BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Aceh merupakan salah satu propinsi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selama menjadi bagian dari NKRI, pemuka-pemuka daerah di Aceh memandang adanya ketidakadilan, ketidakseimbangan, dan diskriminasi dengan dan dari Pemerintah Pusat Jakarta. Rasa ketidakadilan dari Pemerintah Pusat Jakarta terhadap rakyat Aceh ini semakin disadari ketika pada tahun 1975 di Desa AronAceh, ditemukan ladang gas yang kemudian dieksploitasi oleh Pemerintah Pusat secara besar-besaran tanpa memberi bagian yang layak kepada Aceh. Dalam hal ini tidak ada perimbangan pendapatan yang memadai untuk pertumbuhan perekonomian rakyat Aceh. Akhir tahun 1976 Aceh melakukan pemberontakan kepada Pemerintah Pusat Jakarta, yang dipimpin Hasan Ditiro. Pemberontakan ini lebih dikenal dengan nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Gerakan tersebut menuntut kemerdekaan, pisah dari NKRI. Oleh pemerintahan Orde Baru, pemberontakan tersebut diatasi dengan menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Dari rezim ke rezim, upaya penyelesaian konflik antara GAM dan RI telah dilakukan. Baik penyelesaian dengan jalan kekerasan, seperti ketika rezim Orde Baru dimana Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM), atau penyelesaian dengan jalan damai seperti yang dilakukan oleh B.J. Habibie. Ada juga beberapa rezim yang berusaha menyelesaikan permasalahan ini melalui langkah 1
perdamaian dengan soft power namun pada akhirnya mengambil langkah yang lebih keras dengan hard power karena adanya ketidakkonsistenan dan kesan ketidaksejajaran antara Pemerintah Pusat dan GAM. Seperti yang dilakukan oleh pemerintahan Gus Dur dan Megawati. Peristiwa Tsunami yang menimpa Aceh pada akhir 2004 mendorong pemerintah Indonesia, yang pada saat itu dipimpin oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Yusuf Kalla, mengajak kelompok GAM untuk kembali berunding. Perundingan ini terselenggara atas bantuan dan inisiatif pemimpin CMI (Crisis Management Initiative), Martii Ahtisaari yang juga merupakan mantan Presiden Finlandia. Kedua belah pihak dan juga pihak penengah (CMI) berunding dengan bersungguh-sungguh untuk memenuhi kepentingannya. Pihak GAM menuntut perlunya tercapai suatu gencatan senjata, paling sedikit untuk jangka waktu selama proses perundingan dan menuntut pembebasan bekas perunding GAM, ratusan tapol, dan pemberian amnesti. Pihak Indonesia maupun GAM juga membicarakan soal pemilihan kepala daerah, partai lokal, soal pengaturan keamanan dan soal bagi hasil sumber daya antara rakyat Aceh dan pemerintah pusat. Setelah pertemuan dan perundingan tersebut, terdapat perubahan tuntutan, dimana pihak GAM tidak lagi menuntut merdeka seperti perundingan terdahulu sebelum Helsinki. Berubahnya tuntutan tersebut bisa menjadi angin segar bagi peluang keberhasilan perundingan. Apalagi jika di dalam perundingan tersebut, kedua belah pihak mencapai kesepakatan yang lebih konkret untuk perdamaian di
2
Aceh. Dibalik perubahan tuntutannya, GAM mengajukan tawaran-tawaran perundingan sebagai berikut :1 1. Pelaksanaan pemerintahan sendiri 2. Pembagian sumber daya alam 3. Pengusutan pelanggaran HAM oleh lembaga independen internasional 4. Pembebasan juru runding 5. Pembubaran milisi (gencatan senjata) 6. Penarikan seluruh pasukan TNI dari Aceh. Perundingan di Helsinki merupakan perundingan yang penting karena melibatkan utusan pejabat strategis setingkat menteri sebagai juru runding dan merundingkan dua kehendak yang bertolak belakang sertaadanya masalah yang selama puluhan tahun sulit dipertemukan. Aturan-aturan keamanan dan keinginan untuk memerintah daerahnya sendiri lepas dari Pemerintah Pusat merupakan bagian yang paling sulit dibicarakan dalam perundingan tersebut. Tingginya intensitas konflik dan eskalasi militer di Aceh menjadi pertimbangan bagi GAM dan Pemerintah Pusat untuk merumuskan aturan-aturan keamanan. Hal ini merupakan sesuatu yang krusial secepat mungkin dirumuskan dan memerlukan persiapan yang sangat terperinci karena kondisi di lapangan sudah sangat memprihatinkan.2 Tekanan bahwa perundingan Helsinki harus tetap dalam kerangka domestik dan tidak menuju pada internasionalisasi masalah Aceh sebagaimana dijelaskan oleh para juru runding Pemerintah Pusat RI menunjukkan pentingnya 1
Damien Kinsbury, Peace in Aceh A Personal Account of the Helsinki Peace Process, Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia, 2005, hal. 35 2 ibid
3
integrasi wilayah. Pemerintah Pemerintah Pusat khawatir internasionalisasi masalah Aceh akan membawa tanah Aceh pada situasi terlepas dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengantisipasi internasionalisasi Aceh, dalam arti diselesaikan melalui tangan PBB, akhirnya Martii Ahtisaari disetujui sebagai fasilitator perundingan. Peran Jusuf Kalla sangat signifikan dalam menentukan terpilihnya Martii Ahtisaari karena Jusuf Kalla percaya Martii Ahtisaari membela kepentingan Indonesia. Perundingan ini juga menjadi penting karena momentum kemanusiaan pasca terjadinya tragedi tsunami. Bencana alam yang meluluhlantakkan Aceh tapi juga membangkitkan rasa solidaritas sesama manusia dari dalam negeri dan berbagai belahan dunia membutuhkan suasana damai untuk mengatasinya. Semua ini memperbesar peluang berhasilnya perundingan Helsinki, namun tentu saja memerlukan kondisi-kondisi tertentu sebagai prasyarat penting yang harus dipertimbangkan oleh kedua belah pihak. Pertama, pengkoordinasian lapangan. Keduabelah pihak harus sebisa mungkin mencegah adanya upaya mementahkan hasil-hasil sementara yang telah dicapai. Kedua, faktor kepemimpinan GAM di lapangan. Kesulitan untuk mengakhiri konflik internal bersenjata di suatu negara juga dipengaruhi faktor kepemimpinan kelompok yang memberontak. Keberadaan pemimpin pemberontak di luar negeri kerap menyulitkan kendali dan kontrol atas kelompok bersenjatanya, seperti halnya kegagalan CoHA. Ketiga, pemenuhan kebebasan sipil. Delegasi Pemerintah Pusat RI dan delegasi GAM mengatakan bahwa kemajuan telah dicapai setelah perundingan empat hari di Helsinki, meskipun 4
ketegangan di lapangan yakni di Aceh masih tetap terjadi. Di dalam perundingan, kedua belah pihak yakni GAM dan Pemerintah Pusat telah menemukan banyak pengertian bersama. Tekad dan niat baik sudah ada di kedua belah pihak untuk mencapai penyelesaian secara damai. Pembicaraan kedua belah pihak berpusat pada pemerintahan sendiri yang terbatas bagi Provinsi Aceh dan integrasi kekuatan GAM ke dalam masyarakat sipil. Hasil dari pertemuan di Helsinki antara RI-GAM mencapai kesepahaman antara lain : membolehkan GAM melakukan bisnis dengan luar negeri, mempunyai hak laut sejauh 12 mil, melakukan pemilu lokal, dan memiliki partai lokal. Dalam tahun awal setelah MoU ditandatangani masih belum dapat dikatakan ada proses penyatuan kepentingan yang pada awalnya berbeda ideologi, tujuan, dan perjuangan. Masih dapat dilihat adanya kelompok militer Pemerintah Pusat dengan segala atributnya dan di sisi lain masih terlihat juga kelompok yang disebut mantan GAM. Hal ini terlihat mulai dari pemberian dana kompensasi, praktek politik, hubungan sosial masyarakat. Dalam pelaksanaannya, rancangan integrasi justru teresan hanya berupa pemberian uang, pemulihan ekonomi para mantan GAM beserta korban konflik, dan unsur masyarakat lainnya yang terlibat dalam pertentangan di Aceh. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, pada tanggal 11 Februari 2006 pemerintah telah berhasil membentuk Badan Reintegrasi Aceh (BRA) yang keanggotaannya meliputi wakil Pemerintah Pusat, GAM, kaum intelektual, dan unsur masyarakat lainnya. Namun dalam pelaksanaannya, BRA mengalami kendala dan tidak begitu memuaskan. Badan ini terlihat lamban dan kurang 5
efisien ditambah adanya kendala struktural. Selain itu, kewenangan BRA sangat sempit karena sangat tergantung dari keputusan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Lambat laun keanggotaan BRA semakin tipis diakibatkan oleh elemen GAM yang ada di BRA banyak yang mengundurkan diri. Mereka menganggap BRA tidak dapat bekerja secara maksimal dan di dalamnya masih terdapat gesekan
kepentingan.
Setelah
BRA,
yang
sebagian
besar
anggotanya
mengundurkan diri, pada tanggal 13 April 2006 dibentuk Badan Reintegrasi Damai Aceh (BRDA). Sebagian besar keanggotaan BRDA diisi oleh elemen pemerintah daerah. BRDA merancang program reintegrasi dan direncanakan pada tahun 2009 program tersebut selesai dilaksanakan. Program reintegrasi tersebut antara lain sosialisasi MoU, pengembalian hak, mendorong kegiatan politik seperti pembentukan partai lokal, kemudahan ekonomi, dan penggunaan dana reintegrasi seperti untuk bantuan pendidikan dan kesehatan. Sasaran pelaksanaan program yaitu mantan dan non-mantan pasukan GAM, tapol, masyarakat korban konflik, dan ahli waris. 3 Dalam hal ini Teori Kritis Jurgen Habermas dan pengembangannya oleh Robert Cox, Andrew Linklater dan Ken Booth dapat digunakan untuk memandang dan manganalisis fenomena di atas. Jurgen Habermas menawarkan komunikasi emansipatoris yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan emansipatoris manusia dan membentuk konsensus lewat dialog-dialog yang bebas dari penguasaan. Untuk mengetahui bahwa konsensus yang dihasilkan dari tindakan komunikatif antara dua belah pihak, dibutuhkan situasi perbincangan
3
Gubernur Mustafa Abubakar, Serambi Indonesia, 17 Juni 2006
6
yang bersifat transendental. Komunikasi tersebut dibangun dengan kesejajaran antar aktor dan secara adil untuk memenuhi kepentingan masing-masing aktor sehingga tidak ada lagi hambatan dialog. Dapat dianalisa bahwa hambatan dan keberhasilan kesepakatan atau perundingan dalam upaya penyelesaian konflik GAM dengan Pemerintah Pusat RI, merupakan pemaknaan dari terselenggara atau tidaknya komunikasi emansipatoris yang merupakan pokok perspektif Teori Kritis Jurgen Habermas. Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa dalam berbagai perundingan dan pelaksanaan
kesepakatan
sebelum
pertistiwa
Tsunami,
muncul
kesan
ketidaksejajaran atau ada pihak yang merasa dapat menguasai dan ada pihak yang merasa dikuasai. Di lain sisi, dalam perundingan Helsinki, komunikasi dibentuk salah satunya melalui keikutsertaan dari kedua belah pihak untuk bersama-sama menentukan negosiator. Ditambah situasi perundingan di mana kedua belah pihak saling bertatap muka, komunikasi yang emansipatoris tanpa hambatan kekuasaan dapat terjalin. Oleh karena itu dengan perspektif Teori Kritis peneliti berusaha melihat apa saja kekurangan dari proses resolusi konflik di Aceh dan keunggulankeunggulannya. Maka pertanyaan riset yang muncul adalah “Bagaimana resolusi konflik penyelesaian masalah Aceh dipandang dengan perspektif Teori Kritis?”
7
1.2.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dilakukan untuk 1.
Mendeskripsikan resolusi konflik untuk menyelesaikan permasalahan Pemerintah Indonesia dengan GAM.
2.
mendeskripsikan
keterkaitan
masyarakat
internasional
dalam upaya penyelesaian konflik antara Pemerintah Indonesia dengan GAM. 3.
mendeskripsikan resolusi konflik dalam penyelesaian masalah Aceh dipandang dengan perspektif Teori Kritis.
Adapun kegunaannya secara khusus adalah untuk mengetahui konflik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Di samping itu, penelitian ini diharapkan dapat memberian kontribusi untuk pengembangan konsep dan teori dalam resolusi konflik selanjutnya.
1.3.
Kerangka Teori Galtung mengatakan bahwa resolusi konflik terdiri dari tiga hal yang
berbeda tapi saling berkaitan yaitu peace-keeping, peace-building, dan peace making. Bisa diartikan pula bahwa keberhasilan suatu resolusi konflik tergantung dari keberhasilan ketiga unsur tersebut. Problem
Strategy
Target Group
Violent Behaviour
Peace keeping
Armed Group
(Military activity)
(Warriors)
Peace making
Decision makers
Perceived incompability
8
of interests Negative attitudes and
(leaders) Peace building
socio-economic structures
Ordinary people (followers)
(Ryan, Stephen, Ethnic Conflict and International Relations, second edition, Dartmouth Publishing Company, 1995, hal. 104)
Peace-keeping adalah strategi yang bertujuan untuk menghentikan dan mengurangi penggunaan kekerasan dalam konflik melalui intervensi militer. Intervensi militer tersebut dapat berupa intervensi dari agen/intel negara, milisi, pasukan gerilya, dan bahkan rakyat jelata4. Kelompok ini bahkan tidak ragu menggunakan kekerasan dalam melawan pihak yang menentang mereka. Seharusnya, peacekeeping merupakan tanggung jawab negara apalagi pada masa sekarang ini dimana negara demokrasi sangat berperan dalam menentukan kesejahteraan dan keamanan warga negaranya. Akan tetapi tidak jarang pula kita temui fakta yang menunjukkan bahwa peran negara seakan-akan hilang dalam menjaga peacekeeping ini. Bahkan banyak terjadi agen-agen negara yang seharusnya menjadi peacekeeper malah menjadi bagian dari konflik itu sendiri. Untuk mencegah terjadinya hal-hal seperti ini, maka badan internasional membuat sebuah undang-undang khusus yang bertujuan untuk mengatur wewenang agenagen negara tersebut. Peacekeeping dapat disebut berhasil bila dapat mencegah dan mengontrol berbagai kelompok bersenjata atau militan maupun berbagai usaha yang sifatnya destruktif dengan tujuan mengacaukan situasi. Lebih jauh 4
Stephen Ryan, Ethnic Conflict and International Relations, second edition, Dartmouth Publishing Company, 1995, hal. 103
9
lagi, bila peacekeeping berhasil, maka kelompok manapun yang ingin menggagalkan usaha perdamaian akan lebih sulit memprovokasi untuk melakukan kontak senjata dengan pihak lawan, sebab diantara mereka ada sebuah unsur penyangga yang adil yang akan bertindak sebagai sebuah pengaruh yang dapat mengontrol. Peace-making adalah aktivitas politik dan diplomatik yang ditujukan untuk merekonsilisasi sikap politik dan strategi melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi atau konsiliasi. Peace-making memperhatikan pencarian resolusi negosiasi yang dirasakan di dalam kepentingan-kepentingan antara pihak yang ada5. Dalam negosiasi tersebut, dilibatkan pihak ketiga yang menjadi mediator (penengah). Penengah tersebut dapat menjalankan beberapa peran penting, antara lain dapat memastikan terjadinya komunikasi yang baik. Mediasi dapat dibagi dalam dua kategori besar. Yang pertama adalah traditional mediation, yang menggunakan banyak literatur. Kritisisme dari pendekatan konvensional ini menimbulkan tumbuhnya pendekatan baru yang disebut Alternative Dispute Resolution (ADR) atau track two diplomation. Perbedaan antar metode tradisional dan ADR antara lain, metode tradisional terkonsentrasi ke konflik interstate, sementara ADR mengarah lengsung kepada resolusi ethnic conflict. Peacemaking akan dianggap efektif jika berhasil memunculkan sebuah keinginan untuk menghindari kekerasan yang ada diantara kelompok-kelompok yang berperan terhadap konflik. Jika kelompok atau pihak yang berkonflik condong untuk
5
Stephen Ryan, Op cit, hal 106
10
mengikuti kebijakan represi atau konfrontasi bersenjata dengan lawannya, maka peacemaking yang efektif tidak akan terjadi. Berkaitan dengan negosiasi, Max H. Bazerman dan Margaret A. Neale menyatakan bahwa “negotiating rationally means making the best decisions to maximize your interest”6 . Dalam hal ini keputusan yang paling baik berarti harus didasarkan kepada konsensus yang rasional, bukan hanya sekedar persetujuan yang tanpa argumentasi atau di bawah ancaman. Posisi pihak-pihak dalam kondisi bebas untuk mempertimbangkan segala kesempatan dan meraih pemenuhan kepentingan yang tersedia. Yang utama dalam negosiasi adalah pencapaian persetujuan yang paling baik bagi pihak-pihak yang terlibat bukan sebanyak mungkin persetujuan dengan argumentasi seadanya. Lebih lanjut Bazerman dan Neale menyebutkan adanya 7 faktor yang perlu disadari dalam membangun negosiasi :7 1.
irrationally escalating your commitment to an initial course of action, even when it is no longer the most beneficial choice.
2.
Assuming your gain must come at the expense of the other party, and missing opportunities for trade-offs that benefit both sides.
3.
Anchoring your judgments upon irrelevant information, such as an initial offer.
4.
Being overly affected by the way information is presented to you.
6
Max H. Bazerman and Margaret A. Neale, Negotiating Rationally, New York : The Free Press, 1992, P. 1 7 Max H. Bazerman and Margaret A. Neale, Op cit., P. 2
11
5.
Relying too much on readily available information, while ignoring more relevant data.
6.
Failing to consider what you can learn by focusing on the other side’s perspective.
7.
Being overconfident about attaining outcomes that favor you.
Selain hal tersebut di atas, Leigh L. Thompson menyatakan adanya 5 pengertian utama bagi keahlian negosiasi, yaitu :8 1. the dynamic nature of business 2. interdependence 3. competition 4. the information age 5. globalization Thompson juga menambahkan beberapa kemungkinan hasil secara umum dalam negosiasi :9 1.
Leaving money on the table (dikenal sebagai “lose-lose negotiation”),
ketika
negosiator
gagal
menyadari
dan
mengekspoloitasi “win-win potential” 2.
Setting for too little (dikenal sebagai “the winner’s curse”), terjadi ketika negosiator menawarkan atau menghasilkan “kue pie” yang terlalu kecil untuk dibagikan.
3. 8
Walking away from the table, negosiator menolak usul lain.
Leigh L. Thompson, The Mind and Heart of The Negotiator, new Jersey : Prentice Hall, 2005, P.
3 9
Leigh L. Thompson, Op cit, P. 6
12
4.
Setting for terms that are worse than the alternative (dikenal sebagai “aggrement bias”), terjadi ketika negosiator merasa peraihan persetujuan tidak sebaik alternatif yang lainnya.
Peace-building didefinisikan sebagai praktek implementasi perubahan sosial secara damai melalui rekonstruksi dan pengembangan sosial ekonomi. Bila Peacebuilding tidak dilakukan secara efektif, maka rakyat jelata akan menjadi korban dari proses perdamaian10. Hal ini dapat membahayakan upaya-upaya dari sebuah resolusi konflik, ditambah lagi jika para pembuat keputusan kehilangan dukungan dari komunitas mereka karena muncul terlalu dini untuk berbicara mengenai perdamaian pada rakyat jelata. Jika para pembuat keputusan sudah melewati batas toleransi dan dituduh menjadi terlalu “lembut”, pemimpin garis keras akan bermunculan. Pasti saja negosiasi tidak lepas dari kepentingan manusia, menurut Jurgen Habermas sebagai pemuka pemikiran Teori Kritis dibedakan kepentingan manusia menjadi tiga yaitu kepentingan teknis, kepentingan praktis, dan kepentingan emansipatoris. Kepentingan teknis berhubungan dengan keinginan manusia untuk mengenal dan berhubungan dengan lingkungan alam. Kepentingan ini dipenuhi melalui ilmu-ilmu alam dan teknologi. Kepentingan praktis berhubungan dengan kebutuhan manusia
untuk
mengenali
sejarah masa
lampaunya
beserta
kebudayaannya. Sedangkan kepentingan emansipatoris adalah keinginan manusia untuk dipandang sejajar dengan manusia lain dan terbebas dari penindasan
10
Stephen ryan, Op cit, hal. 118
13
kekuasaan serta ketergantungan. Kepentingan emansipatoris ini dapat terpenuhi melalui praksis komunikatif dan konsensus yang sejajar atau bersifat emansipatoris. Selanjutnya Habermas menjelaskan bahwa praksis atau rasio komunikatif harus dibedakan dari rasio instrumental atau rasio strategis. Bagi Habermas, rasio strategis bukan merupakan cara menuju tercapainya kepentingan emansipatoris karena di dalamnya terdapat keinginan untuk mencapai keinginan atau tujuan pribadi dengan melawan orang lain, dengan kata lain dalam rasio strategis manusia berusaha mempengaruhi keputusan yang diambil orang lain. Rasio instrumental merupakan rasio yang melihat realita (manusia dan alam) sebagai objek yang memiliki potensi untuk dimanipulasi, ditata, dan dikuasai secara total. Sedangkan dalam rasio komunikatif, manusia memiliki keinginan untuk mendapatkan persetujuan dari orang lain. Manusia komunikatif tersebut memiliki validity claims seperti klaim kebenaran (truth), ketepatan normatif (normative rightness), dan keikhlasan (truthfulness). Klaim atas kebenaran memiliki maksud bahwa kenyataan yang ditunjukan, sungguh-sungguh ada. Klaim ketepatan adalah klaim yang menyatakan bahwa adanya hak normatif untuk mengeluarkan pernyataan. Sedangkan klaim keikhlasan memiliki arti bahwa pernyataan yang muncul sungguh-sungguh sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh pihak yang mengeluarkan pernyataan, tanpa ada sandiwara. Habermas menambahkan poin penting bahwa klaim-klaim tersebut dapat dikritik. Dalam arti si penerima klaim bisa menolak klaim-klaim atas kebenaran, ketepatan normatif, dan keikhlasan lalu mengajukan klaimnya sendiri 14
yang berbeda. Selama kedua belah pihak tetap mencari pengertian dan tidak beralih ke rasio strategis. Berhubungan dengan konsensus, Habermas memberikan pernyataan bahwa yang disebut benar adalah ucapan-ucapan yang diterima berdasarkan konsensus rasional di antara pihak-pihak yang bersangkutan. Suatu konsensus disebut rasional bila memenuhi syarat-syarat komunikatif sebagai berikut :
semua pihak memiliki peluang yang sama untuk memulai suatu diskusi dan megemukakan argumennya
tidak ada perbedaan kekuasaan di antara pihak-pihak
semua pihak mengungkapkan argumennya dengan ikhlas, tanpa ada manipulasi
Menurut Habermas, manusia dilihat dan dipahami dalam kesejajarannya dengan manusia lain. Manusia sebagai subyek, berhadapan dengan subyek atau subyek-subyek
yang
lain.
Manusia
berada
dalam
intersubyektivitas,
berkomunikasi secara otonomi yang sejajar satu dengan yang lain. Rasio komunikasi memungkinkan adanya dialog yang sejajar, tidak ditentukan oleh kekuasaan. Berbagai masalah kemanusiaan, termasuk konflik, diselesaikan dalam intersubyektifitas secara konsensus. Berikutnya dalam teori rasio komunikasi, integritas sistem direduksi dan dipadu dengan life-world. Sistem dalam pikiran Habermas adalah instansi-instansi dalam wilayah kemasyarakatan saat ini yang mempertahankan landasannya yaitu material. Dalam sistem, manusia mau tidak mau dihadapkan pada usaha untuk merealisasikan tujuan pribadi seperti meraih keuntungan, mengatur izin tertentu, 15
dan lain-lain. Dalam sistem, manusia tidak legi bergaul secara komunikatif namun secara rasio strategis. Life-world adalah dunia kehidupan yang diartikan sebagai anggapan yang diterima begitu saja tanpa dipersoalkan. Dunia kehidupan ini tersimpan dalam kebudayaan manusia dan norma yang menjadi latar belakang kesepakatan-kesepakatan antar manusia. Dunia kehidupan berfungsi sebagai konteks komunikasi yang mereproduksikan diri dalam bentuk tradisi kultural. Dunia kehidupan tidak berhenti tetapi terus menerus diubah dan diperbaharui dalam proses komunikasi atau perundingan-perundingan. Dengan demikian dalam proses membangun konsensus, perundingan-perundingan yang berlangsung merupakan proses sosialisasi manusia-manusia yang meningkatkan atau mengubah rasionalisasi dunia kehidupan masing-masing. Sehubungan dengan pemikiran Jurgen Habermas, pemikiranpemikiran negosiasi untuk membangun perdamaian di atas sangat membutuhkan aksi komunikatif. Dalam membangun persetujuan kadangkala kepentingan pribadi (self interests) lebih diutamakan dibandingkan keinginan untuk saling mendapat untung dari negosiasi yang terjadi. Dalam hal ini Jurgen Habermas menegaskan prlunya kesadaran kritis dalam setiap tindakan praksis. Dengan kesadaran kritis yang dilandasi kontrol otonomitas manusia, self interest dapat direduksi. Negosiasi berlangsung dengan semua pihak yang terlibat tidak memaksakan pemenuhan kepentingannya sendiri. Dalam negosiasi sangat perlu adanya dialog kesejajaran antara semua pihak. Dengan dialog kesejajaran ini, hasil negosiasi akan mengarah kepada pemenuhan kepentingan emansipatoris. Semua pihak saling mengakui dan menghargai eksistensi masing-masing dan pemenuhan 16
kepentingan bersama. Di sisi lain, Jurgen Habermas juga sejalan dengan pemikiran negosiasi oleh Bazerman dan Neale yang menyatakan bahwa keputusan dalam negosiasi yang baik berarti didasarkan pada konsensus yang rasional, tidak berada di bawah tekanan atau ancaman sehingga menghambat kebebasan dalam mengutarakan argumentasi.
1.4.
Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, dan
teknik pengumpulan data sekunder dari bahan-bahan literatur yang membahas halhal yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Dengan kata lain dilakukan dengan cara menghimpun artikel dan buku-buku, baik buku dan artikel yang tercetak maupun elektronik. Melalui metode ini data yang mungkin dapat diambil adalah :
Buku-buku dan artikel mengenai konflik di Aceh dan upaya penyelesaiannya
Buku-buku dan artikel mengenai teori dan konsep Teori Kritis
17
1.5.
Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dibagi menjadi lima bab sebagai berikut. Bab pertama
terdiri dari latar belakang masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori, serta metode penelitian dan teknik pengumpulan data. Kemudian pada bab dua akan mendeskripsikan Teori Kritis yang terdiri dari landasan dan latar belakang dari pemikiran Teori Kritis, kelemahan Teori Kritis generasi pertama, Jurgen Habermas sebagai generasi kedua Teori Kritis, serta pemikiran Teori Kritis dalam hubungan internasional. Selanjutnya, pada bab tiga akan mendeskripsikan permasalahan Aceh, termasuk didalamnya awal munculnya konflik Aceh sampai usaha-usaha penyelesaian dari berbagai masa pemerintahan. Pada bab empat akan dipaparkan proses dialog emansipatoris dalam resolusi konflik di Aceh antara GAM dan RI. Terakhir, kesimpulan dari penelitian yang dilakukan akan dijelaskan pada bab lima.
18