BAB I PENDAHULUAN Dalam bagian ini akan dipaparkan: latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. 1. Latarbelakang Kehadiran gereja di tengah dunia ini tertuang di dalam pemahaman Trilogi tugas dan panggilannya yaitu koinonia, marturia dan diakonia. Trilogi tugas dan panggilannya itu merupakan realisasi hubungan gereja secara vertikal kepada Kristus – kepala gereja (Yohanes 15:16), sekaligus hubungan horizontal dengan manusia dan dunia ini. Sesuai dengan Trilogi tugas dan panggilannya itu, maka perempuan juga turut serta mengambil bagian melaksanakannya, baik secara pribadi maupun secara bersama-sama sebagai orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Artinya dalam mewujudkan tugas dan panggilannya dalam melakukan fungsi sebagai mitra Allah (Kejadian 1:27) baik laki-laki maupun perempuan mengemban tugas dan tanggungjawab yang sama (Galatia 3:28). Laki-laki dan perempuan secara bersama-sama memelihara kehidupan dan keutuhan seluruh ciptaan untuk menghadirkan Kerajaan Allah di dunia. Demikian juga halnya, Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Sebagaimana gereja suku (kehidupan suku bangsa tertentu memiliki tradisi, kebudayaan, adat dan kepercayaan adalah sumber utama tentang nilai-nilai kebenaran, etis dan moralitas sebelum mereka menerima Injil),1 gereja berjumpa dengan budaya
1
Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar, L-SAPA, 2007, 331. “Perjumpaan antara kehidupan orang Kristen Batak dan gereja (HKBP) saling mempengaruhi, sampai saat ini. Artinya ada adat yang dikristenkan tetapi di sisi lain ada tradisi Kristen yang diadatkan.”
1
(adat–istiadat) Batak. Perjumpaan budaya (kearifan lokal) dalam kehidupan bergereja tidak dapat dinegasikan. Pembahasan mengenai perjumpaan Injil dan budaya itu begitu cukup luas, penulis hanya membatasi pada perjumpaan gereja (HKBP) dengan budaya (sistim patriarkhat yang melekat pada orang Batak) yang berdampak terciptanya “pembatasan” pada peran perempuan dalam menentukan pelayanan gereja yang ideal dalam melakukan fungsinya ditengah-tengah dunia. Dalam budaya Batak Toba, laki-laki adalah pembawa marga (patriarkhi), artinya laki-laki adalah penerus keturunan,
penerus pohon kehidupan sedangkan anak
perempuan adalah pelanjut marga lain yaitu marga suaminya. Itulah yang menyebabkan laki-laki lebih diutamakan dari anak perempuan. Sehingga dalam konteks budaya Batak Toba anak laki-laki selalu diharapkan lebih banyak dari anak perempuan, seperti digambarkan dalam ungkapan tradisional, “maranak sampulu pitu, marboru sampulu onom” atau “beranak laki-laki tujuhbelas, beranak perempuan enambelas.”2 Anak laki-laki begitu penting tetapi anak perempuan tidak penting. Dalam adat Batak perempuan adalah pendengar yang budiman dan tidak dilibatkan dalam pembicaraan, kehadirannya sama sekali tidak diperlukan. Sebagai contoh seorang janda tidak diperkenankan memberikan ‘ulos’ (selendang orang Batak) kepada mempelai (dalam pernikahan anaknya) seorang diri. Ia harus didampingi oleh saudara laki-laki dari suaminya atau anak laki-lakinya jika ada yang sudah menikah. Sebaliknya hal itu tidak
2
Antonius Bungaran Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009, 113.
2
berlaku bagi seorang duda yang menikahkan anaknya. Itu berarti perempuan tidak berharga tanpa seorang laki-laki. Dalam hal perkawinan, kedudukan perempuan Batak lebih direndahkan dengan adanya ucapan: “na tinuhor” (yang dibeli). Dalam pembicaraan menentukan “tuhor” perempuan sama sekali tidak dilibatkan hanya laki-laki yang memutuskan besarnya jumlah, dan hal-hal adat yang akan dilaksanakan pada perkawinan tersebut.3 Setelah menikah perempuan masuk ke dalam kesatuan kekerabatan suaminya. Demikian juga dalam hal pemberian warisan, anak perempuan tidak mempunyai hak waris dari orangtuanya.4 Dalam adat Batak posisi perempuan tidak sama dengan laki-laki karena sering mas kawin diartikan seolah-olah perempuan dibeli maka secara otomatis perempuan menjadi milik dari marga suaminya.5 Dapat dikatakan perempuan dalam adat Batak, tidak dapat menentukan keputusan mengenai dirinya sendiri, karena pengambil keputusan tertinggi di tangan laki-laki. Ternyata budaya meresap dan sangat memengaruhi gereja HKBP terutama dalam kepemimpinan. Hampir seluruh aktifitas gereja HKBP perempuan sangat dilibatkan dan hampir duapertiga dari peserta ibadah adalah perempuan. Ada Penalaahan Alkitab (PA) perempuan yang dilakukan sekali dalam seminggu. Dalam kegiatan pesta-pesta gereja perempuan selalu terlibat dalam kepanitiaan. Namun jika dilihat peran perempuan dalam rapat di tingkat jemaat, tingkat resort, distrik dan sinode 3
Charly Silaban, Peranan Perempuan Batak dalam Adat dan Budaya Diseminarkan, www. Google.com, diunduh 5 April 2011. 4 Antonius Bungaran Simanjuntak, Konflik ..., 113-114. 5 Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1989, 130 – 131.
3
jumlah kehadirannya sangat sedikit dibanding dengan laki-laki. Perempuan sangat jarang memberikan pendapat/ usul dalam rapat. HKBP didominasi orang Batak yang secara langsung membawa budaya Batak ke dalam gereja, baik di desa dan di kota. Dalam ibadah gereja dan kegiatan Gerejawi lainnya selalu didominasi kehadiran perempuan, namun di seluruh gereja HKBP, Majelis laki- laki lebih banyak dari Majelis perempuan. Demikian juga dalam rapat-rapat gereja ditingkat jemaat, peserta rapat selalu diikuti oleh peserta laki-laki yang jumlahnya lebih banyak dari peserta perempuan. Majelis perempuan jarang memberi usulan atau pendapat dan jika memberi pendapat sangat jarang didengar demikian juga halnya dengan warga jemaat perempuan. HKBP yang masih berakar dalam sistem patriarkhat masih enggan untuk menerima perempuan sebagai pemimpin atau pendeta jemaat. Dalam Aturan Peraturan HKBP,6 pendeta laki-laki dan pendeta perempuan adalah sama tanpa menyebut keduanya secara terpisah. Itu berarti posisi dan jabatan dalam gereja diberikan sama kepada pendeta baik laki-laki dan perempuan. Namun dalam kenyataannya pendeta perempuan sangat kecil presentasinya dan pada umumnya dalam kepemimpinan di HKBP mereka sebagai pendeta jemaat dan pendeta pembantu.
6
Percetakan HKBP, Aturan Peraturan HKBP 2002, Pematangsiantar, 2002, 153-154
4
Di HKBP pelayanan pendeta perempuan diterima pada 27 Juli 1986 melalui pentahbisan pertama dan masih satu orang saja.7 Dalam perkembangan selanjutnya pelayanannya ditengah-tengah jemaat dapat diterima tetapi dalam pengambilan keputusan di jemaat dalam tingkat resort, distrik dan sinode presentasinya kecil. HKBP memiliki yaitu 1648 orang pendeta, 277 diantaranya adalah perempuan (17,31%), 637 resort 30 diantara dipimpin oleh perempuan (4,3%), dari 28 distrik hanya seorang perempuan yang menjabat sebagai Praeses (3,5%).8
Praeses
perempuan pertama tersebut dipilih pada Sinode Godang HKBP September 2008. Faktor budaya Batak yang menganut sistim patriarkhi (bapa yang berkuasa) merupakan halangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Hal ini dilihat dengan masih kurangnya kesempatan diberikan kepada pendeta perempuan dalam memimpin jemaat resort, distrik dan sinode. Dapat dikatakan bahwa budaya Batak memengaruhi perempuan Batak dalam gereja.9 Pada umumnya kehadiran perempuan hampir duapertiga dari peserta di berbagai macam ibadah dan aktifitas gereja.
Namun dalam bidang
7
Kantor Pusat HKBP, Almanak HKBP 2011, Pematangsiantar, Percetakan HKBP, 450 – 452, 2011. Bibelvrouw pertama ditahbiskan di HKBP pada 15 Agustus 1935. 8 Ibid, 263 - 450. 9 HP Panggabean, Pembinaan Nilai-nilai Adat Budaya Batak Dalihan na tolu, Jakarta, Dian Utama, 2007, 26 – 27.
5
kepemimpinan gereja peran mereka masih sangat kecil dan masih didominasi oleh laki-laki. Dari keadaan di atas dapat dikatakan pelayanan pendeta perempuan diterima namun dalam kepemimpinan peran perempuan masih kurang dibanding dengan lakilaki. Oleh karena itu, maka muncul pertanyaan, apakah penyebab perbedaan partisipasi laki-laki dan perempuan di dalam kepemimpinan gereja. Rupanya cara berteologi dan nilai-nilai budaya Batak yang bersifat patriarkhi cukup memengaruhi adanya keadaan tertentu.10 Gereja HKBP sebagai salah satu gereja di Indonesia, sebagaimana gereja-gereja lainnya yang ada di bumi kita digolongkan menurut sistim suku. Oleh karena itu nilainilai serta adat istiadat di dalam budaya suku tersebut memengaruhi Gereja dan tentunya berdampak pada sikapnya terhadap perempuan. Gereja HKBP telah memberi kesempatan kepada perempuan sebagai pendeta namun dalam praktek menerima kepemimpinan masih sulit. Sangat jelas sekali bahwa konstruksi jender dalam masyarakat dan budaya Batak telah mengakibatkan timbulnya ketidakadilan dan diskriminasi pada perempuan. Gereja yang sesungguhnya sebagai sumber keadilan telah menjadi pelaku ketidakadilan dan menindas. Untuk mewujudkan keadilan ditengah-tengah masyarakat dan khususnya dalam gereja HKBP maka penulis akan meneliti permasalahan di atas dengan merumuskan judul penelitian sebagai berikut:
10
Anne Hommes, Perubahan Peran..., 81 - 82
6
Pendeta Perempuan dalam Kepemimpinan di Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). 2. Rumusan Masalah 1. Dalam usia HKBP 150 tahun, bagaimanakah pandangan para pemimpin HKBP khususnya di aras sinode tentang posisi/kedudukan pendeta perempuan dalam kepemimpinan gereja? 2. Faktor-faktor apa yang memengaruhi pandangan tersebut ? 3. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan pandangan para pemimpin HKBP khususnya di aras sinode tentang posisi pendeta perempuan dalam kepemimpinan di Gereja HKBP dalam usianya yang sudah 150 tahun. 2. Mengidentifikasi berbagai faktor-faktor yang memengaruhi pandangan tersebut. 4. Manfaat Penelitian 1. Dalam tataran akademik, diharapkan penelitian akan memberikan sumbangan teoritik yang dapat membantu akademisi untuk melakukan studi jender di Indonesia. 2. Dalam tataran praksis, penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan paradigma baru bagi masyarakat tentang perempuan dan eksistensinya ditengahtengah kehidupan bersama. Selain itu bagi gereja untuk lebih memberikan peluang dalam kepemimpinan perempuan. 5. Signifikansi Pembahasan tentang kedudukan dan peran perempuan dalam wawasan jender khususnya tentang eksistensi, identitas dan peran perempuan mengalami ketidakadilan 7
dan marjinalisasi dalam kehidupan sehari-hari, bukanlah hal yang baru ditulis. Permasalahan ketidakadilan dan ketidaksetaraan jender terhadap perempuan telah ada dan banyak dihasilkan sejak lama. Masyarakat Batak adalah masyarakat patriarkhat yang mempunyai rujukan sistem berdasarkan
kesepakatan
laki-laki
sehingga
kondisi
perempuan
sangat
termarginalisasikan dan dipinggirkan melalui kerja-kerja domestik. Dari sisi pola pembagian kerja, laki-laki mendominasi ranah publik dalam hal ini di HKBP sedangkan perempuan pada sektor domestik.11 Dalam pekerjaan laki-laki lebih dihargai dibandingkan
dengan
perempuan.
Dalam
hal
penggajian,
masih
ada
yang
memberlakukan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dimana gaji laki-laki lebih tinggi dari perempuan walau jenis pekerjaan yang dilakukan sama.12 Selain itu persentasi perempuan sebagai pemimpin dibandingkan dengan populasi perempuan secara keseluruhan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan persentasi lakilaki sebagai pemimpin.13 Keadaan ini memunculkan pertanyaan apakah hal tersebut diakibatkan keraguan banyak orang tentang kepemimpinan perempuan karena adanya pemahaman peran perempuan di ranah domestik dan bukan publik ataukah kurangnya peluang yang diberikan kepada perempuan?14
11
Nurlian Harmona Daulay, Kesetaraan Gender dalam Pembagian Kerja pada Keluarga Petani Ladang, www. Jurnal usu/ Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2008, Vol. II, No. 2/ diunduh 2 April 2011. 12 Endress Megan Lee, Gender Effect on Bias in Complex Financial Decisions, www. the free library, diunduh 3 April 2011. 13 Frieda Mangunsong, Faktor Intrapersonal, Interpersonal dan Kultural Pendukung Efektifitas Kepemimpinan Perempuan Pengusaha dari Empat Kelompok Etnis di Indonesia, www.jurnal ui/Makara Sosial, Humaniora, Vol. 13, No. 1, Juli 2009, 19/ diunduh 3 April 2011. 14 Dien Sumiyatiningsih, Kepemimpinan Kristen dengan Perspektif Perempuan, Universitas Kristen Satya Wacana, Jurnal Studi Pembangunan Interdisplin, Vol. XX, No. 1 April - Juli, 2008, 15.
8
Meskipun dalam gaya kepemimpinan menurut penelitian, perempuan pemimpin memiliki efektifitas kepemimpinan yang tinggi dan dalam berkomunikasi lebih memiliki tingkat positif dibandingkan dengan pemimpin laki-laki.15 Dari hal di atas dapat disimpulkan bahwa permasalahan perempuan sangat memprihatinkan dan membutuhkan penyelesaian yang adil. Menurut Okin,16 jender merupakan masalah keadilan dan terdapat tiga alasan utama mengenai hal tersebut. Pertama, pentingnya bahwa perempuan harus merasakan adanya keadilan. Kedua, saat ini kesetaraan secara serius dirusak oleh ketidakadilan jender yang dikonstruksi oleh masyarakat.
Yang terakhir, keluarga harus pertama-tama menciptakan masyarakat
yang adil, karena dalam keluarga merupakan akar perkembangan moral. Keluarga yang gagal melakukan kesetaraan laki-laki dan perempuan adalah keluarga yang gagal melakukan keadilan. Ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang menimpa kaum perempuan banyak terjadi karena dikonstruksi budaya dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang baru tentang eksistensi dan identitas perempuan ditengah Gereja harus ada untuk menghasilkan kesetaraan dan keadilan jender antara laki-laki dan perempuan. Itulah yang menyebabkan penulis tertarik untuk meneliti pendeta perempuan yang belum pernah dilakukan khususnya dalam kepemimpinan di Gereja HKBP sekaligus merepresentasikan bagaimana pendeta perempuan
memandang
15
Sharon Shocklay & Kelly Mc Kerrow, Advancing Women in Leadership, www.advancing women.com, Vol. 31, 49 – 50/diunduh 3 April 2011. 16 Susan Moller Okin, Justice Gender and the Family, USA, Basic Books, 1989, 26 – 40.
9
eksistensi mereka sendiri dan bagaimana Gereja dengan diwakilkan Pendeta laki-laki dan jemaat memandang sebagai pemimpin Gereja. 6. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Pendekatan penelitian adalah pendekatan kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Dapat juga berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.17 Semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti atau dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.18 2. Tehnik Pengumpulan data Data yang dikumpulkan nantinya akan berupa data primer diperoleh melalui: 1. wawancara19 mendalam (depth interview) dengan para informan kunci yaitu Ephorus, Sekretaris Jenderal, Ketua Departemen Marturia, Diakonia, Koinonia, Ketua Bidang Perempuan dan Personalia serta beberapa orang pendeta pendeta perempuan dan pendeta laki-laki. 2. Selain itu pengumpulan data sekunder melalui buku, jurnal atau materi-materi tertulis lainnya yang memuat informasi tentang bahasan dan masalah penelitian ini. 3. Tehnik Analisa Data Data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan di lapangan, akan 17
Robert C Bogdan & Sari Knopp Biklen, Quality Research for Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston, Allyn and Bacon, 1985, 5. 18 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda, 2010, 11. 19 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metode Penelitian Sosial, Jakarta, Bumi Aksara, 2000, 90.
10
dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan landasan teori sebagai alat bedah analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari hasil penelitian ini. 7. Rencana Penelitian Secara garis besar penelitian akan disusun dalam lima bab. Bab I, Pendahuluan. Peneliti memaparkan latarbelakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, Landasan Teori. Peneliti akan membahas mengenai gereja, feminisme, jender, dan kepemimpinan yang melayani. Bab III, Hasil penelitian dan Analisa. Data akan dikumpulkan melalui wawancara Ketua Sinode (Ephorus), Sekretaris Jenderal dan Ketua Departeman Marturia, Koinonia, Diakonia, Ketua bidang pelayanan perempuan, Kepala
Personalia, beberapa orang
pendeta perempuan dan pendeta laki-laki dan langsung di analisa. Bab IV. Refleksi, memuat refleksi Penulis dari hasil penelitian yang sudah dikumpulkan. Bab V. Penutup yang berisi ke simpulan dan saran
11