BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kata kebudayaan merupakan terjemahan dari kata culture, yang berasal dari kata Latin cultura, yang berarti memelihara, mengolah, dan mengerjakan. Dalam kaitan ini, cakupan kebudayaan menjadi sangat luas, seluas hidup manusia. Hidup manusia akan mengolah, memelihara, dan mengerjakan berbagai hal yang menghasilkan tindak budaya. Karena itu, konsep kebudayaan menjadi sangat beragam (Endraswara, 2006:20). Kebudayaan berasal dari sebuah kebiasaan masyarakat atau kelompok yang lama-kelamaan menjadi sebuah tradisi, dan tradisi tersebut lama-kelamaan menjadi kebudayaan masyarakat pemilik budaya tersebut. Ada beraneka ragam budaya di Indonesia, baik yang asli Indonesia ataupun budaya asing yang masuk ke Indonesia. Kebudayaan asing tersebut pun ada yang dapat diterima dan tidak diterima. Salah satu yang diterima dan populer di Indonesia adalah seni pertunjukan dari Amerika yang berkaitan dengan tradisi lisan, yaitu stand-up comedy. Jenis pertunjukan ini cepat menjadi popular akibat adanya media yang mempublikasikannya. Terlebih adanya ajang kontes stand-up comedy yang diadakan setiap tahunnya oleh Kompas TV, yang membuat pamor stand-up comedy menjadi melambung dan banyak diminati di Indonesia. Stand-up comedy menjadi fenomena tersendiri, khususnya bagi pelajar dan mahasiswa yang ingin menyuarakan pendapat atau kritikan melalui media humor. Bagi para pelaku budaya, stand-up comedy juga menjadi daya tarik untuk
melestarikan budaya daerah seperti pertunjukan dagelan yang menggunakan kata stand-up comedy di salah satu adegan dalam bagian dagelan. Menurut Wisben salah satu pelaku dagelan yang masih eksis di Yogyakarta, hal ini dilakukan agar dapat menarik para anak muda yang mulai meninggalkan kesenian-kesenian daerah. Stand-up comedy merupakan bentuk pertunjukan lisan yang sangat berbeda dengan pertunjukan-pertunjukan lisan yang dianggap asli Indonesia. Pada umumnya, pertunjukan lisan tradisional di Indonesia erat dengan kebudayaan lokal serta sastra daerah, mulai dari bahasa, adat istiadat yang sudah ada secara turun temurun. Hal ini berbeda dengan stand-up comedy yang lebih modern, dengan pertunjukan yang berkembang sesuai dengan situasi dan kondisi kehidupan sosial, budaya dan bahasa di setiap zamannya. Stand-up comedy adalah bentuk pertunjukan komedi. Biasanya, seorang komedian berdiri saat melawak dan berbicara langsung di hadapan penonton (Papana, 2012:5). Komedian stand-up comedy biasa disebut comic yaitu komedian yang menggunaan mic (Dean,2012:288), maka dari itu dalam penelitian peneliti menyebut tukang cerita dengan istilah comic. Stand-up comedy sendiri merupakan bentuk sastra lisan karena disebarkan secara lisan dalam bentuk pertunjukan humor lisan, walaupun sedikit berbeda dengan bentuk sastra lisan pada umumnya yang ada di Indonesia. Pada umumnya bentuk pertunjukan lisan di Indonesia bersifat tradisional seperti mantra dan humor-humor komedi yang mirip denga stand-up comedy seperti dagelan Basio yang diturunkan sesuai dengan format tradisional baik bahasa ataupun isi cerita. Sedangkan stand-up comedy
hadir dengan penyesuaian zaman dengan melihat konteks penikmat atau audiencenya. Stand-up comedy sendiri muncul di Amerika Serikat pada tahun 1800-an. Melalui proses yang panjang, akhirnya humor lisan tersebut hadir di Indonesia. Menurut Pandji (2012: 33-35), ada beberapa nama yang tidak bisa lepas dari sejarah stand-up comedy Indonesia, seperti Warkop, Taufik Safalas, Ramon Papana, dan Iwel. Humor yang dibawakan oleh Warkop (Dono, Kasino, dan Indro) bukan berjenis stand-up comedy. Akan tetapi, perubahan menuju stand-up comedy di Indonesia berawal dari mereka. Mereka telah memperkenalkan humor yang mengandalkan ucapan. Taufik Safalas kemudian yang menjadi komedian pertama Indonesia yang berhasil membawa humor melalui monolog. Akan tetapi, humor yang dibawakan Taufik baru berupa joke telling. Joke telling berisi lelucon umum dan tebak-tebakan yang mengandung humor jenaka (Pandji, 2012: xxi). Selain itu, stand-up comedy juga berbeda dengan monolog humor. Seorang comic dalam pertunjukan stand-up comedy tidak selalu membawakannya sendiri, ada juga para comic menampilkan dengan battle yaitu para comic saling berkolaborasi dengan cara saut menyaut saat pertunjukan. Sedangkan monolog, berarti satu dan pertunjukan dilakukan oleh satu tokoh. Selain itu monolog identik dengan pertunjukan drama, menggunakan naskah, ada setting panggung dan sutradara. Monolog juga tidak hanya menyangkut komedi. Jenis monolog dalam drama modern lebih menggunakan prinsip-prinsip lakon harus dipertahankan. Seorang pelaku monolog harus menyadari bahwa lakonnya adalah merupakan konflik manusia. Konflik tetap merupakan hakikat lakon. Naskahpun harus
dipatuhi, agar struktur dramatiknya tetap dapat dipertahankan. Jadi, monolog dalam drama modern tetap terikat pada naskah (Waluyo, 2002:51). Stand-up comedy sendiri merupakan salah satu jenis humor yang bertujuan untuk menghibur para penonton. Menurut Dananjaja (2005: 29) dalam masyarakat, baik humor yang bersifat erotis maupun protes sosial, berfungsi sebagai pelipurlara. Setiap orang pasti pernah berhumor, baik humor yang disengaja, maupun berupa celetukan takdisengaja yang mengundang respon tawa orang-orang di sekelilingnya. Humor merupakan aktivitas kehidupan yang sangat digemari bahkan menjadi bagian hidup sehari-hari, tidak mengenal kelas sosial dan dapat bersumber dari berbagai aspek kehidupan. Humor dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia melalui Setiawan (2005: 3) diartikan sebagai kualitas yang menghimbau rasa geli dan lucu, karena keganjilan dan ketidakpastian yang menggelikan. Perpaduan antara rasa kelucuan yang halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup yang ada dengan sikap simpati memaklumi dan toleran. Humor memiliki peran yang cukup sentral dalam kehidupan manusia. Bukan semata-mata sebagai hiburan untuk melepaskan beban psikologis penikmatnya, melainkan juga sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat. Dengan bentuk yang unik, ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat diungkap dengan bahasa yang humoris dan berkesan santai serta menggelitik pembaca ataupun pendengar. Selain itu, humor juga sebagai cara melahirkan suatu pikiran, baik dengan kata-kata (verbal) atau dengan jalan lain yang melukiskan suatu
ajakan yang menimbulkan simpati dan hiburan. Dengan demikian, humor membutuhkan suatu profesi berpikir. Stand-up comedy di Yogyakarta berkembang sekitar 2010 dan dipelopori oleh Sigit Haryoseno, yang terkenal dengan nama Imot. Bersama Anang Batas, mereka mengembangkan stand-up comedy melalui acara Freedom of Nggambleh dan Seloso Selo. Dari kedua acara tersebut stand-up comedy di Yogyakarta mulai banyak dikenal dan memunculkan sebuah komunitas yang bernama Stand-up comedy Yogyakarta dengan memasukan komunitas-komunitas stand-up comedy kampus di dalamnya. Stand-up comedy dapat berkembang dan menjadi fenomena tersendiri di Yogyakarta yang masih kental dengan kesenian-kesenian lisan daerah yang bertahan sampai sekarang. Tidak jarang juga para pakar tradisi menggunakan stand-up comedy sebagai daya tarik untuk masyarakat muda mau mengenal dan melihat pertunjukan-pertunjukan lisan tradisional. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pertunjukan stand-up comedy sebagai objek material. Stand-up comedy dipilih karena merupakan objek baru dalam sastra lisan, berdasarkan pengetahuan peneliti. Penelitian dalam sastra lisan tidak harus menyangkut pertunjukan tradisional tetapi dapat berupa pertunjukan lisan modern yang populer di masa kini, walaupun sebenarnya sudah hadir sejak dahulu, hanya ada sedikit perubahan yang mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, di Indonesia sendiri belum ada kajian thesis mengenai stand-up comedy yang diteliti menggunakan aspek kelisanan Albert B. Lord. Aspek kelisanan digunakan untuk membuktikan bahwa stand-up comedy merupakan objek kajian sastra lisan dan dapat masuk wilayah sastra, tidak hanya menjadi objek material
cultural study dan studi linguistik. Hal ini menjadi menarik perhatian peneliti untuk menelitinya. Penelitian menggunakan sempel pertunjukan stand-up comedy di Yogyakarta dengan Sigit Haryoseno (Imot) sebagai comic atau tukang cerita. Hal ini dikarenakan Yogyakarta sebagai salah satu kota terbesar untuk pelaku standup comedy. Banyak comic terkenal dari komunitas Yogyakarta. Banyaknya komunitas kampus yang terorganisir dalam komunitas stand-up comedy Yogyakrta. Banyak perlombaan stand-up comedy di Yogyakarta. Selain itu, budaya dan bahasa jawa yang ada di Yogyakarta menjadi sebuah fenomena tersendiri di dalam pertunjukan stand-up comedy. Pertunjukan stand-up comedy mengambil pertunjukan Sigit Haryoseno (Imot) sebagai comic atau tukang cerita, hal ini dikarenakan beliau adalah salah satu pendiri komunitas stand-up comedy di Yogyakarta, selain itu banyak prestasi dalam pertunjukan stand-up comedy yang diraihnya. Salah satunya yaitu menjadi finalis stand-up comedy Kompas TV tahap yang ke-2.
1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan tiga masalah: a. Bagaimanakah aspek modern stand-up comedy sebagai sastra lisan di Yogyakarta? b. Bagaimanakah aspek kelisanan pada pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan oleh Sigit Haryoseno, meliputi komposisi dan transmisi, formula, tema, pertunjukan (performance)?
c. Bagaimanakah peranan tukang cerita (comic), penonton (audience), dan fungsi pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan oleh Sigit Haryoseno?
1.3 Tujuan Penelitian Mengacu pada masalah dan permasalahan yang telah ditetapkan di atas, dikemukakan hal-hal yang menjadi tujuan penelitian ini. Tujuan itu ditinjau dari dua hal, yaitu tujuan teoritis dan tujuan praktis
1.3.1 Tujuan Teoretis Secara teoretis, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: a. Mendeskripsikan
kemoderenan
pertunjukan
stand-up
comedy
di
Yogyakarta b. Menjelaskan aspek kelisanan yang terdiri komposisi dan transmisi, formula, tema dan pertunjukan (performance) yang terdapat pada pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan oleh Sigit Haryoseno di Yogyakarta c. Menjelaskan peranan tukang cerita (comic), penonton (audience), dan fungsi dalam pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan oleh Sigit Haryoseno di Yogyakarta.
1.3.2 Tujuan Praktis Secara praktis, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: a. Memberikan wawasan kepada pembaca tentang stand-up comedy sebagai bentuk sastra lisan modern, yang merupakan peninggalan budaya Amerika dan cukup diminati di Indonesia khususnya Yogyakarta b. Menjadi wawasan baru terhadap perkembangan sastra lisan di Indonesia (Yogyakarta) c. Diharapkan menjadi salah satu referensi baru terhadap objek penelitian sastra lisan.
1.4 Tinjauan Pustaka Kajian ilmiah mengenai stand-up comedy di Indonesia cukup banyak. Akan tetapi, kebanyakan berupa skripsi, sedangkan dalam bentuk tesis sejauh pencarian peneliti masih jarang di Indonesia. Tesis mengenai stand-up comedy hanya ditemukan satu yaitu dari Georgia State University oleh Andrea Shannon dengan judul “Stand-Up Comedy as Artistic Expression: Lenny Bruce, The 1950s, and American Humor”. Skripsi tentang stand-up comedy yang dapat ditemukan mayoritas dari jurusan Ilmu Komunikasi dan Bahasa Indonesia, sedangkan dari sastra (terutama sastra lisan) sejauh ini belum ada dan belum ditemukan. Skripsi yang ditemukan diantaranya, Skripsi Tegar Gigih Yudha Nataru tahun 2012, dari Universitas Dipenegoro, dengan judul “Pemaknaan Audience Terhadap Stand-Up Comedy
Indonesia dengan Materi Suku, Agama, Ras & Antar Golongan (Sara)”. Penelitian ini membahas bagaimana audience membangun makna yang dikonstruksikan oleh media. Konsep audience dalam penelitian ini berdasar pada konsep studi resepsi, menurut Ien Ang (dalam Downing, Mohammadi, dan Sreberny-Mohammadi [eds.], 1990: 160-162). Khalayak dianggap sebagai producer of meaning, bukan hanya
sebagai
konsumen
dari
isi
media.
Khalayak
memaknai
dan
menginterpretasi teks media sesuai dengan kondisi sosial budaya, yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. Dalam menanggapi stand-up comedy dengan materi SARA, informan menanggapi secara beragam tentang makna dibalik itu semua (Nataru, 2012). Skripsi Allan Triastono Aji tahun 2013, dari Universitas Pajajaran, jurusan Manajemen Komunikasi, dengan judul “Pemaknaan Comic Terhadap Lelucon dalam Stand-Up Comedy: Studi Fenomenologi Mengenai Pemaknaan Comic (Pandji Pragiwaksono, Mosidik Zamzami, dan Ernest Prakasa) Terhadap Lelucon dalam Stand-Up Comedy Melalui Kegiatan Stand-Up Nite”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Subjek penelitian ini adalah tiga orang comic yang menjadi pelopor berdirinya kegiatan stand up nite di Indonesia. Teknik pengambilan data menggunakan wawancara mendalam dan telaah dokumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengalaman comic (Pandji Pragiwaksono, Mosidik Zamzami, dan Ernest Prakasa) tentang lelucon dalam stand-up comedy datang dari fenomena sosial yang mereka alami maupun amati. Keprihatinan dan kepedulian mereka akan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan), isu bullying, dan diskriminasi sosial yang ada
di masyarakat, memberikan pemaknaan tersendiri bagi para comic. Pemaknaan comic terhadap lelucon dalam stand-up comedy memiliki keberagaman variasi makna lelucon, yaitu; (1) Lelucon sebagai kritik sosial dan kebebasan berpendapat, (2) Lelucon sebagai pengungkapan isu bullying, (3) Lelucon sebagai bentuk komoditas, dan (4) Lelucon sebagai media pencerahan. Penelitian ini menyarankan agar; (1) Para comic terus konsisten menyampaikan materi yang berkaitan dengan isu SARA, bullying, maupun diskriminasi kepada para penonton. (2) Para comic dapat terus memberikan materi lelucon yang menjadi ciri khasnya masing-masing, (3) Diharapkan para comic selalu memberikan contoh yang baik dan pengajaran bagi siapa saja yang tertarik akan stand-up comedy, terlepas dari tuntutan biaya yang mungkin memberatkan (Aji, 2013). Skripsi Asih Kusuma Lestari tahun 2013, Program Studi Indonesia dari Universitas Indonesia dengan judul “Kohesi Gramatikal dan Kohesi Leksikal dalam Stand-Up Comedy Pandji Pragiwaksono”. Skripsi ini berisi analisis kohesi gramatikal dan leksikal dalam stand-up comedy Pandji Pragiwaksono pada acara stand-up nite episode ketiga. Analisis mengacu kepada teori Halliday dan Hassan dengan menggunakan metode kualitatif. Hasil analisis menunjukkan bahwa kohesi gramatikal berupa referensi, substitusi, elipsis, dan konjungsi serta kohesi leksikal berupa reiterasi dan kolokasi muncul dalam wacana stand-up comedy Pandji. Kohesi gramatikal yang cenderung digunakan dalam pembentukan keutuhan wacana ini adalah referensi persona endofora gua yang mengacu kepada penutur, sedangkan kohesi leksikal yang cenderung digunakan adalah repetisi (Lestari, 2012).
Skripsi Chyndy Febrida Sari tahun 2012, jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Surabaya, dengan judul “Humor dalam Stand-Up Comedy oleh Rad (Kajian Tindak Tutur, Jenis, dan Fungsi)”. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis tindak tutur dan penerapan prinsip kerja sama beserta penyimpangan yang terjadi dalam humor stand-up comedy oleh Raditya Dika, sekaligus mengetahui jenis dan fungsi humor yang digunakannya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dengan sumber data video 1, 2, 3 stand-up comedy oleh Raditya Dika yang diunduh dari situs Youtube. Data tersebut kemudian ditransmisi ke dalam bentuk tulis melalui teknik transkripsi, baru kemudian dipilah-pilah sesuai kebutuhan. Penyajian datanya meliputi korpus data tentang tindak tutur, jenis, dan fungsi (Lestari, 2012). Dari tinjauan pustaka diatas terlihat jelas perbedaan tentang penelitian stand-up comedy yang sudah pernah ada dengan penelitian ini. Penelitian ini fokus pada kajian sastra lisan untuk melihat stand-up comedy sebagai bentuk sastra lisan modern. Dengan menggunakan teori Albert. B. Lord, peneliti ingin menunjukan bahwa objek material modern seperti stand-up comedy dapat dikaji dalam sastra lisan.
1.5 Landasan Teori Penelitian ini menggunakan teori sastra lisan yang dikemukakan oleh Albert B. Lord. Teori tersebut dianggap sesuai untuk membahas kelisanan dalam pertunjukan stand-up comedy. Hal ini dikarenakan aspek-aspek kelisanan yang
dikemukakan Albert B. Lord nampak dalam pertunjukan Stand-up comedy. Selain itu, dari beberapa bacaan teori-teori kelisanan seperti Walter J. Ong dalam Orality and Literacy, Ruth Finnegan dalam Oral Tradittion and Verbal Arts, teori Lord lebih pas untuk membedah aspek kelisanan yang terdapat dalam pertunjukan stand-up comedy. Teori Lord lebih fokus dalam menjelaskan tahap-tahap pertunjukan lisan, mulai dari tahap pembelajaran sampai ke proses pertunjukan lisan, sedangkan Finnegan dan Ong tidak memfokuskan pada aspek kelisanan pertunjukan. Finnegan lebih menjelaskan mengenai apa saja yang harus disiapkan/diperlukan dalam field research (penelitian lapangan) sastra lisan. Finnegan memberikan penjelasan mengenai metode penelitian sastra lisan, mulai dari sebelum penelitian sampai setelah penelitian yaitu pengolahan dan analisis data. Finnegan secara rinci menjelaskan sarana dan prasarana yang diperlukan, seperti teori dan teknik yang dapat digunakan, serta bagaimana meminimalisir kendala pada saat penelitian sastra lisan dilakukan maupun saat pengolahan data. Selain itu, Finnegan juga menawarkan panduan bagi peneliti sastra lisan, dan mempesilakan peneliti untuk memilih menggunakan mana yang sesuai dengan penelitiannya. Sedangkan Ong lebih ke konsep modern tentang sastra lisan. Modern di sini yaitu tentang bagaimana menganalisis objek sastra lisan dengan konsep modern seperti analisis secara struktur yang dilakukan oleh Levi Straus pada cerita-cerita mitos. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa konsep Albert B. Lord yang ada dalam The Singer of Tales (1981), yaitu konsep formula, tema, pertunjukan (performance), komposisi, transmisi, audience, dan fungsi.
1.5.1 Formula Menurut Lord, sastra lisan merupakan sastra yang diciptakan dalam bentuk lisan, dan mempunyai berbagai ciri yang membedakannya dengan sastra tulis. Misalnya, ada formula, yang diartikan Lord sebagai “kelompok kata yang dipergunakan berulang-ulang secara teratur dalam kondisi matra yang sama untuk mengungkapkan suatu ide pokok” (Lord, 1960: 30); dalam kata lain, formula adalah pengulangan pola cerita. Formula ini menjadi alat untuk membantu tukang cerita mengingat cara menyajikan karya, alat untuk menarik perhatian dan pengertian audience, sekaligus pembentuk nilai estetis suatu karya. Formula ini milik bersama, dan menjadi dasar dari pelbagai karya sastra lisan. Formula dalam karya sastra digunakan oleh tukang cerita, seseorang yang menggantungkan daya ingatnya untuk berkarya dan mempunyai latar belakang sosial-budaya tersendiri; latar belakang individual tukang cerita ini mempengaruhi bagaimana ia mengolah formula, setelah belajar menggunakannya. Formula tidak dihafalkan, namun muncul dari proses mendengarkan. Penggunaan formula ini dipelajari melalui proses yang turun-temerun, dalam tiga tahap: tukang cerita mendampingi tukang cerita lain, mengulangi cerita tanpa pertunjukan di depan audience, dan mempertunjukkan karya kepada audience. Saat mulai belajar, tukang cerita tidak menguasai formula sehingga mengetahuinya tetapi belum bisa menggunakannya dalam dialektik dengan audience (Lord, 181:44). Formula ditunjukan dengan menggaris bawahi frase-frase yang dianggap menunjukan formula. Pada akhirnya formula menjadi pendukung proses
komposisi. Dalam komposisi, formula berarti ide esensial artinya formula memiliki ide penting dari pengulangan frase tersebut (Lord, 1981: 45-67). Formula sastra lisan terbentuk pada saat pertunjukan. Sastra lisan tidak hanya dimaknai secara presentasi lisan, tetapi juga dimaknai sebagai komposisi selama terjadinya pertunjukan lisan. Upaya untuk mempelajari, menyususun, dan menampilkan suatu karya secara lisan merupakan bentuk rangkaian kelisanan yang dimaknai sebagai kelisanan dalam arti teknis atau harafiah (Lord, 1981:5). Lebih jauh Lord (1981:34-35) menguraikan dalam teks lisan terdapat unsur-unsur pengulangan yang menjadi stock in trade tukang cerita. Frase-frase yang berulang ini merupakan formula. Frase-frase itu dapat berupa epitet, paralelisme, pleonasme, dan kiasmus. Ekspresi formulaik adalah larik atau paro larik, yang disusun sesuai dengan pola formula (Lord, 1981:4). Pencerita dapat menyusun larik-larik dengan rapi dan cepat pada posisi dan keadaan tertentu. Pencerita dalam penyusun cerita memakai formulaik, sehingga terjadi proses penggantian, kombinasi, pembetulan model, dan penambahan kata-kata atau ungkapan baru pada pola formulaik, sesuai dengan kebutuhan penceritaan. Dengan demikian, pencerita dapat membangun larik terus menerus, sesuai dengan keinginan dan kreatifitasnya. Formula dan ekspresi formulaik bertujuan untuk menceritakan kisah-kisah yang didendangkan. Cerita lisan memiliki tema atau ide-ide yang ingin disampaikan kepada audiance. Tukang cerita dalam penyampaian ide itu menggunakan formula sebagai sarana penceritaan. Kelihaian memainkan kata-
kata dan penguasaan formula merupakan syarat utama dalam mengubah cerita secara mudah dan lancar. 1.5.2 Tema Jenis-jenis ide yang secara regular digunakan menceritakan kisah merupakan tema-tema cerita. Tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang dan bagian-bagian deskriptif dalam cerita. Biasanya untuk membangun narasi dialog, tukang cerita bersandar pad ide yang terpola. Ide yang terpola itu sama dengan tema dalam pengertian Lord, yaitu sekelompok ide yang secara teratur digunakan pada penciptaan suatu cerita dalam gaya formulaik. Oleh karena itu, untu mengungkapkan suatu tema ditemui kalimat-kalimat yang paralel. Tema disusun dari adegan-adegan yang telah ada dalam pikiran tukang cerita yang telah mapan, tema mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh sifat lentur formula dan kenyataan bahwa tukang cerita tidak memakai formula yang sama pada setiap tukang cerita. Tema bukanlah kreasi seni yang hidup dan berubah sesuai dengan situasi (Lord, 1981:61-84).
1.5.3 Pertunjukan (Perfomance) Proses pembelajaran lisan diawali dengan pertunjukan (performance). Pada tahap ini pertunjukan dilakukan oleh tukang cerita pertama, yang disebut guru. Proses pembelajaran sastra lisan berkaitan dengan komposisi dan transmisi lisan. Tidak dapat dihindari bahwa tukang cerita adalah orang yang memproduksi apa yang didengarnya. Namun, tukang cerita adalah seorang komposer yang tidak hanya menyajikan sebuah tradisi, tetapi juga seniman kreatif pembuat tradisi.
Perfomance atau proses pertunjukan adalah saat penciptaan sastra lisan. Hal itu dikarenakan dalam proses pertunjukan tersebut terdapat bagaimana seorang tukang cerita terpengaruh dengan keadaan disekitar mereka, terutama audience (Lord, 1981:13-14).
1.5.4 Komposisi dan Transmisi Terdapat dua faktor komposisi oral yang tidak hadir dalam tradisi tulis yaitu, ketidak tetapan dan faktor waktu. Kedua faktor tersebut yang mempengaruhi sebuah komposisi oral. Ketidaktetapan yang dimaksud adalah dalam penyampaian sastra lisan yang dia bawakan, tukang cerita menyuguhkan sesuatu yang tidak tetap kepada penontonnya (audience). Tukang cerita menghafalkan sastra lisan yang dia miliki dengan tidak tetap. Hal ini terjadi pada waktu ketika dia melakukan pertunjukan. Waktu dalam pertunjukan tersebut cepat atau lambat tergantung audience dan situasi yang terjadi pada saat pertunjukan. Tukang cerita melakukan komposisi dengan cepat ketika dia menemukan audience yang masih menunggu untuk mendengarkan cerita. Beberapa tukang cerita menyampaikan cerita cukup lambat dengan jeda yang disisipi musik untuk memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Tukang cerita juga memiliki formula yang ditunjukan pada audience yang dapat menunjukan waktu (Lord, 1981:22). Proses komposisi memiliki tiga tahap. Pertama, tukang cerita memilih seseorang untuk dijadikan sebagai guru. Guru sangat berperan dalam proses ini, karena tukang cerita belajar bahasa khusus yang tidak didapatkannya dari sekolah,
melainkan dari pertunjukan yang dilakukan gurunya. Proses kedua adalah proses imitasi, baik dalam mempelajari instrument ataupun formula dan tema yang disampaikan guru. Proses imitasi sekaligus asimilasi dilakukan melalui pendengaran. Tahap ini berakhir ketika tukang cerita siap untuk melakukan pertunjukannya dengan menggunakan bahasa dan formula yang dipelajari dari gurunya. Pada tahap ketiga tukang cerita tidak pernah berhenti untuk mengumpulkan, mengkombinasi dan merenovasi formula. Dengan demikian komposisi dianggap sebagai sarana untuk memperkaya seni (Lord, 1981:22-25). Proses transmisi dilakukan oleh guru terhadap muridnya melalui proses pertunjukan. Murid mendengarkan dan memperhatikan dengan sungguh-sungguh semua yang diucapkan dan dilakukan sang guru. Jika kita kembali ke permasalahan transmisi maka kita akan dibawa kembali ke konservatisme tradisi. Selain itu, perubahan akan jatuh pada kategori yang jelas, antara lain: (1) mengatakan sesuatu hal yang sama dalam beberapa baris yang dikarenakan oleh metode penyanyi dalam mensiasati komposisi baris dan tekhnik penyambunganya untuk menjadi satu kesatuan yang harmonis, (2) ekspansi ornamentasi (penambahan kalimat untuk memperjelas detail deskripsi, (3) perubahan orde atau urutan (hal ini bisa disebabkan oleh sense yang berbeda dari segi pemahaman, atau bisa juga dari apa yang disebut dengan pengaturan kiasan yang menjadi teknik tersendiri dari masing-masing penyanyi, (4) pemberian teks tambahan yang tidak sesuai dengan teks panutan, namun didapat dari teks penyanyi lain, (5) penghilangan materi, dan (6) substitusi tema satu dengan yang lainya dalam
sebuah kofigurasi naratif cerita yang digabungkan menjadi satu kesatuan (Lord,1981:125-126).
1.5.5 Penonton (Audience) Selain aspek kelisanan, peran audience juga dibutuhkan dalam pertunjukan lisan. Audience menjadi penting karena mereka menilai kemampuan tukang cerita, dan sambutan mereka – baik yang buruk maupun yang baik – akan mempengaruhi bagaimana tukang cerita mementaskan ceritanya. Audience dapat beragam-ragam: orang awam atau orang kaya, Muslim atau Nasrani, asing atau lokal, dan seterusnya. Jumlahnya bisa banyak atau sedikit, laki-laki atau perempuan, tua atau muda. Setiap jenis audience akan menanggapi karya dengan cara yang lain, sehingga kemasan formula harus disesuaikan pada saat pertunjukan berlangsung (Lord, 1981:18). Menurut Lord, dialektika antara audience dan tukang cerita menentukan bahwa selalu ada versi dan variasi baru yang muncul pada setiap pertunjukan: ada yang ditambah, ada yang dikurangi, ada penggunaan bahasa yang tidak sama, dan seterusnya. Karya dibentuk ulang setiap kali ia ditunjukkan, sehingga waktu pertunjukan juga bisa dinamakan waktu penciptaan. Namun, karya tetap akan berpusat pada formula yang mendasarinya. Berbeda dari sastra tulis, sastra lisan tidak ada jarak antara audience dan tukang cerita (Lord, 1981:21-24).
1.5.6 Fungsi Selanjutnya Lord juga menjelaskan mengenai fungsi. Fungsi di sini dijelaskan sebagai starting point (titik mula) untuk studi komparatif dari puisi lisan yang mencari tahu bagaimana gaya hidup masyarakat memunculkan karya dari jenis tertentu dan kualitas tertentu (Lord, 1981:3-4). 1.5.7 Gagasan Modern dan Tradisional Selain menyebutkan dan menjelaskan aspek kelisanan Albert B. Lord, peneliti menggunakan pengantar mengenai modernitas dan tradisionalitas. Hal ini digunakan untuk membedakan objek material sastra lisan tradisional dengan objek material stand-up comedy sebagai sastra lisan modern, walaupun Lord tidak membahas modernitas dalam The Singer Of Tales. Modernitas yang dimaksud berbeda dengan apa yang dimaksud dalam Ong yang mengkaji sastra lisan dengan konsep modern. Modern di sini hanya sebagai pembeda objek material stand-up comedy yang berasal dari Barat dengan pertunjukan lisan Indonesia yang bersifat tradisional. Gagasan modern sendiri berasal dari sebutan terhadap institusi, ide, dan perilaku yang muncul dari kemerosotan masyarakat pertengahan (medieval society) di Eropa. Walaupun benih modernitas itu telah bersemi ratusan tahun sebelumnya, barulah pada abad ke-19 kehidupan modern itu benar-benar terwujud. Perubahan besar tersebut menjadi momentum penting bagaimana disebut Karl Polanyi (1973) sebagai transformasi besar (Jones, 2010: 32-33). Modern memiliki arti baru, sekarang, atau saat ini. Pemikiran modern menganalisis tentang kekinian, sekarang, subjektivitas, kritik, hal yang baru,
kemajuan, dan apa yang harus dilakukan pada saat ini. Semangat kekinian ini tumbuh sebagai perlawanan terhadap cara berpikir tradisional yang dianggap sudah tidak relevan. Dianggap tidak relevan karena kurang menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan yang secara kualitatif baru dan lebih maju. Sementara, orang-orang modern menyadari bahwa dirinya memiliki kesadaran yang terkait dengan kebaruan atau kekinian. Oleh karena itu, istilah perubahan, revolusi, kemajuan, dan pertumbuhan adalah istilahistilah kunci kesadaran modern (Rahman, 2013:220). Pemikiran modern menaruh perhatian pada rasionalitas dan struktur. Pemikiran tersebut sering dikaitkan dengan pelbagai seni dan dengan „seni tinggi‟ bukan sesuatu yang tanpa bentuk dan kacau balau (Burton, 2012:5). Selain itu, perubahan-perubahan yang ditengarai oleh modernitas salah satunya dominasi barat di seluruh dunia. Dominasi Barat dimantapkan secara politik dan budaya oleh kolonialisme dan secara ekonomi oleh pengandalian pasar dunia (Jones, 2010:36-37). Sedangkan gagasan tentang tradisional didukung oleh Burke dan Hayek. Para tradisionalis yakin bahwa konversi, bentuk sosial, mode pemerintahan atau institusi sosial yang diwariskan telah berkembang di sepanjang waktu sebagai adaptasi yang efektif bagi kebutuhan manusia, dan karenanya memiliki otoritas yang terus bertahan. Antusiasme bagi reformasi demi reformasi sendiri, atau bagi skema rasional yang dipikirkan oleh para manajer dan teoritisi, salah kaprah sepenuhnya (Blackburn, 2013:373)
Pemikiran tradisonal sendiri berasal dari masa lampau yang mengandung ciri-ciri sakral, seperti sistem kekerabatan, sistem kepercayaan, seni, adat istiadat, dan berbagai bentuk kebiasaan lain yang dilakukan secara turun-temurun. Para penganut tradisi biasanya selalu menurunkan sesuai pakem tradisi yang sudah ada sebelumnya (Ratna, 2011:492). Dalam sastra lisan biasanya terdapat pada satra lisan primer atau murni. Sastra lisan murni atau primer dimiliki oleh masyarakat lampau yang belum mengenal aksara dan tulisan (Ong, 2013:7).
1.6 Metode Penelitian Metode penelitian merupakan langkah-langkah yang dilakukan untuk menganalisis sebuah objek penelitian. Metode dalam penelitian sastra memiliki ukuran keilmiahan tersendiri yang ditentukan oleh karakteristiknya sebagai suatu system. Hal ini karena karya sastra merupakan fakta estetika yang memiliki karakter tersendiri pula (Chamamah, 1994:19). Dengan demikian, metode penelitian memiliki relevansi dengan teori yang digunakan agar tercipta keseimbangan yang saling mendukung. Penelitian ini akan menganalisis tentang stand-up comedy sebagai sastra lisan modern di Indonesia dengan menggunakan teori Albert B. Lord, dengan metode deskriptif. Untuk mendeskripsikan stand-up comedy dibutuhkan proses wawancara lapangan dan pencarian data-data dari referesi buku baik cetak dan media. Metode deskriptif sendiri adalah metode yang digunakan untuk meneliti status kelompok manusia, objek, rangkaian situasi dan kondisi, suatu system
pemikiran, ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki (Nazir, 1983:63). 1.6.1 Metode Pengumpulan Data Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan cara menentukan objek penelitian, baik berupa objek formal maupun objek material. Objek formal dalam penelitian ini adalah aspek kelisanan Albert B. Lord. Adapun objek material dalam penelitian ini adalah pertunjukan stand-up comedy di Yogyakarta dengan mengambil sempel dari pertunjukan Sigit Haryoseno. Alasan penentuan objek material dalam penelitian ini telah disinggung pada latar belakang masalah, bahwa penelitian sastra lisan tidak hanya monoton dengan objek material yang traditional. Pertunjukan popular di masa modern sekarang juga dapat dikaji sebagai sastra lisan dan objek sastra lisan masa lampau pun dapat tetap dinikmati masyarakat dengan perubahan yang mengikuti zamannya. Selain itu, penelitian sastra lisan di Indonesia juga tidak harus budaya tradisional yang kental dengan kedaerahan, tetapi juga dapat berupa budaya asing modern yang masuk dalam negeri. Data yang dikumpulkan dibagi menjadi dua jenis, yaitu data kepustakaan (yang berasal dari proses membaca buku, artikel, jurnal online yang berhubungan dengan objek penelitian) serta data lapangan (yang berupa perekaman pertunjukan dan proses wawancara kepada praktisi atau pelakus stand-up comedy dan audience). Metode pengumpulan data dilanjutkan dengan pengarsipan data.
Semua data yang diperoleh dari proses wawancara atau perekaman stand-up comedy yang di lakukan oleh Sigit Haryoseno di FBS UNY dan Djendelo Café ditransfer ke dalam bentuk CD. Selanjutnya, hasil transfer data tersebut didengarkan secara berulang-ulang. Data rekamana pertunjukan stand-up comedy di Djendelo Cafe menggunakan kamera HP, Sedangkan data di FBS UNY menggunakan kamera yang sudah disiapkan oleh panitia acara, peneliti hanya mengamati saja, karena tidak ada yang boleh mengambil gambar kecuali panitia acara. Dari hasil pengarsipan data, dihasilkan transkripsi, yaitu pengubahan teks dari satu ejaan ke ejaan lain. Misalnya, teks yang ditulis dengan huruf Latin ejaan lama, diubah ke ejaan yang berlaku sekarang (EYD). Transkripsi juga diartikan penggantian atau pengalihan teks lisan (rekaman) ke dalam teks tertulis (Basuki dkk, 2004:54). Transkripsi dalam stand-up comedy mengikuti kaidah pemindahan secara setia, artinya semua ucapan tukang cerita dipindahkan dalam bentuk tulisan. Dalam pertunjukan stand-up comedy, para comic menggunakan bahasa Indonesia,
jadi
peneliti
hanya
mentranskipnya
saja
dan
tidak
perlu
menerjemahkannya lagi. Selain itu, data dari hasil kepustakaan dijadikan acuan dalam menentukan aspek-aspek modern stand-up comedy sebagai sastra lisan di Yogyakarta melalui sejarah dan perkembangan stand-up comedy di Amerika, Indonesia, dan Yogyakarta, bahasa dalam stand-up comedy, komunitas stand-up comedy di Yogyakarta, posisi stand-up comedy dalam sastra lisan yang ada di Yogyakarta,
yang kemudian menjadi pengantar dan menjadi salah satu acuan dalam proses analisis kelisanan stand-up comedy. 1.6.2 Metode Analisis Data Setelah semua data terkumpul, langkah selanjutnya adalah analisis dan pengolahan data. Analisis data dilakukan dengan menggunakan aspek kelisanan Albert B. Lord, yaitu formula, tema, pertunjukan (performance), komposisi, transmisi, penonton (audience), dan fungsi. Adapun langkah-langkah pengolahan dan analisis data dilakukan sebagai berikut: a. Menganalisis aspek kelisanan dalam pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan oleh Sigit Haryoseno, meliputi komposisi dan transmisi, formula, tema, pertunjukan (performance) b. Menganalisis peranan tukang cerita (comic), penonton (audience) dan fungsi pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan oleh Sigit Haryoseno c. Mendeskripsikan pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan Sigit Haryoseno di Yogyakarta d. Menarik kesimpulan dari semua proses kerja penelitian e. Menyusun dan melaporkan hasil penelitian.
1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian berisi garis besar kerangka penelitian. Penyajian tesis ini adalah sebagai berikut:
Bab I berisi pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II berisi ulasan tentang aspek-aspek modern stand-up comedy sebagai sastra lisan di Yogyakarta, meliputi: sejarah stand-up comedy, bahasa dalam stand-up comedy, komunitas stand-up comedy di Yogyakarta, dan posisi stand-up comedy dalam sastra lisan yang ada di Yogyakarta. Bab III berisi uraian tentang kelisanan stand-up comedy Sigit Haryoseno di Yogyakarta. Bab ini terdiri dari pembahasan komposisi dan transmisi, formula, tema, dan pertunjukan (performance). Bab IV berisi uraian tentang peranan tukang cerita (comic), penonton (audience) dan fungsi dalam pertunjukan stand-up comedy yang dilakukan Sigit Haryoseno di Yogyakarta. Bab V merupakan penutup, yang berisi simpulan dan saran.