Bab 2 Landasan Teori
2.1 Teori Psikologi Kata psikologi berasal dari Yunani yang merupakan gabungan dari kata psyche yang berarti jiwa dan logos yang berarti ilmu. Karena itu psikologi bisa diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan (Hamilton, 1942). Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman, arti dari psikologi mengalami kemajuan dan memiliki berbagai macam arti. Salah satunya, psikologi adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan binatang (Wertheimer, 1972). Setiap makhluk hidup di dunia ini mempunyai kemampuan untuk berpikir, berkembang, bertambah umur, memiliki emosi seperti ketakutan dan marah, kemampuan untuk menyelesaikan suatu masalah, dan mengambil suatu langkah penting yang dapat membuat sel-sel di tubuh memanas. Hal ini dikemukakan oleh Plato (Hutchins,1952) sebagai berikut: Kita ini terbentuk dari hasrat, emosi, dan pengetahuan. Hasrat datang dari pinggul, emosi datang dari aliran dan tekanan darah di dalam hati, dan pengetahuan datang dari kepala. Kemudian untuk memperkuat pernyataannya itu, Plato juga menambahkan: Apakah darah merupakan elemen yang mana kita pikir, ataukah udara, ataukah api? Atau mungkin otaklah yang mungkin merupakan sumber kekuatan utama dalam pendengaran, penglihatan, penciuman, pengingat, dan muncullah pendapat dari itu semua. Dengan pernyataan Plato ini, dapat diketahui bahwa sumber dari segala tingkah laku berasal dari otak. Apa yang di dengar, di cium, dan dilihat, semuanya terekam dalam kepala.
7
2.1.1 Teori Psikologi Kerja Kerja merupakan suatu hal yang pasti dilakukan setiap orang. Karena dengan bekerja seseorang akan mendapatkan upah guna mempertahankan hidupnya. Selain itu, dengan bekerja maka kita akan menghasilkan sesuatu yang berguna bagi orang lain. Karena itu psikologi kerja secara umum dapat diartikan sebagai gabungan dari beberapa ide, metode, atau konsep, dan memiliki pengertian yang sangat dalam mengenai ekonomi, sosial, dan psikologi. Dalam psikologi kerja terdapat dua hal yang mudah untuk diingat, yaitu menyesuaikan orang dengan pekerjaannya dan menyesuaikan pekerjaan dengan orangnya. Kedua hal tersebut hanya merupakan sebagian dari psikologi kerja. Cherrington (1989:27) mengemukakan pendapatnya mengenai psikologi kerja, yaitu: Perilaku organisasi yang merupakan perkembangan dari psikologi, sosiologi, dan antropologi. Dimana setiap disiplin ilmu itu menyumbangkan idenya untuk organisasi dan kemudian bergabung menjadi perilaku organisasi. Selain itu juga, ada tiga disiplin ilmu yang mempunyai pengaruh kecil dalam perkembangan perilaku organisasi yaitu ekonomi, politik, dan sejarah. Dari pernyataan tersebut, dapat dipahami bahwa psikologi kerja merupakan pengembangan dari psikologi, sosiologi, dan antropologi. Selain itu juga, didalam psikologi kerja juga terdapat ekonomi, politik, dan sejarah yang bergabung dan membentuk perilaku suatu organisasi. 2.1.2 Teori Workaholic Workaholic merupakan gabungan dari kata work dan alcoholic. Karena itu, workaholic dapat diartikan sebagai gerakan yang dilakukan demi diri sendiri yang berpusat pada suatu ketagihan, yang akhirnya membentuk perilaku sosial yang berbahaya seperti bekerja melampaui batas dan ketagihan pada obat-obatan, termasuk ketagihan akan alcohol. Menurut Oates dalam Furnham (2005:253), workaholic adalah 8
ketagihan dalam bekerja dan keharusan atau keinginan untuk bekerja yang tidak bisa dikendalikan. Banyak yang mendefinisikan workaholic sebagai suatu hal yang buruk. Akan tetapi, sebenarnya workaholic itu merupakan sisi positif yang digunakan oleh orang-orang untuk mengekspresikan karir mereka. Ini dikemukakan oleh Oates dalam Furnham (2005:253) sebagai berikut: Workaholic walaupun merupakan bencana, tapi itu tidak dapat diubah. Kenapa? Karena workaholic merupakan contoh dari kesempurnaan. Dia adalah orang yang terpilih menjadi “orang yang pasti akan sukses” Dari pendapat yang dikemukakan tersebut, dapat kita ketahui bahwa menjadi seorang workaholic ada sisi baiknya. Sisi baiknya adalah seorang workaholic dapat meraih kesuksesan karena kegilaannya akan bekerja. Oates dalam Furnham (2005:253) kemudian membagi workaholic menjadi lima jenis, yaitu: 1. Dyed in the wool Seorang workaholic yang memiliki tingkat profesionalitas yang tinggi, pengabdian yang tinggi, dan tanggung jawab yang besar pada perusahaan tempat dia bekerja. 2. Converted Seorang workaholic yang akan bekerja dengan sangat keras jika dia mendapatkan suatu imbalan sebagai gantinya. 3. Situational Seorang workaholic yang akan bekerja dengan sangat keras sesuai dengan kondisi perusahaan tempat dia bekerja. 4. Pseudo-workaholic Seorang workaholic seperti dyed in the wool, tapi dia tidak memiliki suatu pengabdian yang tinggi pada perusahaan tempat dia bekerja. 9
5. Escapist as workaholic Seseorang yang tetap tinggal di kantornya karena tidak ingin pulang atau mengambil bagian dalam suatu hubungan sosial.
2.2 Konsep Kaisha Ningen Setelah tahun 1960, muncullah pejuang hak-hak wanita di dunia dan dimulailah waktu untuk keluarga modern. Akan tetapi di Jepang, hal ini tidak memberikan pengaruh sama sekali. Bahkan pada waktu yang bersamaan dengan munculnya pejuang hak-hak wanita tersebut, di Jepang muncul konsep gaji keluarga. Konsep ini merupakan semangat yang diberikan kepada para pekerja atas keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Kemudian konsep inilah yang menyebabkan munculnya kaisha ningen yang dianggap dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik dalam perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh Kimiko dalam jurnalnya (1997:13) Seseorang dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik jika dia diterima oleh suatu perusahaan dan pemahaman akan terbentuk jika seorang pria bekerja dengan sangat keras, dapat dipercaya, dan seorang workaholic kaisha ningen harus mencurahkan semuanya demi perusahaan. Di sisi lain, seorang wanita harus mencurahkan semuanya untuk mengurus rumah tangga dan mendidik anak mereka. Masao juga mengemukakan pendapatnya mengenai kaisha ningen dalam penelitiannya tentang kaisha ningen (1997-2002:9) sebagai berikut:
繰り返すが会社人間と呼ばれる一つの人たちがいる.すでに述べたように 、強く組織にコミットメントする人たちである.過剰に強いコミットメン トを示す人たちというニュアンスをもっている.しかし,その含意は,い くらかあいまいでもある.というのは・会社に勤めるようになれば,誰で も会社の価値に社会化され,会社を自らの行動や判断を枠づける基本軸と 考えるようになる.その意味では.誰でも大なり小なり会社人間となるの は自然であるというべきである.
10
Terjemahan: Banyak orang yang salah satunya seringkali disebut sebagai kaisha ningen. Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, itu adalah orang yang memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasinya. Dengan menunjukkan komitmen yang kuat itu juga menunjukkan nuansanya tersendiri. Tapi, maksud itu masih belum jelas. jika ingin bekerja di kantor, siapapun disosialisasikan agar tercipta nilai sebuah perusahaan, jika disimpulkan, dari satu orang yang melakukan perbuatan dan pengambilan keputusan dapat diambil kerangka yang akan menjadi dasar untuk perusahaan. Dari pengertian itu, siapapun kurang lebih dapat menjadi kaisha ningen, tergantung dirinya sendiri. Dari pernyataan tersebut, dapat disimpulkan setiap orang dapat menjadi kaisha ningen, jika mereka memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasinya dan mampu membuat keputusan dan tindakan yang berguna demi kemajuan perusahaan. Mereka juga harus dapat bersosialisasi dengan rekan kerja mereka di suatu perusahaan, agar tercipta hubungan kerja yang nyaman antara yang satu dengan yang lain. 2.2.1 Konsep Etos Kerja Jepang Etos kerja adalah konsep-konsep dasar yang berfungsi sebagai acuan dalam bertingkah laku, sehingga seseorang tidak akan salah paham terhadap tanda-tanda dan dapat memutuskan suatu tindakan atau reaksi yang tepat saat menghadapi suatu kesulitan. Menurut Diana Rowland ada beberapa konsep etos kerja yang kerap kali digunakan dalam perusahaan di Jepang (1992: 21), seperti Honne dan Tatemae, Amae, Oyabun-Kobun, dan Sempai-Kohai. Honne umumnya diterjemahkan sebagai esensi dan Tatemae sebagai bentuk, ini adalah hubungan antara kebenaran yang nyata dengan kebenaran yang umum. Dimana kebenaran umum di sini adalah kebenaran yang diketahui oleh banyak orang, tetapi mereka berpura-pura untuk tidak mengetahui kebenaran itu. Kemudian Amae, dimana ini adalah hubungan ketergantungan antara
11
yang satu dengan yang lain. Chie dalam Rowland (1992:23) mengungkapkan bahwa hubungan seperti itu harus dipertahankan, seperti yang dikemukakannya sebagai berikut: Jepang adalah masyarakat vertikal, maka berbagai hubungan justru berlangsung antara kelompok atau individu superior dengan kelompok atau individu inferior yang jelas sangat berbeda dengan apa yang umumnya berlangsung di tengahtengah masyarakat horizontal, dimana kebanyakan hubungan kental justru berlangsung antara orang-orang yang sederajat. Karena struktur hierarki masyarakat Jepang, maka kita dapat dengan mudah menentukan peranan seseorang dalam hubungan amae. Kemudian hubungan Oyabun-Kobun. Hubungan ini muncul sekitar tahun 1185-1868, yang berasal dari kata oya yang berarti “orang tua” dan ko yang berarti “anak”. Istilah ini sering kali digunakan oleh para yakuza (mafia Jepang) untuk menggambarkan hubungan antara pemimpin dan pengikut. Kemudian istilah ini dalam dunia perusahaan juga digunakan dan memiliki arti yang sama, yaitu hubungan antara atasan dan bawahan. Kemudian hubungan Sempai-Kohai, ini merupakan istilah untuk senior dan yunior dalam suatu perusahaan. Sempai adalah seseorang yang senior, biasanya karena dia masuk perusahaan sebelum kohai atau biasa disebut yunior. Di sini sempai sering bertindak
sebagai
seorang
penasihat
untuk
yunior-yuniornya
yang
belum
berpengalaman. Sama seperti hubungan oyabun-kobun, hubungan sempai-kohai ini merupakan bentuk hubungan di mana keberhasilan maupun kegagalan salah satu pihak akan sangat mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pihak yang lain. Selain itu semua, dalam suatu kelompok di mana seorang Jepang menjadi anggotanya, terdapat seperangkat kaidah tingkah laku yang sangat kaku yang harus dipatuhi. Lingkaran yang terdekat adalah kawan atau keluarga, sedangkan lingkaran yang paling jauh adalah lingkaran persahabatan yang bertemu secara regular ataupun hanya dijumpai hanya untuk suatu kegiatan khusus.
12
2.3 Konsep Masyarakat Jepang Menurut Nakane Chie (1998:3) masyarakat Jepang adalah masyarakat yang memiliki semangat dan kerja keras yang sangat tinggi. Kerja keras mereka ini dapat dilihat dari keterlibatan mereka dalam suatu perusahaan, di mana mereka turut serta ambil bagian dalam perkembangan perusahaan tempatnya bekerja. Dalam kehidupan bermasyarakat, orang Jepang memiliki kesadaran berkelompok. Kesadaran akan kelompok dan perkembangan kekuatan suatu lembaga, dan lembaga-lembaga (seperti sekolah dan organisasi) dalam kenyataannya merupakan dasar dari organisasi bermasyarakat di Jepang. Menurut Nakane Chie (1998:3), tingkah laku dan kesadaran bekerja dalam kelompok diperlihatkan melalui ekspresi yang disebut uchi (家) dan otaku (お宅). Uchi (rumahku) memiliki arti tempat kerja, organisasi, kantor atau sekolah dimana dia dibutuhkan. Sedangkan otaku (rumahmu) memiliki arti tempat kerja yang kedua atau tempat kerja selain di organisasi atau perusahaan, dan sebagainya. Dalam masyarakat Jepang juga dikenal istilah kaisha (会社) yang menggambarkan kesadaran berkelompok dalam perusahaan di Jepang. Kaisha bukan berarti perorangan yang terikat dengan hubungan secara kontrak dalam suatu perusahaan, tetapi kaisha adalah perusahaan pribadi atau perusahaan bersama, suatu komunitas dimana dia diterima didalamnya, dan itu merupakan bagian terpenting dalam hidupnya. Dalam banyak hal, perusahaan menyediakan seluruh keberadaan sosial dari seseorang, dan memiliki kekuasaan atas semua aspek-aspek kehidupan orang itu yang menyebabkan orang tersebut terlibat secara mendalam dalam perusahaannya.
13
2.4 Teori Penokohan Dalam sebuah cerita, tokoh merupakan bagian yang sangat penting dalam menceritakan sebuah cerita. Jika dalam sebuah cerita tidak ada tokoh didalamnya, maka untuk menyampaikan isi suatu cerita sangatlah sulit. Tokoh dalam suatu cerita haruslah memiliki karakter dan sifat yang sesuai dengan cerita yang ingin disampaikan kepada penonton. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca. Seorang tokoh cerita dikatakan wajar, relevan, jika mencerminkan dan mempunyai kemiripan dengan kehidupan manusia sesungguhnya. Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang berbeda tapi saling berkaitan. Tokoh secara langsung menunjuk pada orang atau pelaku. Sedangkan penokohan memiliki pengertian yang lebih luas. Penokohan merupakan bagian, unsur, yang bersama dengan unsur-unsur lain membentuk suatu totalitas. Penokohan juga mempunyai peranan yang besar dalam menentukan keutuhan dan keartistikan sebuah fiksi. Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun fiksi dapat dikaji dan dianalisis keterjalinannya dengan unsur-unsur pembangun lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan sebuah karya yang berhasil, penokohan pasti berjalan secara harmonis dan saling melengkapi dengan berbagai unsur lainnya. Menurut Nurgiantoro (2002:165) penokohan adalah pelukisan penggambaran / karakter yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Antara penokohan dan karakterisasi sering kali disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, yaitu menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Santon dalam Nurgiantoro (2002:165) juga mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian “karakter”, yaitu:
14
Penggunaan istilah karakter (character) sendiri dalam berbagai literatur bahasa inggris menyarankan pada dua pengertian yang berbeda yaitu sebagai tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan dan sebagai sikap, ketertarikan, keinginan, emosi, dan prinsip moral yang dimiliki tokoh-tokoh tersebut. Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa karakter dapat diartikan sebagai pelaku cerita dan juga dapat pula berarti perwatakan. Dalam menghadirkan tokoh dalam suatu karya fiksi diperlukan sarana yang bersifat menyeluruh dan padu, dan mempunyai tujuan artistik. Sarana yang dimaksud adalah pelukisan kehadiran suatu tokoh secara tepat sehingga mampu mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan. Nurgiantoro membagi teknik pelukisan tokoh menjadi dua, yaitu teknik cakapan dan teknik tingkah laku. 2.4.1 Teknik Cakapan Percakapan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh cerita biasanya dimaksudkan untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan. Teknik cakapan ini dimaksudkan untuk menunjuk tingkah laku verbal yang berwujud kata-kata para tokoh. Dalam menunjukkan perkembangan plot dan sekaligus mencerminkan sifat kedirian tokoh pelaku cerita fiksi, dibutuhkan percakapan yang baik, efektif, dan yang lebih fungsional. 2.4.2 Teknik Tingkah Laku Teknik tingkah laku ini menyarankan pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku dapat dipandang sebagai reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya. Namun, dalam sebuah karya fiksi, kadang-kadang tampak ada tindakan dan tingkah laku tokoh yang bersifat netral, kurang menggambarkan sifat kediriannya.
15