BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti akal atau budi dan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Koentjaraningrat (1986:181) mendefinisikan budaya sebagai “daya budi” yang berupa cipta, rasa, dan karsa, sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa, dan karsa tersebut. Kebudayaan memiliki unsur-usur yang membentuknya. Salah satu unsur yang membentuk suatu kebudayaan adalah tradisi. Tradisi adalah kebiasaan yang ada sejak lama dan diajarkan secara turuntemurun dalam suatu kelompok masyarakat. Tradisi diciptakan oleh orang-orang dalam kelompok masyarakat tertentu berdasarkan kesepakatan bersama dan disesuaikan dengan kondisi sosial tertentu. Tradisi yang ada pada satu kelompok masyarakat akan berbeda dengan kelompok masyarakat lain dikarenakan penyesuaian dengan kondisi sosial tertentu di lingkungan masyarakat. Perbedaan itu bahkan bisa terjadi di suatu kelompok masyarakat yang sama pada waktu yang berbeda. Perbedaan waktu tentu saja menampilkan perbedaan konteks sosial masyarakatnya, sehingga tradisi yang sama di waktu yang berbeda juga akan mengalami perbedaan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Bordieu, yaitu bahwa tradisi bersifat tidak tetap atau tidak permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tidak terduga atau selama periode sejarah yang panjang (Bordieu dalam
1
2
Navarro. 2006: 16). Tradisi yang diturunkan kepada generasi berikutnya tentu akan mengalami perubahan karena harus disesuaikan kembali dengan kondisi yang ada pada waktu itu. Pewarisan suatu tradisi kepada generasi berikutnya menyebabkan tradisi mengalami perubahan yang menjadikannya berbeda dengan tradisi pada waktu awal diciptakan. Masyarakat Jepang, sebagai contoh, adalah salah satu kelompok masyarakat yang sudah mewariskan beberapa tradisinya secara turun temurun. Salah satu dari tradisi yang sampai sekarang masih diturunkan adalah tradisi menggunakan furoshiki. Furoshiki, menurut asal katanya, merupakan kain pembungkus. Penggunaan furoshiki berubah-ubah sesuai dengan pewarisan tradisi tersebut. Tradisi ini diciptakan pertama kali pada zaman Nara. Pada masa itu, penggunaan furoshiki terbatas untuk membungkus benda-benda pusaka, sehingga penggunaan kain berbentuk segi-empat tersebut hanya terbatas pada kalangan bangsawan saja. Seiring dengan berkembangnya zaman, penggunaan furoshiki mulai berubah. Pada zaman Edo, furoshiki sudah mulai digunakan oleh masyarakat secara umum. Furoshiki sudah digunakan untuk membungkus berbagai macam barang, tidak lagi hanya digunakan untuk membungkus benda-benda pusaka. Salah satu contoh penggunaannya adalah sebagai kain pembungkus bekal makanan ketika bepergian. Dengan pewarisan tradisi furoshiki yang masih berlangsung sampai sekarang, penggunaan furoshiki pun semakin beragam.
3
Bahkan tradisi menggunakan furoshiki ini pun tetap diteruskan oleh masyarakat Jepang yang berdomisili di luar Jepang. Di Yogyakarta, peneliti melihat adanya orang-orang Jepang yang juga tetap menggunakan furoshiki dalam beraktivitas sehari-hari. Ada beberapa alasan yang membuat mereka berdomisili di Yogyakarta, misalnya untuk bekerja. Beberapa dari orang Jepang ini sudah cukup lama berdomisili di Yogyakarta. Akan tetapi, mereka masih melanjutkan tradisi menggunakan furoshiki yang sudah mereka kenal sejak masih di Jepang. Seperti yang telah dipaparkan di atas, tradisi penggunaan furoshiki akan mengalami perubahan sesuai dengan waktu dan tempat di mana tradisi itu dijalankan. Ketika tradisi furoshiki diwariskan sampai masa sekarang, penggunaannya pun sudah mengalami perubahan. Peneliti tertarik dengan adanya fenomena penggunaan furoshiki yang tetap dijalankan orang Jepang yang tinggal di Yogyakarta. Melalui fenomena tersebut, peneliti menengarai adanya perubahan dari penggunaan furoshiki yang sudah berpindah dari tempat asal tradisi itu dibentuk. Berdasarkan hal itu, penelitian ini akan dilakukan dengan tujuan untuk mencari bagaimana dan mengapa orang-orang Jepang yang berdomisili di Yogyakarta tersebut tetap meneruskan tradisi penggunaan furoshiki. Dengan mengetahui alasan-alasan yang nantinya didapatkan pada penelitian ini, peneliti berharap dapat menggunakannya untuk mengetahui adanya perubahan yang terjadi pada tradisi penggunaan furoshiki oleh orang-orang Jepang di luar Jepang, khususnya di Yogyakarta.
4
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu: 1.
Bagaimana penggunaan furoshiki oleh masyarakat Jepang yang berdomisili di Yogyakarta?
2.
Bagaimana perubahan tradisi penggunaan furoshiki di Yogyakarta?
1.3. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1.
Mendeskripsikan bagaimana dan apa saja alasan masyarakat Jepang yang berdomisili di Yogyakarta menggunakan furoshiki.
2.
Mendeskripsikan
bagaimana
perubahan
penggunaan
furoshiki
di
Yogyakarta.
1.4. Kerangka Pemikiran Menurut ilmu Antropologi, pada hakikatnya kebudayan adalah keseluruhan dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat
yang
dijadikan
milik
manusia
dengan
cara
belajar
(Koentjaraningrat, 1996:72). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa kebudayaan mencakup hampir semua tindakan dari manusia. J.J. Honingmann (dalam Koentjaraningrat, 2003:74-75) menyatakan bahwa kebudayaan memiliki tiga perwujudan, yaitu:
5
1.
Ideas (ide budaya atau gagasan budaya) Perwujudan ini menunjukkan ide dari sebuah kebudayaan yang bersifat
abstrak, tidak dapat disentuh, ataupun difoto. Gagasan budaya ini memiliki fungsi mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada tindakan, perilaku, dan perbuatan manusia dalam bermasyarakat sebagai sopan santun. Gagasan budaya ini bisa disebut juga sebagi adat istiadat. 2.
Activities (perilaku budaya atau tingkah laku yang berpola) Perwujudan ini dinamakan sebagai sistem sosial karena berhubungan
langsung dengan tindakan dan perilaku yang berpola dari manusia itu sendiri. Aktivitas budaya ini bersifat kongkrit atau nyata, sehingga dapat diobservasi, didokumentasikan dalam bentuk foto atau gambar dan tulisan karena memiliki aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi dan berhubungan serta bergaul antara satu manusia dengan manusia lainnya dalam sistem sosial bermasyarakat. 3.
Artifacts (artefak budaya atau kebudayaan fisik) Perwujudan budaya disebut juga sebagai kebudayaan fisik, karena
seluruhnya merupakan hasil fisik dari sebuah budaya. Artefak budaya memiliki sifat paling nyata, sehingga dapat disentuh, diobservasi, dan didokumentasikan. Sebagai contoh dari artefak budaya adalah candi, bangunan, kain, pakaian, dan lain sebagainya. Berdasarkan ketiga konsep perwujudan budaya di atas, kegiatan masyarakat Jepang menggunakan furoshiki di Yogyakarta dapat dikategorikan sebagai perilaku budaya. Tradisi penggunaannya dapat dikategorikan sebagai gagasan budaya dan furoshiki sendiri dapat dikategorikan sebagai artefak budaya.
6
Bordieu (dalam Navarro, 2006:16) menyatakan bahwa perilaku budaya oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang melekat pada diri seseorang yang cenderung membimbing mereka disebut sebagai kebiasaan atau habitus. Bordieu juga menyatakan bahwa, habitus atau kebiasaan terbentuk oleh interaksi antar manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat secara berulang-ulang dalam kurun waktu yang lama (1984:170). Berdasarkan pernyataan Bordieu, dapat dikatakan bahwa perilaku penggunaan furoshiki adalah sebuah habitus atau kebiasaan, karena sudah dilakukan secara turun-temurun. Kebiasaan terbentuk melalui proses interaksi sosial yang terjadi berulangulang dari waktu ke waktu. Kebiasaan bersifat tidak tetap atau tidak permanen, dan dapat berubah di bawah situasi yang tidak terduga atau selama periode sejarah yang panjang (Bordieu dalam Navarro 2006: 16). Maksud dari pernyataan Bordieu tersebut adalah sebuah kebiasaan manusia terbentuk dengan proses yang tidak sebentar, akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut akan berubah atau bergeser. Kebiasaan dapat bergeser menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung di sekitar pelaku budaya. Sebagai contoh, pada masyarakat Jepang yang pada awalnya memiliki kebiasaan membungkus benda-benda pusaka dengan menggunakan kain furoshiki. Akan tetapi beberapa masyarakat Jepang yang berdomisili di Yogyakarta menggunakan furoshiki untuk membungkus kotak bekal makan. Penggunaan kain furoshiki oleh orang Jepang merupakan sebuah kebiasaan yang telah mereka lakukan sejak masa kanak-kanak yang didapatkan dari lingkungan keluarga. Namun, beberapa orang Jepang yang kini berdomisili di luar
7
negeri, dalam hal ini Yogyakarta, mereka tetap melakukan kebiasaan menggunakan furoshiki, meskipun fungsi dari penggunaannya sudah mulai bergeser.
1.5.
Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai furoshiki telah beberapa kali dilakukan di Indonesia
dan diwujudkan dalam bentuk skripsi, di antaranya ”Analisa Motif Bangau dan Cemara pada Furoshiki dihubungkan dengan Agama Shinto dalam Shinzen Kekkonshiki”, yang ditulis oleh Vina Andini mahasiswi jurusan Sastra Jepang Universitas Bina Nusantara pada tahun 2011. Tujuan dari penelitian tersebut adalah untuk meneliti dan menganalisa motif burung bangau dan motif pohon cemara yang terdapat dalam kain furoshiki yang digunakan dalam pernikahan Jepang. Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Andini dapat disimpulkan bahwa simbol burung bangau dan pohon cemara merupakan simbol yang memiliki hubungan erat dengan ekspresi penyampaian pesan dan doa dari pihak orang tua akan harapan kebahagiaan pasangan pengantin. Berbeda dengan penelitian Andini yang memiliki fokus penelitian mengenai motif yang ada pada furoshiki, penelitian ini lebih memfokuskan pada tradisi penggunaannya oleh masyarakat Jepang yang berdomisili di Yogyakarta. Data yang diperoleh berasal dari hasil wawancara yang diwakili oleh 5 orang informan Jepang.
8
1.6.
Metode Penelitian Metode adalah cara dan penelitian adalah kegiatan mengumpulkan data
(Ahimsa-Putra,
2009).
mengumpulkan
data
Metode yang
penelitian
akan
adalah
digunakan
cara
dalam
peneliti
untuk
penelitian.
Untuk
mengumpulkan dan mengolah data yang akan digunakan peneliti sebagai acuan untuk menjawab rumusan masalah yang sudah peneliti tentukan, perlu dilakukan penentuan lokasi dan siapa saja yang akan dijadikan sebagai informan penelitian. Pada penelitian ini, peneliti mengharapkan data deskriptif, bukan data angka, oleh karena itu digunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan penelitian deskriptif. Salah satu definisi dari penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui nilai variabel mandiri, baik satu variabel atau lebih (independen) tanpa membuat perbandingan (Sugiyono:2003:11). Bentuk penelitian deskriptif kualitatif ini bertujuan untuk menggambarkan, meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat. Masyarakat yang menjadi objek penelitian dan berupaya menarik realitas tersebut ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat, model, tanda atau gambaran tentang kondisi, situasi, maupun fenomena tertentu. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian yang sematamata mengacu pada identifikasi sifat-sifat yang membedakan atau karakteristik sekelompok manusia, benda, atau peristiwa. Pada dasarnya, deskriptif kualitatif melibatkan proses konseptualisasi dan menghasilkan pembentukan skema-skema klasifikasi (Bungin, 2007:47-48).
9
Penelitian kualitatif digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang mendalam, yaitu data yang sebenarnya, karena merupakan suatu proses penyelidikan untuk memahami masalah sosial berdasarkan pada gambaran yang dibentuk dari kata-kata dan pandangan informan (Silalahi, 2009:77).
1.6.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Yogyakarta. Lokasi ini dipilih karena peneliti melihat adanya fenomena penggunaan furoshiki oleh orang-orang Jepang yang berdomisili di Yogyakarta.
1.6.2. Penentuan Informan Metode penentuan informan menggunakan purposive sampling yaitu metode pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono, 2012). Informan yang berpartisipasi dalam penelitian ini adalah 5 orang Jepang pengguna furoshiki yang berdomisili di Yogyakarta. Mereka berasal dari daerah Saitama, Akita, Tokyo, Kyoto, dan Osaka. Pada penelitian ini, nama sebenarnya dari kelima informan disamarkan, berdasarkan permintaan dari para informan. Profil dari kelima informan secara singkat, antara lain sebagai berikut: 1.
Shinji, 43 tahun. Berasal dari Saitama sudah berdomisili di Yogyakarta
sejak tahun 2007 dan saat ini tinggal di daerah Sleman. Shinji mengaku sudah menggunakan furoshiki sejak kecil saat masih tinggal di Jepang.
10
2.
Tarou, 40 tahun. Berasal dari daerah Akita dan sudah berdomisili di
Yogyakarta sejak tahun 2008. Saat ini Tarou tinggal di daerah Sleman dan mengaku selalu menggunakan furoshiki setiap hari. 3.
Shirou, 38 tahun. Berasal dari Tokyo dan sudah berdomisili di Yogyakarta
sejak tahun 2008. Saat ini Shirou tinggal di Bantul dan mengaku sejak kecil selalu menggunakan furoshiki. 4.
Keiko, 37 tahun. Berasal dari Kyoto dan sudah berdomisili di Yogyakarta
sejak tahun 2010. Saat ini Keiko tinggal di Sleman dan mengaku baru mulai menggunakan furoshiki ketika masuk sekolah menengah. 5.
Hiro, 40 tahun. Berasal dari Osaka dan sudah berdomisili di Yogyakarta
sejak tahun 2008. Saat ini Hiro tinggal di Bantul dan mengaku kalau sudah menggunakan furoshiki sejak masih kecil.
1.6.3. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian, karena tujuan utamanya yakni untuk mendapatkan data (Sugiyono, 2012). Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1.
Wawancara Terstruktur Pengumpulan data dilakukan dengan cara melakukan wawancara terhadap 5
orang informan Jepang pengguna furoshiki yang berdomisili di Yogyakarta. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, peneliti telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Dengan wawancara, peneliti akan menggali informasi lebih jauh mengenai
11
berbagai hal yang berkaitan dengan tema penelitian. Dalam wawancara, peneliti berperan sebagai instrumen utama yang tidak bergantung pada instrumen pengumpulan data seperti pedoman wawancara dan panduan observasi serta instrumen lainnya. Pada proses wawancara, pertanyaan diarahkan untuk mengungkapkan konsep, persepsi, peranan, kegiatan, dan peristiwa-peristiwa yang dialami informan berkenaan dengan fokus yang diteliti. Penggunaan metode ini diharapkan peneliti memperoleh data yang jelas dan akurat tidak hanya tergantung pada pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan saja. Apabila ternyata ada informasi yang perlu diketahui lebih lanjut, peneliti akan mengajukan pertanyaan baru diluar daftar yang telah disiapkan. 2.
Pengamatan Langsung (observasi) Setelah melakukan wawancara, selanjutnya peneliti akan melakukan
obervasi. Observasi adalah kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut. Uraian hasil observasi yang ditampilkan berupa uraian deskriptif dengan menjabarkan situasi yang diamati tanpa memberikan label atau penjelasan sifat-sifat dan kesimpulan tentang hal tersebut. Dengan uraian deskriptif
peneliti
mengembangkan
analisis
yang
lebih
akurat
saat
menginterpretasikan seluruh data yang ada. Data obesrvasi yang didapatkan, akan ditampilkan sesuai dengan perjanjian yang dilakukan peneliti dengan kelima informan. Informan bersedia untuk diamati secara langsung dengan syarat peneliti tidak akan mencantumkan identitas asli
12
informan. Sehingga di dalam hasil penelitian yang akan disajikan oleh peneliti tidak akan dapat ditemui identitas asli kelima informan dan bukti-bukti observasi dalam bentuk gambar.
1.6.4. Metode Pemeriksaan Keabsahan Data Untuk menguji kualitas, keabsahan, validitas maupun kredibilitas data penelitian kualitatif melalui instrumen wawancara, maka peneliti mencoba menunjukkan tentang deskripsi suatu peristiwa berdasarkan realibilitas dalam penelitian kualitatif, yakni sebuah realita yang terjadi yang bersifat majemuk dan dinamis. Sehingga tidak ada data yang tidak konsisten dan berulang, sehingga penelitian kualitatif sering sekali dikatakan bersifat subyektif dan reflektif. Data yang didapatkan dari informan, tidak bisa diratakan seperti dalam penelitian kuantitatif, tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang sama, yang berbeda, dan mana yang spesifik dari sumber- sumber data tersebut. Data yang telah dianalisis oleh peneliti akan diolah sehingga dapat menghasilkan suatu kesimpulan (Sugiyono, 2012:241).
1.7.
Sistematika Penyajian Penyajian penelitian ini akan dibagi menjadi empat bab, yaitu: Bab I adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II berisi gambaran umum tentang tradisi dan furoshiki.
13
Bab III adalah pembahasan mengenai tradisi penggunaan furoshiki di Yogyakarta berdasarkan hasil wawancara terhadap 5 informan Jepang. Bab terakhir yaitu bab IV yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian.