan yang ada diantara mereka, termasuk kebiasaan dan adat yang ada membuat mereka secara alami menyesuaikan diri satu dengan yang lain, hal ini yang membuat mereka dapat menyesuaikan diri satu dengan yang lain. Karena komunikasi antar budaya dapat memberikan dampak positif pada sistem personalitas seseorang Roth, Klaus dan Juliana Roth. (Journal of Folklore Research, Desemberq 1999: 209). d. Sistem Organik Tak dapat dipungkiri lagi, bahwa kesenian barongsai dan liong memerlukan latihan yang cukup lama dan bertahap ini membuat tubuh mereka menjadi semakin sehat dan bugar. Kesenian yang kabarnya akan dimasukkan dalam Pekan Olahraga Nasional (PON) ini merupakan sebuah misi dari kesenian barongsai dan liong. Seluruh pemain yang menjadi narasumber juga merasakan
11
manfaat secara fisik dari kesenian barongsai dan liong ini. Mereka telah menganggap kesenian ini menjadi olahraga sehari-hari yang dimainkan dengan cara unik dan diperlombakan untuk mendapatkan prestasi. 4. The Behavioral Assesment Scale for Intercultural Competence a. Orientasi Pada Pengetahuan (Orientation of Knowledge) Lustig dan Koester (1993: 72) mengatakan, orientasi pengetahuan mengacu pada istilah yang digunakan untuk menjelaskan diri sendiri dan dunia di sekitarnya. Hal ini pun telah diwujudkan oleh para pembina dalam memberikan istilah-istilah yang ada dalam kesenian barongsai dan liong yang menggunakan istilah-istilah mandarin. Melalui wawancara yang dilakukan penulis kepada para pembina
dan
pemain,
membuktikan
bahwa
pembina
memang
jarang
menggunakan istilah-istilah mandarin dalam mengajarkan gerakan-gerakan pada kesenian barongsai dan liong. Sedangkan untuk barongsai, mereka diajarkan oleh para senior, cara pengajarannya pun menggunakan praktek langsung dan melihat yang dilakukan oleh para senior. Sedangkan pembina, khususnya Pak Adjie mengajarkan kebiasaan-kebiasaan etnis Tionghoa yang juga diterapkan dalam permainan barongsai seperti pai, hu, dan wejangan-wejangan. Hal ini diperkuat dengan pendapat Batts, Breslin, Winter yang mengatakan: “The point is that gaining a deeper understanding of these values will help you to improve your intercultural interactions, and help those interactions to be more successful”, (Legal Information Management, Vol 12, Oktober 2012: 279). Semakin seorang pemain barongsai memahami nilai-nilai secara mendalam maka akan membuat mereka semakin berhasil dan komunikasi antar budaya. b. Tampilan Hormat (Display Of Respect) Hubungan yang baik tercipta diantara pembina dengan pemain dari etnis Jawa karena sikap mereka yang saling menunjukkan sikap positif sehingga dapat berkomunikasi komunikasi antar budaya satu dengan yang lain dengan baik. Lustig dan Koester (1993: 72) mengatakan bahwa setiap budaya memiliki cara khusus untuk menunjukkan rasa hormat dan harapan mereka secara spesfik mengenai orang lain, dan kepada siapa penghormatan tersebut harus ditampilkan. Selain secara verbal, pembina juga mewujudkannya dengan cara non verbal
12
melalui kehadiran para pembina saat latihan, pementasan, dan juga perlombaan. Hal ini pun juga memberikan pengaruh besar bagi para pemain. Sedangkan para pemain juga mewujudkan rasa hormat dan perhatiannya melalui bantuan kepada pembina saat misi ritual, dimana para pemain dengan ikhlas membantu bahkan tanpa bayaran. c. Peran Tugas Perilaku (Task Role Behavior) Pembina memiliki inisiatif untuk menyelesaikan masalah dengan cara mencegah segala kemungkinan permasalahan yang terjadi. Hal ini dilakukan dengan cara memperlakukan para pemain dengan sama rata tanpa memandang perbedaan budaya yang ada, hal ini membuat para pemain merasa dihargai dan memberikan
contoh
secara
langsung
bahwa
perbedaan
budaya
tidak
mempengaruhi apapun didalam kelompok barongsai dan liong Tripusaka. d. Toleransi pada Perbedaan (Tolerance for Ambiguity) Seluruh pemain dari etnis Jawa selalu mengikuti ritual yang ada didalam klenteng sebagai wujud toleransi, rasa hormat, dan empati kepada para pembina. Kebudayaan yang berasal dari Tiongkok ini memang tidak dapat lepas dari ritual, hal ini disebabkan oleh karena salah satu misi dari kesenian ini adalah misi ritual. Hal ini yang menyebabkan tidak mungkin jika barongsai dan liong Tripusaka menghilangkan sebuah misi yang penting ini. Oleh karena itulah para pemain wajib untuk mengikuti segala ritual yang ada dalam kesenian ini meskipun tanpa menghayatinya sepenuhnya tanpa menghilangkan identitasnya sebagai etnis Jawa. Toleransi pun juga nampak pada saat latihan dimana para pembina tidak memberikan hukuman melainkan nasihat kepada para pemain junior yang memperlakukan barongsai dengan kurang baik. e. Wujud Interaksi (Interaction Posture) Ketidaksesuaian antara pembina dan pemain etnis Jawa justru selalu mengenai permasalahan teknis, dan itupun disampaikan oleh para pemain secara langsung kepada para pembina. Hal ini dianggap para pemain sebagai sebuah cara untuk mengurangi resiko kesalahpahaman dan dapat menyelesaikan dengan efektif. Bagi para pemain yang menolak untuk melakukan ritual atau kegiatan adat justru memilih untuk menghidar. Lustig dan Koester (1993: 76) mengatakan
13
perwujudan interaksi merupakan kemampuan untuk menanggapi orang lain dengan cara yang deskriptif dan non evaluatif. Hal ini karena penilaian serta evaluasi dapat bervariasi dari budaya ke budaya, pentingnya memilih pesan yang tidak mengandung penilaian evaluatif adalah hal yang terpenting. f. Empati (Emphaty) Wujud empati para pemain dari etnis Jawa diterapkan secara estafet dari senior ke junior hingga saat ini dengan cara memahami dunia (dalam hal ini kebudayaan) etnis Tionghoa. Lustig dan Koester (1993: 73) mengatakan bahwa empati merupakan sebuah kemampuan untuk bersikap seolah-olah mengerti dunia seperti orang lain lakukan. Para pemain yang selalu mengikuti ritual, kebiasaan, merayakan hari raya adat Tionghoa dengan ikhlas, dan mengajak teman untuk ikut serta dalam kesenian barongsai ini agar tetap lestari merupakan wujud empati dari para pemain terhadap apa yang diinginkan dari para pembina. Wujud empati juga dilakukan oleh pembina kepada pemain. Timbal balik yang baik dari kedua belah pihak ini membuat hubungan saling percaya diantara keduanya. g. Menejemen Interaksi (Interaction Management) Lustig dan Koester (1993: 74) mengatakan beberapa individu yang terampil dalam memulai dan mengakhiri interaksi dengan orang lain dari budaya yang berbeda secara bergiliran dan mempertahankan diskusi merupakan individu yang memiliki kompetensi komunikasi antar budaya. Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka membuktikan bahwa dalam kelompok barongsai dan liong Tripusaka tidak ada pihak yang selalu mendominasi percakapan. Dari kedua belah pihak memiliki kesempatan yang sama untuk mengungkapkan pendapat mereka. Setiap percakapan pun juga dilakukan dalam suasana yang santai. Walau terdapat perbedaan antara pemain senior dan junior saat melakukan percakapan dengan pembina. Bahan pembicaraan antara pembina dan pemain pun selalu berkaitan dengan kesenian barongsai dan liong. Baik itu mengenai kostum, alat musik, perlengkapan persiapan atau inovasi-inovasi gerakan dalam permainan. h. Peran Hubungan Perilaku (Relational Role Behavior) Kebersamaan tidak hanya diucapkan oleh pembina, namun juga diterapkan dengan saling membantu untuk mempersiapkan keperluan pentas dan lomba.
14
Seluruh
pemain
tanpa
terkecuali
diwajibkan
untuk
menata
bangku,
mempersiapkan keperluan pentas dan lomba seperti alat-alat dan kostum. Bahkan untuk pembagian honor atau sering disebut ang pao pun juga tidak secara langsung. Namun seluruh ang pao yang diberikan oleh para pengunjung dikumpulkan menjadi satu terlebih dahulu dan setelah itu baru akan dibuka bersama-sama seluruh pemain. Setelah itu pembinalah yang menentukan jumlah uang atau sering juga disebut dengan ang pao ini sesuai beban pekerjaan masingmasing pemain. Kekompakkan, kebersamaan, dan kesamarataan inilah yang membuat kelompok barongsai dan liong Tripusaka ini yang membuat setiap individu dapat mempertahankan hubungan pribadi dengan anggota kelompok yang lain.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisa data yang dilakukan sebelumnya mengenai internalisasi nilai-nilai kesenian barongsai dan liong melalui kompetensi komunikasi antar budaya antara pembina dengan pemain barongsai dan liong dari etnis Jawa di kelompok barongsai Tripusaka, dapat disimpulkan bahwa: 1. Motivasi para pembina untuk membentuk kelompok barongsai dan liong Tripusaka adalah untuk melestarikan kesenian budaya Tionghoa. Sedangkan alasan mereka menerima etnis Jawa utuk bergabung karena bagi mereka asal usul etnis tidak akan mempengaruhi kualitas permainan dan yang terpenting kesenian ini dapat terus eksis. 2. Pengetahuan, tidak semua dari para pembina memahami nilai-nilai kesenian barongsai dan liong secara mendalam karena pembina memiliki peran dan tugas masing-masing. Untuk pembina yang memahami nilai-nilai kesenian dengan baik dan mendalam adalah Pak Adjie, untuk gerakan adalah Pak Heru dan Hananto, dan untuk penyemangat adalah Pak Hasan. Sedangkan pengetahuan para pemain mengenai nilai-nilai kesenian barongsai dan liong serta kebiasaankebiasaannya cukup baik. Hanya kebiasaan-kebiasaan dan pengetahuan yang berhubungan dengan nilai-nilai kesenian barongsai dan liong saja yang dipahami oleh para pemain barongsai dan liong. 15
3. The Behavioral Assesment for Intercultural Competence yang terdiri dari 8 indikator telah dilaksanakan dengan baik tanpa adanya paksaan dan telah enjadi kebiasaan dari para pemain barongsai dan liong beserta para pembina. Hal ini juga dilaksanakan secara estafet dari para pemain yang senior kepada para pemain junior. Hal ini dilakukan secara alamiah dan berjalan apa adanya. 4. Dengan menerapkan The Behavioral Assesment for Intercultural Competence, maka secara alamiah baik disadari ataupun tidak oleh para pemain dari etnis jawa telah terinternalisasi nilai-nilai kesenian barongsai dan liong yang penuh dengan nilai budaya Tionghoa. Hal ini mengakibatkan adanya perubahan pada sistem budaya, sistem sosial, sistem personalitas, dan sistem organik dari para pemain barongsai dan liong yang berasal dari etnis Jawa.
Saran 1. Agar dapat dianggap kompeten dalam melaksanakan komunikasi antar budaya, maka wajib memperhatikan 8 indikator, yaitu pengetahuan mengenai budaya lain, motivasi kita untuk melaksanakannya, orientasi pada pengetahuan (orientation of knowledge), tampilan hormat (display of respect), peran tugas perilaku (task role behavior), toleransi terhadap kerancuan (tolerance for ambiguity),
wujud
interaksi
(interaction
posture),
empati
(emphaty),
menejemen interaksi (interaction management), dan peran hubungan perilaku (relational role behavior). 2. Agar seseorang mampu melakukan internalisasi nilai-nilai maka wajib memperhatikan 4 sistem dalam diri komunikan, yaitu: Sistem Budaya, Sistem Sosial, Sistem Personalitas, dan Sistem Organik. 3. Perbedaan etnis yang terjadi semoga menjadikan Indonesia semakin kaya dan saling melengkapi. Karena Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan etnis. 4. Penelitian mengenai komunikasi antar budaya diharapkan akan terus dilakukan karena komunikasi antar budaya merupakan komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda, sehingga semakin banyak penelitian mengenai komunikasi antar budaya akan memberikan 16
wawasan baru untuk memperluas pengetahuan mengenai komunikasi antar budaya.
Daftar Pustaka Lustig, M. W., & Koester, J. (2003). Intercultural Competence. United States: Pearson Education, Inc. Liliweri, A. (2003). Dasar-Dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Liliweri, A. (2003). Makna budaya dalam komunikasi antarbudaya. Yogyakarta: LKiS, Lustig, M. W., & Koester, J. (2003). Intercultural Competence. United States: Pearson Education, Inc. Arasaratnam, L. A. (2012). " Intercultural spaces and communication within: An explication", Autralian Journal of Communication, hal. 135-141. Arasaratnam, L. (2007). " Empirical research in intercultural communication competence: A review and recommendatio", Australian Journal of Communication, hal. 105-117. Batts, S., Breslin, J., & Winter, S. (Desember 2012). " Communication, Culture and Context: Best Practice for Working Internationally", Legal Information Management Journal of British and Irish Association Of Law Librabrians, hal. 278-283. Roth, K., & Roth, J. (2012) "Intercultural Communication As Applied Ethnology And Folklore", Journal of Folklore Research, III, hal. 206-215, 330-331.
17