BAB II INTERNALISASI NILAI-NILAI AKHLAK ISLAM TERHADAP TINGKAH LAKU SISWA
A. Nilai-Nilai Akhlak Islam 1. Pengertian Nilai Nilai yang dalam bahasa inggris value, berasal dari bahasa latin valere atau bahasa Prancis kuno valoir. Sebatas arti denotatifnya, valere, valoir, value atau nilai dapat dimaknai sebagai harga.1 Ada harga dalam arti tafsiran misalnya nilai intan, harga uang, angka kepandaian, kadar atau mutu dan sifat-sifat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.2 Cukup sulit untuk mendapatkan rumusan devinisi nilai dengan batasan yang jelas mengingat banyak pendapat tentang devinisi nilai yang masing-masing memiliki tekanan yang berbeda. Berikut dikemukakan beberapa pendapat para ahli tentang devinisi nilai: 1. Menurut Sidi Gazalba nilai merupakan sesuatu yang bersifat abstrak, ia ideal. Nilai bukan benda konkret bukan fakta tidak hanya persoalan benar salah yang menuntut pembuktian empirik melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.3 2. Noeng Muhadjir mendefinisikan nilai sebagai sesuatu yang normatif, sesuatu yang diupayakan atau semesetinya dicapai, diperjuangkan dan ditegakkan. Nilai itu merupakan sesuatu yang ideal bukan faktual sehingga penjabarannya atau operasionalisasinya membutuhkan penafsiran.4
1 Rahmat Mulyana, Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, (Bandung: Alfabeta, 2004), Cet. 1. hlm. 7. 2 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Cet. 4, hlm. 690. 3 Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat , Buku IV, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm.20. 4 Noeng Muhadjir, Pendidikan Ilmu Dan Islam, (Yogyakarta: Reka Sarasin, 1985), hlm. 11-12.
13
14
3. Definisi menurut Fraenkel: “Value is an idea a concep about what some one thinks is important in life”.5 Nilai adalah suatu ide konsep tentang apa yang menurut pemikiran seseorang penting dalam kehidupan. 4. Menurut Driyakara nilai adalah “Hakikat suatu hal yang menyebabkan hal itu pantas dikejar oleh manusia”.6 Lebih lanjut Driyakara menjelaskan bahwa nilai itu erat berkaitan dengan kebaikan, kendati keduanya memang tidak sama. Sesuatu yang baik tidak selalu bernilai tinggi bagi seseorang atau sebaliknya, sesuatu yang bernilai tinggi bagi seseorang tidak selalu baik. Sebagai contoh, cincin berlian itu baik tetapi tidak bernilai bagi seseorang yang dalam keadaan akan tenggelam bersama perahunya. 5. Sedangkan pengertian nilai menurut Chabib Thoha, “Esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia”.7 Selanjutnya dijelaskan pula bahwa esensi belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia, tetapi dengan begitu tidak berarti adanya esensi karena adanya manusia yang membutuhkan. Hanya saja kebermaknaan esensi tersebut semakin meningkat sesuai dengan peningkatan daya tangkap dan pemaknaan manusia sendiri. Sebagai contoh: Perdamaian hidup merupakan esensi kehidupan manusia, esensi itu tidak akan hilang walau kenyataannya banyak terjadi peperangan. Nilai perdamaian semakin tinggi selama manusia mampu memberi makna terhadap perdamaian itu. Nilai perdamaian itu berkembang sesuai dengan daya tangkap manusia tentang hakekat perdamaian. Pengertian terakhir memberikan pemahaman bahwa nilai tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat kebutuhan manusia terhadap sesuatu,
5 J.R. Fraenkel, How to Teach About Values: An Analitic Approach, (New Jersey: Prenteice Hall, Inc. 1975), P.6. 6 Sutardjo Adisusilo, “Pendidikan Nilai Dalam Ilmu-Ilmu Sosial -Humaniora”, dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih, (eds.), Pendidikan Nilai Memasuki Milenium Ketiga, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), Cet. 5, hlm. 72. 7 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm. 62.
15
tetapi tidak pula menafikan nilai yang lebih banyak ditentukan oleh situasi manusia yang membutuhkan. Karena sebelum berada dalam situasi dibutuhkan, didalam sesuatu tersebut telah terdapat hal-hal yang melekat yang akan semakin tinggi nilainya bersamaan dengan semakin meningkatnya daya tangkap dan pemaknaan manusia. Sebagai misal garam dibutuhkan manusia karena memiliki sifat asin yang melekat, tanpa adanya rasa asin pada garam maka garam tidak akan dibutuhkan. Manakala asin tidak dibutuhkan atau tidak berarti bagi kehidupan manusia maka garam tidak bernilai. Demi terpenuhinya kebutuhan pengertian nilai dalam tulisan ini, merujuk pengertian nilai menurut Chabib Thoha, nilai diartikan sebagai esensi yang melekat pada sesuatu yang memiliki arti bagi kehidupan manusia. 2. Pengertian Akhlak Kata akhlak berasal dari bahasa Arab.8 Kata akhlak merupakan bentuk jamak (plural) dari kata khuluqun
()ﺧﻠﻖ
yang berarti tabi`at, budi
pekerti.9Berdasarkan analisis semantik dari Mc. Donough, kata khuluq memiliki akar kata yang sama dengan khalaqa
()ﺧﻠﻖ
yang berarti
menciptakan (to creat) dan membentuk (to shape) atau memberi bentuk (to give from).10 Dalam bukunya Ahmad Amin ditemukan bahwa pengertian akhlak adalah “Menangnya keinginan dari beberapa keinginan manusia dengan langsung berturut-turut”.11 Menurut Imam al-Ghozali, akhlak adalah:
أﻟﺨﻠﻖ ﻋﺒﺎ رة ﻋﻦ هﻴﺌﺔ ﻓﻰاﻟﻨﻔﺲ راﺳﺨﺔ ﻋﻨﻬﺎ ﺗﺼﺪر أﻷﻓﻌﺎل ﺑﺴﻬﻮﻟﺔ 12
8
وﻳﺴﺮ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺣﺎ ﺟﺔ اﻟﻰ ﻓﻜﺮ وروﻳﺔ
M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an: Tafsir atas pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996) Cet. 2, hlm. 253. 9 A.N. Munawwar, Kamus Al Munawwir Arab Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), Cet. 25, hlm. 364. 10 Tafsir, at. al., Moralitas Al-qur`an Dan Tantangan Modernitas, (Yogyakarta: Gama Media, 2003) Cet. 1, hlm. 14. 11 Ahmad Amin, Etika (ilmu Akhlak), terj. Farid Ma`ruf, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 63.
16
Keadaan sifat atau cara yang tetap (teguh, berakar) dalam jiwa yang darinya muncul perbuatan-perbuatan dengan mudah, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Lebih lanjut dijelaskan jika yang keluar tersebut berupa perbuatanperbuatan bagus dan terpuji maka dinamakan dengan akhlak yang bagus, dan jika yang keluar tersebut sebagai perbuatan-perbuatan yang jelek, maka dinamakan dengan akhlak tercela. Perbuatan-perbuatan tersebut berakar, tetap, teguh atau tertanam dalam jiwa dan tidak terjadi secara kumat-kumatan atau jarang (kadang dilakukan kadang tidak) atau terjadi karena pertimbanganpertimbangan tertentu (serius). Jika perbuatan-perbuatan tersebut terjadi secara jarang (kadang dilakukan kadang tidak) serta karena pertimbanganpertimbangan tertentu(serius)., maka tidak dinamakan akhlak.13 Akhlak sebagaimana pengertian tersebut, baik akhlak yang baik maupun yang buruk, semuanya didasarkan pada ajaran Islam. Abudin Nata dalam Akhlak Tasawuf, menuliskan bahwa akhlak Islami berwujud perbuatan yang dilakukan dengan mudah, disengaja, mendarah daging dan kebenarannya didasarkan pada ajaran Islam.14 Akhlak dalam Islam, disamping mengakui adanya nilai-nilai universal sebagai dasar bentuk akhlak, juga mengakui nilai-nilai yang bersifat lokal dan temporal sebagai penjabaran atas nilai-nilai yang universal. Menghormati kedua orang tua merupakan akhlak yang bersifat mutlak dan universal, sedangkan bagaimana bentuk dan cara menhormati kedua orang tua sebagai nilai lokal dan atau temporal dapat dimanifestasikan oleh hasil pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh kondisi dan situasi tempat orang yang menjabarkan nilai universal itu berada.15 Akhlak dalam Islam memiliki sasaran yang lebih luas, yakni mencakup sifat lahiriyah dan batiniah maupun pikiran sehingga tidak dapat
12
Imam Al-Ghozali, Ihya` ulumuddin, Juz III, (Beirut: Darul Fikr, 2002), hlm. 57. Ibid. 14 Abudin Nata, akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. 3, hlm. 13
145.
15
Ibid., hlm. 146.
17
disamakan dengan etika,16karena dalam etika atau moral terbatas pada sopan santun antar sesama manusia saja serta hanya berkaitan dengan tingkah laku lahiriah.17 3. Ruang Lingkup Nilai-Nilai Akhlak Islam Dalam bukunya Abudin Nata Akhlak Tasawuf, ruang lingkup akhlak dalam Islam dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu: 1) Akhlak terhadap Allah. 2) Akhlak terhadap sesama manusia. 3) Akhlak terhadap lingkungan.18 a. Akhlak Terhadap Allah Akhlak terhadap Allah adalah sikap atau perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk kepada Tuhan (Allah) sebagai Khalik.19 Sikap atau perbuatan tersebut bertitik tolak pada pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Allah memiliki sifat-sifat terpuji, demikian agung sifat itu, jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau hakikatnya.20Pengakuan dan kesadaran akan tidak adanya Tuhan melainkan Allah dan pengakuan serta kesadaran akan sifatsifat Allah yang demikian agung, akan menjadikan sikap dan perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap Allah menjadi sebuah kewajaran, kepatutan dan konsekuensi. Banyak bentuk akhlak terhadap Allah, di antaranya: 1) Beribadah kepada Allah, sebagaimana yang tercantum dalam al-Quran Surat al-Dzariyat, 51:56, sebagai berikut:
(56: و ﻣﺎ ﺧﻠﻘﺖ اﻟﺠﻦ واﻻﻧﺲ اﻻ ﻟﻴﻌﺒﺪون )اﻟﺬارﻳﺎت Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (Q.S. al-Azariyat, 51: 56)21
16
M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 261. Abudin Nata, op. cit., hlm. 146. 18 Ibid., hlm. 147. 19 Ibid. 20 M. Quraish Sihab, op. cit., hlm. 262. 21 T.M. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., Al-Qur`an Dan Terjemahnya, (Medinah: Mujamma` al-Malik Fahd Li thiba`at al-Mush-haf al-syarif, 1994). 17
18
2) Bertakwa kepada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Quran Surat Ali Imran, 3: 102.
ﻳﺎ اﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا اﺗﻘﻮااﷲ ﺣﻖ ﺗﻘﺎ ﺗﻪ وﻻ ﺗﻤﻮ ﺗﻦ اﻻ واﻧﺘﻢ (١٠٢ : ﻣﺴﻠﻤﻮن )ال ﻋﻤﺮان Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya takwa kepada-Nya. (Q.S. Ali Imran, 3:102)22 3) Mencintai Allah, sebagaimana telah tercantum dalam Quran Surat alBaqarah, 2:165.
(١٦۵ : واﻟﺬﻳﻦ اﻣﻨﻮا اﺷﺪ ﺣﺒﺎ ﷲ )ال ﺑﻘﺮة Adapun orang-orang yang beriman sangat mencintai Allah. (Q.S. alBaqoroh, 2:165)23 Masih banyak lagi bentuk-bentuk akhlak terhadap Allah seperti tidak menyekutukan Allah, taubat atas segala dosa, syukur atas nikmat Allah, berdo`a dan lain-lain. b. Akhlak Terhadap Sesama Manusia Akhlak terhadap sesama manusia adalah sikap dan perbuatan yang seharusnya dilakukan oleh manusia terhadap sesama manusia pula.24 Akhlak terhadap sesama manusia ini merupakan penjabaran dari akhlak terhadap makhluk sebagaimana dituliskan diatas. Terdapat banyak sekali perincian yang dikemukakan dalam al-Quran atau hadits berkaitan dengan sikap dan perbuatan terhadap sesama manusia, Diantaranya: 1) Berucap dengan ucapan yang tidak menyakiti perasaan, ucapan yang baik dan benar (sesuai dengan lawan bicara), sebagaimana ditunjukkan dalam al-Quran Surat al-Baqoroh, 2:263, 83 dan al-Ahzab, 33:70 sebagai berikut:
22
TM. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op. cit hlm. 92. Ibid., hlm. 41. 24 Abudin Nata, op. cit., hlm. 150. 23
19
ﻗﻮل ﻣﻌﺮوف وﻣﻐﻔﺮة ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﺔ ﻳﺘﺒﻌﻬﺎ اذى واﷲ ﻏﻨﻲ ﺣﻠﻴﻢ (٢٦٣ : )اﻟﺒﻘﺮة Perkataan yang baik dan pemberian ma`af, lebih baik dari sedekah yang diiringi sesuatu yang menyakitkan (perasaan penerima). Allah Maha kaya lagi Maha penyantun. (Q.S. al-Baqarah, 2:263)25
(٨٣ : وﻗﻮﻟﻮا ﻟﻠﻨﺎس ﺣﺴﻨﺎ )اﻟﺒﻘﺮة Ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia. (Q.S. al-Baqoroh, 2:83)26
(٧٠ : وﻗﻮﻟﻮا ﻗﻮﻻ ﺳﺪﻳﺪا )اﻻﺣﺰاب Dan katakanlah perkataan yang benar. (Q.S. al-Ahzab, 33:70)27 2) Mendahulukan kepentingan orang lain, sebagaimana disebutkan dalam Qur`an Surat al-Hasyr, 59:9.
(٩ : وﻳﺆﺛﺮون ﻋﻠﻰ اﻧﻔﺴﻬﻢ )اﻟﺤﺸﺮ Dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri. (Q.S. al-Hasyr, 59:9)28 3) Bertanggung jawab, sebagaimana disebutkan dalam Qur`an Surat alIsra`, 17:15.
(١۵ : وﻻ ﺗﺰروازرة وزر اﺧﺮى )اﻻﺳﺮاء Dan seseorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain. (Q.S. al-Isra`, 17:15)29 Masih banyak lagi, seperti amanah, kasih saying, mengembangkan harta anak-anak yatim, memaafkan, membalas kejahatan dengan kebaikan, mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan dan lain-lain. d. Akhlak Terhadap Lingkungan 25
TM. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op. cit hlm. 66. Ibid., hlm. 23. 27 Ibid., hlm. 680. 28 Ibid., hlm. 917. 29 Ibid., hlm. 427. 26
20
Yang dimaksud dengan lingkungan yaitu segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. M. Quraish Shihab menyatakan bahwa akhlak yang diajarkan alQuran terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai kholifah, yang dengan fungsi tersebut menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam.30 Kekholifahan mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptannya.31 Fungsi manusia sebagai kholifah, manusia dituntut dapat melakukan pengayoman, pemeliharaan serta pembimbingan terhadap alam lingkungan. Manfaat dari khalifah tersebut semuanya adalah untuk kebaikan manusia sendiri. Semua yang ada baik dilangit maupun dibumi serta semua yang berada diantara keduanya adalah ciptaan Allah yang diciptakan dengan haq dan pada waktu yang ditentukan. Sebagaimana yang telah difirmankan dalam al-Quran Surat al-ahqaf, 46:3 sebagai berikut:
ﻣﺎ ﺧﻠﻘﻨﺎ ﻟﻠﺴﻤﻮت واﻻرض وﻣﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ اﻻ ﺑﺎﻟﺤﻖ واﺟﻞ ﻣﺴﻤﻰ (٣: )اﻻﺣﻘﺎف Kami tidak menciptakan langit dan bumi serta semua yang berada diantara keduanya, kecuali dengan (tujuan) yang haq dan pada waktu yang ditentukan. (Q.S. al-Ahqaf. 46:3)32 Semuanya itu merupakan amanat bagi manusia yang harus di pertanggungjawabkan. Setiap jengkal tanah yang terhampar di bumi, setiap angin sepoi yang berhembus di udara dan setiap tetes air hujan yang tercurah dari langit akan dimintakan pertanggungjawaban manusia menyangkut pemeliharan dan pemanfaatannya. Demikian kandungan penjelasan Nabi Muhammad saw. Tentang firman Allah
dalam surat al-Takatsur, 102:8
sebagai berikut: 30
M. Quraish Shihab, op.cit., hlm270. Ibid. 32 TM. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op. cit hlm. 822 31
21
(٨: ﺛﻢ ﻟﺘﺴﺌﻠﻦ ﻳﻮﻣﺌﺬ ﻋﻦ اﻟﻨﻌﻴﻢ )اﻟﺘﻜﺎﺛﺮ Kamu sekalian pasti akan diminta untuk mempertanggungjawabkan nikmat ( yang kamu peroleh). (Q.S. al-Takaatsur. 102:8)33 Selain pembagian ruang lingkup akhlak dalam Islam yang dikutip dari bukunya Abudin Nata tersebut di atas, ditemukan juga pembagian yang berbeda dari Abdullah Darraz. Sebagaimana dikutip Hasan Langgulung dalam bukunya Asas-Asas Pendidikan Islam, Abdullah Darraz membagi ruang lingkup akhlak dalam Islam ke dalam 5 (lima) bagian sebagai berikut:34 1) Akhlak pribadi (al-akhlak al-fardiyah). Meliputi: Yang diperintahkan seperti sidiq, istikomah, iffah, mujahadah, syajaah, tawadhuk, al-shobr dan lain-lain, dan yang dilarang seperti bunuh diri, sombong, dusta dan lain-lain. 2) Akhlak dalam keluarga (al-Akhlak al-usariyah). Meliputi: Kewajiban timbal balik orang tua dan anak, kewajiban antara suami istri, kewajiban terhadap karib kerabat. 3) Akhlak sosial (al-akhlak al-ijtima’iyah). Meliputi: Yang terlarang seperti membunuh, tolong-menolong dalam kejahatan, mencuri dan lain-lain, yang diperintahkan seperti menepati janji, memaafkan, membalas kejahatan dengan kebaikan dan lain-lain, dan tata tertib kesopanan seperti meminta izin jika hendak bertamu, memanggil orang lain dengan panggilan yang baik dan lain-lain. 4) Akhlak dalam negara (al-akhlak al-daulah). Meliputi: Hubungan kepala negara dengan rakyat dan hubungan-hubungan luar negeri. 5) Akhlak agama (al-akhlak al-diniyah). Meliputi: Taat, memikirkan ayatayat Allah, memikirkan makhluk-Nya, beribadah, tawakkal, rela dengan kadha kadar dan lain-lain. Memperhatikan Pembagian ruang lingkup akhlak dalam Islam dari Abudin Nata dan pembagian dari Abdullah Darraz di atas, terdapat perbedaan 33
Ibid., hlm. 1096 Hasan Langgulung, Asas-Asas Pendidikan Islam, (Jakata: Pustaka Al-Husna Baru, 2005), Cet. 5, hlm. 365. 34
22
dalam hal bagian-bagiannya, namun perbedaan tersebut justru saling melengkapi. Pembagian dari Abudin Nata tidak memuat secara langsung akhlak pribadi, bernegara, dan berkeluarga, sedangkan dalam pembagian menurut Abdullah Darraz tidak terdapat akhlak terhadap lingkungan. B. Internalisasi Nilai-Nilai Akhlak Islam Terhadap Tingkah Laku Siswa 1. Pengertian Internalisai Nilai Internalisasi nilai adalah proses menjadikan nilai sebagai bagian dari diri seseorang.35 Lebih lanjut dijelaskan bahwa proses tersebut tercipta dari pendidikan nilai dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu terciptanya suasana, lingkungan dan interaksi belajar mengajar yang memungkinkan terjadinya proses sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai. Demikian pendapat Soedijarto.36 Menurut Chabib Thoha, internalisasi nilai merupakan teknik dalam pendidikan nilai yang sasarannya adalah sampai pada pemilikan nilai yang menyatu dalam kepribadian peserta didik.37 Dengan begitu, intenalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa di simpulkan sebagai “usaha sekolah untuk mewujudkan terjadinya proses internalisasi nilai-nilai akhlak pada diri siswa sehingga berpengaruh terhadap tingkah laku siswa”. 2. Tujuan Internalisasi Nilai Sebelumnya akan di kemukakan terlebih dahulu tujuan pendidikan nilai-nilai ketuhanan, karena internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terkait erat dengan pendidikan nilai-nilai agama, bahkan menurut Jalaluddin, pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai.38 Tujuan pendidikan nilai-nilai keTuhanan adalah supaya siswa dapat memiliki dan meningkatkan terus-menerus nilai-nilai iman dan takwa kepada Tuhan YME sehingga dengan pemilikan dan peningkatan nilai-nilai 35
Soedijarto, Menuju Pendidikan Nasional Yang Relevan Dan Bermutu, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), Cet. 4, hlm. 14. 36 Ibid., hlm. 128. 37 Chabib Toha, op.cit., hlm. 87-93. 38 Jalaluddin, Psikologi Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), Cet. 5, hlm. 220.
23
tersebut dapat menjiwai tumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.39 Sedangkan tujuan internalisasi nilai-nilai Islam berupa pemilikan nilai-nilai Islam yang menyatu dalam kepribadian peserta didik.40 Tujuan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa adalah pemilikan nilai-nilai akhlak Islami yang menyatu dalam kepribadian peserta didik. Sebagai bangsa yang memiliki landasan yuridis, pancasila sebagai landasan yuridis pendidikan nilai dalam konteks pendidikan nasional, silasila yang terdapat di dalamnya dengan jelas menempatkan nilai ketuhanan sebagai bagian penting dengan beradanya dia pada urutan pertama41dan merupakan kriteria kepribadian yang akan di tumbuh kembangkan dalam pendidikan nilai di dalam pendidikan nasional. Tujuan dari internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam tersebut akan sangat dibutuhkan dalam pengembangan strategi internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam di Sekolah. 3. Tahapan Dalam Proses Internalisasi Nilai Dan Upaya-Upaya Yang Dilakukan Untuk sampai pada tingkatan menjadinya suatu nilai bagian dari kepribadian siswa yang tampak dalam tingkah laku, memerlukan proses dengan
tahapan-tahapan
mengembangkan
teori
yang yang
harus
dilalui.
merupakan
Lawrance
validasi
dari
Kohlberg teori
yang
dikembangkan oleh Dewey dan Jhon Piaget. Tahap-tahap tersebut dijelaskan sebagai berikut:42 a. Proconventional level, yang terdiri dari: 1) Punishment-obidience orientation, yang terdapat pada anak-anak kecil dimana perbuatan-perbuatannya masih sangat tergantung kepada hukuman dan pujian yang diberikan oleh orang tuanya.
39
Chabib Thoha, op. cit., hlm. 72. Ibid., hlm. 93. 41 Rahmat Mulyana, op. cit., hlm. 152. 42 Abin Syamsuddin Makmun, Psikologi Kependidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), Cet. 5, hlm. 107. 40
24
2) The instrumental-relativist orientation, sifat hukuman dan ganjaran disini tidak lagi bersifat fisik tetapi sudah menggunakan pendekatan non fisik. Tahap ini terdapat pada anak-anak remaja. b. Conventional level, yang terdiri dari: 1) The interpersonal concordance orientation, dimana pada tahap remaja awal mulailah terjadi pembentukan nilai dimana individu mencoba tingkah laku sesuai dengan apa yang diharapkan dari masyarakat. 2) The law and order prientation. Tahap ini dimiliki oleh orang dewasa muda, pada tahap ini orang berbuat dengan mempertimbangkan kepentingan
orang
banyak
agar
masyarakat
tidak
terganggu
ketentramannya. c. Principle level, tahap ini terjadi pada orang dewasa yang terjadi dari dua tingkatan yakni: 1) The social
contract legalistic orientation, pada tahap ini orang
bertindak dengan mempetimbangkan bahwa ia mempunyai kewajibankewajiban tertentu kepada masyarakat dan masyarakatpun mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepadanya. Orientasi disini sudah lebih luas dari pada tahap-tahap sebelumnya. Akan tetapi masih terikat dengan kondisi masyarakat tertentu dimana ia hidup. 2) Tahap tertinggi adalah tahap The universal ethical principle orientation, pada tahap ini individu sudah menemukan nlai-nilai yang dianggapnya berlaku
(univesal)
dan
nilai-nilai
itu
dijadikan
prinsip
yang
mempengaruhi sikap individunya. Teori
dari
L.
Kohlberg
ini
didasarkan
pada
tahap-tahap
perkembangan usia anak, sehingga teori tersebut akan sangat membantu dalam menentukan strategi internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa untuk usia tertentu. Penentuan strategi hanya berdasarkan pada segi usia saja belum cukup, tetapi diperlukan pula dasar pada bagaimana dan dari arah mana nilai itu terbentuk. Di bawah ini akan penulis kemukakan tahap-tahap internalisasi nilai dilihat dari mana dan bagaimana nilai menjadi bagian dari pribadi seseorang.
25
Secara taksonomi, tahap-tahap tersebut menurut David R. Krathwohl dan kawan-kawannya sebagaimana dikutip Soedijarto sebagai berikut:43 a. Tahap receiving (menyimak). Yaitu tahap mulai terbuka menerima rangsangan, yang meliputi penyadaran, hasrat menerima pengaruh dan selektif terhadap pengaruh tersebut. Pada tahap ini nilai belum terbentuk melainkan masih dalam penerimaan dan pencarian nilai. b. Tahap responding
(menanggapi). Yaitu tahap mulai memberikan
tanggapan terhadap rangsangan afektif yang meliputi: Compliance (manut), secara aktif memberikan perhatian dan satisfication is respons (puas dalam menanggapi). Tahap ini seseorang sudah mulai aktif dalam menanggapi nilai-nilai yang berkembang di luar dan meresponnya. c. Tahap valuing (memberi nilai). Yaitu tahap mulai memberikan penilaian atas dasar nilai-nilai yang terkandung didalamnya yang meliputi: Tingkatan percaya terhadap nilai yang diterima, merasa terikat dengan nilai-nilai yang dipercayai dan memiliki keterikatan batin (comitment) untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diterima dan diyakini itu. d. Tahap mengorganisasikan nilai (organization). Yaitu mengorganisaikan berbagai nilai yang telah diterima yang meliputi: Menetapkan kedudukan atau hubungan suatu nilai dengan nilai lainnya. Misalnya keadilan sosial dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawartan/perwakilan. Dan mengorganisasikan system nilai dalam dirinya yakni cara hidup dan tata perilaku sudah didasarkan atas nilai-nilai yang diyakini. e. Penyatu ragaan nilai-nilai dalam suatu sistem nilai yang konsisten. Meliputi: Generalisasi nilai sebagai landasan acuan dalam melihat dan memandang masalah-masalah yang dihadapi, dan tahap karakterisasi, yakni mempribadikan nilai tersebut. Tahap-tahap internalisasi nilai dari Krathwhol tersebut oleh Soedijarto dikerucutkan menjadi tiga tahap yaitu:44 43 44
Sudijarto, op. cit., hlm. 145-146. Soedijarto, op. cit., hlm. 150
26
1) Tahap pengenalan dan pemahaman 2) Tahap penerimaan 3) Tahap pengintegrasian Terdapat upaya-upaya yang harus dilakukan dalam setiap tahap tersebut, sebagaimana dijelaskan di bawah ini. a. Tahap pengenalan dan penerimaan. Yaitu tahap pada saat seseorang mulai tertarik memahami dan menghargai pentingnya suatu nilai bagi dirinya. Pada saat ini proses belajar yang ditempuh pada hakekatnya masih bersifat kognitif. Pelajar akan belajar dengan nilai yang akan ditanamkan melalui belajar kognitif. Oleh Chabib Thoha tahap ini disebut dengan tahap transformasi nilai dimana pada saat pendidik menginformasikan nilai-nilai yang baik dan buruk kepada peserta didik, yang sifatnya semata-mata sebagai komunikasi teoritik dengan menggunakan bahasa verbal. Pada saat ini peserta didik belum bisa melakukan analisis terhadap informasi untuk dikaitkan dengan kenyataan empirik yang ada dalam masyarakat.45 Pada tahap pengenalan dan pemahaman ini diantara dari metodemetode yang digunakan adalah: -
Ceramah. Metode ini pendidik menginformasikan nilai-nilai yang baik dan buruk kepada peserta didik.
-
Penugasan.
Siswa
diberi
tugas
untuk
menuliskan
kembali
pengetahuannya tentang sesuatu nilai yang sedang dibahas dengan bahasa mereka sendiri. Selain itu dapat pula siswa diberi tugas untuk menelaah berbagai peristiwa yang mengandung nilai yang sejajar atau bahkan kontradiktif. -
Diskusi. Curah pendapat dan tukar pendapat dalam diskusi terbuka yang terpimpin dan diikuti oleh seluruh kelas , baik melalui kelompok besar maupun kecil untuk mempertajam pemahaman tentang arti suatu nilai.
45
Chabib Thoha, op. cit., hlm. 93
27
Hanya memahami dan menghargai pentingnya suatu nilai belum berarti bahwa nilai itu telah diterima dan dijadikan kerangka acuan dalam perbuatan, cita-cita dan pandangannya. Untuk itu proses pendidikan perlu memasuki tahap berikutnya yaitu penerimaan. b. Tahap Penerimaan Yaitu tahjap pada saat seseorang pelajar mulai meyakini kebenaran suatu nilai dan menjadikannya sebagi acuan dalam tindakan dan perbuatannya. Suatu nilai diterima oleh seseorang karena nilai itu sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya, dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan dengan lingkungannya. Agar suatu nilai dapat diterima diperlukan suatu pendekatan belajar yang merupakan suatu proses sosial. Pelajar merasakan diri dalam konteks hubungannya dengan lingkungannya bukan suatu proses belajar yang menempatkan pelajar dengan suatu jarak dengan yang sedang dipelajari. Suatu kehidupan sosial yang nyata yang menempatkan pelajar sebagai salah satu aktornya memang sukar dikembangkan dalam situasi pendidikan disekolah. Tanpa diciptakannya suatu suasana dan lingkungan belajar yang memungkinkan soaialisasi, sukar bagi kaum pendidik untuk mengharapkan terwujudnya suatu nilai atau suatu gugus nilai dalam diri pelajar. c. Tahap Pengintegrasian Yaitu tahap pada saat seorang pelajar memasukkan suatu nilai dalam keseluruhan suatu sistem nilai yang dianutnya. Tahap ini seorang pelajar telah dewasa dengan memiliki kepribadian yang utuh, sikap konsisten dalam pendirian dan sikap pantang menyerah dalam membela suatu nilai. Nilai yang diterimanya telah menjadi bagian dari kata hati dan kepribadiannya. 4. Strategi, Pendekatan dan Metode Dalam Internalisasi Nilai Masing-masing dari strategi, pendekatan dan metode internalisasi nilai-nilai semuanya memiliki model-model tersendiri. Diantara model-
28
model tersebut ada yang sesuai untuk diterapkan dalam internalisasi nilainilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa dan ada yang tidak. Berikut akan dikemukakan model-model tersebut sekaligus akan dikemukakan pula secara lebih lanjut model-model yang sesuai untuk diterapkan dalam internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa. a. Strategi Menurut Noeng Muhadjir, model-model dalam strategi ini adalah: strategi tradisional, strategi bebas, strategi reflektif dan strategi transinternal.46Dan yang sesuai untuk internalisasi nilai-nilai keagamaan adalah strategi transinternal.47 Strategi transinternal merupakan cara untuk mengajarkan nilai dengan jalan melakukan transformasi nilai, dilanjutkan dengan transaksi dan transinternalisasi. Strategi ini guru dan siswa sama-sama terlibat dalam proses komunikasi yang aktif dan tidak hanya melibatkan komunikasi verbal dan komunikasi fisik, melainkan adanya komunikasi batin (batin) antara guru dan siswa. Guru berperan sebagai penyaji informasi, pemberi contoh dan teladan serta guru sebagai sumber nilai yang melekat dalam pribadinya sedangkan siswa menerima informasi dan merespon terhadap stimulus guru secara fisik biologis, serta memindahkan dan mempolakan pribadinya untuk menerima nilai-nilai kebenaran sesuai dengan kepribadian guru tersebut.48 b. Pendekatan Model-model pendekatan ini adalah: Model pendekatan doktriner, pendekatan
otoritatif,
pendekatan kharismatik, pendekatan
action,
pendekatan rasional, pendekatan penghayatan dan pendekatan efektif. 46
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah), (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001) Cet.1, hlm. 173-176. 47 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 80. 48 Ibid.
29
Yang sesuai untuk internalisasi nilai-nilai adalah pendekatan penghayatan, rasional, efektif dan kharismatik.49 1) Pendekatan Penghayatan Penghayatan sebagai pendekatan pendidikan nilai dikembangkan dengan jalan melibatkan siswa dalam kegiatan empirik keseharian tetapi lebih menekankan keterlibatan aspek efektifnya daripada rasionalnya, dengan demikian diharapkan tumbuh kesadaran akan kebenaran.50 Melibatkan siswa dalam kegiatan-kegiatan empiric keseharian, siswa dapat melihat contoh dalam masyarakat, melihat akibatnya dan prosesnya, sehingga kesan-kesan yang ditimbulkannya lebih berpengaruh dan tahan lama. Penghayatan ini merupakan salah satu pengakuran (conformity) yang paling kuat dampaknya.51 Pendekatan penghayatan ini sesuai untuk pendidikan akhlak Islam yang sasarannya adalah menyatunya nilai-nilai akhlak dalam diri peserta didik yang eternal. 2) Pendekatan rasional Untuk menanamkan kesadaran tentang nilai baik dan benar adakalanya harus dimulai dari kesadaran rasional, sebab proses pertumbuhan efek sebenarnya tidak terlepas sama sekali dengan pertumbuhan rasional. Informasi-informasi tentang nilai baik dan benar yang masuk melalui kesadaran rasional akan diolah secara psikologis yang melahirkan sikap efektif terhadap objek nilai tersebut. Bila simpulan rasionalnya menanggapi uatu objek secara salah dan tidak benar, maka akan melahirkan sikap efektif yang cenderung menjauh dan tidak menyukai nilai-nilai tersebut. Sebaliknya jika kesadaran rasionalnya menerima objek nilai itu sebagai kebenaran, maka sikap efektifnya akan memberikan
49
Chabib Thoha, op. cit., hlm. 80-84. Chabib Thoha, Ibid., hlm. 82. 51 Hasan Langgulung, op. cit., hlm. 371. 50
30
dorongan untuk menyenangi, menyetujui, menghargai terhadap nilainilai.52 Melalui kesadaran rasional ini siswa tidak hanya berdasarkan apa yang diketahui atau telah terbiasa saja, tetapi dilihat dahulu kebenarannya sesuai dengan rasio. 3) Pendekatan efektif Pendidikan nilai dengan pendekatan efektif ini dilakukan melalui proses emosional yang menumbuhkah motifasi untuk berbuat.53 Dalam pendekatan ini diusahakan untuk menggugah emosi dan perasaan peserta didik untuk meyakini, memahami nilai-nilai serta memberi motifasi agar peserta didik dapat mengamalkannya tanpa pamrih.54 4) Pendekatan kharismatik Kharismatik sebagai pendekatan pendidikan nilai sesuai untuk strategi pendidikan yang memberi contoh artinya siswa dengan melihat dan mengamati kepribadian seseorang yang memiliki konsistensi dan keteladanan yang dapat diandalkan, akan tumbuh kesadaran untuk menerima nilai-nilai tersebut sebagai nilai yang baik dan benar.55 Tanpa adanya kharisma dalam pribadi pendidik, maka pendidik kurang dapat memberikan pengaruh terhadap peserta didik, karena akan ada banyak hal yang keluar dari pendidik baik berupa perbuatan atau perkataan yang patut di contoh hanya berlalu saja dihadapan siswa. c. Metode Model-model dari metode ini yaitu: Metode dogmatic, metode deduktif dan metode reflektif. Yang sesuai untuk internalisasi nilai-nilai keagamaan adalah metode deduktif atau reflektif56 1) Metode deduktif
52
Chabib Thoha, op. cit., hlm. 83 Ibid., hlm. 84 54 Muhaimin, op. cit., hlm. 174. 55 Chabib Thoha, op. cit., hlm. 81 56 Ibid., hlm. 85-87. 53
31
Metode ini berangkat dari kebenaran sebagai teori atau konsepsi yang memiliki nilai-nilai baik, selanjutnya ditarik beberapa contoh kasus dari kehidupan keseharian masyarakat atau ditarik ke dalam nilai-nilai lain yang lebih sempit ruang lingkupnya.57 d. Metode reflektif Metode ini merupakan gabungan dari metode deduktif dan induktif. Yakni mengajarkan nilai dengan jalan membalik antara memberikan konsep secara umum kemudian menerapkan dalam praktek kehidupan sehari-hari, atau dari melihat kasus kemudian mempelajari sistemnya. Penerapan metode ini dapat mengatasi kekurangan metode deduktif yang kadangkala kurang bersifat empiric dan sekaligus mengatasi kekurangan metode induktif terlalu beririentasi pada hal-hal yang empirik dan terkadang mengabaikan unsure empirik.58 C. Aspek-Aspek Yang Perlu Dikembangkan Dalam Internalisasi NilaiNilai Akhlak Islam Terhadap Tingkah Laku Siswa 1. Kegiatan-Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan Kegiatan ekstrakurikuler yang keberadaannya sering dibedakan dari kegiatan-kegiatan intrakurikuler merupakan usaha pendidikan yang melibatkan
proses
penyadaran
nilai
sampai
pada
internalisasi
nilai.59Kegiatan ekstrakurikuler yang dimaksud yaitu kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran yang bertujuan untuk melatih siswa pada pengalaman-pengalaman nyata . Sedangkan kegiatan intrakurikuler yaitu kegiatan pembelajaran yang sering dilakukan di ruang kelas dengan orientasi kemampuan akademis. Pendidikan nilai dalam kegiatan ekstrakurikuler yang dikembangkan berupa pengalaman-pengalaman yang bersifat nyata yang dapat membawa siswa pada kesadaran atas sesama, lingkungan dan Allah melalui kegiatankegiatan seperti peringatan hari besar Islam (PHBI), pesantren kilat, kelompok-kelompok qasidah atau tilawah Quran. Menurut Rahmat 57
Ibid. Ibid., hlm. 87. 59 Rahmat Mulyana, op. cit., hlm. 21. 58
32
Mulyana, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler ini proses pembelajaran nilai secara terpadu sering terjadi karena nilai dikembangkan melalui paket kegiatan yang memungkinkan siswa berinteraksi dengan teman, guru, masyarakat, benda, alat, fasilitas, hewan, tumbuhan, sistem organisasi dan lain-lain yang membawa mereka pada kesadaran nilai, moral, etika, estetika, bahkan pada kesadaran nilai ilahiyah. Waktu
tatap
muka
yang
digunakan
secara
efektif
untuk
mengembangkan pengalaman otentik yang bernilai dapat dipastikan kurang bila dibandingkan
dengan jumlah waktu efektif diluar
60
kelas. Kesadaran nilai dan internalisasi nilai adalah dua proses pendidikan nilai yang terkait langsung dengan pengalaman-pengalaman pribadi seseorang.61Oleh karena itu peserta didik membutuhkan keterlibatan langsung dalam cara, kondisi dan peristiwa pendidikan diluar jam tatap muka atau yang sering disebut kegiatan ekstrakurikuler. Begitu internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam yang hanya dengan mengandalkan kegiatan intrakurikuler saja tidak akan dapat menjamin berlangsungnya penyadaran nilai dan internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa berlangsung secara optimal. Untuk itu dalam internalisasi nilai-nilai dalam Islam terhadap tingkah laku siswa kegiatan ekstrakurikuler perlu dikembangkan dalam beragam cara dan isi di sebuah institusi pendidikan demi tercapainya tujuan pendidikan nilai. 2. Lingkungan Ki Hajar Dewantara memproklamirkan adanya tiga lingkungan yang disebut sebagai tripusat pendidikan.62Tiga lingkungan tersebut yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. Program pengembangan pendidikan Nasional ketiganya menjadi wilayah garapan pendidikan yang tercantum dalam UU Sisdiknas dan sering disebut sebagai lingkungan formal, informal dan nonformal. 60
Ibid., hlm. 214. Ibid. 62 Ibid., 141. 61
33
Sebagai salah satu tripusat pendidikan, sekolah atau lingkungan pendidikan
formal
perlu
dikondisikan
sebaik
mungkin
sehinga
memungkinkan terjadinya proses internalisasi nilai-nilai akhlak dalam Islam terhadap tingkah laku siswa. Qodri Azizy berpendapat bahwa perlu dibangun sebuah wacana publik berupa etika lingkungan.63 Kemudian disosialisasikan dan berusaha dipraktekkan untuk pendidikan kita. Memang tidak harus menjadi mata pelajaran tersendiri bernama “etika lingkungan”,
yang
lebih
penting
justru
praktiknya,
sedangkan
pengajarannya dapat digabungkan pada mata pelajaran lain termasuk kedalam mata pelajaran agama dan civic education. Sebagai salah satu bentuk sistem sosial tempat siswa berinteraksi antara satu dengan lainnya, lingkungan sekolah dapat dipastikan melibatkan beragam nilai kehidupan. Nilai-nilai itu dapat berupa hasil dari pengembangan sejumlah ketentuan formal seperti kerapian, kedisiplinan, tangguing jawab dan kesehatan. Selain itu sekolah adalah tempat bertemunya nilai-nilai kehidupan yang lahir secara pribadi yang dilahirkan dalam bentuk pikiran, ucapan dan tindakan perorangan. Nilai-nilai yang direfleksikan melalui penampilan perorangan tersebut, akan sangat berarti terhadap terciptanya suasana sekolah yang dapat dijadikan sebagi tempat pendidikan nilai. Ibnu Sina, seorang filosof, dokter jiwa serta pakar dalam pendidikan Islam, menyatakan: “JIka anak berada di maktab (kuttab) bergaul dengan sesama anak yang berakhlak akan terjadi interaksi edukatif, satu sama lain saling meniru dan dengan demikian ia menjadi dasar budinya”.64 Peningkatan peran sekolah sebagai wahana pendidikan nilai perlu memadukan kekuatan ketentuan-ketentuan formal yang dibangun melalui sejumlah aktivitas belajar yang terintegrasi baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Kekuatan komunitas pendidikan 63
Qodri A. Azizy, Pendidikan Untuk Membangun Etika sosial Mendidik Anak Sukses Masa Depan Pandai Dan Bermanfaat, (Semarang: Aneka Ilmu, 2002), hlm 112. 64 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, terj. H.M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994) Cet.1, hlm. 121.
34
yang dibangun secara sukarela oleh setiap insan pendidik melalui contohcontoh perilaku yang bernilai. Cara demikian akan mampu menjadikan sekolah berperan secara optimal dalam penyadaran nilai-nilai akhlak dalam Islam dan pendidik benar-benar bertindak sebagai loco parentis (peran pengganti orang tua).65 3. Keteladanan Keteladanan merupakan salah satu faktor yang akan ikut menentukan terhadap keberhasilan proses internalisasi nilai-nilai akhlak Islam. Penyadaran nilai yang optimal disekolah diperlukan peningkatan peran sekolah sebagai wahana pendidikan nilai dengan komunitas pendidikan yang dibangun secara sukarela lewat contoh-contoh yang diciptakan dilingkungan sekolah . Proses belajar mengajar guru juga memiliki tugas membantu pembentukan
kepribadian,
pembinaan
akhlak
serta
menumbuh
kembangkan keimanan dan ketaqwaan para peserta didik.66 Usaha ersebut pemberian teladan atau contoh-contoh yang baik untuk siswa patut dilakukan. Karena salah satu tipe moral yang terlihat pada para remaja adalah mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.67 Ibnu Khaldun, sebagai salah satu pemikir termasyhur yang telah menyumbangkan buah pikirannya untuk kesempurnaan dan kemajuan bidang pendidikan Islam berdasarkan al-Qur`an dan
sunnah, untuk
menyatakan pandangannya tentang keteladanan ini beliau mengutip apa yang ditulis Amru bin Utbah kepada pendidik anaknya sebagai berikut: Agar supaya anak saya menjadi baik, terlebih dahulu hendaknya anda memperbaiki diri anda sendiri, karena pandangan mata mereka terpaku pada pandangan mata anda. Jika pandangan mata mereka baik, karena sesuai dengan apa yang anda perbuat, dan jika jelek itu karena anda meninggalkannya.68
65
Rahmat Mulyana, op. cit., hlm. 142. Zakiah Darajat, Pendidikan Islam Dalam Keluarga Dan Sekolah, (Jakarta: Ruhama, 1995), hlm. 99. 67 Jalaluddin, op. cit., hlm. 76. 68 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, op. cit., Hlm. 216. 66
35
Disamping itu, hubungannya dengan keteladanan ini Imam al Ghozali menyatakan: Perumpamaan seorang guru terhadap muridnya adalah seperti goresan diatas tanah liat yang kering (tembikar) dan bayangan dari sebuah tongkat, bagaimana mungkin tembikar mendapat goresan bila tidak ada yang menggoreskannya dan kapankah sebuah bayangan menjadi lurus jika tongkat itu bengkok.69 Dalam ungkapan tersebut, al Ghozali menghendaki agar seorang guru menjadi contoh teladan yang baik bagi murid-muridnya. Nabi Muhammad SAW sendiri sebagai Rosulullah (utusan Allah) untuk menyampaikan agama Islam kepada umat manusia dimuka bumi dalam menjalankan misinya yakni menyempurnakan akhlak yang mulia tidak lepas dari pemberian teladan. Dan secara langsung oleh Allah beliau di Nash sebagai seseorang yang memiliki suri teladan yang baik sebagaimana dalam surat al Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
ﻟﻘﺪ آﺎن ﻟﻜﻢ ﻓﻰ رﺳﻮل اﷲ اﺳﻮة ﺣﺴﻨﺔ ﻟﻤﻦ آﺎن ﻳﺮﺟﻮااﷲ واﻟﻴﻮم (٢١ :اﻻﺧﺮ وذآﺮ اﷲ آﺜﻴﺮا )اﻻﺣﺰاب Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rosulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagai orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. Al ahzab. 33:21)70 Hal itu menunjukkan bahwa keteladanan merupakan factor yang berada pada posisi crusial dalam usaha internalisasi nilai-nilai akhlak Islam terhadap tingkah laku siswa di sebuah lembaga pendidikan. Nilainilai yang hendak diinternalisasikan akan sulit diserap siswa jika tanpa teladan pendidik. Jangankan dapat sampai pada tahap penerimaan (satu tahap dari internalisasi nilai-nilai yang menuntut peran situasi lingkungan, diantaranya adalah peneladanan) bila pada tahap pengenalan dan pemahaman (transformasi nilai dari pendidik ke siswa) sebagai tahap awal tidak dilalui terlebih dahulu. 69
Ibid.,hlm. 143. T.M. Hasbi Ashshiddiqie, dkk., op.cit.,hlm. 686.
70
36
Bisa terjadi demikian disebabkan siswa akan mengikuti proses belajar mengajar dikelas dengan senang hati dan penuh semangat jika sang guru dapat menampilkan teladan-teladan yang baik serta bersikap dan berprilaku sesuai dengan materi yang diajarkan serta membangun hubungan baik dengan siswa. Sebaliknya, jika guru berperilaku dan bersikap dengan sikap-sikap dan perilaku yang tidak layak untuk diteladani serta tidak sesuai dengan materi yang disampaikan maka untuk saja siswa akan merasa ogah (malas), tidak semangat apalagi mengikuti proses pembelajaran tersebut dengan senang hati karena di dalam diri siswa tidak terdapat perasaan senang atau simpati terhadap guru tersebut. Untuk benar-benar dapat memberikan teladan, Imam Nawawi dalam al-Adzkar al-Nawawiyah-nya menyatakan bahwa seorang pengajar atau pendidik, termasuk di dalamnya adalah setiap orang yang memiliki ilmu dan bermanfaat bagi orang lain disunnahkan untuk menjauhi perbuatanperbuatan atau ucapan-ucapan yang secara dzohir salah sedangkan secara hakiki / sebenarnya ucapan-ucapan atau perbuatan-perbuatan tersesebut benar.71 4. Pembiasaan Mengenai pembiasaan ini, dalam bukunya Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi dan telah diterjemahkan oleh H.M. Arifin, Imam al-Ghozali berpendapat: Maka barang siapa ingin menjadikan dirinya bermurah hati maka caranya adalah membebani dirinya dengan perbuatan yang bersifat dermawan yaitu mendermakan hartanya. Maka jiwa tersebut akan selalu berbuat baik dan ia terus menerus melakukan mujahadah (menekuni) dalam perbuatan itu, sehingga hal itu akan menjadi watak. Disamping itu ia ringan melakukan perbuatan baik yang ahirnya menjadi orang yang dermawan. Demikian juga orang yang ingin menjadikan dirinya berjiwa tawadhu` (rendah hati) kepada orang-orang yang lebih tua, maka caranya ia harus membiasakan diri bersikap tawadhu` terus menerus, dan jiwanya menekuninya sehingga mudah berbuat sesuai dengan watak dan wataknya itu. Semua akhlak terpuji dibentuk melalui cara-cara ini yang
71
Imam Muhammad bin Muhyiddin ibnu Zakariya Yahya Bin Syarif al-Nawawi AlDamsyiqi, al-Adzkar al-Nawawiyah, (Indonesia: Dar al-Ihya` al-Kutub al-Arabiyah, tt), hlm. 276.
37
ahirnya perilaku kenikmatannya.72
yang
diperbuatnya
benar-benar
dirasakan
Pembiasaan merupakan proses pendidikan73. Aspek ini sering dilupakan oleh para pendidik, pendidikan yang instan berarti meniadakan pembiasaan. Tradisi dan bahkan juga karakter (perilaku) dapat diciptakan melalui latihan dan pembiasaan yang di upayakan praktiknya secara terus menerus. Kebersihan merupakan praktik yang memerlukan pembiasaan meskipun pada awalnya harus dipaksakan. Membaca al Quran, shalat jamaah juga perlu pembiasaan, tidak cukup hanya dengan hafal dalil (ayat atau hadits) mengenai shalat jamaah tersebut. John Dewey menyatakan “Pendidikan moral itu terbentuk dari proses pendidikan dalam kehidupan dan kegiatan yang dilakukan oleh murid secara terus-menerus”.74 Implemantasi nilai-nilai akhlak haruslah dibiasakan, tidak cukup menghafal
rangkaian
pasal
atau
ungkapan
mengenai
nilai-nilai
tersebut.75Dalam pembiasaan ini bukan hanya bagaimana siswa dibiasakan dengan sikap, tingkah laku atau penampilan, tetapi juga bagaimana siswa dibiasakan dengan keadaan lingkungan yang sesuai dengan nilai-nilai yang hendak diinternalisasikan. Misalnya, selain siswa diberi kegiatan membersihkan lingkungan sekolah secara bersama-sama setiap bulannya, di tempat-tempat tertentu seperti ruangan kelas dipasang tulisan-tulisan yang mengandung pesan-pesan nilai-nilai Islam, seperti kaligrafi, gambargambar tokoh Islam dan lain-lain. Norma berupa aturan atau patokan (baik tertulis atau tidak tertulis) sebagai wahana mewujudkan nilai dan berfungsi penghantar untuk dapat menyadari dan menghayati nilai-nilai.76 Aturan-aturan yang diciptakan
72
Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, op. cit., Hlm. 157. Qodri A. Azizy, op. cit., hlm. 146. 74 Ali al-Jumbulati dan Abdul Fatah at Tuwaanisi, op. cit., Hlm. 157. 75 Qodri A. Azizy, op. cit., hlm. 148. 76 YB. Adimassana, “Revitalisasi Pendidikan Nilai di Dalam Sektor Pendidikan Formal”, dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih, (eds), Pendidikan Nilai Memasuki Milenium Ketiga,(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 73. 73
38
dapat bermanfaat untuk internalisasi nilai-nilai akhlak Islam karena aturanaturan yang berjalan dengan baik akan tercipta pembiasaan, berkat pembiasaan ini akan menjadi habit bagi yang melakukannya kemudian akan menjadi ketagihan, dan pada waktunya menjadi tradisi yang sulit untuk ditinggalkan, akhirnya para ahli pendidikan berpendapat bahwa pendidikan yang baik yaitu pendidikan yang memiliki keteraturan.77 D. Evaluasi Hasil dari internalisasi nilai sulit untuk dites baik dengan sistem ujian tertulis maupun dinilai dengan ujian secara lisan. Penilaian yang berupa angka tidak akan relevan, dan penilaian yang relevan dalam hal ini adalah penilaian yang berupa uraian verbal walaupun hanya singkat, misalnya bagus sekali, bagus, cukup, jelek dan sebagainya.78Lebih lengkap lagi jika hal itu di beri keterangan mengenai alasan-alasannya. Memang penilaian semacam itu akan terkesan bahwa penilaiannya bersifat subjektif, karena amat ditentukan oleh kesan dari pengamatan guru terhadap murid. Tetapi jika guru melakukannya dengan jujur, hal itu akan sangat berguna untuk mendidik para muridnya karena mereka akan merasa perilaku mereka selalu diperhatikan baik-baik oleh orang lain (guru) dan akan ikut membantu kelancaran pendidikan mereka untuk seterusnya, dengan begitu siswa tidak merasa bebas untuk berbuat apa saja.
77 78
Qodri A. Azizy, op. cit., hlm.147 YB. Adimassana, op. cit., hlm. 40.