BAB I PENDAHULUAN Bagian ini menjelaskan tentang pentingnya penelitian ini dilakukan. Bab ini meliputi latar belakang penelitian, permasalahan, tujuan penelitian,
kontribusi
penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika pembahasan. 1.1 Latar Belakang Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris tentang pengaruh proporsi anggaran, efektivitas audit internal,
tindak lanjut temuan BPK, opini
perioda sebelumnya, dan kompetensi sumber daya manusia (SDM) terhadap hasil audit laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) di Indonesia. Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas LKPD menunjukkan kualitas laporan keuangan tersebut. Kualitas LKPD tentu tidak terlepas dari tata kelola pemerintahan, khususnya tata kelola keuangan pemerintah daerah. Pemerintah daerah seharusnya mampu menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik yaitu akuntabel dan transparan. Tuntutan atas tata kelola pemerintahaan yang baik, seharusnya didukung dengan adanya kinerja pemerintahan yang baik. Oleh karena itu semua dana yang dikelola oleh pemerintah dapat dipertanggungjawabkan kepada publik, tanpa ada usaha untuk menutup-nutupi informasi terkait dengan penerimaan, pengalokasian serta penggunaan dana tersebut. Dalam arti sempit, tata kelola (governance) merupakan pengelolaan bentuk organisasi tertentu, yaitu perusahaan (Zingales, 1997). Isu tata kelola timbul karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan pengelolaan perusahaan. Pemilik
14
perusahaan memberikan kewenangan kepada manager untuk mengelola perusahaan, dan mengambil keputusan atas nama pemilik. Dalam sektor publik, tata kelola dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik (Mardiasmo, 2004). Jika mengacu pada World Bank dan UNDP, orientasi pembangunan sektor publik adalah mewujudkan layanan publik melalui tata kelola yang baik. Pengertian tata kelola yang baik sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik (Mardiasmo, 2004). Akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan pemerintah harus dilaksanakan untuk mewujudkan tata kelola keuangan pemerintahan yang baik. Sebagai wujud pertanggungjawaban daerah atas otonomi pengelolaan keuangan daerah, sudah seharusnya pemerintah daerah meningkatkan kemampuannya dalam menyusun suatu Laporan Keuangan Daerah yang baik. Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam paket UU tentang Keuangan Negara, yakni UU Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Selain itu adanya perubahan mendasar dalam pengelolaan anggaran daerah (APBD) dengan munculnya PP Nomor 105/2000 dan Kepmendagri Nomor 29 Tahun 2002 dalam hal ini adanya tuntutan akan akuntabilitas dan transparansi yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran (Halim, 2007). Pengelolaan anggaran pemerintah daerah yang tepat akan berdampak pada kualitas laporan keuangan yang dihasilkan. Pengeloaan anggaran menjadi hal yang sangat penting mengingat anggaran menjabarkan rencana yang mendetail atas pendapatan dan pengeluaran organisasi agar pembelanjaan yang dilakukan dapat
15
dipertanggungjawabkan kepada publik. Menteri Dalam Negeri tahun 2010 (Republika, 2010) menyatakan bahwa total rata-rata anggaran di provinsi dan kabupaten/kota, untuk pembiayaan aparatur bisa mencapai 56 persen. Artinya secara rata-rata persentase anggaran belanja publik lebih kecil daripada anggaran belanja aparaturnya. Hal ini menunjukkan bahwa keberpihakan pemimpin daerah lebih besar bagi kesejahteraan aparatur pemerintahannya daripada untuk kesejahteraan masyarakat secara umum. Mengingat di sisi lain, anggaran belanja publik manfaatnya dapat langsung dinikmati oleh masyarakat secara umum, misalnya untuk fasilitas pendidikan, kesehatan, bantuan sosial, dan fasilitas umum lainnya. Kondisi tersebut menjadi satu hal menarik mengingat menurut Kumorotomo (2013) dalam alokasi belanja bantuan sosial, dana hibah, maupun penggunaan sisa lebih pembiayaan anggaran (SILPA), penyimpangan masih sangat sering terjadi di daerah. Penyampaian laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah merupakan suatu upaya nyata mewujudkan transparansi dan akuntabilitas di lingkungan pemerintah.
Paling tidak, laporan pertanggungjawaban keuangan
pemerintah tersebut (LKPD) harus memuat Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan. Untuk itu Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) memberlakukan audit terhadap laporan keuangan daerah sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 15 tahun 2004. Hasil setiap pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK disusun dan disajikan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) segera setelah kegiatan pemeriksaan selesai. Inisiatif BPK dalam rangka perbaikan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara ternyata masih belum direspon sepenuhnya oleh pemerintah pusat dan daerah
16
(BPK, 2009). Dalam pemeriksaan LKPD semester II tahun 2008, baru 58% persen entitas yang merespon inisiatif BPK untuk memperbaiki kualitas LKPD. Kualitas LKPD tentu tercermin dalam opini yang diberikan BPK atas LKPD. Badan Pemeriksa Keuangan
akan memberikan opini terhadap hasil
pemeriksaan LKPD. Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni (i) opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), (ii) opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), (iii) opini tidak wajar (adversed opinion), dan (iv) pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion). Dari empat opini yang akan dikeluarkan BPK atas audit LKPD masing-masing daerah, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) adalah opini yang terbaik. Di dalam Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN), opini WTP akan diberikan kepada LKPD yang telah menyajikan dan mengungkapkan laporan keuangan secara wajar, dalam semua hal yang material. Representasi kewajaran dituangkan dalam bentuk opini dengan mempertimbangkan kriteria kesesuaian laporan keuangan dengan standar akuntansi pemerintahan (SAP), kecukupan pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas pengendalian internal (BPK, 2010). Penelitian ini penting dan menarik untuk dilakukan karena fenomena menunjukkan bahwa LKPD yang mendapatkan opini wajar masih relatif sedikit, dan belum banyak penelitian yang menganalisis tata kelola dan faktor-faktor yang memengaruhi hasil audit laporan keuangan pemerintah daerah. Masih sedikitnya laporan keuangan pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP di Indonesia menjadi suatu fenomena penting untuk dianalisis, mengingat pemerintah pusat
17
(Menteri Dalam Negeri) menargetkan laporan keuangan pemerintah daerah yang memperoleh opini WTP tahun 2014 bisa mencapai 50%. Sampai dengan audit tahun buku 2011 baru tercapai 13%. Perkembangan opini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (selanjutnya disingkat menjadi LKPD) terlihat dalam tabel 1 sebagai berikut. Tabel 1 Perkembangan Opini LKPD Tahun 2005 – 2011 Tahun
WDP
WTP
TMP
TW
Jumlah
Jmlh
%
Jmlh
%
Jmlh
%
Jmlh
%
2005
16
6%
250
87%
11
4%
11
4%
288
2006
4
1%
318
71%
27
6%
96
22%
445
2007
4
1%
283
60%
59
13%
123
26%
469
2008
13
3%
323
67%
31
6%
118
24%
485
2009
15
3%
330
66%
48
10%
106
21%
499
2010
32
6%
330
63%
31
6%
131
25%
524
2011
67
13%
349
67%
8
2%
96
18%
520
(Sumber: BPK RI 2012)
Tabel di atas menunjukkan gambaran perkembangan opini atas LKPD selama perioda 2005-2011. Meskipun terjadi pertumbuhan jumlah LKPD Kabupaten/ Kota dan Provinsi yang memperoleh opini WTP, tetapi pertumbuhan opini WTP atas LKPD tersebut belum memperlihatkan angka yang signifikan. Dari tabel 1 tersebut diketahui bahwa opini wajar tanpa pengecualian yang merupakan peringkat tertinggi dalam hal prestasi pengelolaan keuangan daerah, dengan rerata sebesar 5% selama 7 tahun, meskipun mengalami peningkatan pada 2010 menjadi 6%, dan 13% pada tahun 2011 dari total opini yang diberikan. Proporsi opini WTP yang masih relatif
18
sedikit ini menunjukkan adanya proses pengelolaan keuangan yang kurang baik, walaupun proses audit telah dilaksanakan baik melalui mekanisma internal (BPKP), dan eksternal (BPK) selama lebih dari 6 tahun sejak otonomi daerah dilakukan. Masih banyaknya LKPD yang memperoleh opini tidak wajar (TW) dan tidak memberikan pendapat (TMP) dari BPK pada perioda 2005-2011 merupakan motivasi utama penelitian ini. Terdapat empat kelompok opini yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) kepada LKPD, yaitu: opini wajar tanpa pengecualian (WTP), opini wajar dengan pengecualian (WDP), opini tidak wajar (TW), dan opini tidak memberikan pendapat (TMP). Selain memberikan opini atas laporan keuangan, dalam pemeriksaan keuangan BPK juga melaporkan temuan/kasus hasil pemeriksaan atas sistem pengendalian internal (SPI), dan laporan hasil pemeriksaan atas kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Identifikasi awal dari 35 LKPD di seluruh Indonesia tahun 2009 yang memperoleh opini wajar dengan pengecualian, terdapat
beberapa faktor yang
berkaitan dengan hasil opini LKPD, yaitu: ketidaksesuaian antara anggaran dengan realisasi, pengakuan dan pengukuran aset, dan pengendalian internal. Adanya fenomena tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah masih kurang baik. Hal ini berdampak pada kualitas laporan keuangan yang masih sangat rendah, yang tercermin pada LKPD yang mendapatkan opini WTP masih relatif sedikit. Menurut Mardiasmo (1994) terdapat tiga aspek utama yang mendukung terwujudnya kepemerintahan yang baik, yaitu pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan yang disebabkan 19
adanya penyalahgunaan wewenang oleh eksekutif (abuse of power), maka pemberian wewenang tersebut harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang kuat. Penguatan fungsi pengendalian dilakukan melalui pembuatan sistem pengendalian internal yang memadai dan pemberdayaan auditor pemerintah. Untuk mewujudkan tata kelola pemerintah yang baik, komitmen pemimpin dan kemampuan sumberdaya manusia pemerintah daerah memiliki peranan yang penting. Pemimpin daerah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pengelolaan pemerintahan daerah termasuk pengelolaan keuangan daerah. Dalam tata kelola pemerintahan, kepala daerah merupakan agen yang memiliki tanggung jawab kepada para pemangku kepentingan yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena itu komitmen kepala daerah menjadi hal yang sangat penting dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Di samping itu untuk melakukan tata kelola pemerintahan maupun sektor bisnis, tentu memerlukan sumber daya organisasi. Organisasi harus mampu mengoptimalkan sumber daya yang dikuasainya untuk memajukan organisasi. Dalam teori nilai berbasis sumber daya (resource based value/RBV) dijelaskan bahwa keunggulan daya saing bisa didapat jika perusahaan menguasai sumber daya yang bernilai (Gudono, 1994). Sejalan dengan pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa untuk mewujudkan kualitas laporan keuangan yang baik tentu diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Teori keagenan menjelaskan bahwa hubungan antara manajemen dan prinsipal diatur dalam sebuah kontrak kerja yang disepakati antara pihak manajemen dan prinsipal (Jensen and Meckling, 1976). Dalam perspektif teori keagenan, pemimpin
daerah
merupakan
agen
yang
20
menjalankan
amanat
pemangku
kepentingan. Masalah keagenan terjadi pada semua organisasi, baik organisasi publik maupun privat (Stiglitz, 1999). Rerangka prinsipal-agen adalah pendekatan yang sangat menjanjikan dalam menganalisis komitmen-komitmen dalam kebijakan publik karena dapat menjelaskan masalah-masalah dasar kebijakan publik dalam suatu rerangka yang terintegrasi (Bergman and Lane, 1990). Pembuatan dan pelaksanaan kebijakan publik melibatkan masalah-masalah kontrak yang mendasar yang terjadi karena adanya asimetri informasi, bencana moral, rasionalitas terbatas dan pilihan buruk. Terdapat teori lain yang menjelaskan hubungan tata kelola atas amanah yang diberikan prinsipal kepada agen yaitu teori pengelolaan. Dalam teori pengelolaan, manajer mungkin saja melakukan kegiatan yang tidak atau kurang penghargaan karena dia merasa pekerjaan tersebut sudah menjadi tugasnya (Gudono, 2012). Dalam teori pengelolaan, dalam istilah Donaldson (1990) manajer tersebut ingin menjadi seorang agen yang baik atas aset perusahaan (Gudono, 2012). Prinsip keagenan sebagaimana disebutkan di atas, dijadikan sebagai dasar asumsi penelitian ini bahwa terdapat hubungan keagenan antara kepala daerah sebagai agen yang bertanggung jawab kepada pemangku kepentingan. Menurut Pamungkas (2013) terdapat beberapa permasalahan utama pada laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD) tahun 2011 dan kendala yang menghalangi pencapaian WTP. Untuk LKPD yang masih WDP terutama disebabkan oleh aset tetap yang belum dilakukan inventarisasi dan penilaian, penyertaan modal belum disajikan dengan menggunakan metoda ekuitas, saldo bergulir belum disajikan dengan metoda nilai bersih yang dapat direalisasikan, serta penatausahaan
21
persediaan tidak memadai. Untuk LKPD yang masih TW terutama disebabkan oleh LK disajikan tidak sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan dalam semua hal yang material, diantaranya pada akun kas, persediaan, aset tetap, belanja barang dan jasa, belanja bantuan sosial, serta belanja modal. Selanjutnya untuk LKPD yang masih TMP terutama disebabkan oleh laporan keuangan tidak dapat diyakini kewajarannya dalam semua hal yang material sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan yang disebabkan oleh pembatasan lingkup pemeriksaan, kelemahan pengelolaan yang material pada akun kas, piutang, persediaan, investasi permanen dan non permanen, aset tetap, belanja barang dan jasa, belanja bantuan sosial, dan belanja modal. Penelitian ini menganalisis fenomena yang berhubungan dengan hasil audit di lingkungan pemerintah daerah di Indonesia. Masih sedikitnya LKPD yang memperoleh opini wajar tanpa pengecualian tersebut sangat mungkin disebabkan karena pelanggaran prosedur yang dilakukan oleh perangkat yang terlibat dalam tata kelola pemerintahan daerah. Disinilah letak pentingnya audit internal dijalankan dengan baik. Jika audit internal dapat berjalan secara efektif, pelanggaran prosedur maupun kecurangan dapat diminimalkan. Riset sebelumnya yang dilakukan Alleyne and Howard (2005), dan Law (2011), berkaitan dengan kecurangan dalam organisasi bisnis. Skandal akuntansi yang terjadi pada perusahaan besar sekelas Enron dan Worldcom menimbulkan keprihatinan banyak pihak. Kecurangan pelaporan keuangan yang terjadi pada perusahaan tersebut telah melemahkan kepercayaan investor terhadap laporan keuangan yang telah diaudit.
22
Penelitian Alleyne and Howard (2005) menyelidiki bagaimana auditor dan pengguna laporan keuangan merasakan tanggung jawab auditor untuk mengungkap kecurangan, sifat dan tingkat penipuan di Barbados, dan prosedur audit yang digunakan di Barbados sejak kasus Enron. Sebanyak 43 responden terdiri atas 19 auditor dan 24 pengguna laporan keuangan disurvei mengenai persepsi dan pengalaman mereka atas kecurangan, dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kesenjangan harapan (expectation gap) begitu luas, sebagai auditor merasa bahwa deteksi kecurangan adalah tanggung jawab manajemen, sedangkan menurut pengguna dan manajemen tidak setuju akan hal tersebut. Mereka juga menemukan bahwa kecurangan bukan merupakan masalah besar di Barbados, dan bahwa perusahaan-perusahaan yang memiliki auditor internal, kontrol internal yang sehat, dan komite audit yang efektif lebih siap untuk menangani pencegahan dan deteksi kecurangan. Law (2011) menguji secara empiris faktor-faktor organisasi
yang
berhubungan dengan tidak adanya kecurangan yang terjadi dalam sebuah organisasi. Penelitian tersebut menggunakan metoda penelitian kuantitatif dan kualitatif untuk menangkap karakteristik khas dari lingkungan Hong Kong. Pertama, data survei diperoleh dari direktur keuangan/chief financial officer (CFO) dari sejumlah organisasi di Hong Kong, pertama kali kelompok ini telah disurvei. Kedua, melakukan
20
wawancara
semi-terstruktur
dengan
memilih
CFO,
untuk
mengkonfirmasi temuan survei. Seorang CFO biasanya melaporkan kepada direktur/chief executive officer (CEO) organisasi dan dewan direksi. Seorang CFO adalah petugas perusahaan, yang memiliki tanggung jawab besar, terutama untuk
23
mengelola dan mengawasi risiko korporasi keuangan dan operasi, oleh karena itu diharapkan bahwa hasil studi ini akan memberikan wawasan berharga dan pemahaman yang lebih baik dari faktor-faktor yang dapat mencegah terjadinya kecurangan dalam organisasi. Law (2011) menguji 7 variabel yang diduga berhubungan dengan kecurangan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 4 variabel, yaitu keefektifan komite audit, keefektifan pengendalian internal, moral dan etika pada manajemen puncak, serta kebijakan etika, berhubungan positif signifikan dengan ketiadaan kecurangan. Untuk 3 variabel lainnya yaitu dampak dari penerimaan laporan audit wajar tanpa pengecualian, kesuksesan auditor eksternal sebelumnya dalam mendeteksi kecurangan, dan tipe auditor tidak berhubungan dengan kecenderungan terjadinya kecurangan. Meskipun sektor bisnis dan pemerintah memiliki karakteristik yang berbeda akan tetapi konsep tata kelola di sektor bisnis, dapat diterapkan pada sektor pemerintahan, karena tata kelola perusahaan yang baik atau tata pemerintahan yang baik akan dapat menghasilkan kinerja yang baik. Dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik tidak terlepas peran dari eksekutif dan legislatif. Dalam konteks pemerintah daerah, peran kepala daerah dan DPRD tentu sangat memberikan andil besar dalam mewujudkan kinerja pemerintahan yang baik. Visi dan misi kepala daerah yang diejawantahkan ke seluruh elemen pemerintah daerah, akan berperan penting untuk terwujudnya pemerintahan yang baik. Selain itu, keefektifan fungsi pengawasan internal (Itjend/Bawasda) dan terwujudnya pemerintahan yang akuntabel. 1.2 Perumusan Masalah
24
eksternal (BPK), akan membantu
Tata kelola pemerintahan yang baik, tentu akan menghasilkan kualitas laporan keuangan yang baik mengingat fungsi pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan berjalan dengan semestinya. Dalam tata pemerintahan, kepala daerah memiliki tanggungjawab untuk mewujudkan akuntabilitas publik. Pemerintah bersama DPR menerbitkan UU Otonomi Daerah (UU Nomor 22 tahun 1999) yang diubah dan disempurnakan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004, dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang diubah dan disempurnakan dengan UU Nomor 33 Tahun 2004. Undang-undang tersebut memberikan kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut kehendak sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Artinya bahwa kepala daerah harus memiliki komitmen dalam mewujudkan kepemerintahan yang baik, pengendalian internal, dan fungsi pengawasan. Di samping itu kepala daerah harus berupaya mewujudkan sumber daya organisasi yang handal untuk mendukung tercapainya kepemerintahan yang baik. Masih sedikitnya LKPD yang memperoleh WTP sampai dengan akhir tahun 2011 menjadi hal yang penting untuk dianalisis secara empiris. Komitmen pemimpin, kapasitas sumberdaya manusia, koordinasi antar lembaga, serta cakupan pemeriksaan, tentu menjadi elemen penting dalam mewujudkan LKPD yang akuntabel. Hal tersebut menjadi permasalahan penting yang akan diungkap dalam penelitian ini, karena belum diketahui secara empiris tentang faktor-faktor apa yang memengaruhi hasil audit laporan keuangan pemerintah daerah. Untuk itu penelitian ini menganalisis permasalahan sebagai berikut.
25
1. Apakah proporsi anggaran publik memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 2. Apakah efektivitas audit internal memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 3. Apakah tindak lanjut temuan BPK memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 4. Apakah opini sebelumnya memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 5. Apakah kompentensi sumber daya manusia memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 1.3 Tujuan Penelitian Mengingat permasalahan yang diungkapkan sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis beberapa faktor yang diduga memengaruhi hasil audit laporan keuangan pemerintah daerah. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menguji secara empiris apakah proporsi anggaran publik memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 2. Menguji secara empiris apakah efektivitas audit internal memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 3. Menguji secara empiris apakah tindak lanjut temuan BPK memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 4. Menguji secara empiris apakah opini sebelumnya memengaruhi hasil hasil opini wajar LKPD. 5. Menguji secara empiris apakah kompentensi sumber daya manusia (SDM) memengaruhi hasil opini wajar LKPD. 1.4 Kontribusi Penelitian
26
Penelitian ini memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktik, berkaitan dengan hasil audit BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah sebagai berikut. a. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan bukti empiris beberapa faktor yang diduga memengaruhi hasil audit LKPD dengan mendasarkan pada teori keagenan (agency theory), konsep tata kelola pemerintahan, insurance hypothesis, rasionalitas terbatas (bounded rasionality), dan teori nilai berbasis sumber daya (resource based value) dalam pemerintahan daerah. b. Bagi pemerintah daerah hasil penelitian ini dapat memberikan masukan tentang faktor-faktor yang harus diperhatikan untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan pemerintah daerah. c. Kontribusi yang lain, hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi lembaga
terkait
misalnya
Kabupaten, BPKP, BPK,
Bupati/Walikota,
Inspektorat
Propinsi/
dalam mewujudkan tata kelola keuangan
pemerintahan yang baik. d. Bagi para praktisi di sektor pemerintah, hasil temuan ini dapat memberikan masukan tentang program-program yang dapat dilakukan sebagai upaya peningkatan kualitas laporan keuangan pemerintah daerah. 1.5 Keaslian Penelitian Isu penelitian tentang kualitas laporan keuangan pemerintah daerah merupakan satu topik yang menarik untuk diungkapkan dalam penelitian. Di
27
samping itu orisinalitas sangat penting dalam sebuah penelitian disertasi, dan terdapat beberapa hal tentang keaslian penelitian ini: a. Meskipun telah ada penelitian sebelumnya yang mengangkat isu tentang kualitas laporan keuangan pemerintah daerah, akan tetapi belum ada penelitian yang menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi hasil audit laporan keuangan pemerintah daerah seluruh Indonesia. b. Penelitian ini menganalisis satu faktor proporsi anggaran belanja daerah yang diduga memengaruhi hasil audit LKPD. Ukuran yang digunakan adalah dengan menghitung persentase anggaran belanja publik dengan total anggaran. Hal ini belum pernah diungkapkan dalam penelitianpenelitian sebelumnya. c. Selain data sekunder, penelitian ini juga menggunakan data primer untuk menganalisis pengaruh variabel efektivitas pengendalian internal, dan sumberdaya manusia bagian pelaporan dan akuntansi pemerintah daerah (SKPD), terhadap hasil opini LKPD. Peneliti mencoba mengembangkan satu desain kuesioner untuk mengukur variabel untuk data primer. d. Model penelitian yang diungkapkan untuk mengukur kualitas LKPD dalam penelitian ini juga berbeda dengan penelitian sebelumnya, baik dalam data maupun pengukurannya. 1.6 Sistematika Pembahasan Selanjutnya penelitian ini disusun dengan sistematika sebagai berikut.
28
Bab 1 adalah pendahuluan. Bab ini menjelaskan tentang latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, kontribusi penelitian, keaslian penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab 2 merupakan landasan teori dan pengembangan hipotesis. Bab ini memaparkan tentang teori pengauditan, tata kelola pemerintahan yang baik, audit sektor publik, standar akuntansi pemerintah, opini BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah, kecurangan dan kesalahan, dan pengembangan hipotesis. Bab 3 adalah metoda penelitian. Bab ini menjelaskan tentang data penelitian, variabel penelitian, model penelitian, dan metoda analisis. Bab 4 tentang analisis penelitian. Bab ini menjelaskan tentang deskripsi sampel, deskripsi responden, dan pengujian hipotesis. Bab 5 adalah penutup. Bab ini menjelaskan tentang kesimpulan, keterbatasan dan saran untuk penelitian selanjutnya.
29