NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM CERITA RAKYAT “JAKA TARUB” DI DAERAH JAWA TENGAH OLEH RAHMATIA AYU SAPUTRI A1D1 09 006 (email:
[email protected])
Pembimbing I Pembimbing II
: Dra. Hj. Nurlaela, M.Pd. : Dr. La Ino, S.Pd., M.Hum.
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa analisis karya sastra, khususnya karya sastra lama, sangat diperlukan untuk melestarikan sastra daerah. Selain itu, cerita rakyat sebagai sebuah prosa lama, semakin terpinggirkan oleh keberadaan prosa baru, sehingga keberadaannya (lengkap dengan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya) perlu disebarluaskan kepada masyarakat (pembaca). Masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” di daerah Jawa Tengah? Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” di daerah Jawa Tengah. Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik baca dan teknik catat. Data penelitian dianalisis menggunakan pendekatan objektif. Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa nilainilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” di daerah Jawa Tengah meliputi: (1) nilai estetika/keindahan, (2) nilai gotong royong, (3) nilai tanggung jawab, (4) nilai moral, dan (5) nilai budaya. Kata kunci: Nilai, Cerita rakyat, Jaka Tarub, Pendekatan Objektif
Pendahuluan Manusia dalam kehidupannya selalu mengalami perubahan karena manusia senantiasa berpikir dan mewujudkan pikirannya dalam suatu kegiatan. Hal itu berlangsung secara terus-menerus sehingga menjadi kebudayaan terpelihara. Koentjraningrat (1984: 9) berpendapat bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang dibiasakannya dengan belajar bersama keseluruhan hasil budaya dan karyanya itu. Dengan demikian, kebudayaan suatu bangsa di mana pun agaknya berakar dari kebudayaan lama yang dihasilkan oleh nenek moyangnya. Bangsa Indonesia terkenal dengan budayanya yang beraneka ragam. Hal ini terjadi karena bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang mendiami
berbagai daerah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Berbagai jenis suku yang tercermin dari keanekaragaman budaya. Kelompok-kelompok suku yang merupakan sub budaya dari kebudayaan nasional itu perlu dilestarikan. Nurhadi (1987: 127) mengemukakan bahwa memahami karya sastra bukanlah pekerjaan yang mudah, karena kita berhadapan dengan sebuah teks yang tentunya harus diberi makna atau nilai. Membaca sebuah karya sastra khususnya cerita rakyat adalah kegiatan yang paradoksal. Kita menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan yang menjadikannya sesuatu yang akhirnya kita kenal. Hal-hal yang menyimpang, yang aneh, dan mengejutkan dalam karya sastra itu dinaturalisasikan, dikembalikan pada
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016
1
suatu yang kita kenal dan kita pahami agar komunikatif. Kebudayaan daerah dalam pembangunan di sektor kebudayaan memiliki peranan penting untuk memperkaya kebudayaan nasional. Cerita rakyat merupakan salah satu khazanah kebudayaan nasional yang menjadi kebanggaan bangsa. Sebagai salah satu aset kebudayaan nasional, cerita rakyat yang menjadi bagian dari sastra daerah harus terus dipelihara dan dikembangkan. Usaha pemeliharaan dan pengembangan sastra daerah tersebut terlepas dari upaya penggalian sumber-sumber kebudayaan daerah itu sendiri sebagai bagian dari kebudayaan nasional. Dengan demikian, sastra daerah tersebut tetap berkembang dan terus dapat dinikmati oleh generasi mendatang sebagai pewaris kebudayaan lokal yang bernilai tinggi. Hal ini dinilai penting, karena sastra daerah terutama cerita rakyat seolah-olah telah terlupakan. Padahal, cerita rakyat banyak mengandung nilai-nilai budaya yang sangat tinggi serta mempunyai muatan bentuk isi yang perlu diwarisi oleh pemakainya. Selain itu, kebudayaan daerah, khususnya yang mencakup cerita rakyat, merupakan budaya leluhur dan wahana untuk berkomunikasi antarmasyarakat lama dengan masyarakat sekarang. Pada umumnya, setiap daerah memiliki cerita rakyat secara turun temurun yang kemudian ditulis dalam beragam kumpulan cerita rakyat. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, di kalangan masyarakat Jawa Tengah juga banyak terdapat jenis cerita rakyat atau yang lebih dikenal dengan istilah dongeng. Dalam hal ini, cerita rakyat “Jaka Tarub” merupakan salah satu bentuk kesusastraan lama yang mempunyai tatanan nilai dan isi yang bermutu. Cerita “Jaka Tarub” merupakan sastra lisan daerah Jawa Tengah yang pelaku utamanya bernama Jaka Tarub. Jaka Tarub adalah seorang pemuda yang gemar berburu. Suatu ketika, Jaka Tarub melihat empat bidadari cantik yang
sedang mandi. Akhirnya timbul keinginannya untuk memiliki salah seorang di antara mereka. Ia pun mengendap-endap mengambil dan menyembunyikan salah satu selendang milik bidadari itu dan akhirnya Jaka Tarub menikahinya dan dikaruniai seorang anak. Cerita “Jaka Tarub” merupakan salah satu cerita rakyat yang tentu tidak terlepas dari nilai-nilai kehidupan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengenal nilai-nilai tersebut adalah dengan melakukan penelitian dan pengkajian sastra-sastra daerah yang dimiliki oleh ratusan suku bangsa dan didukung oleh ratusan daerah di Indonesia. Upaya seperti ini akan menunjang penyebarluasan dan pelestarian sastra daerah. Cerita rakyat mengandung nilai-nilai pendidikan dan norma-norma yang berkaitan dengan tata kehidupan. Namun masyarakat, khususnya para orang tua, kurang menyadari betapa pentingnya nilainilai yang terkandung dalam cerita rakyat yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber atau alat untuk mendidik anakanaknya agar memiliki akhlak yang mulia. Kita harus sadari bersama bahwa dengan membiasakan anak membaca cerita rakyat serta menanamkan pemahaman tentang nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat sejak dini dapat membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Melihat kenyataan tersebut, maka cerita rakyat sudah tentu perlu dilestarikan agar tidak pudar, punah atau lenyap. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian dan pengkajian yang lebih akurat. Sehubungan dengan itu penulis merasa perlu untuk menganalisis nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam cerita rakyat daerah Jawa Tengah yang berjudul “Jaka Tarub” dengan harapan masyarakat, khususnya generasi muda, memiliki kesadaran untuk mengembangkan dan melestarikan sastra daerah (cerita rakyat), sehingga nilai-nilai
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016
2
yang terkandung dapat tertanam dalam diri para generasi muda. Selain itu, alasan ketertarikan menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” adalah untuk menyebarluaskan kepada para pembaca bahwa di dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” terdapat nilai-nilai kehidupan yang dapat bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat. “Jaka Tarub” sebagai cerita yang cukup familier, seringkali dianggap oleh pembaca sebagai cerita yang tidak mengandung nilai, karena tokoh utama (Jaka Tarub) dikisahkan sebagai pencuri selendang bidadari Nawang Wulan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dijabarkan bahwa tokoh-tokohnya juga memiliki sifat baik yang dapat dijadikan teladan. Untuk mengungkap hal tersebut, digunakan pendekatan objektif, karena nilai-nilai sangat erat kaitannya dengan sifat atau karakter tokoh. Cerita rakyat, selain sebagai hiburan, juga merupakan alat pendidikan dan sarana pengungkapan isi hati. Tanggung jawab kita sebagai penikmat sekaligus pewaris sastra lisan adalah bagaimana menempatkan karya sastra tersebut menjadi karya yang mudah dipahami agar dapat dinikmati segala kalangan dan nilainilai positif yang terkandung di dalamnya dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, sehubungan dengan uraian tersebut, antara karya sastra dengan tata nilai adalah dua hal yang saling melengkapi kehadirannya di tengah-tengah masyarakat. Kajian Pustaka Sastra adalah suatu cermin kehidupan masyarakat pendukungnya, bahkan sastra menjadi identitas suatu bangsa. Melalui sastra, orang dapat mengidentifikasi perilaku kelompok masyarakat, bahkan dapat mengenali perilaku dan kepribadian masyarakat pendukungnya. Hal tersebut, dapat dilihat melalui sebuah analisis atau pengkajian sastra. Dalam mengkaji sebuah karya sastra kita dapat mengetahui unsur pembentuk karya sastra tersebut, serta
dapat memperoleh data-data yang terkandung di dalamnya melalui pendekatan atau teori-teori sastra. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Rafiek (2013: 2), pengkajian sastra adalah mengkaji suatu karya sastra secara mendalam dengan menggunakan teori sastra atau teknik analisis sastra yang tepat. Mengkaji sastra berarti menelaah karya sastra dengan menganalisis dan membahas data-data berupa kutipan kalimat atau paragraf yang mengandung masalah atau topik yang hendak kita jawab atau uraikan. Di dalam kesusastraan Indonesia dikenal adanya cerita rakyat. Cerita rakyat dibangun dan dikembangkan melalui bahasa lisan sebagai sarana pengungkapannya. Cerita rakyat adalah cerita yang berkembang pada masyarakat tertentu yang perkembangannya bersifat lisan dari mulut ke mulut dan dianggap sebagai milik bersama. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan Djamaris (1993: 15) bahwa cerita rakyat adalah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Dikatakan sebagai cerita rakyat karena cerita itu hidup di kalangan masyarakat dan semua lapisan masyarakat mengenal cerita ini. Cerita rakyat milik bersama (masyarakat), bukan milik seseorang. Cerita rakyat adalah cerita yang berasal dari masyarakat dan berkembang dalam masyarakat pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa yang memiliki kultur budaya yang beraneka ragam, mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa. Pada umumnya, cerita rakyat mengisahkan kejadian di suatu tempat atau asal muasal suatu tempat. Tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam cerita rakyat umumnya diwujudkan dalam bentuk binatang, manusia, maupun dewa. Cerita rakyat adalah bagian karya sastra yang berupa dongeng-dongeng atau bentuk-bentuk cerita lainnya yang berkembang di kalangan masyarakat
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016
3
tertentu yang disebarluaskan secara lisan dan tulisan. Karena cerita rakyat merupakan bagian dari karya sastra, maka dalam kebudayaan, cerita itu termasuk salah satu bagian dari unsur kebudayaan. Cerita rakyat merupakan salah satu perwujudan atau pikiran kelompok masyarakat pendukungnya. Cerita-cerita rakyat itu juga biasanya mengandung pikiran tentang nilai-nilai yang harus menjadi panutan masyarakat yang bersangkutan dalam menata tindakannya. Jan Harold Brunuard (dalam Danandjaya, 1986: 2), mengemukakan bahwa cerita rakyat adalah bagian dari folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya murni lisan. Kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yaitu folk dan lore. Kata Folk memiliki arti sama dengan kata kolektif, yaitu sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Sementara itu, kata lore berarti tradisi dari folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Dengan demikian, folklore adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat. Cerita rakyat tidak hanya berfungsi sebagai alat hiburan, pengisi waktu senggang, serta penyalur perasaan bagi penutur pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap pandangan dan angan-angan kelompok, alat pendidikan, alat pengesahan pranata dan lembaga kebudayaan serta pemeliharaan norma masyarakat. Suatu cerita rakyat sebagai milik bersama dalam masyarakat, juga berfungsi untuk memberi pelajaran bagi anak cucu sehingga berguna dan menyenangkan (Djamaris, 1993: 90). Cerita rakyat tidak hanya bermanfaat sebagai bahan untuk memahami keadaan
masyarakat masa lampau dan semata-mata alat hiburan, tetapi menurut (Bascom dalam Sikki, 1986: 13-14) fungsi cerita rakyat adalah sebagai berikut: (1) Cerita rakyat sebagai alat angan-angan kelompok. (2) Cerita rakyat digunakan sebagai alat pengetahuan dan pengikat adat kebiasaan kelompok, pranata yang merupakan lembaga kebudayaan masyarakat yang bersangkutan. (3) Cerita rakyat berfungsi sebagai pengendali sosial (social control) atau alat pengawasan agar norma-norma masyarakat dapat dipatuhi. (4) Cerita rakyat berfungsi sebagai alat pendidik budi pekerti kepada anak-anak atau tuntutan hidup. Sehubungan dengan konsep nilai, Poerwadarminta (Yunus, dkk, 1990: 104) menjelaskan bahwa nilai adalah kadar isi yang memiliki sifat-sifat atau hal-hal yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Nilai adalah sesuatu yang penting atau halhal yang bermanfaat bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran dalam sebuah karya sastra. Nilai adalah ide-ide yang menggambarkan serta membentuk suatu cara dalam sistem masyarakat sosial yang merupakan rantai penghubung terus-menerus dari kehidupan generasi dahulu. Arifin (1991: 80) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang penting atau hal-hal yang bermanfaat bagi manusia atau kemanusiaan yang menjadi sumber ukuran dalam sebuah karya sastra. Nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra, antara lain: nilai keindahan, nilai gotong royong, nilai tanggung jawab, nilai moral, nilai budaya, nilai religius, dan lainlain. Keindahan merupakan sifat dan ciri dari orang, hewan, tempat, objek, atau gagasan yang memberikan pengalaman persepsi kesenangan, bermakna, atau kepuasan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, keindahan diartikan sebagai keadaan yang enak dipandang, cantik, bagus benar atau elok. Keindahan dipelajari sebagai bagian dari estetika dan budaya. Sebuah ‘kecantikan yang ideal’
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016
4
adalah sebuah entitas yang dikagumi, atau memiliki fitur yang dikaitkan dengan keindahan dalam suatu budaya tertentu, untuk kesempurnaannya. Keindahan adalah ciptaan pengarang dengan seperangkat bahasa. Melalui eksplorasi bahasa yang khas, pengarang akan menampilkan aspek keindahan yang optimal. Namun, tidak hanya unsur bahasa saja, tetapi juga menyeluruh ke unsureunsur pembangun sastra (Endraswara, 2008 68). Menurut Koentjaraningrat (1964: 2) gotong royong adalah kerja sama di antara anggota-anggota suatu komunitas. Gotong royong dapat diartikan sebagai bentuk kerja sama yang dilakukan untuk satu tujuan tertentu demi kepentingan bersama. Disadari atau tidak, gotong royong merupakan warisan budaya tradisional Indonesia yang telah diakui dunia sejak lama. Secara sederhana, gotong royong juga mengandung arti saling membantu, demi kebahagiaan dan kerukunan hidup bermasyarakat. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia terhadap tingkah laku atau perbuatannya yang disengaja maupun tidak. Tanggung jawab dalam konteks pergaulan manusia adalah keberanian. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang berani menanggung risiko atas segala yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan rasa tanggung jawab, seseorang mampu berkorban demi kepentingan orang lain. Tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Tanggung jawab dibagi menjadi lima jenis, yaitu tanggung jawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa, serta tanggung jawab kepada Tuhan. Moral membahas tentang ajaran baik buruknya suatu perbuatan atau kelakuan manusia terhadap dirinya sendiri dan terhadap orang lain. Dengan demikian, nilai moral mencakup nilai hubungan manusia dengan manusia lain dan nilai
hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam hal ini, dapat juga berupa sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, dan susila. Suseno (1995: 18) menyatakan bahwa sikap moral sebenarnya adalah moralitas. Moral atau moralitas selalu mengacu pada baik buruknya manusia sebagai manusia, sehingga bidang-bidang moral adalah kehidupan masyarakat dilihat dari segi kebaikannya. Norma-norma moral adalah tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur kebaikan seseorang. Nilai moral adalah nilai kesusilaan yang dapat membedakan antara baik dan buruk, antara yang benar dengan yang salah. Dalam hal ini, mengenai tindak susila, sikap keadilan, dan kejujuran (Wahid, 2004: 147). Nilai budaya merupakan nilai yang selalu diselipkan oleh sastrawan dalam karyanya. Nilai budaya yang secara umum dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang berhubungan dengan tradisi atau kebudayaan yang tampak dan dialami dalam suatu kehidupan masyarakat tertentu. Nilai budaya secara umum dapat diartikan sebagai nilai-nilai yang berkenaan dengan tradisi atau kebiasaan yang tampak dan diakui dalam suatu kehidupan bermasyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Koentjraningrat (1950: 11) yang mengatakan bahwa nilai budaya adalah tingkat yang paling abstrak dari adat istiadat yang terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam pikiran sebagian besar masyarakat mengenai hal-hal yang harus dianggap bernilai dalam kehidupannya. Nilai-nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016
5
sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Untuk bisa membedah karya sastra agar maknanya diperoleh, maka diperlukan metode dan pendekatan sebagai kerangka dasar membangun pemahaman terhadap karya sastra tersebut. Dalam penelitian ini, metode dan pendekatan dirumuskan dengan definisi yang berbeda, namun dari aspek fungsi saling mendukung dalam mencapai puncak esensi makna sebuah karya. Ratna (2004: 55) mendefinisikan pendekatan sebagai cara-cara menghampiri objek, sedangkan metode adalah cara-cara mengumpulkan, menganalisis, dan menyajikan data. Tujuan metode adalah efisiensi dengan cara menyederhanakan, sedangkan pendekatan adalah suatu cara mendekati karya sastra dengan memanfaatkan metode dan teori yang ada. Salah satu pendekatan dalam menganalisis karya sastra adalah pendekatan objektif. Pendekatan objektif hadir karena adanya kebosanan para kritikus terhadap pendekatan ekspresif dan mimesis yang telah ada sebelumnya. Pendekatan Objektif adalah pendekatan yang memberi perhatian penuh pada karya sastra sebagai struktur yang otonom. Oleh karena itu, untuk memahami maknanya, karya sastra harus dianalisis berdasarkan strukturnya sendiri, lepas dari latar belakang sejarah, lepas dari diri dan niat penulis, dan lepas pula dari efeknya pada pembaca. Rene Wellek (1958 : 24) menyatakan bahwa analisis sastra harus mementingkan segi intrinsik. Senada dengan pendapat tersebut, Culler memandang bahwa karya sastra bersifat otonom yang maknanya tidak ditentukan oleh hal di luar karya sastra itu (1977: 127).
Pendekatan objektif merupakan pendekatan sastra yang menekankan pada segi intrinsik karya sastra yang bersangkutan, yaitu pendekatan yang sangat mengutamakan penyelidikan karya sastra berdasarkan kenyataan teks sastra itu sendiri. Hal-hal yang di luar karya sastra walaupun masih ada hubungan dengan sastra dianggap tidak perlu untuk dijadikan pertimbangan dalam menganalisis karya sastra (Yudiono, 1984: 53). Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Deskriptif mengandung pengertian bahwa penelitian ini menguraikan data secara objektif sesuai dengan data yang ditemukan dalam cerita rakyat. Sementara itu, kualitatif mengandung pengertian bahwa dalam menjelaskan konsep-konsep yang berkaitan satu sama lain digunakan katakata atau kalimat, bukan menggunakan angka-angka statistik. Jadi, metode deskriptif kualitatif adalah metode yang digunakan untuk menguraikan data secara objektif dengan menggunakan kata-kata atau kalimat. Penelitian ini tergolong penelitian kepustakaan (library research). Dikatakan penelitian kepustakaan karena penelitian ini didukung oleh referensi, baik berupa teks cerita rakyat maupun sumber buku penunjang lainnya yang mencakup masalah dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis yaitu teks cerita rakyat “Jaka Tarub” masyarakat Jawa Tengah, karya Tira Ikranegara. Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis yang memuat tentang cerita rakyat “Jaka Tarub” masyarakat Jawa Tengah. Buku yang dimaksud adalah Kisah Jaka Tarub (Dan Dongeng Lainnya) karya Tira Ikranegara, diterbitkan oleh penerbit Serba Jaya, Surabaya, 2008. Buku tersebut terdiri atas tujuh cerita, yaitu: “Jaka Tarub”, “Akal
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016
6
Seekor Kelinci”, “Singa Tua dan Serigala”, “Utusan Dewa”, “Pembalasan Seekor Burung”, “Keledai Bodoh”, dan “Buaya Diakali Kera”. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah membaca dan mencatat. Teknik membaca yaitu kegiatan membaca keseluruhan teks cerita “Jaka Tarub”. Sedangkan teknik mencatat yaitu kegiatan mencatat data-data yang diperoleh dari hasil pembacaan yang berkaitan dengan penelitian seperti kutipan yang meliputi tingkah laku tokoh, jalan pikiran tokoh untuk membentuk suatu
paparan kebahasaan yang memuat tentang nilai-nilai yang terkandung dalam teks. Data dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan objektif. Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang membatasi diri pada penelaahan karya sastra itu sendiri, terlepas dari soal pengarang dan pembacanya. Pendekatan objektif yang juga adalah struktural memiliki tujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, sedetail, dan seteliti mungkin keterkaitan dan keterjalinan makna secara menyeluruh (Wahid, 2004: 73).
Hasil dan Pembahasan 4.1 Sinopsis Cerita Rakyat “Jaka Tarub” Dalam buku Kisah Jaka Tarub (Dan Dongeng Lainnya) karya Tira Ikranegara, yang diterbitkan penerbit Serba Jaya, Surabaya, 2008, cerita “Jaka Tarub” berkisah tentang kehidupan Jaka Tarub. Dimulai ketika Dewi Rasa Wulan, yang merupakan adik Raden Said putra Adipati Tuban, bertapa ngijang, yaitu hidup di tengah-tengah hutan, meniru perilaku kijang. Suasana panas membuat gadis itu gerah, sehingga menceburkan dirinya ke dalam telaga. Air telaga tidak begitu dalam. Hanya sebatas lehernya. Dia berendam beberapa saat lamanya. Menikmati kesegaran murni air telaga. Tiba-tiba ada perasaan aneh pada diri sang gadis. Dalam sesaat, dia seolah-olah sedang bermimpi bercengkerama dengan seorang pemuda tampan. Bercumbu rayu dengan asyiknya. Perasaan itu hanya sekejap saja. Selanjutnya dia sadar bahwa dia berada dalam air telaga. Tiba-tiba dia merasa jengah dan malu. Dia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tak ada orang. Dia merasa lega. Namun ketika menengok ke atas, ke arah sebuah pohon besar yang batangnya condong ke telaga, dia menjadi kaget. Di atas sebuah dahan yang besar dia melihat seseorang sedang
tertidur pulas. Seorang lelaki setengah baya bernama Ki Ageng Gribig. Dewi Rasa Wulan langsung marah kepada Ki Ageng Gribig yang menurutnya sengaja mengintip dia mandi. Namun, Ki Ageng Gribig mengatakan bahwa dia sedang bertapa, tetapi memang saat bertapa dia bermimpi bertemu dengan seorang gadis yang wajahnya mirip Dewi Rasa Wulan. Tidak disangka, pertemuan dalam mimpi tersebut membuat Dewi Rasa Wulan hamil. Perutnya langsung membesar. Dengan penuh amarah, gadis itu menyuruh Ki Ageng Gribig mengeluarkan bayi di perutnya. Akhirnya, dengan mengetuk-ngetukkan jari tangannya tiga kali seperti orang memanggil ayam, Ki Ageng Gribig berhasil mengeluarkan bayi dari perut si gadis, dan langsung berada dalam gendongan Ki Ageng Gribig. Menyadari perutnya kembali seperti semula, Dewi Rasa Wulan bersimpuh mengucapkan terima kasih lalu segera meninggalkan tempat itu. Karena Ki Ageng Gribig masih harus berkelana ke seluruh Tanah Jawa, dia pun meninggalkan hutan untuk menemui Nyi Randa Tarub, seorang janda yang dia ketahui sangat menginginkan anak. Dengan senang hati, Nyi Randa Tarub menerima tawaran Ki Ageng Gribig untuk merawat dan
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016
7
membesarkan bayi yang diberi nama Kidang Telengkas itu. Demikianlah, bayi itu diasuh oleh Nyi Randa Tarub. Bertahun-tahun kemudian Kidang Telengkas telah menjadi besar. Karena dia tinggal di Desa Tarub maka dia disebut dan dipanggil pula dengan nama Jaka Tarub. Setelah meningkat dewasa, Jaka Tarub telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan. Dia gemar sekali berburu binatang dengan menggunakan sumpitan. Suatu hari ketika sedang berburu, Jaka Tarub melihat empat bidadari cantik yang sedang mandi di sebuah telaga kecil dalam hutan. Akhirnya timbul keinginannya untuk memiliki salah seorang di antara mereka. Dia pun mengendap-endap mengambil dan menyembunyikan salah satu selendang milik bidadari itu. Ketika akan kembali ke kahyangan, seorang bidadari bernama Dewi Nawang Wulan menyadari bahwa pakaiannya hilang. Ketiga bidadari lain turut membantu Dewi Nawang Wulan mencari pakaian bidadarinya, namun tidak juga ketemu. Karena hari sudah demikian sore, ketiga teman Dewi Nawang Wulan dengan terpaksa meninggalkan bidadari itu. Dewi Nawang Wulan hanya bisa menangis menyesali nasibnya, dia tetap berendam di dalam air telaga. Tidak mungkin dia keluar dari air telaga dalam keadaan telanjang. Maka di dalam hatinya dia berujar, siapa yang bisa menolongnya memberi pakaian maka orang itu akan dijadikan suaminya. Beberapa saat kemudian muncullah Jaka Tarub mendekati Dewi Nawang Wulan yang sedang menangis. Pemuda itu langsung menolong Nawang Wulan dengan memberikan jeriknya untuk dijadikan penutup tubuh gadis itu. Dewi Nawang Wulan kemudian dengan jujur menceritakan apa sebenarnya yang telah terjadi. Bahwa dia sebenarnya adalah seorang bidadari dari kahyangan. Dan dia juga menceritakan tentang janjinya untuk menjadi istri orang yang telah menolongnya. Jaka Tarub pun membawa Dewi Nawang Wulan pulang ke rumahnya.
Hari-hari berlalu, Jaka Tarub pada akhirnya memperistri Dewi Nawang Wulan. Namun kebahagiaan mereka sedikit terganggu, karena tidak lama setelah mereka menikah Nyi Randa Tarub meninggal dunia. Beberapa tahun kemudian Dewi Nawang Wulan melahirkan seorang bayi perempuan yang diberi nama Nawangsih. Jaka Tarub dan Nawang Wulan hidup dengan bahagia. Terlebih lagi ada satu keajaiban, padi di lumbung mereka sepertinya tidak pernah habis, padahal sudah sedemikian sering Dewi Nawang Wulan menanak nasi untuk keluarganya. Tetapi pada suatu hari terjadi peristiwa yang merupakan sebuah permulaan malapetaka, yaitu ketika Dewi Nawang Wulan meminta Jaka Tarub menjaga nasi yang tengah dia tanak, karena dia harus membawa Nawangsih ke sungai untuk membersihkan buang airnya. Nawang Wulan juga berpesan agar Jaka Tarub tidak membuka tutup kukusan itu. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub sedikit terheran dengan pesan itu. Rasa herannya menjadi rasa ingin tahu. Perlahan-lahan dibukanya tutup kukusan itu. Alangkah terkejutnya Jaka Tarub ketika mengetahui isi dalam kukusan itu, ternyata hanya setangkai padi. Bagian dalam kuksan itu juga kelihatan aneh. Jaka Tarub terus diliputi rasa keheranan. Selama ini padi di lumbungnya memang seperti tak pernah berkurang. Mungkin itu sebuah ilmu yang dibawa istrinya dari kahyangan. Menanak setangkai padi, cukup dimakan untuk satu keluarga. Puas memandangi isi kukusan itu, Jaka Tarub kemudian menutupnya kembali. Dia mencoba mengembalikannya seperti semula, tetapi selalu gagal, dia tak bisa menutupnya seperti keadaannya semula. Akhirnya dia tutup kukusan itu dengan sembarangan. Setelah kembali dari sungai, Dewi Nawang Wulan tahu bahwa suaminya telah membuka tutup kukusan itu, dia menjadi terkejut dan marah. Dia menyesali
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 8
atas kelancangan suaminya, yang telah melanggar pesannya untuk tidak membuka tutup kukusan itu hingga kesaktiannya musnah. Akhirnya, di hari-hari berikutnya, Dewi Nawang Wulan harus menumbuk padi sebelum memasak. Jaka Tarub menyesal. Tetapi semuanya telah terjadi. Dia hanya bisa membuatkan alat penumbuk padi untuk istrinya. Dari hari ke hari Dewi Nawang Wulan menjalani kehidupan dan kebiasaan manusia yang penuh dengan kerumitan. Dia semakin tidak kerasan. Hanya karena adanya Nawangsih yang masih kecil yang membuatnya masih betah tinggal di bumi. Hati kecilnya masih merindukan kehidupan kahyangan. Untuk itu berkalikali dia mencoba pergi ke tepian telaga berharap agar saudara-saudaranya sesama bidadari ingat pada dirinya dan turun ke telaga itu. Namun, harapan tinggal harapan belaka. Saudara-saudaranya tidak lagi turun ke telaga. Pada suatu hari, ketika Dewi Nawang Wulan mengambil padi dalam lumbung, pandangannya menatap sebuah benda. Benda itu diambilnya dan alangkah terkejutnya ketika dia mengetahui benda itu adalah pakaian bidadarinya yang selama ini hilang. Dewi Nawang Wulan segera mengenakan pakaian itu yang memang pas di tubuhnya. Sementara itu Jaka Tarub tengah terheran-heran, kenapa istrinya demikian lama berada di lumbung padi. Dan lebih heran lagi ketika Dewi Nawang Wulan muncul dengan wujud yang lain. Wujud seorang bidadari. Dewi Nawang Wulan yang marah akhirnya pamit untuk kembali ke kahyangan. Jaka Tarub menyesal dan meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi Nawang Wulan sudah bulat dengan tekadnya untuk kembali ke kahyangan. Meskipun demikian, dia masih memikirkan nasib Nawangsih yang masih menyusu. Akhirnya dia mendapat ide agar Jaka Tarub membuat dangau dekat pondok
mereka, maka setiap malam Nawang Wulan akan datang untuk menyusuinya. Dengan hati teriris Jaka Tarub menyaksikan istrinya terbang ke angkasa. Dewi Nawang Wulan melambaikan tangannya sampai hilang di balik awan. Setelah kejadian itu, Jaka Tarub segera memenuhi permintaan istrinya untuk mendirikan dangau dekat pondoknya. Dan semenjak itu setiap malam dia melihat Dewi Nawang Wulan menyusui anaknya dan bercengkerama sampai anak itu tertidur. Bila anaknya sudah tertidur maka dewi Nawang Wulan segera terbang lagi ke balik awan. Jaka tarub hanya bisa memandangi kedatangan dan kepergian istrinya dengan sejuta penyesalan. 4.2
Nilai-Nilai dalam Cerita Rakyat “Jaka Tarub” 4.2.1 Nilai Keindahan (Estetika) dalam Cerita Rakyat “Jaka Tarub” Nilai keindahan dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” dilihat dari segi struktur isinya (unsur intrinsik), yaitu gambaran fisik tokoh, yang merupakan bagian dari watak tokoh. Hal tersebut mengacu pada substansi keindahan, yaitu merupakan sifat dan ciri dari orang, hewan, tempat, objek, atau gagasan yang memberikan pengalaman persepsi kesenangan atau kepuasan. Dalam fiksi, untuk membedakan tokoh satu dengan yang lainnya, pengarang menghadirkan gambaran fisik maupun gambaran tingkah lakunya. Hal tersebut merupakan teknik penggambaran karakter tokoh, sehingga masing-masing tokoh mudah dikenal atau mudah diingat pembaca. Cerita “Jaka Tarub” mengandung nilai keindahan (nilai estetis) yang tercermin dari penggambaran fisik tokoh empat bidadari yang dijumpai Jaka Tarub di sebuah telaga kecil tengah hutan. Paras para bidadari digambarkan sangat cantik. Saking cantiknya, Jaka Tarub berpikir bahwa dia tengah melihat peri penunggu hutan atau bidadari dari kahyangan. Jika
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 9
yang terlihat atau tertangkap indra penglihatan Jaka Tarub adalah hal sebaliknya, kemungkinan besar Jaka Tarub tidak akan mencuri salah satu selendang yang tergeletak di tepi telaga. Perhatikan kutipan berikut: Keindahan memang cenderung menimbulkan impresi (efek atau pengaruh yang dalam) bagi subjek yang menyaksikannya. Tokoh empat bidadari yang digambarkan memiliki wajah cantik membuat Jaka Tarub “tergoda” untuk memiliki salah seorang di antara mereka, meskipun perbuatan yang dipilih Jaka Tarub untuk mewujudkan keinginannya tersebut merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Tetapi, dalam hal ini, nilai yang ditelaah untuk dijadikan pembelajaran bagi pembaca adalah nilai keindahan yang terwujud dalam diri empat bidadari. Dengan dihadirkannya tokoh empat bidadari yang memiliki wajah cantik, juga dihadirkannya tokoh lelaki biasa (bukan dari kahyangan) yang mengagumi kecantikan para bidadari tersebut, menunjukkan bahwa betapa pentingnya memiliki sisi “indah” dalam diri, khususnya bagi perempuan. Kecantikan yang dimiliki empat bidadari dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” tersebut memberikan pemahaman berharga kepada pembaca untuk mulai menggali “keindahan” yang terdapat dalam diri, bukan hanya keindahan fisik, tetapi juga keindahan hati. Selanjutnya, keindahan tersebut akan terpancar dengan sendirinya, sehingga mampu memikat orang lain untuk menciptakan hubungan sosial yang akrab dan bermanfaat. Beberapa kutipan menegaskan bahwa Dewi Nawang Wulan memang pantas menjadi bidadari karena wajahnya yang cantik. Kecantikan menjadi ciri (tanda pengenal) utama dari bidadari. Karya fiksi, umumnya, tidak menggambarkan bidadari berwajah jelek. Bidadari adalah perempuan cantik, sehingga eksistensinya merepresentasikan keindahan bagi perempuan. Oleh karena itu, sering kita
temukan pernyataan: Dia cantik seperti bidadari. Keindahan (kecantikan) akan selalu menimbulkan ketertarikan, rasa suka, bahkan kesenangan bagi siapa pun yang melihatnya. Dengan demikian, hakikat keindahan, yaitu untuk menghadirkan perasaan positif bagi orang lain, telah tercapai. Dalam sebuah kutipan tergambar bahwa Jaka Tarub ingin membuat ibunya senang dengan kehadiran Nawang Wulan sebagai (calon) istrinya. Wajah yang cantik, sekali lagi, merupakan alasan ibu Jaka Tarub pasti senang menerima kehadiran bidadari itu. Jadi, berdasarkan penjelasan yang telah dihadirkan, sangat jelas bahwa struktur isi cerita rakyat “Jaka Tarub” mengandung nilai keindahan (nilai estetis) yang tercermin melalui penggambaran fisik para bidadari. Nilai keindahan tersebut digambarkan langsung dengan menyebut kecantikan para bidadari, juga dari reaksi atau respons “ketertarikan” yang ditunjukkan Jaka Tarub sebagai orang yang melihat keindahan tersebut. Dengan demikian, para pembaca pun akan turut merasakan keindahan tersebut. Pembaca perempuan, misalnya, dapat menyerap keindahan para bidadari dengan menjadi pribadi yang selalu menjaga kecantikan luar maupun kecantikan hatinya. 4.2.2 Nilai Gotong Royong dalam Cerita Rakyat “Jaka Tarub” Nilai gotong royong dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” tercermin melalui kegiatan bekerja sama yang ditunjukkan tiga bidadari teman Nawang Wulan (bidadari yang pakaiannya dicuri Jaka Tarub) ketika bidadari tersebut menyadari bahwa dia telah kehilangan pakaian. Selanjutnya, ada kepedulian yang ditunjukkan tiga bidadari atas kemalangan Nawang Wulan, teman mereka. Tiga bidadari tersebut mau ikut membantu mencari selendang yang hilang. Sikap tersebut mengandung nilai yang
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 1
bermanfaat bagi pembaca untuk diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat sebagai upaya meringankan suatu aktivitas atau pekerjaan orang lain. Sikap tidak membiarkan kemalangan yang menimpa teman mereka merupakan salah satu perbuatan terpuji. Mereka turut berusaha mencari pakaian Nawang Wulan, dan ketika pakaian tersebut tidak ditemukan, mereka dengan berat hati/terpaksa meninggalkannya. Rasa “terpaksa” meninggalkan sang teman menjadi penegas bahwa gotong royong tiga bidadari dalam mencari pakaian yang hilang adalah perbuatan yang benar-benar tulus. Dua hal tersebut patut digarisbawahi dalam bekerja sama sebagai nilai yang sangat bermanfaat untuk diserap oleh pembaca, yaitu (1) bersedia bergotong royong untuk meringankan beban seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu masalah yang tengah dihadapi, serta (2) melakukan pekerjaan (gotong royong) tersebut dengan senang hati dan ikhlas. Dalam cerita rakyat “Jaka Tarub”, meskipun tiga bidadari tidak berhasil menemukan selendang adik mereka, tetapi telah ada upaya untuk membantu. Esensi gotong royong atau kerja sama adalah untuk meringankan beban, memudahkan segala pekerjaan, mengefektifkan waktu, serta dapat menjalin kebersamaan. Berhasil atau tidak, yang terpenting adalah proses gotong royong tersebut. Gotong royong dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” juga tergambar melalui sikap pasangan suami istri, Jaka Tarub dan Nawang Wulan, yang bergotong royong (bekerja sama) dalam mengurus rumah tangga. Ketika Nawang Wulan sedang memasak, lalu anak mereka, Nawangsih, buang air, Jaka Tarub mau membantu istrinya untuk menjaga nasi yang tengah dikukus. Meskipun Jaka Tarub seorang lelaki (suami), dia mau menerima pekerjaan yang umumnya dikerjakan perempuan. Perilaku tersebut mengandung manfaat yang baik dicontoh para pembaca, khususnya pasangan suami istri.
Perilaku gotong royong dalam kehidupan berumah tangga, yaitu dalam mengurus anak dan rumah, memang harus dilakukan bersama-sama oleh suami dan istri, apalagi bila sang anak masih kecil. Dengan bergotong royong, tugas-tugas rumah tangga menjadi lebih ringan dan cepat. Jadi, berdasarkan penjelasan yang telah dihadirkan, sangat jelas bahwa cerita rakyat “Jaka Tarub” mengandung nilai gotong royong yang tercermin melalui watak tiga bidadari yang peduli terhadap nasib Nawang Wulan, juga watak Jaka Tarub yang mau membantu istrinya mengurus rumah tangga. Nilai gotong royong tersebut digambarkan langsung melalui perkataan dan perbuatan para tokohnya, sehingga pembaca bisa dengan mudah menyerap nilai positif tersebut, dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. 4.2.3 Nilai Tanggung Jawab dalam Cerita Rakyat “Jaka Tarub” Nilai tanggung jawab yang terdapat dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” tercermin melalui sikap yang ditunjukkan Nawang Wulan ketika bidadari tersebut berhasil mendapatkan kain untuk menutupi tubuhnya. Terlihat jelas bahwa Nawang Wulan menunjukkan sikap tanggung jawab, yaitu bersedia menepati janji yang telah diucapkannya. Menepati janji adalah tanggung jawab dari orang yang telah berjanji. Dalam cerita rakyat “Jaka Tarub”, Nawang Wulan bersedia menikah dengan Jaka Tarub meskipun mengetahui bahwa mereka berbeda. Nawang Wulan seorang bidadari sedangkan Jaka Tarub adalah pemuda biasa. Nilai tanggung jawab yang terdapat dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” juga tercermin ketika Nawang Wulan mengetahui kebenaran yang selama setahun disembunyikan suaminya (Jaka Tarub). Nawang Wulan masih mengingat kewajibannya sebagai seorang ibu. Meskipun dia akan meninggalkan (tidak lagi menjadi istri) Jaka Tarub, bidadari
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 1
tersebut tetap memikirkan nasib anaknya yang masih menyusu. Dia dengan bijaksana mencari solusi yang tidak merugikan sang anak, meskipun kemarahannya kepada Jaka Tarub sangat besar. Nawang Wulan menjadi sosok ibu yang tetap mengasihi anaknya, meskipun dia tahu bahwa ayah anaknya (Jaka Tarub) telah membohonginya. Hal tersebut menunjukkan tanggung jawab seorang ibu yang patut diteladani. Apa pun permasalahan dengan suami, anak tidak boleh menjadi korban. Bagaimana pun, anak, apalagi masih balita, sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian kedua orang tuanya. Jika salah satu sosok orang tua tidak hadir dalam proses pertumbuhannya, anak pasti akan merasa kekurangan kasih sayang. Rasa cinta Nawang Wulan kepada anaknya, Nawangsih, juga ditunjukkan ketika bidadari itu mengambil Nawangsih dalam gendongan Jaka Tarub. Diciumi anak itu, dengan berurai air mata. Kecintaan seseorang pada suatu hal (apalagi didasari ikatan darah) memang selalu dibarengi rasa tanggung jawab. Cinta yang tulus berbuah tanggung jawab. Itu pula yang tergambar dalam diri Nawang Wulan terhadap anaknya. Ketika hendak berpisah dengan Nawangsih, Nawang Wulan menciumnya dengan berurai air mata. Hal tersebut merupakan pertanda bahwa dia sangat berat meninggalkan anaknya. Pada akhirnya, Nawang Wulan bisa tetap menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu, karena setiap malam Dewi Nawang Wulan memang datang menyusui anaknya dan bercengkerama sampai anak itu tertidur. Selain sikap tanggung jawab yang ditunjukkan Nawang Wulan, Jaka Tarub pun merupakan sosok ayah yang bertanggung jawab setelah menyesali segala perbuatannya terhadap Nawang Wulan. Menyadari bahwa dirinyalah yang menyebabkan Nawang Wulan kembali ke
kahyangan, Jaka Tarub yang telah menyesali kesalahannya, bertanggung jawab atas perbuatannya dengan mendirikan dangau dekat pondoknya. Dia pun tidak lagi melanggar janji untuk tidak mendekati dangau selama Nawang Wulan sedang menyusui di tempat itu. Semua dilakukan Jaka Tarub demi kebaikan anak mereka. Bagaimana pun, sikap yang ditunjukkan Jaka Tarub dan Nawang Wulan sangat bijaksana. Meskipun keduanya telah berpisah (tidak lagi menjadi suami istri), tetapi mereka masih memikirkan kebahagiaan anak semata wayang mereka. Hal tersebut menunjukkan nilai tanggung jawab yang dapat menginspirasi pembaca untuk bersikap demikian. 4.2.4 Nilai Moral dalam Cerita Rakyat “Jaka Tarub” Nilai moral dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” tergambar melalui sikap tolongmenolong tanpa pamrih yang ditunjukkan Nyi Randa Tarub terhadap seorang bayi yang ditinggalkan ibunya. Nyi Randa Tarub memiliki hati yang mulia, karena mau merawat seorang anak tanpa banyak bertanya tentang asal-usul sang ibu kandung. Selain karena sudah lama menginginkan seorang anak, Nyi Randa Tarub juga dihadapkan pada alasan Ki Ageng Gribig yang tidak bisa merawat anak tersebut karena harus berkelana ke seluruh tanah Jawa. Jika Nyi Randa tidak memiliki hati yang baik, dia tentu tidak mau merawat anak Ki Ageng Gribig tersebut, apalagi dirinya adalah seorang janda. Tetapi, Nyi Randa Tarub menyanggupinya dengan penuh antusiasme. Akhirnya, Jaka Tarub pun tumbuh dewasa dalam pengasuhan Nyi Randa Tarub. Kebaikan Nyi Randa Tarub dalam membesarkan Jaka Tarub adalah nilai moral yang patut dicontoh oleh para pembaca cerita rakyat “Jaka Tarub”. Perempuan tersebut berhasil menjaga
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 1
amanah dengan baik hingga dia meninggal. Nilai moral dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” juga tergambar melalui perbuatan meminta maaf yang dilakukan Jaka Tarub kepada Nawang Wulan. Permintaan maaf tersebut disampaikan Jaka Tarub ketika Nawang Wulan menyadari bahwa suaminya tersebut telah merusak kukusan nasi miliknya yang menyebabkan dirinya tidak bisa lagi menanak nasi hanya dari setangkai padi. Perbuatan Jaka Tarub memang salah, karena dia telah melanggar janji, yaitu membuka penutup kukusan nasi istrinya. Namun, perbuatan salah tersebut dibarengi dengan kebesaran hati untuk meminta maaf. Sebagai wujud permintaan maafnya, Jaka Tarub bahkan membuat peralatan menumbuk padi untuk istrinya sesuai permintaan Nawang Wulan. Saat melihat istrinya bekerja keras menumbuk padi, Jaka Tarub pun kian menyesal dengan perbuatan ingkar janjinya. Jaka Tarub menyesali kelancangannya membuka penutup kukusan nasi istrinya. Dia tidak tega melihat istrinya bekerja keras karena ulahnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa Jaka Tarub masih memiliki moral yang baik. Penyesalan diikuti perbuatan meminta maaf adalah dua hal yang patut ditiru oleh para pembaca. Tidak mudah untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf. Tetapi, tokoh Jaka Tarub dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” tersebut kembali melakukannya ketika rahasianya menyembunyikan pakaian bidadari Nawang Wulan terkuak. Tidak dipungkiri bahwa di awal dan tengah cerita, Jaka Tarub digambarkan sebagai pribadi yang memiliki sifat kurang terpuji, tidak bermoral. Dia melakukan dua kesalahan. Pertama, menyembunyikan pakaian bidadari Nawang Wulan, kemudian pura-pura membantu bidadari tersebut, sehingga mereka menikah. Kedua, Jaka Tarub ingkar janji. Dia membuka penutup kukusan nasi istrinya, padahal telah diingatkan untuk tidak melakukan hal tersebut. Namun, lepas dari
perbuatan tidak terpuji tersebut, Jaka Tarub juga digambarkan sebagai tokoh yang memiliki moral yang baik, yaitu memiliki kebesaran hati untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf, serta menyesali segala perbuatan buruknya. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai moral tergambar melalui sikap dan perbuatan Nyi Randa Tarub serta Jaka Tarub. Perbuatan bermoral yang ditunjukkan keduanya berbeda, namun tetap memiliki hakikat yang sama, yaitu melakukan kebaikan untuk orang lain. 4.2.5 Nilai Budaya dalam Cerita Rakyat “Jaka Tarub” Nilai-nilai budaya merupakan nilainilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan, simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan satu dan lainnya sebagai acuan perilaku. Nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” ditunjukkan melalui kegiatan ziarah kubur yang dilakukan Nyi Randa Tarub. Nyi Randa Tarub berziarah ke makam suaminya yang telah lama meninggal. Tidak dijelaskan secara spesifik alasan Nyi Randa Tarub berziarah. Tetapi, secara umum, ziarah kubur merupakan salah satu kebiasaan yang berkembang di masyarakat. Ziarah dilakukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal, membersihkan maupun memperindah makam, atau sekadar ingin merasa dekat dengan tempat (tanah) peristirahatan terakhir orang yang telah meninggal tersebut. Mengingat “Jaka Tarub” merupakan cerita rakyat yang muncul sejak zaman dahulu, perlu dikemukakan bahwa kegiatan ziarah kubur masih tetap berlangsung di masyarakat hingga saat ini. Dengan demikian, kegiatan tersebut telah mengakar turun-temurun dalam lingkungan masyarakat, menjadi sebuah kebudayaan yang memiliki banyak
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 1
manfaat, baik bagi peziarah maupun bagi orang yang makamnya diziarahi. Selain ziarah kubur, nilai budaya yang terdapat dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” juga tergambar melalui aktivitas bertapa yang dilakukan seorang gadis bernama Dewi Rasa Wulan. Bertapa adalah mengasingkan diri dari keramaian dunia dengan menahan hawa nafsu (makan, minum, tidur, birahi) untuk mencari ketenangan batin. Pada cerita rakyat “Jaka Tarub” tersebut, Dewi Rasa Wulan melakukan aktivitas bertapa ngijang, yaitu hidup di tengah hutan meniru perilaku kijang. Selain Dewi Rasa Wulan, dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” terdapat satu lagi tokoh yang tengah bertapa, yaitu Ki Ageng Gribig. Tokoh Dewi Rasa Wulan dan Ki Ageng Gribig sama-sama melakukan tapa, tetapi dengan cara berbeda. Saat ini, di daerah-daerah tertentu di Indonesia, masih bisa kita jumpai atau telusuri orang-orang yang bertapa dengan tujuan tertentu. Misalnya untuk mendapat ketenangan, kesaktian, kekayaan, dan sebagainya. Bertapa merupakan salah satu kebudayaan yang berkembang di masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu. Cerita rakyat “Jaka Tarub”, sebagai prosa lama, membuktikan hal tersebut.
Penutup 5.1 kesimpulan Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat “Jaka Tarub” dalam buku Kisah Jaka Tarub (Dan Dongeng Lainnya) karya Tira Ikranegara, diterbitkan oleh penerbit Serba Jaya, Surabaya, 2008, adalah: (1) Nilai keindahan/estetika; (2) nilai gotong royong; (3) Nilai tanggung jawab; (4) Nilai moral; (5) Nilai budaya. Nilai-nilai tersebut umumnya tergambar melalui ciri fisik tokoh, sifat para tokoh, dan kebiasaan para tokoh. 5.2 Saran Berdasarkan simpulan, peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut:
1. Hasil penelitian yang dilakukan terhadap cerita rakyat “Jaka Tarub” dalam buku Kisah Jaka Tarub (Dan Dongeng Lainnya) karya Tira Ikranegara, dengan judul Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Cerita Rakyat “Jaka Tarub” di Daerah Jawa Tengah dapat dijadikan bahan pembelajaran di sekolah, khususnya dalam materi menganalisis unsur-unsur karya sastra. 2. Penelitian ini mengkaji beberapa nilainilai pendidikan, untuk itu kepada peneliti sastra hendaknya melanjutkan analisis dengan mengkaji aspek baik yang ada dalam cerita rakyat tersebut. 3. Bagi pembaca, penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam memahami cerita rakyat “Jaka Tarub” dari daerah Jawa Tengah, bahwa cerita rakyat tersebut sarat nilai-nilai kehidupan yang dapat dipetik manfaatnya.
Daftar Pustaka Ahmad, Yunus dkk., 1990. Kajian Analisis Hikayat Budistiraha. Jakarta : Depdikbud. Arifin, Syamsir. 1991. Kamus Sastra Indonesia. Padang : Angkasa Raya. Balawa, La ode. 1991. Teori Sastra Pelancar Perkuliahan pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unhalu. BKKBN. 1988. Perubahan Nilai Adat dan Nilai hidup Masyarakat. Jakarta : BKKBN. Danandjaya, James. 1986. Folklor Indonesia (Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain). Jakarta : Pustaka Grafitipers. Darajat, Zakiah. 1990. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : Bulan Bintang.
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 1
Djamaris, Edwar. 1993. Menggali Khasanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta : Balai Pustaka Edraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Med Press. Enre, Fachruddin Ambo. 1981. Sastra Lisan Bugis. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Esten, Mursal. 1990. Sastra Indonesia dan Tradisi Subkultur. Bandung: Angkasa. Ikranegara, Tira. 2008. Kisah Jaka Tarub dan Dongeng Lainnya. Surabaya: Penerbit Serba Jaya Koentjraningrat. 1984. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : DJambatan. . 1950. Manusia dan Kebudayaan Indonesia. Jakarta : Djambatan. Nurhadi. 1987. Kapita Selekta Kajian Bahasa dan Sastra, dan Pengajarannya. Yayasan Asah Asih Asuh. Malang. Pradotokusumo. 2001. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana. Purwanto, Ngalim. 1993. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Ganesha. Rafiek, M. 2013. Pengkajian Sastra : Kajian praktis. Bandung : PT Refika Aditama. Sayuti, Suminto A. 2001. Strukturalisme Dinamik dalam Pengkajian Sastra. Yogyakarta: Gama Media.
Setiadi, Elly. M. 2006..Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta: Kencana. Sikki, Muhamad. 1986. Nilai-Nilai Budaya dalam Budaya Sulawesi Selatan. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami kesusasteraan. Bandung: PT. gramedia. Sumarjo, Jakob. 1988. Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta : Gramedia. Suseno, Frans Magnis. 1995. Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta : Konisius. Suwondo, Tirto. 1994. Nilai-Nilai Budaya Sastra Jawa. Jakarta : Depdikbud. Suyitno. 1986. Sastra dan tata nilai. PT.Hanindata. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra : Pengantar Teori Sastra. Jakarta : Pustaka Jaya. Wahid, Sugira. 2004. Kapita Selekta Kritik Sastra. Makasar : Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Welek
dan Waren. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Umum.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Penerjemah Budianta, Melani. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Zulfahnur, et. al., 1996/1997. Teori Sastra. Jakarta : Depdikbud.
Semi, Atar. 1993. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Jurnal Bastra Vol. 1, No. 1, Maret 2016 1