BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Konsep Internalisasi Nilai a. Pengertian Internalisasi Internalisasi adalah pola penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005). Pengertian internalisasi tersebut diperkuat dengan pendapat Kartono (2000) yang menyatakan bahwa, “Internalisasi merupakan pengaturan ke dalam fikiran atau kepribadian, perbuatan nilai-nilai, patokan-patokan ide atau praktik-praktik dari orang lain menjadi bagian dari diri sendiri” (hlm. 102). Internalisasi dapat dimaknai sebagai upaya yang dilakukan untuk memasukkan nilai-nilai ke dalam jiwa seseorang, sehingga nilai-nilai tersebut menjadi miliknya (Ihsan, 1997). Upaya internalisasi bukan hanya dapat dilakukan melalui pendidikan agama, tetapi dapat dilakukan pada semua aspek dan jenjang pendidikan. Internalisasi menurut pendapat Reber (1988) sebagaimana dikutip Mulyana mengartikan internalisasi sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang, atau dalam bahasa psikologi
merupakan penyesuaian
keyakinan, nilai, sikap, praktik dan aturan-aturan baku pada diri seseorang (Mulyana, 2004). Pengertian tersebut memiliki makna bahwa pemahaman nilai yang diperoleh harus dapat dipraktikkan dan berimplikasi pada sikap yang sifatnya permanen dalam diri seseorang. Pengertian internalisasi menurut para ahli di atas pada dasarnya memiliki substansi yang sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa internalisasi sebagai proses penanaman nilai ke dalam jiwa seseorang sehingga nilai tersebut tercermin melalui perilaku dalam kehidupan sehari-hari
9
10
b. Tahapan Internalisasi Nilai Tahapan internalisasi nilai melalui kegiatan pembelajaran menurut Muhaimin (1996) adalah sebagai berikut: 1) Tahap Transformasi Nilai Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan yang kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal dan non verbal antara pendidik dan siswa. Transformasi nilai ini sifatnya hanya pemindahan pengetahuan dari pendidik ke siswanya. Nilai-nilai yang diberikan masih berada pada ranah kognitif siswa dan pengetahuan ini dimungkinkan hilang jika ingatan siswa tidak kuat. 2) Tahap Transaksi Nilai Pada tahap ini pendidikan nilai dilakukan melalui komunikasi dua arah yang terjadi antara pendidik dan siswa yang bersifat timbal balik sehingga terjadi proses interaksi. Dengan adanya transaksi nilai, pendidik dapat memberikan pengaruh pada siswa melalui contoh nilai yang telah dijalankan. Disisi lain siswa akan menentukan nilai yang sesuai dengan dirinya. 3) Tahap Tran-Internalisasi Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tetapi juga sikap mental dan kepribadian yang berperan aktif. Dalam tahap ini pendidik harus betul-betul memperhatikan sikap dan perilakunya agar tidak bertentangan dengan apa yang diberikan kepada siswa. Hal ini disebabkan adanya kecenderungan siswa untuk meniru apa yang menjadi sikap mental dan kepribadian gurunya. Tujuan pembelajaran secara garis besar memuat tiga aspek pokok, yaitu knowing, doing, dan being atau dalam istilah umum dikenal dengan aspek kognitif, psikomotor, dan afektif.
Internalisasi merupakan
pencapaian aspek yang terakhir yaitu being (Tafsir, 2006). Penjelasan
11
mengenai ketiga aspek tujuan pembelajaran tersebut adalah sebagai berikut: 1) Mengetahui (knowing) Tugas gurupada aspek ini adalah mengupayakan agar siswa mengetahui suatu konsep. Dalam bidang keagamaan misalnya siswa diajar mengenai pengertian sholat, syarat sah sholat, syarat wajib sholat, rukun sholat, dan tata cara sholat. Guru bisa menggunakan berbagai metode, seperti: diskusi, tanya jawab, dan penugasan. Untuk mengetahui pemahaman siswa mengenai apa yang telah diajarkan, guru melakukan ujian atau memberikan tugas-tugas rumah. Jika nilainya bagus berarti aspek ini telah selesai dan sukses. 2) Mampu Melaksanakan (doing) Guru dapat menggunakan metode demonstrasi untuk mencapai tujuan pada aspek ini. Sebagai contoh pada materi sholat, seorang guru dapat mendemonstrasikan sholat untuk diperlihatkan kepada siswa atau bisa juga dengan memutarkan film tentang tata cara sholat, selanjutnya siswa secara bergantian mempraktikkan seperti apa yang telah dilihat di bawah bimbingan guru. Untuk tingkat keberhasilannya guru dapat mengadakan ujian praktik sholat, dari ujian tersebut dapat dilihat apakah siswa telah mampu melakukan sholat dengan benar atau belum. 3) Menjadi Kepribadian (being) Konsep ini seharusnya tidak sekedar pada nilai karakter menjadi milik siswa, tetapi nilai karakter tersebut menjadi satu dengan kepribadian siswa. Siswa melaksanakan sholat yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari. Ketika sholat telah melekat menjadi kepribadian siswa, seorang siswa akan bersungguh-sungguh untuk menjaga sholatnya dan akan merasa sangat berdosa jika sampai meninggalkan sholat. Jadi siswa melaksanakan sholat bukan karena diperintah atau dinilai oleh guru. Proses pendidikan yang paling sulit ada pada aspek ini, karena pada aspek being tidak dapat diukur dengan cara yang diterapkan pada
12
aspek knowing dan doing. Aspek ini lebih menekankan pada kesadaran siswa untuk mengamalkannya. Selain melalui proses pendidikan di sekolah perlu adanya kerja sama dengan pihak orang tua siswa, mengingat waktu siswa lebih banyak digunakan di luar sekolah. Kesadaran seseorang dalam melakukan suatu tindakan tertentu akan muncul tatkala tindakan tersebut telah dihayati (terinternalisasi). 2. Pendidikan Nilai Karakter a. Pengertian Pendidikan Nilai Karakter Pada dasarnya pendidikan nilai karakter dirumuskan dari tiga pengertian dasar yang terkandung dalam istilah pendidikan, istilah nilai, dan istilah karakter. Ketika ketiga istilah itu disatukan, arti ketiganya menyatu dalam definisi pendidikan nilai karakter. Pengertian pendidikan sesuai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara (hlm. 1). Nilai berasal dari bahasa latin vale’re yang artinya berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, sehingga nilai diartikan sebagai sesuatu yang dipandang baik, bermanfaat, dan paling benar menurut keyakinan seseorang atau sekelompok orang. Pengertian nilai adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu disukai, diinginkan, dikejar, dihargai, berguna dan dapat membuat orang yang menghayatinya menjadi bermartabat (Adisusilo, 2012). Berbeda dengan pendapat Adisusilo, Najib (2014) berpendapat, “Nilai adalah segala hal yang berhubungan dengan tingkah laku manusia mengenai baik atau buruk yang diukur oleh agama, tradisi, etika, moral dan kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat” (hlm. 87). Pengertian karakter menurut Scerenco (1977) menyatakan bahwa dalam karakter merupakan atribut atau ciri-ciri yang membentuk dan
13
membedakan ciri pribadi, ciri etis, dan kompleksitas mental dari seseorang, atau kelompok atau bangsa (Samani, 2012: 42). Pengertian karakter menurut Kertajaya (2010) dalam Grow with Character: The Model Marketing menyatakan bahwa: Karakter adalah “ciri khas” yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah “asli” dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespons sesuatu. Ciri khas ini pun yang diingat oleh orang lain tentang orang tersebut, dan menentukan suka atau tidak sukanya mereka terhadap sang individu (hlm. 3). Karakter memungkinkan perusahaan atau individu untuk mencapai pertumbuhan yang berkesinambungan karena karakter memberikan konsistensi, integritas dan energi. Orang yang memiliki karakter yang kuat, akan memiliki momentum untuk mencapai tujuan. Disisi lain, orang yang karakternya mudah goyah, akan lebih lambat untuk bergerak dan tidak bisa menarik orang lain untuk bekerjasama dengannya. Karakter dapat dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan setiap akibat dari keputusannya (Hidayatullah, 2009). Berdasarkan ketiga rumusan pengertian di atas tentang pendidikan, nilai, dan karakter dapat disimpulkan bahwa pendidikan nilai karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan karakter mulia dari siswa dengan
mempraktikkan
dan
mengajarkan
nilai-nilai
moral
dan
pengambilan keputusan yang beradab dalam hubungan dengan sesama manusia maupun hubungannya dengan Tuhannya. Di dalam pendidikan karakter terjadi proses pemberian tuntutan kepada siswa untuk menjadi manusia yang seutuhnya yang berkarakter dalam dimensi hati, pikir, raga serta rasa dan karsa.
14
b. Tujuan Pendidikan Nilai Karakter Tujuan paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi baik dan pintar. Dalam sejarah Islam, Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, nabi terakhir dalam ajaran Islam, juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (Majid, 2012). Maksudin (2013) mengemukakan bahwa,“pendidikan karakter diselenggarakan untuk mewujudkan manusia yang berakhlak mulia dan bermoral baik sehingga kelangsungan hidup dan perkembangan manusia dapat dijaga dan dipelihara” (hlm. 58-59). Selanjutnya menurut Mulyasa (2012) pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pendidikan yang mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia siswa secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan pada setiap satuan pendidikan. Melalui pendidikan
karakter,
meningkatkan
dan
siswa
diharapkan
menggunakan
mampu
pengetahuannya,
secara
mandiri
mengkaji
dan
menginternalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam aktivitas sehari-hari. c. Metode Membangun Karakter 1) Keteladanan Dari sekian banyak metode membangun dan menanamkan karakter, metode inilah yang paling kuat. Karena keteladanan memberikan gambaran secara nyata bagaimana seseorang harus bertindak. Keteladanan berarti kesediaan setiap orang untuk menjadi contoh dan miniatur yang sesungguhnya dari sebuah perilaku. 2) Penggunaan Metafora Penggunaan
metafora
yaitu
menggunakan
metode
pengungkapan cerita yang diambil dari kisah-kisah nyata ataupun kisah
inspratif
lainnya
yang
disampaikan
secara
rutin
kepada setiap orang dalam institusi tersebut (murid dan guru)
15
dan penyampaian kisah motivasi inspiratif dapat pula selalu diikutsertakan pada setiap proses pembelajaran. 3) Penanaman dan Penegakan Kedisiplinan Disiplin pada hakikatnya adalah suatu ketaatan yang sungguhsungguh yang didukung oleh kesadaran utuk menunaikan tugas kewajiban serta berperilaku sebagaimana mestinya menurut aturanaturan atau tata kelakuan yang seharusnya berlaku di dalam lingkungan tertentu (Hidayatullah, 2009). Kedisiplinan menjadi alat yang ampuh dalam mendidik karakter. Menanamkan prinsip agar siswa memiliki pendirian yang kokoh merupakan bagian
yang sangat
penting dari
strategi
menegakkan kedisiplinan. Dengan demikian penegakan disiplin dapat juga diarahkan pada penanaman nasionalisme, cinta tanah air, dan semangat kebangsaan. 4) Pembiasaan Terbentuknya karakter memerlukan proses yang relatif lama dan terus menerus dan pendidikan karakter tidak cukup hanya diajarkan melalui mata pelajaran di kelas, tetapi sekolah dapat juga menerapkannya melalui pembiasaan. Kegiatan pembiasaan secara spontan dapat dilakukan misalnya saling menyapa, baik antar teman, antar guru maupun antara guru dengan murid. Pembiasaan diarahkan pada upaya pembudayaan pada aktivitas tertentu sehingga menjadi aktivitas yang terpola atau tersistem. 5) Menciptakan suasana yang kondusif Lingkungan dapat dikatakan merupakan proses pembudayaan siswa dipengaruhi oleh kondisi yang setiap saat dihadapi dan dialami siswa. Demikian halnya menciptakan suasana yang kondusif di sekolah merupakan
upaya
membangun
kultur
atau
budaya
yang
memungkinkan untuk membangun karakter, terutama berkaitan dengan budaya kerja dan belajar di sekolah.
16
6) Integrasi dan Internalisasi Pendidikan karakter membutuhkan proses internalisasi nilainilai. Untuk itu diperlukan pembiasaan diri untuk masuk ke dalam hati agar tumbuh dari dalam. Nilai-nilai karakter seperti menghargai orang lain, disiplin, jujur, amanah, sabar dan lain-lain dapat diintegrasikan dan diinternalisasikan ke dalam seluruh kegiatan sekolah baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun kegiatan yang lain. 3. Shalahuddin al-Ayyubi Kaum
muslim
menghormati
Shalahuddin
al-Ayyubi
karena
kecerdasan, kesantunan, dan kecermelangannya sebagai jenderal yang menegakkan Kesultanan Ayyubiyah, menyatukan kekuatan-kekuatan Islam, menundukkan tentara Salib dan merebut kembali kota suci Yerussalem. Namun,
musuh-musuhnya
menghormatinya
karena
kekuatan
militer,
kebanggaan, dan kemurahan hatinya. Bahkan umat Kristen abad ke-12 yang percaya bahwa memeluk agama Kristen adalah syarat utama menjadi Ksatria sejati, memujinya sebagai “sang ksatria kafir”. a. Ketokohan dan Keteladanan Ketokohan berasal dari kata tokoh, yang artinya pemimpin yang baik yang dapat dijadikan contoh dan dapat diteladani sifat-sifat baiknya atau dengan kata lain tokoh adalah seseorang yang terkemuka atau kenamaan di bidangnya atau seseorang yang memegang peranan penting dalam suatu bidang atau aspek kehidupan tertentu dalam masyarakat. Jadi, dalam kata “ketokohan” yang berawal dari kata “ke” dan akhiran “an” dapat didefinisikan sebagai seseorang yang diakui dirinya memiliki sifat yang bisa dijadikan contoh oleh orang lain (Nashih, 1992). Untuk menjadi seseorang yang memiliki ketokohan di masyarakat, tentu tidak serta merta seseorang menjadi tokoh, tetapi karena ada suatu peran atau suatu hal yang menyebabkan seseorang tersebut menjadi tokoh.
17
Umar (2013) menjelaskan bahwa seseorang menjadi tokoh atau ditokohkan karena beberapa faktor yaitu: 1) Kiprahnya di masyarakat sehingga yang bersangkutan ditokohkan oleh masyarakat yang berada di lingkungannya. Dengan ketokohannya itu, maka masyarakat memilihnya untuk menduduki posisi penting di masyarakat. 2) Memiliki kedudukan formal (pejabat) di pemerintahan. Ketokohannya menyebabkan ia dihormati, dipanuti, dan diteladani oleh masyarakat. 3) Mempunyai ilmu yang tinggi dalam bidang tertentu atau dalam berbagai bidang sehingga masyarakat dan pemimpin pemerintahan dari tingkatan paling bawah sampai ke atas selalu meminta pandangan dan nasihat kepadanya. Karena kepakarannya, maka yang bersangkutan diberi kedudukan dan penghormatan yang tinggi, kemudian disebut tokoh masyarakat. 4) Ketua
partai
bersilaturrahim
politik kepada
yang
dekat
msyarakat,
dengan
masyarakat,
menyediakan
waktu
rajin untuk
berinteraksi dengan masyarakat, suka menolong masyarakat ketika diminta ataupun tidak. 5) Usahawan/pengusaha yang rendah hati, suka berzakat, berinfak, bersedekah, peduli kepada masyarakat, serta suka bersilaturrahim. Dari berbagai pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ketokohan seseorang itu muncul sebagai akibat atas jabatan, kekayaan, tingkat keilmuan seseorang, sikap, serta prestasi atau kontribusi besar yang telah ia lakukan di lingkungannya dan bermanfaat bagi masyarakat. Keteladanan berasal dari kata dasar “teladan” yang berarti sesuatu atau perbuatan yang patut ditiru atau di contoh (Nashih, 1992). Arief (2002) mendefinisikan keteladanan sebagai berikut: Teladan dalam terminologi al-Qur’an disebut dengan istilah uswah atau iswah atau dengan kata al-qudwah dan al-qidwah yang memiliki arti suatu keadaan ketika seseorang manusia mengikuti manusia lain. Jadi “keteladanan” adalah hal-hal yang ditiru atau dicontoh oleh seseorang dari orang lain (hlm 81).
18
Menurut Hidayatullah (2009) setidak-tidaknya ada tiga unsur agar seseorang dapat menjadi teladan yaitu: 1) Kesiapan untuk Dinilai dan Dievaluasi Kesiapan untuk dinilai berarti adanya kesiapan menjadi cermin bagi dirinya maupun orang lain. Kondisi ini akan berdampak pada kehidupan sosial di masyarakat, karena ucapan sikap dan perilakunya menjadi sorotan dan teladan. 2) Memiliki Kompetensi Minimal Seseorang akan menjadi teladan jika memiliki ucapan, sikap, dan perilaku yang layak untuk diteladani. Oleh karena itu, kompetensi yang dimaksud adalah kondisi minimal ucapan, sikap, dan perilaku yang harus dimiliki seseorang sehingga dapat dijadikan cermin bagi dirinya maupun orang lain. 3) Memiliki Integritas Integritas adalah adanya kesamaan antara ucapan dan tindakan atau satunya kata dan perbuatan. Inti dari integritas adalah terletak pada kualitas istiqomahnya. Pengejawantahan istiqomah adalah berupa komitmen dan konsistensi terhadap sikap-sikap yang baik dan tugas yang diembannya. b. Biografi Shalahuddin al-Ayyubi Shalahuddin al-Ayyubi merupakan seorang pejuang dan pemimpin Islam yang dikenal dalam perang Salib. Selain dikenal di dunia muslim dan Kristen karena kepemimpinan, kekuatan militer, serta sifatnya yang ksatria dan pengampun, Shalahuddin al-Ayyubi merupakan panglima Islam yang membebaskan tanah suci Palestina dari genggaman pasukan Salib. Sampai saat ini, namanya tetap diagung-agungkan, baik di dunia Islam maupun non Islam.
19
Shalahuddin al-Ayyubi memiliki nama asli Abul Muzhaffar Yusuf bin Najmuddin bin Ayyub bin Syaadi yang lahir pada tahun 532 H atau 1137 M. Shalahuddin al-Ayubi adalah panggilan akrabnya. Shalahuddin merupakan nama gelarnya, sedangkan al-Ayyubi ialah nisbat keluarganya. Shalahuddin al-Ayyubi juga dipanggil dengan gelar Sultan al-Malik anNashir (Raja Sang Penakluk). Shalahuddin al-Ayyubi berasal dari sebuah keluarga suku Kurdi yang memiliki asal usul mulia dan sangat terhormat. Keluarga ini berasal dari keturunan yang terhormat secara nasab dan klan. Al-Ayyubiyun adalah mereka yang berasal dari keturunan Ayyub bin Syaadi, yang menurut Ibnu Katsir dinyatakan sebagai suku Kurdi yang paling terhormat. Sebab, selain karena tidak seorang pun dari keturunan ini pernah mengalami perbudakan, juga karena ayah Shalahuddin, serta pamannya Asaduddin Shirkuh, ketika datang ke Irak maupun ke Syam tidak pernah berstatus sebagai rakyat biasa; tetapi keduanya selalu menduduki posisi dan kedudukan yang tinggi, karena pengalaman mereka dalam urusan politik dan administrasi
(Ash-Shalabi, 2015). Ayahnya bernama
Najmuddin Ayyub. Shalahuddin al-Ayyubi lahir ketika ayahnya menjadi salah satu penguasa Seljuk di Tikrit. Waktu itu pemimpin besar yang berkuasa di Seljuk bernama Imaduddin az-Zanki. Gubernur Seljuk untuk kota Mosul, Irak. Imaduddin az-Zanki sangat memuliakan keluarga Najmuddin. Shalahuddin al-Ayyubi tumbuh di lingkungan yang penuh keberkahan dan kerabat yang terhormat (Aizid, 2015). Shalahuddin al-Ayyubi di Eropa lebih dikenal dengan nama Saladin, berarti “Iman yang Lurus, Saleh”. Shalahuddin al-Ayyubi merupakan pendiri Dinasti Ayyubiah di Mesir pada tahun 1175 M. Dinasti Ayyubiyah yang didirikan memperoleh nama dari ayahnya Najmuddin Ayyub. Shalahuddin al-Ayyubi dididik di Damaskus, di Istana Nuruddin di mana Shalahuddin al-Ayyubi mempelajari tata bahasa Arab, retorika, dan teologi Islam. Sejak muda, Shalahuddin dikenal sebagai laki-laki yang santun dan amat cerdas, pandai bercakap-cakap, paham tradisi suku-suku
20
Arab, ahli silsilah keluarga-keluarga Arab terbaik, dan pemain polo tanpa tanding. Shalahuddin al-Ayyubi juga memperoleh pendidikan militer yang sangat baik, mengabdi mengiringi pamannya Asaduddin Shirkuh, Jenderal utama Nuruddin. Asaduddin dan Shalahuddin menyerang Mesir tiga kali pada tahun 1160-an. Dalam serangan ketiga ke Mesir, Shalahuddin membantu
pamannya
menggulingkan
wazir
Fatimiyah,
Shawar,
menjadikan Shirkuh wazir, dan kemudian Shalahuddin al-Ayyubi menggantikan pamannya saat meninggal tiga bulan kemudian (Bukhori dan Seddon, 2010). Shalahuddin al-Ayyubi yang tampil memimpin tentara Islam, sangat
mengejutkan
pasukan
Salib,
apalagi
setelah
kemenangan
Shalahuddin menguasai Baitul Maqdis pada tahun 1187. Pada peperangan yang terjadi di Hatim, Shalahuddin tampil sebagai seorang pimpinan perang yang tangguh dan berani. Yahya Harun menganalogikan keberanian Shalahuddin di medan perang dengan istilah “Singa yang hendak menerkam mangsanya”. Di bawah pimpinan Shalahuddin alAyyubi, pertempuran yang terjadi di Hatim mendesak tentara Salib untuk mundur dan akhirnya tentara Salib bercerai berai dengan menanggung kekalahan yang tidak terkira. Sepuluh ribu di antara pasukan Salib meninggal dunia. Para pemimpin dan jenderal-jenderal tentara Salib sebagian besar ditawan oleh Shalahuddin termasuk di dalamnya Guy de Lusiguon, raja Baitul Maqdis. Negeri Akka Nabbelis, Yaffa, Beirut dan beberapa kota lainnya serta semua benteng pertahanan yang penting, telah terbuka pintunya bagi pasukan Islam dengan tanpa ada perlawanan. Setelah Shalahuddin menguasai Baitul Maqdis, barulah menampakkan kehormatan dan sifat kasih sayangnya dengan membebaskan para tawanan setelah bersumpah tidak akan mengadakan perlawanan lagi dan semua kekuasaan kaum Salib akan diserahkan kepada Shalahuddin. Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Shalahuddin alAyyubi telah mengembalikan citra Islam yang sudah terpuruk melalui
21
keberhasilan-keberhasilannya
memukul
mundur
pasukan
Salib.
Kesuksesan Shalahuddin dalam peperangan demi peperangan melawan pasukan Salib merupakan barometer bagi pemimpin-pemimpin tentara Islam sesudah periode Shalahuddin dalam mengusir pasukan Salib dari dunia Islam (Syukur, 2011). Karakteristik sifat yang dimiliki oleh Shalahuddin al-Ayyubi adalah dari sekian perang yang dilalui, Shalahuddin memiliki sikap kemanusiaan yang luar biasa manusiawi tanpa membedakan asal, keturunan, dan agama yang dipeluk oleh orang yang meminta bantuannya serta terhadap para musuh dan tawanan perangnya. Hal ini terlihat saat memasuki Baitul Maqdis setelah perang salib selesai, Shalahuddin alAyyubi tidak memberikan hukuman kepada orang-orang musyrikin, tetapi memberikan
amnesti
(keringanan).
Shalahuddin
al-Ayyubi
juga
membebaskan suami-suami dari para istri di Baitul Maqdis yang menjadi tawanan perang, karena para istri menyampaikan keluh kesahnya kepada Shalahuddin al-Ayyubi. Sifat manusiawi Shalahuddin al-Ayyubi juga ditunjukkan kepada Raja Eropa (Raja Richard) yang sedang sakit. Shalahuddin al-Ayyubi mengutus orang yang pandai mengobati penyakit untuk mengobatinya dan juga mengirimkan makanan untuk istri dan anakanak raja Richard (Ash-Shayim, 2003). c. Bentuk-Bentuk Ketokohan dan Keteladanan Shalahuddin al-Ayyubi Shalahuddin al-Ayyubi merupakan tokoh pemimpin Islam yang sangat dihormati dan diagungkan bukan hanya oleh umat Islam tetapi juga oleh orang-orang Barat. Nama Shalahuddin al-Ayyubi semakin masyhur setelah perang Salib dengan kemenangan kaum muslimin yang berhasil membebaskan Baitul Maqdis dari tentara Salib. Keteladanan dan ketokohan Shalahuddin al-Ayyubi
sangat melekat dalam benak umat
Islam ataupun musuh-musuhnya dengan perangai yang sangat baik, berani, pemaaf, toleransi, santun, sabar, dan penuh kasih sayang terhadap siapapun.
22
Menurut
Ash-Shalabi
(2015)
keteladanan
dan
ketokohan
Shalahuddin al-Ayyubi dapat dilihat dari beberapa peristiwa sebagai berikut: 1) Shalahuddin al-Ayyubi ketika naik menjadi khalifah, mewarisi dari gurunya (Nuruddin) tugas penting terkait pelaksanaan dan pengamanan jalur Haji. Maka pada tahun 562 H, Shalahuddin al-Ayyubi memerintahkan penghapusan upeti yang sebelumnya dipungut dari orang-orang melalui laut Merah di Jeddah. Shalahuddin al-Ayyubi juga memberikan kompensasi kepada pejabat Makkah sebanyak 8.000 irdab gandum setiap tahunnya dan diangkut juga dalam jumlah yang sama untuk dibagikan kepada para penghuni rumah sakit di Makkah, sebagaimana telah menyerahkan pula berbagai bentuk wakaf untuk para jamaah Haji dan kepentingan dua Tanah Suci, tujuannya adalah untuk meringankan beban biaya jamaah Haji selama menunaikan kewajiban. Kebijakan tersebut diikuti pula oleh kebijakan Shalahuddin untuk menghapuskan berbagai jenis pungutan (pajak-pajak ilegal yang biasanya ditarik dari para pedagang) dari jamaah Haji, sehingga pelaksanaan Haji menjadi lebih mudah setelah sebelumnya hampir terhenti dan para jamaah tidak mampu untuk menunaikan kewajiban Haji. Semua jasa ini yang telah diberikan oleh Shalahuddin untuk para jamaah haji di Baitullah Al-Haram telah menempatkan Shalahuddin sebagai penjaga Dua Tanah Suci yang mulia. Al-Haramain AsSyarifain. Hal ini pembuktian tanggung jawab kepemimpinan secara politik atas dunia Islam seluruhnya. Dunia Islam sangat terkesan dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh Shalahuddin, maka tidak heran begitu nama Shalahuddin disebut dalam do’a yang dipanjatkan di atas mimbar di Dua Tanah Suci setelah disebut nama Khalifah Abbasiyah dan gubernur Makkah, serentak seluruh lidah berucap “amin, amin, amin” dari berbagai sudut Masjid Suci. 2) Shalahuddin bukan tipe pemimpin yang gampang menumpahkan darah atau menuntut balas dendam terhadap para tawanan dari pasukan salib,
23
meskipun pada dasarnya mereka datang sebagai penjajah di negerinegeri Muslim. Shalahuddin al-Ayyubi melarang anak-anaknya membunuh para tawanan, supaya tidak tumbuh di dalam diri mereka insting menumpahkan darah. Jika
pada anak-anak telah terbiasa
membunuh para tawanan, sedangkan usia masih muda belia, dikhawatirkan kelak anak-anak akan melakukan itu tanpa membedakan antara orang muslim dan kafir. Pada tahun 587 H (1191 M) dihadirkan sebanyak 40 tawanan salib dari Bierut ke hadapan Shalahuddin. Diantara tawanan ada seorang tua yang terkena tikaman di giginya, sehingga tidak tersisa di mulutnya satu geraham pun. Saat melihat orang tua itu, Shalahuddin merasa terharu, kemudian membebaskannya dan mengembalikannya ke barisan musuh dengan menunggangi seekor kuda. 3) Shalahuddin al-Ayyubi bersikap dermawan dalam urusan harta. Shalahuddin memberikan banyak hadiah dan hibah kepada para pengikutnya, para delegasi yang datang kepadanya, orang-orang mau tunduk kepada pemerintahannya, dan lain-lain. Shalahuddin al-Ayyubi bersikap toleran kepada seluruh negeri yang telah ditaklukkan dengan memaafkan hutang-hutang pajak, menghapuskan berbagai pungutan dan pemerasan, selain retribusi-retribusi yang sah secara syariat. Semua ini telah memainkan peranan penting dalam menarik hati semua orang ke dalam barisan Shalahuddin, serta mengbungkam lawanlawannya. 4) Pasca penaklukkan Baitul Maqdis, Shalahuddin memasuki Baitul Maqdis dan memenuhi janjinya. Shalahuddin al-Ayyubi menerapkan nilai tebusan yang rendah untuk para tawanan, sebagai imbalan atas mereka yang keluar dari Baitul Maqdis secara aman, namun tetap saja masih banyak yang tidak mampu membayar tebusan dirinya. Setelah 40 hari ditunggu, mereka belum juga membebaskan diri, jadilah mereka tawanan. Sedikit saja orang-orang kaya kaum salib yang membantu pembayaran tebusan itu. Patrick Hiraklius keluar dari Baitul
24
Maqdis dengan membawa simpanan besar, tanpa peduli nasib orangorang kecil. Mungkin itulah penyebab hilangnya ikatan kekeluargaan dan kesatuan di antara sesama kaum salib pada waktu itu. Selain itu sangat nampak pula sikap penghormatan dan toleransi Shalahuddin kepada istri-istri dan anak-anak para ksatria salibis yang terbunuh atau tertawan dalam peperangan. Shalahuddin menanyakan kondisi istriistri dan apa yang mereka inginkan. Kemudian dikatakan kepada Sultan: “Wanita-wanita itu meminta belas kasihan.” Lalu Shalahuddin pun mengasihi mereka, mempersilahkan bagi mereka untuk mencari suaminya yang masih hidup, lalu membebaskan mereka, membiarkan mereka pergi kemana saja sesuai keinginan mereka. Adapun bagi wanita-wanita yang suaminya dan orang tuanya telah wafat, Shalahuddin memerintahkan untuk memberikan kepada mereka simpanan pribadinya sesuai dengan kehidupan dan tempat tinggal mereka, sehingga lidah wanita-wanita itu tak hentinya berdoa untuk kebaikan Shalahuddin. 5) Ketika Akka di kepung oleh kekuatan salibis, terjadi sebuah peristiwa unik. Sejumlah besar orang-orang Eropa meminta perlindungan kepada Sultan Shalahuddin. Mereka melakukan itu karena lapar. Mereka berkata, “Kami ingin menaklukkan lautan dengan kapal kecil, untuk merampok harta musuh (sesama kaum Eropa). Hasil rampokan nanti sebagian untuk kami dan sebagaian untuk Muslimin.” Sultan mengabulkan permintaan mereka dan memberikan mereka kapal kecil. Orang-orang itu berhasil merampas sebuah kapal pedagang Eropa. Barang dagangannya sebagian besar perak berbentuk perhiasan dan benda-benda. Mereka juga menawan para pedagang dan membawanya ke hadapan Sultan. Sultan bersikap simpatik, beliau serahkan semua harta itu ke tangan mereka. Sultan tidak hendak mengambilnya sedikit pun. Mereka sangat memuji Sultan atas kemurahan hatinya. Separuh dari mereka masuk Islam dan memberikan hadiah meja perak ukuran besar, dilengkapi gelas, piring, dan lainnya. Kalaulah perak-perak itu
25
ditimbang, beratnya hampir satu kwintal. Mereka menghadiahkan itu sebagai tanda penghormatan. 6) Sikap Sultan Shalahuddin al-Ayyubi terhadap Raja Richard sangat belas kasih, toleran, dan mudah diajak kompromi dalam perundingan damai. Bahkan akhlak mulianya dikenal oleh para pemimpin salibis Eropa, sehingga tidak henti-hentinya mereka menawarkan jalan perundingan
damai.
Richard
sendiri
dalam
kondisi
sakitnya
mengajukan permintaan hadiah-hadiah konsumsi, untuk pemulihan dari sakit. Shalahuddin memenuhi, bahkan Shalahuddin al-Ayyubi juga mengirimkan dokter untuk mengobati penyakit Richard. Kekerasan hati Richard dibalas dengan kelembutan hati Shalahuddin. Inilah yang dengan izin Allah behasil meluluhkan hati Raja Inggris itu, sehingga Richard menyepakati perjanjian Ramalah, sebagai akhir dari episode panjang invasi kaum Salib di Syam. d. Karakter Mulia Shalahuddin al-Ayyubi Shalahuddin al-Ayyubi merupakan salah satu khalifah dan panglima perang terbaik yang tercatat dalam sejarah perjuangan umat Islam untuk menegakkan kalimat Allah. Keberhasilannya dalam membebaskan Baitul Maqdis dan mewujudkan berbagai tujuan agung tidak lepas dari pribadi Shalahuddin al-Ayyubi yang memiliki karakterkarakter mulia, antara lain: tekun beribadah, adil dan penyayang, pemberani dan penyabar, penuh pengertian dan pemaaf, toleransi, cinta syair dan satra serta zuhud dan dermawan (Nashih, 2012). Menurut Ash-Shalabi dalam Shalahuddin al-Ayyubi Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis (2015) menyatakan bahwa: Pribadi Shalahuddin al-Ayyubi menjadi istimewa dengan keseimbangan moral luar biasa yang membantunya dalam mewujudkan berbagai tujuan agung. Di antara sifat itu adalah: keberanian, kemurahan, kesetiaan, toleransi, santun, adil, pemaaf, ksatria, sangat bergantung kepada Allah, kecintaan kepada jihad, kesabaran, kepasrahan, kesungguhan menuntut ilmu, dan sikap rendah hati (hlm. 303).
26
Secara lebih rinci tentang karakter mulia Shalahuddin al-Ayyubi akan dijelaskan sebagai berikut: 1) Ketakwaan dan Ketekunan Beribadah a) Tekun Shalat Berjamaah Shalahuddin sangat rajin melaksanakan shalat berjamaah. Konon, selama bertahun-tahun tidak pernah mengerjakan shalat kecuali
dengan
berjamaah.
Sampai-sampai
ketika
sakit,
Shalahuddin al-Ayyubi memanggil imam sendiri dan memaksakan diri berdiri untuk melaksanakan shalat secara berjamaah. Tekun mengerjakan shalat-shalat sunnah dan rawatib. Mengerjakan beberapa rakaat shalat saat terbangun di waktu malam; dan jika tidak, mengerjakannya menjelang Shubuh. Shalahuddin al-Ayyubi tidak pernah meninggalkan shalat selama akalnya masih berfungsi. b) Rajin Membayar Zakat Shalahuddin
al-Ayyubi
pada
waktu
wafatnya
tidak
ditemukan adanya catatan kewajiban zakat yang harus dibayarkan. Sedekah nafilah (sunnah) telah menghabiskan seluruh harta benda yang dimilikinya. Shalahuddin al-Ayyubi memiliki apa yang seharusnya dimilikinya, namun ketika wafat, ternyata tidak meninggalkan emas dan perak kecuali 47 Dirham Nashiriyah dan satu gram emas. Shalahuddin al-Ayyubi tidak meninggalkan harta yang lain, tidak pula rumah, property, kebun, sawah, atau apapun yang bisa dimiliki orang. c) Gemar Mendengarkan Al-Qur’an Shalahuddin
sangat
gemar
mendengarkan
bacaan
Al-Qur’an yang agung, sampai-sampai Shalahuddin al-Ayyubi mensyaratkan seorang imam shalat yang menguasai ilmu-ilmu AlQur’an dan bagus hafalannya. Shalahuddin al-Ayyubi meminta orang yang hadir ke kemahnya di waktu malam untuk membacakan Al-Qur’an sebanyak 2, 3 sampai 4 juz, sementara ia tekun mendengarkan.
27
2) Adil Adil adalah termasuk di antara sifat-sifat kepemimpinan paling menonjol dari Shalahuddin al-Ayyubi. Shalahuddin al-Ayyubi percaya bahwa sifat adil merupakan salah satu dari undang-undang Allah di alam semesta. Keyakinannya bahwa adil merupakan buah dari keimanan. Shalahuddin mempelajari semua itu dari guru besarnya yang telah memperbarui rambu-rambu keadilan yang diikuti jejaknya, yaitu Sultan Nuruddin Mahmud Zanki. Salah satu bukti dari sifat adil Shalahuddin al-Ayyubi adalah selalu begadang untuk mengurai berbagai kepentingan rakyatnya, menghapus berbagai pungutan dan pajak untuk meringankan beban masyarakat dan menghilangkan kedzaliman dari pundak mereka. 3) Berani Keberanian merupakan sifat paling terpuji yang harus disandang seorang penguasa. Shalahuddin al-Ayyubi termasuk di antara pemimpin yang pemberani, amat kuat jiwanya, perkasa dan sangat teguh hatinya; serta tidak dapat ditakut-takuti oleh apapun. Shalahuddin al-Ayyubi hanya takut kepada Allah. Shalahuddin al-Ayyubi selalu berada di garda terdepan sebagai pemimpin pasukan dalam setiap kali peperangan. Shalahuddin al-Ayyubi juga selalu berkeliling melakukan patroli di antara dua barisan ketika perang sedang sengit sambil membawa unta, Shalahuddin mengecek kondisi pasukannya dan berusaha menerobos pasukan dari sayap kanan hingga ke sayap kiri sambil merapatkan barisan dan memerintahkan mereka untuk maju dan berhenti di tempat-tempat yang dapat dilihatnya. Shalahuddin selalu berdekatan dengan musuh dan berdampingan dengannya. 4) Dermawan Shalahuddin
al-Ayyubi
terkenal
dengan
kemurahannya.
Shalahuddin pernah membagi-bagikan permata dan harta benda yang dimiliki oleh Dinasti Fathimiyah kepada para pejabat dan sahabat-
28
sahabatnya, dan tidak menyisakan sesuatupun untuk dirinya. Shalahuddin al-Ayyubi menghibahkan lahan pertanian di beberapa daerah. Ketika membebaskan Amid, Kalij Arselan meminta wilayah tersebut kepadanya, dan Shalahuddin memberikannya. Shalahuddin al-Ayyubi memberi di waktu susah, sebagaimana memberi di waktu luang. Shalahuddin al-Ayyubi apabila mengetahui bahwa ada harta di dalam kasnya, maka malam harinya merasa tidak tentram sampai harta tersebut dibagi-bagikan dengan senang hati. Apabila Shalahuddin al-Ayyubi memberi uang kepada seseorang, lalu orang yang diberi mengatakan, bahwa jumlah itu tidak cukup, maka menambahinya hingga berlipat ganda. Setiap kali melihat seorang berusia lanjut, Shalahuddin al-Ayyui langsung tersentuh hatinya, lalu memberinya, dan memperlakukannya dengan baik. 5) Pemaaf dan Sabar Santun merupakan tanda bagusnya akhlak dan alamat tingginya kemauan. Shalahuddin al-Ayyubi adalah seseorang yang santun. Sering sekali memaafkan orang-orang yang memiliki kesalahan. Shalahuddin al-Ayyubi adalah seorang yang baik budinya, sangat sabar menghadapi apa yang tidak disukainya, dan kerap kali Shalahuddin pura-pura tidak mengetahui dosa-dosa pelakunya. Sebagai contoh kisah berikut ini, suatu hari ketika Shalahuddin al-Ayyubi duduk, seorang budak melempari budak yang lain dengan sepatu, tetapi lemparannya meleset dan mengenai Sultan Shalahuddin, lalu jatuh tidak jauh darinya. Ternyata Sultan malah berpaling ke arah lain, purapura tidak tahu kejadian itu. Setelah itu, Sultan tidak marah, tetapi sikapnya tetap ramah seperti biasa. Shalahuddin al-Ayyubi merupakan pemimpin yang selalu dekat dengan rakyatnya, sering memaafkan dan mudah bergaul. Tidak pernah bersikap sombong kepada seorang pun ataupun sahabatsahabatnya dan selalu bersikap sabar terhadap apa yang tidak disukai.
29
6) Panutan bagi Rakyat Shalahuddin al-Ayyubi menjadi teladan yang baik bagi rakyat dan pengikutnya. Shalahuddin al-Ayyubi memulai pekerjaan dengan dirinya, kemudian mengajak orang lain untuk mengikutinya. Tindakannya ini tumbuh dari pemahaman yang bersih. Hal itu karena Shalahuddin al-Ayyubi memahami betul bahwa kedudukan tertinggi dalam masyarakat mana pun adalah terletak pada tanggung jawab pekerja. Pekerjaan menjadi dasar penghargaan bagi individu maupun masyarakat, dan merupakan poros berbagai hubungan sosial. Disebabkan inilah, Shalahuddin al-Ayyubi dicintai oleh semua orang, kalangan umum maupun kalangan tertentu. Mereka secara sukarela mengabdi kepadanya tanpa pamrih dan bersikap simpati kepadanya. 7) Toleransi Hal ini dapat dilihat ketika Shalahuddin al-Ayyubi menguasai kota Iskandariyah dan Yerussalem, Shalahuddin selalu mengunjungi orang-orang Kristen dan setelah tercipta perdamaian, Shalahuddin memberi kesempatan dan mengizinkan orang-orang Kristen untuk berziarah ke Yerussalem (Baitul Maqdis). 8) Santun Sikap santun Shalahuddin al-Ayyubi dapat dilihat dari peristiwa berikut ini. Suatu hari ada seorang budak tua yang dihormatinya datang dan memperlihatkan catatan milik beberapa pejuang. Shalahuddin berkata kepada orang tersebut,”Saya sekarang sedang gelisah, tundalah beberapa saat”. Tetapi orang tersebut tidak mempedulikan, malah menyodorkan catatan itu lebih dekat lagi ke wajah Shalahuddin dengan tangannya sambil membukanya agar Shalahuddin bisa membacanya. Ternyata pandangan Sultan tertuju pada tulisan sebuah nama yang terdapat di bagian atasnya dan Sultan pun mengenalinya seraya berucap,”Orang yang memang berhak.” Orang tua tersebut berkata,”Tuan membubuhkan tanda tangan
30
untuknya pada bagian ini.” Shalahuddin menjawab,”Tidak ada tinta sekarang.” Shalahuddin al-Ayyubi pada saat itu sedang duduk di pintu kemah pasukan yang besar, sekiranya tak seorang pun berani masuk ke dalamnya, sedangkan tinta ada disana. Orang tua tersebut berkata,”Itu tinta ada di dalam kemah.” Maksudnya, orang tersebut menyuruh Shalahuddin untuk mengambil tinta itu, bukan yang lain. Sultan Shalahuddin al-Ayyubi pun menoleh dan melihat tinta tersebut lalu berucap,”Demi Allah, dia benar.” Maka dengan bertopang pada tangan kirinya, Shalahuddin pun menjulurkan tangan kanannya untuk mengambil tinta dan membubuhkan tanda tangan seperti permintaan orang tersebut. 9) Tanggung Jawab Sikap tanggung jawab Shalahuddin al-Ayyubi dapat dilihat ketika Shalahuddin al-Ayyubi mewarisi tugas dari gurunya Nuruddin Zanki terkait pelaksanaan haji dan pengamanan jalurnya. Shalahuddin mengemban tugas tersebut dengan penuh tanggung jawab dan berupaya melakukan yang terbaik. Pada tahun 562 H, Shalahuddin alAyyubi memerintahkan penghapusan upeti yang sebelumnya dipungut dari orang-orang yang melakukan perjalanan melalui laut Merah di Jeddah. Kebijakan tersebut diikuti pula oleh kebijakan Shalahuddin alAyyubi untuk menghapuskan berbagai jenis pungutan (pajak-pajak ilegal yang biasanya ditarik dari para pedagang) dari jamaah Haji, sehingga pelaksanaan Haji menjadi lebih mudah setelah sebelumya hampir terhenti dan para jamaah tidak mampu untuk menunaikan ibadah Haji. 4. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam a. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran ialah proses bagi seorang siswa dalam mempelajari bahan pelajaran yang disampaikan guru, proses penyampaian itu sering dianggap sebagai proses mentransfer ilmu. Mentransfer disini bukan
31
diartikan memindahkan. Tujuan utama pembelajaran adalah penguasaan materi pelajaran yang telah disampaikan guru. Proses pembelajaran ini berorientasi kepada siswa yang tidak hanya terjadi di dalam kelas, tetapi dimana saja (Sanjaya: 2006). Agung dan Wahyuni (2013) memaknai pembelajaran dengan menyatakan bahwa: Pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerja sama antara guru dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber yang ada, baik potensi yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan kemampuan dasar yang dimiliki, termasuk gaya belajar, maupun potensi yang ada di luar diri siswa seperti lingkungan, sarana, dan sumber belajar sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar tertentu (hlm. 3). Selanjutnya menurut Miarso (2007) dalam Warsito (2012: 104), terdapat lima jenis interaksi yang dapat berlangsung dalam proses belajar dan pembelajaran yaitu interaksi antara pendidik dengan siswa, interaksi antara sesama siswa, interaksi siswa dengan narasumber, interaksi siswa bersama pendidik dengan sumber belajar yang sengaja dikembangkan, dan inteaksi siswa bersama pendidik di lingkungan sosial dan alam. UNESCO mengemukakan bahwa hakikat pendidikan adalah belajar (learning) yang selanjutnya dikemukakan bahwa pendidikan bertumpu pada 4 pilar yaitu learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be. Learning to know merupakan upaya memahami instrumen-instrumen pengetahuan baik sebagai alat maupun tujuan. Sebagai alat pengetahuan diharapkan akan memberikan kemampuan setiap orang untuk memahami berbagai aspek lingkungan dalam rangka megembangkan keterampilannya, sebagai tujuan maka pengetahuan tersebut akan bermanfaat dalam rangka peningkatan pemahaman, pengetahuan dan penemuan dalam kehidupan. Learning to do lebih ditekankan bagaimana mengajarkan seseorang untuk mempraktikkan segala sesuatu yang telah dipelajarinya dan dapat mengadaptasikan pengetahuan yang telah diperolehnya dengan pekerjaan di masa depan. Learning to live together pada dasarnya adalah
32
mengajarkan, melatih, dan membimbing siswa agar dapat menciptakan hubungan melalui komunikasi yang baik dan menghindari terjadinya konflik, atau dengan kata lain berarti belajar untuk bekerjasama yang positif. Learning to be berarti bahwa belajar membentuk pribadi menjadi dirinya dirinya. Oleh karena itu, melalui kegiatan pembelajaran, setiap siswa harus di dorong agar mampu memberdayakan dirinya melalui latihan pemecahan masalahnya sendiri, mengambil keputusan sendiri dan memikul tanggung jawab sendiri (Aunurrahman, 2012). Pembelajaran mengandung makna setiap kegiatan yang dirancang untuk membantu seseorang mempelajari suatu kemampuan dan nilai yang baru. Proses pembelajaran pada awalnya meminta guru untuk memahami kondisi siswa yang meliputi motivasi, kemampuan dasar, latar belakang akademisnya, kondisi keluarganya, latar belakang ekonomi dan lain sebagainya. Kesiapan guru untuk memahami karakteristik siswa merupakan modal utama dalam kegiatan pembelajaran dan menjadi indikator kesuksesan kegiatan pembelajaran (Sanjaya, 2006). Dari berbagai pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran merupakan usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama dan karena adanya usaha. b. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Pembelajaran adalah proses interaksi siswa dengan pendidik dan sumber belajar serta lingkungan belajar. Pembelajaran merupakan kegiatan inti yang dilaksanakan oleh sebuah institusi pendidikan, bahkan tercapai atau tidaknya tujuan serta misi pendidikan sesungguhnya sangat ditentukan dari proses pembelajaran yang merupakan kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pendidikan (Hamalik, 2013).
33
Istilah sejarah dalam bahasa Indonesia sekaligus mengandung makna sejarah manusia. Kata sejarah berasal dari kata Syajarah dalam bahasa Arab yang berarti pohon atau silsilah. Kisah keturunan atau silsilah manusia apabila digambarkan akan bercabang-cabang dan berantingranting mirip layaknya suatu pohon (Daliman, 2012). Dalam istilah bahasa Eropa, asal mula istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi. Meskipun begitu banyak yang mengakui bahwa istilah sejarah berasal dari bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, artinya masa lampau umat manusia; bahasa Perancis historie, bahasa Italia Storia; bahasa Jerman geschichte yang berarti telah terjadi; dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis berarti terjadi. Kata history sebenarnya diturunkan dari bahasa latin dan Yunani (greek), yaitu historia artinya informasi, pencarian ilmu atau belajar. Hal ini menunjukkan bahwa pengkajian sejarah sepenuhnya bergantung kepada penyelidikan terhadap perkaraperkara yang benar-benar pernah terjadi. Istor dalam bahasa Yunani artinya orang pandai; Istoria artinya ilmu yang khusus untuk menelaah gejala-gejala dalam urutan kronologis. Oleh karena itu, kata sejarah berarti “mencari pengetahuan dan kebenaran”. Berdasarkan penelusuran asal kata di atas, sejarah dapat diartikan sebagai sesuatu yang telah terjadi pada waktu lampau dalam kehidupan umat manusia. Sejarah tidak dapat dilepaskan dari kehidupan manusia dan bahkan berkembang sesuai dengan perkembangan kehidupan manusia dari tingkat yang sederhana ke tingkat yang lebih maju atau modern (Susmihara, 2013). Menurut Kuntowijoyo sejarah adalah rekonstruksi masa lalu yang meliputi apa saja yang sudah dipikirkan, dikatakan, dikerjakan, dirasakan, dan dialami oleh orang. Sejarawan dapat menulis apa saja asal memenuhi syarat sebagai sejarah (Kuntowijoyo, 1999). Sejarah sangat penting dalam kehidupan suatu bangsa karena sejarah merupakan gambaran kehidupan masyarakat di masa lampau;
34
dengan sejarah kita dapat lebih mengetahui peristiwa atau kejadian yang terjadi di masa lampau; peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut dijadikan pedoman atau acuan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa di masa kini dan yang akan datang; dan dengan sejarah kita tidak sekedar mengingat data-data dan fakta-fakta yang ada tetapi lebih memaknainya dengan mengetahui mengapa peristiwa tersebut terjadi, pelajaran, hikmah, pengetahuan, dan nilai apa yang bisa dipetik dari peristiwa itu untuk membina kehidupan sekarang dan memproyeksikan kehidupan di masa yang akan datang (Susmihara, 2013). Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta budhayah, ialah bentuk jamak dari budhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan itu dapat diartikan “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”. Di samping itu, ada pula ahli yang berpendapat bahwa kata kebudayaan berasal dari kata budi dan daya. Budi berarti akal-pikiran dan daya berarti tenaga, kekuatan dan kesanggupan. Maka kebudayaan mengandung makna leburan daripada dua makna tadi, dan artinya himpunan segala usaha dan daya yang dikerjakan dengan menggunakan hasil pendapat budi, untuk memperbaiki sesuatu dengan tujuan mencapai kesempurnaan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil cipta, karsa dan rasa manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan cara belajar, yang semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat. Tujuan kebudayaan adalah untuk kesempurnaan dan kesejahteraan manusia, baik sebagai individu dan masyarakat sekaligus; kebudayaan merupakan jawaban atas tantangan, tuntutan dan dorongan antara diri manusia dan dari luar diri manusia; bahwa kebudayaan manusia itu mengalami proses tumbuh dan berkembang, mengalami proses pasang surut bahkan mungkin pula mengalami kepunahan, tergantung kepada kesadaran
masyarakat
pendukungnya,
untuk
memelihara
atau
mengembangkannya. Proses pemeliharaan dan pewarisan kebudayaan biasanya disebut proses pendidikan. Jadi kemajuan dan kemunduran suatu
35
kebudayaan tergantung kepada usaha dan proses pendidikan yang berlangsung dalam masyarakat yang bersangkutan (Susmihara, 2013). Kesimpulan dari berbagai pengertian di atas, pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam adalah proses
interaksi antara pendidik dan siswa
dalam lingkungan belajar yang mempelajari tentang kejadian atau peristiwa masa lampau yang berbentuk hasil karya, karsa, dan cipta umat Islam yang didasarkan kepada sumber nilai-nilai Islam. c. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di MTs Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di MTs merupakan salah satu mata pelajaran yang menelaah tentang asal-usul, perkembangan, peranan kebudayaan/peradaban Islam dan para tokoh yang berprestasi dalam sejarah Islam di masa lampau, mulai dari perkembangan masyarakat Islam pada masa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi Wasallam dan Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, Abbasiyah, Ayyubiyah sampai perkembangan Islam di Indonesia. Mata pelajaran Sejarah Kebudayan Islam (SKI) secara substansial, memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada siswa untuk mengenal, memahami, menghayati sejarah kebudayaan Islam, yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian siswa. Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di MTs menurut Permenag (2013) bertujuan agar siswa memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Membangun kesadaran
siswa tentang pentingnya mempelajari
landasan ajaran, nilai-nilai dan norma-norma Islam yang telah dibangun oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wasallam dalam rangka mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. 2) Membangun kesadaran siswa tentang pentingnya waktu dan tempat yang merupakan sebuah proses dari masa lampau, masa kini, dan masa depan.
36
3) Melatih daya kritis siswa untuk memahami fakta sejarah secara benar dengan didasarkan pada pendekatan ilmiah. 4) Menumbuhkan apresasi dan penghargaan siswa terhadap peninggalan sejarah Islam sebagai bukti peradaban umat islam di masa lampau. 5) Mengembangkan kemampuan siswa dalam mengambil ibrah dari peristiwa-peristiwa
bersejarah
(Islam),
meneladani
tokoh-tokoh
berprestasi, dan mengaitkannya dengan fenomena sosial, budaya, politik, ekonomi, iptek, seni dan lain-lain untuk mengembangkan kebudayaan dan peradaban Islam. Mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dalam kurikulum Madrasah Tsanawiyah adalah salah satu bagian atau pelajaran Pendidikan Agama Islam yang diarahkan untuk menyiapkan siswa untuk mngenal, memahami, menghayati Sejarah Kebudayaan Islam, yang kemudian menjadi
dasar pandangan hidupnya melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran, latihan, penggunaan pengamatan, dan pembiasaan. B. Penelitian yang Relevan Dari hasil penelusuran referensi, terutama terhadap hasil-hasil studi dan pengkajian sebelumnya memperlihatkan adanya sejumlah studi atau penelitian yang menaruh perhatian yang sama dengan penelitian ini, yakni terhadap masalah internalisasi nilai-nilai karakter melalui kegiatan pembelajaran. Meskipun demikian, fokus masalah yang menjadi perhatian utama dari studi-studi dan penelitian-penelitian selama ini memiliki perbedaan yang signifikan dengan fokus masalah yang dikaji dalam penelitian ini. Adapun beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, penelitian yang dilakukan Puji Lestari mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (2015) yang berjudul “Implementasi Nilai-nilai Karakter Dalam Pembelajaran Sejarah (Studi Kasus SMA Negeri 1 Karangggede Boyolali)”. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa, pembelajaran berbasis nilai-nilai karakter di SMA 1 Karanggede sudah diupayakan sebelum adanya kurikulum
37
2013. Dalam kegiatan pembelajaran sejarah berbais nilai-nilai karakter diawali dengan guru menyusun perangkat
pembelajaran berupa RPP yang
berpedoman pada silabus kurikulum 2013. Kemudian dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran, guru menggunakan variasi metode dan media pembelajaran, di mana guru mengimplementasikan nilai-nilai karakter melalui diskusi dan presentasi, siswa dapat menumbuhkan nilai-nilai karakter seperti toleransi, komunikatif, bekerja keras, kreativitas, dan tanggung jawab. Kedua, penelitian yang dilakukan oleh A.M. Wibowo (2014) yang berjudul “Internalisasi Nilai-nilai Karakter Bangsa melalui Mata Pelajaran PAI pada SMA EKS RSBI di Pekalongan” (dimuat dalam jurnal “Analisa” Vol. 21 No. 02, hlm. 291-303). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa penanaman nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran agama pada siswa di SMA telah dilakukan melalui kebijakan sekolah, iklim dan sistem sekolah, kualitas sarana dan prasarana serta budaya. Selain itu proses internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui mata pelajaran PAI telah dilakukan melalui kurikulum PAI berupa silabus dan RPP, serta kegiatan intra kurikuler dan ekstra kurikuler. Produk yang dihasilkan dari internalisasi nilai-nilai karakter bangsa melalui Pendidikan Agama Islam adalah siswa yang memiliki kompetensi baik dan sangat baik pada bidang akademik dan berkarakter kebangsaan sekaligus. Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Isnaini (2013) yang berjudul “Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter di Madrasah” (dimuat dalam Jurnal Al-Ta’lim, Vol. 1, No.6, hlm. 445-450). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan wahana menanamkan nilainilai kebaikan kepada siswa dari aspek kognitif, afektif, maupun psikomotor. Madrasah merupakan salah satu lembaga pendidikan yang memberikan perhatian lebih terhadap penanaman nilai-nilai karakter serta memiliki ciri khusus yang membedakan dari sekolah umum yang lain. Penanaman nilai karakter di madrasah dapat dilihat dari porsi kurikulum agama yang cukup besar baik dalam kurikulum formal maupun kurikulum non formal. Oleh karena itu madrasah bisa menjadi alternatif solusi yang sangat tepat dalam mewujudkan pendidikan karakter sesuai dengan yang diprogramkan oleh pemerintah dewasa ini.
38
Keempat, penelitian yang dilakukan Ari Aromandani (2014) yang berjudul “Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pelajaran IPS melalui Kajian Tembang Macapat” (dimuat dalam Jurnal Pendidikan Humaniora Vol. 2 No. 3, hlm. 205-210). Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa pengintegrasian pendidikan karakter dalam pembelajaran IPS melalui kajian tembang macapat dilakukan dalam tiga kali pertemuan serta tiga tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tahap perencanaan terdiri dari peyusunan silabus, RPP, media dan materi pembelajaran. Tahap pelaksanaan terdiri dari pendahuluan, inti dan penutup. Terakhir yaitu evaluasi dengan teknik tes tertulis dan lembar observasi. Masing-masing tahap diberi muatan nilai karakter seperti religius, bertanggung jawab dan jujur. Impelementasi nilai karakter tembang Macapat dalam kehidupan sehari-hari siswa belum memberikan hasil yang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari hasil observasi siswa di kelas. Hasil observasi selama tiga pertemuan menunjukkan bahwa indikator nilai karakter religius yang sering ditunjukkan siswa adalah berdo’a sebelum dan sesudah pembelajaran, indikator nilai karakter jujur yang sering ditunjukkan siswa adalah menyampaikan laporan/tugas sesuai prosedur dan jujur. Terakhir indikator bertanggung jawab yang sering ditunjukkan siswa adalah hadir di kelas tepat waktu dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru. Kelima, penelitian yang dilakukan Lukman Hakim pada tahun 2012 yang berjudul “Internalisasi Nilai-Nilai Agama Islam dalam Pembentukan Sikap dan Perilaku Siswa Sekolah Dasar Islam Terpadu Al-Muttaqin Kota Tasikmalaya” (dimuat dalam jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim, vol. 10, No. 21, hlm. 220225). Hasil penelitan ini menunjukkan bahwa model kurikulum yang dilaksanakan di SDIT AL-Muttaqin mengacu kepada kurikulum Depdiknas dan kurikuum Depag ditambah kurikulum muatan lembaga. Sedangkan aspek nilai-nilai agama Islam yang ditanamkan di SDIT Al-Muttaqin kota Tasikmalaya meliputi: aspek kecintaan kepada Al-Qur’an; aspek ibadah Sholat dan Dzikir kepada Allah; kebiasaan memaca do’a sebelum melakukan kegiatan dn mengucapkan syukur sesudahnya; berpuasa di bulan Ramadhan; berpakaian Islami; tanggung jawab; kedisiplinan; dan kejujuran. Pendekatan untuk menanamkan nilai-nilai agama
39
Islam kepada siswa dilakukan melalui proses pendekatan secara bertahap yaitu : pertama dengan ajakan dan pembiasaan, kedua dengan proses penyadaran emosi, dan ketiga dengan proses pendisiplinan dan penegakan aturan bagi siswa yang melanggar. Sedangkan metode yang digunakan meliputi metode: keteladanan, ibrah dengan cerita, pembiasaan, ceramah dan nasehat. Keenam, penelitian yang dilakukan Alex Agboola dan Kun Chen Tsai pada tahun 2012 yang berjudul “Bring Character Education into Classroom” (dimuat dalam jurnal International Of Educational Research, Vol. 1, No. 2, hlm. 163-170). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penanaman nilai karakter harus dilaksanakan di sekolah, khususnya melalui kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Penanaman nilai-nilai karakter harus dilakukan oleh guru di dalam kelas karena intensitas pertemuan guru dengan siswa di dalam kelas lebih besar daripada di luar kelas. Penananamn nilai-nilai karakter dapat dilakukan melalui semua rangkaian kegiatan pembelajaran di kelas, mulai dari kegiatan pendahuan, kegiatan inti, dan kegiatan penutup. Ketujuh, penelitian yang dilakukan Muhammad Nurdin pada tahun 2013 yang berjudul “Internalization Of Islamic Values In Shaping Consciousness PAI Anticorruption Through Curriculum Development In Secondary Schools” (dimuat dalam International Journal Of Scientific and Technology Research, Vol. 2, No. 2, hlm. 68-73). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa proses internalisasi nilai-nilai agama Islam dilakukan melalui tiga tahap, yaitu: tahap transformasi, tahap transaksi nilai, tahap transformasi nilai, dan tahap transinternalisasi. Proses internalisasi nilai-nilai agama Islam di SMP bisa menjadi alternatif solusi untuk membangun kesadaran anti korupsi dalam diri siswa. Pengembangan desain materi PAI moral pada siswa SMP adalah untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, tanggung jawab, amanah, kerja keras, keberanian, ikhlas, sabar, dan membentuk kesadaran anti korupsi sejak dini. C. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan model konseptual tentang hubungan teori dan faktor yang diidentifikasi sebagai masalah yang penting. Penelitian ini
40
berusaha memaparkan proses internalisasi nilai-nilai karakter Shalahuddin al-Ayyubi
melalui
pembelajaran
Sejarah
Kebudayaan
Islam
di
MTsN
Gondangrejo Karanganyar. Hal yang diteliti yaitu perencanaan internalisasi nilainilai karakter Shalahuddin al-Ayyubi melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, pelaksanaan internalisasi nilai-nilai karakter Shalahuddin al-Ayyubi melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, evaluasi internalisasi nilai-nilai karakter Shalahuddin al-Ayyubi melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam, serta kendala dan solusi internalisasi nilai-nilai karakter Shalahuddin al-Ayyubi melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Di bawah ini adalah skema kerangka berpikir dalam penelitian ini sebagai berikut: Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di MTs
Materi Ajar Tentang Dinasti Ayyubiyah
Materi tentang Menelusuri Jejak Berdirinya Dinasti Ayyubiyah (Tokohtokoh yang Berpengaruh terhadap Berdirinya Dinasti Ayyubiyah)
Nilai-nilai Karakter Shalahuddin al-Ayyubi
Pelaksanaan Pembelajaran (Internalisasi Nilai-nilai Karakter Shalahuddin al-Ayyubi Melalui Pembelajaran SKI)
Siswa menerapkan nilai-nilai karakter Shalahuddin al-Ayyubi dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan sekolah, keluarga, maupun masyarakat Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir Penelitian Kualitatif Tentang Internalisasi Nilai-Nilai Karakter Shalahuddin Al-Ayyubi Melalui Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Di Kelas VIII MTsN Gondangrejo Karanganyar Tahun Pelajaran 2015/2016
41
Keterangan: Sejarah Kebudayaan Islam merupakan salah satu pelajaran dari rumpun mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang diajarkan di MTsN Gondangrejo
Karanganyar.
Secara
substansial,
mata
pelajaran
Sejarah
Kebudayaan Islam memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada siswa untuk mengenal, memahami, menghayati Sejarah Kebudayaan Islam, yang mengandung nilai-nilai kearifan yang dapat digunakan untuk melatih kecerdasan, membentuk sikap, watak, dan kepribadian siswa. Nilai-nilai karakter dari tokoh-tokoh sejarah selama ini ternyata belum mampu terinternalisasi secara optimal melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam di sekolah. Padahal Sejarah Kebudayaan Islam merupakan mata pelajaran yang sangat potensial untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter dari tokohtokoh sejarah yang dipelajari kepada siswa. Hal ini disebabkan karena dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam materi yang disampaikan masih terbatas pada mengkaji serangkaian kronologi dari suatu peristiwa sejarah saja, belum mengkaji secara detail pada nilai-nilai karakter yang dapat diambil dari tokohtokoh sejarah. Dalam mata pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kelas VIII semester II, materi ajar yang harus disampaikan kepada siswa adalah tentang Dinasti Ayyubiah dari masa berdirinya hingga masa Perkembangannya. Dalam materi pembelajaran tentang Dinasti Ayyubiah terdapat tokoh yang sangat terkenal dan memiliki andil besar dalam pendirian dan kemajuan Dinasti Ayyubiah, yaitu Shalahuddin al-Ayyubi. Shalahuddin al-Ayyubi adalah seorang panglima perang dan pemimpin umat yang terkenal sebagai pemimpin perang salib. Shalahuddin al-Ayyubi merupakan seorang pemimpin yang tidak banyak bicara namun banyak bekerja, memiliki kepedulian yang besar terhadap sesama, memiliki sikap toleransi yang tinggi, memiliki rasa kasih sayang yang tinggi dan dermawan. Shalahuddin alAyyubi membangun dan memimpin negara dengan mengedepankan nilai-nilai kerohanian tanpa mengesampingkan nilai-nilai yang lain.
42
Shalahuddin al-Ayyubi juga memiliki karakter-karakter mulia yang patut diteladani oleh siswa dalam aktivitas keseharian mereka, seperti: taat kepada Allah dan Rasul-Nya, berani, tanggung jawab, dermawan, santun, toleransi, bijaksana, penyayang, murah hati, ksatria, pemaaf, rendah hati, dan sabar. Sehingga Shalahuddin al-Ayyubi termasuk salah satu tokoh sejarah Islam yang patut diteladani oleh siswa. Berangkat dari uraian di atas, diperlukan penelitian mengenai tokoh-tokoh sejarah
yang
memiliki
nilai-nilai
karakter
yang
baik,
yang
mampu
diinternalisasikan melalui pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dan dapat diterapkan oleh siswa dalam semua aspek kehidupan baik di lingkungan rumah, sekolah ataupun masyarakat.