BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Sastra berasal dari bahasa sanskerta, yang tersusun dari kata sas dan tra. Sas yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk, instruksi, sedangkan tra berarti alat, sarana (Ratna, 2010:4). Secara leksikal sastra dapat diartikan sebagai alat atau sarana untuk mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi dalam hal apa pun yang diimajikan serta harapan pengarang. Dalam perkembangan berikutnya, sastra dikombinasikan dengan awalan su sehingga menjadi susastra yang diartikan sebagai hasil ciptaan yang baik dan indah. Namun dalam teori kontemporer sastra dikaitkan dengan ciri-ciri imajinasi dan kreativitas, yang selanjutnya merupakan satu-satunya ciri-ciri khas kesusastraan (Ratna, 2010:5). Wujud karya sastra mempunyai dua aspek penting, yaitu isi dan bentuk. Isinya adalah tentang pengalaman hidup manusia, sedangkan bentuknya adalah segi-segi yang menyangkut cara penilaian, yaitu cara sastrawan memanfaatkan bahasa yang indah untuk mewadahi isinya (Semi, 1988:8). Menurut Teeuw (1984:136), karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping setiap karya memiliki ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri. Salah satu karya sastra yang memiliki struktur yang bagus, yaitu novel Pulang karya Leila S. Chudori. Pulang berkisah tentang orang-orang yang merindukan tanah kelahiran sebagai tempat terindah dalam kehidupannya. Dalam
1
2
sinopsis cover belakangnya disebutkan “Pulang adalah sebuah drama keluarga, persahabatan, cinta dan pengkhianatan berlatar belakang tiga peristiwa bersejarah: Indonesia 30 September 1965; Prancis Mei 1968; dan Indonesia Mei 1998”. Ringkasan ini mengindikasikan kompleksitas cerita yang tinggi. Keluarga, cinta dan pengkhianatan, meski dalam kenyataan memang seringkali berkaitan sebagai tiga tema besar. Apalagi peristiwa 30 September 1965 di Indonesia masih kabur dalam sejarah Indonesia. Leila menyelesaikan buku ini dengan riset tajam selama enam tahun (2006—2012). Dengan riset tajam itu, akhirnya novel Pulang mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2014. Leila S. Chudori adalah penulis Indonesia yang menghasilkan berbagai karya cerita pendek, novel, dan skenario drama televisi. Penulis yang juga redaktur senior majalah Tempo ini telah meraih beberapa penghargaan yaitu: Penulis Skenario Drama Televisi Terpuji (2006; Dunia Tanpa Koma) dan Penghargaan Sastra Badan Bahasa Indonesia (2011; 9 dari Nadira). Karya-karya yang telah ia tulis diantaranya: Kelopak-kelopak yang Berguguran (1984), Malam Terakhir: Kumpulan Cerpen (1989) diterbitkan kembali oleh Penerbit KPG pada 2009, Menagerie 2 (editor) (1993), Bahasa! (2008), 9 dari Nadira (2009), dan Pulang: Sebuah Novel (2012). Pulang mampu menarik pembaca untuk terus membacanya sampai akhir, terpikat, dan terhibur. Pembaca mendapatkan apa yang selayaknya diperoleh dari cerita: Penyajian Pulang membantu pembaca memaknai sebuah nasionalisme dan memeriksa kembali keyakinan dan konstruk pembaca tentang Indonesia. Kini, penulis ingin tahu lebih banyak apa yang membuat Pulang memikat dan
3
membantu para pembaca memaknai kembali Indonesia. Penulis menduga bahwa kekuatan penyajian novel ini berperan besar menghasilkan daya pikat dan daya gugahnya. Oleh karena itu, penulis akan menelusuri plot novel karya Leila S. Chudori itu. Penelitian mengenai penyajian Pulang perlu diadakan. Masalah penyajian merupakan masalah penting dan tidak dapat dikesampingkan dalam penciptaan karya sastra yang baik. Sebuah teks sastra menjadi menarik atau tidak bergantung pada penyajiannya. Novel yang mengangkat isi sederhana dapat menjadi sangat bagus dan menarik jika penyajiannya baik. Sebaliknya, novel yang bagus dari segi isi dapat menjadi membosankan jika penyajiannya tidak baik. Untuk keperluan itulah, penelitian ini diadakan. Penelitian ini akan meneliti struktur penyajian Pulang. Penelitian ini dibatasi pada plot. Alasannya plot merupakan unsur yang paling menonjol dalam memunculkan aspek estetis penyajian Pulang. Penulis menduga bahwa plot Pulang mampu membuat pembacanya terlibat secara spiritual dan emosional dalam perjuangan Dimas untuk pulang ke tanah air. Plot juga membuat pembaca tidak dapat berhenti sampai tuntas membaca karena di dalamnya mengandung unsur-unsur yang menimbulkan rasa ingin tahu pada apa yang telah terjadi, apa yang akan terjadi, dan keingintahuan yang lengkap tentang apa yang sedang terjadi. Menurut Takwin (2013), penjalinan plot Pulang dilakukan dengan tepat, itu dapat menghasilkan novel baik yang memikat. Selain itu, plot merupakan tulang punggung cerita. Penelitian plot Pulang dapat memberikan informasi unsur-unsur lain, yaitu latar, tokoh, penokohan, tema, dan sarana sastra sekaligus.
4
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah struktur plot Pulang karya Leila S. Chudori. Apabila dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimanakah struktur plot novel Pulang? 2. Bagaimanakah aspek estetik yang dimunculkan oleh struktur plot novel Pulang?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki dua tujuan, yakni tujuan teoretis dan praktis. Tujuan teoretis penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur plot Pulang dan aspek estetis yang dimunculkan dari plot itu. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah meningkatkan apresiasi pembaca terhadap Pulang.
1.4 Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka memberikan pengetahuan tambahan terhadap penelitian terdahulu yang ada hubungannya dengan penelitian yang pernah dilakukan, baik itu dalam bentuk skripsi, buku, makalah, resensi, maupun opini. Hal ini berlaku juga pada penelitian yang mengangkat novel Pulang sebagai objek kajiannya serta menggunakan teori Robert Stanton untuk mengkaji alur yang ada di dalamnya. Analisis terhadap novel Pulang pernah dilakukan oleh Robertus Robert (2013) dalam makalahnya yang berjudul “Pulang, Nostalgia, Harapan, dan Kebebasan” yang disampaikan dalam acara Musyawarah Buku Pulang
di
5
Serambi Salihara. Robert mengemukakan bahwa Pulang bukanlah perkara teritori geografis yang melekat dalam ekslusivitas praktik rutin individual yang tanda materialnya tergeletak rongsok dalam rupa tiket kereta api yang dijepit atau karcis tol yang tercecer, atau sepatu dan sandal yang tertata di depan pintu rumah. Pulang adalah elemen kompleks dan paling emosional, resonansi terdalam dari pengalaman kehidupan yang seringkali bersifat epik. Selain itu, Pulang juga pernah dianalisis dalam bentuk makalah yang berjudul “Mencermati Naratif Novel Pulang” yang juga disampaikan dalam acara Musyawarah Buku Pulang di Serambi Salihara. Takwin (2013) mengemukakan bahwa sebagai teks naratif, Pulang membantu kita memberi makna kepada apa yang dialami para korban peristiwa 30 September 1965 dan keluarganya. Lebih jauh lagi, Pulang dapat membantu kita memaknai kembali apa itu menjadi orang Indonesia. Keterampilan naratif Leila tampil optimal dalam bangunan cerita yang ditatanya. Rumusan teori Robert Stanton juga diterapkan untuk menganalisis novel Bumi Manusia yang dilakukan oleh Rina Tyas Sari (2011) melalui skripsinya yang berjudul “Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer: Analisis Struktur dan Fungsi Plot” di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Sari membatasi penelitiannya hanya pada plot. Alasannya plot merupakan unsur yang paling menonjol dalam memunculkan aspek estetis Bumi Manuisa. Penelitian Sari menganalisis fungsi yang ditimbulkan dari struktur plotnya. Amalisis alur Robert Stanton secara khusus juga digunakan oleh Astri Wulandari (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Cerpen Keroncong
6
Pembunuhan karya Seno Gumira Ajidarma: Analisis Alur Robert Stanton” Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Wulandari dalam penelitian tersebut mengungkapkan kausalitas alur, tahapan alur, konflik, suspense, dan surprise ending yang terdapat pada cerpen Keroncong Pembunuhan. Penelitian kali ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya.
Penelitian ini akan membahas Pulang dari segi
penyajiannya yang difokuskan pada struktur plotnya.
1.5 Landasan Teori Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalis Praha. Pendekatan struktural karya sastra diadopsi dari teori struktural Saussure yang diterapkan dalam studi linguistik. Studi linguistik struktural tidak menekankan pada sejarah perkembangannya (diakronik), melainkan pada hubungan antarunsurnya (sinkronik). Masalah yang diutamakan dalam pendekatan struktural adalah unsur dan hubungan antarunsur. Cara kerja yang demikian, yaitu adanya pandangan keotonomian terhadap suatu objek, dibawa ke dalam studi sastra. Karya sastra merupakan sebuah struktur, sebuah totalitas yang dibangun secara koherensif oleh berbagai unsur pembangunnya. Struktur karya sastra, menurut Abrams (1981:68), dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Menurut Nurgiyantoro (2007:36), struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur
7
intrinsik yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling memengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh. Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Unsur-unsur karya sastra, menurut Stanton (1965:11—36), antara lain fakta cerita, sarana sastra, dan tema. Fakta cerita berfungsi sebagai catatan kejadian imajinatif dari sebuah cerita dan bukanlah bagian yang terpisah dari sebuah cerita (Stanton, 1965:12). Fakta cerita terdiri atas plot, tokoh/penokohan, dan latar. Plot adalah rangkaian peristiwa yang terhubung secara kausal (Stanton, 1965:14). Peristiwa kausal adalah peristiwa yang menyebabkan atau menjadi dampak dari berbagai peristiwa lain. Peristiwa kausal tidak terbatas pada hal-hal yang fisik saja seperti ujaran dan tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap tokoh, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya. Sebuah cerita yang bagus memiliki plot yang rekat dan padat. Setiap adegan yang dilakukan oleh seorang tokoh akan memengaruhi hubungannya dengan tokoh-tokoh lain. Reaksi yang ditimbulkan oleh tokoh-tokoh lain itu selanjutnya akan balik memengaruhinya. Sebaliknya, ada pula novel yang mengetengahkan episode-episode yang renggang dan melibatkan beragam tokoh yang muncul sekali saja. Novel jenis ini cenderung ingin menonjolkan kerumitan masyarakat, alam, atau semesta (Stanton, 1965:14).
8
Plot merupakan tulang punggung cerita. Plot dapat membuktikan dirinya sendiri. Sebuah cerita tidak akan seutuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan plot, hubungan kausalitas, dan keberpengaruhannya. Plot memiliki hukum-hukum sendiri, yakni memiliki bagian awal, tengah, dan akhir yang nyata, meyakinkan dan logis, dapat menciptakan bermacam kejutan, dan memunculkan sekaligus mengakhiri keteganganketegangan (Stanton, 1965:15). Plot mengalir karena mampu merangsang berbagai pertanyaan di dalam benak pembaca, terkait keingintahuan, harapan, maupun rasa takut (suspense). Seorang pengarang yang terampil akan mengeksploitasi pertanyaan-pertanyaan di benak pembaca untuk menajamkan dan mengendalikan perhatian. Salah satu usaha tersebut adalah ending yang tidak terduga. Ending yang tidak terduga akan terus-menerus membius pembaca karena dapat memungkas plot dengan amat meyakinkan. Sifat tidak terduga ini dapat selalu dinikmati meski cerita tersebut sudah dibaca berulang kali (Stanton, 1965:15—17). Plot hendaknya masuk akal (plausible). Masuk akal bukan berarti ‘realistis’, melainkan dapat diimajinasikan, mungkin ada, konsisten, dan tak terhindarkan. Cerita yang masuk akal bukan berarti sama dengan kehidupan, melainkan koheren. Koherensi tersebut akan tampak meyakinkan karena bertaut satu sama lain, terhubung oleh hukum sebab-akibat (Stanton, 1965:13—14). Elemen dasar yang membangun plot adalah konflik dan klimaks. Setiap karya fiksi setidak-tidaknya memiliki konflik internal yang tampak jelas yang hadir melalui hasrat dua tokoh atau hasrat seorang tokoh dengan lingkungannya.
9
Konflik-konflik spesifik ini merupakan subordinasi satu konflik utama yang bersifat eksternal, internal, atau dua-duanya. Konflik utama selalu bersifat fundamental, membenturkan sifat-sifat dan kekuatan-kekuatan tertentu. Konflik inilah yang menjadi inti cerita, pusat yang pada gilirannya akan tumbuh dan berkembang seiring dengan plot yang terus-menerus mengalir. Sebuah cerita mungkin mengandung lebih dari satu konflik kekuatan, tetapi hanya konflik utamalah yang dapat merangkum seluruh peristiwa yang terjadi dalam plot. Konflik utama selalu terikat teramat intim dengan tema cerita, bahkan bisa sangat identik (Stanton, 1965:16). Klimaks adalah saat ketika konflik terasa sangat intens sehingga ending tidak dapat dihindari lagi. Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat terselesaikan. Satu kekuatan mungkin menaklukkan kekuatan lain, namun selayaknya kehidupan, keseimbanganlah yang seringkali menjadi penyelesaian karena tidak ada satu kekuatan pun yang sepenuhnya kalah ataupun menang. Klimaks utama sering berwujud satu peristiwa yang tidak terlalu spektakuler. Klimaks utama tersebut acap sulit dikenali karena konflik-konflik subordinat pun memiliki klimaks-klimaksnya sendiri. Bahkan, bila konflik sebuah cerita mewujud dalam berbagai bentuk atau cara dan melalui beberapa fase yang berlainan, akan sangat tidak mungkin menentukan satu klimaks utama. Akan tetapi, memilih satu tentu tidak akan ada ruginya karena pilihan tersebut masih dapat merangkum struktur cerita secara menyeluruh (Stanton, 1965:16).
10
Novel, oleh karena bentuknya yang panjang, mampu menghadirkan perkembangan karakter tokoh, situasi sosial yang rumit, hubungan yang melibatkan banyak atau sedikit tokoh, dan berbagai peristiwa rumit yang terjadi beberapa tahun silam secara merinci. Namun, bentuknya yang panjang itu juga akan mengurangi kepekaan pembaca terhadap bagian-bagian kecil dari plot (Stanton, 1965:44). Sebuah novel pada umumnya terbagi atas beberapa bab. Setiap bab mengandung beberapa episode. Setiap episode terdiri atas berbagai macam topik yang berlainan. Episode-episode dan topik-topik tersebut dapat dileburkan dalam satu bab karena suatu alasan tertentu. Sekuen-sekuen bab tersebut nantinya akan membentuk kelompok-kelompok yang kemudian akan membentuk kelompokkelompok yang lebih besar lagi sampai pada akhirnya kita paham akan keseluruhan bagian dari novel bersangkutan. Sebaliknya, setiap episode atau bab yang tidak beruntun belum tentu tidak berhubungan. Episode-episode dan bab-bab tersebut sangat mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain, dari segi tema maupun topik pembicaraan. Oleh karena itu, setiap episode dalam novel hendaknya diulas secara individual maupun secara general. Sebuah episode dalam sebuah novel memperoleh efek serta maknanya dari keseluruhan struktur tempat episode tersebut menjadi salah satu bagiannya (Stanton, 1965:44—45). Istilah episode dalam fiksi hampir mirip dengan adegan dalam drama. Di dalam drama, istilah adegan merupakan babak yang ditandai oleh perubahan jumlah tokoh ataupun perubahan yang dibicarakan. Pergeseran dari satu episode ke episode lain biasa ditandai oleh pergeseran waktu, tempat, atau tokoh-tokoh.
11
Tipe-tipe episode yang umum dikenal adalah naratif atau ringkasan dan scenic atau dramatis. Episode naratif bercerita pada kita bahwa sesuatu telah terjadi. Episode dramatis menunjukkan peristiwa yang sedang terjadi melalui perantaraan dialog. Panjang-pendek sebuah adegan tergantung pada peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya. Butuh waktu lama bagi naratif untuk mengisahkan peristiwaperistiwa itu. Dengan demikian, pilihan adegan dan naratif pengarang akan berpengaruh pada tempo novel secara keseluruhan (Stanton, 1965:45). Tipe episode ketiga yang dikenal luas dinamakan analitis atau meditatif. Dalam episode ini, pengarang atau tokoh rekaannya merenungkan karakter tokoh lain atau peristiwa yang telah berlalu. Episode-episode analitis cenderung lebih panjang karena setiap tokoh berusaha merunut hubungan interpersonal di antara tokohtokoh lain. Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan antara lain efek, tempo, kontras, dan penjarakan yang disodorkan pengarang melalui tiap-tiap episode (Stanton, 1965:45). Pada umumnya bab dalam novel terdiri atas satu sampai tiga episode. Episode-episode itu dan bab-bab yang menampungnya biasanya berhubungan erat. Keadaan ini berlangsung konsisten meski masing-masing episode terkonsentrasi pada tokoh-tokoh atau peristiwa-peristiwa yang berbeda (Stanton, 1965:45). Untuk dapat lebih memahami novel, perlu dibuat daftar setiap peristiwa pada tiap-tiap bab. Kerangka ini akan membantu memahami kaitan satu episode dengan episode lain, baik episode yang berdekatan maupun episode yang berjauhan, dan melacak perantaraannya, baik topik, tema, ataupun plot yang
12
paralel. Dengan pencatatan secara teratur, kecerobohan dalam membaca dapat dikurangi dan akan lebih mampu memahami pola dan struktur novel. Terakhir, harus dikenali prinsip kebersatuan novel. Pola struktur novel bisa jadi memiliki makna. Hal ini berkaitan dengan alasan pengarang membagi topiknya sedemikian rupa. Kebersatuan berarti seluruh aspek dari karya harus berkontribusi penuh pada maksud utama atau tema. Dunia dalam novel sangat memadai untuk menampung berbagai jenis pengalaman. Dunia novel adalah kombinasi berbagai elemen seperti nilai-nilai, hukum-hukum, kemungkinan-kemungkinan, dan masalahmasalah yang cukup besar untuk ditampung ke dalam satu wadah. Setiap tokoh, peristiwa, dan adegan yang digambarkan dalam dunia tersebut harus dapat dimaknai. Dunia tersebut berdiri sendiri dan tidak bergantung pada maksud pengarang. Apa yang terjadi pada novel serupa dengan apa yang terjadi pada ilmu pengetahuan. Kesimpulan dari sebuah penelitian bersifat independen, jauh dari maksud pengarang sebagai pengumpul data-data (Stanton, 1965:46—49). Novel memiliki dunianya sendiri yang berbeda dengan kehidupan. Bukti paling kentara adalah nasib tokoh-tokohnya. Ada beberapa hal seperti lingkungan, warisan karakter, kecerdasan, dan kecelakaan yang dapat berdampak pada nasib tokoh dalam setiap novel. Dalam hal ini, yang perlu dicermati antara lain: (1) Apakah harapan benar-benar memiliki andil dalam dunia novel? (2) Apakah kejadian-kejadian di dalam novel menunjukkan bahwa kebaikan dan keburukan dapat atau harus terjadi? (3) Apabila seorang tokoh membuat semacam generalisasi filosofis, dapatkah ia dipercaya? (4) Apakah pendapatnya didukung atau dimentahkan oleh setiap peristiwa dalam novel? (5) Apa yang dapat
13
dilakukan cinta dan pernikahan? (6) Apabila tokoh utama terisolasi, apakah keadaan tersebut benar dan menyenangkan atau tidak adil dan menyakitkan atau benar, tetapi tidak menyenangkan? (Stanton, 1965:49). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah apakah dunia novel bersifat jujur dan koheren ataukah rangkaian peristiwa dalam novel melawan prinsip-prinsip utamanya sendiri. Koherensi novel terletak pada kemampuannya merangkai setiap peristiwa dalam ikatan prinsip-prinsip utama. Seorang pembaca tidak dapat selalu mengabaikan inkonsistensi-inkonsistensi yang terjadi dalam pembacaannya. Apabila seseorang pembaca gagal merekonsiliasikan satu tokoh atau peristiwa dengan prinsip-prinsip utama dalam novel maka ia sebelumnya telah gagal memahami prinsip-prinsip tersebut (Stanton, 1965:49—50). Novel tidak bergaya padat karena memiliki ruang lebih untuk menggambarkan setiap situasi di dalamnya secara penuh, bahkan bila digunakan untuk menampung pengalaman dan prinsip. Tiap-tiap episode novel berbeda satu sama lain, bergantung pada latar, tone, dan temanya masing-masing. Oleh sebab itu, novel cenderung tidak menampilkan kebersatuan lokal. Episode-episode dalam novel disatukan dalam satu bangunan raksasa yang hanya dapat dilihat ketika pembaca melangkah mundur secara teratur. Kebutuhan pada struktur raksasa yang bersifat kumulatif ini membuat novel mampu menciptakan efek berupa keagungan, keragaman, evolusi, dan tragedi. Keunikan-keunikan dalam novel dapat berupa prinsip-prinsip etis, konflik-konflik, tipe-tipe latar, tokohtokoh, dan tindakan. Elemen-elemen tersebut merupakan dunia pengarang. Pengetahuan tentang dunia pengarang akan membantu kita memahami karyanya.
14
Namun, setiap dunia tidak pernah benar-benar identik satu dengan yang lain. Kritikus sastra bertugas menjelaskan dunia tipikal seorang pengarang sekaligus menjelaskan keragaman aplikasinya pada karya-karya berbeda, terutama ketika perbedaan-perbedaan tersebut menguak pelbagai perubahan dalam filosofi dasarnya (Stanton, 1965:50—52). Ironi adalah cara untuk menunjukkan bahwa sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Ironi biasanya ditemukan dalam cerita yang dikategorikan bagus. Ironi dapat memperkaya cerita seperti menjadikannya menarik, menghadirkan efek-efek tertentu, humor atau sedih, memperdalam karakter tokoh, merekatkan struktur plot, menggambarkan sikap pengarang, dan menguatkan tema (Stanton, 1965:34). Dalam dunia fiksi, ironi dapat dibagi menjadi dua jenis, yakni ironi dramatis dan tone ironis. Ironi dramatis atau ironi plot dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris, yaitu tidak sejalan antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan seorang tokoh dengan hasilnya, atau antara harapan dengan yang terjadi. Pasangan elemen-elemen di atas terhubung satu sama lain secara logis melalui hubungan sebab-akibat. Apabila kontras-kontras hanya terhubung oleh plot, yang didapatkan oleh pembaca hanyalah kejutankejutan terencana. Sebaliknya, kita malah akan menemukan keterkaitan tematis antarelemen dalam ironi dramatis. Ironi memberi petunjuk pada kita terkait sifat benda-benda. Kontras ironis antara cita-cita dengan hasil yang diraih dan antara harapan dengan kenyataan menunjukkan bahwa ada kekuatan-kekuatan atau hukum-hukum tertentu yang menggariskan nasib manusia.
15
Tone ironis atau ironi verbal digunakan untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan. Terkadang terdapat kontras ironis antara sikap pengarang dengan rasa yang sesungguhnya ia rasakan. Biasanya seorang pengarang akan menggunakan sudut pandang seorang tokoh atau kelompok yang disasar oleh ironi-ironi tersebut. Terkadang ironi terasa lebih simpatik. Sudut pandang orang pertama utama adalah sarana yang cukup baik untuk mengekspresikan ironi verbal. Sang narator mengungkapkan berbagai prasangka, kontradiksi, dan dugaan tanpa sadar sehingga malah menunjukkan kelemahan karakternya sendiri. Satu-satunya cara untuk mengetahui keberadaan ironi dan menafsirkannya adalah dengan membaca cerita berulang kali dengan teliti dan hati-hati. Nikmati ilusi yang diberikan karya sastra. Namun, tetap selalu ingat bahwa karya sastra adalah rekaan pengarang dan bukan sekadar fakta yang dicomot mentah-mentah. Ketika bukti-bukti manipulasi pengarang ditemukan, cobalah untuk mengetahui efek yang ditimbulkan dan relevansinya dengan berbagai peristiwa, tokoh, maksud cerita (Stanton, 1965:34—36). Untuk menganalisis plot, episode-episode dalam sebuah novel harus dijabarkan terlebih dahulu. Episode hampir sama dengan babakan atau adegan dalam drama. Sebuah bab dalam novel dapat terdiri dari beberapa episode. Perpindahan dari satu episode ke episode lain biasanya ditandai dengan perpindahan waktu, tempat, atau kelompok tokoh (Stanton, 1965:6). Biasanya episode-episode dalam novel terdiri dari episode utama dan subplot. Setelah episode-episode itu dijabarkan, langkah selanjutnya adalah mendeskripsikan halhal berikut: (1) hubungan antara episode yang satu dengan episode yang lain,
16
apakah episode-episode tersebut terhubung secara kausal ataukah tidak dan apakah episode-episode tersebut bertalian erat ataukah tidak; (2) hubungan kausalitas antara konflik yang satu dengan konflik yang lain, dan antara masalah satu dengan yang lain; (3) plausibilitas; (4) suspense (tegangan) dan kecemasan yang memunculkan keingintahuan pembaca terhadap kelanjutan cerita dan penyelesaian masalah; dan (5) klimaks.
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara, strategi untuk memahami realitas, atau langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab-akibat (Ratna, 2008:34). Dalam sebuah penelitian sastra, metode penelitian mutlak perlu. Hal ini disebabkan karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang semakin beragam sehingga dengan sendirinya memerlukan cara-cara yang berbeda untuk memahaminya (Ratna, 2008:40). Metode penelitian dapat memudahkan upayaupaya untuk mencapai hasil penelitian. Selain itu, penggunaan metode dapat membuat klasifikasi masalah secara tepat dan mempermudah perumusan masalah dalam sebuah penelitian. Penelitian yang berjudul “Novel Pulang Karya Leila S. Chudori: Analisis Struktur Plot Robert Stanton” ini menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan (Ratna, 2008:53). Pemilihan metode penelitian ini sesuai dengan sifat novel Pulang yang menjadi objek penelitian ini.
17
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Oleh sebab itu, pengumpulan data dilakukan dengan cara eksplorasi dan observasi. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Menentukan objek penelitian, yakni Pulang karya Leila S. Chudori. 2. Merumuskan pokok permasalahan. 3. Mengumpulkan data-data yang relevan dengan topik penelitian. Pengumpulan data-data dilakukan dengan cara menelusuri buku-buku di perpustakaan dan makalah-makalah yang diseminarkan dalam acara Musyawarah Buku Pulang, karya Leila S. Chudori, di Serambi Salihara, 29 Januari 2013. 4. Menganalisis struktur plot Pulang. 5. Membuat kesimpulan.
1.7 Sistematika Laporan Penelitian Penelitian ini akan disajikan dalam tiga bab sebagai berikut. Bab I berupa Pendahuluan yang berisi: latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika laporan penelitian. Bab II berupa analisis struktur plot Pulang yang berisi: plot episodis, tahapan plot, konflik dan klimaks, suspense dan surprise ending, plausible, ironi dramatis, dan rekat. Bab III kesimpulan. Lampiran.