1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Sebagaimana mitos atau ceritera rakyat lainnya, Jaka Tarub dan Tanabata juga merupakan bagian dari folklor. Banyak yang menyebut folklor dengan istilah tradisi lisan (oral tradition) karena folklor adalah bagian dari kebudayaan yang penyebarannya melalui tutur kata atau lisan. Akan tetapi, Danandjaya (1991) menolak penyebutan folklor dengan istilah tradisi lisan karena menurutnya tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, nyanyian rakyat, teka-teki, dan peribahasa; sedangkan folklor mencakup lebih dari itu, seperti tarian rakyat, arsitektur rakyat, dan lain-lain. Dengan demikian, istilah dongeng atau ceritera rakyat tidak sama dengan folklor tetapi merupakan bagian dari tradisi lisan yang sekaligus juga merupakan bagian dari folklor itu sendiri. Dalam kaitannya dengan penelitian tradisi lisan, Jepang memang lebih maju dibandingkan dengan Indonesia. Jepang telah memulai penelitiannya pada tahun 1910 dan 20 tahun kemudian (1930) tradisi lisan telah menjadi suatu disiplin tersendiri dan telah mendapat pengakuan secara formal oleh masyarakatnya. Di Indonesia, sebagai sebuah bidang keilmuan, tradisi lisan memang belum lama dikembangkan, yaitu baru dimulai setelah tahun 1970-an 1 . Walaupun tergolong masih baru dalam konteks keilmuan, namun demikian ceritera-ceritera rakyat Indonesia telah lama dikumpulkan oleh para peneliti terdahulu. Kebanyakan dari mereka
1
Folklor (yang di dalamnya mencakup tradisi lisan) sebagai suatu disiplin yang berdiri sendiri baru dibentuk pada tahun 1972, ketika untuk pertama kalinya folklor dijadikan mata kuliah resmi pada jurusan Antropologi fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dari UI kemudian berkembang ke universitas-universitas di seluruh Indonesia, seperti UNPAD, UGM, UNAIR, dan lain-lain.
2
adalah orang Eropa, terutama berkebangsaan Belanda. Bahkan, pemerintah Belanda mendirikan Commissie voor de Volkslectuur (Panitia Kesusastraan Rakyat) pada tahun 1908 dengan maksud untuk mengumpulkan ceritera-ceritera rakyat Indonesia (Teeuw via Danandjaya, 1991: 9). Hasil karya mereka sangat banyak dan dapat dibaca dalam buku Bibliography of Indonesian Peoples and Cultures karangan Raymond Kennedy (1962) atau buku James Danandjaja yang berjudul An Annotated Bibliography of Javanese Folklore (1972) (Danandjaja, 1991: 9,10). Motivasi penelitian tradisi lisan di Indonesia dan di Jepang pada dasarnya sama, yaitu untuk mencari identitas bangsanya masing-masing. Namun demikian, penyebab timbulnya motivasi di kedua negara tersebut tidaklah sama. Di Indonesia, motivasi tersebut timbul karena suatu keharusan untuk merekonstruksi kebudayaan baru yang dapat diterima oleh seluruh bangsa Indonesia yang heterogen, yang dari awal telah memiliki kebudayaan masing-masing sebelum terbentuknya negara Republik Indonesia (Danandjaja, 1997: 42-43). Di Jepang, timbulnya motivasi pengumpulan dan penelitian tradisi lisan dilandasi oleh keinginan untuk mencari kembali identitas tradisional Jepang yang pernah mengalami goncangan hebat sebagai akibat dari Restorasi Meiji. Masyarakat Jepang yang berlandaskan pada sistem agraris dan feodalisme sejak zaman Tokugawa telah mengalami desakan dari pengaruh kebudayaan Barat (baik kecanggihan teknologi maupun kekuatan ekonomi) sehingga banyak dari ilmuan Jepang seperti Yanagita Kunio dan kelompoknya yang melakukan gerakan nativistic
2
dan berusaha mencari kembali jati diri kebudayaan pribumi mereka lewat
pengumpulan ceritera-ceritera rakyat dari masyarakat petani di daerah-daerah.
2
Suatu reaksi logis dari orang yang kebudayaannya sedang mengalami perubahan yang sangat besar.
3
Penulis beranggapan bahwa kesamaan motivasi dalam pengumpulan ceritera-ceritera rakyat di atas dapat disimpulkan sebagai sebuah upaya dari masing-masing negara dalam merevitalisasi nilai-nilai kebudayaan asli yang semakin terasing dari masyarakatnya sendiri, atau sebaliknya untuk memahami kebudayaan suatu masyarakat asli yang belum dipahami oleh masyarakat modern. Berkaitan dengan hal tersebut, William R. Bascom (ahli folklor dari Universitas California, Berkeley) juga mengatakan bahwa dalam ceritera rakyat mengandung empat fungsi, yaitu sebagai projective system (alat pencermin angan-angan kolektif; sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan; sebagai pedagogical device (alat pendidikan); dan sebagai alat pengawas serta pemaksa agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya (Bascom via Danandjaja, 1991:19). Dengan demikian, ceritera rakyat menjadi sangat penting untuk diteliti karena secara sadar atau tidak dalam ceritera rakyat terkandung nalar dan pikiran kolektifnya sebagaimana folklor yang pada umumnya mengungkapkan bagaimana cara berpikir serta mengabadikan apaapa yang dirasakan penting oleh folk-nya. 3 Hal utama dalam pengkajian nantinya adalah apakah nalar suatu masyarakat itu mengikuti suatu struktur tertentu. Untuk mengetahui bahwa nalar ini memang mengikuti struktur tertentu perlu dianalisis berbagai aktivitas yang merupakan perwujudan dari nalar tersebut. Memang benar bahwa nalar atau logika dasar manusia mestinya terwujud dalam setiap atau berbagai aktivitas kehidupan sehari-hari. Berbagai ragam fenomena budaya pada dasarnya
3
Hal ini berbeda dengan etnografi; karena etnografi (monografi) lebih merupakan hasil rekonstruksi kebudayaan suatu bangsa oleh peneliti sehingga apa yang diabadikan sebenarnya adalah apa yang dianggap penting untuk disoroti penelitinya dan bukan yang dirasakan penting untuk disoroti dan disajikan pendukung kebudayaan itu sendiri.
4
merupakan perwujudan dari nalar ini. Akan tetapi, tidak semua fenomena sama mudahnya dibedah dengan pisau analisis tertentu untuk menemukan strukturnya. Dibanding fenomena budaya yang lainnya, mitos atau ceritera rakyatlah yang dianggap cocok dan sesuai untuk diteliti agar dapat memperlihatkan adanya kekangan struktural di balik fenomena budaya (Ahimsa-Putra, 2006: hal 76). Oleh karena itu, dalam tesis ini penulis memilih untuk menganalisis mitos atau ceritera rakyat agar dapat menemukan kekangan-kekangan struktural tersebut. Jaka Tarub dan Tanabata yang dikaji dalam penelitian ini disebut dengan mitos. Mitos yang dimaksud di sini berbeda dengan pengertian yang digunakan oleh Danandjaja (1997) dalam bukunya Folklor Jepang Dilihat dari Kacamata Indonesia (hal. 70-164), yang sebagaimana dalam kajian ilmu sastra, menyebut mitos adalah bagian dari ceritera rakyat. Dalam bukunya tersebut Danandjaja membagi ceritera rakyat Jepang ke dalam tiga jenis, yaitu mite/shinwa (ceritera rakyat tentang para dewa), legenda/densetsu (ceritera rakyat yang dianggap pernah terjadi dan masih dipercayai dengan kuat), dan dongeng (ceritera rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi). Definisi atas ciri-ciri setiap jenis dalam pembagian tersebut semakin hari semakin kabur (Ahimsa-Putra, 2006). Maka dari itu, istilah mitos yang dimaksud dalam tesis ini tidak lain adalah juga dongeng atau ceritera rakyat sehingga ketiga istilah itu dianggap sama artinya dan akan digunakan secara bergantian. Mitos Jaka tarub adalah suatu cerita rakyat dari masyarakat Jawa yang berkisah tentang seorang pemuda bernama Jaka Tarub, tokoh yang diyakini oleh masyarakatnya sebagai leluhur raja-raja kasultanan Mataram dari pihak putrinya yang bernama Dewi Nawangsih. Cerita 4 ini 4
Cerita rakyat ini diambil dari Babad Tanah Jawi (Alih aksara dan terjemahan bebas oleh Sudibyo Z.H. diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, proyek penerbitan buku sastra Indonesia dan daerah. Jakarta: 1980)
5
mengisahkan seorang pemuda bernama Jaka Tarub yang pergi berburu ke hutan. Di hutan itu terdapat sebuah telaga di mana dia menjumpai para bidadari sedang mandi. Jaka Tarub mencuri salah satu selendang yang akhirnya mengakibatkan salah satu bidadari tidak dapat kembali ke kahyangan. Jaka Tarub muncul dan menolongnya. Bidadari, yang akhirnya diketahui bernama Nawang Wulan itu, bersedia ikut pulang ke rumahnya. Keduanya akhirnya menikah dan mendapatkan seorang putri bernama Dewi Nawangsih. Namun, suatu hari Nawang Wulan menemukan selendang yang dicuri oleh Jaka Tarub. Nawang Wulan marah dan kembali ke kahyangan. Hanya demi bayi Nawangsih saja dia sesekali turun ke bumi untuk menyusuinya. Mitos Tanabata
5
mengisahkan seorang Pemuda penjual gerabah, yang dalam
perjalanannya menemukan para gadis yang cantik jelita dari kerajaan langit sedang mandi di sebuah danau. Sama halnya dengan Jaka Tarub, sang Pemuda mengambil salah satu pakaian dari para gadis tersebut yang akhirnya mengakibatkan salah seorang dari mereka tidak dapat pulang ke kerajaan langit. Gadis itu bernama Tanabata. Sang Pemuda dan Tanabata menikah. Pada awalnya mereka berdua hidup bahagia sampai pada suatu hari ada kejadian di mana Tanabata menemukan pakaiannya yang disembunyikan oleh suaminya itu. Dengan perasaan yang bercampur antara sedih dan gembira, Tanabata bertekad untuk kembali ke kerajaan langit. Namun karena cintanya kepada sang Pemuda, Tanabata memberikan cara bagaimana sang Pemuda tersebut bisa sampai ke kerajaan langit dan bertemu dengannya. Pernikahan mereka tidak direstui oleh kedua orang tua Tanabata serta masyarakat kerajaan langit. Dengan segala cara orang tua Tanabata ingin memisahkannya, sampai akhirnya sang Pemuda hanyut bersama derasnya sungai Amanogawa dan terlempar dari kerajaan langit. 5
Ceritera rakyat Jepang ini diambil dari mitos Kanagawa (sebuah prefektur di Jepang) yang dikumpulkan oleh Yanagita Kunio dalam buku Nihon no Mukashi Banashi dan diterjemahkan oleh Purnomo (lihat Nihon Minwa Shuu: Tanabata, 2007).
6
Ringkasan ceritera di atas menunjukkan bahwa kedua mitos mengisahkan berbagai peristiwa yang sangat mirip. Begitu pula dengan tokoh-tokohnya. Walaupun tentunya ada perbedaan dalam kedua mitos, namun secara umum dapat dikatakan bahwa keduanya adalah mitos yang sama, hanya yang satu adalah mitos yang berasal dari masyarakat Jawa, sedangkan yang satunya berasal dari masyarakat Jepang. 1.2 Rumusan Masalah Telah disebutkan di atas bahwa mitos Jaka tarub dan Tanabata selain masing-masing memiliki perbedaan dalam kisahnya, keduanya mempunyai kemiripan-kemiripan dalam unsurunsur atau bagian-bagiannya. Mengapa mitos dari dua daerah yang secara geografis sangat jauh letaknya lagi pula pada zaman dulu alat komunikasi dan transportasi tidak semaju sekarang bisa sangat mirip? Benarkah hal ini hanya merupakan suatu kebetulan belaka? Kalau hal ini merupakan suatu kebetulan, mengapa konsep-konsep, peristiwa-peristiwa, dan tindakan-tindakan yang ada dalam kedua mitos sangat mirip? Menurut Levi-Strauss, hal itu bukan merupakan suatu hal yang kebetulan. Kemiripan-kemiripan tersebut adalah hasil dari mekanisme yang ada dalam nalar manusia (logika dasar/human mind) sehingga walaupun mitos/dongeng itu adalah wadah berekspresi yang sebebas-bebasnya dari masyarakat penciptanya namun ternyata ekspresiekspresi tersebut tetap muncul lewat jalur struktural tertentu. Dengan melihat apa yang disampaikan Levi-Strauss di atas maka kemiripan-kemiripan dan juga perbedaan kedua mitos menjadi menarik untuk diteliti. Oleh karena itu, penelitian ini akan menitikberatkan pada tiga permasalahan yang tertuang dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut; Yang pertama, bagaimana logika dasar dari masyarakat Jawa dan Jepang muncul dalam struktur-struktur mitosnya (Jaka Tarub dan Tanabata)? Yang kedua, bagaimana struktur-struktur kedua mitos itu juga muncul dalam realitas kehidupan kedua masyarakat? Yang ketiga,
7
bagaimana hubungan nalar masyarakat Jawa dengan nalar masyarakat Jepang yang terkaji dari hasil analisis kedua mitos tersebut? 1.3 Tujuan Penelitian Secara teoritis tujuan yang ingin dicapai dalam tesis ini adalah untuk memperkaya ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pengkajian dan pemertahanan tradisi lisan dan kemitosan dan dengan itu berarti pula menggali dan melestarikan salah satu unsur penting dalam kebudayaan nusantara. Tesis ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang nyata dalam perkembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan kajian mitos dengan paradigma strukturalisme Levi-Strauss yang menyajikan makna dan struktur cerita dalam mitos dari dua kebudayaan yang berbeda. Tujuan praktisnya adalah bagaimana hasil dari penelitian ini benar-benar ada relevansinya dengan kehidupan nyata, khususnya dalam hal menjadikannya sebagai refleksi interkultural menuju masyarakat yang lebih baik. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman kepada siapa saja dalam menggali khasanah kebudayaan lokal dan asing yang masing-masing memiliki keunikan pandangan dan nilai-nilai. Tujuan khususnya adalah untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu yang pertama adalah untuk mengungkap struktur mitos Jaka tarub dan Tanabata, yang kedua adalah untuk
mengungkap kemunculan struktur-struktur mitos dalam realitas kehidupan
masyarakatnya, serta yang ketiga adalah untuk mengetahui bagaimana hubungan nalar masyarakat Jawa dengan nalar masyarakat Jepang yang terkaji dari hasil analisis kedua mitos itu.
8
1.4 Tinjauan Pustaka Mitos Jaka tarub pernah diteliti oleh beberapa peneliti sebelumnya, di antaranya adalah Haryatmo dengan judul Kelahiran Jaka Tarub dalam Teks Babad: Kajian Resepsi, Intertekstual, dan Suntingan Teks. Kedua, Pramukti berjudul Kisah Jaka Tarub Karya Ikranegara, Diary of Jaka Tarub Karya Amurwa Pradnya Sang Indraswari, dan Jaka Tarub Versi Babad Tanah Jawi Karya W.L. Olthof: Sebuah Tinjauan Intertekstual. Dalam perbandingannya dengan mitos Jaka tarub, Nooristyasari juga telah melakukan penelitian mitos Tanabata dengan pendekatan sastra bandingan. Judul penelitiannya adalah Perbandingan Struktur Legenda Tanabata dan Jaka Tarub. Penelitian Haryatmo bertujuan (1) mengetahui resepsi penyalin (pengarang babad) terhadap kisah kelahiran Jaka Tarub dalam Babad Tanah Jawi (BTJ) ; (2) memahami makna cerita kelahiran Jaka Tarub versi Seh Maulana Maghribi. Untuk mencapai tujuan itu, digunakan dua teori, yaitu resepsi dan interteks. Teori resepsi dimaksudkan untuk mengetahui sambutan pengarang terhadap kisah kelahiran Jaka Tarub yang dipandang memiliki kelemahan. Sementara itu, teori interteks dimaksudkan untuk memahami teks babad itu dalam kaitannya dengan teks sebelumnya sebagai hipogram. Hasil penelitiannya adalah bahwa kisah kelahiran Jaka Tarub dalam babad versi lama (BTJ) memiliki kelemahan karena Jaka Tarub dilahirkan dari keluarga rakyat biasa. Oleh karena itu, dalam melegitimasi kekuasaan raja dalam babad versi baru (Babad Demak), dikisahkan bahwa Jaka Tarub sebagai keturunan Seh Maulana Maghribi dan Prabu Brawijaya. Upaya legitimasi itu terlihat pada perubahan status sosial dan kesaktian tokoh. Perubahan status sosial tokoh terlihat pada tokoh dalam BTJ yang berkelas sosial bawah diubah menjadi tokoh kelas sosial atas. Misalnya, tokoh Sang Rara diubah menjadi Dewi Rasawulan,
9
tokoh Ki Jaka diubah menjadi tokoh Seh Maulana Maghribi, dan tokoh Ki Ageng Kembang Lampir diubah menjadi tokoh Kangjeng Rasul. Untuk memahami makna kelahiran Jaka Tarub, pengarang menghubungkannya dengan cerita kelahiran Anoman dalam wayang sebagai hipogram. Jika tokohnya disejajarkan, tokoh Jaka Tarub mengacu pada tokoh Anoman, Seh Maulana Maghribi mengacu pada Batara Guru, dan Rasawulan mengacu pada tokoh Anjani. Di samping itu, pola cerita dalam babad memiliki kesamaan dengan pola cerita dalam wayang. Penelitian Pramukti bertujuan mendeskripsikan struktur novel Diary of Jaka Tarub, Kisah Jaka Tarub, dan Jaka Tarub Versi Babad Tanah Jawi Karya W. L. Olthof yang meliputi alur, penokohan, latar, tema, dan amanat, serta mengungkapkan hubungan antarteksnya. Pendekatan yang dipakai adalah pendekatan intertekstual Riffatere. Hasil analisisnya adalah (1) Intertekstual dalam Kisah Jaka Tarub dan Diary of Jaka Tarub dapat dilihat dari struktur alur, penokohan, latar. (2) Berdasarkan pada pembacaan dua karya sastra tersebut, ditemukan adanya persamaan motif-motif cerita meliputi ide, gagasan/tema. Persamaan motif tersebut adalah (a) Motif pertemuan antar tokoh, (b) Motif kehidupan tokoh utama, (c) Motif permintaan kepada tokoh bawahan. (3) Hubungan tersebut berupa afirmasi (pengekalan), transformasi (penerusan), negasi (pemberontakan). (4) Tema mayor yang terdapat dalam Kisah Jaka Tarub yaitu jika menginginkan suatu hal maka harus meraihnya dengan cara yang jujur, dan tema mayor yang terdapat dalam Diary of Jaka Tarub, yaitu hidup penuh pilihan, jika ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik dibutuhkan keberanian untuk memilih, meskipun hasilnya tidak sesuai dengan harapan.
10
Nooristyasari, dalam analisisnya, membandingkan struktur mitos Jaka Tarub 6 dengan Tanabata (mitos Tanabata ini dimuat dalam buku Kodomo ni Kataru Mukashi Banashi yang ditulis oleh Ichi Hara Etsuko, 1987) dan hasil penelitiannya adalah, pertama persamaan pada unsur intrinsik, yaitu plot, tema, latar, dan penokohan. Perbedannya adalah bahwa dalam mitos Tanabata, percintaan mereka mendapat tentangan dari orang tua Tanabata yang merasa tidak sepadan memiliki menantu seorang manusia biasa. Sehingga, pesan moral yang ditangkap pun lebih kompleks. Sebaliknya, dalam legenda Jaka Tarub, keduanya tidak mendapatkan tentangan dari pihak ketiga, sehingga pesan moral yang dapat ditangkap dari mitos ini pun amat sederhana, yaitu kepercayaan antara suami dan istri. Ketiga contoh penelitian di atas adalah bukti bahwa mitos masih terbatas diteliti dengan paradigma-paradigma dalam kajian sastra yang, walaupun menganalisis struktur, tidak/belum sampai pada apa yang dikatakan oleh Levi-Strauss sebagai deep structure (struktur dalam). Penelitian-penelitian tersebut masih menganalisis mitos pada tahap struktur luar (empiris, permukaan, nampak). Berbeda dengan ketiga contoh di atas, Levi-Strauss justru menganggap struktur luar yang nampak/yang empiris itu bukan yang sebenar-benarnya, karena struktur tersebut mudah berubah. Artinya, Levi-Strauss mengajak untuk lebih memperhatikan sesuatu yang relatif tetap, yaitu deep structure. Tidak semua struktur dalam disadari oleh pelaku, struktur ini lebih bersifat unconscious (tidak disadari). Struktur dalam relatif tetap, sedangkan struktur luar tidak tetap dan bersifat transformatif (bukan dalam arti change/perubahan, tetapi malih, dalam bahasa Jawa). 6
diambil dari buku Dongeng Klasik Indonesia Jaka Tarub, yang dituliskan kembali oleh Baby dan Mad Yusup dan diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2005.
11
Selanjutnya, Ahimsa-Putra mengatakan bahwa dalam dunia ilmu pengetahuan, khususnya bidang humaniora di Indonesia, kajian mitos atau cerita rakyat masih dirasa kurang. Memang ada beberapa penelitian yang kebanyakan hasilnya tersimpan di Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional yang diterbitkan pada tahun 1990-an, akan tetapi menurutnya kajian-kajiannya masih dilatarbelakangi oleh ideologi tertentu serta banyak berkaitan dengan upaya peningkatan semangat nasionalisme. Walaupun kajian-kajian semacam ini tetap ada manfaatnya, misalnya hasil terjemahan dari tim Direktorat Jarahnitra ini akan sangat bermanfaat untuk dikaji lebih lanjut di masa-masa yang akan datang, namun demikian untuk masa sekarang ini manfaat secara akademis dan teoritisnya masih relatif sedikit (Ahimsa-Putra, 2006:183-184). Di sisi lain, hasil penelitian di tingkat perguruan tinggi memang lebih analitis dan relevansi teoritisnya lebih jelas. Akan tetapi, kebanyakan masih menggunakan pendekatan hermeneutis dan dilakukan oleh mereka dari disiplin sastra, sedangkan yang berasal dari antropologi dan sosiologi masih didominasi oleh paradigma fungsionalisme yang dikembangkan oleh Bronislaw Malinowski. Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian mitos di atas. Selain bukan dari disiplin ilmu sastra, paradigma yang dipakai adalah strukturalisme Levi-Strauss. Pada awalnya (sebelum akhirnya terbit buku karya Ahimsa-Putra 7 ) paradigma ini belum banyak dikenal di lingkungan akademik di Indonesia. Paradigma strukturalisme Lévi-Strauss menjadi lebih dikenal lagi setelah terbitnya buku Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra karya AhimsaPutra pada tahun 2001. Buku inilah yang telah membuat para peneliti dan pelajar sastra mulai 7
Pada waktu Ahimsa-Putra masih kuliah di jurusan Antropologi Universitas Indonesia, tidak ada dosen yang tertarik dengan paradigma ini. Profesor Koetjaraningrat yang mengajar teori-teori antropologi juga tidak mengajarkannya, karena aliran ini kurang sejalan dengan kecenderungan teoritis beliau yang lebih positivistik (Ahimsa-Putra, 2008 : Makalah ‘Perkembangan Strukturalisme Prancis di Indonesia’).
12
tertarik kepada strukturalisme Lévi-Strauss (berasal dari ilmu antropologi), yang memang sangat berbeda dengan strukturalisme yang selama ini mereka kenal dalam analisis sastra. Buku ini pula yang membuat banyak orang mulai menyadari bahwa sekat-sekat keilmuan yang selama ini dipahami sebagai tembok pemisah
sebenarnya sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Strukturalisme Lévi-Strauss yang muncul dan berkembang dengan baik dalam antropologi ternyata sangat relevan digunakan untuk menganalisis karya sastra, dan analisis semacam ini dapat mengungkapkan dimensi tertentu dari karya sastra yang tidak dapat diungkapkan melalui pendekatan yang lain. Dengan munculnya buku tersebut, strukturalisme Lévi-Strauss mulai dikenal di luar lingkaran antropologi. Penelitian ini juga terinspirasi dari bagaimana Ahimsa-Putra mengalisis mitos-mitos Nusantara yang dengan sangat gamblang dan runtut menjelaskan bagaimana menganalisis mitos dengan paradigma strukturalisme Levi-Strauss. Ahimsa-Putra tidak hanya menerjemahkan teori Levi-Strauss saja, akan tetapi menyajikan secara lengkap dengan format yang lebih mudah dipahami. Hampir semua hal yang dibutuhkan dalam penelitian strukturalisme ini disajikannya dengan jelas, mulai dari permasalahan dalam penelitian mitos, alasan pemilihan paradigma strukturalisme, prosedur penelitian, cara, tahapan, dan metodologi penelitian, cara analisis, dan lain-lain, sampai contoh-contoh penelitian. Buku Mitos dan Karya Sastra yang ditulis oleh Ahimsa-Putra(2001) tersebut telah menjadi acuan alternatif utama bagi para akademisi (selain juga buku-buku kritik terhadap pandangan Levi-Strauss oleh para penulis Barat) dikarenakan untuk memahami paradigma Levi-Strauss dari buku-bukunya secara langsung memang tidak mudah. Pada perkembangannya, bukan hanya mitos dan karya sastra saja, akan tetapi paradigma ini digunakan untuk menganalisis fenomena sosial yang lebih kompleks. Sebagai contoh
13
misalnya, analisis struktural digunakan untuk mengungkap struktur yang ada pada rumah Limas Palembang (Purnama, 2000), rumah tradisional Sumba (Purwadi, 2002). Kalau Dadang H. Purnama mengungkapkan struktur rumah Limas Palembang dan mengaitkannya dengan struktur pemikiran orang Palembang, Purwadi lebih tertarik untuk mengungkap prinsip-prinsip struktural yang ada di balik rumah tradisional Suma di Umaluhu. Oleh karena itu, analisis Purnama kemudian menuntut digunakannya konsep transformasi, dan dengan konsep ini pula dia dapat menyajikan rangkaian transformasi yang ada dalam budaya masyarakat Palembang. Pendekatan struktural juga digunakan oleh Nasrullah (2008), yang berasal dari suku Dayak Bakumpai di Sungai Barito, Kalimantan, untuk menganalisis konsepsi orang Bakumpai tentang ruang. Orang Dayak Bakumpai mengenal istilah-istilah ngaju, ngawa, ngambu dan liwa untuk menunjuk arah, dan konsepsi arah yang terkait dengan ruang ini juga terkait erat dengan sungai, karena sungai merupakan ruang yang sangat penting dalam kehidupan orang Dayak Bakumpai. Struktur ruang juga dianalisis oleh Gerda Numbery (2008) yang melakukan penelitian di kalangan orang Dani di Papua. Dalam hal ini Numbery telah berhasil menunjukkan keterkaitan struktural yang erat antara struktur ruang yang dikenal oleh orang Dani dengan organisasi sosial mereka. Analisis struktural yang dikerjakan oleh Numbery diduga merupakan analisis struktural ala Lévi-Strauss yang pertama kali dimanfaatkan oleh ilmuwan sosial Indonesia untuk memahami struktur organisasi sosial orang Dani dan pandangan mereka tentang ruang beserta strukturnya. Analisis struktural juga telah diterapkan pada budaya material, yakni patung (AhimsaPutra, 1999c; Subiantoro, 2009) dan makanan tradisional orang Minang (Maryetti, 2007). Ahimsa-Putra misalnya menerapkan analisis struktural pada arca ganesya, yang sebelumnya
14
telah diteliti secara seksama oleh Edi Sedyawati, ahli arkeologi UI. Walaupun analisisnya belum sepenuhnya tuntas, namun analisis tersebut telah memberi inspirasi pada sejumlah ahli arkeologi lain untuk mencoba menerapkannya pada artefak-artefak atau benda arkeologis lainnya. Selain arca ganesya, analisis patung secara struktural juga telah dilakukan oleh Slamet Subiantoro, yang menempatkan patung loro-blonyo dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, yakni kosmologi Jawa. Sementara itu, Maryetti lebih tertarik untuk menganalisis dan mengungkapkan struktur yang ada di balik berbagai macam makanan tradisional yang disajikan dalam ritual-ritual (Subiantoro, 2009). Dalam penelitian yang lain, pendekatan struktural juga dapat menjelaskan fenomena sosial yang terjadi di Indonesia tidak lama setelah meletusnya peristiwa G-30-S, yakni banyaknya orang Tionghoa Indonesia yang masuk agama Katholik dan bagaimana perilaku mereka setelah mereka memeluk agama tersebut (Radjabana, 2000). Beberapa contoh kajian di atas menunjukkan bahwa strukturalisme sebagai sebuah paradigma ternyata dapat digunakan untuk menganalisis beraneka-macam gejala sosial-budaya. 1.5 Landasan Teori Strukturalisme merupakan aliran ‘baru’ bagi studi antropologi. Strukturalisme bertolak dari studi linguistik (ilmu bahasa), berbeda dengan pendekatan yang ada dalam fungsionalisme, Marxisme dan lain-lain. Ahimsa-Putra (2006; 66-71) menyebutkan bahwa strukturalisme memiliki beberapa asumsi dasar yang berbeda dengan konsep pendekatan lain. Beberapa asumsi dasar tersebut adalah sebagai berikut; pertama, dalam strukturalisme ada anggapan bahwa upacara-upacara, sistem-sistem kekerabatan dan perkawinan, pola tempat tinggal, pakaian dan sebagianya, secara formal semuanya dapat dikatakan sebagai bahasa-bahasa (Lane, 1970:13-14 ;
15
Ahimsa-Putra, 2006: 66); kedua, para penganut strukturalisme beranggapan bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan dasar yang diwariskan secara genetis sehingga kemampuan ini ada pada semua manusia yang normal. Yaitu kemampuan untuk structuring, untuk menstruktur, menyusun suatu struktur, atau menempelkan suatu struktur tertentu pada gejala-gejala yang dihadapinya. Dalam kehidupan sehari-hari apa yang kita dengar dan saksikan adalah perwujudan dari adanya struktur dalam tadi, akan tetapi perwujudan ini tidak pernah komplit. Suatu struktur hanya mewujud secara parsial (partial) pada suatu gejala, seperti halnya suatu kalimat dalam bahasa Indonesia hanyalah wujud dari secuil struktur bahasa Indonesia (Ahimsa-Putra, 2006; 68); ketiga, mengikuti pandangan dari de Saussure yang berpendapat bahwa suatu istilah ditentukan maknanya oleh relasi-relasinya pada suatu titik waktu tertentu, yaitu secara sinkronis, dengan istilah-istilah yang lain, para penganut strukturalisme berpendapat bahwa relasi-relasi suatu fenomena budaya dengan fenomena-fenomena yang lain pada titik waktu tertentu inilah yang menentukan makna fenomena tersebut. Hukum transformasi adalah keterulanganketerulangan (regularities) yang tampak, melalui mana suatu konfigurasi struktural berganti menjadi konfigurasi struktural yang lain; keempat, relasi-relasi yang ada pada struktur dalam dapat diperas atau disederhanakan lagi menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Sebagai serangkaian tanda-tanda dan simbol-simbol, fenomena budaya pada dasarnya juga dapat ditangapi dengan cara seperti di atas. Dengan metode analisis struktural makna-makna yang ditampilkan dari berbagai fenomena budaya diharapkan akan dapat menjadi lebih utuh. Keempat asumsi dasar ini merupakan ciri utama dalam pendekatan strukturalisme. Dengan demikian dapat kita pahami juga bahwa strukturalisme Levi-Strauss menekankan pada aspek bahasa. Struktur bahasa mencerminkan struktur sosial masyarakat. Di samping itu juga
16
Kebudayaan diyakini memiliki struktur sebagaimana yang terdapat dalam bahasa yang digunakan dalam suatu masyarakat. Teori strukturalisme Levi-Strauss memiliki kekuatan dalam merenik relasi-relasi yang logis, menurut ketertataan (order) serta keterulangan (regularities), dan memunculkan oposisioposisi yang relevan dalam menangkap struktur yang terdapat dalam mitos. Atas dasar pandangan ini, strukturalisme yang dikembangkan oleh Levi-Strauss dapat dikatakan sebagai ’cara pandang yang benar-benar lain’ dalam menganalisis mitos bila dibandingkan dengan paradigma-paradigma yang populer pada saat itu, baik paradigma yang masih bersifat historis, maupun fungsional. Jelaslah bahwa ilmu bahasa dianggap penting untuk dijadikan model dalam paradigma strukturalisme. Dalam kaitannya dengan pertanyaan mengapa bahasa menjadi penting untuk dijadikan model sebuah paradigma, Dani Cavallaro (2004) pernah menyampaikan pertanyaanpertanyaan yang menyoalkan bahasa dalam kaitanya dengan kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut meliputi apa hubungan bahasa dengan realitas, antara kata dengan benda, antara kata dengan ide; Bagaimana kata-kata menyampaikan makna tertentu atau konsep tertentu; Apakah bahasa
mengandung
prinsip-prinsip
univesal;
Apakah
bahasa
mengungkapkan
‘apa
sesungguhnya’ dunia itu ataukah bahasa mengungkapkan “apa yang kita inginkan” terhadap dunia; Dapatkah kita memaksudkan sesuatu tanpa mengatakannya; Dapatkah kita mengatakan sesuatu tanpa memaksudkannya; Pertanyaan-pertanyaan tersebut dan beberapa pertanyaan lain yang tekait telah menggelisahkan para filsuf dan ahli bahasa selama berabad-abad. Sejumlah kemungkinan jawaban telah ditawarkan dan kurang lebih secara luas diterima atau ditolak. Beragamnya pertanyaan beserta jawaban mereka menunjukkan bahwa isu-isu tentang makna merupakan obyek perdebatan yang tidak ada habisnya. Apa sebenarnya makna itu atau
17
bagaimana makna terbentuk, hingga tingkatan tertentu, adalah sesuatu yang dapat dipersoalkan. Secara argumentatif, pencarian atas makna terdiri dari sejumlah operasi yang tak terhitung di mana manusia mencoba memahami dunia (Cavallaro, 2004: 9-10). Octavio Paz juga menganggap penting untuk menjelaskan dan menjernihkan terlebih dahulu hubungan khusus yang mempertautkan Levi-Strauss dengan bahasa (linguistic) (lihat Paz, 1997: 8). Dalam awal tulisannya Paz menuliskan bahwa transisi dari fungsionalisme ke strukturalisme di bidang linguistik berlangsung antara tahun 1920-1930. Ada gagasan bahwa setiap item bahasa (kalimat, kata, morfem, fonem dan sebagainya) hadir semata-mata untuk memenuhi sesuatu fungsi yang umumnya adalah fungsi komunikasi. Tidak satupun unsur bahasa dapat dievaluasi jika tidak dalam kaitannya dengan unsur-unsur yang lain. Gagasan tentang hubungan atau relasi itu menjadi dasar teori bahwa bahasa adalah suatu sistem relasi. Anggapan pentingnya menjelaskan keterpautan antara strukturalisme Levi-Stauss dengan bahasa ini bukan hanya dia, tetapi semua pakar yang akan menjelaskan pemikiran strukturalisme Levi-Strauss mau tidak mau harus menjelaskan konsep linguistik yang dipakai oleh Levi-Strauss tersebut. Pada setiap permasalahan ditemukan struktur. Demikian pula dengan model yang digunakan oleh Levi-Strauss, yaitu bahasa; dalam bahasa ada struktur. Dalam kaitanya dengan hal ini, Lane mengatakan: On the other hand, studies in social structure have to do with the formal aspects of social phenomena; they are therefore difficult to define, and still more difficult to discuss, without overlapping other fields pertaining to the exact and natural sciences, where problems are similarly set in formal terms or, rather, where the formal expression of different problems admits of the same kind of treatment (Lane, 1968 via Ahimsa-Putra).
Pendapat Lane ini menunjukkan adanya struktur dalam setiap persoalan. Adanya struktur ini memungkinkan juga adanya persamaan-persamaan. Oleh karena itu pula pemahaman dasar
18
dari teori strukturalisme adalah mengacu pada model penelitian linguistik. Langkah ini dilakukan karena dalam strukturalisme dipahami bahwa setiap benda yang berbentuk pasti memiliki struktur. Dalam konsep Strukturalisme Levi-Strauss struktur adalah model-model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau menjelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya. Yang tidak ada kaitannya dengan fenomena empiris kebudayaan itu sendiri (Ahimsa-Putra, 2006; 60). Meskipun bertolak pada linguistik, fokus strukturalisme Levi-Strauss sebenarnya bukan pada makna kata, tetapi lebih menekankan pada bentuk (pattern) dari kata itu. Bentuk-bentuk kata ini menurut Levi-Strauss berkaitan erat dengan bentuk atau susunan sosial masyarakat. Strukturalisme Levi-Strauss juga bertolak dari konsep oposisi biner (binary opposition). Konsep ini dianggap sama dengan organisasi pemikiran manusia dan juga kebudayaannya. Seperti katakata hitam dan putih. Hitam sering dikaitkan dengan kegelapan, keburukan, kejahatan, sedangkan putih dihubungkan dengan kesucian, kebersihan, ketulusan dan lain-lain. Contoh lain adalah kata rasional dan emosional. Rasional dianggap lebih istimewa dan diasosiasikan dengan laki-laki. Sementara emosional dianggap inferior yang diasosiasikan dengan perempuan. Semua konsep mengenai struktur bahasa tersebut di atas, dikaitkan dengan persoalanpersoalan yang ada dalam kehidupan sosial. Untuk membuktikan adanya keterkaitan atau beberapa kesamaan antara bahasa dan budaya, Levi-Strauss mengembangkan teorinya dalam analisis mitos. Levi-Strauss sangat tertarik pada logika mitologi. Itu sebabnya ia mulai dengan mitos, menggabungkan fungsi-fungsi hanya secara vertikal, dan mencoba menerangkan paradigmatik mereka yang tumpah-tindih dengan varian-varian mitos. Model strukturalnya tidak linier (Meletinskij, 1969 via Fokkema, 1978 via Ahimsa-Putra, 2006). Ahimsa-Putra, selanjutnya menjelaskan bahwa untuk mengetahui makna struktur dalam bidang antropologi perlu diketahui terlebih dahulu prinsip dasar dari struktur itu sendiri, bahwa struktur sosial tidak berkaitan
19
dengan realitas empiris, melainkan dengan model-model yang dibangun menurut realitas empiris tersebut . Lebih lanjut Ahimsa-Putra menuliskan, lahirnya konsep Strukturalisme Levi-Strauss merupakan akibat dari ketidakpuasan Levi-Strauss terhadap fenomenologi dan eksistensialisme. Pasalnya para ahli antropologi pada saat ini tidak pernah mempertimbangkan peranan bahasa yang sesungguhnya sangat dekat dengan kebudayaan manusia itu sendiri. Dalam bukunya yang berjudul Tristes Tropique (1955) ia menyatakan bahwa penelaahan budaya perlu dilakukan dengan model linguistik seperti yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure, bukan seperti yang dikembangkan oleh Bergson, karena bagi Bergson tanda linguistik dianggap sebagai hambatan, yaitu sesuatu yang merusak impresi kesadaran individual yang halus, cepat berlalu, dan mudah rusak (Fokkema, 1978 via Ahimsa-Putra, 2006). Bagi Levi-Strauss telaah antropologi harus meniru apa yang dilakukan oleh para ahli linguistik. Levi-Strauss memandang bahwa apa yang ada di dalam kebudayaan atau perilaku manusia tidak pernah lepas dari apa yang terefleksikan dalam bahasa yang digunakan. Oleh karena itu, akan terdapat kesamaan konsep antara bahasa dan budaya manusia. Singkatnya, LeviStrauss berkeyakinan bahwa untuk mempelajari kebudayaan atau perilaku suatu masyarakat dapat dilakukan melalui bahasa. Istilah kekerabatan, seperti halnya fonem, merupakan unsur makna; dan seperti fonem, kekerabatan memperoleh maknanya hanya dari posisi yang mereka tempati dalam suatu sistem. Kesimpulannya adalah bahwa “meskipun mereka berasal dari tatanan relitas yang lain, fenomena kekerabatan merupakan tipe yang sama dengan fenomena linguistik (Levi-Strauss, 1972, via Fokkema, 1978 via Ahimsa-Putra, 2006).
20
Dijelaskan pula bahwa ada beberapa pemahaman mengenai keterkaitan bahasa dan budaya menurut Levi-Strauss. Pertama, bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat merupakan refleksi dari keseluruhan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. Kedua, bahasa merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Karena bahasa merupakan unsur dari kebudayaan, maka bahasa adalah bagian dari kebudayaan itu sendiri. Hal ini dapat kita lihat juga pendapat para pakar kebudayaan yang selalu menyertakan bahasa sebagai unsur budaya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Untuk itu jika kita membahas mengenai kebudayaan kita tidak pernah bisa lepas dari pembahasan bahasa (lihat, Koentjaraningrat; 1987). Ketiga, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan. Dengan kata lain melalui bahasa manusia mengetahui kebudayaan suatu masyarakat yang sering disebut dengan kebudayaan dalam arti diakronis. Dengan bahasa manusia menjadi makhluk sosial yang berbudaya. Yang kedua, bahasa merupakan kondisi bagi kebudayaan karena material yang digunakan untuk membangun bahasa pada dasarnya memiliki kesamaan jenis atau tipe dengan apa yang ada pada kebudayaan itu sendiri. Hubungan atau korelasi bahasa dan budaya terjadi pada tingkat struktur (mathematical models) dan bukan pada statistical models (Ahimsa-Putra, 2006). Model-model matematis pada bahasa dapat berbeda pada tingkatan dengan model matematis yang ada pada kebudayaan, seperti yang disebutkan oleh Levi-Strauss (1963), korelasi sistem kekerabatan orang-orang Indian di Amerika Utara dengan mitos-mitos mereka dan dalam cara orang Indian mengekspresikan konsep waktu mereka. Korelasi semacam ini sangat mungkin terdapat pada kebudayaan lain. Antropologi mengalami perkembangan pesat setelah dikembangkan dengan model linguistik, terutama setelah diakuinya bidang fonologi (Fokkema, 1978). Namun demikian, perlu juga diperhatikan beberapa perbedaan mendasar antara sifat keilmuan fonologi dengan apa
21
yang ada dalam antropologi. Levi-strauss mengakui bahwa analisis yang benar-benar ilmiah harus nyata, sederhana, dan bersifat menjelaskan (Levi-Strauss via Fokkema via Ahimsa-Putra, 2006). Walaupun demikian, hal itu agak berbeda dengan apa yang ada dalam antropologi. Antropologi bukan bergerak dari hal-hal yang kongkret, analisis antropolgi justru maju ke arah yang berlawanan, menjauhi yang kongkret, sistemnya lebih rumit daripada data observasi dan akhirnya hipotesisnya tidak menawarkan penjelasan bagi fenomena maupun asal-usul sistem itu sendiri. Antropologi berurusan dengan sistem kekerabatan pada titik persilangan dua tatanan realitas yang berbeda, sistem ‘terminologi’ dan sistem ‘sikap’. Fonologi bisa diterangkan secara eksklusif dalam sistem peristilahan; ia tidak perlu memperhitungkan segala ‘sikap’ sumber sosial atau sumber psikologis. Sebagaimana korelasi antara bahasa dan budaya, mitos sebagai bagian dari budaya dapat dijelaskan persamaan-persamaan dengan mitos-mitos yang lain yang ada di berbagai belahan dunia ini jika analisis mengikuti apa yang telah dikerjakan oleh para ahli bahasa dalam menjelaskan kesamaan-kesamaan antar fonem dari berbagai bahasa di dunia. Para ahli bahasa struktural menyatakan bahwa ‘makna’ tidak terdapat pada fonem, melainkan pada kombinasi dari fonem-fonem tersebut. Dengan mengambil model dari para ahli bahasa struktural tersebut maka seharusnya makna mitos bukan terletak pada tokoh-tokoh tertentu atau perbuatanperbuatannya melainkan pada kombinasi dari berbagai relasi dan posisi tokoh-tokohnya dalam kombinasi tersebut. Selain persamaan-persamaan, mitos dan bahasa juga memiliki perbedaan-perbedaan. Satu hal yang penting yang membedakan mitos dengan bahasa adalah bahwa mitos memiliki ciri yang khas dalam hal isi dan susunannya sehingga walaupun mitos dari satu masyarakat tertentu diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain yang hasil terjemahannya kurang baik sekalipun, dia
22
tidak akan kehilangan sifat-sifat atau ciri-ciri mitisnya/mythical characteristics-nya (AhimsaPutra, 2006:85). Dengan adanya ciri tersebut, mitos tetap dapat dirasakan, dimengerti sebagai mitos walaupun telah diterjemahkan atau telah dipersingkat dari bentuk aslinya. Orang dapat mengenali mitos bukan karena bahasanya, gayanya, atau sintaksisnya, melainkan karena ceriteranya itu sendiri, karena isi dan susunannya. Berdasarkan penjelasan ini maka mitos dapat dikatakan sebagai ‘bahasa’, yaitu bahasa yang bekerja pada tataran tertentu, yang berbeda dengan bahasa biasa sebagaimana yang dikatakan oleh Levi-Strauss (1963: 210), “Myth is language, functioning on an especially high level where meaning succeeds practically at ‘taking off’ from the linguistic ground on which it keeps on rolling”. Levi-Strauss menemukan landasan yang kuat untuk menganalisis mitos dengan perspektif struktural. Ada dua implikasi penting, pertama, mitos seperti halnya bahasa, terbentuk dari constituent units. Kedua, unit-unit dalam mitos ini semacam unit-unit dalam bahasa (fonem, morfem, semem). Fonem berbeda dengan morfem, morfem berbeda dengan semem, dan seterusnya. Unit-unit dalam mitos berada pada tataran yang lebih kompleks dan oleh LeviStrauss (1963: 210-211) disebut dengan gross constituent units atau mythemes. Karena mitememiteme ini adalah unit terkecil dari mitos maka harus dicari terlebih dahulu sebelum pencarian makna secara keseluruhan (Ahimsa-Putra, 2006:86). Selanjutnya, hal lain yang perlu diperhatikan dalam strukturalisme adalah adanya perubahan pada struktur tersebut. Perubahan yang terjadi dalam suatu struktur disebut dengan transformasi (transformation). Transformasi harus dibedakan dari kata perubahan yang berarti change. Karena dalam proses transformasi tidak sepenuhnya berubah. Hanya bagian-bagian tertentu saja dari suatu struktur yang mengalami perubahan sedangkan elemen-elemen yang lama masih ada. Artinya, perubahan yang terjadi dalam konsep transformasi di sini hanya dalam batas
23
permukaannya saja, sedangkan pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi (Ahimsa-Putra, 2006: 61). Contoh-contoh di bawah ini akan memperjelas keterangan di atas. Saya pulang ke kampung halaman (S-P-KT) Pulang saya ke kampung halaman (P-S-KT) Pulang ke kampung halaman saya (P-KT-S) Ke kampung halaman saya pulang (KT-S-P) Pada contoh di atas terjadi pergantian-pergantian susunan elemen. Elemen saya misalnya, berada di depan dalam kalimat pertama, namun selanjutnya berada di urutan kedua, lalu dalam kalimat ketiga berada di urutan terakhir kalimat. Pergantian atau perubahan tempat ini dengan sendirinya juga terjadi pada elemen-elemen lainnya. Walaupun keempat contoh kalimat di atas masing-masing memiliki susunan/urutan yang berbeda-beda, namun dapat dimengerti bahwa isi atau pesan dari keempatnya tetap sama. Atau dengan kata lain, keempatnya memiliki struktur dalam yang sama. Contoh lain yang sedikit berbeda adalah kalimat-kalimat yang bukan berlainan dalam susunan/urutannya, melainkan pada perbedan bahasa yang secara empiris membedakan istilah yang menandai tinanda yang sama. Saya akan pergi ke Jepang Aku arep lunga nang Jepang Watashi wa nihon e ikimasu I will go to Japan
(Indonesia) (Jawa Ngoko) (Jepang formal) (Inggris)
Secara empiris keempat kalimat di atas menunjukkan perbedaan, misalnya dalam satu bahasa subyek dikatakan sebagai saya dan dalam bahasa yang lain dikatakan sebagai aku, watashi, dan I. Begitu pula dengan elemen-elemen yang lainnya. Walaupun secara permukaan penanda yang dipakai oleh kalimat-kalimat di atas berbeda, namun makna atau pesan dari keempatnya tetap sama.
24
Contoh transformasi yang ketiga berbeda lagi dengan kedua contoh sebelumnya. Istilah transformasi pada contoh kalimat-kalimat di bawah ini menunjuk pada sesuatu yang berbeda lagi. Saya mengharapkan ... Anda ... keluar ... dari kampung ini. Saya ... harapkan ........ Anda ... keluar ... dari kampung ini. ............. Harap ............ Anda ... keluar ... dari kampung ini. ............. Keluarlah ...... Anda .................. dari kampung ini. ............. Keluarlah ................................... dari kampung ini. Pergantian/perubahan yang terjadi dalam kalimat-kalimat contoh tersebut bukan hanya susunan elemen-elemennya, melainkan juga hilangnya salah satu atau beberapa elemen yang menyusunnya. Meskipun demikian, bisa kita pahami bahwa isi/makna/pesan dari yang nampak berubah itu relatif tetap. Artinya, perubahan hanya terjadi pada bentuk dan jumlah elemen yang menyusunnya, tetapi maknanya tetap sama. Contoh-contoh di atas masih terbatas pada bahasa dan walaupun ada kemungkinan para ahli linguistik tidak setuju dengan penjelasan tersebut, akan tetapi konsep transformasi yang dipakai dalam antropologi struktural kurang lebih penjelasannya adalah seperti apa yang diuraikan di atas (Ahimsa-Putra, 2006: 61, 62, 63, dan 64). Selanjutnya, sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa terbentuknya struktur merupakan akibat dari adanya relasi-relasi dari beberapa elemen, oleh karena itu struktur juga oleh Levi-Strauss diartikan sebagai relations of relations atau system of relation. Ahimsa-Putra (2006; 61) menyebutkan struktur dapat dibedakan menjadi dua, Struktur luar atau struktur lahir (surface structure) dan struktur dalam atau deep strucutre. Struktur luar adalah relasi-relasi antar unsur yang dapat kita buat atau bangun berdasarkan atas ciri-ciri luar atau ciri-ciri empiris dari relasi-relasi tersebut. Struktur dalam adalah susunan tertentu yang kita bangun berdasar atas ciriciri struktur lahir yang sudah kita buat tetapi tidak selalu nampak.
25
1.6 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian strukturalisme. Telah ada ’kesepakatan’ tentang metode ini oleh para strukturalis dari berbagai disiplin ilmu. Selain Levi-Strauss (antropologi), Roman Jakobson dari linguistik, contoh lainnya adalah Jean Piaget dari ilmu psikologi, Francois Jacob dari disiplin ilmu biologi (Lane, 1970:15). Walaupun terlihat dalam representasinya bahwa bentuk analisis objek-objek masing-masing disiplin ilmu tersebut berbeda, namun dalam penggunaan metode penelitian semuanya sama, yaitu metode strukturalisme. Yang pertama dilakukan dalam metode strukturalisme adalah verifikasi data. Dalam memverifikasi data yang ada, peneliti melakukannya dengan cara membuat asumsi-asumsi teoritis. Cara yang paling sering dilakukan adalah dengan membagi-bagi bagian atau memilahmilah data-data yang telah diperoleh dalam suatu hal atau bagian yang dianggap penting. Artinya, metode ini mempreskripsikan operasi-operasi dan cara kerja yang berdasar pada data meski harus dengan cara membuat asumsi-asumsi teoritis tertentu (Lane, 1970:13). Lebih khusus lagi, dalam penelitian ini akan digunakan metode dan strategi analisis yang disampaikan Ahimsa-Putra dalam buku Strukturalisme Levi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra (2006). Metode yang diperkenalkan Ahimsa-Putra sedikit berbeda dengan metode yang dipakai dalam representasi penelitian Levi-Strauss dalam hal penentuan satuan terkecil cerita. LeviStrauss menggunakan konsep miteme untuk mengacu pada satu kalimat sebagai satuan terkecil dari ceritera, sedangkan Ahimsa-Putra menggunakan konsep ceriteme untuk mengacu pada beberapa kalimat sebagai satuan terkecilnya. Metode penelitian yang diintrodusir oleh AhimsaPutra itu adalah pertama, membaca keseluruhan ceritera terlebih dulu. Dari pembacaan ini diperoleh pengetahuan dan kesan tentang isi ceritera, tentang tokoh-tokohnya, tentang berbagai
26
tindakan yang mereka lakukan, serta berbagai peristiwa yang mereka alami. Setelah itu, menentukan episode-episode apa saja yang mungkin ada dalam ceritera yang dapat dijadikan dasar bagi analisis selanjutnya. Setiap episode umumnya berisi deskripsi tentang tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh dalam ceritera. Sebagaimana dikatakan oleh Levi-Strauss(1963), tindakan atau peristiwa ini (yang merupakan mytheme) hanya dapat ditemukan pada tingkat kalimat. Oleh karena itu, dalam analisis ini perhatian diarahkan terutama pada kalimat-kalimat yang menunjukkan tindakan atau peristiwa yang dialami oleh tokoh-tokoh ceritera. Sayangnya, cara ini juga tidak selalu tepat, karena sebuah pengertian atau ide tertentu kadang-kadang diungkapkan dalam beberapa kalimat. Oleh karena itu pula, upaya untuk menemukan mitememiteme di sini dilakukan dengan memperhatikan rangkaian kalimat-kaimat yang memperlihatkan adanya satu ide tertentu. Dengan cara ini kita akan dapat menemukan rangkaian-rangkaian kalimat yang memperlihatkan suatu ’pengertian’ tertentu. Sebagai contoh, misalnya kalimatkalimat berikut. Jaka Tarub yang sudah lama menantikan kebenaran ceritera itu, demi melihat para bidadari bertebaran di sekeliling telaga, dia segera bersembunyi. Bidadari beramai-ramai turun dan meloloskan bajunya lalu menceburkan diri berenang di dalam telaga biru. Ki Jaka mengamatinya dengan mata yang tajam, ternyata memang bidadari itu adalah elok rupanya (Sudibyo, 1980).
Rangkaian kalimat di atas disebut dengan ceriteme (untuk membedakannya dengan miteme yang hanya terdiri dari satu kalimat). Ceriteme adalah sebuah unit yang mengandung pengertian tertentu yang hanya dapat diketahui maknanya apabila ditempatkan dalam hubungannya dengan ceriteme-ceriteme yang lain (Ahimsa-Putra, 2006: 205-206). Dengan cara ini, ceriteme di atas dapat dikatakan mengandung pengertian bahwa Jaka Tarub tertarik dengan kecantikan bidadari.
27
Demikian selanjutnya sehingga ceriteme-ceriteme itu membentuk episode, yang juga akan jelas maknanya setelah dihubungkan dengan episode-episode yang lain, episode-episode yang berisi ceriteme tersebut belum begitu jelas maknanya. Jadi, perlu disandingkan dengan episode-episode yang lain yang letaknya belum tentu berurutan atau berdekatan. Hanya dengan cara menyandingkan inilah akan muncul ’pengertian’ tertentu dari episode tersebut atau ceriteme tertentu di dalamnya. Pengertian ’baru’ ini seolah-olah muncul dari relasi episode atau ceriteme tersebut dengan episode-episode lain, yang merupakan konteksnya yang baru (Ahimsa-Putra, 2006: 206). Dengan menyandingkan episode satu dengan episode lainnya akan ditemukan oposisioposisi antara tokoh satu dengan yang lain berdasarkan atas tindakan yang mereka lakukan dan peristiwa yang mereka alami. Setelah itu, berbagai oposisi yang ditemukan belum begitu banyak artinya bagi pemahaman dan tafsir kita kecuali dihubungkan dengan oposisi-oposisi yang ada dalam data etnografi. Di sinilah diperlukan pengetahuan yang lebih luas atas konteks sosialbudaya masyarakat pendukung mitos tersbut. Adanya data etnografi yang cukup lengkap adalah sebuah tuntutan dalam penelitian dengan paradigma ini. Singkatnya, langkah awal dalam penelitian ini adalah membagi cerita ke dalam episodeepisode. Masing-masing episode mendeskripsikan sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan orang Jawa dan Jepang. Lalu, menentukan ceriteme dan/atau miteme yang ada dalam setiap episodenya. Selanjutnya, miteme dan/atau ceriteme tersebut disusun secara sinkronis dan diakronis, atau mengikuti sumbu sintagmatis dan paradigmatis. Hal ini karena, seperti halnya bahasa, makna suatu elemen mitos tergantung kepada relasi sintagmatis dan paradigmatisnya dengan elemen-elemen yang lain. Dengan cara ini akan dapat ditemukan miteme dan/atau ceriteme yang menggambarkan relasi yang sama dan tidak sama. Interpretasi lebih lanjut akan
28
tergantung dari keseluruhan relasi antar miteme (ceriteme) yang kita peroleh, serta makna referensial maupun kontekstual dari elemen-elemen yang ada di dalamnya.