BAB I PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul Secara umum, sebuah judul penelitian perlu memperhatikan beberapa hal seperti aspek keaslian dan kebaruan penelitian, serta keterkaitannya dengan bidang ilmu yang digeluti. Sedangkan alasan praktis maupun teknis lebih berkaitan dengan tingkat kesulitan dan kemudahan yang dapat menghambat maupun memperlancar penelitian yang dilakukan. Adapun yang mendasari judul penelitian ini antara lain: 1. Aktualitas Berbicara aktualitas khususnya dalam jurnalistik, berarti informasi apapun yang disuguhkan seorang penulis harus mengandung unsur kebaruan, atau merujuk kepada peristiwa maupun fenomena yang benar - benar baru terjadi atau sedang terjadi (Siswoyo, 2011). Sedangkan dalam sebuah penelitian, aspek kebaruan tidak hanya terbatas pada isu atau substansi, namun bisa juga pada objek penelitian, lokasi, data, dan metodenya. Penelitian ini sendiri mengangkat isu tentang dampak pariwisata. Isu ini memang sudah bukan "barang baru" terutama ketika menjadi isu yang diangkat dalam sebuah penelitian. Namun setidaknya sampai saat ini, isu ini tergolong masih dan/atau sedang terjadi. Saat ini, melakukan aktifitas perjalanan wisata untuk sedikit keluar dari rutinitas keseharian semakin menjadi kebutuhan masyarakat global.
13
Dalam hal ini, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan (science) dan teknologi yang menuntun masyarakat pada pola pikir yang serba segalanya, tingkat stress kerja pun meningkat sehingga kebutuhan untuk melakukan rekreasi (travel) turut meningkat pesat. Hal ini juga didukung dengan semakin mudahnya melakukan perjalanan internasional (transportasi udara). Alhasil, sektor pariwisata berhasil menjadi primadona di berbagai Negara, begitu juga Indonesia. Berdasarkan data dari Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia (World Travel and Tourism Council - WTTC), pada tahun 2013 tercatat kontribusi perjalanan dan pariwisata internasional terhadap pendapatan nasional melalui PDB (Produk Domestik Bruto) mencapai angka 80,8 miliar dolar AS atau 9,2 % dari total PDB dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, meskipun pada dasarnya tetap bergantung pada fluktuasi Dunia Pariwisata Nasional dan Internasional. Berikut bagan dari WTTC:
Gambar 1. Dampak Perjalanan dan Pariwisata Internasional Terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia (Sumber : http://wttc-infographic.org/indonesia)
14
Selain itu, press release dari Organisasi Pariwisata Dunia (World Tourism Organization - UNWTO) melalui website resminya (unwto.org) menyatakan, tahun 2013 merupakan tahun yang baik bagi pariwisata internasional. Terhitung jumlah kedatangan internasional (international tourist arrivals) dapat tumbuh sebesar 5 %, atau menembus rekor 1,087 miliar kedatangan. Secara relatif, benua Eropa dan Asia-Pasifik mengalami pertumbuhan terbaik. Sedangkan untuk sub-region, kawasan Asia Tenggara menjadi kawasan dengan pertumbuhan tertinggi di dunia yakni sebesar 10 %. Hal ini membuat peran sektor pariwisata semakin penting bagi perekonomian negara - negara ASEAN termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri sektor pariwisata juga dapat memberikan manfaat terhadap penyerapan tenaga kerja yakni mencapai 10,18 juta orang atau 8,9 persen dari total jumlah pekerja (Parekraf.go.id, 2014). UNWTO juga menggarisbawahi fakta lain tentang pariwisata pada peningkatan kontribusinya dari total ekspor barang dan jasa di seluruh dunia yakni sebesar 6 %, dan angka yang sama pada Negara - Negara Berkembang. Dengan kata lain, perkembangan sektor pariwisata baik di Negara Industri maupun Negara Berkembang telah menghasilkan manfaat ekonomi yang sama. Saat ini, posisi ekonomi sektor pariwisata internasional dapat sejajar atau bahkan melampaui ekspor minyak, produk makanan, atau kendaraan bermotor. Sebagai kesimpulannya, pariwisata telah menjadi salah satu sektor ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di dunia.
15
Oleh karena pertumbuhan yang demikian, upaya mengintegrasikan sektor pariwisata ke berbagai tingkatan semakin digencarkan oleh para perumus kebijakan, tidak terkecuali tingkat regional bahkan lokal. Terkait hal ini, pengembangan pariwisata diharapkan dapat memberikan pengaruh positif terhadap masyarakat tuan rumah yang di sekitarnya terdapat kegiatan kepariwisataan, utamanya dari nilai manfaat ekonomi. Namun, sebagaimana nilai manfaat selalu berdampingan juga dengan nilai biaya. Perkembangan pariwisata dapat berdampak positif dan/atau negatif. Oleh karena itu, penulis dalam hal ini mengangkat judul penelitian "Kampung Turis dan Dampaknya Terhadap Pedagang Pasar Tradisional Prawirotaman". Untuk penjelasan lebih lanjut terkait bagaimana permasalahan itu muncul menjadi bahasan pada bagian berikutnya. Sedangkan, pertimbangan lain sebagai penguat diambilnya judul ini lebih kepada justifikasi lokasi penelitian yang akan disampaikan pada bagian metode. 2. Orisinalitas Selain berbicara tentang isu kepariwisataan, penelitian ini juga membicarakan tentang pasar traidisional. Sedangkan, studi terkait isu - isu pasar tradisional pada dasarnya sudah banyak dilakukan. Biasanya studi ini melibatkan industri lain yaitu ritel modern. Pada fokus penelitiannya sendiri, kebanyakan membahas tentang dampak kehadiran ritel modern ini terhadap pasar tradisional di sekitarnya. Di sini kemudian terdapat semacam keseragaman temuan yang mengatakan bahwa pertumbuhan ritel modern telah terbukti dapat menjadi "momok" bagi pedagang pasar tradisional, artinya
16
dampak negatif kerap muncul dan dikaitkan dengan kondisi terancamnya eksistensi pasar tradisional yang bersangkutan. Akan tetapi, penelitian yang mengaitkan pedagang pasar tradisional dengan industri pariwisata masih jarang ditemukan. Berikut akan penulis sajikan beberapa kajian penelitian sejenis sebagai pembanding sekaligus penguat penelitian yang dilakukan penulis : Pertama, terdapat penelitian yang disusun oleh Nahdliyul Izza (2011) dari Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta yang berjudul "Pengaruh Pasar Modern
Terhadap
Pedagang
Pasar
Tradisional
(Studi
Pengaruh
Ambarukmo Plaza Terhadap Perekonomian Pedagang Pasar Desa Caturtunggal
Nologaten
Depok
Sleman
Yogyakarta)"
(Digilib.uin-
suka.ac.id, 2012). Fokus dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana pengaruh dan mekanisme (dominasi) pasar modern terhadap perekonomian pedagang pasar tradisional, serta bagaimana cara bertahan pasar tradisional dalam menghadapi strategi pasar modern. Hasil penelitiannya sendiri menjelaskan bahwa adanya pasar modern (Ambarukmo Plaza) membawa pengaruh bervariasi, baik positif, negatif maupun tidak keduanya. Selain itu pasar modern ini juga mendominasi para konsumen dalam pembelian produk dengan diadakannya diskon, adanya pamphlet dan pelayanan serta infrastruktur yang baik, walaupun begitu pasar tradisional tetap bisa bertahan dengan beberapa faktor atau cara terutama melalui karakter (transaksi tawar menawar).
17
Berikutnya, terdapat penelitian yang disusun oleh Daniel Suryadarma, Adri Poesoro, Sri Budiyati, Akhmadi, dan Meuthia Rosfadhila dengan judul "Impact of Supermarkets on Traditional Markets and Retailers in Indonesia's Urban Centers" yang dipublikasikan oleh SMERU Research Report, Edisi Agustus 2007. Studi ini mengukur dampak supermarket pada pasar tradisional di pusat-pusat perkotaan di Indonesia secara kuantitatif menggunakan difference-in-difference dan metode ekonometrik, serta secara kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam. Sebagai hasilnya, melalui metode kuantitatifnya tidak ditemukan dampak signifikan secara statistik pada pendapatan dan keuntungan, tetapi terdapat dampak signifikan dari supermarket terhadap jumlah pegawai pasar tradisional. Sedangkan temuan - temuan kualitatifnya menunjukkan bahwa penurunan di pasar tradisional kebanyakan bersumber dari masalah internal yang memberikan keuntungan pada supermarket. Dari beberapa pembahasan di atas, walaupun tema besar yang diambil sama/serupa yaitu tentang dampak suatu industri terhadap pedagang pasar tradisional, namun secara fokus kajian maupun objek bahasan sangat berbeda jauh. Sebagaimana penulis dalam penelitian ini akan mengkaji bagaimana dampak dari perkembangan industri pariwisata berpredikat "Kampung Turis" di Prawirotaman terhadap pedagang pasar tradisional di sekitarnya. Sedangkan, untuk penelitian tentang dampak pariwisata terhadap masyarakat sekitar terutama kepada komunitas lokal tertentu, pada dasarnya juga sudah banyak dilakukan oleh berbagai kalangan. Baik dalam sekup nasional maupun
18
internasional. Sebagai contoh, ada pada penelitian berjudul "Dampak Pariwisata Waduk Kedung Ombo (WKO) Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lokal" yang disusun oleh Widodo, Fandeli, Baiquni, & Damanik (2011), dan "Tourism and Its Effects on Southeast Alaska Communities and Resources: Case Studies From Haines, Craig, and Hoonah, Alaska" oleh Cerveny (2005). Salah satu yang menjadi pembeda di sini adalah pada pemilihan lokasi. Dalam hal ini, kajian tentang dampak pariwisata diakui bisa berbeda - beda tergantung siapa sasarannya, dan dalam konteks apa. Terkait hal ini, selain beberapa penelitian (tema serupa) yang telah disebutkan sebelumnya, juga pernah dilakukan beberapa studi yang menggunakan lokasi penelitian yang sama dengan yang penulis pilih yakni Kampung Prawirotaman di Kota Yogyakarta. Beberapa studi tersebut sebagai berikut: "Studi Terhadap Kampung Wisata Prawirotaman Yogyakarta", oleh Retno Kumolohadi, Nugroho Dwi Priyohadi, Th. Agung M. Harsiwi, (1994) dari Fakultas Psikologi dan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada. Penelitian ini merupakan salah satu penelitian tertua tentang kampung Prawirotaman. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan antara lain; memberikan sumbangan pemikiran terhadap pemgembangan kampung wisata, mengkaji pengaruh sosial budaya, ekonomi, dan perilaku akibat dari pariwisata, dan lebih konkret, usaha memberikan masukan
sehubungan
dengan
pembinaan
Kelompok
Sadar
Wisata.
19
Menggunakan metode kualitatif, penelitian ini berhasil menggambarkan kondisi sosial, ekonomi, budaya Kampung Prawirotaman pada waktu itu. Berbeda dengan penelitian di atas, pada penelitian lain yang berjudul "Model
Pengembangan
Pariwisata
Berbasis
Masyarakat
di
Kota
Yogyakarta", oleh Isnaini Muallisin, dipublikasikan melalui SIP ; Jurnal Penelitian Bappeda Kota Yogyakarta edisi ke 2, Desember 2007, ISSN 19780052
lebih
menjelaskan
mengenai
model
pengembangan
kampung
internasional yang cocok diterapkan untuk Kampung Prawirotaman, yakni model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Kemudian, penelitian terbaru yang mengambil lokasi di sekitar Kampung Prawirotaman (yang berhasil penulis temukan) adalah penelitian berjudul "Pemberdayaan Pelaku Pasar Tradisional Prawirotaman oleh Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta" yang disusun oleh Supardiono (2013), Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Digilib.uin-suka.ac.id, 2012). Penelitian ini lebih berfokus kepada eksplorasi deskriptif tentang program pemberdayaan pelaku pasar tradisional di Pasar Prawirotaman oleh Dinas Pengelolaan Pasar Kota Yogyakarta. Dengan demikian, dari dua penelitian dengan lokasi Kampung Turis Prawirotaman dan satu penelitian dengan lokasi Pasar Prawirotaman tersebut, terlihat jelas adanya perbedaan fokus kajian dengan penelitian yang penulis ajukan. Sehingga dapat dikatakan, penelitian yang penulis lakukan masih
20
tergolong orisinal, setidaknya dari pembahasan tersebut justru semakin memperkuat justifikasi pemilihan lokasi penelitian yang penulis lakukan. 3. Relevansi dengan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan salah satu cabang ilmu sosial dan memiliki hubungan erat dengan ilmu - ilmu sosial lainnya yang berobjek pada masyarakat. Cabang ilmu yang biasa disingkat dengan PSdK ini memfokuskan diri pada pembelajaran mengenai peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan ini atau yang lebih dikenal dengan Pembangunan Masyarakat pada dasarnya merupakan tindakan untuk menciptakan keseimbangan antara kebutuhan (needs) dengan sumberdaya apapun yang dimiliki (resources) guna mencapai kesejahteraan fisik, mental dan sosial di dalam hubungan sosial masyarakat. Untuk itu, sebagai ilmu tentang kesejahteraan, penulis menilai topik yang diangkat dalam penelitian ini cukup relevan dengan hal tersebut. Dalam hal ini, pasar Tradisional merupakan bagian dari Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), lebih tepatnya termasuk ke dalam kategori Usaha Mikro. Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terdapat kriteria Usaha Mikro sebagai berikut: a) memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau b) memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). UMKM sendiri sering disebut dapat mendongkrak perekonomian nasional. Dan sebagai lembaga ekonomi kerakyatan, isu tentang pasar
21
tradisional sangat bersinggungan dengan isu kesejahteraan serta masalah sosial ekonomi lainnya. Hal itu kiranya cukup jelas. Kemudian,
Ilmu
PSdK
di
dalam
pembelajarannya
juga
memperkenalkan satu konsep tentang kesejahteraan yang dikenal dengan istilah Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development). "...Meeting the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs..." (Report of the World Commission on Environment and Development, 1987). Proses pembangunan hendaknya berkelanjutan dengan memperhatikan pemenuhan kebutuhan di masa ini tanpa mengurangi kemampuan untuk memenuhi apa yang dibutuhkan generasi di masa yang akan datang. Pola pikir (mindset) yang kemudian tertanam adalah untuk semakin peduli, tidak hanya secara ekonomi, juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat serta terhadap lingkungan hidup. Seiring dengan perkembangannya, konsep pembangunan berkelanjutan sendiri sering dianggap sebagai konsep pembangunan terbaik, termasuk dalam hal ini pembangunan di bidang pariwisata. Konsep ini cukup melekat dengan pariwisata, bahkan mengadaptasi dari konsep tersebut muncul suatu gagasan yakni Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan (Sustainable Tourism). UNWTO
mendefinisikannya
sebagai,
pembangunan
pariwisata
yang
memperhitungkan dampak penuh ekonomi, sosial, dan lingkungan saat ini dan masa depan, guna mengatasi kebutuhan wisatawan, industri, lingkungan hidup, dan masyarakat setempat. Hal ini diperkuat dengan pengalaman sebelumnya dimana pariwisata masal (mass tourism) masih diutamakan.
22
Pada waktu itu, sektor pariwisata justru lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif, terutama terkait masalah sosial, budaya, dan lingkungan hidup yang jika dihitung biaya yang ditimbulkan justru lebih besar dari manfaat ekonomi yang dihasilkannya. Jadi, sebenarnya dapat dikatakan bahwa pembangunan pariwisata juga merupakan isu tentang kesejahteraan. Dengan demikian, dua konsep yakni pasar tradisional dan pariwisata yang menjadi satu topik dalam penelitian yang penulis ajukan ini sangat memiliki kaitan erat dengan bidang ilmu yang penulis geluti. B. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan sektor pariwisata internasional selama beberapa dekade terakhir telah berhasil mencuri perhatian banyak pihak, terutama di kalangan akademisi sebagai kaum pemikir. Berbagai wacana atau diskursus mulai bermunculan ke permukaan untuk mencoba menjelaskan fenomena "sosialekonomi" global ini. Salah satunya ada pada kaitannya dengan globalisasi (Azarya, 2004:949). Dalam hal ini, fenomena pertumbuhan sektor pariwisata kerap dianggap muncul sebagai efek samping dari globalisasi itu sendiri. Terdapat logika sederhana di sini. Meskipun kerap identik dengan kritiknya sebagai "paket ekonomi" yang diusung oleh Negara - Negara Superpower untuk dapat melebarkan sayapnya di berbagai belahan dunia, globalisasi secara mendasar adalah tentang menghapus batasan - batasan yang ada untuk menjadikan dunia lebih mudah diakses siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. Terkait hal ini, beberapa implikasi utama dari globalisasi ada pada perkembangan teknologi, media komunikasi, dan sarana transportasi.
23
Sebagai contoh, berkembangnya sektor (jasa) penerbangan semakin memudahkan seseorang untuk dapat melakukan perjalanan internasional, bahkan ke tempat terpencil sekalipun. Dalam hal ini, pariwisata yang pada dasarnya merupakan "aktifitas berpindah tempat" dari daerah asal ke daerah tujuan, sangat terpacu oleh perkembangan sektor (jasa) penerbangan ini. Contoh lain ada pada semakin populernya penggunaan internet. Di sini, mereka yang ingin berwisata dapat mengakses (browsing) berbagai informasi terkait destinasi wisatanya terlebih dahulu, sebelum memutuskan ingin berlibur ke mana. Ditambah lagi, saat ini sudah ada perangkat pintar smartphone yang memiliki berbagai aplikasi perangkat lunak yang ditujukan untuk memudahkan penggunanya memilih paket wisata yang diinginkan, mulai dari pemesanan tiket pesawat hingga booking hotel atau penginapan bisa dilakukan dengan bermodal "jempol" saja. Sederhananya, berkat globalisasi, siapapun saat ini dapat berlibur ke "Negeri Antah-Berantah" idamannya. Dalam konteks masyarakat global, saat ini pariwisata juga sudah menjadi bagian dari kebutuhan dasar, terutama bagi orang - orang Barat. "Where once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right. In the United States, as well as in other parts of the developed world, families and individuals spend as much as they do on food, clothing, or health care." (John Naisbitt dalam Santosa, 2002). Kebutuhan dasar (needs) di sini juga sangat memiliki kaitan erat dengan motivasi (motivation). Pearce (1982) misalnya (dalam Gisolf, 2014), mencoba mengaplikasikan Teori Motivasi Maslow (1943) ke dalam konteks pariwisata dan mengombinasikannya dengan
24
pengalaman wisatawan. Sebagai implikasinya, Pearce dalam hal ini berhasil mentransformasi piramida hirarki kebutuhan dasar Maslow menjadi piramidanya sendiri tentang motivasi berlibur wisatawan, yang di dalamnya terdapat; 1) relaxation (rest <> active), 2) stimulation (stronger emotions), 3) social needs (family, friends), 4) self esteem (self development through cultural, nature or other activities), 5) self-realization (search for happiness). Berbicara tentang kebutuhan dasar (needs) dan motivasi (motivation) dalam konteks industri pariwisata pada dasarnya merupakan konsepsi yang sangat luas dan kompleks karena harus memperhitungkan keinginan pribadi wisatawan yang bersangkutan, dan tentunya dengan karakteristiknya masing - masing. Namun, poin penting yang dapat diambil di sini adalah tentang "apa dan bagaimana keinginan wisatawan" itu dapat berimplikasi juga terhadap pergeseran arah perkembangan pariwisata internasional. Artinya, pariwisata internasional yang dewasa ini dikatakan sebagai "the world’s largest and fastest-growing industries" (World Travel and Tourism Council [WTTC], 2012) memiliki pangsa pasar yang sangat besar; terutama jika dikaitkan dengan "berlibur" yang sudah menjadi kebutuhan dasar masyarakat global, dan pangsa pasar ini muncul menjadi kekuatan tersendiri. Dengan kata lain, "keinginan wisatawan" harus diutamakan, baik itu perseorangan maupun kelompok. John Naisbitt (dikutip Fedorov, 2015:1) menyebut fenomena seperti ini dengan istilah global paradox atau paradoks global. "The bigger the world economy, the more powerful its smallest players.". Secara lebih lanjut, John menerangkan bahwasanya semakin berkembang ukuran (size) dan kompleksitas
25
(complexity) sebuah sistem, semakin bertambah juga (secara proporsional) peran penting berbagai individu yang terlibat di dalamnya. Dalam konteks pariwisata, semakin besar industri pariwisata internasional, semakin berkuasa para pemain kecilnya, yaitu wisatawan. Terkait hal ini, di dalam dunia kepariwisataan terdapat hukum permintaan dan penawaran selayaknya industri pada umumnya. Permintaan pada dasarnya merupakan sesuatu yang diinginkan oleh konsumen, dalam hal ini wisatawan; sesuatu yang dicari wisatawan, minat wisatawan, dan keinginan wisatawan yang dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor individual. Sedangkan, penawaran berhubungan dengan apa yang ada di Daerah Tujuan Wisata; daya tarik wisata, atraksi, akomodasi, transportasi dan fasilitas penunjang pariwisata serta kelembagaan terkait. Perbedaan antara permintaan dan penawaran di sini terletak pada kewenangannya. Jika penawaran berada dalam kewenangan pihak pemangku kebijakan dan pelaku industri pariwisata. Permintaan sepenuhnya merupakan wewenang wisatawan. Permintaan dari wisatawan ini juga sejatinya memiliki sifat yang sangat dinamis, dapat berubah - ubah sesuai dengan tren global yang muncul. Sedangkan, industri pariwisata sebagai entitas yang "menawarkan" produk wisata (barang dan jasa) harus ikut berkembang dinamis juga mengikuti pola permintaan yang ada, agar daya jualnya tidak menurun. Terkait hal ini terdapat perubahan mendasar di sini, tadinya pariwisata yang selalu mengutamakan wisata masal (mass tourism), saat ini mulai bergeser dan harus memperhatikan juga wisata spesifik (specific tourism). Dengan kata lain, industri pariwisata yang tadinya cukup memberikan
26
pelayanan dengan menyeragamkan produk wisatanya (mass market), saat ini harus dihadapkan juga dengan diversifikasi pasar dan harus dapat memenuhi keinginan setiap wisatawannya yang beragam. Artinya preferensi individu mulai dipertimbangkan di sini, inilah yang dimaksud oleh John Naisbitt sebagai global paradox, utamanya jika dikontekskan dengan pariwisata. Konsepsi tentang preferensi individu ini juga pada dasarnya memiliki kaitan erat dengan perubahan pola konsumsi. "Wilmott and Nelson (2003) have identified the complexity of consumerism, with consumers seeking new meaning, consistent with Maslow’s self-actualisation concept." (dalam Yeoman, 2008:168). Dalam hal ini, konsumen menuntut adanya bentuk - bentuk nyata aktualisasi diri melalui pencarian "pengalaman berharga" daripada sekedar mempermasalahkan kepemilikan barang di tengah gempuran globalisasi yang serba "material". Mereka di sini termovitasi oleh isu - isu dunia seperti masalah lingkungan hidup, pelestarian binatang, dan isu kelaparan di Negara Dunia Ketiga. Dalam konteks pariwisata, perubahan ini menuntun wisatawan selaku konsumen untuk mencari wisata alternatif baru, mereka menuntut adanya pengalaman - pengalaman baru yang otentik (authentic) dan asli (genuine). Dengan kata lain, berwisata saat ini tidak lagi hanya tentang 4S atau Sun, Sea, and Sand or Sex, akan tetapi juga tentang mencari pengalaman atau "search for experience", serta tentang kepedulian atau kesadaran (awareness) terhadap lingkungan hidup. Sebagai contoh sederhananya, ada pada film berjudul "David Beckham: Into the Unknown" (2014). Sebuah film dokumentasi perjalanan wisata David Beckham; seorang artis internasional dan mantan pemain sepak bola terkenal,
27
bersama dengan 3 orang temannya yang melakukan perjalanan dari Brazil menuju Hutan Amazon (Amerika Selatan) hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor. Dari pengalaman mengendarai sepeda motor jarak jauh, tidur di hutan, sampai akhirnya bertemu warga pribumi Suku Yanomami (suku asli Amazon: di antara Venezuela dan Brazil Utara). Pengalaman - pengalaman otentik (authentic) dan asli (genuine) seperti inilah yang saat ini dicari oleh wisatawan global. Terkait hal ini, meskipun pada dasarnya wisata alam masih banyak digemari, muncul terminologi baru seiring dengan kemunculan wisatawan jenis baru ini, yaitu pada istilah "Experiential Tourism". Menurut IMIC 2015: 1st International Conference on Experiential Tourism, konsep ini memiliki cakupan kajian yang luas dan masih sangat modern, termasuk di dalamnya memiliki banyak bentuk; mulai dari aktifitas outdoor, wisata budaya, wisata kuliner, ekowisata, wisata edukasi, wisata peninggalan budaya, hingga wisata eksperimen, dsb. Pada dasarnya, penggunaan terminologi ini hanya semacam untuk meringkas berbagai jenis wisata baru tersebut; yang mulai bermunculan sekarang ini. Intinya adalah satu, yaitu pada pola pikir yang mengatakan bahwa berwisata saat ini adalah tentang mencari pengalaman pengalaman berharga dan dapat dikenang seumur hidup (lifetime experiences and the long-lasting memories), karena hal itulah yang membuat pariwisata menjadi tak ternilai (priceless) dan unik (unique). Berdasarkan perkembangan ini, pariwisata internasional saat ini mulai bergeser orientasinya dari produk wisata yang ditawarkan oleh Negara Maju ke produk wisata di Negara Berkembang, termasuk dalam hal ini Indonesia. Negara
28
Indonesia juga kerap identik dengan pencitraan dari masyarakatnya sendiri yang mengatakan bahwa Indonesia adalah Negara yang penuh dengan potensi pariwisata, tidak hanya alamnya, juga heritage, dan kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Di Indonesia sendiri, kewenangan untuk mengelola pariwisata suatu daerah diberikan kepada Otonomi Daerah. Hal ini didasarkan pada UndangUndang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah atau Undang-Undang tentang Otonomi Daerah. Adanya otonomi daerah mewajibkan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten maupun Kota untuk lebih kreatif dalam mencari dan mengembangkan potensi yang ada di daerahnya masing - masing, sehingga pendapatan daerah dapat semakin meningkat. Termasuk dalam hal ini Kota Yogyakarta. Pemda Yogyakarta melalui Dinas terkait yaitu, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta tentunya memiliki visi dan misi tersendiri ketika berbicara tentang pengembangan pariwisata. "Terwujudnya Kota Yogyakarta sebagai Kota Pariwisata berbasis budaya yang bertumpu pada kekuatan dan keunggulan budaya lokal dan dapat menjadi lokomotif pembangunan Kota Yogyakarta secara menyeluruh" menjadi visi dari Dinparbud Kota Yogyakarta. Hal ini sejalan juga dengan visi Kota Yogyakarta di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2005-2025, yang ingin menjadikan "Kota Yogyakarta Sebagai Kota Pendidikan Berkualitas, Pariwisata Berbasis Budaya dan Pusat Pelayanan Jasa, yang Berwawasan Lingkungan". Satu pernyataan yang perlu menjadi perhatian di sini adalah pada istilah "Pariwisata Berbasis Budaya".
29
Secara umum, platform yang dicanangkan yaitu "Pariwisata Berbasis Budaya" ini memang menjadi identitas pariwisata Kota Yogyakarta yang membedakannya dari daerah lain. Hal ini selaras dengan kondisi geografis, sosial dan budaya di Kota Yogyakarta sendiri. Secara geografis, Kota Yogyakarta memang tidak banyak memiliki potensi alam yang menonjol tetapi secara sosial budaya masih memiliki tradisi, seni, dan budaya yang masih lestari dan dihargai banyak kalangan. Inilah yang dianggap menjadi daya tarik utama (pariwisata) di Kota Yogyakarta, setidaknya menurut identifikasi Pemda Yogyakarta. Pemilihan platform "Pariwisata Berbasis Budaya" juga sebenarnya sangat sesuai dengan prinsip dari "Experiential Tourism" yang mengedepankan pengalaman otentik wisatawannya, terutama wisman. Artinya, peluang pasar ini dapat menjadi kekuatan besar penggerak perekonomian daerah, tinggal bagaimana Pemda Yogyakarta dalam hal ini "mengemas" lagi pelayanan pariwisatanya. Situs online BPS (Badan Pusat Statistik) melansir, sektor ekonomi yang memiliki peranan terbesar dalam struktur perekonomian DIY melalui nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) DIY (atas dasar harga berlaku) pada triwulan III 2014 adalah sektor jasa-jasa yaitu sebesar 21,9 persen, kemudian diikuti oleh sektor perdagangan, hotel, dan restoran sebesar 20,9 persen. Dalam hal ini, pariwisata melalui sektor perhotelan telah memiliki peranan penting dan mampu menopang pertumbuhan ekonomi DIY. Namun, terdapat realitas lain di dalamnya. Peranan penting sektor perhotelan ini dibarengi dengan kebanjiran permintaan atau izin membuka perhotelan. Berdasarkan data Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tahun 2014 ada 64 hotel berbintang dan 500 hotel non
30
berbintang dengan jumlah kamar sekitar 8.000 unit. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) melansir, hingga tahun 2012 ada 32 hotel berbintang dan 354 hotel melati dengan jumlah kamar 6.196. Itu berarti, pertumbuhan hotel di Yogyakarta meningkat dua kali lipat hanya dalam waktu dua tahun (Kusuma, 2015). Pertumbuhan
sektor
perhotelan
yang
seperti
ini
dianggap
mengkhawatirkan bagi sebagian pihak, seperti misalnya mereka yang menaruh perhatian terhadap isu Tata Ruang Kota. Sebenarnya Pemerintah Kota Yogyakarta telah mengeluarkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 77 Tahun 2013 tentang Moratorium Pemberian Izin Pembangunan Hotel mulai 1 Januari 2014 hingga 31 Desember 2016 mendatang. Namun, sebanyak 104 permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel baru tetap diproses, dengan dalih diajukan sebelum moratorium pembangunan hotel diberlakukan (Sutriyati, 2015). Terkait hal ini, terdapat satu kawasan di Kota Yogyakarta yang dikenal sebagai sentra perhotelan. Kawasan tersebut adalah Kampung Prawirotaman. Kampung Prawirotaman sendiri juga dikenal memiliki predikat sebagai "kampung internasional", lantaran di kawasan kampung ini berjejer perhotelan modern, Jawa klasik, dan berbagai penginapan (guest house dan home stay) kelas melati lainnya yang kebanyakan ditinggali oleh wisatawan internasional atau turis asing. Seiring dengan perkembangannya, berbagai layanan pariwisata seperti money changer, agen wisata, kafe dan resto, warnet dan wartel, bahkan bookshop dan artshop, serta tourist information centre mulai bermunculan di sekitar penginapan – penginapan yang ada, sehingga menjadikannya sebagai pusat tersendiri bagi wisatawan untuk tinggal selama berkunjung ke Kota Yogyakarta. Maka, tidak
31
heran jika kemudian kawasan ini mendapat julukan “Kampung Turis” karena kondisi kehidupan masyarakat aslinya yang berbaur dengan ramainya turis asing yang "wara - wiri" di sekitarnya. Setidaknya, pemandangan seperti turis asing sedang menikmati bir di kafe sudah menjadi hal yang biasa bagi masyarakat Kampung Prawirotaman dan sekitarnya. Dalam hal ini, di sekitar Kampung Turis Prawirotaman juga terdapat sebuah entitas komunitas lokal lain yaitu Pasar Tradisional Prawirotaman. Pasar tradisional di sini identik dengan masyarakat kelas menengah ke bawah, yang dalam hal ini merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Pasar tradisional sendiri pada dasarnya tidak hanya memiliki fungsi ekonomi sebagai tempat bertransaksi antara pedagang dan pembeli, namun juga memiliki fungsi sosialnya sebagai tempat berinteraksi. Sebagai ruang interaksi rakyat, pasar tradisional merupakan penggambaran nyata bagaimana realitas kehidupan asli masyarakat Indonesia itu terjadi. Dengan kata lain, pasar tradisional atau yang lebih dikenal dengan “pasar” sudah menjadi identitas masyarakat Indonesia. Belum lagi, kentalnya sisi historis dari pasar ini di dalam posisinya sebagai jantung hati perekonomian rakyat di masa lampau; masa di mana belum ada mall, supermarket, minimarket, dsb. Dari perspektif pariwisata, dan jika dikaitkan dengan konsep "Experiential Tourism", pasar tradisional yang merupakan perwujudan otentik (authentic) dan asli (genuine) dari masyarakat Indonesia ini sejatinya merupakan lahan baru dalam industri pariwisata.
32
Seperti kita ketahui, industri pariwisata merupakan sektor pembangunan yang menjanjikan bagi pertumbuhan ekonomi suatu Negara. Organisasi Pariwisata Dunia atau UNWTO juga menggarisbawahi tentang pentingnya pembangunan pariwisata dalam grafik berikut;
Gambar 2. Pentingnya Pembangunan Pariwisata Menurut Organisasi Pariwisata Dunia - UNWTO (Sumber : http://www2.unwto.org/content/why-tourism)
Secara singkat, UNWTO mencoba mengatakan bahwa pariwisata internasional telah terbukti memberikan dampak positif terhadap perekonomian dunia, dari kontribusi pendapatan Negara melalui PDB (Produk Domestik Bruto), peningkatan total ekspor terutama jasa di seluruh dunia, serta penciptaan lapangan pekerjaan baru. Bahkan bagi beberapa komunitas (masyarakat), pariwisata telah menjadi aktifitas ekonomi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup mereka hingga menjadikan ketergantungan (ekonomi) tersendiri. Akan tetapi, dampak dari pariwisata terutama pada level komunitas pada dasarnya masih belum dapat dipahami secara utuh.
33
Kebanyakan orang berpikir tentang pariwisata dalam hal nilai ekonomi yang dihasilkan, lapangan pekerjaan yang tercipta, dan sumbangannya melalui pajak. Namun, cakupan dampak yang dapat dihasilkan dari pengembangan pariwisata sebenarnya sangatlah luas, bahkan seringkali mempengaruhi area di luar aspek - aspek yang sering dihubungkan dengan pariwisata (Kreag, 2001:2). Dalam
konteks
Pembangunan
Masyarakat
(Community
Development),
pengembangan pariwisata utamanya dalam jangka panjang dan berkelanjutan bergantung pada kemampuan tokoh masyarakat atau aktor - aktor berpengaruh dan tenaga profesional atau ahli di bidang pariwisata untuk dapat memaksimalkan manfaat (dampak positif) dan meminimalkan biaya (dampak negatif) dari sektor ini. Dengan kata lain, ketika aktor - aktor tersebut, begitu juga dengan masyarakat sekitar memahami dan sadar akan potensi dari dampak pengembangan pariwisata, niscaya industri pariwisata akan dapat terintegrasi dengan sebaik - baiknya terutama pada level komunitas. Pada kasus Kampung Turis Prawirotaman, perkembangannya pastilah memiliki dampak tertentu terhadap masyarakat sekitar, bahkan pada komunitas lokal
tertentu.
Permasalahannya
tinggal
bagaimana
dampak
itu
dapat
teridentifikasi, sehingga dapat diketahui mana yang bisa dimaksimalkan (positif) dan mana yang harus ditekan (negatif). Yang dimaksud dengan komunitas lokal di sini adalah pedagang Pasar Tradisional Prawirotaman yang ada di sekitar Kampung Turis ini. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, posisi tawar mereka di dalam tren preferensi wisatawan global saat ini tergolong tinggi. Mereka bisa
34
dianggap sebagai suatu entitas otentik dan asli yang saat ini sedang dicari wisatawan. Ketika dikaitkan dengan pertumbuhan sektor perhotelan di DIY saat ini. Salah satu kritik yang muncul adalah soal estetika, ditakutkan bahwa rancangan bangunan hotel yang tidak sesuai (perhotelan modern) akan dapat mengurangi nilai ketradisionalan yang menjadi ciri khas Kota Yogyakarta, sebagai daya tarik wisata utamanya. Terlebih lagi, moratorium pemberian izin pembangunan hotel di Kota Yogyakarta akan segera berakhir di tahun 2016. Jika tidak dikelola dengan baik, ada kemungkinan pertumbuhan hotel modern akan semakin kencang. Dalam hal ini, posisi tawar pasar tradisional sebagai wisata alternatif menjadi terancam. Selain itu, pariwisata pada dasarnya adalah kegiatan yang memiliki dua mata pisau, pariwisata dapat memiliki dampak kontradiktif apabila tidak diperhatikan dengan baik. Sekali lagi, setiap pengembang pariwisata di suatu kawasan pasti mengharapkan pariwisata dapat berpengaruh positif terhadap kehidupan sosialekonomi masyarakat lokal, sebaliknya dampak negatif terhadap kehidupan sosialekonomi dapat diminimalisir. Salah satu cara adalah dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik. (Widodo, Fandeli, Baiquni, & Damanik, 2011:209). C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, adapun rumusan masalah yang dikemukakan
dalam
perkembangan
penelitian
Kampung
Turis
ini
adalah:
terhadap
"Bagaimana pedagang
dampak
Pasar
dari
Tradisional
Prawirotaman?".
35
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian a) Penelitian ini dilakukan dengan mengeksplorasi perspektif para pedagang pasar tradisional Prawirotaman, berdasarkan pengalaman pengalaman individu seobjektif mungkin, yang bertujuan untuk memaknai dan mendeskripsikan dampak dari perkembangan Kampung Turis Prawirotaman terhadap mereka b) Selain itu, penelitian ini juga ditujukan sebagai tugas akhir atau skripsi Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan sebagai syarat memperoleh gelar sarjana 2. Manfaat Penelitian a) Dapat memberikan gambaran mengenai dampak yang dibicarakan dan gambaran mengenai persoalan yang meliputi pelaku pasar tradisional khususnya para pedagang yang menggantungkan hidupnya dari beroperasinya pasar tradisional b) Diharapkan dapat menjadi sumbangan akademis dan dapat menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya c) Dapat memberikan kontribusi pengetahuan bagi Jurusan Ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan sebagai contoh realitas kehidupan masyarakat pelaku pasar tradisional
36
E. Tinjauan Pustaka 1. Sekilas tentang Konsep Pariwisata Pemahaman tentang konsep pariwisata dapat dimulai dengan mengerti bahwa pariwisata merupakan kegiatan ekonomi yang dinamis. Secara umum dapat dikatakan, pariwisata yang bersifat dinamis tersebut melibatkan banyak manusia serta menghidupkan berbagai bidang usaha (Ismayanti, 2010:1). Pariwisata, dalam hal ini tidak hanya terbatas untuk kegiatan atau aktifitas pada sektor akomodasi, sektor perhotelan, sektor transportasi dan sektor hiburan untuk wisatawan semata, akan tetapi pariwisata dan manajemennya memiliki hubungan erat dengan seluruh fungsi utama, proses, dan prosedur yang dipraktekkan di berbagai “bidang” yang terkait dengan pariwisata sebagai sebuah sistem. Selain itu, industri pariwisata juga melibatkan fungsi perencanaan, pengorganisasian, koordinasi, pelatihan, dan monitoringevaluasi di semua tingkatan (internasional, nasional, regional, bahkan lokal). Oleh karenanya pariwisata terintegrasi ke dalam unit - unit ekonomi baik makro maupun mikro. Dengan kata lain, pariwisata sebagai sebuah sistem memiliki cakupan yang sangat luas (Simoni & Mihai dalam Zaei M & Zaei M, 2013:12). Pada konsep yang lebih sederhana, Gamal Suwantoro (dalam Widoyoko, 2008:14) mengatakan; "Istilah pariwisata berhubungan erat dengan pengertian perjalanan wisata, yaitu sebagai suatu perubahan tempat tinggal sementara seseorang di luar tempat tinggalnya karena suatu alasan". Definisi lain, dikemukakan oleh Matthieson & Wall (dalam Mason, 2012:5)
37
yang mengindikasikan bahwa pariwisata terdiri dari; "the temporary movement of people to destinations outside their normal places of work and residence, the activities undertaken during the stay in those destinations, and the facilities created to cater for their needs". Terdapat 3 poin penting dari definisi Matthieson & Wall yaitu; 1) perubahan tempat tinggal sementara, 2) aktifitas yang dilakukan wisatawan selama tinggal di daerah tujuan, dan 3) fasilitas yang ada untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Dari dua definisi ini, dapat ditarik kesamaan sebagaimana definisi - definisi pariwisata pada umumnya yakni, secara sederhana pariwisata merupakan suatu kegiatan perjalanan (travel activity) ke wilayah asing yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok, dan selebihnya dapat diartikan berbeda oleh satu pihak dengan yang lain. Karenanya, konsep pariwisata tidak memiliki definisi yang baku. Salah satu penyebab tidak adanya definisi yang baku tentang pariwisata terletak pada, studi pariwisata yang seringkali berbeda dan bertolak belakang dalam segi pendekatan filosofis, orientasi metodologi, serta tujuan dari penelitian itu sendiri. Kendati demikian, tidak adanya definisi yang baku lantas tidak mengurangi pentingnya pemahaman tentang aspek - aspek kunci dari definisi pariwisata itu sendiri. Prosser (dalam Mason, 2012:6) mengidentifikasi komponen utama dari berbagai definisi pariwisata sebagai berikut; 1) Pergerakan (movement), dalam hal ini perjalanan wisata, 2) tinggal sementara, tidak menetap (non-permanent stay),
38
3) aktifitas dan pengalaman wisatawan selama melakukan perjalanan wisata dan tinggal di suatu tempat, 4) sumber daya dan fasilitas yang dibutuhkan, dan 5) dampak dari perjalanan wisata dan tinggal di suatu tempat itu sendiri. Poin menarik dari komponen yang diberikan oleh Prosser terletak pada referensi yang menyinggung tentang dampak pariwisata (tourism impacts). Prosser meyakini bahwa pariwisata melalui aktifitas wisatawan dapat memberikan dampak tertentu. Dalam hal ini, Jafari (dikutip Mason, 2012:5) juga memasukkan referensi tentang dampak pariwisata dalam definisinya, yakni : “Tourism is a study of a man (sic) away from his usual habits, of the industry which responds to his needs and the impacts that both he and the industry have for the host sociocultural, economic and physical environments”. Jafari menegaskan bahwa pariwisata bukan saja merupakan sebuah studi tentang seseorang yang jauh dari rutinitas kesehariannya. Melainkan melibatkan juga, studi tentang industri yang bergerak sebagai respon atas kebutuhan seseorang yang melakukan perjalanan wisata. Kemudian, pariwisata juga merupakan studi atas dampak dari keduanya; industri dan seseorang tersebut, terhadap masyarakat (tuan rumah) baik secara sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. Definisi dari Jafari ini menjadi konsep pariwisata yang dipakai dalam penelitian ini. Secara umum, tanpa terlepas dari pengertian mendasar tentang pariwisata yang merupakan sebuah aktifitas perjalanan wisata, penulis dalam penelitian ini menyimpulkan bahwa
39
pariwisata juga merupakan sebuah industri. Industri yang menghasilkan barang dan/jasa sebagai respon atas kebutuhan wisatawan, dan industri ini memiliki potensi dampak tertentu. 2. Pariwisata sebagai Sebuah Industri Mendefinisikan
tentang
industri
pariwisata
tidaklah
mudah.
Sebelumnya sudah pernah disinggung bahwa pariwisata dapat memiliki arti yang berbeda bagi satu pihak dengan yang lain. Hal ini dikarenakan pariwisata merupakan gambaran dari luasnya aktifitas konsumsi, yang memiliki tuntutan (permintaan) atas barang dan/atau jasa yang berasal (ditawarkan) dari berbagai jenis industri dalam sektor ekonomi. Sebagai contoh, OECD atau Organisation for Economic Co-operation and Development (1991) menyebut pariwisata “dapat mencakup tentang wisatawan, apa yang dilakukan wisatawan, atau tentang agen perjalanan yang mengurus wisatawannya”. UNWTO (1996) juga menyatakan bahwa pariwisata merupakan konsep yang luas, dapat merujuk pada konsumsi wisatawan, sampai dengan produksi barang dan pelayanan jasa yang diperuntukkan bagi wisatawan, bahkan sampai pada area geografis suatu wilayah yang berhubungan dengan wisatawan. Di beberapa Negara seperti Australia dan Selandia Baru, pariwisata tidak dipandang sebagai sebuah “industri”, dengan asumsi industri dibedakan berdasarkan barang dan/atau jasa yang dihasilkannya, sedangkan pariwisata dianggap lebih bergantung pada status dari konsumen (wisatawan) sehingga mereka lebih memilih mengadaptasi konsep pariwisata dari UNWTO. Di
40
Indonesia sendiri melalui UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, industri pariwisata diakui sebagai “kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaran pariwisata”. Usaha pariwisata dalam hal ini diakui sebagai usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa sebagai produk dari pariwisata. Menurut Hornby (dalam Hakim, 2010:71) kata "industri" sendiri, sesuai dengan istilahnya memiliki arti “the quality of working hard, the production of goods, the creation of wealth by human efforts”. Dengan kata lain, “industri” senantiasa mengandung pengertian suatu usaha yang menghasilkan produk. Dalam kepariwisataan, produk yang dimaksud disebut dengan produk wisata. Produk wisata tidak hanya dihasilkan dari segi usaha pariwisata seperti hotel, jasa pengangkutan, jasa hiburan, jasa penyelenggaraan tour, dsb. Akan tetapi, dapat berasal atau disediakan juga dari masyarakat melalui kearifan lokalnya, sedangkan dari alam atau lingkungan hidup disediakan produk wisata alam. Menurut Omar Hamalik (dalam Hakim, 2010:71), produk tersebut baik berupa barang dan/atau jasa merupakan rangkaian yang saling berkaitan satu sama lain dan merupakan satu kesatuan yang sering juga diistilahkan dengan “Tourism Package”. Pengakuan tentang pariwisata sebagai industri yang menghasilkan produk maupun tidak, pada dasarnya berangkat dari asumsi bahwa produk wisata mempunyai ciri tersendiri yang berbeda dari produk industri lain.
41
Produk wisata identik dengan daya tarik wisata. Clare A. Gunn (dikutip Widoyoko, 2008:19), menyatakan "daya tarik wisata adalah sesuatu yang ada di lokasi tujuan pariwisata yang tidak hanya menawarkan atau menyediakan sesuatu bagi wisatawan untuk dilihat dan dilakukan, tetapi juga menjadi magnet penarik untuk seseorang melakukan perjalanan wisata". Salah satu ciri yang paling utama adalah tidak dapat dipindahkan, dan wisatawan harus mengunjunginya untuk dapat menikmati dan mengalami produk tersebut (Hornby dalam Hakim, 2010:71). Konsep industri pariwisata dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada konsep dari Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan UU No. 10 Tahun 2009 yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan industri pariwisata ini pada dasarnya berprinsip pada industri secara umum, yakni industri yang menawarkan barang dan/atau jasa sebagai produknya. Layaknya industri pada umumnya, industri pariwisata dalam hal ini terdiri dari beberapa cabang industri. Berikut disajikan bagan cabang industri pariwisata (Zaei M & Zaei M, 2013:14);
42
ACCOMODATION • Hotels • Motels • Serviced Apartments • Camping Grounds • Farm Stays • Guest House
• Bed & Breakfast • Backpackers • Caravan Parks • Cabins • Houseboats • Resorts ATTRACTIONS
• Theme Parks • Natural Areas • Cultural TOURISM INDUSTRY
• Educational • Events (all types) • Indigenous TOUR OPERATORS
• Day Tours • Adventure Tours • General Sightseeing • Special Interest Tours
• Cultural Tours • Overnight Tours • Cruiser
HOLIDAY
CARRIERS • Airlines • Coaches
• Trains • Hire Charter/Cars PROMOTIONS & DISTRIBUTION
• Travel Agents • Inbound Agents
• Tour Wholesaler & Packaging Agents CO-ORDINATION AGENCIES
• Industry Associations • Local Government • Tourism New South Wales
• Local Tourist Associations • Commonwealth Government
RETAIL SERVICES SUPPORT • Shop and Production Art/Craft/Souvenir
• Food and Beverage Facilities • Visitor Services
Tabel 1. Cabang Industri Pariwisata
Adapun pembagian lain diberikan oleh Kadin dalam Oemar (dikutip Hakim, 2010:72) yang menyatakan, industri pariwisata terdiri dari tiga macam sarana yaitu: 1) Sarana Pokok (Main Tourism Supra Structure). Sarana ini sangat bergantung pada kedatangan wisatawan. Usaha usaha yang tergolong dalam sarana ini antara lain Travel Agencies, Tourist Transportation, Accomodation terutama hotel, dan lainnya, Catering Trade, Tourist Objects, serta Souvenir.
43
2) Sarana Pelengkap (Suplementing Tourism Supra Structure). Sarana pelengkap adalah usaha - usaha yang melengkapi sarana pokok, dan memiliki fungsi utama untuk membuat para wisatawan merasa senang dan puas, sehingga mereka ingin tinggal lebih lama pada suatu tempat atau daerah. Termasuk dalam kategori ini antara lain Swimmingpool, Tennis Court, Golf Course, Recreation Centre, dsb. 3) Sarana Penunjang (Supporting Tourism Supra Structure) Merupakan penunjang sarana pokok dan pelengkap yang berfungsi tidak saja membuat wisatawan lebih lama tinggal atau berdiam pada suatu tempat tetapi agar wisatawan yang bersangkutan lebih banyak mengeluarkan uangnya di tempat yang mereka kunjungi tersebut. Dalam kategori ini adalah Night Club, Steambath, Casino, dsb. Cabang maupun sarana industri pariwisata ini pada dasarnya memang berbeda - beda di satu tempat dengan yang lain, dan biasanya tergantung juga pada jenis daerah tujuan wisatanya. Di Indonesia cabang seperti ini dikatakan sebagai usaha jasa pariwisata, yang pada umumnya lebih dikenal orang sebagai sarana akomodasi perjalanan wisata. Pada kasus kampung Prawirotaman di Yogyakarta yang dipilih menjadi lokasi penelitian ini, usaha pariwisatanya di dominasi oleh sektor perhotelan (accomodation) dan restoran serta cafe (food and beverage). Hal ini dikarenakan kawasan ini sendiri bukanlah merupakan Daerah Tujuan Wisata (DAW), yang dalam artian khusus lebih berupa Daerah Transit (DT). Tentunya, sebagai kawasan yang ramai dengan sarana akomodasi perjalanan wisata, serta sarana lain, kawasan ini dapat dikatakan sebagai kawasan industri pariwisata. Bagaimanapun juga, menyatakan ataupun mengakui pariwisata sebagai sebuah industri semata tidaklah benar. Jika harus mengulang kembali
44
pembahasan sebelumnya, konsep pariwisata tidak memiliki definisi yang baku. Namun, oleh karena luasnya konsep pariwisata itu sendiri, pemberian batasan menjadi sangat penting untuk dilakukan. Sejauh ini, sebagai kesimpulan, terdapat 3 poin utama dari konsep pariwisata yang dimaksud dalam penelitan ini yakni; 1) melihat pariwisata bukan melalui sistem, dan manajemennya, melainkan lebih kepada pariwisata sebagai sebuah industri yang secara umum melibatkan banyak manusia; 2) industri pariwisata memiliki keunikan tersendiri melalui cabang maupun jenisnya; 3) dan yang paling utama, industri ini baik dalam skala besar maupun kecil pasti memberikan pengaruh atau dampak tertentu terhadap komunitas lokal di sekitarnya. 3. Pariwisata Berbasis Komunitas (Community Based Tourism) Dilihat dari pemaparan sebelumnya, penulis dalam hal ini telah memberikan batasan mengenai konsep pariwisata yang dipakai sebagai pegangan dalam penelitian ini. Untuk selanjutnya, penulis di sini ingin mengontekskannya dengan objek atau sasaran penelitian, yaitu Kampung Turis Prawirotaman. Sebelumnya sudah disinggung tentang kawasan Prawirotaman sebagai kawasan industri pariwisata, namun sejatinya hal ini masih sangat luas untuk dapat menjelaskan fenomena "Kampung Turis" dalam penelitian ini. Di Indonesia, istilah "Kampung" sendiri pada dasarnya muncul sebagai batasan administratif antara area perkotaan dengan perdesaan. Kampung adalah untuk wilayah perkumiman di perkotaan, dan Desa untuk perdesaan.
45
Perbedaan ini juga muncul dalam konteks pariwisata, yaitu pada istilah Kampung Wisata dan Desa Wisata. Kampung maupun desa wisata menurut Inskeep (dalam Dewi, 2013:131) adalah wisata dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana tradisional, biasanya di desa – desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat. Dalam hal ini, kampung/desa wisata identik sebagai objek wisata. Sedangkan pada kasus Kampung Prawirotaman, karena lokasinya yang berada di wilayah perkotaan, kawasan ini tidak memiliki banyak objek/atraksi wisata terutama alam selayaknya di desa wisata. Meskipun demikian, wisatawan terutama mancanegara dalam hal ini juga tinggal di kawasan ini yang di sekitarnya berdekatan dengan suasana perkampungan masyarakat atau komunitas setempat. Dengan kata lain, Kampung Turis Prawirotaman juga dapat diartikan sebagai Kampung Wisata karena selama mereka tinggal, wisatawan dapat menemukan wisata alternatif yang ada di sekitar tempat menginapnya, terutama yang berhubungan dengan masyarakat tuan rumah di sekitarnya. Terkait hal ini, penggunaan istilah Kampung Wisata juga pada dasarnya berkaitan erat dengan konsep Pariwisata Berbasis Komunitas atau Community Based Tourism. Konsep ini pertama kali dipopulerkan oleh Murphy (1985), di mana aspek tentang pariwisata dan pengembangan masyarakat lokal mulai dikaitkan dan dianalisis (Murphy dalam LópezGuzmán, Sánchez-Cañizares, & Pavón, 2011). Secara mendasar, PBK
46
mengandung pengertian tentang pengembangan pariwisata (skala kecil) yang melibatkan masyarakat atau komunitas lokal setempat. Artinya, partisipasi komunitas lokal (tuan rumah) menjadi penting. Oleh karena, mereka juga yang harus menanggung dampak kumulatif dari perkembangan pariwisata (Damanik dalam Noho, 2014). Dalam hal ini, partisipasi komunitas lokal dalam CBT dapat dipandang dari dua sisi yang berbeda. Pengembangan pariwisata dapat melibatkan mereka baik dalam pengambilan keputusan maupun sebagai bagian dari produk wisata. Hausler (dalam Rusnanda, 2015), menjelaskan gagasannya tentang CBT yaitu: (1) Pertama, bentuk pariwisata yang memberikan kesempatan kepada masyarakat lokal untuk mengontrol dan terlibat dalam manajemen dan pembangunan pariwisata; (2) Kedua, masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha-usaha pariwisata juga mendapat keuntungan; (3) Ketiga, menuntut
pemberdayaan secara politis, demokratisasi dan distribusi
keuntungan kepada komunitas yang kurang beruntung di pedesaan (kaum marginal). Menurut Hausler (2005), CBT menitikberatkan pada partisipasi masyarakat di dalam proses pengambilan keputusan, baik yang terlibat langsung dengan industrinya maupun tidak. Pandangan ini pada dasarnya muncul sebagai kritik terhadap pembangunan pariwisata yang seringkali mengabaikan hak komunitas lokal di sekitar kawasan pariwisata. Sedangkan menurut Baskoro (dalam Rusnanda, 2015), Community Based Tourism (CBT) adalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang mereka
47
miliki, seperti kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan wisata, komunitas tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata. Dalam hal ini, pelibatan masyarakat lebih dipandang sebagai bagian dari produk wisata yang ditawarkan kepada wisatawan. Dengan kata lain, komunitas lokal ikut dilibatkan menjadi bagian dari industri pariwisata. Adapun prinsip - prinsip dasar dari CBT menurut Suansri (dikutip Suriany, 2008:33) dalam gagasannya yaitu : (1) mengakui, mendukung dan mengembangkan kepemilikan komunitas dalam industri pariwisata, (2) mengikutsertakan anggota komunitas dalam memulai setiap aspek, (3) mengembangkan kebanggaan komunitas, (4) mengembangkan kualitas hidup komunitas, (5) menjamin keberlanjutan lingkungan, (6) mempertahankan keunikan karakter dan budaya di area lokal, (7) membantu berkembangnya pembelajaran tentang pertukaran budaya pada komunitas, (8) menghargai perbedaan budaya dan martabat manusia, (9) mendistribusikan keuntungan secara adil pada anggota komunitas, (10) dan berperan dalam menentukan persentase pendapatan (pendistribusian pendapatan) dalam proyek yang ada di komunitas. Sebagai kesimpulannya, meskipun terdapat perbedaan sudut pandang, salah satu prinsip utama dari CBT adalah tentang bagaimana caranya melibatkan komunitas lokal setempat sehingga mereka juga dapat merasakan nilai manfaat (benefits) dari perkembangan pariwisata yang ada di sekitarnya. Pada penelitian berjudul "Model Pengembangan Pariwisata Berbasis
48
Masyarakat di Kota Yogyakarta", oleh Isnaini Muallisin (2007) juga diakui mengenai model pengembangan kampung internasional yang cocok diterapkan untuk Kampung Prawirotaman, yakni model pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Sedangkan, menurut Damanik (2010) wujud CBT di lapangan berupa pelibatan masyarakat dalam pelatihan peningkatan kapasitas, distribusi kredit usaha, perencanaan bisnis, pengembangan produk, dan pemasaran pariwisata. Pernyataan itu disampaikannya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM dengan mengucap pidato "Merancang Format Baru Pariwisata yang Menyejahterakan Rakyat" (Agung, 2010). 4. Dampak Pariwisata Terhadap Komunitas Lokal Tujuan dari pengembangan pariwisata pada level komunitas adalah tentang memaksimalkan potensi dampak positif dan di waktu yang sama meminimalkan potensi dampak negatifnya. Namun, terlebih dahulu lebih penting untuk mengidentifikasikan dampak yang mungkin timbul (Kreag, 2001:5). Banyak peneliti kepariwisataan telah berhasil mengidentifikasi berbagai dampak potensial dari pariwisata dan mengelompokkannya ke dalam berbagai kategori. Kategori ini dapat bervariasi. Bagaimanapun juga terdapat kesepakatan bersama yang membagi dampak pariwisata ke dalam 3 kategori utama yang juga sering disebut dengan “triple bottom-line” yakni, dari aspek sosial budaya, ekonomi, dan lingkungan hidup. Namun, pada dasarnya sebuah komunitas tidak akan mengalami setiap dampak dari kategori yang ada.
49
Penulis dalam hal ini membahas dampak dari kategori sosial budaya dan ekonomi saja. Dampak lingkungan hidup tidak dijadikan bahasan tersendiri namun sekiranya sudah termasuk (include) ke dalam bahasan dampak keduanya. Menurut Lerner (1977) dikutip oleh Allister Mathieson and Geoffrey Wall (1982) (dalam Kurniawati, n.d.) menyatakan "Environment now includes not just only land, water and air but also encompass to people, their creation, and the social, economic, and cultural condition that affect their lives". (Lingkungan sekarang tidak hanya tentang tanah, air, dan udara tetapi juga mencakup orang - orang, ciptaan mereka, dan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang mempengaruhi kehidupan mereka). Sehingga sesuai dengan yang dikatakan oleh Lerner, dalam hal ini yang terkena dampak positif dan negatif dari pariwisata tidak hanya alam tetapi masyarakat juga. Sedangkan, penggunaan istilah komunitas lokal dalam konteks pariwisata memang cukup beragam. Menurut Rahman (dalam Jaafar M., Ismail S. & Rasoolimanesh S. M. 2015:9), penggunaannya bisa mengacu pada masyarakat lokal setempat (locals), suku pribumi (natives), penduduk umum (residents), penduduk asli (indigenous people), masyarakat daerah tujuan wisata (destination people), atau tuan rumah (hosts). Dalam hal ini, perbedaannya tergantung bagaimana karakteristik masing - masing. Secara lebih lanjut, Rahman (2010) mengatakan sebuah komunitas adalah sekelompok individu yang tinggal atau bekerja di dalam wilayah geografis yang sama dan saling berbagi kesamaan aspek historis, budaya dan/atau kepentingan bersama. Sebagai kesimpulannya, komunitas apapun yang berada
50
di sekitar kawasan kepariwisataan merupakan komunitas lokal yang dapat dipengaruhi oleh perkembangan pariwisata di sekitarnya. a.
Dampak Sosial Budaya Wolf dalam Wall, 1982 (dikutip Ismayanti, 2010:194) menyatakan
dampak pariwisata terhadap sosial budaya sebagai people impact karena berkaitan dengan pengaruh terhadap masyarakat, tuan rumah dan wisatawan dalam perubahan kualitas hidup, baik secara positif maupun negatif. Menurut Matthieson & Wall (dalam Zaei M & Zaei M, 2013:15), efek atau dampak ini dapat berarti positif atau negatif bagi tuan rumah karena wisatawan dalam hal ini tidak selalu sensitif terhadap kearifan lokal, tradisi, dan nilai – nilai yang ada di masyarakat tuan rumah. Dengan kata lain, penggabungan dua kebudayaan yang berbeda dapat menuntun pada perkembangan gaya hidup dan praktek – praktek kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat tuan rumah melalui “efek demonstrasi” (usaha menyamai cara) yang dibawa oleh wisatawan. Biasanya kedua belah pihak dalam hal ini sama – sama memiliki kesadaran penuh atas potensi pariwisata kawasannya, sehingga terjadi interaksi yang positif. Begitu pula sebaliknya, ketika wisatawan dan tuan rumah tidak sensitif terhadap potensi ini, perubahan – perubahan ke arah yang negatif terhadap kualitas hidup masyarakat tuan rumah tidak dapat dihindarkan. Sebagai contoh, peningkatan kualitas hidup dapat terjadi melalui perbaikan infrastruktur dan fasilitas publik (terutama yang berprinsip pada pembangunan pariwisata berkelanjutan) dimana dapat menuntun pada
51
tingkat pendidikan yang lebih baik, peningkatan kesehatan masyarakat, peluang kerja, sampai peningkatan penghasilan. Sebaliknya, dampak negatif cenderung menuntun pada perubahan gaya hidup, nilai dan norma masyarakat, kemunculan kekuatan ekonomi baru yang lebih dominan, dan adaptasi budaya sebagai tuntutan untuk memenuhi kebutuhan wisatawan (dipaksakan), dsb. Pizam & Milman dikutip Mathieson & Wall (dalam Fredline & Deery & Jago, 2006:2) juga menyatakan dampak sosial budaya dari pariwisata adalah cara dimana pariwisata berkontribusi terhadap perubahan dalam nilai, perilaku individu, hubungan keluarga, kolektivitas sosial, tingkat keamanan, perilaku moral, ekspresi kreatif, upacara tradisional dan pengorganisasian komunitas. Sedangkan, menurut AhimsaPutra & Rahajana (2001:6) dampak sosial budaya dapat diartikan sebagai berbagai macam perubahan yang terjadi pada satu sistem interaksi dan relasi antar individu sebagai akibat dari adanya perubahan pada lingkungan fisik, sosial, dan budaya dari sistem tersebut. Dampak sosial budaya sendiri dapat berbeda – beda pada suatu wilayah atau kawasan tertentu dengan yang lain, utamanya bergantung pada kebudayaan dan tingkat keterkaitan dengan institusi sosial di kawasan setempat. Dampak ini juga kerap dilihat dari berbagai perspektif. Menurut Sharpley (1994), dampak sosial budaya ini dapat termanifestasi sebagai akibat dari perkembangan industri pariwisata itu sendiri atau dari interaksi antara wisatawan dengan masyarakat tuan rumah (Jaafar M.,
52
Ismail S. & Rasoolimanesh S. M. 2015:7). Selain itu, Hall & Page (2003) dikutip orang yang sama, menyatakan bahwa dampak ini dapat mengakibatkan perubahan pada sistem nilai baik kolektif dan individu, pada pola perilaku, struktur masyarakat, gaya hidup, dan kualitas hidup. Sebagai kesimpulannya, dari beberapa konsep di atas dapat diartikan bahwa dampak pariwisata dari dimensi sosial budaya adalah tentang perubahan - perubahan yang mungkin muncul pada karakter sosial budaya di dalam sistem yang menjadi sasaran dampak, dalam hal ini komunitas lokal. Sedangkan dalam konteks penelitian, dampak ini dapat berbentuk nyata (real) atau dirasakan (perceived). Nyata berarti, dampak dapat diukur secara objektif dan dapat diverifikasi keasliannya. Sebagai contoh, peningkatan volume kendaraan (kemacetan) yang dapat dikuantifikasikan dan ditemukan outcome yang jelas. Sebaliknya dampak yang dirasakan (perceived) merupakan pengalaman pribadi dari pihak yang terlibat (Fredline, Deery & Jago, 2006:1). Membandingkan keduanya sama dengan membandingkan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Dengan
kata
lain,
keduanya
diakui
sebagai
benar
dan
dapat
dipertanggungjawabkan keobjektifannya. Kemudian, salah satu metode yang banyak digunakan peneliti untuk melihat dampak sosial dari pariwisata ini adalah dengan pendekatan persepsi (perceptions approach). Nilai penting (emphasis) dari pendekatan ini adalah mengutamakan sensitifitas dampak - dampak yang mungkin muncul daripada secara tepat
53
mengukur dan mengidentifikasikan dampak tersebut. Pendekatan persepsi ini pada dasarnya meminta pihak terkait, dalam hal ini komunitas (unit analisis) untuk mengevaluasi sendiri (self evaluate) dampak suatu peristiwa (events) terhadap kualitas hidup mereka. Brunt & Courtney (dikutip Fredline, Deery & Jago, 2006:2) dalam diskusi mereka mengenai persepsi tuan rumah (dampak sosial budaya pariwisata), mendemonstrasikan pentingnya memaknai dampak sosial dari pariwisata terhadap komunitas lokal. Dalam hal ini, penelitian yang penulis ajukan memiliki kesamaan yakni untuk menelusuri dan memaknai dampak sosial dari perkembangan Kampung Turis terhadap komunitas lokal; pedagang pasar tradisional berdasarkan persepsi mereka, dan bagaimana mereka merasakannya, jadi bukan tentang mengejar outcome nyata yang dapat diukur dan dikuantifikasikan. Pada dasarnya, penelitian tentang dampak sosial pariwisata terhadap komunitas juga mengakui bahwa tingkatan dampak dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sebagai contoh, faktor seperti kondisi perekonomian lokal, perkembangan industri pariwisata maupun daerah tujuan wisata, dan tingkat keharmonisan komunitas (community attachment) telah terbukti mempengaruhi tingkatan dampak aktifitas pariwisata (Gursoy, Jurowski & Uysal dalam Fredline, Deery & Jago, 2006:2). Kemudian, berbicara konteks pemaknaan dampak pariwisata ke komunitas lokal tertentu berarti mengkategorikan juga indikator - indikator tertentu yang sesuai dengan komunitas tersebut. Pedagang pasar sendiri
54
memiliki karakteristik dan/atau keunggulan tertentu yang kerap dipakai dalam sebuah penelitian dan seringkali dihubungkan dengan penggunaan konsep modal sosial. Pengertian modal sosial disini mengacu pada Kawachi, Kennedy & Glass (dalam Fredline, Deery & Jago, 2006:1) yang didefinisikan sebagai wajah dari organisasi sosial - seperti tingkat kepercayaan interpersonal antar warga, norma pertukaran sosial, dan struktur
sosial
-
untuk
memfasilitasi
kerjasama
yang
saling
menguntungkan (mutual benefit). Kaitan konsep ini dengan konsep dampak sosial budaya pariwisata terletak pada perubahan yang mungkin terjadi ketika dampak itu muncul. Menelusuri bagaimana struktur sosial di pasar tradisional, hubungan antar pedagang; termasuk jenis dan variasi, norma saat ini, tingkat kepercayaan, interaksi wisatawan dengan pedagang serta hubungan dengan pembeli menjadi beberapa indikator yang dapat membantu menentukan dampak sosial budaya yang dimaksud. b. Dampak Ekonomi Keuntungan utama dari perkembangan industri pariwisata di suatu kawasan atau negara adalah dari nilai ekonomi yang ditawarkannya. Nilai manfaat ekonomi ini terjadi di seluruh tingkatan baik itu internasional, nasional, regional, maupun pada level lokal. Christie (dalam Santosa, 2011:86) mengatakan keuntungan pariwisata secara ekonomi dapat menyumbang pengumpulan mata uang asing (devisa), meningkatkan pendapatan dan kesempatan kerja, dapat juga meningkatkan struktur perekonomian, dan mendorong perkembangan usaha kecil. Namun,
55
mengingat dampak positif selalu berdampingan dengan dampak negatif. Adapun, beberapa dampak negatif di bidang ekonomi antara lain: kenaikkan harga-harga properti dan barang di sekitar lokasi wisata, meningkatnya jumlah usaha dan wisatawan yang datang di sekitar lokasi wisata memicu para spekulan menaikkan harga. Perpindahan kepemilikan tanah atau lahan, banyaknya investor yang datang di sekitar lokasi wisata, dapat meningkatkan transaksi jual-beli tanah penduduk lokal, sehingga mengurangi penguasaan penduduk lokal terhadap tanah. (Widodo, Fandeli, Baiquni, & Damanik, 2011:210). Jika ditinjau dari sisi positifnya, pengeluaran para wisatawan, baik wisatawan domestik maupun internasional di suatu daerah tujuan wisata adalah suatu bukti nyata bahwa keberadaan pariwisata memberi kontribusi yang cukup besar kepada tuan rumah (Cooper dalam Widodo, Fandeli, Baiquni, & Damanik, 2011:209). Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Cohen (1984) dikutip orang yang sama, dampak pariwisata terhadap kondisi ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar, yaitu: (1) Dampak terhadap penerimaan devisa; (2) Dampak terhadap pendapatan masyarakat; (3) Dampak terhadap kesempatan kerja; (4) Dampak terhadap harga-harga; (5) Dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan; (6) Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol; (7) Dampak terhadap pembangunan pada umumnya; dan (8) Dampak terhadap pendapatan pemerintah. Selain itu, beberapa dampak positif lain yang mudah dilihat sebagai akibat perkembangan pariwisata
56
adalah adanya peluang kerja yang sangat banyak karena pariwisata merupakan kegiatan yang multi sektoral (Widodo, Fandeli, Baiquni, & Damanik, 2011:209). Dalam konteks dampak terhadap pedagang pasar tradisional, keuntungan ekonomi dapat dilihat terutama dari peningkatan pendapatan para pedagang, ada tidaknya interaksi dalam bentuk transaksi dengan wisatawan, keramaian pasar, serta perbandingan antara penambahan pedagang dengan yang gulung tikar. Multiplier effect dalam hal ini juga berlaku bagi pedagang pasar, sebagai contoh dapat dilihat dari ada tidaknya perbaikan fasilitas dan infrastruktur, penentuan harga - harga, sampai pada persaingan antar para pedagang. Sebagaimana dampak sosial budaya terhadap komunitas lokal, dampak ekonomi ini juga dapat berbentuk nyata (real) atau dirasakan (perceived). Terkait hal ini, dalam penelitian ini dampak ekonomi lebih dilihat sebagai aspek kualitatif, yang artinya dampak tidak diukur dan dikuantifikasikan besaran maupun pengaruhnya terhadap sasaran dampak, dalam hal ini komunitas lokal. Dengan kata lain, dampak lebih dilihat dari ada tidaknya nilai manfaat ekonomi yang dirasakan pedagang (perceived). 5. Pasar Tradisional di Indonesia Komunitas lokal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pedagang pasar tradisional. Pasar tradisional sendiri menurut Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 70/M-DAG/PER/12/2013 adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik
57
Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan swasta, dengan tempat usaha berupa Toko, Kios, Los, dan Tenda yang dimiliki/ dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat, atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar menawar. Dalam hal ini, karakter tawar - menawar menjadi ciri khas pasar tradisional. Selain itu, pasar tradisional juga memiliki ciri lain yaitu, barang atau jasa yang ditawarkan berbahan lokal atau dari rakyat sendiri. Sedangkan, untuk jenis maupun ragam barang pada dasarnya sangat konvensional seperti, sembilan bahan kebutuhan pokok (nine kinds of basic needs) atau sembako. Namun, juga terdapat pasar yang khusus menyediakan komoditas tertentu seperti misalnya pasar ikan, dsb. Pemerintah dalam ini juga mengeluarkan UU No.7 Tahun 2014 tentang Perdagangan yang berisi tentang perubahan nama dari pasar tradisional menjadi pasar rakyat untuk menghapus kesan negatif yang kerap melekat pada pasar tradisional. Kesan negatif yang selama ini melekat seperti kesan kumuh, kotor, sempit, becek, dan bau, serta adanya premanisme yang dapat menurunkan minat pembeli untuk pergi ke pasar. Bagaimanapun juga, kondisi tersebut adalah kondisi apa adanya dari masyarakat kelas menengah ke bawah di Indonesia. Seperti sudah disinggung sebelumnya pada bagian latar belakang masalah, identitas masyarakat Indonesia yang otentik seperti ini memiliki potensi untuk dapat dikembangkan menjadi salah satu destinasi wisata alternatif bagi wisatawan internasional. Dalam hal ini, bukan berarti kesan negatif itu dibiarkan begitu saja melainkan tetap dikelola dengan baik,
58
namun juga harus memperhatikan agar nilai otentik dan asli yang melekat padanya tidak luntur. Menurut Utama (2013), dengan berlandaskan prinsip keunikan dan kelokalan, kepariwisataan Indonesia didasari oleh falsafah hidup bangsa Indonesia sendiri, yaitu konsep prikehidupan yang berkeseimbangan. Menurutnya, daya tarik wisata Indonesia bukan semata dari keindahan alam, maupun heritage atau peninggalan sejarahnya melainkan pada manusianya. Manusia yang hangat, ramah tamah, murah senyum dan gemar menolong tamunya, sehingga membuat “kangen” untuk kembali lagi. Utama mendasarkan alasannya pada pengakuan bahwasanya objek wisata tanpa adanya komunitas di sekitarnya tidak lebih dari benda mati, tidak ada roh kehidupan dan bahkan tidak berarti apa-apa bagi pengunjung. Sejalan dengan hal ini, manusia dengan segala hasil cipta, rasa, karsa, dan budinya adalah budaya. Dengan demikian, kepariwisataan Indonesia seharusnya adalah kepariwisataan yang berbasis masyarakat (community based tourism) dan berbasis budaya (cultural tourism). Kepariwisataan yang dibangun dengan prinsip dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat (Utama, 2013). Dalam hal ini, pasar tradisional khususnya di wilayah perkotaan yang biasanya tidak terdapat objek wisata alam, memiliki daya tarik yang amat penting yang dapat dikemas menjadi daya tarik wisata kota.
59