BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang “Setiap orang dilarang membuat tulisan, suara, atau rekaman suara, film atau yang dapat disamakan dengan film, syair lagu, puisi, gambar, foto, dan/atau lukisan yang mengeksploitasi daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual (antara lain adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar dan payudara perempuan baik terlihat sebagian atau seluruhnya) dari orang dewasa 1.”
Isi pasal dalam RUU APP di atas menimbulkan kerancuan bagi para pembacanya. Pasalnya di situ tertuliskan keterangan “payudara perempuan” yang sangat diskriminatif. Kata payudara sendiri sudah merujuk kepada perempuan, ditambah dengan kata perempuan. Rancangan undang-undang tersebut seolah ditujukan kepada perempuan. Perempuan dianggap yang bersalah atas terjadinya kejahatan susila. Fenomena ini kemudian direspon oleh seorang penulis perempuan, Ayu Utami. Ia melihat bagaimana penguasa di negara ini berusaha mengontrol dan mengendalikan tubuh masyarakat, terutama tubuh perempuan. Hal ini kemudian diangkat menjadi sebuah drama yang akan dipentaskan di depan gedung DPR, guna menyuarakan aspirasi pengarang perihal sikap diskriminasi tersebut. Ayu Utami adalah nama penulis perempuan yang kerap diperbincangkan. Banyak kritik pedas yang menghampiri Ayu Utami sebab ia memiliki gaya penulisan yang berani. Hal tersebut sangat tampak dalam novel-novelnya. Ia tidak pernah menulis tanpa sebuah kehendak atau konsep, artinya setiap tulisannya memiliki maksud yang kerap bermakna implisit dan terbukti dari beberapa karya 1
Isi Rancangan Undang-undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP), pasal 4.
1
2
yang diterbitkan. Awal kejayaan karir Ayu Utami yaitu ketika novel Saman menjadi Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1998 dan karena novel itulah, Ayu Utami mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fond, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, yang memiliki misi mendukung kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Kemudian menyusul novel kedua, Larung yang terbit pada tahun 2001. Selanjutnya, kumpulan esainya yang berjudul Si Parasit Lajang diterbitkan oleh Gagas Media pada tahun 2003. Pada tahun 2008, novelnya yang berjudul Bilangan Fu diterbitkan, disusul naskah drama Sidang Susila. Novel berjudul Manjali dan Cakrabirawa diterbitkan tahun 2010 dan pada tahun 2012, terbit karya lagi berjudul Cerita Cinta Enrico dan Lalita. Novelnya yang terakhir berjudul Maya terbit pada tahun 2013 dan pada Oktober 2014 terbit bukunya, seri pertama spiritualisme kritis, Simple Miracles. Sidang Susila merupakan naskah drama komedi pertama Ayu Utami yang merupakan kritik atas Rancangan Undang-undang tentang Pornografi. ”Komedi yang paling lucu dalam naskah drama tersebut barangkali adalah naskah RUU itu sendiri yang ditulis oleh para anggota DPR2.” RUU ini lebih berdasarkan pada pandangan dan nilai-nilai moralitas mainstream daripada fakta kekerasan terhadap perempuan dan anak dalam pornografi. Dengan definisi pornografi yang rancu dan tidak berangkat dari fakta yang ada, RUU ini berpotensi mengkriminalisasikan kelompok-kelompok yang rentan menjadi korban pornografi. Di sisi lain rumusan ketentuan tentang pornoaksi akan mengkriminalisasikan segala bentuk ekspresi diri dan ungkapan
2
Utami, Ayu. Koleksi Karya Ayu Utami dari www.ayuutami.com.
3
kasih sayang yang dijamin dalam hukum. Bahkan perubahan terakhir RUU APP hanya dihilangkan kata pornoaksi dan pasal-pasal mengenai hasil tersebut tetapi interpretasi terhadap pornografi masih memojokkan kaum perempuan. Draft perubahan inipun kurang tersosialisasi3. Hal ini pula yang menyebabkan RUU ini mendapat kecaman dari berbagai pihak. Pemerintah dirasa tidak memiliki integritas dalam menyusun RUU tersebut. RUU ini memicu banyak kontra dari berbagai pihak karena terdapat aturan dalam RUU tersebut yang justru menimbulkan kerancuan yang menyebabkan adanya ketidakadilan serta diskriminasi terhadap tubuh, khususnya perempuan. Dengan mengatasnamakan moral bangsa, pemerintah menyusun RUU APP untuk melindungi perempuan dari tindak asusila, namun di sisi lain, pemerintah justru membuat aturan yang mengekang kebebasan berekspresi perempuan. Dalam RUU disebutkan bahwa perempuan dilarang memperlihatkan sebagian atau seluruh payudara tanpa keterangan yang menyertainya. Lalu adakah hukum bagi seorang ibu yang menunaikan kewajibannya untuk menyusui anaknya di tempat umum dan bagaimana dengan saudara kita di Papua yang masih memegang teguh budaya dan adatnya, apakah mereka semua akan dipenjarakan karena dengan sengaja memperlihatkan sebagian atau sepenuhnya payudara? Hal sepele seperti itu yang luput
dari
perhatian
pemerintah
dalam
menyusun
RUU.
Pemerintah
mengkriminalkan tindak asusila sekaligus membuat pelestarian budaya dan adat kita menjadi suatu bentuk kriminalisasi atau pelanggaran hukum.
3
Sagala, Valentina R. Artikel Program Legislasi Nasional Pro Perempuan Sebuah Harapan ke Depan. Jurnal Perempuan edisi 49, hlm. 11.
4
Percakapan melalui email, Ayu mengatakan bahwa “Naskah Sidang Susila lebih merupakan kerja politik daripada kerja kesenian. Dalam menulis Sidang Susila sikap saya sangat jelas. RUU Pornografi seperti yang kita ketahui adalah kekonyolan besar4.” Ayu secara tegas mengatakan bahwa ia menulis naskah drama tersebut “merespon” pemerintah yang sewenang-wenang terhadap tubuh. Ketika RUUAPP (Rancangan Undang-undang Anti Pornoaksi dan Pornografi) disahkan menjadi UUAP (Undang-undang Anti Pornoaksi), Ayu Utami memrotes sikap pemerintah yang dianggap terlalu ikut campur mengatur tubuh manusia khususnya tubuh perempuan dengan menulis naskah drama yang berjudul Sidang Susila. Naskah tersebut menceritakan Susila Parna, pria tambun berdada dan berpantat besar yang ditahan polisi. Alasannya penjual mainan anak-anak itu melanggar
undang-undang
susila
karena
kancing
baju
terbuka
dan
mempertontonkan buah dada5. Tokoh utama dalam naskah drama Sidang Susila menggunakan laki-laki sebagai korban atas disahkannya UU Antipornografi. Ayu Utami mencoba menjadikan lelaki sebagai korban, dan bukannya perempuan yang selalu menjadi korban atas disahkannya UU tersebut. Lakon itu hendak mengkritik dengan mengajukan sindiran bernuansa komedi, untuk mengajak publik berpikir kritis soal undang-undang yang mengatur tubuh dan seksualitas. Drama Sidang Susila yang ditulis oleh Ayu Utami berisi mengenai protesnya tentang isi RUU APP yang dianggap mengekang kebebasan berekspresi khususnya perempuan. Di dalam RUU APP dituliskan, “dilarang memperlihatkan
4 5
Noor, Agus. Email percakapan Ayu Utami dan Agus Noor dari blog agusnoorfiles. www.tempointeraktif.com
5
sebagian atau sepenuhnya payudara perempuan di wilayah publik6.” Ayu merasa ada diskriminasi terhadap perempuan, mengapa hanya payudara perempuan, sedangkan laki-laki tidak. Melalui naskah inilah Ayu Utami mencoba mengajak masyarakat untuk kritis terhadap aturan-aturan pemerintah yang mencoba menguasai atau mengekang kebebasan berekspresi khususnya perempuan. Naskah drama Sidang Susila, Ayu Utami menjelaskan mengenai -yang disebut oleh Michel Foucault sebagai- hipokrisi terkait kemunculan RUU APP. Di dalam aturan pemerintah menyusun RUU APP untuk melindungi tubuh perempuan, namun di lain sisi pemerintah justru mengekang tubuh perempuan dengan aturan yang masih rancu. RUU tersebut dapat dikatakan proyek pemerintah yang sangat tidak masuk akal dan ironi. Perempuan
justru
seperti
makhluk
yang
harus
diawasi
karena
membahayakan. Hal ini akan berdampak pada pengekangan ekspresi perempuan di segala bidang. Penguasa dalam hal ini adalah pemerintah seperti sebuah cermin, serupa namun tak sama. Pemerintah seolah-olah membela perempuan akan tetapi sekaligus membatasi ruang gerak atau kebebasan berekspresi perempuan. Inilah yang disebut Michel Foucault sebagai sikap yang hipokrit. Di satu sisi RUU disusun untuk mengkiriminalisasikan tindakan amoral tetapi juga mengkriminalisasikan keragaman budaya. RUU APP menyebutkan bahwa tubuh perempuan yang diatur sedangkan laki-laki tidak. Ini yang memicu Ayu memrotes RUU tersebut, perempuan yang memperlihatkan bahkan sebagian payudara dikecam sedangkan laki-laki yang
6
Undang-undang Pornografi (UU RI No. 44th. 2008
6
memperlihatkan dadanya yang juga bisa menimbulkan gairah atau hasrat seksual terhadap lawan jenis tidak. Bagi Ayu, perempuan juga punya nafsu dan birahi terhadap lawan jenisnya jika lawan jenisnya terlihat sensual di matanya. Dalam naskah drama ini, Ayu justru menggunakan laki-laki sebagai objek imajinasi atau fantasi perempuan. Dalam hal ini Susila yang membuka kancing bajunya menjadi sangat sensual di mata seorang penari tayub, artinya setiap perempuan juga memiliki fantasi seksualnya sendiri. Aturan tersebut seolah mengebiri perempuan atas hasrat seksualnya. Ayu mengkritisi pemerintah untuk membuat aturan yang sama terhadap laki-laki supaya ada keadilan dalam ruang berekspresi antara lakilaki dan perempuan. Dalam karyanya, Ayu membutuhkan figur laki-laki untuk mendefinisikan keadilan dan ia sengaja tidak menggunakan perempuan sebagai tokoh utama dalam menyampaikan ketidakadilan antara perempuan dan laki-laki. Ayu utami juga melihat adanya rezim yang diciptakan oleh pemerintahan tiap presiden, yaitu rezim susila. Draft RUU tersebut muncul ketika Susilo Bambang Yudoyono menjabat menjadi presiden. Hal inilah yang kemudian juga ingin dikritisi oleh Ayu Utami. Sebab dahulu ketika rezim Soeharto yang diubekubek masalah harta, dan kini rezim SBY yang diubek-ubek masalah susila. Maka Ayu ingin mengatakan bahwa setiap rezim melahirkan kekuasaan baru yang harus selalu dikritisi, tidak bisa diterima mentah-mentah. Penelitian ini akan berupaya melihat urgensi dari konstruksi karya sastra Ayu Utami dalam perspektif feminisme karena ia merupakan perempuan yang secara kultural mencoba menciptakan bahasa lain, dalam struktur patriarki
7
khususnya di Indonesia. Ia mempunyai keunikan dan cara dalam menjelaskan pikirannya dalam karya yang diciptakannya.
1.2 Rumusan Masalah Naskah drama Sidang Susila merupakan naskah drama yang ditulis untuk mengritik RUU-APP yang akan disahkan oleh DPR menjadi UUAPP. Di dalam naskah tersebut, pengarang mencoba memrotes pemerintah yang mengekang kebebasan berekspresi kaum perempuan dan menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pengarang menggunakan laki-laki sebagai alat protesnya. Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan penelitiannya sebagai berikut: 1. Bagaimana hipokrisi pemerintah yang dinarasikan oleh Ayu Utami dalam naskah drama Sidang Susila. 2. Bagaimana Ayu Utami mengritisi sikap hipokrit pemerintah dalam naskah drama Sidang Susila.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk mengungkap narasi hipokrisi dalam naskah drama Sidang Susila karya Ayu Utami. Dari hasil pengungkapan narasi tersebut baru akan diketahui bagaimana sikap pemerintah terhadap tubuh. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat mengungkapkan sejauh mana hipokrisi yang dilakukan pemerintah dan apa fungsi pengarang menarasikan hipokrisi dalam naskah drama ini.
8
1.4 Tinjauan Pustaka Sebagai objek material, naskah drama Sidang Susila sudah pernah diteliti sebelumnya oleh Rosa Witha Armaya dalam skripsinya yang berjudul “Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dalam Teks Drama Sidang Susila karya Ayu Utami: Analisis Sosiologi Sastra Ian Watt” Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Dalam penelitian tersebut menggunakan landasan teori sosiologi sastra Ian Watt untuk mengkaji hubungan naskah drama Sidang Susila dengan masyarakat dan memaknai pemikiran pengarang sebagai pihak yang kontra dengan RUU APP. selain konteks sosial dan refleksi suatu karya, hubungan karya dengan pembaca juga penting untuk dianalisis karena dapat menentukan eksistensi suatu karya dalam masyarakat. Dalam penelitian tersebut dijelaskan mengenai konteks sosial dan kondisi sosial budaya pengarang. Konteks sosial di Indonesia ketika itu adalah pada saat Susilo Bambang Yudhoyono menjabat sebagai presiden. Selain itu ia mencoba mengaitkan pula dengan konteks RUU APP, DPR, dan reaksi masyarakat pada masa itu. Ia juga membahas mengenai awal kemunculan Ayu Utami dalam kancah sastra Indonesia hingga kariernya yang banyak menimbulkan kontroversi. Armaya di atas menyimpulkan bahwa karya sastra merupakan refleksi sosial. Refleksi sosial merupakan bentuk pemahaman mengenai hubungan antara permasalahan dalam teks drama Sidang Susila dan kondisi sosial budaya masyarakat, namun dalam analisis sosiologis tidak bermaksud untuk mereduksi karya rekaan dengan dunia nyata. Refleksi sosial tersebut bertujuan untuk memaparkan bahwa Sidang Susila karya Ayu Utami merupakan salah satu karya
9
drama yang bertolak pada realitas objek. Pada penelitiannya, penulis mengemukakan bahwa naksah drama Sidang Susila mengangkat dua maslaah besar yakni, kemiskinan dan kekerasan. Kedua masalah tersebut selaras dan dapat dianggap sebagai refleksi masalah sosial
yang tengah dihadapi masyarakat
Indonesia. Masalah kemiskinan yang dimaksud adalah kesejahteraan rakyat yang tidak diperhatikan karena pemerintah justru lebih mementingkan masalah akhlak dan moral. Masalah kekerasan adalah masalah kekerasan kultural yang telah membudaya di kalangan aparat keamanan. Selain itu dalam penelitian itu mengemukakan mengenai fungsi sosial. Fungsi sosial dalam penelitian tersebut adalah fungsi sastra yang mendidik dan menghibur, karena mengacu pada masalah sosial berupa RUU APP, kemiskinan, dan kekerasan yang sengaja ditampilkan Ayu Utami dengan tujuan mengajak pembaca memikirkan ulang masalah RUU APP dan merenungkannya. Naskah Sidang Susila juga pernah dikaji oleh penulis sendiri menggunakan teori strukturalisme genetik dengan judul, “Pandangan Dunia Ayu Utami terhadap Tubuh dan Sekualitas dalam Naskah Drama Sidang Susila.” (Sebuah kajian Strukturalisme Genetik) Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, UNY. Dalam penelitian itu mengkaji tentang struktur tematik dalam naskah drama Sidang Susila, pandangan dunia kelompok sosial pengarang terhadap tubuh dan seksualitas, dan hubungan genetis struktur tematik dengan pengarang. Penelitian tersebut menggunakan data primer yaitu naskah drama Sidang Susila dan data sekundernya menggunakan UUAP, koran, jurnal, dan buku-buku terkait. Dalam menganalisis penulis menggunakan metode
10
dialektik yang merupakan metode yang bermula dan berakhir pada teks sastra (Goldmann via Faruk, 2010: 77). Goldmann menyatakan bahwa teknik pelaksanaan metode dialektik yang melingkar. Pertama, peneliti membangun sebuah model yang diaggapnya memberikan tingkatan probabilitas tertentu atas dasar bagian. Kedua, ia melakukan pengecekan terhadap model itu dengan membandingkannya. Hasil kesimpulan dalam penelitian tersebut adalah struktur tematik naskah drama tersebut merupakan hubungan antara tokoh dengan tokoh dan tokoh dengan objek yang ada di sekitar. Hubungan Susila dengan Mira, Pembela, Jaksa, Hakim, dan para petugas yang berinteraksi menimbulkan konflik sehingga dapat membentuk alur cerita yang bisa menunjukkan bagaimana pandangan pengarang dan kelompok sosialnya terhadap tubuh dan seksualitas. Pandangan dunia kelompok sosial pengarang yaitu Yayasan Jurnal Perempuan, Aliansi Mawar Putih, dan Komnas Perempuan terhadap tubuh dan seksualitas merupakan pandangan yang mengedepankan kesetaraan gender. Hubungan genetis struktur tematik dengan pengarang dalam naskah drama tersebut terlihat dari penggambaran tokoh dan tema yang diangkat. Naskah drama Sidang Susila lahir oleh pandangan pengarang yang dilatarbelakangi oleh ide atau gagasan kelompok sosialnya ketika itu. Sayangnya penelitian tersebut hanya membahas mengenai pandangan dunia, padahal selain itu dalam strukturalisme genetik ada fakta kemanusiaan, produk subjek kolektif, dan struktur sosial.
11
Skripsi Hastomo Mawadya Sulistyandi, dengan judul Satire tentang Hipokrisi dalam Naskah Drama Le Tartuffe karya Moliere (Pendekatan Analisis Wacana). Jurusan Sastra Perancis, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2010. Sulistyandi menggunakan landasan teori behaviorisme Skiner. Teori behaviorisme atau disebut juga sebagai aliran perilaku adalah teori dalam psikologi yang berdasarkan pada proposisi bahwa semua yang dilakukan organisme termasuk perasaan, tindakan, dan pikiran merupakan sebuah perilaku. Dalam penelitian itu menjelaskan mengenai konflik yang terjadi dalam naskah drama Le Tartuffe, yaitu tentang seorang munafik yang berpura-pura menjadi seorang suci yang sangat taat dan selalu mengatasnamakan Tuhan atas segala yang ia lakukan. Ia mengangkat permasalahan mengenai satire hipokrisi berdasar pada konflik drama tersebut. Satire merupakan suatu sindiran atau hal yang diselewengkan untuk mengolok-olok suatu hal yang dianggap tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, sedangkan hipokrisi merupakan
kemunafikan
dimana
seseorang
menggunakan
kedok
untuk
mengelabuhi orang lain. Dicontohkan bahwa dalam drama tersebut salah satu sikap hipokrit dilakukan oleh Tartuffe yang menggunakan agama dan kesalehannya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Ia menggunakan metode penelitian berupa analisis wacana yang mengutamakan permasalahan sosial. Dalam penelitian itu, ia juga menemukan permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi di kehidupan masyarakat. Permasalahan hipokrisi atau kemunafikan dan relasi kekuasaan yang berkaitan dengan dominasi. Kedua hal tersebut, baginya merupakan fenomena sosial yang sering terjadi di kehidupan
12
nyata. Analisis wacana adalah mediasi antara teks dan masyarakat, ketika pengarang menciptakan suatu karya sastra yang menggambarkan kehidupan dan sendi-sendi sosial masyarakat, maka analisis sosial menjadi alat untuk menggali permasalahan tersebut. Dian Natashia, mahasiswi Universitas Indonesia dengan penelitian berjudul “Wacana Iklan Parodi Jepang Fanta Gakuen Sensei Series”. Penelitian tersebut meneliti mengenai wacana kekuasaan dan parodi dalam iklan Fanta di Jepang. Penelitiannya bertujuan untuk mencari unsur yang digunakan produsen untuk membangun situasi dan pesan yang ingin disampaikan produsen. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan data berupa dua buah video iklan parodi Fanta. Data dideskripsikan dan dianalisis dengan teori wacana iklan Guy Cook dan teori kuasa dan disiplin Foucault. Teori wacana iklan Guy Cook mengungkapkan unsur yang digunakan untuk membangun konteks dan situasi iklan. Sementara itu, teori kuasa dan disiplin Foucault membantu untuk memahami pesan yang ingin disampaikan pengirim dengan melihat hubungan guru dan murid di Jepang. Hasil analisis menunjukkan iklan yang memarodikan sebuah drama terkenal pada zaman itu dan menambah unsur humor di dalamnya agar mudah diingat oleh penerima. Tidak hanya bersifat persuasif, tetapi strategi periklanan Jepang pada iklan ini juga bersifat informatif dan mengajak kelompok sasaran untuk berpikir kritis. Melalui konteks sosial, iklan tersebut bermaksud mengingatkan anak-anak untuk disiplin terhadap perilakunya sehari-hari dan selalu taat dan hormat kepada guru. Produsen juga bermaksud mengingatkan
13
bahwa dalam keadaan susah dan aneh sekalipun, jangan menganggap terlalu serius dan dibawa senang saja dengan Fanta. Selain tinjauan pustaka di atas, Jurnal Perempuan yang diterbitkan oleh Yayasan Jurnal Perempuan juga sangat membantu melengkapi data-data dalam penelitian ini. Dalam jurnal tersebut mencakup berbagai artikel mengenai RUU APP dan tubuh perempuan dalam berbagai arena kehidupan, baik dalam wilayah privat maupun publik.
1.5 Landasan Teori 1.5.1
Antara Kelamin, Penguasa, dan Hukum Foucault menunjukkan hubungan antara seksualitas dengan kekuasaan itu
dalam pengakuan dosa di agama Kristen7. Dalam pengakuan dosa, sebuah rahasia dibongkar, dan bersamaan dengan itu posisi dia yang mengetahui rahasia itu menjadi sangat kuat, yang menjadi pendengar pengakuan dosa itu adalah parailmuwan, secara khusus psikiater. Dalam posisi seperti ini, psikiater menjadi penentu apa yang dianggap normal dan apa yang dipandang sebagai patologis dalam perilaku seksual. Dengan menunjukkan hubungan antara seksualitas dan kekuasaan, Foucault menggaris bawahi tesis dasarnya bahwa kekuasaan ada dimana-mana. Intervensi kekuasaan ke dalam seksualitas terjadi melalui disiplin tubuh dan ilmu tubuh, dan melalui politik populasi yang meregulasi kelahiran. Kekuasaan mulai mengadministrasi tubuh dan mengatur kehidupan privat orang. Sejalan dengan itu, resistensi terhadap kekuasaan itu pun dimana-mana. 7
Foucault, Michel. 2008. La Volonte de Savoir Histoire de la Sexualite: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas. Jakarta: YOI.
14
Sejak dahulu sampai sekarang kita masih dibayang-bayangi zaman Victoria, dimana tubuh kita menjadi tubuh yang dikuasai oleh penguasa. Cara berpakain dan berbicara semuanya diatur oleh penguasa ketika itu. Era Victoria menguasai tubuh masyarakatnya dengan cara mengatur tubuh melalui gereja dan lembaga hukum. Seks sama sekali hampir tidak pernah dibicarakan, ia dirumahkan dan tidak boleh dikatakan dan dibahas di hampir semua wilayah. Di dalam rumah seks tidak boleh dibicarakan kecuali di kamar utama yaitu yang dihuni oleh ayah dan ibu, hanya mereka yang dilegalkan untuk membicarakan seks, selain itu menjadi pelanggaran hukum dan melanggar norma. Masyarakat ketika itu dianggap berdosa jika membicarakan seks di depan umum apalagi di depan anak-anak. Sepanjang abad XIX, masyarakat mengembangkan mekanisme kontrol perilaku
individual.
Sekolah
merupakan
tempat
permainan
kekuasaan-
pengetahuan. Pada abad XIX, seksualitas orang gila, anak-anak, kriminal dijaga. Dalam arti dicegah dan dilarang, sedangkan pasangan yang menikah mempunyai hak meski penuh diskresi atau kebijaksanaan. Seksualitas menjadi keprihatinan utama. Pembagian kelas, pengaturan rekreasi, bentuk tempat tidur dengan pintu atau cukup dengan tirai, aturan perilaku ketika malam. Jadi wacana institusional menggarisbawahi bahwa seksualitas itu ada, aktif dan permanen. Oleh karena itu, seks menjadi masalah publik. Seiring berjalannya waktu maka kemudian kekuasaan seksualitas beralih dari pastur atau pendeta ke psikiater atau dokter jiwa karena Foucault menarik wacana masa lalu kemudian dibandingkan dengan masa setelahnya. Maka para dokter, guru, keluarga, pendidik dan psikiater perlu
15
mengawasi. Dari sejarah pewacanaan seks dapat disimpulkan bahwa Foucault menggunakan konsep “wacana” lebih dari sebagai aturan-aturan, praktik-praktik wacana yang menghasilkan masalah-masalah yang bermakna dan diatur sepanjang periode sejarah. Wacana menyediakan bahasa untuk membuat pernyataan atau cara untuk merepresentasikan pengetahuan tentang topik khusus pada periode sejarah tertentu. Wacana dilihat sebagai produksi pengetahuan melalui bahasa8. Kekhasan masyarakat modern adalah bukan membiarkan seks dalam gelap, tetapi paradoksnya ialah membiarkan selalu bicara mengenai seks dengan meyakinkan bahwa seks adalah rahasia. Di pihak lain, ditemukan penyimpangan yang agak menjauh dari norma alamiah seperti homoseksulitas, sedangkan ketidaksetiaan tidak dianggap pelanggran hukum, melainkan sebagai pelanggaran hakikat manusia. Seksualitas menyimpang bukan lagi urusan jaksa, tetapi urusan dokter. Perilaku seks yang tidak umum dimasukkan ke kategori penyakit jiwa. Yang tidak umum adalah yang tidak sesuai dengan skema prokreasi. Di luar kerangka prokreasi, semua kenikmatan dianggap di luar norma9. Seks pernah dianggap sebagai masalah keteraturan publik, maka jaksa dan polisi ikut mengatur. Seks yang sebelumnya ada di ranah legal, lalu diserahkan ke ranah kesehatan sehingga menjadi masalah kedokteran. Perubahan rezim wacana seks ini menandai, di satu pihak, ada semacam penanganan yang melunak karena tidak lagi diadili atau dihukum, namun di lain pihak, muncul tindakan-tindakan yang lebih keras dengan adanya semua bentuk lembaga pengawasan dan
8
Haryarmoko, 2011. Kekuasaan-Pengetahuan sebagai Rezim Wacana. Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks dan Kekuasaan menurut Foucault. Makalah Seri Kuliah Umum. Hlm. 5. 9 Ibid. Hlm. 6.
16
mekanismenya yang diterapkan atas nama pedagogi ataupun terapi10. Sehingga dapat disimpulkan penguasa ingin mendisiplinkan masyarakatnya dengan mengatur kelamin dan memberlakukan hukum untuk masyarakat yang melanggar aturan pemerintah.
1.5.1.1 Dunia Cermin: Serupa Tapi Tak Sama Szabadoz dan Soifer dalam buku yang berjudul Hypocrisy: Etichal Investigations, hipokrisi biasa digantikan dengan istilah yang lebih sederhana yaitu ironi. Hipokrisi dapat dipandang sebagai korban sosial dan tekanan politik. Ketika
diletakkan
pada
keadaan
sosial
tertentu,
dihadapkan
pada
ketidakmungkinan. Orang-orang berpura-pura untuk menutupi identitas moral mereka dan menganggap seperti hiburan, atau tragedi11. Hipokrisi adalah konsep yang bersifat cenderung munafik yang dilakukan oleh seseorang yang menganggap sesuatu tidak pantas untuk dilakukan, tetapi seseorang tersebut
merasa
berhak
untuk
mengontrol,
mengawasi,
dan
mengendalikan sesuatu yang dianggapnya tidak pantas tersebut. Sebagai contoh di zaman Victoria pada abad ke-19, seksualitas tidak bebas dibicarakan, segala wacana mengenai seksualitas dibungkam, dipenjarakan, dirumahtanggakan12. Artinya seksualitas hanya boleh diwacanakan oleh pasangan suami-istri di sebuah kamar yang hanya ada mereka berdua. Di luar itu wacana seksualitas menjadi bentuk pelanggaran hukum dan dosa. Akan tetapi di dalam gereja, seseorang yang 10
Ibid. Bela Szabados dan Eldon Soifer. Hypocrisy: Ethical and Investigations. Canada: 2004. Hlm. 33. 12 Foucault, Michel. La Volonte de Savoir: Ingin Tahu Sejarah Seksualitas. Terjemahan Rahayu S. Hidayat. Jakarta: YOI. Foucault menggunakan era Victoria sebagai contoh hipokrit yang dilakukan oleh gereja Kristen. 11
17
melakukan “pengakuan dosa” diizinkan untuk menceritakan segala wacana dan perbuatan seks kepada pastor. Gereja melarang keras tindakan itu akan tetapi jika ada seseorang yang melakukan pengakuan dosa maka ia dituntut untuk menceritakan sedetail mungkin tentang perbuatan seksualitas secara jeli dan rinci. Itulah mengapa hipokrisi merupakan sebuah dunia cermin, yaitu serupa tetapi tidak sama. Dalam konteks ini adalah isu di dalam naskah drama Sidang Susila, pemerintah berwacana untuk melindungi rakyatnya dari pelecehan seksual dengan mengatur cara berpakaian perempuan, tetapi di sisi lain itu merupakan bentuk pengebirian kebebasan berekspresi perempuan, sekaligus membunuh budaya dan
tradisi atau adat berpakaian di setiap daerah yang tidak bisa
diseragamkan. Sudah sejak lama seksualitas dipikirkan dalam kerangka penolakan atau peminggiran yang dijenuhkan oleh larangan dan sensor. Keluarga menggunakan seksualitas sebagai rezim yang meminggirkan keberadaan seks. Keluarga tidak boleh membicarakannya, sedangkan praktiknya harus sangat tertutup. Rezim seksualitas yang menyebabkan frustasi secara sistematis ini, menurut Foucault tidak bisa dilepaskan dari kepentingan sistem kapitalis yang menolak pemahaman tubuh yang menikmati agar tidak menghabiskan energi yang tidak ada gunanya. Tujuannya, menggunakan semaksimal mungkin kekuatan tubuh untuk kerja13. Seks pada mulanya bukan sesuatu yang dilakukan, melainkan sesuatu yang dikatakan.
Kekhasan
Barat
mau
membuat
seksualitas
sebagai
tempat
membeberkan hasrat yang sekaligus sebagai penyingkapan kebenaran subjek. 13
Haryarmoko, 2011. Kekuasaan-Pengetahuan sebagai Rezim Wacana. Sejarah Seksualitas: Sejarah Pewacanaan Seks dan Kekuasaan menurut Foucault. Makalah Seri Kuliah Umum. Hlm. 4.
18
Subjek awalnya bukan pertaruhan tubuh dan intensitas kenikmatan, tetapi subjek dan kebenaran hasratnya. “katakan bagaimana dan siapa yang kau inginkan, dan saya bisa mengatakan siapa kamu.” Karena ingin mendeteksi bentuk-bentuk seksualitas
yang
ditutup-tutupi,
akhirnya
malah
mendorong
ke
arah
penyimpangan. Kodifikasi hukum sampai pada abad XVIII menjamin seksualitas pasangan yang menikah sebagai yang paling sah. Maka larangan, aturan yang ketat sangat berperan, sedangkan bentuk-bentuk lain dianggap kacau dan bermasalah. Kasus-kasus bentuk seksualitas yang tidak bisa diterima (zoophile, sodomie, necrophilie) tidak diprotes sebagai penyimpangan, tetapi dihukum karena melanggar hukum. Jadi masalah seks menjadi masalah hukum14.
1.5.1.2 Legalisasi Pengebirian Kebebasan Berekspresi Perempuan Aturan-aturan yang dilegalkan pemerintah untuk perempuan telah tersusun rapi dalam RUU APP. Tentang bagaimana perempuan harus berpakaian dan mengekspresikan dirinya di hapadapan publik. RUU tersebut mengatasnamakan moral untuk berusaha mengekang kebebasan berekspresi perempuan. Fenomena mengenai kemunculan RUU APP lahir ketika SBY masih menjabat presiden. Ayu Utami melihat bahwa pada era Susilo Bambang Yudoyono fenomena tersebut muncul sebagai bentuk pengekangan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap kebebasan berekspresi perempuan. RUU APP lahir karena semakin maraknya tindak kejahatan seksual yang terjadi kepada perempuan. Perempuan menjadi korban kejahatan seksualitas dan perempuan juga yang harus menjadi
14
Ibid hlm 5.
19
korban atas disahkannya RUU APP menjadi UU AP. Seolah perempuan yang bersalah atas terjadinya kejahatan seksual. Pengekangan tersebut merupakan bentuk pendisiplian seksualitas dalam masyarakat dan pendisiplinan tersebut justru mendiskriminasi perempuan, seolah perempuanlah penyebab utama tindak asusila. Kebebasan berekspresi perempuan kemudian diatur, dikekang, dikebiri, dan dipenjarakan. Dengan demikian kejahatan perempuan diperkirakan akan menurun. Ayu Utami melihat fenomena tersebut justru sebagai pendisiplinan terhadap perempuan dan harus dikritisi karena RUU tersebut dirasa telah mengebiri kebebasan berekspresi perempuan. Pendisiplinan tersebut merupakan sarana untuk mendidik tubuh. Pendisiplinan terhadap tubuh ini diharapkan mampu menciptakan tubuh-tubuh yang patuh yang disebut oleh Foucault sebagai docile body. Pelaksanaan disiplin merupakan bentuk kontrol penguasa terhadap masyarakat. Fenomena disiplin tubuh selalu dikontrol oleh dua instrumen disiplin yang diterapkan dari disiplin militer. Pertama, menurut Foucault dengan menggunakan metode panopticon, yaitu menara sebagai pusat pemantau penjara. Dengan menggunakan menara pemantau, para narapidana akan merasa selalu disorot lampu oleh petugas yang berjaga, yang artinya segala gerak-gerik mereka selalu diawasi. Para narapidana akan selalu berusaha untuk menahan diri mereka sebab sedang berada dalam pengawasan. Hal tersebut bila ditarik ke dalam naskah drama Sidang Susila, RUU APP yang telah disusun merupakan panoptikon bagi masyarakat Indonesia. Secara tidak langsung masyarakat didisiplinkan oleh Undang-undang.
20
Segala tindakan yang dilakukan di hadapan publik diatur dalam UU tersebut, dimaksudkan agar penguasa dapat mengontrol segala perbuatan masyarakat agar sesuai dengan aturan yang disusun. Sehingga UU salah satu produk dengan menggunakan metode panoptikon. Pengawasan dilakukan oleh petugas kepolisian dan bahkan masyarakat itu sendiri. Masyarakat dibuat patuh terhadap UU tersebut karena jika melanggar akan dikenakan sangsi yang cukup berat. Ketika masyarakat melanggar aturan yang diciptakan oleh pemerintah, maka masyarakat bersalah dan pantas mendapatkan hukuman. Akan tetapi dalam kasus RUU APP ini berisi kerancuan aturan. Apabila aturan itu telah disahkan tentu akan menimbulakan masalah lain lagi sebab aturan itu membicarakan mengenai persoalan tubuh pada wilayah publik, termasuk cara berpakaian dan berekspresi. Kedua, menormalkan penilaian moral dan menghukum para pelanggar moral.
Selain
dipenjarakan
orang-orang
yang
melakukan
pelanggaran
dipertontonkan kepada masyarakat luas, agar manusia lain tidak berani melanggar aturan-aturan yang telah dibuat oleh penguasa. Apabila ada pelanggaran lagi, maka manusia lain tersebut akan diperlakukan sama dengan para manusia yang dianggap melanggar. Metode penghukuman tersebut diciptakan agar masyarakat jera jika berani melanggar aturan. Masyarakat dibuat menjadi pasif dan hanya bisa menerima hukuman yang telah dijatuhkan tanpa diberi kesempatan untuk mengkritisi aturan tersebut. “The reduction in penal severity in the last 200 years is a phenomenon with which legal historians are well acquainted. But, for a long time, it has been regarded in an overall way as a quantitative phenomenon: less cruelty. Less pain, more kidness, more respect, more ‘humanity’. In fact, these changes are accompained by a displacementin the very object of the punitive operation. Is there a diminution of intensity? Perhaps. There is certainly a change of objective. If the penality
21
in its most severe forms no longer addresses itself to the body, on what does it lay hold? The answer of the theoreticans – those who, abaout 1760, opened up a new period that is not yet at an end – is simple, almost obvious. It seem to be contained in the question itself; since it is no longer the body, it must be the soul15.”
Foucault dalam Surveiller et Punir mengatakan bahwa ada perubahan sasaran hukuman yang dilakukan oleh penguasa, yakni dari tubuh bergeser kepada soul atau jiwa. Tubuh tidak lagi dihukum cambuk, gantung, ataupun disiksa melainkan dibuat menjadi patuh, atau dalam konsep Foaucault disebut sebagai docile body. Docile body ialah terminologi Foucault dalam bukunya yang berjudul Discipline and Punish yang membicarakan kepatuhan tubuh. Docile body ialah bentuk
kepatuhan
tubuh
yang
sengaja
dibuat
untuk
mengontrol
dan
mengendalaikan masyarakat agar tertib terhadap aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebelum adanya penjara, hukuman bagi tersangka pelaku pembunuhan adalah hukuman mati. Hukuman mati tersebut dilakukan di muka umum oleh algojo atas perintah raja. Sebagai contoh pada tanggal 2 bulan Maret tahun 1757 di Palace de grave Perancis, seorang petugas kehakiman bernama Le Breton menghadiri hukuman mati yang dikenakan kepada tersangka pelaku pembunuhan bernama Damiens. Hukuman mati yang dikenakan Damiens yang tidak berhasil membuhuh sang Raja melalui beberapa tahap. Sebelum dibunuh, Damiens disiksa terlebih dahulu. Ia dikenakan hukuman amende honorable16, setelah itu luberan
15
Foucault, Michel, Discipline and Punish. The Birth of the Prison, transl. Alan Sheridan, London-Worcester 1977 hlm 16. 16 Amende honorable adalah bentuk hukuman ‘minta maaf dihadapan publik yang dilakukan secara jujur’ pada tanggal 2 Maret 1757, seorang terdakwa hukuman mati bernama Damiens dipaksa untuk meminta maaf di hadapan publik karena percobaan pembunuhan terhadap raja.
22
lilin menyala seberat dua pon dilumurkan di tubuhnya hingga melepuh, kemudian lengan, betis, dan paha dijepit penjepit yang telah dipanaskan, bersamaan dengan itu ia dipaksa menggenggam pisau yang digunakan untuk membunuh Raja. Penyiksaan tidak berhenti sampai di situ, tahap selanjutnya ialah pengikatan kaki dan tangan ke kuda yang akan diendalikan algojo supaya merenggut anggota tubuh Damiens. Eksekusi tersebut tidak semulus yang dibayangkan, penarikan yang dilakukan oleh kuda tidak berhasil merobek tubuh Damiens. Eksekusi yang alot tersebut membuat penyiksaan yang diterima Damiens terasa begitu lamban dan semakin menyakitkan17. Disiplin dan hukuman diciptakan untuk mengatur atau mengawasi masyarakat agar dapat terkendali. Dengan adanya pendisiplinan dan hukuman, maka masyarakat akan taat kepada segala aturan pemerintah. Apabila masyarakat melanggar aturan yang ditetapkan pemerintah, ia justru akan segera merasa bersalah dan berdosa. Jika masih ada pembangkangan terhadap aturan yang ditetapkan oleh pemerintah maka, penjara adalah tempatnya. Pendisiplinan itu dibuat pemerintah agar dapat menguasai masyarakat. Tubuh masyarakat diatur oleh pemerintah dan kepatuhan masyarakat diciptakan melalui sebuah aturan, sebab aturan diciptakan untuk dipatuhi, dan jika dilanggar, masyarakat akan merasa bersalah sehingga masyarakat akan patuh kepada aturan yang berlaku. Tetapi perlu diingat bahwa pada setiap praktik penguasaan akan lahir resistensi. Ayu Utami dalam hal ini adalah penulis naskah drama Sidang Susila merupakan bagian dari resistensi. Pemikiran Ayu cenderung
17
Joko Suyono, Seno. Tubuh yang Rasis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 333.
23
melawan dan mengkritisi aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah yang hendak menguasai, mengendalikan, dan mengontrol masyarakat. Bagi Ayu RUU APP merupakan salah satu aturan yang diciptakan oleh penguasa untuk mengawasi, mengatur, dan mengendalikan masyarakat dalam mengekspresikan tubuhnya. Pemerintah mencoba mengatasnamakan moral yang baik untuk menyusun RUU tersebut. Dalam naskah drama tersebut diceritakan bahwa RUU APP telah disahkan menjadi UU APP yang artinya setiap bentuk pelanggaran susila, akan disidangkan di dalam pengadilan Moral. Pelanggar UU tersebut dianggap telah mencemarkan penyakit masyarakat yaitu tindakan amoral, maka harus segera dipenjarakan agar tidak menular. Sangat tampak bagaimana Ayu merepresentasikan isu yang berada di masyarakat ketika itu, yaitu akan disahkannya RUU APP menjadi UU APP. Ayu melihat bahwa pengesahan UU tersebut merupakan upaya pemerintah untuk mengawasi, menguasai, dan mengendalikan masyarakat. Agar masyarakat patuh, maka aturan tersebut dibuat menjadi Undang-undang dan bagi pelanggarnya sudah pasti akan mendapatkan sangsi. Masyarakat dibuat merasa bersalah jika melanggar UU tersebut. Di satu sisi, aturan ini bertujuan untuk melindungi masyarakat khususnya perempuan agar tidak menjadi korban pelecehan seksual, akan tetapi di sisi lain, aturan ini jurtu mengebiri kebebasan berekspresi perempuan dan cenderung menyalahkan perempuan jika ia menjadi korban pelecehan.
24
1.6
Metode Penelitian Pada bagian ini akan diuraikan bagaimana proses menentukan dan
mendapatkan data untuk penelitian. Objek material yang digunakan dalam penelitian ini adalah naskah drama Sidang Susila karya Ayu Utami, sedangkan objek formalnya adalah teks yang berkaitan dengan pro dan kontra RUU APP berupa jurnal, koran, dan rancangan undang-undang anti pornografi dan pornoaksi itu sendiri. Selanjutnya, bagian ini akan menguraikan bagaimana data tersebut akan dianalisis dan disajikan.
1.6.1
Metode pengumpulan data Penelitian ini merupakan kajian pustaka dengan menggunakan data-data
tertulis. Untuk menganalisis penelitian ini perlu dilakukan pengumpulan data. Data penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer penelitian ini adalah naskah drama Sidang Susila, sedangkan data sekunder penelitian ini adalah artikel, makalah, jurnal, koran, buku, dan teks RUU APP yang dapat menunjukkan apakah terjadi pengekangan terhadap tubuh perempuan seperti yang dinarasikan pengarang dalam naskah drama yang ditulisnya. Tahap pertama pengumpulan data adalah dengan melakukan pembacaan terhadap naskah drama Sidang Susila. Selanjutnya melalui pembacaan tersebut akan diperoleh data-data yang representatif tentang pengekangan kebebasan berekspresi perempuan dan hipokrisi pemerintah yang dinarasiskan oleh pengarang dalam naskah drama tersebut. Data-data tersebut diseleksi dan dianalisis untuk kemudian disusun dalam laporan penelitian.
25
1.6.2
Metode analisis data Metode analisis data merupakan seperangkat cara atau teknik penelitian
yang merupakan perpanjangan dari pikiran manusia karena fungsinya bukan untuk mengumpulkan data, melainkan untuk mencari hubungan antardata yang tidak akan pernah dinyatakan sendiri oleh data yang bersangkutan18. Untuk mendapatkan hasil penelitian, langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut. 1. Melakukan pembacaan naskah drama Sidang Susila secara seksama. 2. Melakukan analisisa teks dalam narasi. 3. Menyajikan hasil sementara. 4. Mengaitkan teks dalam naskah drama dengan teks di luar naskah seperti RUU APP, jurnal, koran, dan lain-lain.
1.7
Sistematika Penyajian Pada penelitian ini terdiri dari empat bab yang akan dipaparkan sebagai
berikut; Bab I terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, data dan sumber data, serta subab sistematika penyajian. Bab II akan membahas hipokrisi pemerintah yang dinarasikan pengarang dalam naskah drama Sidang Susila. Bab III akan membahas mengenai hipokrisi Ayu Utami sebagai alat untuk mengritisi sikap hipokrit pemerintah dengan menggunakan tokoh laki-laki. Penelitian ini ditutup dengan Bab IV yang akan menyajikan kesimpulan.
18
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra.Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hlm. 25