49
BAB III KERANGKA PERMIKIRAN DAN KEBARUAN
Tema yang hendak dijelaskan disini adalah kerangka pemikiran yang menjadi penuntun studi, serta yang menjadi kebaruan dari penelitian ini. Kerangka pemikiran, dibangun dari tinjauan pustaka yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya, yang juga menjadi dasar formulasi hipotesis penelitian. Sedangkan kebaruan penelitian ini dilakukan dengan meninjau rentang penelitian yang telah dilakukan (State of the Art) terkait birokrasi pemerintahan di Indonesia, serta membandingkannya dengan hasil studi ini. 3.1. Kerangka Pemikiran Berdasarkan tinjauan pustaka pada bab terdahulu, dapat dirangkum bahwa birokrasi pemerintahan masih pekat dipengaruhi unsur budaya yang bersumber dari otoritas tradisional. Masuknya pengaruh otoritas tradisional tersebut menyebabkan birokrasi pemerintahan bercirikan birokrasi patrimonial yang awalnya berpusat pada struktur keluarga, khususnya pada otoritas ayah dalam keluarga, dengan demikian bersifat patriarki (Weber, 1978). Sistem relasi kekuasaan, di dalam birokrasi, berdasarkan pola relasi patron-client, di mana seorang pemimpin diperlakukan sebagai patron, pelindung atau penjamin kenyamanan hidup bagi bawahan dan anggota masyarakat yang dipimpinnya. Birokrat bawahan serta anggota masyarakat menempati peran sebagai client, di mana kesejahteraan di tangan sang pemimpin atau patron. Birokrasi pemerintahan Indonesia memiliki birokrasi patrimonial (Crouch 1985). Birokrasi ini masih kuat mengakar hingga era pemerintahan otonomi daerah yang kemudian menyebar ke pemerintahan daeah (Webber 2006; van Klinken 2009). Namun, pada pemerintahan daerah di Kab.Agam, berlaku hal berbeda.
Dalam
Nagai-Nagari
di
Minangkabau,
Otoritas
Tradisional
Minangkabau (OTM), masih berlangsung hingga kini (Hadler 2010; Manan 1995; Kato, 1982 dan von Benda Beckman 1979/2000).
Nagari-Nagari yang
ekonominya berbasiskan pertanian sub-sistensi (Dobbins, 2008), memiliki aktivitas ekonomi utama usahatani padi sawah (Kahn, 1979). Birokrasi mendapat
50
pengaruh dari OTM melalui unsur-unsurnya yang menjadi birokrat (DPRD) birokrasi pemerintahan (BP). Seperti diketahui, Otonomi daerah memberi kesempatan mobilitas sosial bagi OTM dan unsurnya (Benda-Beckman 2007). Mamak, kemanakan, anak, bundo kandung serta ulama dan cendikia, mendapat kesempatan untuk diusung dan dipilih secara kolektif menjadi anggota DPRD. Selanjutnya, mereka yang dipilih
secara
bersama,
memperjuangkan
alokasi
dana
APBD
untuk
kampung/Nagari. Unsur-Unsur OTM yang diusung dan dipilih secara bersama untuk menjadi anggota DPRD, mencerminkan awal dari masuknya kepentingan partikular dalam Birokrasi Pemerintahan (BP). Selama
Otonomi
Daerah
dan
Desentralisasi
Fiskal,
Birokrasi
Pemerintahan terdistorsi (out of function) (Weber dalam Beetham, 1996) oleh beragam kepentingan birokrat. Utamanya terlihat pada ranah perencanaan dan penganggaran (Luhiwono 2010) yang ditandai dengan sarat akan kepentingan, oligarkis, dan inefisiensi anggaran (Faulina, 2010; Sudjito, 2008; Marbyanto, 2008). Ranah penganggaran khususnya ditandai dengan beragam kepentingan inter dan antar elit (Eksekutif dan Legislatif) (Syukry dan Halim, 2006). Akibatnya, perencanaan dan penganggaran menjadi arena persaingan yang menimbulkan relasi-relasi transaksional. Realitas Birokrasi Terdistorsi ini, menyebabkan Otoritas Tradisional dapat menikmati “kue” APBD. Kerangka konseptual ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 berikut.
51
KERANGKAN PEMIKIRAN
2
OTORITAS TRADISIONAL Ninik Mamak Kaum/Kampung Walinagari KAN BAMUS/BPRN
RKPD Ulama
Interaksi SKPD-DPRD KUA-PPAS
Bundo Kanduang
NAGARI
Kontestasi Proses Pemilu Proses melalui PEMILU Legislatif Kepala Daerah
RAPBD
APBD
Interaksi SKPD-DPRD -BUPATI RKA SKPD
Interaksi SKPD-DPRD Renja DPRD
Proses melalui PEMILU
PEMUDA
Kontestasi Area penyusunan pembahasan program RAPBD
BIROKRASI PEMERINTAHAN
Kontestasi MUSRENBANG Nagari Kecamatan Kab.
DPRD
3 POKOK-POKOK PIKIRAN DPRD Menyebabkan perubahan APBD
BUPATI
1 Aliran alokasi anggaran APBD pada Kampung anggota DPRD
Gambar 3.1. Kerangka Pemikiran 3.2. Hipotesis Pada tahapan pengambilan, interpretasi dan analisis data penelitian ini dibimbing oleh hipotesis sebagai berikut : Jika Birokrasi Pemerintahan pola Weberian diterapkan dalam konteks otoritas tradisional yang masih kuat, maka akan terjadi kontestasi antara elite yang menyebabkan Birokrasi Pemerintahan pola Weberian tidak berfungsi sebagaimana mestinya. 3.3. State of The Art: Evolusi Birokrasi Pemerintahan di Indonesia Studi Birokrasi telah dibangun dan dikembangkan oleh Max Weber (1978). Menurut Weber, birokrasi modern (legal-rasional) yang berkembang di Barat, terkendala tumbuh kembang di Asia karena kultural (adat tradisi, agama dan pemikiran) tidak dapat menjadi media pendukung. Oleh karenanya, Weber menyebut Birokrasi di Asia masih pekat dilingkupi oleh birokrasi patrimonial (Turner 1984). Tesis Weber tersebut kemudian mendapat pembenaran dari hasil studi Crouch (1985) yang berjudul “Economic Change, Social Structure and the Political system in Southeast Asia, Philippine Development Compared with the Other ASEAN Countries” yang menyimpulkan bahwa Negara Philippina dan
52
Negara di Asia Tenggara lainnya (Indonesia, Singapore, Malaysia) masih dikungkung
oleh patrimonialisme. Namun, berbeda dengan Weber, Crouch
(1985) melihat konsekuensi patrimonialisme dalam politik sebagai hal penting dalam pencapaian pembangunan ekonomi. Di Indonesia, kajian otoritas tradisional dengan legal-rasional (modern) dalam birokrasi didominasi oleh pendekatan kultural, di samping beberapa diantaranya struktural dan ketergantungan. Menurut urutan tahun, dapat diringkas sebagai berikut; Studi Feith pada tahun (1962) melihat kontestasi sesama elite berkuasa (governing elite) dalam birokrasi pemerintahan yang menyebabkan kemunduran demokrasi pemerintahan parlementer pada masa awal kemerdekaan. Kontestasi sesama elite berkuasa tersebut berpangkal pada dua gaya kepemimpinan yang sangat berbeda, yang pertama disebut solidarity makers 1dan kelompok elite yang kedua disebut administrator atau problem solver.2 Kedua kelompok ini memiliki visi, gaya, kecakapan dan basis kepemimpinan yang berbeda di dalam usaha membawa Indonesia merdeka sebagai sebuah Negara yang modern (Modern State). Benda (1964) mengkritik tesis Feith, bahwa kegagalan demokrasi parlementer (memperluas analisis Feith) berpangkal dari politik dan birokrasi patrimonial (politik aliran) yang bersumber dari suku, agama dan ideologi yang dianut masing-masing kelompok elite penguasa. Terkait dengan diskursus Feith dan Benda, Castles dan Feith (1970) kemudian memetakan lima kelompok aliran yang kemudian akan mempengaruhi evolusi birokrasi Indonesia, yakni, Islam, Tradisional Jawa, Sosialis Demokratik, Nasionalis Radikal dan Komunis. Dampaknya terhadap birokrasi pemerintahan adalah, pertama, munculnya konflik yang bersifat sentrifugal (konflik meluas melewati batas wilayah), sehingga sulit diatasi dan berakibat pada tidak stabilnya birokrasi pemerintahan (politik). Kedua, koalisi antar partai politik yang ada menjadi lemah. 1
Elite yang memiliki basis massa hingga akar rumput, yang menjadikan politik sebagai panglima. Pada perfektif politik aliran, kelompok elite ini berasal dari suku Jawa. 2 Elite yang tidak memiliki basis massa, namun merupakan kalangan terdidik tamatan perguruan tinggi yang lebih memprioritaskan permasalahan ketata negaraan dan pemecahaan masalah untuk memajukan Indonesia. Pada perspektif politik aliran, umumnya kelompok elite ini berasal dari suku Minangkabau.
53
Studi lain mengenai birokrasi, dilakukan oleh Mortimer (1973), diberi judul “Indonesia: Growth or Development’ menyimpulkan bahwa praktek modernisasi di Indonesia memunculkan kelompok birokrat kapitalisme sehingga nuansa birokrasi yang hadir pada saat (1970-an) itu adalah birokrasi kapitalisme. Birokrasi yang dimana para birokratnya memiliki kepentingan partikular, sehingga menjadi “junior partner” bagi modal asing ketika modernisasi dilaksanakan di Indonesia. Kajian lain mengenai birokrasi (patrimonial) dimana unsur-unsur tradisional menjadi kepentingan partikular birokratnya juga ditemukan pada kajian Jackson (1978) yang menyimpulkan bahwa susunan politik (patrimonial) mempengaruhi wajah birokrasi di Indonesia. Wujud birokrasi Indoneisa adalah politik birokrasi (bureaucratic Polity) dimana keputusan politik yang diambil tidak ada hubungan (terlepas) dari kekuatan sosial-politik dan hanya berlangsung dikalangan elite tertinggi di pemerintahan pusat (lingkungan Istana Negara). Tubuh politik berpijak pada azas kewenangan legal-rasional, yang didukung oleh Militer, elite birokrasi dan teknokrat. Kekuasaan Negara berada ditangan sekelompok Militer yang menganut pendekatan Teknokratik, birokratik dalam pengambilan keputusan Studi yang dilakukan King (1982) menyimpulkan bahwa, khususnya pada tahun 1980-an, Birokrasi Indonesia memilik karakteristik rejim birokrasi otoriter (bureaucratic-authoritarian regime), dimana kekuasaan berada dalam oligarkhi, sekumpulan orang, lembaga (institusi Militer). Hal ini menyebabkan birokrasi Weberian yang memiliki ciri legal-rasional dan impersonal tidak dapat berlangsung. Studi yang dilakukan Castles (1983), memiliki kesimpulan yang sama penelitian terdahulu, namun dengan nuansa yang berbeda. Menurutnya, birokrasi Indonesia bercirikan Patrimonial yang memiliki karakteristik hubungan keluarga dalam seluruh hierarki pemerintahan. Birokrasi seperti tersebut, telah berlangsung dari masa kerajaan Mataram, Kolonial Belanda, Demokrasi Parlementer, Terpimpin
dan
Pancasila.
Bahkan,
menurutnya,
pelaksanaan
birokrasi
Pemerintahan Orde Baru kembali ke arah pra-kolonial yakni monarkhi Jawa.
54
Studi lain yang berkenaan dengan birokrasi patrimonial, juga dilakukan oleh Emmerson (1983) yang menyimpulkan bahwa Birokrasi Indonesia bersifat Plural (Bureacratic Pluralism). Perspektif ini menekankan bahwa politik di tingkat nasional lebih bersifat pluralistik. Ia berkesimpulan bahwa perdebatan serius tentang isu kebijakan memang terjadi pada banyak kelompok yang plural dalam birokrasi. Kompetisi politik tidak hanya sekedar mengenai distribusi keuntungan personal di antara kelompok-kelompok klien, tetapi juga dalam substansi kebijakan. Dalam konteks Orde Baru, birokrasi menjadi lemah karena didalamnya banyak kelompok yang bersaing satu sama lain. Ia juga tidak melihat pada akhirnya pengaruh dalam pembuatan kebijakan tetap saja dimonopoli oleh negara. Berbeda dengan Emmerson di atas,
kajian Robinson (1986) dan
Muhaimin (1990) yang menyimpulkan birokrasi pemerintahan yang bersifat patrimonial melahirkan pengusaha-pengusaha (kapitalis) yang berselingkuh dengan birokrasi pemerintahan. Para pengusaha yang muncul bertali temali dengan elite birokrasi, baik memiliki hubungan saudara, kolega, pertemanan atau hubungan simbiosis mutualisme dan transaksional. Kapitalis yang lahir kemudian tergantung perkembangan usahanya dengan proyek-proyek pembangunan, serta kemudahan akibat kebijakan yang dihasilkan oleh Birokrasi Pemerintahan. Semenjak dilaksanakannya otonomi daerah, kajian mengenai birokrasi pemerintahan diwarnai oleh birokrasi patrimonial yang dipengaruhi oleh partaipartai dengan berbagai aliran. Studi Thoha (2004) menyimpulkan bahwa Birokrasi Pemerintahan Indonesia telah sejak lama “dibajak” oleh partai politik. Pembajakan dilakukan dengan menguasai suara kemudian melakukan tekanan untuk dapat menduduki posisi atau jabatan strategis pada Birokrasi Pemerintahan yang kemudian berakibat pada menyimpangnya fungsi-fungsi birokrasi Weberian. Studi ini kemudian dipertegas oleh Ambardi (2009) yang menyimpulkan bahwa partai-partai
membentuk
kartel,
kemudian
mengeksploitasi
birokrasi
pemerintahan untuk pemburuan rente anggaran Negara, untuk dialirkan pada diri, kelompok dan partai. Oleh karena itu, masih cukup relevan menyimpulkan bahwa birokrasi
pemerintahan
Indonesia
masih
dipengaruhi
nilai-nilai
budaya
patrimonial (Webber, 2006). Untuk lebih jelasnya mengenai tinjauan sejarah
55
mengenai kajian Birokrasi Pemerintahan Indonesia, dapat dilihat pada matriks di bawah ini. Secara keseluruhan, kajian yang lebih memusatkan bagaimana nilai-nilai budaya matrilileneal yang bukan bercirikan patrimonial (Patrilineal) dalam birokrasi pemerintahan belum pernah dilakukan. Tabel 3.1. Matriks State of the Art Studi Birokrasi Patrimonial di Indonesia Judul Penelitian Thn
Peneliti
1960
Herbert Feith
The Decline of Constitutional Democracy In Indonesia
1970
Lance Castles & Herbert Feith
Indonesia Politikal Thingking 1945-1966
1971
Harsya W.Bachtiar
Bureaucracy and Nation Formation in Indonesia
1973
Mortimer
Indonesia : Growth or Development
1978
Karl D.Jackson
Political Power and Communications in Indonesia
Mikro
Makro
Pendekatan Penelitian Ketergantung Struktural Kultural an Kontestasi Sesama elite berkuasa, dengan latar belakang budaya dan orientasi politik berebeda menyebabkan demokrasi di Indonesia menurun. Berpengaruh kepada birokrasi Pemerintah semasa awal kemerdekaan Terdapat pemilahan sosial, yang kemudian mempengaruhi sistem kepartaian pada masa awal kemerdekaan, yang dapat dikelompokkan menjadi lima aliran, yakni, Islam. Tradisional Jawa, Sosialis Demokratik, Nasional Radikal dan Komunis. Negara menjadi Negara PNS yang menyebabkan birokrasi menjadi tambun Tumbuhnya kelas birokrasi capitalism dengan ciri berperan sebagai “junior partner” bagi modal asing Susunan politik di Indonesia adalah “bureaucratic Polity” dimana keputusan politik yang diambil tidak ada hubungan (terlepas) dari kekuatan sosial-Politik dan hanya berlangsung
56
1982
Dwight Y.King
Indonesia’s, New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or BureaucraticAuthoritarian Regime
1983
Castle
Birokrasi, Kepemimpinan dan Revolusi Sosial
1983
D.K. Emmerson
Understanding the New Order: Bureaucratic Pluralism in Indonesia
dikalangan elite tertingi di pemerintahan pusat (lingkungan Istana Negara). Tubuh politik berpijak pada azas kewenangan legalrasional, yang didukung oleh Militer, elite birokrasi dan teknokrat. Masyarakat Susunan Politik di Indonesia adalah bureaucraticauthoritarian regime, dimana kekuasaan berada dalam oligarkhi, sekumpulan orang, lembaga (institusi Militer). Kekuasaan Negara berada ditangan sekelompok Militer yang menganut pendekatan Teknokratik, birokratik dalam pengambilan keputusan Birokrasi Indonesia bercirikan Patrimonial yang memiliki karakteristik hubungan keluarga dalamseluruh hierarki pemerintahan. Birokrasi Indonesia memiliki kontinuitas dari masa kerajaan Mataram, Kolonial Belanda, Demokrasi Parlementer, Terpimpin dan Pancasila. Birokrasi Orba kembali ke arah pra-kolonial, monarkhi Jawa Pluralisme Birokrasi; Perspektif ini menekankan bahwa politik di tingkat nasional lebih bersifat pluralistik. Ia berkesimpulan bahwa perdebatan serius tentang isu kebijakan memang terjadi pada banyak kelompok dalam birokrasi dan juga negara memang bersifat plural dan kompetisi politik tidak hanya sekedar sebagai distribusi keuntungan personal di antara kelompokkelompok klien, namun juga dalam substansi kebijakan itu sendiri. Dalam konteks Orde Baru, ia berpendapat birokrasi menjadi lemah dimana didalamnya banyak kelompok yang bersaing satu sama lain. Ia juga tidak melihat negara sebagai jawaban atas tekanan
57
1983
Sutherland
Terbentuknya Elite Birokrasi Di Indonesia
1985
Harold Crouch
Economic Change, Social Structure and the Political system in Southeast Asia
1986
Richard Robinsons
Indonesia: The Rise of Capital
1990
Muhaimin
Bisnis dan Politik : Kebijakan Ekonomi Indonesia 1950-1980
atau permintaan masyarakat yang pada akhirnya pengaruh dalam pembuatan kebijakan tetap saja hanya dimonopoli oleh negara. Terbentuknya elite birokrasi di Indonesia merupakan kelanjutan dari Elite Birokrasi Kolonial Belanda Politik di Negaranegara Asia Tenggara syarat dengan kepentingan partikular (Philipine: Catolic; Indonesia : Kerajaan Jawa; Confusianim : Singapore) yang memiliki konsekuensi politik yang penting untuk mencapai kesuksesan pembanguna n ekonomi Birokrasi Patrimonial Orba melahirkan Birokrasi berpolitik dan kapitalisme kekeluargaan dimana Militer, Tionghoa, Pengusaha Pribumi dan Birokrasi berselingkuh Birokrasi Patrimonial menghasilka
58
n pengusaha yang tergantung dengan Birokrasi Pemerintah 1992
Evers and Scheil
1994
Kuntowijoyo
Kelompok-Kelompok Strategis: Studi Perbandingan tentang Negara, Birokrasi, dan Pembentukan Kelas di Dunia Ketiga
Demo krasi dan Buda ya Birok rasi
proses birokrasi di Indonesia berkembang model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah pola dimana terjadi proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali. Sedang birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai proses perluasan kekuasaan Pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik dan sosial dengan peraturan, regulasi dan bila perlu melalui paksaan Budaya Patrimonial dalam birokrasi Pemerintaha n Indonesia berakar pada
59
1995
Manan
2004
Thoha
2006
Webber
tradisi birokrasi Kerajaan Jawa, terutama kerajaan Agraris. Otoritas tradisional Minangkaba u dan birokrasi Modern dapat hidup saling melengkapi, bahwa, Nagari merupaka satu wilayah yang utuh dibanding Desa
Birok rasi dan Otorit as Tradi sional : Nagar i dan Desa di Mina ngkab au Birokrasi dan Politik
A Cons olidat ed Patri monia l Demo cracy ? Demo cratiz ation in PostSuhar to Indon esia,”
Birokrasi Pemerintah telah sejak awal kemerdekaan “dibajak” oleh Partai Politik Sehingga Birokrasi Weberian tidak berfungsi budaya politik di Indonesia lebih mengarah pada nilainilai patrimonial dan, karenanya, jenis sistem politik dan demokrasi yang berkembang adalah sistem politik dan demokrasi patrimonial. Sistem
60
politik jenis ini mengandaika n kondisi di mana para pemegang kebijakan mengeksploit asi posisi mereka hanya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan pribadi, bukan kepentingan universal. 2009
Ambardi
Mengungkap Politik Kartel
Birokrasi Pemerintah Era Reformasi telah dibajak oleh Partai Politik. Partai-Partai membentuk kartel dan kemudian saling bekerjasama melakukan perburuan rente di Lembaga Legislatif (DPRD) dan Eksekutif melalui jabatan-jabatan elite puncak pada birokrasi pemerintahan
Dalam konteks Mikro (masyarakat Minangkabau), studi interaksi di antara Otoritas Tradisional Minangkabau dengan birokrasi pemerintahan, baik dengan tema utama maupun sub tema penelitian, telah sering dilakukan. Studi Manan (1995) misalnya, menjelaskan secara historis interaksi keduanya sangat dinamis. Studi yang bersifat Weberian tersebut, menyanggah pendapat Weber bahwa birokrasi legal rasional akan menggantikan posisi otoritas tradisional. Hal ini terbukti, sejak masa kolonial Belanda hingga saat ini, otoritas tradisional yang terbungkus dalam kesatuan Nagari, masih kuat keberadaannya. Dalam “hiruk pikuk” kajian mengenai masyarakat Minangkabau, interaksi antara otoritas tradisional dengan birokrasi modern mengerucut kepada dua pendapat, yang pertama, otoritas tradisional meluruh digantikan oleh birokrasi modern. Pendapat kedua, otoritas tradisional mampu bertahan dan secara dinamis mampu berinteraksi dengan birokrasi pemerintahan hingga kontemporer. Tesis pertama diwakili oleh Schrieke (1955), de Jong (1960), Gough (1961) Maretin
61
(1963)3 dan Geertz (1967) yang menyebutkan kontak budaya masyarakat NagariNagari (otoritas tradisional) Minangkabau dengan kolonial Belanda dan kapitalis modern yang menyertainya berakibat pada perubahan pada masyarakat Minangkabau,4 seperti, pengejar laba, revolusi agrarian, melemahnya ikatan kekerabatan luas, konflik di antara kaum muda dan tua, kewibawaan tradisional melemah, standar sosial tradisional goyah, bahkan menurut Geertz, “inti kebudayaan” telah berubah. Pecahnya keluarga luas, melemahnya penghulu, melemahnya berbagai adat perkawinan, semua berujung pada melemahnya Otoritas Tradisional Minangkabau. Kelompok kedua, menyanggah kesimpulan kelompok pertama. Ketika kolonial
Belanda
menjajah
Minangkabau,
mereka
sengaja
memelihara
(memperkuat) otoritas tradisional berikut budaya Minangkabau dengan sistem pemerintah indirect rule (Kahn, 1976; von Benda-Beckman, 1979; Kato, 1984, Manan, 1995; Biezeveld, 2002; Hadler, 2010). Kato (1984) misalnya, berpendapat bahwa perubahan telah terjadi di Minangkabau, namun, kerabat matrilineal sebagai kelompok korporasi masih bertahan. Pola pewarisan kepada anak telah menggejala, namun warisan itu lebih diutamakan kepada anak perempuan dimana pada generasi kedua kembali menjadi warisan kepada garis ibu (pusaka tinggi). Von Benda Beckman (1979) juga menyimpulkan birokrasi modern seperti ekonomi modern dapat mengganggu sistem matrilineal, oleh karenanya juga otoritas
tradisional.
Namun,
hal
ini
belum
terjadi.
Biezeveld
(2002)
menambahkan, “daya rusak” dari pengaruh-pengaruh perubahan sosial terhadap Nagari-Nagari di Minangkabau akibat “berjumpa” dengan kapitalisme (birokrasi modern), perlu dipilah-pilah. Pengaruh-pengaruh itu berbeda-beda melihat usia Nagari, basis ekonominya (perdagangan atau pertanian), serta terletak dekat atau jauh dari Kota (perkotaan-pedesaan). Untuk Nagari-Nagari Tua dan basisnya
3
Menurut von Benda-Beckman (1979/2000; 484), analisis Maretin (1961) dangkal dan tidak didukung fakta yang ade kuat, pendapatnya telah pula pernah dibahas oleh Joustra (1923) dan Van Volenhoven (1909). Dalam bahasa von Benda-Beckman “para penulis yang muncul kemudian meninjau perubahan dari garis ibu ke bapak tidak memperlihatkan analisis yang lengkap dari penulis itu, label yang mereka kenakan pada perubahan-perubahan yang terjadi di Minangkabau sangatlah menyesatkan, dangkal dan tidak didukung data etnografis. 4 Konsep besarnya percakapan kedua kelompok ini adalah individualisasi. Otoritas tradisional itu disanggah oleh sistem masyarakat komunalisme. Lihat kajian kontempor mengenai dalam disertasi Renske Biezeveld (2002)
62
perdagangan justru otoritas tradisional mencakup kebudayaan Minangkabau masih bertahan, dan terus berkembang. Hadler (2010), berdasarkan kajian terhadap sejarah keluarga, rumah dan perkawinan di Minangkabau5 memproyeksikan bahwa adat Minangkabau ini akan masih terus bertahan, karena kecintaan dan kebanggaan masyarakatnya terhadap budaya Minangkabau. Bahkan, Imam Bonjol di hari-hari akhir hayatnya merindukan alam dan adat Minangkabau. Dengan kenyataan tersebut, tidak berlebihan jika Abdullah (2010) menyimpulkan bahwa perkiraan akademis Schrieke bahwa proses individualisasi orang Minangkabau akibat kemajuan ekonomi, sosial dan sebagainya akhirnya akan melemahkan ikatan matrilineal, dan otoritas tradisional yang menyangganya, masih bisa dianggap ramalan akademis saja. Satu-satunya kajian yang tema utamanya bersangkutan dengan interaksi otoritas tradisional dan birokrasi modern, yang mendekati kajian ini, telah dilakukan oleh Manan (1995). Kajian yang bersifat Weberian ini, dilatar belakangi implementasi UU No.5/1975 tentang Pemerintahan Desa di Sumatera Barat oleh pemerintah pusat (birokrasi modern) terhadap Nagari (otoritas tradisional) yang ingin diseragamkan menjadi desa. Hanya karena alasan finansial (mengharapkan bantuan Bangdes, Inpres), implementasi undang-undang ini, kemudian memecah Nagari-Nagari menjadi desa. Nagari yang semula berjumlah 542 Nagari di seluruh Sumatera Barat, kemudian mekar menjadi 3.332 Desa. Manan (1995) kemudian melakukan penelitian selama dua tahun, dengan pertanyaan penelitian yaitu (1) Pendekatan atau strategi apa yang dipakai oleh Pemerintah Sumatera Barat dalam menerapkan peratuan baru itu? (2) Bagaimana reaksi elite tradisional dalam memelihara kebudayaan dan kepentingan lokal? (3) Apa dampak dari birokrasi modern terhadap otoritas tradisional?
Beberapa
jawaban dari penelitian tersebut adalah, pertama, ada beberapa strategi yang dipakai untuk mengimplementasikan “si No.5”6 tersebut, seperti melakukan pilot 5
Pertanyaan Hadler bermula dari fakta 33% pendiri Negara Indonesia adalah Orang Minangkabau.. Apa rahasia dibalik penyebabkan orang Minangkabau ini dapat menghasilkan kualitas manusia “unggul”? 6 Gelar yang diberikan kolega, yang kemudian menjadi artikel di majalah Tempo, dengan judul Menggugat si Nomor 5. Tempo. No.36 Tahun XX, 3 November. Hal.24. Maksudnya, adalah UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa
63
project di beberapa tempat di Sumatera Barat selama 3 tahun, untuk melihat reaksi masyarakat Minangkabau. Kemudian memasyarakatkannya kepada masyarakat, elite tradisional, Camat, Bupati, melahirkan banyak Perda untuk mendukung pemekaran wilayah tersebut. Selanjutnya memberlakukan Perda No.13/1983 yang secara yuridis formal menjamin keutuhan teritorial Nagari dan mengukuhkan KAN (Kerapatan Adat Nagari) sebagai lembaga yang akan memelihara adat Minangkabau. Terhadap jawaban pertanyaan kedua dan ketiga, Manan mengemukakan, bahwa meskipun secara teritorial Nagari dimekarkan, namun otoritas tradisional seperti kepemimpinan yang dibangun dari bawah serta memiliki legitimasi seperti tigo tungku sajarangan tetap berperan menjaga kesatuan adat Minangkabau dalam kerangka Nagari (otoritas tradisional). Di samping itu, kekenyalan otoritas tradisional ini juga disebabkan adat yang selalu mampu beradaptasi dengan perubahan, hal yang menarik dari temuan ini adalah ternyata tidak seluruh desa mampu mandiri seperti desa-desa di Jawa. Hal ini disebabkan karena keuangan desa yang terbatas, satuan wilayah yang tidak mendukung, jumlah penduduk yang kurang serta ketiadaan legitimasi dari penduduk setempat yang biasa berfikir dalam kerangka Nagari. Desa kemudian tidak mampu membangun partisipasi masyarakatnya agar mampu menjadi desa “self financing”. Sehingga, kepala desa tidak memiliki marwah, desa kemudian hanya berfungsi sebagai tempat mengurus Kartu Tanda Penduduk dan Pajak Bumi Bangunan. Kepala desa dan perangkat desa, tidak mendapatkan gaji, akibatnya kemudian melakukan penyimpangan terhadap dana bangdes dan dana-dana yang dikucurkan dari pemerintah pusat dan propinsi. Secara garis besar beberapa kajian baik yang dilakukan oleh ahli antropologi, sosiologi,
maupun administrasi
negara tersebut merupakan
“lumbung” hasil panen penelitian mengenai interaksi otoritas tradisional dengan birokrasi modern. Ringkasan hasil-hasil kajian mengenai Minangkabau tersebut menyisakan satu ruang bagi penelitian sosiologi yakni suatu cluster kajian yang berusaha mengungkap secara khusus tema peran (interaksi) otoritas tradisional di dalam birokrasi pemerintahan. Secara khusus interaksi antar peranan yang berbentuk hubungan kontestasi (bersaing, saling dukung, dan konflik) antar pelbagai pihak baik dalam arena sistem tradisional maupun modern yang
64
menyangkut pengambilan keputusan di bidang keuangan publik. Dalam konteks tersebut penelitian ini menempatkan aspek-aspeki perencanaan dan penganggaran APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah)
sebagai celah masuk
sekaligus kasus untuk menemukan bentuk-bentuk interaksi antar peranan yang dimaksud.