BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sebuah pemberitaan di Jakarta menyatakan ha m p i r 40% tindak
kriminalitas dilakukan oleh remaja (Republika, 2 0 0 5 ) . Tindak kriminal yang dilakukan oleh remaja sangat bervariasi. Dimulai dari tawuran antar sekolah, perkelahian dalam sekolah, pencurian, hingga pemerkosaan. Tindak kriminalitas yang terjadi dikalangan remaja dianggap kian meresahkan publik (Republika, 2007). Berdasarkan hasil laporan Bimnas Polda Metro Jaya (duniaedukasi.net, 2010), menyatakan bahwa di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, tawuran sering terjadi. Data yang diperoleh dari Jakarta misalnya, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota Polri, dan tahun berikutnya korban meningkat dengan korban 37 tewas. Pada data yang ada di Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA) untuk tahun 2011, kasus remaja pelaku kejahatan di DKI Jakarta menduduki peringkat pertama dengan 222 kasus (Poskota, 2011). Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa dalam setiap tahunnya terjadi peningkatan jumlah perkelahian pelajar.
1
2
Berikut grafik peningkatan kriminalitas pada remaja di Jakarta. Grafik 1.1 Peningkatan kriminalitas pada remaja
Bukan hanya perkelahian, bahkan beberapa kali pelaku pencurian kendaraan bermotor atau pencurian dengan kekerasan adalah remaja berumur 15 dan 16 tahun yang tingkat ekonominya rendah. Para remaja juga berani mencuri dengan kekerasan. Biasanya remaja pelaku kriminal bertindak di bawah pengaruh alkohol, sehingga lebih agresif dan berani melakukan kejahatan. Selain itu, terdapat Kemungkinan perilaku agresi yang dilakukan oleh remaja disebabkan oleh naiknya harga kebutuhan pokok, rendahnya tingkat pendidikan, dan peningkatan jumlah penduduk (kompas, 2008). Eitzen (dalam Dwiko, 2010) mengatakan tingkat kriminalitas yang tinggi dalam masyarakat kota umumnya berada pada wilayah kota yang miskin, dampak kondisi perumahan dibawah standar, overcrowding, derajat kesehatan rendah dari kondisi serta komposisi penduduk yang tidak stabil. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa (Steinberg, 2002). Masa remaja dapat dibagi menjadi tiga bagian, yakni remaja awal dengan batasan usia 12 sampai dengan 15 tahun, remaja madya dengan batasan usia 15 hingga 18 tahun, dan remaja akhir dengan batasan usia 18 hingga 21 tahun (Monks & Haditono, 2009). Hall (dalam Gunarsa & Gunarsa,
3
2009), menyebut kata remaja sebagai masa storm dan stress yang merupakan masa penuh gejolak emosi dan ketidakseimbangan, sehingga remaja mudah terpengaruh oleh lingkungan. Perilaku remaja dipengaruhi oleh munculnya rasa kecewa, meningkatnya konflik, krisis penyesuaian, angan-angan yang tidak tercapai, hal-hal percintaan, keterasingan dari kehidupan orang dewasa dan norma kehidupan (Gunarsa, 2009). Masa remaja dianggap sebagai suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi, sebagai akibat perubahan fisik dan kelenjar. Tetapi meningginya emosi remaja terutama diakibatkan oleh lingkungan sosial. Remaja mengalami ketidakstabilan dari waktu ke waktu sebagai konsekuensi dari usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial yang baru (Hurlock, 2011). Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari (Santrock, 2003). Masa remaja yang identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, membuat mereka dituntut untuk dapat menyesuaikan diri secara efektif. Bila aktivitas yang dijalani di sekolah (pada umumnya masa remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah) tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya kearah yang tidak positif, misalnya tawuran dan agresi lainnya. Hal ini menunjukkan betapa besar gejolak emosi yang ada dalam diri remaja bila berinteraksi dalam lingkungannya (Mutadin, 2007). Agresi merupakan akar dari kekerasan, dan kekerasan merupakan salah satu subtipe agresi (Krahe, 2005). Agresi dapat dibagi menjadi 4 bagian, diantaranya ialah physical aggression (serangan fisik), verbal aggression (memberikan stimulus yang dapat menyakiti orang lain), anger (perasaan marah), dan hostility (perasaan iri dan ketidak percayaan) (Buss & Perry, 1992).
4
Faktor-faktor yang mempengaruhi agresi ialah faktor sosial seperti adanya provokasi, rangsangan dari berbagai permainan kompetitif, frustasi, kekerasan pada media seperti film dan video games, kekerasan dalam pornografi, faktor kultural, faktor personal seperti gender, narsisme, kepribadian, serta faktor situasional seperti temperatur dan alkohol (Baron & Byrne, 2005). Gessel (dalam Hurlock, 2011) menyebutkan bahwa pada remaja 14 tahun seringkali mudah marah, mudah dirangsang, dan emosinya cenderung meledak, tidak berusaha mengendalikan emosinya. Sebaliknya, remaja 16 tahun tidak mudah meledak dalam emosinya. Sehingga adanya badai dan tekanan berkurang pada periode berakhirnya awal masa remaja. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Pacheco & Berrocal (2004), kecerdasan emosional yang rendah pada remaja dapat mengakibatkan tingkat kesejahteraan dan penyesuaian psikologis yang rendah, penurunan kuantitas dan kualitas hubungan interpersonal, penurunan dalam bidang akademik, dan munculnya perilaku agresi. Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Rubin (dalam Pacheco & Berrocal, 2004) menghasilkan beberapa temuan bahwa siswa yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi memiliki perilaku positif terhadap teman kelasnya dan memiliki perilaku agresi yang rendah. Selain itu, mereka melakukan perilaku prososial terhadap orang-orang disekitarnya. Serta memiliki skor lebih tinggi pada stres, depresi, dan keluhan somatik (Liau dkk, 2003, dalam Pacheco & Berrocal, 2004). Sebuah penelitian di Inggris menyatakan bahwa siswa yang dianggap memiliki kecerdasan emosional yang rendah lebih sering melakukan bolos sekolah serta memiliki probabilitas untuk dikeluarkan dari sekolah (Petrides, Frederickson dan Furnham, 2004, dalam Pacheco & Berrocal, 2004). Liau dkk. (dalam Pacheco & Berrocal, 2004), di sisi lain, menginformasikan bahwa siswa
5
sekolah menengah yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah menunjukkan tingkat agresi yang tinggi dan perilaku yang menyimpang. Penelitian lain yang dilakukan pada remaja di Spanyol oleh Extremera & Fernandez-Berrocal (dalam Pacheco & Berrocal, 2004) menemukan keterkaitan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi. Remaja yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, cenderung menunjukkan perilaku impulsif yang rendah, dan agresi yang rendah. Berdasarkan
temuan, remaja yang
memiliki agresi rendah, lebih mampu membedakan emosi mereka dan memperbaiki emosi negatif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosional yang baik dapat mengurangi agresi, khususnya pada remaja. Oleh sebab itu, apabila emosi berhasil dikelola maka individu akan mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya, individu yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus-menerus bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal yang merugikan diri sendiri. Dengan adanya keterkaitan antara kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada beberapa penelitian sebelumnya, maka peneliti ingin membuktikan dan menjawab pertanyaan apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosional dan agresi. Pada penelitian ini, peneliti memilih subjek remaja di Jakarta, remaja dianggap memiliki banyak masalah sehingga cenderung menimbulkan agresi (Hurlock, 2011).
1.2
Rumusan Masalah Masalah yang diangkat pada penelitian ini ialah apakah terdapat
hubungan antara kecerdasan emosional dan agresi pada remaja di Jakarta?
6
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada remaja di Jakarta.
1.4
Manfaat Penelitian Banyak manfaat yang bisa kita dapatkan dari suatu penelitian ilmiah.
Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian yang dilaksanakan ini adalah: a. Manfaat teoritis: I.
Dapat menambah wawasan di bidang psikologi sosial mengenai hubungan kecerdasan emosional dan perilaku agresi pada remaja terutama pada remaja.
b. Manfaat praktis: I.
Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan bagi para orangtua dan pendidik dalam upaya melatih kecerdasan emosional sejak dini.
II.
Membuat remaja sadar akan pentingnya kecerdasan emosional untuk menghindari atau mengurangi sikap dan perilaku agresi yang dapat merugikan orang lain.