BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sejarah umat manusia di seluruh dunia dibagi ke dalam dua fase, yakni jaman prasejarah dan sejarah. Jaman prasejarah merupakan jaman di mana umat manusia belum mengenal sistem aksara, sedangkan jaman sejarah sebaliknya. Fase prasejarah umat manusia dimulai dari era Paleolitikum (jaman batu tua), dilanjutkan dengan era Neolitikum (jaman batu muda), dan berakhir di “revolusi pertanian”di kawasan Hilal Subur (Timur Tengah sekitar 8000-5000 SM). “Revolusi pertanian”, atau yang dikenal dengan “revolusi neolitikum”, menjadi tonggak perubahan dalam sejarah manusia. Kehidupan berburu dan meramu mulai ditinggalkan, digantikan dengan bercocok tanam/pertanian. Tidak sampai disitu, gaya hidup berpindah-pindah/nomaden pun digantikan dengan bertempat tinggal menetap. Semakin lama, kehidupan bercocok tanam masyarakat prasejarah semakin berkembang. Salah satu implikasinya adalah munculnya strata pekerjaan dan strata sosial di dalam masyarakat. Kemunculan stratastrata pekerjaan dan sosial ini menjadi tonggak awal perkembangan kota-kota jaman prasejarah. Kota-kota jaman prasejarah umumnya berkembang di kawasan-kawasan subur ataupun pinggiran air, semisal danau dan sungai. Peradaban umat manusia pertama kali muncul di lembah Mesopotamia (dataran antara sungai Tigris dan Efrat) di Timur Tengah pada 3500 SM.1 Diikuti dengan peradaban Mesir kuno di sepanjang sungai Nil sekitar tahun 3300 SM, kemudian peradaban Mohenjo Daro Harappa di lembah sungai Indus (sekarang Pakistan) sekitar tahun 3300 SM, dan peradaban China kuno di
1
William Mc Neill, “In The Beginning A World History”, (Fourth Edition; New York: Oxford University Press, 1999). h. 15 1
lembah sungai Kuning maupun sungai Yang Tze pada tahun 1750 SM. Peradaban umat manusia di berbagai belahan bumi diatas saat itu merupakan peradaban yang kuat. Menurut Anthony Catanese, pemanfaatan sungai untuk keperluan transportasi, pertanian, pertahanan menjadi faktor utama dalam menentukan lokasi sebuah kota. 2 Keberadaan air sebagai komponen dasar kehidupan umat manusia, saat itu diperlukan untuk membangun masyarakat agraris yang menyokong kebutuhan pangan masyarakat perkotaan. Moda transportasinya sebagian besar menggunakan jalur air, baik melalui laut ataupun sungai. Memperbincangkan historiografi peradaban manusia, maka kita memperbincangkan pula perkembangan kota dan sungai. Keduanya saling berkorelasi, dan memiliki andil yang cukup besar dalam sejarah peradaban manusia. Kemunculan dan perkembangan kota-kota mengindikasikan lahirnya peradaban manusia. Keberadaan sungai tidak sekadar mempengaruhi perkembangan sebuah kota. Melalui sungai dan kawasan di sekitarnya, identitas (baca; etnisitas) masyarakat mengalami proses pembentukannya. Etnis Banjar di Kalimantan misalnya, dapat menjadi salah satu contoh.3 Salah satu dari empat propinsi di Kalimantan adalah Kalimantan Selatan, dan di propinsi ini banyak bermukim etnis Banjar dengan berbagai ragam sub-etnisnya. Di Kalimantan Selatan terdapat sebuah sungai yang sangat masyhur sebagai sungai terpanjang dan terluas di Kalimantan. Barito, itulah nama yang disematkan masyarakat setempat kepada sungai ini. Sungai Barito mempunyai 2 (dua) anak sungai besar, yaitu sungai Bahan (Negara) dan sungai Martapura.4 Sungai Negara membentuk beberapa cabang anak sungai, yaitu Tabalong, Pitap, Alai, Amandit, dan Amas yang
2
Anthony J. Catanese and Snyder J.C, “Urban Planning”, (Second Edition; Jakarta: Erlangga, 1988), h.6 3 Gubernur kedua Propinsi Kalimantan Tengah yang bernama Tjilik Riwut pernah menulis buku berjudul “Kalimantan Memanggil”. Di dalam buku tersebut, Tjilik Riwut memaparkan tentang terminologi “Kalimantan”, yang mempunyai arti pulau dengan sungai-sungai yang besar. (Tjilik Riwut, “ Kalimantan Memanggil”, Djakarta: Endang, 1958). 4 Dulu, di tepian Sungai Bahan/Negara terdapat sebuah kerajaan yang bernama Kerajaan Negara Daha. Kerajaan ini merupakan pendahulu Kesultanan Banjar, serta kelanjutan dari Kerajaan Negara Dipa yang berkedudukan di Amuntai. 2
tepian sungainya menjadi pusat permukiman penduduk.5 Dari “peradaban” di sungai Negara ini membentuk sub-etnisitas yang dikenal dengan Banjar Pahuluan, atau Banjar Hulu.6 Masyarakat yang bermukim di kawasan lembah sungai Negara, membentuk subetnis Batang Banyu. Sungai Martapura sebagai anak sungai Barito, tak ketinggalan melakukan proses pembentukan etnisitas seperti halnya sungai Negara. Kawasan tepian di sepanjang sungai Martapura menjadi tempat permukiman penduduk. Dari permukiman penduduk disini terbentuklah sub-etnis Banjar Kuala. Anthropolog Alfani Daud dan sejarawan Moch. Idwar Saleh pun “mengamini” realitas ini. Menurut mereka berdua, suku Banjar di Kalimantan Selatan terbagi ke dalam tiga sub-etnis utama, yaitu Banjar Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala. Pembagian sub-etnis di atas didasarkan pada unsur pembentukan suku itu sendiri. Kalau kita telaah, beberapa sub-etnis Banjar terbentuk dari dua atau lebih suku bangsa yang berbeda. Banjar Pahuluan, menurut Moch. Idwar Saleh, adalah campuran antara suku Melayu dan Dayak Meratus (Bukit); sub-etnis Banjar Batang Banyu yang kombinasinya lebih heterogen, diimbuhi Dayak Maanyan, Lawangan, dan Jawa; sementara Banjar Kuala adalah campuran Banjar Pahuluan yang berasimilasi dengan Dayak Ngaju, Barangas, dan Bakumpai.7 Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan bahwa keberadaan sungai mempunyai kaitan erat dengan perkembangan etnisitas. Di dalam tatanan sosial masyarakat Banjar, sungai mempunyai peran yang cukup strategis, yakni sebagai jalur transportasi, jalur perdagangan ekonomi, dan jalur mobilitas masyarakat. Keterkaitan yang cukup erat di antara keduanya, yakni sungai dan etnisitas masyarakat; serta berlangsung dalam waktu yang cukup lama,
5
Nurul Fatchiati, “Budaya Sungai dan Patronase Wilayah,” Kompas, 17 Pebruari 2009, h.8 Banjar Pahuluan, atau Banjar Hulu; tersebar ke beberapa wilayah di Kalimantan Selatan, seperti : Rantau (ibukota Kab. Tapin), Kandangan (Kab. Hulu Sungai Selatan), Amuntai (Kab. Hulu Sungai Utara), Barabai (Kab. Hulu Sungai Tengah), dan Tanjung (Kab. Tabalong). Menurut “Peta Alam dan Kelompok Etnik di Kalimantan Selatan” yang berada di Museum Lambung Mangkurat Banjarmasin, menyatakan bahwa Banjar Hulu memiliki persebaran dari Tanjung (Kab. Tabalong) sampai Pelaihari (Kab. Tanah Laut). 7 Nurul Fatchiati, loc. cit 6
3
membentuk apa yang disebut dengan budaya sungai. Budaya sungai adalah produk dari keluwesan, pengalaman hidup, dan adaptasi mereka dengan kehidupan di pinggiran atau di sepanjang bantaran sungai.8 Budaya ini membentuk karakter masyarakat di pinggiran sungai, dan kaitannya dengan tatanan sosial masyarakat, seperti ekonomi (perdagangan), sosial (interaksi), hingga politik (pola kekuasaan). Dan bagi masyarakat Banjar, budaya ini sudah sangat melekat pada diri mereka. Pada abad ke-4 Masehi menjadi fase awal berkembangnya feodalisme di bumi Nusantara. Kutai Martadipura menjadi kerajaan pertama yang muncul. Pusat pemerintahan kerajaan Kutai Martadipura berada di hulu sungai Mahakam (sekarang wilayah ini berada di kabupaten Muara Kaman, Kalimantan Timur). Di abad yang sama, tepatnya di pulau Jawa, berdiri kerajaan Tarumanegara di hilir sungai Citarum. Sejatinya, kedua kerajaan tersebut telah mengalami keruntuhan dan menjadi salah satu kepingan sejarah Nusantara. Perlu digarisbawahi dari kenyataan diatas adalah kepingan-kepingan sejarah tersebut membuktikan bahwa kawasan perairan (sungai, laut, dan kawasan di sekitarnya) menjadi salah satu pertimbangan yang cukup penting bagi para raja dalam menentukan pusat (kota) pemerintahan pada fase kemunculan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pada abad ke-16, bangsa-bangsa Eropa mulai melakukan apa yang disebut dengan imperialisme.9 Dengan semangat Gold, Glory, dan Gospel; mereka mencari tanah-tanah baru di belahan bumi lain untuk ditaklukkan dan dijadikan sebagai tanah jajahan baru. Salah satu dari tanah jajahan baru tersebut adalah Nusantara. Bangsa Eropa yang pertama kali datang ke Nusantara adalah Portugis, yang kemudian diikuti Spanyol, Belanda, dan Inggris. Perlahan-lahan, satu per satu kerajaan di Nusantara mulai tunduk kepada bangsa Eropa.
8
Jurnal Kandil Edisi 7, Tahun II, Nopember 2004 - Januari 2005 Menurut terminologi, imperialisme berasal dari bahasa Latin “imperare” yang berarti “memerintah”. Pada jaman dulu, kebesaran sebuah kerajaan diukur berdasarkan seberapa luas daerah/teritori kerajaan. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan sebuah kerajaan untuk (terus) memperluas wilayahnya, dengan cara menaklukkan daerah kerajaan lain. Imperialisme bangsa Eropa dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol. 9
4
Pada abad ini, Nusantara berada dalam “cengkeraman” kekuasaan Eropa. Meskipun mengalami pergantian “gaya” kekuasaan dan tatanan sosial masyarakat, nyatanya tidak mengurangi korelasi sungai dengan perkembangan kota. Alih-alih berkurang, peran sungai bagi kota justru semakin menguat. Portugis yang “pernah” menguasai bandar Sunda Kelapa, mendirikan benteng pertahanan di mulut sungai Ciliwung.10 Masih di Ciliwung pula, Belanda melalui “Vereenigde Oostindische Compagnie” (VOC) mendirikan kantor dagang pertamanya pada tahun 1611. Kantor dagang ini diperluas dengan tempat tinggal orang Belanda dan gudang. Inggris pun tak mau ketinggalan, membangun sebuah loji di daerah pinggiran Ciliwung. Pada 30 Mei 1619 bandar pelabuhan Jayakarta berhasil direbut oleh serdadu Belanda di bawah kepemimpian Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.11 Pasca penaklukan Jayakarta, J.P Coen hendak mengganti nama Jayakarta dengan “Nieuw Hoorn” yang merujuk pada tempat asalnya di Belanda. Namun Kerajaan Belanda memerintahkan kepada J.P Coen untuk mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. 12 Belanda kemudian menjadikan sungai sebagai salah satu komponen terpenting dalam 10
Saat itu, Kesultanan Demak mempunyai posisi yang strategis di Jawa Dwipa. Untuk memperkuat posisinya, Demak merebut bandar-bandar pelabuhan di pesisir utara Pulau Jawa, seperti : Jepara dan Lasem. Melihat Demak cenderung ekspansif dan berusaha menguasai Pulau Jawa, membuat Kerajaan Sunda Galuh/Pajajaran (berpusat di Pakuan Pajajaran) menjadi cemas terhadap serangan Demak. Untuk menjamin kelangsungan bandar pelabuhannya, yaitu Cirebon, (Sunda) Kelapa, Cimanuk, dan Banten; Sunda Galuh bekerjasama (bersekutu) dengan Portugis. Pihak Portugis menyambut baik kerjasama yang ditawarkan Sunda Galuh, apalagi Portugis berhasrat pula menguasai Pulau Jawa. Guna memperlancar kerjasama ini, Sunda Galuh memberikan beberapa hak istimewa kepada Portugis, di antaranya hak mendirikan benteng pertahanan dan hak memonopoli rempah-rempah (lada). Lihat Herwig Zahorka, “The Sunda Kingdoms of West Java, From Tarumanegara to Pakuan Pajajaran with Royal Center of Bogor; Over 1000 Years of Prosperity and Glory,” (Bandung: Yayasan Cipta Loka Caraka, 2007). Di samping motif ekonomi dan perdagangan, kecemasan Sunda Galuh terhadap ekspansi Demak ke (Sunda) Kelapa, Cimanuk, Cirebon, dan Banten; dilatarbelakangi motif agama. Secara terangterangan, Sunda Galuh yang menganut Hindu Budha menolak proses islamisasi yang dilakukan Demak ketika menaklukkan bandar pelabuhan maupun daerah-daerah kerajaan. Penguasa Banten sebagai vasal dari Sunda Galuh berusaha membangun aliansi anti Demak dengan menggandeng Portugis di tahun 1522. Lihat M.C Ricklefs, “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2005). h. 91 11 Pada tahun 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut oleh Fatahillah dengan bantuan armada Demak dan Jepara. Semenjak saat itu, Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa dengan Jayakarta, kota kemenangan. Lihat Parakitri T Simbolon, “Menjadi Indonesia”, (Cetakan II; Jakarta: Kompas, 2006) h. 33-34 12 Nama Batavia sengaja dipilih oleh Kerajaan Belanda sebagai kenangan pada Uni Propinsi Nederland Merdeka (Republik Bataaf) yang melawan penjajahan Spanyol. Lihat Parakitri T Simbolon, ibid. h.38 5
pengembangan kota Batavia. Apalagi Belanda memproyeksikan Batavia sebagai pusat administrasi untuk kawasan Hindia Timur. Langkah awal yang dilakukan Belanda adalah merestrukturisasi kota menggunakan gaya Belanda Eropa lengkap dengan benteng, dinding kota, dan kanal.13 Kota ini diatur dalam beberapa blok yang dipisahkan oleh kanal-kanal.14 Pada tahun 1650, proses pembangunan dan pengembangan Batavia selesai dilakukan. Proses pengembangan kota yang dilakukan oleh Belanda membuat Batavia mendapatkan berbagai pujian dari orang-orang yang pernah singgah di kota ini, bahkan mempersamakan Batavia dengan kota-kota di Eropa. Keindahan arsitektural maupun tata perkotaannya membuat orang-orang asing menyematkan julukan “Ratu dari Timur” kepada Batavia. Semakin majunya Batavia sebagai salah satu bandar perdagangan terpenting di Nusantara, merupakan andil sungai Ciliwung.15 Ciliwung adalah jalanan utama yang menghubungkan Pakuan (Pajajaran) dengan Sunda Kelapa.16 Hasil bumi dari kawasan pedalaman turun ke bandar, melalui sungai ini pula. Beberapa perahu kecil berlayar di sepanjang Ciliwung untuk mengangkut barang dari gudang dekat Kali Besar ke kapal yang berlabuh di laut.17 Arus perdagangan dari kawasan pedalaman ke bandar, atau sebaliknya; menjadi lancar. Faktor Ciliwung inilah yang menjadikan Batavia masyhur sebagai bandar terpenting di abad ke-17. Tidak hanya Batavia, pembangunan dan pengembangan kota/bandar pelabuhan juga dilakukan Belanda di tempat lain. Pola pengembangan didominasi motif perdagangan dan pertahanan. Bandar pelabuhan Jepara menjadi salah satu contoh. 13
Pembangunan kanal-kanal di Batavia bertujuan untuk menanggulangi sanitasi dinding kota yang buruk. Adapun fungsi lain dari pembangunan kanal ini, antara lain : menghindari air pasang dari Teluk Jakarta yang dapat merendam kawasan perkotaan, dan meminimalkan terjadinya banjir di kawasan perkotaan. 14 Booklet “Kota Tua Jakarta” yang dikeluarkan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Pemerintah Propinsi DKI Jakarta. 15 Sungai Ciliwung membelah Batavia menjadi dua bagian. Dulu, sungai Ciliwung merupakan sungai yang indah, bersih, dan berair jernih. Bahkan, orang asing yang pernah singgah di Batavia bernama Jean Baptiste Tavenier pernah berkata, “Ciliwung memiliki air paling bersih dan paling baik di dunia”. 16 Lihat Pramoedya Ananta Toer, “Arus Balik” (Jakarta: Hasta Mitra, 2002), h. 617 17 Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan Pemerintah Propinsi DKI Jakarta, “Sungai Ciliwung”. Dikutip dari http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/207/Ciliwung-Sungai pada 28 Oktober 2013, Pukul 03.13 WIB 6
Pada tahun 1613, Belanda (melalui VOC) mendirikan kantor dagang di Jepara, atas seijin dari Mataram.18 Kantor dagang ini berdiri di pinggiran sungai Wiso, tepatnya 2 kilometer dari timur pantai Kartini. Selain kantor dagang, Belanda menjadikan kawasan tepian sungai yang kebetulan berdekatan dengan laut sebagai benteng pertahanan.19 Belanda membangun benteng ini di bukit Donorejo (masyarakat setempat menyebut bukit ini, bukit Jepara), yang letaknya berada di sebelah barat kali Wiso di tahun 1747.20 Seorang penulis sejarah Belanda, De Graaf, memberikan nomeklantur kepada benteng ini dengan sebutan “Bosch Vort de Bosch”.21 Benteng ini sendiri mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai benteng pertahanan dan benteng perniagaan. Tidak cukup dengan pembangunan benteng, Belanda membangun pula loji-loji di sekitar Bosch Vort de Bosch untuk memperkuat posisinya di bandar Jepara.22 Keruntuhan imperialisme di Nusantara pada pertengahan abad ke-20, menjadi fase baru hubungan antara sungai dengan perkembangan kota. Pola relasi yang terjadi diantara keduanya, mengalami sebuah kemunduran. Sejak berdirinya republik ini di tahun 1945, sebagian besar kebijakan pemerintah, baik dari pusat hingga daerah; cenderung terfokus pada pembangunan yang berupa perekonomian maupun fisik, dan mengabaikan pembangunan yang bersifat ekologis. Salah satu bukti sahih terjadinya pergeseran kebijakan pemerintah ini terlihat dari mulai terdegradasinya peran sungaisungai di kawasan perkotaan. Sebagai salah contohnya adalah sungai Barito dan Martapura yang membelah ibukota Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin.
18
Saat itu, Mataram dipimpin oleh Panembahan Seda Ing Krapyak. Belanda memperoleh ijin dari Mataram dikarenakan kecemasan Sultan Krapyak terhadap ancaman Surabaya. Lihat M.C Ricklefs, op.cit, h. 102 19 Rully Damayanti dan Hadinonto, “ Kawasan Pusat Kota dalam Perkembangan Sejarah Perkotaan di Pulau Jawa,” Jurnal Arsitektur dan Pembangunan Lingkungan “Dimensi” Universitas Kristen Petra, No. 1/33, Juli 2005. 20 Rubrik Suara Muria, “Menyimpan Sejarah Kehebatan Ratu Kalinyamat”, Suara Merdeka, 23 Maret 2008. 21 Secara terminologi, loji berasal dari kata Belanda “Indische Landhuis” yang merujuk pada pola arsitektural perumahan Eropa. Loji merupakan rumah yang besar bertembok dan dilengkapi dengan halaman yang cukup luas. Umumnya, loji ini hanya dimiliki oleh pegawai pemerintah golongan Indo Eropa, priyayi profesional pribumi, dan penyewa perkebunan. Lihat Djoko Soekiman, “Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa; Abad XVII – Medio Abad XX”, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2000), h. 28-48 22 Oleh sebagian besar masyarakat Jepara, kawasan ini dinamakan “Loji Gunung”. 7
Pada tahun 1960-an, Banjarmasin masih tergantung pada transportasi air melalui dua sungai besar, yakni sungai Barito dan Martapura, serta 400 sungai kecil lainnya yang melintasi berbagai pelosok kota.23 Berbagai aktifitas mayarakat Banjar, seperti : perdagangan (pasar), transportasi, serta aktifitas rumah tangga lainnya, dibebankan kepada kedua sungai ini. Menurut historiografi masyarakat Banjar, kedua sungai tersebut mempunyai peran yang cukup penting di dalam proses pembentukan etnisitas (ataupun sub etnisitas) masyarakat Banjar.24 Keduanya, baik sungai maupun entitas masyarakat Banjar, mempunyai keterkaitan yang cukup kuat sehingga memunculkan apa yang disebut dengan konsep “budaya sungai”. Konsepsi “budaya sungai” ini nyatanya mempengaruhi “mindset” masyarakat Banjar secara holistik. Salah satu implikasi dari “mindset budaya sungai” adalah penempatan sungai sebagai “serambi depan” dari rumah mereka. Implikasi dari “mindset” ini setidaknya dapat menjelaskan alasan masyarakat Banjar tinggal dan menggantungkan hidupnya di sungai. Saat Orde Baru mulai berkuasa pada tahun 1970-an, dan dengan jargon Pembangunanisme-nya, “mindset” masyarakat Banjar dalam memperlakukan sungai yang terkerangkai dalam “budaya sungai”, mulai mengalami pergeseran. Ini disebabkan adanya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) yang digagas oleh Orde Baru. Secara konsep, gagasan ini mencoba mengakselerasikan pembangunan di berbagai bidang di Indonesia. Namun, Repelita yang dipakai oleh Orde Baru justru terfokus pada percepatan pembangunan infrastruktur jalan, sehingga moda transportasi sungai tidak mendapat prioritas.25 Kota Banjarmasin yang sedari dulu dikenal sebagai kota sungai dikarenakan tak kurang dari 400 sungai kecil yang bermuara di sungai Barito dan Martapura, kini mengalami perubahan. Permukiman masyarakat, pasar rakyat, restoran, pusat bisnis, maupun pusat perbelanjaan; yang dulunya berpusat di pinggir-pinggir sungai di Banjarmasin, kini beralih ke pinggir jalan raya. Sungai-sungai di Banjarmasin 23
Handoko, A dan Defri Werdiono, “Membangun Jalan Melupakan Peradaban”, Kompas, 8 Mei 2011. Lihat paparan pada halaman 2. 25 Handoko, A dan Defri Werdiono, “Membangun Jalan Melupakan Peradaban”, op.cit 24
8
mulai berangsur-angsur kehilangan peran sentralnya sebagai penyokong aktifitas masyarakat Banjar. Badan Pusat Statistik (BPS) Kotamadya Banjarmasin memberikan beberapa data yang mempunyai korelasi dengan panjang jalan dan jumlah sungai disana. Pada tahun 1991/1992 panjang jalan di Banjarmasin hanya sekitar 205,07 kilometer, sedangkan pada tahun 2009 panjang jalannya mengalami peningkatan dua kali lipatnya, yakni 425,726 kilometer. Data ini dapat diartikan bahwa panjang jalan di Banjarmasin dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jika data ini kita perbandingkan dengan keberadaan jumlah sungai di Banjarmasin yang mampu dilalui oleh perahu, sampan, dan sejenisnya; kita akan memperoleh data yang berbanding terbalik. Sebelum pembangunan pemerintah difokuskan ke infrastruktur darat, paling tidak 400 sungai kecil di Banjarmasin dapat dilalui oleh perahu. Kini jumlah sungai yang dapat dilalui oleh perahu tidak lebih dari 100-an. Data ini dapat diartikan bahwa dari tahun ke tahun jumlah sungai yang dapat dilalui oleh perahu di Banjarmasin, mengalami penurunan. Penurunan ini umumnya disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut salah satu budayawan di Banjarmasin, Djantera Kawi, mengatakan ;
“Banyak sekali sungai kecil di Kota Banjarmasin yang tertutup oleh jembatan beton halaman rumah warga. Sebagian sungai lainnya menyempit dan dangkal. Itu membuat perahu tidak bisa lewat dan sungai semakin ditinggalkan.”26 Melihat dan mencermati data dan fakta diatas, tentunya membuat kita miris. Sungai yang dulu diagung-agungkan sebagai pembentuk sekaligus pusat peradaban manusia, kini ditinggalkan begitu saja. Kini sungai menjadi beranda belakang dari sebuah rumah, sementara infrastruktur jalan menempati posisi sebagai beranda depan dari sebuah rumah. Pun demikian halnya dengan orientasi pembangunan yang didominasi oleh infrastruktur jalan. Sungai di Banjarmasin rasa-rasanya seperti “orang asing” bagi masyarakatnya sendiri.
26
Handoko, A dan Defri Werdiono, “Membangun Jalan Melupakan Peradaban”, loc.cit 9
Kondisi yang dialami oleh sungai-sungai di Banjarmasin nyatanya dialami pula oleh salah satu sungai terpanjang di bumi Andalas. Musi, itulah nama sungai ini. Panjangnya mencapai ratusan kilometer, terbentang dari Bengkulu sampai Sumatera Selatan. Lebarnya pun mencapai ratusan meter. Saat ini kondisi Musi sangat memprihatinkan, jika kita perbandingkan dengan kondisinya beberapa abad lalu. Tentu tidak banyak orang yang tahu bahwa Curup (ibukota dari kabupaten Rejang Lebon, Bengkulu) yang terkenal sebagai penghasil kopi Sumatera, dilintasi oleh Musi. Kebesaran “historis” Musi di bumi Andalas telah “terbentengi” oleh permukiman warga Curup yang nyaris tanpa celah, seperti halnya permukiman warga di bantaran kali Ciliwung, Jakarta. Di Tebing Tinggi (ibukota dari kabupaten Lawang, Sumatera Selatan), Musi tidak lagi difungsikan sebagai pasar tradisional maupun pusat pemerintahan seperti pada beberapa abad silam. Pasar tradisional masyarakat Tebing Tinggi dipindahkan ke tepi jalan Tebing Tinggi – Lubuk Linggau, sedangkan pusat pemerintahan kabupaten didirikan di tepi jalan Tebing Tinggi – Lahat. Untuk jalur transportasi pun, Musi tidak lagi menjadi primadona. Jalan-jalan konvensional menjadi tumpuan utama mobilitas masyarakat Tebing Tinggi, belum lagi adanya jalur kereta api Kertapati – Lubuk Linggau. Musi tidak lagi diberdayakan sebagai akses transportasi pengangkutan hasil kebun atau pembawa barang dari Palembang, tetapi hanya sekadar dijadikan jamban! Salah satu jamban terpanjang di dunia.27 Saat ini kondisi Musi sangat memprihatinkan, serta tidak lagi menjadi “serambi depan” melainkan “beranda belakang” permukiman penduduk. Kisah Musi yang memprihatinkan di atas, setidaknya memberikan sedikit gambaran tentang paradigma pembangunan perkotaan yang dianut oleh pemerintah. Paradigma pembangunan kawasan perkotaan di Indonesia, masih didominasi paradigma konvensional. Pemerintah belum melakukan restrukturisasi dan revitalisasi 27
Lihat Haryo Damardono, “ Kota – kota yang Membelakangi Sungai ...”, Kompas, 20 Maret 2010, h. 34 10
pilar-pilar perkotaaan, semisal sungai, secara holistik. Menurut hemat penulis, telah terjadi perbedaan paradigma pembangunan antara pemerintah kotamadya/kabupaten di Indonesia dengan pemerintah kota di negara-negara lainnya. Di Indonesia, sebagian besar masyarakat berpandangan bahwa sungai merupakan tempat pembuangan limbah bagi kawasan permukiman. Pandangan masyarakat ini menjadi awal munculnya budaya “sungai sebagai beranda belakang”, dan bukan “sungai sebagai serambi depan”. Implikasi dari budaya ini adalah munculnya persoalan-persoalan yang berkaitan dengan sungai, seperti : pencemaran sungai, banjir, dan pendangkalan sungai. Bagi negara-negara lain, khususnya Eropa dan sebagian Asia; “sungai merupakan serambi depan” dari sebuah kawasan. Sungai mempunyai nilai estetika yang memberikan dampak indah dan nyaman bagi warga kota jika dikelola dengan baik. Beberapa contohnya, antara lain; kota Singapura dengan kawasan waterfront-nya, dan kota Venezia yang terkenal dengan kanal kotanya. Membincangkan tentang restrukturisasi dan revitalisasi kawasan tepi sungai, tampaknya kita perlu belajar ke negara tetangga, Singapura. Di Singapura terdapat sebuah kawasan yang bernama Boat Quay. Dulunya kawasan Boat Quay merupakan perkampungan nelayan, namun saat ini telah berubah menjadi kawasan wisata yang sangat komersil. Di kawasan tertua – Boat Quay di tepi sungai Singapura – jalan darat di desain mengikuti pola sungai dan laut.28 Pemerintah Singapura membangun pula tanggul dan dermaga memanjang di antara jalan dan sungai di Boat Quay. Kebijakan ini meminimalkan kemunculan permukiman liar, sekaligus menjaga bentang sungai agar selalu siap menerima volume air hujan. Masih di kawasan yang sama, dibangun Museum Asian Civilisations dan Old Parliament House.29 Selain itu, kawasan ini terintegrasi dengan ruang-ruang publik, seni pertunjukkan, restoran, dan pariwisata; serta kesemuanya “berkiblat” pada sungai Singapura. Sungai Singapura tentu 28
Haryo Damardono, “ Kota – kota yang Membelakangi Sungai ...”, loc. cit Old Parliament House merupakan gedung pemerintahan pertama Inggris di Singapura. Gedung megah ini bergaya Victoria khas Eropa, dan dibangun oleh George D. Coleman pada tahun 1827. Semenjak tahun 2004, gedung ini dialihfungsikan sebagai pusat seni dari berbagai disiplin seni, dan diberikan nama baru “The Art House”. 29
11
mendapatkan dampak positif dari revitalisasi dan restrukturisasi di kawasan ini. Kenyataan ini didukung pula oleh kesadaran warga yang tidak lagi membuang sampah, hajat, serta limbah ke sungai Singapura. Japara, atau yang lebih populer dengan nomeklantur Jepara, merupakan sebuah daerah yang terletak di pesisir utara Jawa Dwipa. Pada awal abad ke-16, Jepara merupakan salah satu kota bandar perdagangan terpenting di pesisir utara pulau Jawa, selain Lasem, Tuban, dan Sunda Kelapa.30 Selain sebagai bandar, Jepara dikenal oleh kalangan pelaut sebagai industri galangan kapal.31 Kemasyhuran Jepara sebagai bandar disebabkan letak geografisnya yang strategis, yakni berada di pesisir (paling) utara Jawa, dilalui jalur perdagangan Malaka - Maluku, serta ditunjang adanya sungaisungai besar. Keberadaan sungai besar di Jepara memperlancar jalur perdagangan dan transportasi, apalagi jalur transportasi saat itu lebih didominasi oleh jalur perairan dibandingkan jalur darat. Perahu-perahu silih berganti mengangkut komoditas pertanian/perkebunan dari daerah pedalaman ke bandar, ataupun sebaliknya; melalui sungai-sungai tersebut. Ditinjau dari sisi fungsi, sungai-sungai di Jepara saat ini mengalami degradasi fungsi dibandingkan masa silam, dan salah satu contohnya adalah kali Wiso.32 Dulu, sungai ini menjadi tempat bersandarnya kapal bangsawan, armada laut, hingga kapal dagang. Sedangkan saat ini, kali Wiso hanya difungsikan sebagai Daerah Aliran Sungai (DAS), serta “tempat” pembuangan limbah cair dari permukiman warga. Lebar kali Wiso pun telah mengalami penyempitan, baik di kawasan hulu maupun hilir sungai. Penyempitan kali Wiso disebabkan adanya pengendapan lumpur, serta alih fungsi kawasan tepi sungai sebagai kawasan permukiman oleh warga setempat. Tak ayal jika 30
Dalam buku Arus Balik-nya Pramoedya Ananta Toer, Jepara diceritakan sebagai salah satu bandar yang terkenal di pesisir utara Pulau Jawa. Disamping Jepara, ada beberapa bandar perdagangan terkenal saat itu, sebut saja; Malaka, Tuban, Lasem, dan Sunda Kelapa. Saat itu, posisi bandar Jepara sangat strategis dalam jalur perdagangan, dan karena itulah Kesultanan Demak (yang tidak mempunyai bandar) menaklukkan Jepara, serta menjadikannya sebagai kerajaan vasal. 31 Hutan jati yang berada di sekitar Jepara dan Rembang, mendukung terciptanya industri galangan kapal. Lihat Denys Lombard, “Nusa Jawa Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu Bagian II, Jaringan Asia”, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 54 32 Dalam bahasa Jawa, kata “kali” merujuk pada terminologi “sungai”. 12
musim hujan datang, kali Wiso dan Kanal kadangkala tak mampu menampung volume air hujan dari kawasan hulu Jepara, yakni hutan rakyat Setro di kecamatan Batealit. Luapan air dari kedua sungai ini seringkali menyebabkan terjadinya banjir di kawasan perkotaan Jepara.33 Pemerintah
kabupaten
(Pemkab)
Jepara
sebagai
pemegang
otoritas
administratif mengupayakan berbagai tindakan, baik berupa kebijakan ataupun program; guna mencegah terjadinya banjir. Untuk kali Kanal, Pemkab Jepara melakukan upaya “Prokasi” (program kali bersih), program normalisasi sungai, dan pembangunan “city park”/taman kota sebagai ruang-ruang publik di perkotaan. Permukiman ilegal di tepi kali Kanal dirobohkan, dan digantikan dengan taman-taman kota. Adapun untuk kali Wiso, Pemkab Jepara melakukan restrukturisasi dan revitalisasi kawasan dengan membangun “Shopping Centre Jepara” (SCJ) di tepi kali Wiso. “Shopping Centre Jepara” diproyeksikan sebagai kawasan perdagangan yang terintegrasi, sekaligus mengakomodasi kepentingan pedagang, pedagang kaki lima (PKL), dan masyarakat sebagai konsumen. Beranjak dari paparan tentang relasi sungai dengan perkembangan kota, baik dari historisitas maupun paradigma tata kelola sungai, penulis berkeinginan mengetahui sejauhmana tingkat efektifitas kebijakan pengelolaan kawasan tepi sungai di Jepara, khususnya di level implementasi kebijakan. Menurut hemat penulis, tidak banyak kabupaten/kota di Indonesia yang kebijakan publiknya berorientasi pada sungai. Kebijakan publik ini dapat disebut sebagai kebijakan ekologis/berwawasan lingkungan. Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Jepara, khususnya di kawasan sempadan kali Wiso dan kali Kanal. Ada beberapa pertimbangan yang ikut mendasari pemilihan lokasi penelitian ini, antara lain; (1) skope penelitian ini mempunyai sisi historisitas,
dan
dapat
menjelaskan
bagaimana
pola
relasi
sungai
dengan
perkembangan perkotaan.(2) Di lokasi penelitian terdapat “Shopping Centre Jepara” 33
Memasuki tahun 2000, Jepara sudah dua kali “disergap” oleh banjir, yakni di tahun 2002 dan 2005 silam. Lihat Tajuk Rencana, “Banjir di Jepara itu Sebuah Peringatan”, Suara Merdeka, 27 Januari 2005. 13
maupun taman kota/”city park”; dan keduanya berfungsi sebagai ruang-ruang publik perkotaan. Studi mengenai perkotaan itu sendiri, merupakan studi yang cukup menarik dikarenakan sifat studinya yang dinamis dan kontemporer.
B. RUMUSAN MASALAH Dari latar belakang di atas, rumusan masalah yang hendak diajukan oleh peneliti adalah “bagaimana implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso dan kali Kanal di Kabupaten Jepara dalam konteks “waterfront city development”, dari tahun 2002 hingga 2009?”. Rumusan masalah diatas di-breakdown ke dalam dua sub rumusan, yaitu : (a) Bagaimana implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso dan kali Kanal dari tahun 2002 sampai 2009? (b) Bagaimana pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso dan kali Kanal dalam konteks “waterfront city development”?
C. TUJUAN PENELITIAN 1) Mengetahui tahap implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso dan kali Kanal.
2) Memberikan informasi kepada masyarakat bahwa pengelolaan sungai yang baik dan benar, berdampak positif pada keindahan, kenyamanan, dan kebersihan kota.
D. KERANGKA TEORI D.1
KEBIJAKAN PUBLIK Sudah ratusan, atau bahkan ribuan literatur, yang membahas tentang definisi
kebijakan publik. Semua definisi kebijakan publik tersebut, tidak ada yang keliru, kesemuanya benar, dan saling melengkapi. Harold Laswell dan Abraham Kaplan mendefinisikan kebijakan publik sebagai sebuah program yang diproyeksikan dengan tujuan, nilai, dan praktik tertentu (“public policy is a project program of goals, 14
values, and practices”).34 Definisi yang sedikit berbeda dipaparkan oleh Thomas R. Dye. Menurut Dye, “public policy is what goverment do, why they do it, and what difference it makes”.35 Kebijakan publik adalah sesuatu kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah, alasan apa yang mendasari pemerintah melakukan kebijakan publik, dan apa perubahan yang dihasilkan dari kebijakan publik tersebut. Adapun Carl Friedrich mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok, atau pemerintah, dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.36 Dari ketiga definisi kebijakan publik di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kebijakan publik merupakan kewenangan negara dan menjadi salah satu instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan tertentu. Pemerintah sebagai pemegang otoritas mempunyai pilihan untuk membuat kebijakan publik baru, mempertahankan kebijakan publik lama, bahkan tidak mengeluarkan tindakan apaapa ketika terjadi permasalahan di ranah publik. Meminjam konsepsi Dye, “public policy is whatever governments chose to do or not to do”.37 Dengan kata lain, kebijakan publik merupakan domain kewenangan negara yang dimandatkan kepada pemerintah. Dalam
kenyataan
sehari-hari,
sebuah
kebijakan
publik
cenderung
mengedepankan perilaku strategis dibandingkan perilaku politis ataupun teknis. Sebagai perilaku yang strategis, di dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan,
34
Harold Laswell dan Abraham Kaplan, “Power and Society”, (New Heaven: Yale University Press, 1970), h. 71 35 Thomas R. Dye, “Understanding Public Policy”, (New Jersey: Prentice Hall, 1995), h. 2 36 Solichin Abdul Wahab, “Analisis Kebijaksanaan”, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 3 37 Pernyataan Dye di atas diperkuat oleh James E. Anderson yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah. Lihat A.G Subarsono, “Analisis Kebijakan Publik,” (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 2 15
khususnya di level perumusan kebijakan.38 Di level pengambilan keputusan, kebijakan publik dapat bersifat positif ataupun negatif. Para pengambil keputusan umumnya menerima argumentasi salah satu pihak, dan menolak pihak lain (“zero sum game”). Meskipun begitu, kadangkala pengambil keputusan kebijakan publik mengakomodasi kepentingan kedua pihak dengan mengedepankan metode “win-win solution”. Di dalam ilmu hukum, terdapat dua aliran/pemahaman besar, yaitu Kontinental dan Anglo-Saxon. Pun demikian halnya dengan kebijakan publik yang mengenal dua aliran/pemahaman, dan dengan nama yang sama pula. Kaum Kontinental, atau sering disebut dengan Kontinentalis, menganggap bahwa hukum merupakan salah satu bentuk dari kebijakan publik, baik dari sisi wujud maupun produk, proses, atau dari sisi muatan.39 Dari sisi wujud, produk kebijakan publik dapat berupa hukum ataupun konsensus antar masing-masing aktor. Sedangkan dari sisi proses, kebijakan publik merupakan tugas dan kewenangan pemerintah, serta cenderung mengabaikan proses deliberatif. Pemerintah menjadi pemegang kewenangan tunggal dalam proses kebijakan publik. Oleh karena itu, pendekatan “top down” menjadi ciri khas dari aliran Kontinental. Berbeda dengan aliran Kontinental, Anglo-Saxon memandang kebijakan publik sebagai proses politik, demokrasi, dan interaksi pemerintah dengan publik. Sebagai proses politik, pemerintah bukanlah pemegang kewenangan tunggal dari kebijakan publik melainkan sebagai inisiator. Banyak aktor yang terlibat di dalam kebijakan publik, dan kesemuanya mempunyai agenda masing-masing, serta keberadaannya perlu diperhatikan oleh pemerintah. Kewenangan tertinggi bukan lagi domain pemerintah, melainkan domain publik. Sebagai proses demokrasi, kebijakan publik harus mengedepankan proses partisipatif ataupun deliberatif. Pencarian masalah di ranah publik menggunakan metode dialogis ataupun “sharing” antara 38 39
Lihat Riant Nugroho, “Public Policy” (Jakarta: PT Elex Komputindo, 2009), h. 85 Riant Nugroho, ibid. h. 22 16
warga negara dengan pemangku kepentingan. Keterlibatan warga negara di dalam kebijakan publik merupakan inti dari proses deliberatif. Oleh karena itu, pendekatan “bottom up”, ataupun campuran pendekatan “bottom up” dengan “top down” menjadi ciri tersendiri dalam aliran Anglo-Saxon.
D.1.1
ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK Sebuah kebijakan publik berkaitan erat dengan dengan analisis
kebijakan publik. Keberadaan analisis kebijakan publik sangatlah penting untuk melihat sejauhmana proses kebijakan tersebut, memuaskan atau tidak kebijakan tersebut, dan bagaimana perubahan (di ranah publik) yang dihasilkan oleh kebijakan publik tersebut. Selain itu, analisis kebijakan publik berguna pula untuk melihat kesesuaian antara proses (kebijakan publik) dengan hasil yang dicapai dari proses tersebut. Benarkah proses (kebijakan publik) yang baik akan menghasilkan output yang baik? Disini-lah poin penting dari analisis kebijakan publik. Menurut William Dunn dan Muhadjir Darwin, analisis kebijakan publik merupakan disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian beserta argumentasinya, untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan sehingga di level politik dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kebijakan.40 Analisis kebijakan publik merupakan aktifitas intelektual yang dilakukan dalam proses politik namun tidak menggantikan proses politik itu sendiri, alih-alih mensubstitusikan dengan pendekatan teknokratis. Menurut Dunn lagi, analisis kebijakan publik harus diletakkan sebagai konteks, dan bukan konten. Analisis kebijakan publik mempunyai 2 (dua) tipologi, yakni (1) analisis untuk kebijakan, dan (2) analisis terhadap kebijakan. Analisis untuk kebijakan
40
A.G Subarsono, loc. cit. 17
merupakan analisis yang digunakan dalam pembuatan kebijakan publik. Ketika berbagai persoalan publik bermunculan di masyarakat, pemerintah sebagai pemegang kewenangan kebijakan melakukan proses “scanning”/pemindaian persoalan, dan segera dirumuskan ke dalam bentuk kebijakan publik. Analisis kebijakan publik-nya dapat dilakukan ketika kebijakan publik tersebut belum ataupun sudah dilaksanakan. Adapun analisis terhadap kebijakan merupakan analisis yang bersifat mengkritisi kebijakan publik yang dilakukan pemerintah. Umumnya, kebijakan publik yang dianalisis merupakan kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah. Tipologi analisis semacam ini akan menghasilkan berbagai masukan/pertimbangan yang berguna untuk menyempurnakan kebijakan publik yang telah ada, atau sebagai bahan masukan untuk kebijakan publik selanjutnya, bahkan sebagai teori kebijakan publik yang baru.41 Ketika melakukan analisis terhadap proses kebijakan, terdapat dua model analisis yang sering dipakai oleh para analis, yaitu (1) model stagist, dan (2) konflik. Di dalam model stagist, proses kebijakan publik dilakukan melalui berbagai tahapan atau level.42 Sejak pertama kali diperkenalkan oleh Laswell, model stagist telah memiliki pengaruh yang kuat dalam analisis proses kebijakan publik. Orang-orang yang mempunyai fokus di bidang kebijakan publik, seolah “tersihir” oleh model ini.
41
Teori analisis kebijakan terbagi atas dua pemahaman, yaitu “lay theory” dan “scientific theory”. “Lay theory” adalah teori yang dikembangkan dari pengalaman, atau dalam definisi Schermerhorn sebagai “developed by themselves or learned from others over time and as a result of their experiences”. Adapun “scientific theory” adalah teori yang dikembangkan melalui metode ilmiah, atau “that are developed through scientific methods”. Lihat Riant Nugroho, ibid, h. 158. Bacaan lanjutan, Schermerhorn, “Management for Productivity” (New York: John Wiley&Sons, 1993) 42 Model stagist pertama kali diperkenalkan oleh Harold Laswell (Lihat Harold Laswell, “The Decision Process: Seven Categories of Functional Analysis”, Maryland: University of Maryland, 1956). Laswell melakukan penelitian terhadap keseluruhan proses pembuatan kebijakan publik, dan membagi masing-masing proses tersebut dengan istilah fase atau tahap (“stage”). Istilah “stagist” sendiri merujuk pada seperangkat langkah-langkah yang terpisah dan berurutan, serta secara konsepsi diproyeksikan sebagai sesuatu yang berjalan sesuai kronologi, mulai dari inisiatif, formulasi, pengambilan keputusan, hingga evaluasi. 18
Beberapa ilmuwan kebijakan publik menemukan varian-varian baru di masing-masing fase pada model stagist, dan diberikan nomeklantur tersendiri. Salah satunya adalah Y. Dror, yang membagi proses kebijakan publik ke dalam tiga tahap mayor, yakni “meta-policy making”, “policy making”, dan “post policy making”.43 Meskipun mempunyai pengaruh kuat dalam epistemologi kebijakan publik, model stagist tidak luput dari kritik. Para pengkritik menilai model ini sebagai model yang tekstual, terlalu rigid, dan kronologis; sehingga memberikan gambaran yang tidak realistis. Bahkan, menurut Lindblom dan Woodhouse, pembuatan kebijakan adalah sebuah proses interaktif yang kompleks, tanpa awal dan akhir.44 Adapun model konflik cenderung memaknai proses kebijakan publik sebagai arena kontestasi kepentingan antar masing-masing aktor. Analis yang menganut model konflik beranggapan bahwa produk kebijakan publik merupakan persoalan
prosedural
semata.
Substansi
dari
kebijakan
publik
adalah
pertarungan kepentingan antar masing-masing aktor di setiap tahap kebijakan. Kontestasi dan tarik ulur kepentingan di setiap tahap kebijakan publik seringkali luput dari perhatian publik. Secara umum, perbedaan kedua model ini terletak pada dimensinya masing-masing.
Model
stagist
menitikberatkan
dimensi
teknis
administratif/teknokratis, sedangkan model konflik menekankan dimensi politis dalam kebijakan publik.
D.1.2
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Menurut Meter dan Horn, implementasi kebijakan publik merupakan
tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat43
Di masing-masing fase/tahap, Dror membagi (lagi) ke dalam empat sampai tujuh sub fase/tahap. Dan secara keseluruhan berjumlah 18 sub tahap. Lihat Y Dror, “Public Policymaking Reexamined; 2nd Edition”, (New Brunswick: Transaction Publishers, 1989) h. 163-164 44 Lihat C.E Lindblom dan E.J Woodhouse, “The Policymaking Process”, (Engelwood Cliffs: Prentice Hall, 1993), h. 11 19
pejabat, atau kelompok-kelompok pemerintah/swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.45 Keberhasilan kebijakan publik sedikit banyak dipengaruhi oleh bagaimana pemerintah melakukan implementasi kebijakan. Tahap implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan/eksekusi dari proses formulasi kebijakan, serta pengendalian arah kebijakan guna mencapai tujuan dari kebijakan publik itu sendiri.46 Meminjam istilah Riant Nugroho, implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya.47 Melalui implementasi kebijakan, kita dapat mengetahui apakah tujuan dari kebijakan publik tersebut dapat tercapai atau tidak. Memang idealnya, implementasi kebijakan merupakan upaya mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam formula kebijakan, sebagai “policy statement” ke dalam “policy outcome”, yang muncul sebagai akibat dari aktifitas pemerintah.48 Berpijak pada penjelasan diatas, implementasi kebijakan sebaiknya dimaknai sebagai proses administratif untuk mengeksekusi keputusan-keputusan politis dengan mendayagunakan serangkaian instrumen kebijakan untuk menghasilkan perubahan sosial ke arah yang dikehendaki, yang mencakup pula serangkaian proses negosiasi antara impelementator dengan sasaran kebijakan untuk memastikan tercapainya misi kebijakan.49 Jadi implementasi kebijakan dapat dikatakan baik apabila “policy statement” mampu di-delivery-kan secara tepat ke dalam “policy outcome” oleh implementator. Peran implementator umumnya dipegang oleh aktor negara/aparatur pemerintah, dan hal seperti itu
45
Solichin Abdul Wahab, “Analisis Kebijaksanaan”, op.cit, h. 65 Perbedaan mendasar dari formulasi kebijakan dengan implementasi kebijakan terletak pada sifat aktifitasnya. Implementasi kebijakan merupakan sebuah aktifitas kebijakan yang bersifat praksis, sedangkan formulasi kebijakan cenderung bersifat teoritis. 47 Riant Nugroho, “Public Policy”, op. cit, h. 494 48 Purwo Santoso, “Analisis Kebijakan Publik”, (Yogyakarta: Research Centre for Politics and Government, 2010), h. 125 49 Purwo Santoso, ibid, h. 126 46
20
jamak terjadi di Indonesia. Implikasinya, proses implementasi kebijakan seringkali dimaknai sebagai proses administratif semata. Dalam melakukan implementasi kebijakan publik, terdapat 2 (dua) pilihan langkah yang bisa dilakukan, yakni (1) langsung mengimplementasikan dalam bentuk program, atau (2) melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut.50 Untuk lebih jelasnya, lihat Gambar II di bawah ini:
GAMBAR I SEKUENSI IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
KEBIJAKAN PUBLIK
KEBIJAKAN PUBLIK PENJELAS
PROGRAM
PROYEK
KEGIATAN
PEMANFAAT (BENEFICIARIES)
Sumber : Riant Nugroho, “Public Policy” (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009). h. 495 50
Riant Nugroho, “Public Policy”, op. cit, h. 495 21
Kebijakan publik yang berbentuk Undang-Undang (UU) maupun Peraturan Daerah (Perda) merupakan tipologi kebijakan publik yang membutuhkan kebijakan
publik
penjelas,
atau
sering
diistilahkan
dengan
peraturan
pelaksanaan. Sedangkan kebijakan publik yang bisa langsung dioperasionalkan antara lain : Keputusan Presiden (Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri (Kepmen), Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Kepala Dinas, dan lain sebagainya. Menurut Charles O. Jones, implementasi kebijakan (“policy implementation”) didefinisikan sebagai sebuah penerapan, yaitu suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengoperasikan sebuah program.51 Adapun pilar-pilar dari penerapan dan pengoperasian program ini, antara lain : 1. Organisasi Pembentukan atau penerapan kembali sumber daya, unit-unit, serta metode untuk menjadikan program berjalan. 2. Interpretasi Penafsiran mengenai program, serta pengarahan yang tepat sehingga dapat diterima dan dilaksanakan. 3. Penerapan : Ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran, atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan/kelengkapan program.
Lineberry menambahkan pula bahwa implementasi kebijakan publik sekurangkurangnya memenuhi 4 (empat) elemen di bawah ini, yakni :52 1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana. 2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (“standard operating procedure”/SOP).
51
Charles O. Jones, “Public Policy: Pengantar Kebijakan Publik”, (Terj Ricky Istamto; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), h. 293 - 297 52 Lineberry dalam Sri Susilih, “Implementasi Kebijakan Subsidi Beras (Tesis)” (Depok: FISIP UI, 2005) 22
3. Koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran, pembagian tugas di lingkup internal, serta pembagian tugas antara masing-masing dinas/Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). 4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.
Menurut Brian Hogwood dan Lewis Gunn, terdapat 2 (dua) pendekatan yang seringkali dipakai oleh implementator kebijakan dalam melakukan implementasi kebijakan, yaitu (1) pendekatan “top down”, dan (2) “bottom up”. Dalam pendekatan “top down”, sebuah kebijakan publik diimplementasikan sesuai dengan prosedur dan petunjuk dari stakeholder di tingkat atas, semisal bupati maupun sekretaris daerah (Sekda). Sedangkan dalam pendekatan “bottom up”, implementasi sebuah kebijakan publik dimulai dan dibangun dari bawah/masyarakat. Biasanya, kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah tak selamanya berjalan sukses di level implementasi, meskipun pada level formulasi kebijakan telah dilakukan upaya yang optimal. Seringkali formulasi kebijakan yang sangat baik, eksekusi kebijakannya tidak sesuai dengan ekspektasi awal. Dalam tanda kutip, terjadi pergeseran arah dan tujuan/”goals” dari kebijakan publik itu sendiri, dan umumnya pergeseran tersebut terjadi di level implementasi kebijakan. Kenyataan ini sering disebut dengan istilah kesenjangan implementasi atau “implementation gap”. Pada titik tertentu kesenjangan implementasi masih dapat ditoleransi oleh implementator, namun jika kesenjangan implementasi semakin jauh dari arah maupun tujuan semula, maka kesenjangan ini perlu diminimalkan, yakni dengan melakukan pengawasan yang ketat di level implementasi kebijakan. Kesenjangan implementasi di dalam lokus kebijakan publik merupakan sebuah keniscayaan. Artinya, hampir semua kebijakan publik mengalami kesenjangan implementasi. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya 23
kesenjangan
implementasi,
yakni:53
(1)
Kebijakan
tidak
dilaksanakan
sebagaimana mestinya (“non implementation”), (2) Tidak berhasilnya atau gagalnya proses implementasi kebijakan publik di lapangan (“unsuccesfull implementation”), dan (3) Implementasi kebijakan sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ada, namun terjadi problematika yang sulit untuk diselesaikan.
Untuk
meminimalkan
terjadinya
kesenjangan
implementasi
kebijakan, Weimer dan Vining menyarankan 3 (tiga) faktor yang berperan penting dalam keberhasilan kebijakan publik kepada para implementator di level implementasi kebijakan.54 Ketiga variabel ini, antara lain : 1) Logika dari kebijakan tersebut Apakah logika berpikir yang dibangun oleh implementator kebijakan sudah sesuai dengan kaidah-kaidah kebijakan publik atau tidak? Lalu, logika berpikir seperti apa yang harus dimiliki oleh implementator kebijakan? Keberadaan logika disini dimaksudkan agar kebijakan publik yang telah diputuskan oleh para pengambil keputusan, secara nalar berpikir dapat diterima oleh publik, pun mendapatkan dukungan yang bersifat teoritis. 2) Adanya kerjasama dan koordinasi yang baik Kerjasama maupun koordinasi yang baik, serta tupoksi yang jelas, mutlak diperlukan dalam upaya untuk mensukseskan implementasi kebijakan publik 3) Adanya pelaksana yang mampu, serta berkomitmen terhadap pelaksanaan kebijakan
D.1.3
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN MENURUT MERILEE GRINDLE Berbeda dengan Hogwood dan Gunn, Merilee Grindle berpendapat
bahwa tahap implementasi kebijakan seharusnya mempertimbangan pelbagai dimensi yang ada. Menurut Grindle, keberhasilan suatu implementasi kebijakan 53
Said Zainal Abidin, “Kebijakan Publik”, (Jakarta: Pancur Siwah, 2004), h. 207 David L. Weimer and Aidan R. Vining, “Policy Analysis: Concept and Practice”, (New Jersey: Prentice Hall, 1992), h. 9 54
24
publik sangat ditentukan oleh implementasi, yang terdiri dari “content of policy” dan “context of implementation”.55 Kedua variabel ini menurut Grindle, saling mempengaruhi. “Content of policy” merujuk pada substansi yang terkandung di dalam kebijakan publik, sedangkan “context of implementation” merupakan representasi dari lingkungan di mana kebijakan publik itu akan berlangsung. “Content of policy” dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan dikarenakan “policy content” yang dihasilkan melalui proses “policy making” menentukan apa yang harus di-deliver melalui sebuah kebijakan, perubahan apa yang bakal muncul sebagai akibat dari kebijakan yang diimplementasikan, di mana
kebijakan
tersebut
diimplementasikan,
dan
siapa
yang
mengimplementasikan kebijakan tersebut (untuk lebih jelasnya, lihat Bagan I).56 Dengan adanya “policy content” yang baik, sebagai bagian dari proses “policy making”, perubahan yang hendak disasar melalui kebijakan publik dapat berjalan sesuai ekspektasi. Dalam skope “content of policy”, Grindle menyatakan bahwa ada 6 (enam) elemen yang harus diperhatikan, yaitu : 1) “Interest affected”, atau kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi Sebuah kebijakan publik biasanya bersinggungan dengan berbagai macam aktor, pun aktor-aktor tersebut mempunyai kepentingan tersendiri. Elemen “interested affected” sendiri berkaitan dengan berbagai kepentingan yang dipengaruhi implementasi kebijakan. Argumentasi yang dibangun adalah sebuah kebijakan publik di level implementasi, tentu melibatkan berbagai macam kepentingan dari masing-masing aktor di ranah publik.
55
Leo Agustino, “Politik dan Kebijakan Publik”, (Bandung: AIPI, 2006), h. 168 Merilee Grindle, “Politic and Policy Implementation in the Third World”, (Princeton University Press, 1980). h 8-10 56
25
2) “Type of benefits”, atau tipe manfaat “Content of policy” berupaya menunjukkan ataupun menjelaskan bahwa kebijakan publik yang diformulasikan dan diimplementasikan oleh “policy maker”, mempunyai beragam manfaat serta berdampak positif di masyarakat. 3) “Extend of change envision”, atau derajat perubahan yang ingin dicapai Setiap kebijakan publik, mempunyai derajat perubahan yang hendak dicapai. Adapun
“content of policy” yang ingin dijelaskan oleh “extend of change
envision” dalam penelitian ini adalah perubahan apa saja yang hendak disasar dari implementasi pengelolaan tepi kali Kanal dan kali Wiso di Kabupaten Jepara. 4) “Site of decision making”, atau letak pengambilan keputusan Pengambilan keputusan dalam skope kebijakan publik memegang peranan yang cukup penting, khususnya di level implementasi kebijakan. “Site of decision making” menunjukkan dimana letak pengambilan keputusan oleh “decision
maker”
dari
sebuah
kebijakan
publik
yang
hendak
diimplementasikan. 5) “Program implementer”, atau pelaksana program Untuk mengimplementasikan sebuah kebijakan publik, diperlukan pelaksana kebijakan yang mempunyai kompetensi, integritas, maupun kapabilitas yang sangat baik demi keberhasilan proses implementasi kebijakan. 6)
“Resources comitted”, atau sumber daya yang digunakan Selain membutuhkan pelaksana program yang “mumpuni”, implementasi kebijakan membutuhkan sumber daya yang mendukung proses ini dengan baik.
26
Sedangkan dalam skope “context of implementation”, menurut Grindle, terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu :57 1) “Power, interest, and strategy of actor involved”; atau kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat Dalam sebuah kebijakan publik, para implementator perlu memperhatikan kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari aktor-aktor lain yang terlibat. Hal ini mutlak dilakukan agar para implementator dapat merumuskan strategi yang tepat, sehingga proses implementasi kebijakan publik dapat berjalan dengan lancar. 2) “Institution and regime characteristic”, atau karakteristik kelembagaan dan rejim Grindle menggarisbawahi bahwa lingkungan dari implementasi kebijakan mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menentukan berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan. Begitu pula dengan karakteristik sebuah lembaga. 3) “Compliance and responsiveness, atau tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana Tingkat kepatuhan serta adanya respon dari implementator kebijakan menjadi salah satu faktor penting yang turut mempengaruhi keberhasilan dari sebuah proses kebijakan publik.
57
Ketiga elemen “context of implementation” Grindle, yakni kekuatan, kepentingan, strategi aktor yang terlibat; karakteristik rejim/institusi; kepatuhan dan responsifitas seringkali diabaikan oleh para implementator dalam proses implementasi kebijakan. Apalagi model implementasi administratif teknokratis masih menjadi mainstream di Indonesia. 27
Sumber : Merilee Grindle, “Politic and Policy Implementation In The Third World” (Princeton University Press, 1980), p. 11
Bagan I diatas, menjelaskan bahwa “content of policy” dan “context of implementation” merupakan dua variabel yang saling mempengaruhi, pun kedua variabel
tersebut
menjadi
determinan
utama
dari
keberhasilan
proses
implementasi kebijakan. Adapun “outcome” yang terdiri dari “impact on society, individuals, and groups” (dampak kebijakan publik terhadap masyarakat, individu, dan kelompok) dan “change and acceptances” (perubahan serta penerimaan masyarakat terhadap kebijakan publik ini); menjadi instrumen yang bersifat evaluatif dari tercapai atau tidaknya tujuan implementasi kebijakan. Dalam kenyataannya, implementasi kebijakan pengelolaan di tepi kali Kanal maupun kali Wiso mempunyai beberapa dampak perubahan. Perubahan yang terlihat jelas adalah adanya ruang-ruang publik di kedua tepi sungai tersebut, yang bisa
28
dimanfaatkan oleh seluruh warga kota untuk bertemu, berkomunikasi, serta memperbincangkan berbagai persoalan publik.58
D.1.4
EVALUASI KEBIJAKAN PUBLIK Pasca tahap implementasi, kebijakan publik memerlukan sebuah
mekanisme pengawasan yang bertujuan untuk mengukur sejauhmana tingkat efektifitas dari kebijakan publik tersebut, serta pertanggungjawaban kepada masyarakat. Mekanisme pengawasan ini seringkali disebut dengan “evaluasi kebijakan”. Menurut William N. Dunn, terminologi evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (“appraisal”), pemberian angka (“rating”), dan penilaian (“assesment”).59 Proses evaluasi kebijakan publik cenderung memproduksi informasi mengenai nilai ataupun manfaat dari kebijakan yang sudah diimplementasikan. keseluruhan
Sebetulnya,
proses
kebijakan,
proses akan
evaluasi
tetapi
berhubungan
proses
evaluasi
dengan
cenderung
menitikberatkan pada kinerja dari kebijakan, atau lebih tepatnya implementasi kebijakan publik. Secara
umum
Dunn
menggambarkan
kriteria-kriteria
evaluasi
kebijakan publik sebagai berikut (lihat Tabel I) :
58
Konsepsi dasar dari ruang publik adalah ruang nirsekat. Publik dapat berinteraksi secara sosial dan bebas dalam mengemukakan pendapat sehingga memungkinkan terjadinya transformasi sosial dalam proses demokrasi. Teori tentang ruang publik pertama kali digagas oleh Jurgen Habermas, seorang filosof Mazhab Frankfurt. Teorinya mengenai ruang publik muncul dari refleksinya tentang ruang publik di abad ke 18. Kata Habermas, “the public sphere develop in the salons and coffe houses of London, Paris, and other European cities”. Individu dari beragam kelas berkumpul di kafe-kafe untuk sekadar mendiskusikan berbagai permasalahan politik, ekonomi, hingga sastra. Ruang publik menjadi sebuah arena bagi setiap individu untuk mendiskursuskan isu-isu umum secara bebas, mengartikulasikan kepentingan dan kegelisahan politiknya tanpa ketakutan adanya hegemoni penguasa, serta setiap individu bebas mengeluarkan pendapat/argumentasinya masingmasing terhadap negara/pemerintah. Habermas membagi-bagi ruang publik, tempat para aktoraktor masyarakat warga membangun ruang publik, berdasarkan pluralitas (keluarga, kelompok informal, dan organisasi yang bersifat kesukarelaan), publisitas (media massa dan institusi kultural), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur hukum umum dan hak-hak dasar) 59 Lihat William N. Dunn, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999). h. 608 - 610 29
TABEL I TIPE EVALUASI MENURUT WILLIAM N. DUNN
Tipe Kriteria
Pertanyaan
Ilustrasi
Efektifitas
Apakah hasil yang diinginkan telah Unit pelayanan dicapai?
Efisiensi
Seberapa banyak usaha yang Unit biaya diperlukan untuk mencapai hasil yang Manfaat bersih diinginkan? Rasio biaya manfaat
Kecukupan
Seberapa jauh pencapaian hasil yang Biaya tetap (masalah diinginkan memecahkan masalah? tipe I) Efektifitas tetap (masalah tipe II)
Perataan
Apakah biaya dan manfaat Kriteria Pareto didistribusikan dengan merata kepada Kriteria Kaldor-Hicks kelompok yang berbeda? Kriteria Rawls
Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuaskan Konsistensi dengan kebutuhan, preferensi, atau nilai survei warga negara kelompok tertentu? Ketepatan
Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan Program publik harus benar-benar berguna atau bernilai? merata dan efisien
Sumber : William N. Dunn, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), h. 610
Berdasarkan waktunya, evaluasi dari implementasi kebijakan publik terbagi ke dalam tiga tipologi, yaitu sebelum dilaksanakan, pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan. Evaluasi pada waktu pelaksanaan biasanya disebut evaluasi proses, sedangkan evaluasi setelah kebijakan seringkali disebut sebagai evaluasi konsekuensi (“output”) kebijakan dan/atau evaluasi
impak/pengaruh
(“outcome”)
kebijakan,
atau
sebagai
evaluasi
“sumatif”.60 Secara spesifik, Dunn mengembangkan tiga pendekatan evaluasi
60
Riant Nugroho, “Public Policy”, op.cit, h. 537 30
implementasi kebijakan, yaitu evaluasi semu, evaluasi formal, dan evaluasi keputusan teoritis (lihat Tabel II).
TABEL II MODEL PENDEKATAN EVALUASI KEBIJAKAN MENURUT WILLIAM N. DUNN
Pendekatan
Tujuan
Asumsi
Bentuk Utama
Metode/Teknik
Evaluasi semu (Pseudo evaluation)
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi valid tentang hasil kebijakan
Ukuran manfaat atau nilai terbukti dengan sendirinya atau tidak kontroversial
Eksperimentasi sosial Akuntansi sistem sosial Pemeriksaan sosial Sintesis riset dan praktik
Sajian grafik Tampilan tabel Angka indeks Analisis seri waktu terinterupsi Analisis seri terkontrol Analisis diskontinuregresi
Evaluasi formal (Formal evaluation)
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan secara formal diumumkan sebagai tujuan program kebijakan
Tujuan dan sasaran pengambil kebijakan dan administrator yang secara resmi diumumkan merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
Evaluasi keputusan teoritis
Menggunakan metode deskriptif untuk menghasilkan informasi yang terpercaya dan valid mengenai hasil kebijakan yang secara eksplisit diinginkan oleh berbagai pelaku kebijakan
Tujuan dan sasaran dari berbagai pelaku yang diumumkan secara formal ataupun diamdiam merupakan ukuran yang tepat dari manfaat atau nilai
Pemetaan sasaran Klarifikasi nilai Kritik nilai Pemetaan hambatan Analisis dampaksilang Discounting Penilaian tentang dapattidaknya evaluasi Analisis utilitas multi atribut61
Brainstorming Analisis argumentasi Delphi kebijakan Analisis survei pemakai62
Sumber : William N. Dunn, “Pengantar Analisis Kebijakan Publik”, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999), h. 613 - 619
61
Serangkaian prosedur yang diciptakan untuk mengambil dari para pelaku kebijakan yang banyak memiliki pandangan subjektif tentang probabilitas terjadinya sesuatu atau nilai dari hasil kebijakan. 62 Serangkaian prosedur untuk mengumpulkan informasi dari calon pemakai dan pelaku-pelaku kebijakan lainnya mengenai evaluabilitas suatu kebijakan atau program. 31
Dalam evaluasi formal, terdapat dua tipologi dasar untuk memantau pencapaian target dan tujuan. Pertama, evaluasi sumatif, yaitu usaha untuk memantau pencapaian tujuan dan target formal setelah kebijakan publik tersebut diimplementasikan dalam jangka waktu tertentu. Kedua, evaluasi formatif, yaitu usaha yang secara terus menerus memantau pencapaian tujuan dan target formal. Perbedaan kedua tipe evaluasi ini adalah intensitas waktu pemantauan hasil kebijakan. Beranjak dari pemahaman tentang evaluasi kebijakan, atau sering dimaknai sebagai evalusi implementasi kebijakan dan/atau evaluasi kinerja, dapat kita gambarkan dengan pola irisan di bawah ini (Gambar II) :
GAMBAR II DIMENSI KEBIJAKAN PUBLIK SEBAGAI FOKUS EVALUASI KEBIJAKAN PERUMUSAN KEBIJAKAN
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN EVALUASI KEBIJAKAN
LINGKUNGAN KEBIJAKAN
KINERJA KEBIJAKAN
Sumber : Riant Nugroho, “Public Policy”, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2009) h. 543
D.2
WATERFRONT CITY DEVELOPMENT Lahirnya pendekatan ekologi dalam ilmu sosial dimulai pada tahun 1920.63
Ilmuwan sosial yang bernama Robert Park, Ernest Burgess, dan Louis Wirth dari Universitas Chicago; mengembangkan sebuah basis teori yang bernama “Urban
63
Kata ekologi merujuk pada disiplin ilmu alam yang mempelajari proses adaptasi makhluk hidup dengan lingkungan sekitar. Makhluk hidup di alam semesta cenderung terdistribusi secara sistemik, seperti halnya keseimbangan alam maupun antar masing-masing spesies. 32
Sociology” atau sosiologi perkotaan. “Urban Sociology” yang dikembangkan oleh ketiga ilmuwan di atas, menjadi sebuah “epistemis community” bernama mazhab Chicago (“Chicago School”).64 Mazhab ini berlangsung berlangsung dari tahun 1920 hingga 1940-an. Di dalam sosiologi perkotaan terdapat dua konsep utama yang berguna untuk memahami perkembangan kawasan-kawasan perkotaan, yaitu (1) pendekatan ekologis/aliran humanis ekologi dalam analisis perkotaan (“ecological approach”), dan (2) karakteristik urbanisme sebagai jalan hidup (“urbanisme as way of life”). 65 Pendekatan ekologi berkeyakinan bahwa sebuah kota tidak muncul dan tumbuh secara acak, seperti halnya makhluk hidup di alam yang terdistribusi secara sistemik. Kemunculan dan perkembangan perkotaan merupakan sesuatu yang “by design”, dan bukan sesuatu yang “given”. Ada campur tangan pemerintah setempat dalam mendesain dan mengembangkan sebuah kawasan menjadi perkotaan. Lingkungan di perkotaan, baik secara langsung maupun tidak langsung, memberikan berbagai keuntungan yang dapat diproyeksikan dalam pengembangan kota di masa mendatang. Sebagai contohnya, kawasan perkotaan dalam masyarakat modern seperti sekarang ini memiliki kecenderungan untuk memulai pengembangan kawasan tersebut di sepanjang sungai, pantai, dataran subur, ataupun jalur perdagangan dari kereta api.66 Beberapa negara maju, semisal Singapura, Korea Selatan, dan Jepang; telah mengembangkan kawasan ekologis, seperti kawasan
64
Term mazhab Chicago merujuk pada tempat di mana basis teori ini dikembangkan (Universitas Chicago). 65 “Urbanisme as Way of Life” merupakan tesis dari Louis Wirth. Urbanisme menurut Wirth, dapat dimaknai sebagai gaya hidup khas perkotaan. “Urbanisme” sendiri hanya dapat ditemukan di wilayah-wilayah perkotaan, dan bukan pedesaan. Menurut Wirth, sebuah wilayah/kawasan dapat disebut “kota” apabila mempunyai ukuran yang cukup luas, padat penduduknya, dan masyarakatnya heterogen. Dalam kawasan yang dilabeli dengan “kota”, muncul gejala-gejala “urbanisme”, seperti individualistik, korupsi, dan kriminalitas. “Urbanisme merupakan bentuk eksistensi sosial dari sebagian besar masyarakat,” lanjut Wirth. Sebagai ekspresi dari eksistensi sosial, “urbanisme” memunculkan mentalitas perkotaan, baik sikap, pola pikir, maupun sikap/kepribadian. Bacaan lebih lanjut, lihat Anthony Giddens, “Sociology (4th Edition),” (Cambridge: Polity Press, 2002), h.574 66 Anthony Giddens, loc.cit 33
tepian sungai, dataran rendah, dan tepian pantai; sebagai kawasan wisata maupun ruang-ruang publik di perkotaan. Wilayah perkotaan dapat direkayasa dari sebuah kawasan yang berada di sepanjang aliran sungai, dataran rendah, hingga kawasan perdagangan yang bersinggungan dengan jalur kereta. Sebuah kawasan ekologis dengan berbagai potensinya, jika diproyeksikan secara tepat dan dikelola dengan baik, akan memberikan nilai tambah tersendiri bagi kawasan tersebut. Entah itu nilai estetika, nilai ekonomi, maupun nilai sosialnya. Secara garis besar, pendekatan ekologi menitikberatkan basis teorinya pada proses kemunculan dan perkembangan kota yang tidak terjadi secara acak, melainkan “by design”. Di dalam studi perencanaan wilayah kota, konsep pengembangan kawasan perkotaan yang menempatkan kawasan perairan (beserta kawasan tepi) sebagai objeknya, disebut “waterfront city” atau “waterfront city development”. Jika menilik sejarah Nusantara, konsep “waterfront city development” pernah diimplementasikan oleh Belanda ketika menjajah Nusantara di abad ke-16. Pemerintah Hindia Belanda, selaku
perwakilan
dari
Kerajaan
Belanda
(“The
Royal
of
Dutch”),
mengimplementasikan konsep tersebut pada Batavia. Saat itu, Batavia di-rekayasa oleh para insinyur Belanda menjadi sebuah kota dengan penuh kanal layaknya kotakota di Belanda. Kali Ciliwung sebagai salah satu sungai besar yang membelah Batavia, tak luput dari penataan penataan. Penataan kali Ciliwung sendiri bertujuan untuk memperlancar lalu lintas perdagangan, baik dari pesisir ke pedalaman, ataupun sebaliknya. Apalagi Batavia saat itu mempunyai peran yang cukup strategis sebagai sebuah kota bandar, yakni tempat bertemunya lalu lintas perdagangan.
34
D.2.1
KEMUNCULAN WATERFRONT CITY DEVELOPMENT Konsep “waterfront city development” berasal dari gagasan James
Rouse, seorang “urban visioner” Amerika Serikat di tahun 1970-an. Kala itu, Rouse mengamati beberapa kota bandar di Amerika Serikat yang mengalami pengkumuhan yang cukup akut, dan salah satu dari sekian kota bandar tersebut adalah Baltimore. Baltimore merupakan sebuah kota besar di Amerika Serikat yang mengalami kebangkrutan akibat resesi ekonomi pada tahun 1970-an. Pada saat itu, Baltimore mengalami persoalan yang cukup berat, seperti : pertumbuhan ekonomi negatif, memburuknya infrastruktur kota terutama kota tua/bandar lama, tertariknya masyarakat pada promosi “kehidupan yang lebih baik” pada kawasan “new town” sebagai pilihan, masuknya “the blacks” mengisi kekosongan di sudutsudut kawasan kota tua/bandar lama, tingginya angka kriminalitas, penurunan kualitas
kehidupan
dan
kondisi
kota
tua/bandar
lama
akibat
proses
pengkumuhan yang terus berlanjut.67 Adapun pemerintah kota, tidak mampu mengatasi situasi yang terus memburuk. Beranjak
dari
keterpurukan
kota
ini,
Rouse
mencoba
mengimplementasikan konsep dan gagasannya yang cukup visioner tentang pembangunan kota yang ekologis. Rouse tampil dengan gagasan pembangunan sebagai sebuah solusi. Visi dari seorang Rouse yang bersinergi dengan “political will” dari pemerintah kota setempat, nyatanya mampu memulihkan kota dari kebangkrutannya. Visi serta konsepsi Rouse tentang kota yang ekologis, banyak mempengaruhi perencanaan kota di dunia. Bahkan, keberhasilan Baltimore lepas dari jerat kebangkrutan dijuluki sebagai “the great show case of urban revitalization”.
67
Martono Yuwono, “Visi Pembangunan Waterfront City Suatu Tinjauan Budaya” dalam Buletin Tata Ruang Edisi September – Oktober 2009, h. 2 35
D.2.2
KONSEPSI WATERFRONT CITY DEVELOPMENT Pengertian “waterfront” dalam Bahasa Indonesia secara harafiah
adalah daerah tepi laut, bagian kota yang berbatasan dengan air, daerah pelabuhan.68
Seorang
akademisi
yang
bernama
Douglas
M.
Wrenn
mendefinisikan “urban waterfront” sebagai suatu lingkungan perkotaan yang berada di tepi atau dekat wilayah perairan, misalnya lokasi di area pelabuhan besar di kota metropolitian.69 “Waterfront development” dapat juga didefinisikan sebagai proses (dari hasil) pembangunan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air. Konsep ini merupakan bagian dari upaya pengembangan wilayah perkotaan yang secara fisik alamnya berdekatan dengan perairan. Bentuk pengembangan dan pembangunan wajah kota berorientasi ke arah perairan. Dari berbagai definisi dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa “waterfront city development” merupakan suatu area yang terletak di dekat atau berbatasan dengan kawasan perairan di mana terdapat satu atau beberapa kegiatan dan aktifitas pada area pertemuan tersebut.70
D.2.3
TIPOLOGI WATERFRONT CITY DEVELOPMENT Dalam bukunya “The New Waterfront: A Worldwide Urban Succes
Story”, Ann Breen membagi konsep “waterfront city development” ke dalam 4 (empat) tipologi utama berdasarkan sifat dan jenis aktifitasnya, yakni 71 :
68
John M Echols dan Hassan Shadily, “Kamus Inggris Indonesia,” (Jakarta: PT Gramedia, 2003) D. M Wrenn. “Urban Waterfront Development,” (Washington: The Urban Land Institute, 1983) 70 Siska Soesanti, Alexander Sastrawan, dan Hendra Rahman, “Pola Penataan Zona, Massa, dan Ruang Terbuka Pada Perumahan Waterfront,” Jurnal Arsitektur dan Pembangunan Lingkungan “Dimensi” Universitas Kristen Petra, Nomor 2/34, 2006. h. 116 71 Lihat Ann E Breen, “The New Waterfront: A Worldwide Urban Succes Story,” (New York: McGraw Hill, 1996) 69
36
1) Mixed-Used Waterfront Konsep “waterfront city development” jenis ini merupakan perpaduan antara fungsi perumahan perkantoran, restoran, rumah sakit, pasar, dan/atau tempat-tempat kebudayaan. Jenis “waterfront city development” ini paling banyak digunakan oleh berbagai negara, khususnya di kawasan perkotaan. Dalam tipologi ini, kawasan tepian air difungsikan untuk menampung aktifitas-aktifitas yang berbeda karakter ke dalam sebuah kawasan kota yang terintegrasi. Pada dasarnya, aktifitas-aktifitas tersebut merupakan kegiatan rutin masyarakat di kawasan perkotaan yang terakomodasi dalam bentuk fasilitas fisik. 2) Recreational Waterfront Sesuai dengan nomeklanturnya, konsep “waterfront” ini memfasilitasi adanya sarana dan prasarana aktifitas rekreasi di kawasan perkotaan. Fungsi dari “waterfront” ini adalah mengakomodasi berbagai aktifitas rekreasi masyarakat. Aktifitas-aktifitas rekreasi masyarakat dapat berupa taman, arena bermain, tempat pemancingan, pemandian, dermaga perahu/kapal pesiar. 3) Residental Waterfront Konsep “waterfront” jenis ini didominasi oleh fasilitas permukiman, seperti: perumahan, apartemen, dan resort yang didirikan di kawasan tepian perairan. Fungsi utama dari “waterfront” ini adalah fungsi permukiman. Sebagai salah contoh, perkampungan nelayan di Indonesia. Sesuai dengan pekerjaannya, umumnya nelayan-nelayan di Indonesia membangun kawasan permukiman mereka di sekitar kawasan tepian pantai maupun pinggiran muara sungai. Adapun contoh lain yang tidak berkorelasi dengan pekerjaan adalah apartemen-apartemen yang berada di Jakarta maupun resort-resort mewah di Bali. Sebut saja apartemen Pantai Indah Kapuk di Jakarta Utara dan Klapa Resort dan Spa di Bali. 37
Secara keseluruhan, pengembangan kawasan “waterfront” sebagai “residental” mempunyai tujuan menciptakan kawasan permukiman yang nyaman, bersih, sehat, dan layak huni. Dengan kualitas kawasan “waterfront” yang baik akan menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat setempat maupun wisatawan. 4) Working Waterfront Sesuai dengan nomeklanturnya, konsep “waterfront” ini memfasilitasi aktifitas-aktifitas
pekerjaan
masyarakat
setempat
dan
menjadi
karakteristik utama kawasan ini. Aktifitas-aktifitas masyarakat yang terakomodasi dalam “waterfront” ini, antara lain : tempat penangkapan ikan komersial, reparasi kapal pesiar, galangan kapal, industri berat, persewaan kapal/perahu, perkantoran, dan fungsi-fungsi pelabuhan. Masing-masing pekerjaan tersebut mempunyai karakter tertentu dan berpengaruh
terhadap
ciri
khas
“waterfront”
ini.
Pengembangan
“waterfront” jenis ini bertujuan menyediakan fasilitas kawasan yang berkualitas sehingga setiap pekerjaan dapat dilaksanakan sesuai standar keamanan, kenyamanan, dan pertimbangan pemeliharaan lingkungan. Selain 4 (empat) tipologi yang dirumuskan oleh Ann E. Breen diatas, ada beberapa tipologi yang akan dipaparkan dalam penjelasan di bawah ini. Tipologitipologi ini didasarkan pada sifat dan jenis aktifitasnya, antara lain : 1) Cultural and Educational Waterfront Konsep “waterfront” ini memfasilitasi berbagai aktifitas pendidikan, kebudayaan, dan ilmu pengetahuan. Fasilitas-fasilitas yang dapat dikembangkan dalam kerangka “waterfront” ini antara lain : “waterfront plaza” dengan “sculpture”/”detroit riverfront”, aquarium, hutan buatan, dan pelbagai macam festival budaya/kesenian lain, semisal festival perahu tradisional ataupun festival sungai. 38
2) Environment Waterfront Orisinalitas dan sumber daya alam yang berada di lingkungan sekitar menjadi modal utama dalam pengembangan konsep ini. Konsep “waterfront” ini mempunyai sebuah tujuan penting, yakni melakukan upaya preservasi dan konservasi dari degradasi upaya
preservasi
dan
konservasi
dalam
lingkungan. Upaya-
pencegahan
degradasi
lingkungan, antara lain : penanggulangan abrasi pantai, penyelamatan hutan mangrove/tumbuhan bakau, dan perlindungan terhadap spesies flora fauna tertentu dari kepunahan. Secara riil, aktifitas-aktifitas yang berwawasan lingkungan dalam konteks ini, diwujudkan dalam bentuk fasilitas pedestrian, area piknik, dan taman bermain. 3) Historic Waterfront Konsep “waterfront” ini memfokuskan pengembangan kawasan tepian air pada
tempat-tempat
yang
mempunyai
faktor
kesejarahan.
Pengembangan “waterfront” ini bertujuan untuk melestarikan dan memperbaiki potensi sejarah di kawasan sejarah tersebut. Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah, misalnya dengan memanfaatkan keberadaan artefak dan bangunan sejarah sebagai daya tarik maupun orientasi kawasan. Dengan upaya-upaya di atas kawasan “historic waterfront” dapat berkembang, dan mampu memainkan peran yang strategis dalam mendorong terciptanya lingkungan berkualitas.
Ditinjau dari tipe proyeknya, konsep “waterfront city development” dibagi ke dalam 3 (tiga) tipologi utama, yaitu :72 1) Konservasi Kawasan “waterfront” kuno yang mempunyai unsur kesejarahan dan masih ada sampai saat ini, direvitalisasi. Proses revitalisasi ini bertujuan 72
Siska Soesanti, Alexander Sastrawan, dan Hendra Rahman, loc.cit 39
agar nilai kesejarahan maupun estetika kawasan “waterfront” ini, tetap terjaga dan dapat dinikmati oleh masyarakat. 2) Pembangunan Kembali (Re-Development) Kawasan “waterfront” lama yang sampai saat ini masih dipergunakan untuk kepentingan masyarakat, dihidupkan kembali. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menghidupkan kembali fungsi-fungsi “waterfront” lama, yakni dengan mengubah dan/atau membangun kembali fasilitasfasilitas yang telah ada sebelumnya. 3) Pengembangan (Development) Upaya menciptakan “waterfront” guna memenuhi kebutuhan kawasan perkotaan saat ini, dan/atau masa depan. Misalnya; mereklamasi pantai, memperlebar sungai, dan menata ulang kawasan di sekitar area “waterfront”.
D.2.4
KRITERIA WATERFRONT CITY DEVELOPMENT Konsep “waterfront city development” dapat diimplementasikan di
kawasan perkotaan jika memenuhi beberapa prasyarat dan pertimbangan tertentu.
Menurut
Prabudiantoro,
beberapa
kriteria
umum
perancangan
“waterfront city development” di kawasan perkotaan, antara lain :73 1) Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut, danau, sungai, dan sebagainya). 2) Biasanya merupakan area pelabuhan, perdagangan, permukiman, dan pariwisata. 3) Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi permukiman, industri dan pelabuhan. 4) Dominan dengan pemandangan dan berorientasi ke arah perairan. 5) Pembangunannya dilakukan ke arah vertikal horisontal. 73
B. Prabudiantoro, “Kriteria Citra Waterfront City” (Tesis), Semarang: Universitas Diponegoro, 1997) 40
Berbagai pertimbangan terkait perencanaan dan pengembangan “waterfront city” di masing-masing kota perlu diperhatikan secara mendalam, khususnya yang berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Ketiga aspek ini mempunyai keterkaitan aspek satu dengan yang lain, dan korelasinya dengan kesuksesan pengembangan “waterfront city” itu sendiri. Adapun yang dimaksud aspek sosial dalam pengembangan “waterfront city” adalah pelbagai upaya pemenuhan kebutuhan, peningkatan kualitas hidup, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan “waterfront city”. Sedangkan
aspek
ekonomi
mencakup
pelbagai
upaya
meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan memperbaiki kondisi ekonomi masyarakat. Upaya ini bertujuan agar pertumbuhan ekonomi masyarakat di kawasan “waterfront city” berjalan ke arah yang lebih baik dan berkesinambungan. Aspek lingkungan dalam pengembangan “waterfront city” meliputi pelbagai upaya preventif terhadap segala jenis kerusakan lingkungan, serta melestarikan lingkungan di sekitar kawasan. Dengan begitu, pembangunan kawasan perkotaan menggunakan konsep “waterfront city” dapat berjalan secara seimbang dengan pelestarian lingkungan. Implementasi ketiga aspek di atas telah menunjukkan bahwa “waterfront city development” merupakan sebuah konsep yang menjunjung tinggi “sustainable development” atau pembangunan berkelanjutan. Sasaran yang hendak dicapai konsep “sustainable development”, yakni memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi masa depan di masa mendatang. Konsep ini perlu diimplementasikan oleh kota-kota dalam pengelolaan pembangunan yang sifatnya ekologis, sekaligus menjadi jawaban permasalahan lingkungan dan kependudukan di Indonesia.
41
E. DEFINISI KONSEPTUAL E.1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Implementasi kebijakan publik didefinisikan sebagai upaya mewujudkan tujuan kebijakan yang dinyatakan dalam formula kebijakan, yaitu “policy statement” ke dalam “policy outcome”, yang muncul sebagai akibat dari aktifitas pemerintah.
E.2
WATERFRONT CITY DEVELOPMENT “Waterfront city development” didefinisikan sebagai proses perencanaan dan pembangunan kawasan perkotaan yang memiliki kontak visual dan fisik dengan air.
F. DEFINISI OPERASIONAL F.1
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK Implementasi kebijakan publik dalam skope penelitian ini, mengacu pada proses implementasi kebijakan model Merilee Grindle yang membagi proses implementasi kebijakan menjadi 2 (dua), yaitu “content of policy” dan “context of implementation”. Keberhasilan implementasi kebijakan dapat dilihat dari pengejawantahan “policy statement” menjadi “policy outcome”, atau dengan kata lain, kesesuaian “content of policy” dengan “context of implementation”. a) “Content of policy” atau Substansi kebijakan 1) Kepentingan yang dipengaruhi 2) Tipe manfaat 3) Derajat perubahan yang ingin dicapai 4) Letak pengambilan keputusan 5) Pelaksana program 6) Sumber daya yang digunakan,
42
b) “Context of implementation” atau Konteks kebijakan 1) Kekuasaan, kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat 2) Karakteristik kelembagaan dan rejim 3) Tingkat kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana program
F.2
WATERFRONT CITY DEVELOPMENT “Waterfront city development” dapat dioperasionalkan melalui :
1) Berlokasi kawasan tepi perairan 2) Pembangunan kawasan yang berorientasi ke arah perairan 3) Memiliki fungsi-fungsi pendukung, seperti fungsi permukiman, fungsi perdagangan, fungsi rekreasi, dan lain sebagainya
G. METODOLOGI PENELITIAN G.1
JENIS PENELITIAN Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metodologi yang
digunakan di dalam penelitian ini adalah studi kasus. Ditinjau dari definisinya, studi kasus merupakan pendekatan penelitian terhadap satu kasus yang dilakukan secara intensif dan mendalam.74 Penggunaan metodologi studi kasus di dalam penelitian ini didasarkan adanya teori yang telah dipaparkan pada bagian landasan teori, tidak secara tegas mengikat proses penelitian, konsep-konsep yang ada pada teori tersebut bersifat fleksibel hanya bersifat mengarahkan.75 Didasarkan sifatnya yang fleksibel di atas, menurut hemat penulis, metodologi studi kasus sangat tepat digunakan dalam penelitian ini. Metodologi studi kasus dapat dipergunakan juga untuk menjawab pertanyaan “why” (mengapa) dan “how” (bagaimana) dalam sebuah
74 75
Cholid Narbuko, “Metodologi Penelitian,”(Semarang: Bumi Aksara, 2003), h. 164 Sotirios Sarantakos, “Social Research,”(Basingstoke: Mc Millan, 1999), h. 15 43
perangkat peristiwa yang diteliti sehingga pertanyaan penelitian menggunakan ”bagaimana”.76 Berbagai fenomena yang diteliti menggunakan studi kasus biasanya mempunyai ciri khas dan keunikan tersendiri. Keunikan dan ciri khas yang terjadi antara daerah satu dengan lainnya, berbeda-beda. Lagipula, tidak semua daerah mengalami keunikan dan ciri khas tersebut. Keunikan dan ciri khas fenomena studi kasus umumnya terdiri dari 6 (enam) hal, antara lain : (1) hakikat kasus, (2) latar belakang historis, (3) setting fisik, (4) konteks kasus terutama ekonomi, politik, hukum, dan estetika, (5) persoalan lain di sekitar kasus yang dipelajari, (6) informan atau tentang keberadaan kasus tersebut.77 Dalam hemat penulis, keenam prasyarat diatas mempunyai relevansi jika dikontekskan dengan skope penelitian ini, yaitu implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan sungai. Hal inilah yang mendorong penulis menggunakan metodologi studi kasus dalam membedah rumusan masalah seperti yang telah disampaikan diatas. Adapun lokus dari penelitian ini adalah fenomena kontemporer mengenai tata kelola ruang perkotaan, bersifat ekologis, dan menggunakan konsepsi “waterfront city development” sebagai salah satu tools-nya. Keberadaan konsepsi “waterfront city development” disini menjadi penting dikarenakan kebijakan publik ini menyasar pada pembangunan kawasan yang secara fisik dan visual bersinggungan langsung dengan perairan. Dengan begitu, kita dapat menangkap logika pikir dari implementasi kebijakan publik ini. Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan 1 (satu) skope kajian penelitian dengan 2 (dua) konteks yang berbeda, yakni implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso, dan implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan kali Kanal. Pemilihan kedua konteks diatas bukannya tanpa alasan, melainkan adanya beberapa pertimbangan yang mendorong penulis mengambil
76 77
Robert K. Yin, “Studi Kasus; Desain dan Metode,”(Bandung: PT Raja Grafindo Persada, 2006), h. 1 Agus Salim, “Teori dan Paradigma Penelitian Sosial,” (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), h.122 44
pilihan tersebut. (1) Baik kali Wiso dan Kanal, keduanya merupakan sungai utama yang melintasi kawasan perkotaan Jepara. Kedua sungai ini mempunyai peran yang cukup vital bagi Jepara. (2) Kali Wiso maupun Kanal mempunyai dimensi historis dengan Jepara. (3) Kedua sungai tersebut menjadi tempat aplikasi dari proses implementasi kebijakan publik ini, meskipun waktunya tidak bersamaan. Selain itu, model pengelolaan kawasan antara sempadan kali Wiso dengan kali Kanal relatif berbeda. Kawasan sempadan kali Wiso yang terletak di pusat kota diperuntukkan sebagai kawasan perdagangan yang terintegrasi (pembangunan Shopping Centre Jepara), sedangkan kawasan sempadan kali Kanal difungsikan sebagai taman kota (jalur hijau perkotaan). Dengan alasan dan pertimbangan diatas, penulis mencoba menganalisis implementasi kebijakan publik dengan tidak hanya satu konteks saja, melainkan kedua-duanya. Toh, kedua sungai tersebut masih berada di kawasan perkotaan Jepara. Penelitian ini sebetulnya menarik untuk dikaji secara mendalam, baik untuk saat ini maupun di masa mendatang. Lagipula pengembangan kawasan perkotaan cenderung bersifat dinamis dikarenakan adanya keterkaitan dengan berbagai aspek yang lain, misalnya : aspek sosial, ekonomi, kependudukan, keruangan, dan lingkungan. Pengelolaan tata ruang di kawasan perkotaan yang berkaitan dengan berbagai aspek di atas, menjadi ciri khas dari “sustainable development” di kawasan perkotaan. Selayaknya sebuah sistem, kesempurnaan metodologi penelitian merupakan sesuatu yang utopis. Apalagi ilmu pengetahuan sebagai bagian analisis dari metodologi itu sendiri, bersifat dinamis. Setiap metodologi penelitian masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan. Selain beberapa kelebihan di atas, studi kasus sebagai sebuah metodologi pun mempunyai beberapa kelemahan. Menurut Devine yang dikutip oleh Marsh and Stoker, beberapa kelemahan studi kasus meliputi
:
“representativeness”
maupun
“realibility”,
objektifitas
serta
bias,
45
penginterpretasian, dan penggeneralisasian.78 Adanya hubungan kedekatan antara peneliti dengan para informan di lapangan sangat mungkin terjadi. Bisa jadi, kedekatan hubungan ini mempengaruhi tingkat objektifitas peneliti. Dan tidak menutup kemungkinan adanya bias/subjektifitas peneliti di dalam menuliskan hasil penelitian. Di dalam studi kasus, penggunaan teknik pencarian dan pengumpulan data yang disebut “snowball sampling” merupakan sebuah keniscayaan. Di dalam “snowball sampling”, peneliti mencari data dari informan pertama melalui wawancara secara mendalam. Dari wawancara ini, informan pertama menunjuk orang lain sebagai informan kedua, dan seterusnya. Penggunaan “snowball sampling” sendiri mempunyai kelemahan, yaitu berkurangnya tingkat keterwakilan maupun “reability”nya dibandingkan metode lainnya. Untuk menjamin adanya tingkat keterwakilan maupun “reability”, diperlukan penetapan kategorisasi sampel secara tegas. Sedangkan guna menjamin tingkat objektifitas, serta mengurangi adanya bias diperlukan mekanisme “cross-check” data antara informan satu dengan lainnya.
G.2
SUMBER DATA Dalam penelitian ini, sumber data yang diperlukan terbagi ke dalam 2 (dua)
tipologi, yakni sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer merupakan data-data yang bersifat utama. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini, terdiri dari 2 (dua) pokok data. Pertama, kebijakan publik yang telah dilakukan oleh Pemkab Jepara terhadap kawasan “waterfront city”, terutama di level implementasi. Data yang diperoleh nantinya dapat memberikan gambaran ataupun informasi mengenai corak kebijakan yang dipilih oleh Pemkab Jepara, beserta alasanalasannya. Tipologi data ini diperoleh secara langsung dari pelbagai institusi pemerintah
yang
terkait
dengan
implementasi
kebijakan,
seperti:
Badan
78
Marsh and Stoker dalam Titik Widayanti, “Politik Subaltern, Studi tentang Politik Identitas Waria di Yogyakarta,” (Skripsi, 2008), h. 13 46
Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kab. Jepara, Dinas Pertamanan Tata Ruang Kota (DPTRK) Kab. Jepara, dan Dinas Bina Marga Kab. Jepara. Kedua, data-data yang berasal dari aktor yang memiliki keterkaitan langsung dengan kebijakan ini. Aktor-aktor yang bersinggungan langsung dengan kebijakan ini, antara lain : pedagang kaki lima (PKL) di kawasan alun-alun Jepara, pedagang di kawasan sempadan kali Wiso (sepanjang alun-alun sampai pasar Ratu Jepara), dan warga yang bertempat tinggal di kawasan sempadan kali Kanal (sepanjang jalan KM Sukri). Berbeda dengan data primer pertama yang bersifat formal, data primer kedua umumnya bersifat informal. Menggali data melalui cara informal biasanya dilakukan dengan berbincang santai dengan para informan. Dengan suasana santai dan kondusif, para informan akan merasa nyaman memberikan jawaban-jawaban yang berkaitan langsung dengan skope penelitian. Lagipula, teknik “snowball sampling” dapat secara optimal dilakukan dengan cara perbincangan yang sifatnya informal. Adapun
sumber
data
sekunder
merupakan
data
yang
sifatnya
pendamping/pendukung. Data-data sekunder umumnya diperoleh dari pelbagai literatur buku, artikel, koran/kliping koran, tinjauan pustaka, dan pelbagai referensi internet.
G.3
TEKNIK PENGUMPULAN DATA Sebagai informasi, peneliti belum mempunyai data awal mengenai kebijakan
publik dari Pemkab Jepara yang berkaitan dengan pengelolaan/pengembangan kawasan sempadan kali Kanal dan kali Wiso, terutama di level implementasi. Meskipun begitu, peneliti tetap berusaha untuk memperoleh informasi dan data-data yang dibutuhkan, baik melalui teknik “snowball sampling ataupun dengan data-data sekunder. Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan data, baik primer ataupun sekunder, sebagaimana penjelasan di sub bab sebelumnya (atau
47
lihat Bagan II). Memperoleh sumber data primer dapat dilakukan dengan cara wawancara mendalam bersama informan-informan kunci (“indepth interview with key informan”) dan observasi. a. Wawancara (“indepth interview”) Wawancara merupakan salah satu teknik utama dan terbaik di dalam mendapatkan sumber data primer. Metode wawancara yang digunakan di dalam penelitian ini adalah wawancara yang bersifat langsung ke dalam objek studi kasus, dan dilakukan secara mendalam. Wawancara ini dilakukan dengan para informan kunci (“key informan”), dan dapat bersifat formal ataupun informal. Supaya data yang diperoleh akurat dan terfokus, alangkah baiknya peneliti menulis poin-poin yang sudah ditentukan sejak awal ketika melakukan wawancara. Jika langkah di atas dilaksanakan, tentu akan mempermudah peneliti dalam melakukan analisis data. b. Observasi Langkah observasi diperlukan untuk mendapatkan data primer, serta mendapatkan realitas yang terjadi di lapangan guna menjawab rumusan masalah di dalam penelitian ini. Observasi sendiri dilakukan dengan mengamati fenomena yang terjadi, menuliskan, serta melakukan wawancara informal dengan para informan; sehingga diperoleh data yang berupa pendapat/opini mengenai fenomena ini. Sedangkan sumber data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka/literatur, serta dokumentasi. Langkah ini dilakukan guna memperkuat sumber data primer. Sumber data sekuder diperoleh dengan dua cara, yaitu : a. Dokumentasi Di dalam metodologi studi kasus, keadaan dan setting dari penelitian didokumentasikan supaya mendapatkan sumber data sekunder sebagai pendukung sumber data primer.
48
b. Studi Pustaka Sumber data primer diperkuat pula dengan data yang bersifat literatur, yakni data yang berasal dari artikel, koran, kliping koran, dan laporan penelitian.
TABEL III PROSES PENGUMPULAN DATA Jenis Data Primer
Informasi yang Diperlukan
Metode
Sumber Data
Pengumpulan Data Data kebijakan publik yang berkaitan dengan topik penelitian, serta tahapantahapan kebijakan publikdari perspektif pemerintah.
Wawancara,
Bappeda Kab. Jepara, Dinas
observasi,
Bina Marga Kab. Jepara, dan
dan dokumentasi.
Dinas
Arsip dan dokumen kebijakan publik yang berkorelasi dengan topik penelitian.
Dokumentasi.
Pertamanan
Tata
Ruang Kota (DPTRK). Bappeda Kab. Jepara, Dinas Bina Marga Kab. Jepara, dan Dinas
Pertamanan
Tata
Ruang Kota (DPTRK). Data yang menggambarkan tahapan kebijakan publik, terutama di level implementasi; dari perspektif aktor non pemerintah.
Wawancara,
Pedagang Kaki Lima (PKL)
observasi,
alun-alun Jepara, Pedagang
dan dokumentasi.
di kawasan tepi/sempadan kali Wiso (sepanjang alunalun
sampai
pasar
Ratu
Jepara), dan warga yang bertempat
tinggal
di
kawasan tepian kali Kanal (sepanjang jalan KM Sukri). Sekunder
Data yang dapat menggambarkan kondisi riil di lapangan, serta tanggapan masyarakat mengenai kebijakan publik ini. Konsep kebijakan publik, terutama di level implementasi; dan konsep “waterfront city development” dari sisi teoritis. Selain itu, peneliti membandingkan model kebijakan publik yang di sinergikan dengan konsep “waterfront city development” di daerah
Wawancara,
Masyarakat.
observasi, dan dokumentasi Studi pustaka.
Perpustakaan.
49
penelitian dengan kota-kota lain.
G.4
TEKNIK ANALISIS DATA Dalam melakukan teknik analisis data, langkah pertama yang harus dilakukan
adalah mengumpulkan hasil wawancara dan observasi. Hasil wawancara yang berupa rekaman kemudian ditranskripkan, guna mendapatkan hasil wawancara yang berbentuk
tulisan.
Berbagai
transkrip
wawancara
kemudian
dikategorikan
berdasarkan asal informan. Transkrip wawancara dan hasil observasi dibagi berdasarkan kategori pertanyaan, dibaca berulang-ulang, dan dianalisis. Hasil dari proses analisis, disejajarkan dengan teori yang sudah ditentukan. Setelah itu, ditarik beberapa kesimpulan dari proses penelitian ini.
H. SISTEMATIKA PENULISAN Penulisan mengenai implementasi kebijakan pengelolaan kawasan tepi/sempadan sungai di Jepara yang dibingkai dalam konsepsi “waterfront city development”, sebagai alternatif kebijakan ekologis di kawasan perkotaan ekologis, dibagi ke dalam 6 (enam) bab, yaitu : Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori sebagai kerangka berpikir dalam penelitian ini, serta metodologi penelitian. Bab Kedua, berisikan selayang pandang dan kondisi demografis Kab. Jepara. Di dalam bab ini akan dipaparkan mengenai kondisi demografis Jepara, Jepara dalam tinjauan etimologi, rekam jejak sejarah Jepara sebagai sebuah bandar perdagangan dan korelasinya dengan sungai-sungai di sekitarnya. Bab Ketiga, memuat tentang kebijakan publik yang pernah dilakukan oleh Pemkab Jepara, khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan kali Wiso dan Kanal. Kebijakan
50
publik tersebut dibagi ke dalam dua periode waktu, yaitu kebijakan pengelolaan kawasan sungai di Jepara pasca kolonial dan pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso dan Kanal pasca reformasi tahun 1998. Selain itu, bab ini hendak memaparkan pula tentang proses inisiasi kebijakan publik pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso dan Kanal, baik sebagai kawasan perdagangan terintegrasi maupun sebagai taman kota. Secara berurutan, penulis akan mendeskripsikan tentang dimensi dari legalitas kebijakan, proses formulasi kebijakan, dan proses pengambilan keputusan (“decision making”). Bab Keempat, memuat tentang dimensi “content of politic”/substansi kebijakan (dalam kerangka implementasi kebijakan model Grindle) di dalam proses implementasi kebijakan pengelolaan kawasan tepi/sempadan sungai di Kab Jepara, baik itu kali Wiso maupun kali Kanal. Bab Kelima, memuat dimensi “context of implementation”/konteks kebijakan (dalam kerangka implementasi kebijakan model Grindle) di dalam implementasi kebijakan pengelolaan kawasan tepi/sempadan sungai di Kab Jepara, baik kali Wiso maupun kali Kanal. Selain itu, di dalam bab ini penulis menyertakan pula hasil elaborasi dari analisis dampak implementasi kebijakan publik, serta hasil dari monitoring dan evaluasi dari implementasi kebijakan publik. Bab ini akan ditutup dengan dengan implementasi kebijakan pengelolaan kawasan sempadan kali Wiso dan kali Kanal dalam bingkai konsepsi “waterfront city development”. Bab Terakhir, berisi penutup. Memuat tentang kesimpulan beserta saran terkait hasil penelitian yang telah dilakukan.
51