BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Era globlalisasi adalah sebuah era yang dianggap sebagai era perubahan. Di era ini segala sektor kehidupan mengalami perubahan. Perubahan ini ada yang bersifat positif dan ada juga yang bersifat negatif. Perubahan yang bersifat positif misalnya terlihat pada bidang politik dan ekonomi, dengan terbukanya era globalisasi maka terbuka juga kesempatan untuk melakukan kerjasama antarnegara1 dengan mudah karena di era ini kemajuan berpikir secara global sangat diutamakan. Namun disamping perubahan yang bersifat positif tersebut ada juga perubahan yang bersifat negatif, contohnya dalam bidang sosial-budaya. Dalam bidang sosial perubahan terlihat pada masyarakatnya yang mulai bersifat individualis dan mementingkan diri sendiri. Sedangkan dalam bidang budaya, dampak negatif terlihat dengan menjamurnya budaya-budaya asing di negara kita. Kemajuan di bidang teknologi dan informasi pun ikut ambil andil dalam penyebaran dampak negatif dari era globalisasi ini. Majunya teknologi dan mudahnya pengaksesan informasi (internet) membuat segala tatanan sosial menjadi kacau. Berbagai macam upaya dilakukan untuk menyaring dan mengontrol gejala-gejala sosial ini, salah satunya melalui sastra.
1
Melalui http://www.icalcell.com/2012/02/dampak-globalisasi-dalam-banyak-bidang.html?m=1 diakses pada 23 november 2014 pukul 00.31 WIB
1
Sastra pada dasarnya memilki lima fungsi dasar2, yaitu: (1) fungsi rekreatif atau sebagai hiburan, (2) fungsi didaktif atau sebagai sarana edukasi, (3) fungsi estetis atau sebagai sesuatu yang memiliki keindahan, (4) fungsi moralitas atau bermoral tinggi, dan (5) fungsi religius. Dengan adanya fungsi-fungsi tersebut, harapannya sastra tidak hanya dapat memberikan hiburan dan menggambarkan keindahan saja tetapi juga sebagai sarana untuk mempelajari kehidupan dengan baik karena karya sastra menggambarkan kehidupan-kehidupan nyata. Dengan adanya fungsi edukasi ini, tentu saja menjadikan karya sastra sebagai karya yang bermoral tinggi dan dapat dipastikan orang-orang yang membacanya akan memiliki moral yang tinggi pula. Tidak lupa, sebagai seseorang yang mengakui Tuhan, karya sastra pun menggambarkan Ketuhanan dan nilai-nilai agama. Bagi penikmat setia sastra, tak jarang karya-karya tersebut mereka jadikan pedoman karena sastra yang baik mengajarkan nilai-nilai luhur dan moralitas yang tinggi. Sastra juga sering disebut sebagai produk budaya. Maksudnya sastra seringkali dijadikan alat untuk merekam sejarah serta memuat fenomenafenomena sosial yang terjadi dalam satu dekade bahkan abad di suatu negara. Misalnya
di
Prancis
pada
abad
ke-17
kebanyakan
karya
sastranya
menggambarkan kehidupan kerajaan dan gereja karena pada abad itu ketimpangan sosial sangat terasa dan kebanyakan alasannya disebabkan oleh kedua belah pihak tersebut. Sedangkan di Indonesia, sekitar tahun 1980-an terdapat tetralogi Bumi Manusia yang ditulis oleh Pramoedya Ananta. Tetralogi ini menggambarkan sejarah mengenai kehidupan masyarakat Indonesia ketika masih dijajah oleh 2
http://sastranesia.com/5-fungsi-dasar-dalam-sastra/ (diakses pada 15 november 2014 pukul 16.38 WIB)
2
Belanda. Walaupun sedikit terlambat, namun tetralogi ini memuat dengan jelas kehidupan masyarakat Indonesia yang dijadikan masyarakat kelas ketiga di negaranya sendiri oleh bangsa Belanda. Tidak hanya sebagai produk budaya yang merekam sejarah, karya sastra juga dapat dijadikan alat untuk menanamkan nilai-nilai terhadap anak. Penanaman nilai-nilai ini biasanya menggunakan jenis sastra yang disebut dengan sastra anak. Sastra anak merupakan jenis sastra yang paling baru dan pendefinisiaannya pun masih mengalami banyak perdebatan. Dalam perkembangannya, sastra anak awalnya muncul dari sastra dewasa3 yang kemudian diterjemahkan bahkan ditulis ulang dengan tujuan agar anak-anak dapat membacanya. Salah satu jenis sastra dewasa yang mempunyai nilai-nilai yag berguna untuk anak-anak adalah roman berjudul Ét si c’était vrai yang ditulis oleh Marc Levy pada tahun 2000. Marc Levy adalah seorang penulis asal Prancis yang lahir pada 16 oktober 1961 di Boullogne-Billancourt di Région Parisienne, Prancis4. Pada usia 16 tahun, ia bergabung dengan Red Cross (Palang Merah) dan menghabiskan waktu enam tahun disana. Selagi bergabung dengan Red Cross, ia menyelesaikan studinya di Universitas Dauphin di Paris dengan jurusan Manajemen dan Pemrograman komputer. Setelah lulus ia membuka perusahaan pemrograman grafis komputer yang berpusat di Prancis dan Amerika serikat. Namun hanya bertahan selama enam tahun. Setelah memutuskan untuk berhenti, ia kembali ke Prancis dan memulai usaha baru lagi bersama saudara iparnya (saudara laki-laki dari istri 3
Wening udasmoro, dkk. 2012. Sastra anak dan pendidikan karakter. Program Studi Sastra Prancis: Universitas Gadjah Mada. hl. 22 4 http://www.toslog.com/marclevy/biographie (diakses pada 15 november 2014 pukul 12.21 WIB)
3
pertamanya) yang berfokus pada bidang desain dan perencanaan kantor dan meraih sukses. Usahanya ini kemudian menjadi salah satu firma arsitektur desain kantor yang diperhitungkan di Prancis. Pada usia 37 tahun, ia menulis sebuah cerita dengan harapan agar anak laki-lakinya dapat tumbuh besar seperti laki-laki yang terdapat dalam novel tersebut. Pada tahun 1999, saudarinya (seorang penulis naskah yang telah menjadi produser film) menyarankan agar ia mengirimkan naskah novelnya ke Edition Robert Lafont dan pada saat itu juga naskah tersebut disetuji untuk dipublikasikan dengan judul Ét si c’était vrai dan mendapatkan penghargaan Prix Goya du prémière roman yang diberikan kepada penulis terbaik pada novel pertama mereka. Setelah novel Ét si c’était vrai diterbitkan, Marc levy mulai mencurahkan waktu sepenuhnya untuk menulis. Semua novel-novel meraih puncak penjualan terbaik di Prancis dan di seluruh dunia. Beberapa negara yang menempatkan novelnya dalam daftar penjualan terbaik antara lain Jerman, Spanyol, Italia, Rusia, dan juga Taiwan. Hingga saat ini, Marc levy telah menerbitkan total 15 novel. Novel-novel tersebut antara lain: Ét si c'était vrai... (2000), Où es-tu ? (2001), Sept jours pour une éternité... (2003), La Prochaine Fois (2004), Vous revoir (2005) merupakan kelanjutan dari Ét si c'était vrai..., Mes amis mes amours (2006), Les Enfants de la liberté (2007),Toutes ces choses qu'on ne s'est pas dites (2008), Le Premier Jour (2009), La Première Nuit (2009), Le Voleur d'ombres (2010), L'Étrange Voyage de monsieur Daldry (2011), Si c'était à refaire (2012),
4
Un sentiment plus fort que la peur (2013), dan yang terbaru Une autre idée du bonheur (dirilis pada April 2014). Roman pertamanya yang berjudul Ét si c’était vrai bercerita tentang seorang perempuan muda bernama Lauren yang sedang menjalani masa koas5 di Memorial Hospital, San Francisco. Cerita dimulai ketika Lauren mengalami kecelakaan parah yang mengakibatkan koma. Selama enam bulan, Lauren tak sadarkan diri dan malah mengalami suatu fenomena aneh yaitu rohnya berpisah dengan jasadnya namun tidak bisa kembali. Selama masa “pemisahan” diri dengan jasadnya, Lauren tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun karena tidak ada yang bisa melihat bahkan mendengar dirinya, kecuali Arthur. Arthur adalah seorang arsitek yang menyewa apartemen Lauren. Awalnya ia tidak merasakan apapun hingga suatu hari ia menemukan roh Lauren sedang duduk di dalam kamar mandinya. Arthur yang kaget mengira bahwa ini hanya sebuah lelucon dan mengusir Lauren, namun setelah melihat jasad Lauren yang terbaring di rumah sakit ia pun percaya kepada Lauren dan bersedia membantunya untuk dapat kembali bersatu dengan jasadnya. Novel bergenre komedi romantis ini becerita tentang optimisme dan perjuangan Arhtur untuk membawa Lauren kembali ke jasadnya. Segala upaya ia coba untuk mengembalikan Lauren, termasuk berbicara dengan Mme. Kline (ibu
5
Koas atau Co-ass (asisten dokter) adalah sebutan bagi mahasiswa sarjana kedokteran yang sedang menuntut ilmu (magang) di rumah sakit. (melalui http://www.jurusankuliah.net/2013/03/review-jurusan-pendidikan-dokter.html?m=1 diakses pada 25 november 2014 pukul 23.35 WIB)
5
Lauren) ketika ia menyetujui proses euthanasia6 (proses penghilangan nyawa pasien atas ijin dari keluarga) putrinya dan menculik jasad Lauren ketika perbincangannya dengan Mme. Kline mengalami jalan buntu atau tidak berhasil sama sekali. Walaupun novel ini umumnya bercerita tentang hubungan antara Arthur dan Lauren dan juga permasalahan keluarga yang dimiliki oleh kedua tokoh utama tesebut, namun terdapat suatu bagian yang juga menarik untuk diteliti yaitu penenaman nilai-nilai dari orang tua kepada anaknya. Novel yang diperuntukan kepada orang dewasa ini menggambarkan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua kepada anaknya. Salah satu bentuk penanaman nilai orang tua terdapat pada kutipan narasi dalam novel, sbb: « Rien n’est impossible, seules les limites de nos esprit définissent certaines choses comme incomcevables. Il faut souvant résoudre plusieurs equations pour admenttre un nouveau raisonnement. C’est une question de temps et des limites de nos cerveaux. Greffer un c ur, faire voler un avion de trois cent cinquante tonnes, marcher sur la Lune a dû demander beaucoup de travail, ais surtout de l’imagination. Alors quand nos savants si savants declarant impossible de greffer un cerveau, de voyager à la vitesse de la lumière, de cloner un être humain, je me dis que finalement ils n’ont rien appris de leurs propres limites, celles d’envisager que tout est possible et que c’est une question de temps, le temps de comprendre comment c’est possible. » (pg. 204) « Tak ada satu pun yang mustahil. Hanya keterbatasan akal kitalah yang menjadikan hal-hal tertentu tidak dapat dipahami. Kita seringkali perlu untuk menyingkirkan prasangka-prasangka untuk menerima gagasan baru. Itu masalah waktu dan keterbatasan otak kita. Cangkok jantung, pesawat terbang seberat lima puluh ton, ekspedisi ke bulan—semua itu menuntut kerja berat, tentu saja, tapi terutama imajinasi. Jadi ketika ilmuwan-ilmuwan yang cerdas cendikia menyatkan mustahil melakukan cangkok otak, terbang dengan kecepatan cahaya, membuat klon manusia, menurutku mereka tidak pernah belajar dari keterbatasan mereka sendiri, yaitu keterbatasan membayangkan bahwa segalanya mungkin dan bahwa itu hanya soal waktu, waktu untuk menyadari bagaimana hal itu bisa saja terjadi. » (hlm. 204)
6
Euthanasia 1. Kematian yang mudah atau tidak menyakitkan. 2. Pengakhiran hidup atas dasar belas kasihan; mengakhiri kehidupan seseorang secara sengaja karena menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan. (melalui Kamus kedokteran Dorland (ed. 25). 1998. Jakarta: Penerbit buku kedokteran EGC.
6
Kutipan diatas merupakan petikan dari ingatan Lauren ketika ayahnya menasihatinya sewaktu kecil. Pada kutipan narasi dari novel tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa Ayah Lauren sedang menanamkan suatu nilai terhadap Lauren. Nilai tersebut merupakan nilai pengarahan diri atau nilai yang mengajarkan pemikiran dan pemilihan tindakan yang independen, serta penciptaan, dan juga eksplorasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia7, nilai adalah: ni·lai n 1 harga (dl arti taksiran harga): sebenarnya tidak ada ukuran yg pasti untuk menentukan -- intan; 2 harga uang (dibandingkan dng harga uang yg lain): -- rupiah terus menurun; 3 angka kepandaian; biji; ponten: rata-rata -- mata pelajarannya adalah sembilan; sekurang-kurangnya -- tujuh untuk ilmu pasti baru dapat diterima di akademi teknik itu; 4 banyak sedikitnya isi; kadar; mutu: -- gizi berbagai jeruk hampir sama; suatu karya sastra yg tinggi -- nya; 5 sifat-sifat (hal-hal) yg penting atau berguna bagi kemanusiaan: -- tradisional yg dapat mendorong pembangunan perlu kita kembangkan; 6 sesuatu yg menyempurnakan manusia sesuai dng hakikatnya: etika dan -- berhubungan erat;
Sedangkan dalam kamus berbahasa prancis larousse8, nilai atau une valeur didefinisikan sebagai berikut: (1) Ce que vaut un objet susceptible d'être échangé, vendu, et, en particulier, son prix en argent : Terrain qui a doublé sa valeur, (2) Équivalent d'une quantité : Ajoutez la valeur de deux cuillerées de rhum, (3) Mesure conventionnelle attachée à quelque chose, à un symbole, à un signe : La valeur des cartes à jouer, (4) Ce par quoi quelqu'un est digne d'estime sur le plan moral, intellectuel, professionnel, etc. : Recrue de grande valeur. […] (1) sesuatu yang dapat ditukar, dijual, dan, khususnya, berhubungan dengan uang: tanah itu nilainya sudah naik dua kali lipat, (2) setara kuantitas: tambahkan rum senilai dua sendok, (3) ukuran konvensional yang melekat pada suatu benda, simbol, tanda: nilai kartu yang dipermainkan, (4) hal yang dilihat untuk mengukur moral (kelakuan), intelektual, profesionalitas seseorang […]
Nilai dalam penelitian ini adalah nilai yang berbentuk moral. Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sebuah acuan yang 7
http://kbbi.web.id/nilai (diakses pada 18 desember 2014 pukul 18:39 WIB) http://www.larousse.fr/dictionnaires/francais/valeur/80972 (diakses pada 18 desember 2014 pukul 18:48 WIB) 8
7
digunakan untuk melihat dan mengukur moralitas dan sifat-sifat lain yang penting atau berguna bagi kemanusian pada diri seseorang. Di dalam novel ini terdapat banyak sekali kutipan-kutipan penanaman nilai seperti di atas. Penanaman nilai ini disosialisasikan baik secara langsung (lisan) atau pun tak langsung (melalui surat). Nilai-nilai tersebut telah mendasari penelitian ini dilakukan. Dengan menggunakan teori konsep nilai dari Schwartz serta metode sosialisasi nilai dari psikologi dan menggunakan metode penelitian naratologi maka penelitian ini dilakukan. 1.2 Rumusan Masalah Terdapat batasan yang sangat jelas antara sastra anak dan sastra dewasa. Sastra anak umumnya lebih mengedepankan imajinasi dan daya khayal seperti yang terlihat pada karya sastra anak yang halaman perhalaman biasanya terdapat gambar dan juga memiliki narasi yang sedikit dibandingkan sastra dewasa. Sastra anak ini muncul atas perasaan cemas dan khawatir orang tua untuk membentengi anaknya serta untuk mengajarkan nilai-nilai moral kepada anaknya. Namun tak sedikit pula sastra dewasa yang mengajarkan nilai-nilai kebaikan tersebut. Salah satunya adalah novel berjudul Ét si c’était vrai karya Marc levy. Novel yang diperuntukkan sebagai bahan bacaan orang dewasa ini tanpa disadari memiliki nilai-nilai yang ingin disosialisasikan orang tua terhadap anaknya. Hingga, kemunculan novel ini menyisakan pertanyaan besar: Bagaimana anak-anak dapat mempengaruhi kemunculan sastra dewasa? 1.3 Pertanyaan Penelitian
8
1. Nilai-nilai apa saja yang hendak ditanamkan orang tua terhadap anak mereka dalam roman Ét si c’était vrai? dan; 2. Bagaimana cara menyosialisasikan nilai tersebut? 1.4 Tujuan Penelitian Peneltian ini menggunakan objek material roman Ét si c’était vrai karya Marc Levy. Variabel yang akan dibahas dan diteliti dalam penelitian ini adalah permasalahan nilai-nilai dan cara penyosialisasiannya terhadap anak. Nilai-nilai yang tergambarkan dalam novel ini akan dibahas dan dianalisis dengan tujuan mengetahui nilai-nilai apa saja yang terkandung dan bagaimana cara mensosialisasikannya. Penelitian ini secara umum diharapkan untuk dapat digunakan sebagai bahan acuan atau referensi dari penelitian yang membahas permasalahannya yang sama dikemudian hari dan secara khusus dapat digunakan sebagai bahan acuan oleh orang tua ketika ingin mensosialisasikan nilai-nilai tertentu terhadap anaknya. 1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian skripsi yang menggunakan objek material yang sama belum pernah dilakukan sebelumnya, baik yang menggunakan roman ataupun pengarang yang sama. Walaupun demikian, tinjauan pustaka dalam penelitian ini akan diperluas menjadi beberapa variabel yang masih berhubungan dengan penelitian ini, antara lain; permasalahan yang sama (penanaman nilai dan pengajaran nilai moral), keluarga serta permasalahannya, dan bentuk analisis yang sama (analilis naratologi).
9
Skripsi pertama yang dijadikan sebagai bahan tinjauan pustaka adalah skripsi berjudul Nilai moral dalam novel Sans famile karya Hector Malot: Tinjauan lima kode semiotika Roland Barthes yang ditulis oleh Renat Galih Gunara. Penelitian yang menggunakan objek material sebuah novel berjudul Sans famile ini meneliti keterkaitan antara kehadiran keluarga dengan nilai-nilai yang diterima oleh sang anak. Dalam penelitiannya tersebut, penulis melakukan pembacaan beberapa pesan moral yang terkandung dalam novel dengan menggunakan pendekatan moral dan pendekatan semiotik dari Roland barthes. Penelitian ini mengungkapkan 53 peristiwa yang dikategorikan menjadi 14 tema ajaran moral. Selanjutnya sebuah tesis yang membahas tentang permasalahan krisis keluarga yang terjadi di wilayah suburban Amerika Serikat yang ditulis oleh Yeny Prastiwi. Penelitian yang ditulis pada tahun 2004 dengan judul THE CRISES OF AMERICAN FAMILY IN THE SUBURBAN AREA OF THE 1950S: A Study on John Updike’s Rabbit, Run ini meneliti permasalahan krisis hubungan dalam keluarga. Menurut peneliti, setiap keluarga pasti mengalami krisis hubungan dengan tingkatan yang berbeda-beda dikarenakan nilai-nilai dalam keluarga yang jamak dan berbeda-beda. Melalui penelitian interdisipliner ilmu (Sejarah, Sosiologi, Sastra dan Psikologi.) ini peneliti menyimpulkan bahwa krisis hubungan dalam keluarga kelas menengah di wilayah suburban Amerika pada tahun 50an dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dan permasalahan tersebut tidak akan bisa dipecahkan jika keluarga tersebut tidak memiliki kemauan untuk melakukannya.
10
Berikutnya sebuah skripsi dengan cara penganalisisan yang sama yaitu analisis naratologi. Penelitian tersebut berjudul Kolonialisme dan pembentukan identitas dalam novel Allah n’est pas obligé karya Ahmadou Kourouma: Analisis Naratologi yang ditulis oleh Savira Lazuardh Thalfah pada 2014. Dalam penelitiannya ini penulis membahas mengenai permasalahan poskolonialisme dan pengaruhnya terhadap pembentukan identitas dengan menggunakan teori naratologi dari Gerard Genette. Penelitian ini menyatakan bahwa konstruksi identitas masyarakat kulit hitam adalah berpendidikan rendah, miskin, rasis, dan percaya pada hal-hal irasional. Mengacu pada penjelasan diatas, maka dapat ditarik simpulan bahwa penelitian yang menggunakan tema penanaman nilai melalui nasihat kepada anak dengan menggunakan objek material roman berjudul Ét si c’était vrai dari Marc Levy belum pernah dilakukan. Sehingga penelitian ini layak dilakukan dan akan menjadi karya pertama yang mengkaji objek material dengan permasalahan tersebut di jurusan Sastra Prancis, Universitas Gadjah Mada. 1.6 Landasan Teori Teori adalah sebuah penyelidikan eksperimental yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu pasti, logika, metodologi dan argumentasi9. Teori ini akan memberikan justifikasi pada penentuan variabel penelitian yang digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Berikut adalah beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini.
9
http://www.kbbi.web.id/teori diakses pada selasa, 7 oktober 2014 (pukul 12: 13 WIB)
11
1.6.1. Tipe-tipe keluarga Pendefinisian keluarga bisa dengan berbagai cara, salah satunya dengan cara menklasifikasikannya atau menggolongkan keluarga menjadi beberapa tipe. Tipe-tipe keluarga ini digolongkan berdasarkan bentuk dan jumlah anggota keluarga yang dimilikinya. Banyak sekali buku yang dapat digunakan sebagai referensi untuk pendefinisian tipe-tipe keluarga ini, salah satunya adalah ensiklopedi berjudul International Encyclopedia of the Social Sciences10. Dalam ensiklopedi ini dibahas mengenai beberapa tipe-tipe keluarga, diantaranya (1) Domestic groups atau sekumpulan orang-orang yang berbagi tempat tinggal dan makanan yang sama, (2) Biological family atau keluarga kandung yang berasal dari garis keturunan yang sama, (3) Nuclear family atau keluarga yang memiliki orang tua tunggal, (4) Compound family atau keluarga poligami (ayah memiliki istri lebih dari satu), (5) Joint family atau keluarga gay (pasangan sejenis) dan (6) Extended family merupakan tipe keluarga yang pendefinisiannya meluas, tidak hanya terpaku pada keluarga inti saja melainkan juga kerabat dan sahabat. Tipe-tipe keluarga diatas berguna untuk mendefinisikan tipe keluarga yang ada atau tergambarkan dalam roman Ét si c’était vrai, terutama keluarga tokoh utama; Arthur dan Lauren. Dengan menggunakan definisi tersebut, keluarga yang ada di dalam roman akan dianalisis dan ditentukan tipenya, selanjutnya akan dilihat kecenderungannya; tipe keluarga seperti apa yang akan menanamkan nilai seperti apa. 10
International Encyclopedia of the Social Sciences. 1968. (Sills, David L. edt.). New York: The Macmillan Company & The Free Press.
12
1.6.2. Konsep Nilai Schwartz Konsep nilai ini muncul atas gagasan dari Shalom H. Schwartz dan W. Bilsky pada tahun 198711. Schwartz dan Bilsky menyatakan bahwa nilai merupakan bentuk manifestasi renspon sadar seseorang terhadap tiga kebutuhan dasar dari hidupnya, yaitu (1) kebutuhan fisiologis, (2) kebutuhan untuk berinteraksi secara sosial, dan (3) kebutuhan akan isntitusi sosial yang menjamin keberlangsungan hidup anggotanya. Bisa dikatakan bahwa nilai-nilai ini merupakan respon kognitif seseorang atas tiga kebutuhan dasarnya tersebut yang terbentuk menjadi sebuah motivasi. Pada awalnya Schwartz dan Bilsky hanya menyebutkan delapan nilai utama. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berdasarkan penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun dan diadakan di 63 negara, maka Schwartz mengajukan revisi nilai-nilainya tersebut menjadi sepuluh nilai utama. Revisi ini dilakukan untuk mencari sebuah konsep nilai yang berlaku secara universal di hampir seluruh bagian dunia. Walaupun demikian, penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2001 ini memiliki kelemahan yaitu tidak berlaku untuk masyarakat dengan tingkat pendidikan rendah, manusia lanjut usia, dan individu yang berada di desa dan berada di negara yang kurang berkembang. Untuk mempermudah penelitian ini maka akan dibuat sebuah tabel dari hasil penelitian Schwartz yang dipublikasikan pada tahun 2001, sbb: Tabel 1. Konsep nilai Schwartz 11
Lestari, Sri. 2012. PSIKOLOGI KELUARGA: Penanaman Nlai dan Penanganan Konflik dalam keluarga, edisi pertama. Jakarta: Prenada media group. hlm. 73
13
Tipe Nilai
Definisi
Contoh nilai tunggal yang merepresentasikan tipe nilai
Kekuasaan
Status sosial dan prestis, Kekuatan sosial, otoriras, kontrol atau dominasi atau kekayaan, memelihara orang dan sumber daya. citra publik.
Prestasi
Kesusksesan pribadi denga menunjukkan kompetensi menurut standar sosial.
Hedonisme
Kenikmatan dan kepuasan Kenikmatan, kesenangan indra bagi diri sendiri. hidup.
Stimulasi
Kegembiraan, kebaruan, tantangan hidup.
Kebenranian diri, kehidupan yang bervariasi, dan kehidupan yang menggairahkan.
Pengarahan diri
Pemikiran dan pemilihan tindakan yang independen, penciptaan, eksplorasi.
Kreativitas, kebebasan, independen, ingin tahu, memilih tujuan sendiri.
Universalisme
Pemahaman, apresiasi, toleransi, dan proteksi terhadap kesejahteraan semua orang dan alam.
Broad-minded, kebijaksanaan, persamaan hak, kedamaian dunia, kecantikan dunia, kesatuan dengan alam, perlindungan lingkungan.
Kebijakan
Pemeliharan dan peningkatan kesejahteraan orang yang sering berinteraksi secara pribadi.
Suka menolong, jujur, pemaaf, loyal, bertanggung jawab.
Kesuksesan, kapabilitas, ambisis, pengaruh.
Tradisi
Respek, komitmen dan penerimaan terhadap tradisi dan ide-ide dalam budaya tradisional atau agama.
Sederhana, menerima takdir, saleh, respek terhadap tradisi, moderat.
14
Konformitas
Pengekangan tindakan, kecenderungan, dan impuls yang dapat mengganggu atau membahayakan orang lain yang melanggar harapan dan norma sosial.
Kesopanan, ketaatan, disiplin diri, menghormati orang tua dan sesepuh.
Keamanan
Keselamatan, harmonim dan stabilitas masyarakat, hubungan, dan diri sendiri.
Keamanan keluarga, keamanan nasional, tata tertib sosial, bersih, membalas kebaikan hati.
Dikutip dari: (Lestari, 2012, hlm. 75).
Tabel diatas akan digunakan untuk menganalisis semua data yang telah didapat mengenai penanaman nilai-nilai dari orang tua ke anak pada novel Ét si c’était vrai. Dengan ketentuan semua nilai-nilai akan dikempok-kelompokan sesuai dengan tipe nilai yang ada di tabel dan akan di tentukan cara menyosialisasikannya dengan metode sosialisasi nilai Berns. 1.6.3. Metode sosialisasi nilai Berns Roberta M. Berns12 menyatakan terdapat enam metode sosialisasi yang dapat digunakan untuk penanaman nilai anak, antara lain: (1) metode afektif (affective), metode ini mengedepankan emosi antar individu. Melalui emosi yang di perlihatkan (cinta, sedih, takut, marah, dll) maka kedekatan akan terjalin, (2) metode modifikasi perilaku (operant), metode ini menggunakan pendekatan melalui tindakan. Misalnya jika ingin menguatkan suatu perilaku kepada anak maka akan diberikan hadian ataupun sebaliknya, jika ingin menghilangkan perilaku buruk anak maka akan diberikan hukuman, (3)
metode
pengamatan
(observational), metode ini menggunakan pendekatan melalui percontohan atau 12
Ibid. hlm. 81
15
peniruan. Dengan metode ini, orang tua akan melakukan tindakan yang ingin dicontohkan
kepada
anaknya
secara
berulang-ulang
hingga
anaknya
mengikutinya, (4) metode kognitif (cognitive), metode ini lebih mengedepankan pemikiran atau penalaran sang anak. Dengan dihadapkan pada kondisi tertentu maka anak diharapkan dapat memberikan pemaknaan yang tepat terhadap peristiwa-peristiwa yang sedang dhadapinya. Metode ini akan berjalan dengan baik jika bahasa yang digunakan juga baik. Artinya bahasa yang digunakan dapat dimengerti dengan baik dan dapat dipahami dengan mudah, (5) metode sosiokultural (sociocultural), metode ini mengandalkan proses penyesuaian diri individu
terhadap
tuntutan
lingkungannya,
dan
(6)
metode
magang
(apprenticeship), metode ini mengedepankan tahap step-by-step atau melalui bimbingan orang tua. Dengan perlahan anak akan diajarkan tahap demi tahap hingga dirasa ia sudah mampu untuk melakukannya sendiri. 1.7 Metode Penelitian Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis naratologi dari Gérard Gennete. Naratologi adalah sebuah analisis yang berbasis pada analisis narasi atau gaya penceritaan. (Fludernik. 2006: 1) secara etimologi naratologi berasal dari kata naratif, yaitu sebuah aksi ketika seseorang memberitahukan kepada kita mengenai suatu hal. Contohnya seorang pembawa berita yang membacakan beritanya.
16
Genette13 membagi analisisnya kedalam tiga aspek utama, yaitu (1) histoire merupakan keseluruhanan dari perangkat peristiwa atau isi narasi, (2) récit adalah sebuah wacana yang berbentuk teks naratif, dan (3) narration atau tindak naratif yang menghasilkan teks. Untuk membedakan histoire dan récit maka akan diberikan definisi yang lebih mendalam. Secara umum histoire mengarah kepada inti cerita yang terdapat di dalam pikiran pengarang sedangkan récit lebih mengarah kepada inti cerita yang tersampaikan ke dalam pikiran pembaca. Walaupun Roland Barthes mengatakan bahwa penulis telah mati, tetapi di dalam studi naratologi penulis menjadi salah satu faktor yang tidak bisa diabaikan karena pengalaman penulis sedikit-banyaknya telah mempengaruhi karyanya. Misalnya pada penulis-penulis poskolonialisme yang mengalami krisis identitas dan juga diskriminasi, tentu saja karyanya akan membahas permasalahan yang sama. Fotis jannadis mengemukakan kerangka pikirannya mengenai "kembalinya penulis" ke dalam cerita. Dalam kerangka pikirannya tersebut Jannidis14 mengatakan bahwa penulis akan menjelma menjadi salah satu tokoh atau karakter di dalam cerita. Tentu saja tokoh tersebut di sembunyikan secara sempurna sehingga hanya orang-orang yang benar-benar jeli yang dapat mengetahuinya. Hal serupa diakui oleh Genettte yang menolak "kematian" dari pengarang di dalam cerita. Dalam analisis naratologinya, Genette mengemukakan lima unsur utama 13
Melalui Fludernik, Monika. 2006. An introduction to Narratology. New York: Routledge, Taylor & Francis groups. 14 Ibid., hlm. 14
17
yang terdapat dalam naratologi, yaitu tata atau urutan, durasi, frekuensi, modus, dan tutur. Dengan menggunakan kelima unsur diatas, data utama dalam penelitian yang diambil dari roman karya Marc Levy yang berjudul Ét si c’était vrai yang terkait dengan penanaman nilai melalui nasihat kepada anak akan dianalisis dengan cara mengidentifikasi tata atau urutan dari sebuah peristiwa. Kemudian akan dilihat seberapa lama dan seberapa seringnya melalui durasi dan frekuensi. Lalu akan dianalisis lebih lanjut mengenai narator atau pencerita utama melalui modus (sudut pandang cerita) dan tutur (pencerita, yang mengisahkan). 1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam sebuah penelitian penting untuk ditulis karena memberikan gambaran secara luas mengenai pokok permasalahan dalam penelitian ini dan menjelaskan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam penelitian. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: Bab I adalah bab pendahuluan merupakan bab pengenalan permasalahan dari penelitian ini. Bab ini berisikan latar belakang, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II adalah bab pembahasan, memuat analisis dari permasalahan penanaman nilai dan cara penyosialisasiannya dalam roman Ét si c’était vrai. Pada bab ini kedua pertanyaan penelitian akan dibahas dan dianalisis menggunakan teori
18
konsep nilai dari Schwartz dan metode sosialisasi nilai dari psikologi dan menggunakan metode penelitian naratologi untuk penganalisisan. Bab III adalah penutup atau bab akhir. Pada bab ini akan dimuat simpulan dari analisis yang telah dilakukan pada bab sebelumnya. Pada bab ini juga akan ditulis saran disertai lampiran table d’évenement(s) roman.
19