BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Teks merupakan salah satu bentuk nyata dari penggunaan bahasa. Hal
tersebut dinyatakan oleh Widdowson (2009: 4) ketika membedakan teks dari kalimat. Ia menyatakan bahwa sesuatu dapat dianggap sebagai sebuah teks ketika mengandung tujuan komunikasi, sedangkan kalimat hanya merupakan unit abstrak dalam sebuah analisis kebahasaan. Sementara itu, Kridalaksana menambahkan bahwa teks merupakan satuan bahasa terlengkap yang dapat berupa deretan kalimat ataupun kata yang membentuk ujaran (2008: 238). Dengan demikian, sebuah teks dapat terwujud secara lisan maupun tertulis, dan masingmasing membawa pesan untuk dikomunikasikan kepada orang lain, baik pembaca maupun pendengar. Baik tidaknya susunan suatu teks sangat berpengaruh pada sampai tidaknya pesan yang ingin dikomunikasikan kepada orang lain. Penggabungan beberapa kalimat secara serampangan belum tentu dapat membentuk suatu teks yang baik meskipun semua kalimat tersebut memiliki struktur sintaksis yang baik. Terkait dengan hal ini, Halliday (1985: 288) menyatakan bahwa untuk menghasilkan suatu wacana yang baik, dibutuhkan sesuatu yang dapat mengikat semua kalimat pembentuk teks menjadi satu kesatuan yang terpadu. Hal tersebut tidak dapat dilakukan oleh struktur gramatikal semata, namun oleh bantuan unsur non-struktural – kohesi.
1
2
Halliday dan Hasan (1976: 11) juga memiliki pendapat lain yang menguatkan pendapat tersebut, yaitu “Structure does show cohesion, but cohesion depends on something not merely structure. Cohesion is semantic relation between element in a text and other element that is crucial for the interpretation.” Dengan kata lain, unsur sintaksis (struktur kalimat) tidak bisa bekerja sendirian dalam menentukan kohesi suatu teks. Dibutuhkan pula hubungan semantis antar elemen-elemen pembentuk teks untuk mencapai kohesi atau kepaduan tersebut. Selain itu, beberapa ahli bahasa sepakat bahwa kohesi merupakan unsur penting dalam suatu wacana karena bisa menjadi pembeda antara teks dengan kumpulan kalimat-kalimat yang tidak terpadu (Schiffrin, 2001: 55, Halliday dan Hasan, 1976: 2). Dalam kenyataannya, pembentukan kohesi dalam teks memerlukan bantuan dari alat-alat kohesi (cohesive device). Ada banyak hal yang dapat menjadi alat kohesi dalam suatu teks, baik teks lisan maupun tertulis. Halliday dan Hasan dalam bukunya Cohesion in English (1976: 6) menyebutkan ada beberapa jenis alat kohesi yang dapat dipakai oleh seseorang untuk mempertahankan kepaduan dalam teks yang akan disampaikan, yaitu referens, substitusi, ellipsis, perangkaian, dan kohesi leksikal. Selanjutnya, kelima tipe alat kohesi tersebut disempitkan menjadi dua jenis, yaitu (1) kohesi gramatikal yang mencakup referens, substitusi, ellipsis dan perangkaian, serta (2) kohesi leksikal. Contoh penggunaan kohesi dalam suatu teks tertulis dapat dilihat dalam penggalan novel Inferno karya Dan Brown (2013: 20) berikut. (Data 1) Langdon bolted awake, shouting. The room was bright. He was alone. The sharp smell of medicinal alcohol hung in the air, and somewhere a machine pinged in quiet rhythm with his
3
heart. Langdon tried to move his right arm, but a sharp pain restrained him. He looked down and saw an IV tugging at the skin of his forearm. Kata-kata yang dicetak tebal pada contoh di atas merupakan kohesi-kohesi yang ditemukan, sedangkan kata yang dicetak miring dan tebal merupakan acuan dari kohesi-kohesi tersebut. Kutipan novel di atas mengandung dua jenis kohesi, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal yang ditemukan adalah referens, sedangkan kohesi leksikalnya berupa repetisi dan relasi meronimi. Referens yang ditunjukkan oleh penggalan novel tersebut adalah kata he dan him yang digunakan dalam kalimat He was alone; Langdon tried to move his right arm, but a sharp pain restrained him; dan He looked down and saw an IV tugging at the skin of his forearm. Kata ganti-kata ganti tersebut mengacu pada satu kata yang sama yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu Langdon. Sementara itu, kohesi leksikal yang terwujud dalam bentuk repetisi adalah pada kata Langdon dalam kalimat Langdon tried to move his right arm, but a sharp pain restrained him yang merupakan repetisi dari kata Langdon dalam kalimat Langdon bolted awake, shouting. Jenis kohesi leksikal lainnya, yaitu meronimi, ditunjukkan oleh frase-frase his heart, his right arm, dan his forearm yang kesemuanya merupakan bagian dari kata acuannya, yaitu Langdon. Dalam hal ini, frase-frase tersebut dianggap sebagai bagian dari tubuh Langdon. Pada kenyataannya, penggunaan alat-alat kohesi tersebut bervariasi dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Hal ini mengingat setiap bahasa memiliki ciriciri khusus yang sangat mungkin berbeda dari bahasa-bahasa yang lain. Pernyataan tersebut sesuai dengan yang diungkapkan oleh Johnston (dalam Behjat, 2009: 116) bahwa “... people with different languages make use of
4
different grammatical and situational cues to produce cohesion in their sentences.” Penutur bahasa yang berbeda-beda menggunakan unsur-unsur bahasa secara berbeda-beda dalam menciptakan kepaduan dalam kalimat-kalimatnya. Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa satu jenis alat kohesi yang sering digunakan pada bahasa A belum tentu sering digunakan dalam bahasa B, dan sebaliknya. Fakta semacam itu perlu dipahami, khususnya terkait dengan disiplindisiplin ilmu yang melibatkan dua bahasa atau lebih, misalnya ilmu penerjemahan. Penerjemahan merupakan sebuah bidang yang memerlukan pengetahuan yang baik mengenai dua bahasa yang dilibatkan. Pengetahuan yang dimaksud tidak hanya mengenai hal-hal internal bahasa, namun juga eksternal bahasa. Hal ini mengingat pada hakekatnya, penerjemahan adalah “...pengalihan amanat antar budaya dan/atau antar bahasa dalam tataran gramatikal dan leksikal dengan maksud, efek, atau ujud (Kridalaksana,
2008:
181).
yang sedapat mungkin tetap dipertahankan” Dengan
kata
lain,
menerjemahkan
adalah
mengungkapkan suatu pesan dari bahasa sumber ke bahasa target dengan menggunakan gaya dan sifat bahasa target, namun tanpa mengubah pesan asli yang dibawa oleh bahasa sumber. Definisi semacam itu berlaku untuk penerjemahan semua unsur-unsur bahasa, termasuk alat-alat kohesi. Penerjemahan alat-alat kohesi bisa menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi kebanyakan orang, mengingat alat-alat tersebut digunakan secara berbeda pada bahasa yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Shi-xu (2005: 61) bahwa “...discourse is not a unified and universal phenomenon” yaitu
5
wacana, termasuk di dalamnya alat-alat kohesi, bukan merupakan fenomena yang universal dan seragam. Jenis kohesi tertentu yang digunakan dalam bahasa sumber tidak selalu diterjemahkan ke dalam jenis kohesi yang sama pada bahasa target. Sangat mungkin kohesi tersebut dialih-bahasakan menjadi jenis kohesi yang lain. Hal semacam ini tentunya tidak bertujuan untuk mengubah makna pesan yang akan diterjemahkan, melainkan untuk menyesuaikan dengan ciri dan budaya bahasa target. Terkait dengan hal tersebut, diperlukan beberapa strategi dalam menangani perbedaan-perbedaan semacam itu, sehingga teks hasil terjemahan tidak hanya menjadi “hasil terjemahan” yang memiliki tingkat akurasi isi yang baik, namun juga tingkat keluwesan bahasa yang baik pula. Salah satu strategi yang bisa digunakan adalah dengan mengizinkan terjadinya pergeseran dalam penerjemahan (shifts in translation). Pada kenyataannya, fenomena pergeseran dalam penerjemahan bukanlah suatu hal yang asing, khususnya bagi orang-orang yang berkecimpung dalam disiplin penerjemahan. Fenomena ini dapat terjadi dalam banyak bentuk. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh Catford (1965) dan Baker (1992) dalam bukunya masing-masing. Kedua ahli pada bidang terjemahan tersebut mengidentifikasi
dan
mengelompokkan
beberapa
bentuk
pergeseran
penerjemahan ke dalam beberapa jenis. Catford menemukan dua tipe pergeseran, yaitu level shift (pergeseran tingkat) dan category shift (pergeseran kategori), dimana category shift dibagi lagi menjadi empat jenis pergeseran yang lebih spesifik, yaitu structure shift (pergeseran struktur), class shift (pergeseran kelas), unit shift (pergeseran unit), dan intra-system shift (pergeseran intra-sistem).
6
Sementara itu, Baker menambahkan dua jenis pergeseran yang lain, yaitu pergeseran (perubahan) leksikon dan pergeseran dengan addition (penambahan) atau deletion (penghilangan). Beberapa contoh untuk fenomena tersebut juga ditunjukkan dalam novel Inferno karya Dan Brown yang terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dilakukan oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno dan Berliani Mantili Nugrahani. Kata-kata yang dicetak miring dan tebal merupakan kata-kata yang menjadi acuan dari alat kohesi, sedangkan kata-kata yang dicetak tebal merupakan alat-alat kohesi yang ditemukan. (Data 2) A veiled woman. Robert Langdon gazed at her across a river whose churning waters ran red with blood. On the far bank, the woman stood facing him, motionless, solemn, her face hidden by a shroud. In her hand, she gripped a blue tainia cloth, which she now raised in honor of the sea of corpses at her feet. The smell of death hung everywhere. Perempuan bercadar. Robert Langdon menatap perempuan itu dari seberang sungai yang air begolaknya mengalir merah oleh darah. Di bantaran yang jauh, perempuan itu berdiri menatapnya, tanpa bergerak, muram, wajahnya tersembunyi di balik cadar. Tangannya menggenggam secarik kain tainia biru, yang kini diangkatnya untuk menghormati lautan mayat di kakinya. Aroma kematian menggelayut di mana-mana.
Penggalan novel dalam dua bahasa tersebut menunjukkan terjadinya beberapa pergeseran dalam penerjemahan alat-alat kohesi, baik gramatikal maupun leksikal. Pergeseran pertama adalah pergeseran level, yaitu kata her (kata ganti) diterjemahkan menjadi perempuan itu (frase nomina). Dalam penerjemahan tersebut, kategori gamatikal yang dimiliki oleh kata her diterjemahkan menjadi jenis leksikal (perempuan). Pergeseran kedua adalah jenis pergeseran dengan
7
penghilangan, yaitu pada frase the far bank yang hanya diterjemahkan menjadi bantaran yang jauh, bukan di bantaran yang jauh itu. Frase the far bank menjadi kohesi leksikal karena memiliki hubungan meronimi dengan frase a river, sedangkan bantaran yang jauh memiliki jenis hubungan yang sama dengan kata sungai. Selanjutnya, terdapat beberapa contoh pergeseran dengan tipe yang sama, yaitu pergeseran unit saat menerjemahkan her hand dan her feet menjadi tangannya, dan kakinya. Pada contoh-contoh tersebut, pergeseran unit yang terjadi adalah pergeseran frase menjadi kata berimbuhan. Pergeseran yang lain adalah pergeseran dengan penghilangan (deletion) yaitu she dalam kalimat yang berbunyi “In her hand, she gripped a blue tainia cloth…” yang diterjemahkan menjadi “Tangannya menggenggam secarik kain tainia biru...” bukan Di tangannya, ia menggenggam secarik kain tainia biru. Selanjutnya, ditemukan pergeseran struktur dalam penggalan kalimat yang masih sama, yaitu “... which she now raised in honor…” menjadi “… yang kini diangkatnya untuk menghormati...” Dalam penerjemahan tersebut, struktur klausa relatif yang semula aktif menjadi pasif. Pada kenyataannya, pergeseran penerjemahan yang merupakan salah satu strategi dalam penerjemahan ini terjadi bukan tanpa alasan. Secara umum, alasan yang biasanya melandasi dilakukannya strategi tersebut adalah karena adanya perbedaan yang ditemukan dalam kedua bahasa yang bersangkutan, baik perbedaan dalam aspek internal maupun eksternal bahasa. Lebih jauh lagi mengenai perbedaan dalam aspek internal bahasa, terdapat beberapa alasan yang
8
lebih khusus seperti yang terdapat pada contoh dalam penggalan novel sebelumnya. Pada pergeseran pertama dimana kata her diterjemahkan menjadi perempuan itu, alasannya adalah karena kata tersebut ditemukan pada kalimat pertama dalam sebuah paragraf. Dalam Bahasa Inggris, kata ganti dapat digunakan pada kalimat pertama dari sebuah paragraf apabila referen-nya telah dijelaskan sebelumnya dan letaknya tidak jauh. Dalam contoh di atas, referensnya adalah a veiled woman yang disebutkan sebelumnya, meskipun pada paragraf yang berbeda. Akan tetapi, dalam Bahasa Indonesia, menggunakan kata ganti pada kalimat pertama dalam sebuah paragraph merupakan sebuah hal yang tidak lazim, sehingga kata her harus diganti dengan anteseden-nya yaitu perempuan itu. Selanjutnya, perbedaan kaidah dalam menerangkan makna “kepemilikan” pada kedua bahasa dapat menjadi sebuah faktor terjadinya pergeseran unit, yaitu pada frase her hand dan her feet yang diterjemahkan menjadi kata berimbuhan tangannya dan kakinya. Dalam Bahasa Inggris, salah satu cara untuk menerangkan kepemilikan akan suatu nomina adalah dengan menambahkan kata ganti kepemilikan di depan nominanya. Dalam contoh di atas, prosesnya adalah her + hand her hand dan her + feet her feet. Sementara itu, informasi kepemilikan untuk orang ketiga tunggal dalam Bahasa Indonesia dibentuk dengan melekatkan kata ganti kepemilikan –nya pada akhir nominanya, misalnya tangan + –nya tangannya dan kaki + –nya kakinya. Karena perbedaan tersebut, terjadi pergeseran unit dari frase menjadi kata berimbuhan.
9
Pada akhirnya, karya tulis ini akan mendiskusikan tiga hal terkait kohesi leksikal dan penerjemahannya. Pertama, akan dicari kohesi leksikal dalam novel Inferno berbahasa Inggris karya Dan Brown serta dalam novel terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya, perbandingan mengenai kohesi leksikal yang ditemukan dalam karya asli dan terjemahan akan dilakukan guna menemukan fenomena pergeseran dalam penerjemahan yang dilakukan oleh para penerjemah novel tersebut, yaitu Ingrid Dwijani Nimpoeno dan Berliani Mantili Nugrahani. Pada akhirnya, karya ilmiah ini akan menjelaskan faktor-faktor kebahasaan yang melatar-belakangi terjadinya pergeseran tersebut.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, rumusan
masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa saja kohesi leksikal dalam novel Inferno versi asli (Bahasa Inggris) dan versi terjemahan (Bahasa Indonesia)? 2. Apa saja pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal pada novel Inferno Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia? 3. Mengapa terjadi pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal pada novel Inferno Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, tujuan penelitian ini
dijabarkan sebagai berikut:
10
1. Mengidentifikasi penggunaan kohesi leksikal dalam novel Inferno versi asli (Bahasa Inggris) dan terjemahannya (Bahasa Indonesia) 2. Mengidentifikasi pergeseran-pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal pada novel Inferno Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia 3. Menjelaskan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseranpergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal pada novel Inferno Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia
1.4
Manfaat Penelitian Seperti penelitian pada umumnya, dilaksanakannya penelitian inipun
diharapkan untuk membawa manfaat, yaitu: 1.4.1
Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan untuk mampu menambah khasanah dunia
penelitian, khususnya yang terkait dengan dua bidang. Pertama, yang terkait dengan bidang penerjemahan, yaitu dengan memberikan analisis baru mengenai pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal dari tulisan Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia. Kedua, terkait dengan kajian analisis wacana, yaitu dengan memberikan hasil analisis terhadap jenis-jenis kohesi leksikal pada dua tulisan yang sama dalam dua bahasa yang berbeda.
1.4.2
Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan untuk dapat menjadi sebuah rujukan atau
referensi baru untuk penelitian-penelitian selanjutnya, khususnya yang terkait dengan kajian analisis wacana dan pergeseran dalam penerjemahan.
11
1.5
Tinjauan Pustaka Penelitian ini, pada kenyataannya, bukan merupakan penelitian pertama
mengenai kohesi leksikal. Ada banyak penelitian terdahulu yang membahas mengenai topik ini, baik dalam satu bahasa, dalam lebih dari satu bahasa (studi perbandingan), maupun dalam penerjemahannya. Tiga diantaranya adalah yang ditulis oleh Ali Rahimi, Laala Djamila, dan Fatemeh Behjat sebagai berikut.
1.5.1
Lexical Cohesion in English and Persian Texts of Novels oleh Ali Rahimi (2012) Penelitian yang ditulis dalam bentuk jurnal ini diawali oleh dua pertanyaan
penelitian, yaitu (1) Apa perbedaan-perbedaan stilistika antara novel berbahasa Inggris dan berbahasa Persia dalam penggunaan pola-pola leksikal (lexical patterns)? dan (2) Apa perbedaan-perbedaan tekstual antara novel berbahasa Inggris dan berbahasa Persia dalam penggunaan kohesi leksikal? Untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan beberapa sumber data utama, yaitu dua novel berbahasa Persia (The Blind Owl karya Sadigh Hedayat dan The Patient Stone karya sadigh Chubak) serta dua novel berbahasa Inggris (The Old Man and the Sea karya Earnest Hemingway dan The Pearl karya John Steinbeck). Peneliti menganalisis penggunaan alat-alat kohesi pada teks novel dari intisari-intisarinya yang masing-masing terdiri dari 1.000 kata. Hasil analisisnya menunjukkan beberapa perbedaan yang cukup signifikan antara Bahasa Inggris dan Bahasa Persia. Untuk kohesi leksikal, baik kolokasi maupun pengulangan, novel dalam Bahasa Persia menunjukkan penggunaan yang lebih banyak
12
dibandingkan dengan novel berbahasa Inggris. Namun begitu, urutan penggunaan kohesi leksikal pada kedua bahasa tersebut berdasarkan frekuensi kemunculan teryata hampir sama. Pada novel berbahasa Persia, urutannya adalah pengulangan sederhana, substitusi, kolokasi meluas (elaborative collocation), pengulangan kompleks, spesifikasi, ekuivalensi, pengontrasan, generalisasi, kolokasi yang terikat
konteks
(activity-related
collocation),
spesifikasi
sebagian
(co-
specification), dan urutan (ordered-set). Sementara itu, urutan kemunculan leksikal kohesi dalam novel yang berbahasa Inggris adalah pengulangan sederhana, substitusi, spesifikasi dan kolokasi meluas, pengulangan kompleks, pengontrasan, kolokasi yang terikat konteks, spesifikasi sebagian dan ekuivalensi, generalisasi, dan urutan (ordered-set).
1.5.2
Shifts in Translating Lexical Cohesion from Arabic to English oleh Laala Djamila (2010) Penelitian yang merupakan sebuah tesis ini dilakukan untuk mencapai dua
tujuan. Kedua tujuan tersebut adalah (1) menjelaskan frekuensi terjadinya pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Inggris, serta (2) menjelaskan apakah strategi pergeseran yang dilakukan cukup efektif untuk mendapatkan hasil terjemahan yang baik secara semantis. Sementara itu, penelitian ini dilakukan dengan meminta 30 mahasiswa S2 jurusan Ilmu Terapan tahun pertama untuk menerjemahkan sebuah teks yang diambil dari “Aususu Al-tarjama” karangan Az-aldine M. Najib. Tugas ini menjadi tugas akhir perkuliahan sehingga keseriusan mahasiswa dalam menerjemah dapat dijamin. Selain itu, para mahasiswa tidak diperkenankan untuk membuka kamus.
13
Hasil analisis dari penelitian ini menunjukkan bahwa para mahasiswa melakukan banyak pergeseran dalam menerjemahkan kohesi leksikal dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Inggris. Ada empat jenis pergeseran yang ditemukan dalam hasil terjemahan para mahasiswa: pergeseran gramatikal (54.02%), pergeseran semantis (29.81%), pergeseran dengan penghilangan (9.29%), dan pergeseran dengan penambahan (6.88%). Pergeseran gramatikal dapat dibedah lagi menjadi lima jenis pergeseran yang skalanya lebih sempit, yaitu unit (38.67%), level (22.41%), intra-sistem (15.80%), kelas (12.03%), dan struktur (11.09%). Sayangnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa pergeseran yang dilakukan oleh para peserta penelitian tersebut tidak cukup efektif dalam mengungkapkan pesan dari teks dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target (hasil terjemahan).
1.5.3
Cohesive Devices in English Novel and their Corresponding Persian Translations oleh Fatemeh Behjat (2009) Penelitian yang dilaporkan dalam sebuah jurnal ini bertujuan untuk
menjawab dua pertanyaan penelitian, yaitu (1) Apakah jumlah penggunaan kohesi non-struktural dalam novel berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam Bahasa Persia sama? dan (2) Apakah frekuensi kemunculan semua jenis alat kohesi pada kedua tulisan tersebut sama? Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel berbahasa Inggris yang berjudul Lord of the Flies karya W. Golding dan terjemahannya yang dialih bahasakan oleh M. Mansouri. Sementara itu, hipotesis kerja yang diusulkan oleh peneliti untuk kedua pertanyaan penelitian ini adalah hipotesis positif, yaitu terdapat kesamaan dalam jumlah penggunaan kohesi
14
non-struktural dan frekuensi kemunculan semua jenis alat kohesi pada kedua novel tersebut. Pada kenyataannya, hasil dari penelitian yang dianalisis dengan menggunakan aplikasi SPSS ini menunjukkan hasil yang berkebalikan dengan hipotesis yang disusun oleh peneliti. Hasil analisis pertama menunjukkan bahwa perbedaan jumlah penggunaan alat kohesi dalam kedua bahasa cukup signifikan, sehingga hipotesis untuk pertanyaan penelitian pertama dipatahkan. Sebagai tambahan, novel berbahasa Inggris menggunakan alat kohesi yang lebih banyak daripada terjemahannya dalam Bahasa Persia. Novel asli menunjukkan adanya 1339 data, sedangkan novel terjemahan hanya 987. Hasil analisis yang selanjutnya juga mematahkan hipotesis kedua, yaitu dengan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan dalam frekuensi kemunculan jenis-jenis alat kohesi dalam kedua bahasa. Pronomina dan pronomina demonstratif lebih sering muncul dalam Bahasa Inggris daripada dalam Bahasa Persia. Namun, Bahasa Persia lebih banyak menggunakan pengulangan dan sinonim/antonim daripada Bahasa Inggris. Sementara itu, kemunculan hiponim/meronim, kata sambung, dan pasangan bersesuaian (adjacency pairs) dalam kedua bahasa relatif sama.
1.6
Landasan Teori
1.6.1
Kohesi Sebagai sebuah bagian dari analisis wacana, pembahasan mengenai alat
kohesi tidak dapat dilepaskan dari wacana atau teks. Hampir semua teori tentang kohesi dimulai dari sebuah pertanyaan yang sama, yaitu “Apa yang membedakan
15
antara sebuah teks dengan kumpulan kalimat-kalimat yang tidak terpadu?” (Halliday dan Hasan, 1976: 2, Schiffrin, 2001: 55). Dengan kata lain, alat kohesi dapat dikatakan sebagai bagian dari identitas sebuah teks. Terkait dengan pentingnya peranan alat-alat kohesi ini, Halliday dan Hasan menulis sebuah buku yang sering digunakan sebagai rujukan utama pembahasan mengenai alat kohesi, khususnya yang terkait dengan penggunaannya dalam Bahasa Inggris, yaitu Cohesion in English (1976). Dalam bukunya tersebut, mereka menjelaskan bahwa kohesi tidak hanya menyentuh ranah sintaksis, yaitu yang berkaitan dengan struktur kalimat, tetapi juga menyentuh ranah semantis, yaitu yang berhubungan dengan makna. Sebagai tambahan, beberapa ahli bahasa juga mengusulkan beberapa definisi untuk kohesi. Misalnya Halliday (1985: 288) yang mendefinisikannya sebagai alat-alat yang memiliki fungsi yang lebih besar daripada struktur gramatikal karena kohesi dapat menggabungkan unit-unit kebahasaan menjadi sebuah kombinasi yang lebih besar dan terpadu. Widdowson (2009: 45) memiliki definisi yang senada dengan definisi tersebut: kohesi adalah keterpaduan yang terdapat antara unsur-unsur pembentuk suatu wacana, misalnya antara pronomina dengan frase nomina yang mendahuluinya, yaitu yang menjadi antesedennya. Lebih jauh lagi, ia menyebutkan bahwa kepaduan tersebut dapat tercapai dengan adanya cohesive device (alat kohesi). Dengan demikian, dapat ditarik satu benang merah bahwa alat kohesi digunakan untuk mendapatkan kohesi dalam suatu wacana, yaitu kepaduan antar elemen-elemen pembentuk wacana.
16
Pada kenyataannya, beberapa ahli bahasa mengusulkan beragam jenis pengelompokkan untuk kohesi dalam suatu teks. Misalnya Sinclair (2004: 94) yang membaginya ke dalam empat jenis, yaitu reference, prospection, verbal echoes, dan overlays. Reference merupakan suatu bagian dari kalimat yang menggantikan dan mengacu pada bagian lain. Prospection adalah jenis kohesi yang menyuguhkan informasi tambahan yang lebih detail terkait suatu hal yang telah disebutkan sebelumnya. Verbal echoes merupakan pengulangan suatu bagian kalimat pada kalimat lain. Overlay adalah menggunakan unit kebahasaan lain yang acuannya berbeda namun memiliki keterikatan yang erat. Namun demikian, teori mengenai kohesi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang dicetuskan oleh Halliday dan Hasan (1976). Pada teorinya tersebut, kohesi dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu kohesi gramatikal dan leksikal.
1.6.1.1 Kohesi Gramatikal Kohesi gramatikal merupakan alat pembentuk kepaduan wacana yang memanfaatkan elemen-elemen gramatikal dari suatu bahasa. Halliday dan Hasan (1976) membagi jenis kohesi ini ke dalam empat jenis, yaitu referens, substitusi, ellipsis, dan perangkaian.
1.6.1.2.1 Referens Referens merupakan elemen-elemen dari suatu kalimat yang identitasnya hanya dapat diketahui dengan merujuk pada elemen lain (anteseden) dalam kalimat yang sama atau berbeda, baik sebelum maupun sesudahnya. Terkait
17
dengan posisi antesedennya, ada dua jenis referens, yaitu anafora dan katafora. Anafora didefinisikan sebagai kata benda atau kata ganti yang mengacu pada anteseden yang sudah disebutkan sebelumnya (Yule, 1998: 23). Sementara itu, katafora merupakan kebalikan dari anaphora, yaitu kata benda atau kata ganti yang digunakan untuk mengacu pada anteseden yang disebutkan setelahnya. Referens-referens ini biasanya terwujud dalam tiga bentuk, yaitu pronomina (kata ganti orang), demonstratif (kata tunjuk), dan komparatif (kata yang menunjukkan perbandingan).
1.6.1.2.2 Elipsis Elipsis merupakan fenomena dimana terjadi penghilangan suatu unsur dalam frase, klausa, maupun kalimat. Namun, penghilangan tersebut tidak membuat suatu unit kebahasaan menjadi tidak lengkap atau salah secara gramatikal. Hal ini dapat terjadi karena penghilangan tersebut hanya boleh dilakukan apabila unsur yang dihilangkan dapat dirujuk dari unsur yang sama yang telah disebutkan sebelumnya. Dengan demikian, penghilangan suatu unsur tidak akan menimbulkan ketaksaan atau ambiguitas. Sebagai tambahan, elipsis biasanya hanya dapat terjadi pada tiga unsur, yaitu nomina, verba, dan klausa.
1.6.1.2.3 Substitusi Substitusi, nyatanya, hampir mirip dengan elipsis sehingga banyak ahli bahasa yang menjadikan substitusi sebagai bagian dari ellipsis, misalnya McCarthy (1991: 43). Selain itu, substitusi juga dapat terjadi pada tiga jenis unit kebahasaan, yaitu verba, nomina, dan klausa. Yang menjadi perbedaan mendasar
18
diantara keduanya adalah bahwa pada substitusi, elemen yang dihilangkan harus diganti dengan elemen lain yang bisa mewakili elemen yang digantikan. Dalam Bahasa Inggris, contoh substitusi adalah penggunaan kata so (juga), too (juga), ones (yang satunya/ yang itu), dan the same (juga/sama).
1.6.1.2.4 Perangkaian (conjunction) Perangkaian digunakan sebagai cara untuk mencapai kepaduan suatu teks dengan cara menghubungkan dua, atau lebih, unsur pembentuk frase, klausa, kalimat, maupun paragraf. Perangkaian ini berfungsi sebagai pemelihara hubungan semantis antar unsur yang digabungkan. Ada beberapa jenis perangkaian yang membentuk beberapa jenis hubungan semantis antar unsur, misalnya penambahan, pertentangan, sebab-akibat, waktu, dan sebagainya. Sebagai tambahan, Martin dalam Schiffrin dkk (2001: 36) menyebutkan bahwa terdapat sebuah perbedaan pendapat mengenai batasan perangkaian ini. Halliday dan Hasan tidak memasukkan semua jenis konjungsi (kata hubung) sebagai perangkaian. Perangkaian hanya terjadi pada konjungsi antar kalimat (yang menghubungkan dua kalimat atau lebih), sehingga konjungsi dalam kalimat (baik koordinasi maupun subordinasi) tidak termasuk di dalamnya. Di sisi lain, Gutwinski memasukkan semua jenis konjungsi, baik antar maupun dalam kalimat, sebagai perangkaian.
19
1.6.1.2 Kohesi Leksikal Kohesi jenis kedua ini digunakan sebagai sarana pembentuk kepaduan teks dengan memanfaatkan unsur-unsur di luar unsur gramatikal suatu bahasa – unsur leksikal. Berbeda dengan kohesi gramatikal yang batasannya jelas, kohesi leksikal tidak memiliki batasan yang jelas – semua butir leksikon dapat berperan sebagai kohesi leksikal dalam konteks tertentu. Penggunaannya dalam teks adalah dengan menyebutkan beberapa unsur yang saling terkait dalam suatu wacana secara berulang. Dalam bukunya, Halliday dan Hasan menyebutkan dua kelompok besar untuk kohesi leksikal, yaitu pengulangan (reiteration) dan kolokasi.
1.6.1.2.1 Pengulangan (reiteration) Seperti namanya, alat kohesi jenis ini digunakan dengan mengulang beberapa unsur yang memiliki kaitan satu sama lain dalam suatu teks. Hal ini dapat dilakukan dengan menyebut suatu elemen teks, biasanya dalam bentuk kata atau frase, secara berulang-ulang. Halliday dan Hasan (1976: 278-279) membagi kohesi pengulangan menjadi empat jenis. Yang pertama adalah repetisi, yaitu mengulang suatu kata atau bagian dari suatu frase dengan bagian lain yang sama persis. Yang kedua adalah sinonim, yaitu dengan menyebutkan sinonim dari suatu kata yang telah disebutkan sebelumnya. Jenis ketiga adalah superordinat, yaitu dengan menyebutkan kata umum dari kata lain, misalnya buah untuk mengulang jeruk atau apel. Nyatanya, adapula yang berfokus pada kata khususnya daripada kata umumnya sehingga menamai jenis kohesi ini sebagai hiponim (McCarthy, 1991: 65). Yang terakhir adalah istilah umum (general terms / nouns), yaitu pengulangan dengan menyebutkan istilah umum bagi suatu kata, misalnya
20
manusia untuk mengulang bayi laki-laki. Contoh yang diberikan oleh Halliday dan Hasan (1976: 279) adalah sebagai berikut: The ascent The climb I turned to the ascent of the peak.
The task
is perfectly easy.
The thing It Pada contoh tersebut, the ascent pada kalimat kedua merupakan repetisi dari frase the ascent pada kalimat pertama. Frase the climb juga merupakan kohesi leksikal dan jenisnya adalah sinonim, the task adalah superordinat, dan the thing merupakan istilah umum (general word). Keempatnya merupakan contoh-contoh kohesi leksikal. Sementara itu, meskipun juga termasuk sebuah kohesi, kata it tidak termasuk ke dalam jenis kohesi leksikal melainkan gramatikal. Keempat kohesi leksikal tersebut memiliki hubungan yang sama dengan kohesi gramatikal yang berjenis referens. Terkait dengan hal tersebut, Halliday dan Hasan menyebutkan bahwa tidak ada batasan yang jelas antara pengulangan dengan referens. Yang menjadi pembeda adalah kata yang digunakan untuk mengulang atau menggantikan. Jika kata tersebut berasal dari kelas kata tertutup, maka kohesinya termasuk ke dalam jenis gramatikal. Lebih jauh lagi, ada sebuah ciri khusus yang hampir selalu muncul pada penggunaan pengulangan sebagai kohesi leksikal. Ciri khusus tersebut adalah digunakannya artikel takrif pada nominanya. Dalam Bahasa Inggris, penggunaan suatu unit kebahasaan untuk mengulang unit yang lain hampir selalu didahului oleh artikel takrif the (Halliday dan Hasan, 1976: 275). Artikel tersebut digunakan
21
karena unit kebahasaan tersebut memiliki referens yang sudah jelas, yaitu sama dengan referens yang ditunjukkan oleh unit yang diulang.
1.6.1.2.2
Kolokasi
Kohesi leksikal jenis ini digunakan bukan dengan mengulang suatu kata yang memiliki kesamaan makna, akan tetapi dengan menyebutkan kata lain yang memiliki keterikatan (asosiasi) makna dengan kata yang telah disebutkan sebelumnya. Kolokasi mencakup segala jenis kata yang dapat muncul pada suatu konteks yang sama, namun referensnya berbeda. Halliday dan Hasan (1976: 285) menyebutkan setidaknya ada enam jenis kolokasi yang dapat digunakan sebagai kohesi leksikal: (1) antonim, yaitu menyebutkan lawan kata dari kata yang telah disebutkan sebelumnya, (2) complementarity,
yaitu
menyebutkan
kata-kata
yang
maknanya
saling
melengkapi, misalnya pemuda dan pemudi, (3) hubungan part to whole atau meronim, yaitu pengulangan dengan menyebut kata-kata yang menjadi bagian dari suatu entitas yang sama, misalnya menyebut tangan sebagai pengulangan dari tubuh karena tangan merupakan bagian dari tubuh, (4) hubungan part to part atau ko-meronim, yaitu menyebutkan kata-kata yang menjadi bagian dari suatu hal yang sama, misalnya mulut dan dagu yang merupakan bagian dari wajah, (5) kohiponim, yaitu menyebutkan kata-kata yang menjadi bagian dari kata umum (superordinate) yang sama, misalnya apel, jeruk, anggur yang merupakan hiponim dari kata buah, (6) hubungan occurrence of proximity, yaitu beberapa kata yang kemunculannya biasanya bersama-sama, misalnya lelucon dan tertawa.
22
Untuk jenis kolokasi yang terakhir, penelitian ini akan menyebutnya sebagai collocation proper, yaitu istilah yang diberikan oleh Baker untuk definisi yang sama (1992: 203).
1.6.2
Pergeseran dalam Penerjemahan (Translation Shifts) Penjelasan mengenai pergeseran dalam penerjemahan tidak dapat
dipisahkan dari penjelasan mengenai penerjemahan itu sendiri. Beberapa ahli dalam bidang ini mengusulkan beberapa definisi penerjemahan dengan yang hampir mirip satu sama lain. Newmark (1988: 5) mendefinisikan istilah penerjemahan sebagai “rendering the meaning of a text into another language in the way that the author intended the text” yaitu menerjemahkan makna / pesan suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai dengan yang dikehendaki oleh penulisnya. Senada dengan definisi tersebut, Catford (1965: 20) menyebutkan bahwa penerjemahan adalah “the replacement of textual material in one language (SL) by equivalent textual material in another language (TL),” yaitu mengganti materi tekstual dari bahasa satu (bahasa sumber) ke dalam bahasa lain (bahasa target). Dengan demikian, penerjemahan pada dasarnya merupakan suatu kegiatan menyampaikan pesan atau makna yang terkandung dalam teks pada satu bahasa (sumber) ke dalam bahasa lain (target). Pada kenyataannya, ada beberapa jenis penerjemahan yang bisa dilakukan. Beberapa jenis penerjemahan tersebut diungkapkan oleh Jakobson dalam Brower (1966: 232), yaitu penerjemahan intralingual, penerjemahan interlingual, dan penerjemahan intersemiotik. Penerjemahan intralingual, atau rewording, adalah
23
pengejawantahan suatu kata ke dalam kata lain dalam satu bahasa yang sama. Penerjemahan jenis ini biasanya memanfaatkan kata-kata yang bersinonim. Penerjemahan interlingual, atau translation proper, adalah pengejawantahan suatu kata dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Penerjemahan ini biasanya tidak dilakukan secara kata per kata melainkan secara keseluruhan. Penerjemahan intersemiotik, atau transmutation, adalah penerjemahan suatu kata dengan menggunakan tanda-tanda non-kebahasaan. Jenis penerjemahan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah penerjemahan interlingual, khususnya terkait dengan kendalanya, yaitu sulitnya mendapatkan hasil terjemahan yang murni ekuivalen sehingga menyebabkan pergeseran dalam penerjemahannya. Pada kenyataannya, penerjemahan yang melibatkan dua bahasa yang berbeda berarti melibatkan dua lingkungan bahasa yang berbeda. Terkait dengan hal tersebut, Nida dan Taber (1982: 3-5) menyebutkan beberapa sudut pandang baru mengenai bahasa target yang harus dipahami untuk menghasilkan teks terjemahan yang berterima. Pertama, each language has its own genius (setiap bahasa memiliki karakternya masing-masing). Hal ini berarti setiap penerjemah harus menyadari bahwa bahasa yang berbeda mungkin memiliki karakteristik yang berbeda sehingga tidak dapat disamakan. Kedua, to communicate effectively one must respect the genius of each language (setiap orang harus menghormati karakteristik masing-masing bahasa agar dapat berkomunikasi dengan efektif). Ketiga, anything that can be said in one language can be said in another, unless the form is an essential element of the message (segala sesuatu yang dapat diungkapkan dalam satu bahasa berarti dapat diungkapkan dalam bahasa lain,
24
kecuali jika unsurnya merupakan bagian penting dari pesannya). Hal ini berarti jika unsur yang akan diterjemah merupakan suatu hal yang sangat menyifatkan karakter bahasa sumber, misalnya mencerminkan budaya, maka tidak mengapa untuk tidak mengungkapkannya dengan mengikuti kaidah bahasa target. Misalnya adalah penerjemahan kata snow dari bahasa Eskimo ke bahasa lain yang tidak mengenal konsep snow. Keempat, to preserve the content of the message the form must be changed (untuk mempertahankan isi pesannya, bentuk kebahasaannya harus diubah). Dalam hal ini, perubahan yang dilakukan adalah untuk menyesuaikan dengan karakter bahasa target. Perubahan tersebut yang kemudian membuka celah untuk melakukan pergeseran dalam penerjemahan. Pergeseran dalam penerjemahan merupakan sebuah fenomena yang lazim terjadi. Fenomena ini ditandai dengan adanya perubahan-perubahan dalam penerjemahan yang bertujuan untuk menyesuaikan hasil terjemahan dengan ciri dan situasi bahasa target sehingga wacana terjemahan tidak terlihat seperti hasil terjemahan. Hal tersebut senada dengan pendapat Catford (1965: 73) yang menyatakan bahwa translation shift adalah “... departures from formal correspondence in the process of going from the ST to TL.” Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pergeseran dalam penerjemahan adalah segala perubahan yang terjadi pada saat mengalih-bahasakan suatu teks dari bahasa sumber ke bahasa target agar terjemahannya menjadi sebuah teks yang berterima di lingkungan bahasa target. Machali (2013: 35) menambahkan bahwa penerjemahan yang baik tidak hanya mengalih-bahasakan aturan kebahasaan namun juga
25
konvensi dan aturan komunikasi yang berlaku dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target. Terkait dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa ada beberapa jenis pergeseran yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, jika pergeseran tidak dilakukan, teks terjemahan kemungkinan menjadi sebuah teks yang tidak berterima. Baker (1992: 104) memberikan contoh mengenai hal tersebut dari sebuah penerjemahan brosur konferensi dalam Bahasa Inggris ke Bahasa Rusia. Pada teks sumbernya, digunakan kalimat pembuka Papers are invited for the Euralex Third International Congress (Makalah-makalah diundang untuk Kongres Internasional Ketiga Euralex). Sementara itu, versi dalam Bahasa Rusia yang diterjemahkan kembali ke dalam Bahasa Inggris adalah We invite you to take part in the Third International Congress of Euralex (Kami mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam Kongres Internasional Ketiga Euralex). Pada penerjemahan tersebut, pergeseran tidak dapat dihindari karena dalam Bahasa Rusia, ciri sebuah undangan adalah adanya penekanan personalitas. Personalitas tersebut tidak ditemukan pada undangan Bahasa Inggris sehingga ketika diterjemahkan ke Bahasa Rusia harus ditambahi unsur personalitas. Dengan penambahan tersebut, pergeseran telah terjadi. Jika tidak dilakukan pergeseran, hasil terjemahannya menjadi sebuah versi undangan yang tidak berterima bagi pembaca bahasa target. Pada kenyataannya, pergeseran-pergeseran yang biasanya terjadi dalam penerjemahan terwujud dalam berbagai jenis. Catford (1965) mengkaji jenis-jenis pergeseran tersebut dengan berfokus pada ranah gramatikal sehingga hasil-hasil
26
yang ditemukan adalah pergeseran bentuk. Ia menambahkan bahwa pergeseran tersebut terjadi karena tidak adanya formal correspondence antara bahasa sumber dan target. Formal correspondence (kesepadanan) didefinisikan sebagai kesamaan fungsi dari elemen yang sepadan pada dua sistem kebahasaan (1965: 32). Ketika kesepadanan itu tidak ditemukan dalam bahasa yang diterjemahkan, penerjemah harus melakukan sesuatu untuk mencapai textual equivalence antara wacana asli dengan wacana terjemahan. Catford mendefinisikan textual equivalence sebagai bagian dari wacana terjemahan yang dipandang sama (ekuivalen) dengan bagian dari wacana aslinya. Kesamaan tersebut dititik-beratkan pada makna. Dengan demikian, pergeseran dalam penerjemahan dapat diterima selama pergeseran tersebut tidak mengakibatkan hilangnya, atau berubahnya, makna teks asli yang diterjemahkan. Untuk mendapatkan textual equivalence ketika tidak terdapat formal correspondence, Catford mengusulkan dua jenis pergeseran dalam penerjemahan suatu teks. Kedua jenis pergeseran tersebut adalah pergeseran level (level shifts) dan pergeseran kategori (category shift).
1.6.2.1 Level Shift Pergeseran jenis ini adalah ketika satu level kebahasaan diterjemahkan menjadi level kebahasaan lain pada bahasa target namun tanpa mengubah maknanya. Pergeseran jenis ini biasanya melibatkan penanda gramatikal, misalnya pronomina, demonstratif, deiksis, dan sebagainya. Contoh kasusnya adalah ketika pronomina dalam teks bahasa sumber diterjemahkan menjadi
27
sebuah kata (yang menjadi antesedennya) dalam teks bahasa target. Secara garis besar, pergeseran jenis ini ditandai dengan adanya perubahan level gramatikal menjadi leksikal atau sebaliknya.
1.6.2.2 Category Shift Pembahasan mengenai pergeseran kategori selalu dihubungkan dengan fenomena formal correspondence dan unbounded translation. Catford (1965: 7577) menjelaskan bahwa pergeseran ini muncul untuk meraih kesepadanan antara teks sumber dan target sehingga pergeseran diperbolehkan. Pergeseran tersebut hanya dapat terjadi pada penerjemahan yang berjenis unbounded, dimana kesepadanan teks sumber dan target dicapai tanpa mengharuskan adanya kesamaan unit (rank). Frase dalam teks sumber dapat diterjemahkan menjadi klausa dalam teks asli apabila hal tersebut membuat hasil terjemahan menjadi baik dan natural. Lebih jauh lagi, pergeseran ini dibagi menjadi empat jenis pergeseran yang lebih spesifik, yaitu pergeseran struktur (structure shift), kelas (class shift), unit (unit shift), dan intra-sistem (intra-system shift).
1.6.2.2.1
Structure Shift
Structure shift disebabkan oleh perbedaan struktur kalimat, klausa, atau frase antara dua bahasa. Misalnya, suatu unsur yang wajib hadir dalam kalimat bahasa sumber ternyata tidak wajib hadir dalam kalimat bahasa target, atau sebaliknya. Contoh yang sering terjadi adalah penerjemahan yang terjadi pada kalimat dalam bahasa dengan pola SVO dengan SOV. Jika strukturnya tidak bergeser karena mempertahankan struktur kalimat dalam teks sumber, maka
28
terjemahannya akan menjadi sebuah teks target yang tidak normal. Contoh lain adalah penerjemahan frase nomina dari bahasa yang kaidahnya adalah head-final menjadi head-initial.
1.6.2.2.2
Class Shift
Pergeseran ini terjadi karena unit kebahasaan yang menempati suatu kelas (jenis kata) dalam bahasa sumber ternyata sepadan dengan kata yang berasal dari kelas kata lain dalam bahasa target. Contohnya adalah pergeseran nomina menjadi verba, ajektif menjadi nomina, dan lain sebagainya. Catford (1965: 79) memberikan contoh misalnya frase dalam Bahasa Inggris a medical student (seorang mahasiswa kedokteran) yang diterjemahkan menjadi un étudiant en médicine dalam Bahasa Perancis. Dalam contoh tersebut, medical yang merupakan sebuah ajektiva diterjemahkan menjadi médicine yang merupakan sebuah nomina.
1.6.2.2.3
Unit Shift
Pergeseran unit terjadi karena suatu unit dalam bahasa sumber harus diubah menjadi unit lain dalam bahasa target. Pergeseran ini dapat terjadi pada dua arah – menjadi unit yang lebih besar atau lebih kecil. Contoh pergeseran unit yang menjadi lebih besar adalah pergeseran morfem yang menjadi kata, kata menjadi frase, frase menjadi klausa, dan klausa menjadi kalimat. Sementara itu, contoh pergeseran yang menjadi lebih kecil adalah kebalikannya, yaitu kalimat
29
menjadi klausa, klausa menjadi frase, frase menjadi kata, dan kata menjadi morfem.
1.6.2.2.4
Intra-System Shift
Berbeda dengan tiga jenis pergeseran kategori sebelumnya yang terjadi karena apa yang ditemukan pada teks sumber tidak ditemukan dalam teks target, pergeseran ini dapat terjadi meskipun sistem yang sama terdapat pada teks sumber dan target. Pergeseran ini terjadi karena kebutuhan untuk menyesuaikan dengan situasi dan ciri bahasa target terlepas dari adanya pilihan untuk menggunakan sistem yang sama. Misalnya, kedua bahasa yang terlibat sama-sama memiliki sistem jumlah yang sama (ada tunggal dan jamak), namun jumlah tunggal dalam bahasa sumber diterjemahkan ke dalam bentuk jamak dalam bahasa target karena hal tersebut lebih lazim sehingga hasil terjemahannya menjadi lebih natural. Pada kenyataannya, teori yang diusulkan oleh Catford bukan merupakan satu-satunya teori mengenai pergeseran dalam penerjemahan. Baker (1992) juga membahas mengenai hal tersebut, namun dari sudut pandang yang berbeda, yaitu pergeseran butir-butir leksikal yang dilakukan tanpa bertujuan untuk mengubah konten pesan yang dialih-bahasakan. Meskipun sudut pandang yang digunakan berbeda, Baker memulai kajiannya tentang pergeseran dalam penerjemahan seperti Catford – dari tidak adanya equivalence (kesepadanan) antara bahasa sumber dengan bahasa target. Ketidaksepadanan yang dikaji disebabkan oleh berbagai faktor, misalnya karena ditemukan konsep yang mengandung unsur budaya (culture-specific concepts), bahasa target tidak memiliki leksikon yang
30
menggambarkan konsep dari bahasa sumber, leksikon bahasa sumber merupakan sebuah konsep yang rumit secara semantis, bahasa target dan sumber memiliki makna yang berbeda untuk sebuah leksikon, bahasa target tidak memiliki superordinat atau hiponim yang cukup, dsb. Setelah
mengidentifikasi
penyebab-penyebab
munculnya
ketidaksepadanan antara bahasa target dan bahasa sumber, Baker mengusulkan beberapa strategi pergeseran dalam penerjemahan. Secara garis besar, strategistrategi tersebut dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu perubahan leksikon serta pergeseran dengan penambahan (addition) dan penghilangan (deletion).
1.6.2.3 Perubahan Leksikon Pergeseran jenis ini dapat terwujud dalam berbagai bentuk. Namun begitu, hanya terdapat satu alasan yang menyebabkan terjadinya bentuk-bentuk tersebut, yaitu karena ketersediaan kata dalam bahasa target tidak sama, bahkan sangat berbeda, dengan bahasa sumber. Perwujudan bentuk-bentuk tersebut misalnya dalam penerjemahan yang melibatkan superordinat atau hiponim, penerjemahan dengan kata yang maknanya lebih netral, penggantian kata-kata yang mengandung unsur budaya (cultural substitution), serta penerjemahan dengan parafrase. Salah satu contoh konkretnya adalah ketika bahasa sumber hanya memiliki satu kata untuk suatu benda, sedangkan bahasa target memiliki banyak kata untuk benda tersebut, atau sebaliknya. Misalnya, Bahasa Indonesia memiliki kata beras, padi, dan nasi, sedangkan Bahasa Inggris hanya memiliki kata rice untuk ketiga kata tersebut. Dengan demikian, ketika menerjemahkan kata-kata tersebut (beras, padi,
31
dan nasi) ke dalam Bahasa Inggris, semuanya diterjemahkan menjadi rice yang bisa dimasukkan ke dalam contoh terjadinya cultural substitution.
1.6.2.4 Pergeseran dengan Penambahan atau Penghilangan Perbedaan yang terdapat dalam dua bahasa sering menuntut para penerjemah untuk melakukan penambahan atau penghilangan suatu unsur. Meskipun terkesan akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap makna, pergeseran jenis ini nyatanya tidak membahayakan keaslian makna teks yang diterjemah. Hal ini dikarenakan pergeserannya hanya dilakukan pada bagianbagian yang bukan inti. Sebagai tambahan, pergeseran dengan cara ini justru dilakukan untuk mempertahankan makna asli dan sekaligus menyesuaikan dengan situasi bahasa target. Pergeseran dengan penambahan biasanya menyebabkan naiknya tingkat pengulangan suatu kata. Sementara itu, penghilangan suatu unsur biasanya dilakukan karena unsur yang dihilangkan dirasa tidak krusial pada teks bahasa target. Penghilangan dan penambahan dapat terjadi pada konstituen yang terpisah maupun yang sama. Hal ini terkait dengan pendapat yang disampaikan oleh Hervey dan Higgins dalam Armstrong (2005: 46) tentang loss and compensation, yaitu tugas utama dari penerjemah adalah meminimalisasi loss sehingga jika hal tersebut terjadi, harus ada compensation yang dilakukan. Dengan kata lain, penghilangan suatu unsur dapat dianggap sebagai suatu loss, sedangkan strategi penambahan dapat dikatakan sebagai compensation-nya. Pendapat yang senada juga disampaikan oleh Bassnett (1980: 38) dengan menggunakan istilah yang
32
berbeda. Dalam bukunya, Bassnett menggunakan istilah loss and gain untuk konsep yang sama. Terkait dengan penghilangan yang menjadi salah satu jenis pergeseran ini, ada beberapa jenis penghilangan yang dibedakan berdasarkan dampaknya pada makna teksnya. Hal ini seperti yang ditemukan oleh Al-Masri (2004: 78) dalam penelitiannya, dimana dia mengidentifikasi tiga jenis penghilangan: tolerable losses, serious losses dan complete losses. Yang dimaksud dengan tolerable losses adalah penghilangan yang tidak menyebabkan terjadinya perubahan makna dalam teks dan biasanya penghilangan ini terwujud dalam modifikasi (modification) atau pelesapan bagian-bagian tertentu dari suatu teks. Serious losses adalah penghilangan yang menyebabkan perubahan besar pada makna dan biasanya melibatkan penghilangan unsur-unsur pragmatik, yaitu unsur-unsur non-verbal yang hadir untuk melengkapi unsur-unsur verbalnya. Sementara itu, complete losses adalah penghilangan suatu unit verbal secara penuh. Penghilangan ini bisa termasuk ke dalam penghilangan yang dapat ditolerir maupun serius.
1.7
Metode Penelitian Penelitian ini pada dasarnya merupakan sebuah penelitian deskriptif
kualitatif yang mencoba untuk memerikan data bahasa dengan apa adanya. Bungin
(2007:
24)
mengatakan
bahwa
penelitian
deskriptif
kualitatif
menggunakan model deduktif, yaitu menempatkan teori sebelum pengumpulan dan analisis data.
33
Sumber data dari penelitian ini adalah dua buah novel dengan judul yang sama, yaitu Inferno karya Dan Brown. Novel pertama adalah versi aslinya dalam Bahasa Inggris dan yang kedua adalah terjemahannya dalam Bahasa Indonesia yang dilakukan oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno dan Berliani Mantili Nugrahani. Obyek dari penelitian ini terdiri dari beberapa unit kebahasaan, yaitu morfem, kata, dan frase yang menjadi kohesi leksikal dari teks novel. Dengan demikian, data penelitiannya adalah klausa-klausa atau kalimat-kalimat dari novel yang bersangkutan yang mengandung unit-unit kebahasaan yang menjadi obyek penelitian tersebut. Namun, tidak semua bagian novel digunakan sebagai sumber data penelitian; hanya 5 bab pertama dari masing-masing novel yang digunakan. Hal ini bertujuan untuk menghindari kejenuhan data. Dalam pelaksanaannya, penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan: pengumpulan data, analisis, dan penyajian hasil analisis. Sebagai tambahan, masing-masing tahapan menggunakan metode dan teknik tertentu.
1.7.1
Penyediaan Data Metode dan teknik yang tepat sangat diperlukan dalam tahapan
penyediaan data agar data yang terkumpul dapat benar-benar menjawab tujuan penelitian. Data penelitian ini dikumpulkan dengan melakukan kajian pustaka, khususnya terhadap dua novel yang menjadi sumber data – novel Inferno asli berbahasa Inggris dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Selanjutnya, datadata yang terkumpul dimasukkan ke dalam tabel data. Penelitian ini menggunakan tiga tabel data yang berbeda. Tabel pertama adalah untuk kohesi leksikal dalam
34
Bahasa Inggris dan tabel kedua untuk kohesi leksikal dalam Bahasa Indonesia. Masing-masing tabel tersebut berisi 68 data. Sementara itu, tabel ketiga adalah tabel pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal yang berisi 50 data. Berikut adalah bentuk-bentuk tabel data tersebut. Tabel 1. Penggunaan Kohesi Leksikal pada Novel Inferno (Bahasa Inggris) KOHESI LEKSIKAL No
Pengulangan
KALIMAT RE
1.
A veiled woman. Robert Langdon gazed at her across a river whose churning waters ran red with blood. On the far bank, the woman stood facing him, motionless, solemn, her face hidden by a shroud. In her hand, she gripped a blue tainia cloth, which she now raised in honor of the sea of corpses at her feet. The smell of death hung everywhere.
SI
SO
Kolokasi IU
√
ME
AN
CO
KH
KM
CP
√ √√
√
√
Tabel 2. Penggunaan Kohesi Leksikal pada Novel Inferno (Terjemahan Bahasa Indonesia) KOHESI LEKSIKAL No
Pengulangan
KALIMAT RE
1.
Perempuan bercadar. Robert Langdon menatap perempuan itu dari seberang sungai yang air begolaknya mengalir merah oleh darah. Di bantaran yang jauh, perempuan itu berdiri menatapnya, tanpa bergerak, muram, wajahnya tersembunyi di balik cadar. Tangannya menggenggam secarik kain tainia biru, yang kini diangkatnya untuk menghormati lautan mayat di kakinya. Aroma kematian menggelayut di manamana.
SI
SO
Kolokasi IU
ME
AN
CO
KH
KM
CP
√ √ √ √ √ √ √
35
Keterangan: RE : Repetisi
AN
: Antonim
SI
: Sinonim
CO
: Complementarity
SO : Superordinat
KH
: Ko-Hiponim
IU
KM
: Ko-Meronim
CP
: Collocation Proper
: Istilah Umum
ME : Meronim
Tabel 3. Pergeseran dalam Penerjemahan Kohesi Leksikal dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia PERGESERAN PENERJEMAHAN No
KALIMAT ASLI DAN
Makna
TERJEMAHAN
CTS PN
1.
Bentuk
Robert Langdon gazed at her across a river whose churning waters ran red with blood. On the far bank, the woman stood facing him, motionless, solemn, her face hidden by a shroud. In her hand, she gripped a blue tainia cloth, which she now raised in honor of the sea of corpses at her feet. The smell of death hung everywhere. Robert Langdon menatap perempuan itu dari seberang sungai yang air begolaknya mengalir merah oleh darah. Di bantaran yang jauh, perempuan itu berdiri menatapnya, tanpa bergerak, muram, wajahnya tersembunyi di balik cadar. Tangannya menggenggam secarik kain tainia biru, yang kini diangkatnya untuk menghormati lautan mayat di kakinya. Aroma kematian menggelayut di manamana.
PH
PL
LS
STS
√
√
CS
IS
US
√
√ √
√ √ √
√
36
Keterangan: PN : Penambahan
STS
: Pergeseran Struktur
PH : Penghilangan
CS
: Pergeseran Kelas
PL
: Perubahan leksikon
IS
: Pergeseran Intra-Sistem
LS
: Pergeseran Level
US
: Pergeseran Unit
CTS : Pergeseran Kategori
1.7.2
Analisis Data Setelah tahap penyediaan data selesai, tahapan selanjutnya adalah analisis
data. Penelitian ini menggunakan dua metode analisis data yang disebutkan oleh Sudaryanto, yaitu metode padan dan agih (1993: 13). Metode padan didefinisikan sebagai metode analisis yang alat penentunya tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan. Berdasarkan alat penentunya, ada dua jenis metode padan yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu metode padan referensial dan translasional. Metode padan referensial adalah metode padan dengan alat penentu yang berupa referent, yaitu sesuatu yang ditujuk oleh bahasa. Dalam penelitian ini, metode padan referensial digunakan untuk menjawab pertanyaan pertama, yaitu menganalisis kemunculan kohesi leksikal dalam novel Inferno, khususnya dalam membuktikan apakah suatu unit kebahasaan merupakan kohesi leksikal atau bukan. Jika beberapa unit kebahasaan memiliki referent yang sama, maka unitunit tersebut menjadi kohesi leksikal dan sebaliknya. Metode padan yang kedua adalah padan translasional, yaitu metode padan yang alat penentunya adalah
37
bahasa lain. Metode ini digunakan untuk menjawab pertanyaan kedua, yaitu dalam menganalisis pergeseran penerjemahan kohesi leksikal dalam Bahasa Indonesia. Alat penentu yang digunakan dalam menentukan apakah suatu penerjemahan mengalami pergeseran atau tidak adalah Bahasa Inggris sebagai bahasa sumbernya. Metode lain yang digunakan adalah metode agih dengan alat penentu yang berasal dari bahasa yang bersangkutan. Metode ini digunakan dalam menjawab pertanyaan penelitian ketiga yang terkait dengan faktor-faktor penyebab pergeseran. Teknik dasar yang digunakan dari metode ini adalah teknik bagi unsur langsung, yaitu membagi satuan lingual menjadi beberapa unsur dimana masingmasing unsur dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Selanjutnya, digunakan teknik lesap dan teknik ubah ujud sebagai teknik lanjutan dalam menganalisis data. Teknik lesap digunakan dalam membuktikan apakah penghilangan dan penambahan suatu unit kebahasaan yang menyebabkan terjadinya pergeseran dalam penerjemahan merupakan suatu keharusan atau bukan. Teknik ubah ujud digunakan untuk menentukan apakah suatu pergeseran struktur adalah suatu hal yang tidak bisa dihindari atau bukan.
1.7.3
Penyajian Hasil Analisis Penyajian hasil analisis dilakukan dengan menggunakan dua metode, yaitu
metode formal dan informal. Sudaryanto menjelaskan bahwa metode informal dilakukan dengan menggunakan kata-kata biasa, sedangkan metode formal
38
menggunakan beberapa lambang dan tanda (1993: 145). Dengan kata lain, metode informal adalah penyajian verbal, sedangkan metode formal adalah visual. Alat bantu visual dalam penelitian ini terwujud dalam bentuk tabel hasil analisis data dan beberapa lambang, misalnya +,, dan {}.
1.8
Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini terdiri atas lima bab dengan sistematika sebagai
berikut: Bab I
: Pendahuluan
Bab II : Kohesi leksikal dalam novel Inferno versi asli (Bahasa Inggris) dan versi terjemahan (Bahasa Indonesia) Bab III : Pergeseran penerjemahan kohesil leksikal dalam novel Inferno Bahasa Inggris ke Bahasa Indonesia Bab IV : Faktor-faktor terjadinya pergeseran dalam penerjemahan kohesi leksikal pada novel Inferno Bab V : Kesimpulan dan saran