BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Salah satu fungsi jurnalistik, menurut Effendy (1993), adalah fungsi
menghibur yaitu hal-hal yang bersifat hiburan yang sering dimuat pers untuk mengimbangi berita-berita berat (hard news) dan artikel-artikel yang berbobot. Isi surat kabar atau majalah yang bersifat hiburan bisa berbentuk cerita pendek, cerita bersambung, cerita bergambar, teka teki silang, pojok, dsb. Bentuk wacana yang menghibur diantaranya adalah Rubrik Pojok . Rubrik ini berisikan komentar mengenai sesuatu yang sedang terjadi, hangat dibicarakan, dengan gaya humoristis dan menyindir (Junaedhie, 1991: 214). Rubrik tetap berukuran satu atau dua kolom ini, menurut Said (1990: 290), memuat kalimatkalimat pendek dan bergaya bebas yang bernada kritik atau sentilan terhadap suatu keadaan atau masalah aktual di dalam atau di luar negeri. Rubrik Pojok sudah ada dalam pers nasional sejak masa penjajahan sebagai wujud kritik kaum wartawan pergerakan Indonesia terhadap keburukan kolonialisme. Pojok dapat menjadi rubrik penting bagi redaksi surat kabar dalam mengemukakan pendapatnya mengenai suatu keadaan atau masalah yang hangat dengan gayanya yang khas tersebut. Penelitian ini menitikberatkan pada pojok Gudeg Yu Siyem yang dimuat dalam Surat Kabar Mingguan Minggu Pagi. Penulis tertarik untuk mengkaji objek penelitian diatas karena bentuk dan struktur pojok Gudeg Yu Siyem yang berbeda dengan rubrik pojok lainnya.
1
2
Gambar 1 Visualisasi Pojok Gudeg Yu Siyem dan Pojok KR
+ Orang tua stress, Mas.
Para Pangeran Surakarta pada baku hantam. - We lha, apa tidak ingat akan piwulang leluhur ya. *** Indonesia kehilangan pemikir Nurcholis Madjid. - Semoga mendapatkan tempat di sisi-Nya. *** BPOM menegarai adanya 15 jenis obat seks ilegal - masyarakat diminta waspada.
- Nyekolahkan anak, Yu. + Biaya jutaan, Mas. - belum tentu lolos, Yu. + Zaman edan, ...., Mas ? - Rasah melu, Yu!
( Data - 4 ) ( Data - 51 )
Bentuk pojok Gudeg Yu Siyem terdiri atas tiga bagian penting yaitu Nama Pojok, Wacana Dialog, dan Visualisasi Pelibat Pertuturan. Tesis Subagyo (1998) yang berjudul Wacana Pojok dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural dan Pragmatik menyatakan pojok dalam Surat Kabar Harian (SKH) memiliki sejumlah bagian penting pula yaitu Nama Kolom, Isi, dan Nama Penjaga.
1.2.
Perumusan Masalah Pemaparan di atas memberikan gambaran kepada penulis bahwa rubrik pojok
memiliki unsur yang spesifik tak terkecuali objek penelitian pojok Gudeg Yu Siyem. Pemaparan tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan yang patut untuk dirumuskan. Rumusan
pertanyaan pojok Gudeg Yu Siyem diwujudkan dalam
paparan berikut ini. (1)
Bagaimanakah bentuk pojok Gudeg Yu Siyem dan hubungannya dengan bentuk pojok SKH ?
(3)
Bagaimanakah struktur wacana pojok Gudeg Yu Siyem ?,
3
(4)
Bagaimanakah tinjauan aspek pertuturan dalam pojok Gudeg Yu Siyem ?
1.3. Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian Hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah, Pertama, identifikasi dan penjabaran bentuk pojok Gudeg Yu Siyem dan pojok SKH beserta hubungannya, Kedua, pemaparan aspek-aspek yang berhubungan dengan struktur wacana dalam pojok Gudeg Yu Siyem, Ketiga, pemahaman serta pemaparan aspek pertuturan dalam pojok Gudeg Yu Siyem. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan menghadirkan wacana baru serta diskusi aktif bagi para pemerhati masalah-masalah kebahasaan khususnya peminat studi kebahasaan yang berkaitan dengan pojok seperti objek penelitian ini.
1.4.
Tinjauan Pustaka Tulisan Effendy (1992:158) dalam Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek
menunjukkan bahwa tujuan komunikasi media surat kabar salah satu diantaranya adalah agar khalayak mempunyai sikap tertentu, pendapat tertentu, atau melakukan tindakan tertentu. Hal tersebut dituangkan dalam tajuk rencana (editorial), reportase atau pojok. Dia memandang rubrik pojok bersifat cekak aos (singkat dan Padat) namun mempunyai efek untuk menyentil, menyindir, dan melakukan suatu kritik. Pembahasan wacana pojok dilakukan oleh Subagyo (1998) dalam tesisnya yang berjudul Wacana Pojok dalam Bahasa Indonesia: Kajian Struktural dan Pragmatik. Penelitian tersebut dijadikan sumber rujukan penting oleh penulis untuk memahami rubrik pojok yang terdapat di surat-surat kabar Indonesia. Dalam tesis tersebut, Subagyo menguraikan kajian struktural dan pragmatik wacana pojok dengan menggunakan data 11 rubrik pojok Surat Kabar Harian (SKH) yaitu Bernas,
4
Cendrawasih Pos, Jawa Pos, Kedaulatan Rakyat, Kompas, Manuntung, Republika, Sriwijaya Post, Suara Merdeka, Suara Pembaruan dan Suara Timor-Timur. Kurun waktu objek penelitian adalah 1 bulan penerbitan yaitu edisi Agustus 1997 dari masing-masing Surak Kabar Harian (SKH) tersebut. Kesimpulan pembacaan tesis tersebut, Pertama, sebelas wacana pojok SKH memiliki tiga bagian dengan fungsi kewacanaan masing-masing yaitu Nama Kolom, Isi, dan Nama Penjaga. Bagian Nama Kolom tidak berstruktur, tetapi berisi satuan kebahasaan yang semiotis, yaitu melambangkan tempat, hal, atau ucapan yang berkaitan dengan tindakan menyentil. Bagian ini mempunyai fungsi untuk memberi identitas kolom dan mengemas Wacana Pojok (WP). Bagian Isi memiliki struktur dan terdiri atas subbagian Kutipan Berita (KB) dan Sentilan (S) yang jumlahnya dapat bervariasi antara I sampai dengan 4 pasang. Ada kalanya Isi hanya berupa S, sedangkan KB-nya dilesapkan bila berkenaan dengan hari besar (Hari Kemerdekaaan RI, Idul Fitri Natal, dsb). Subbagian KB berfungsi untuk menginformasikan berita (mengutip atau memuat berita), mengantarkan topik, serta mengantarkan “hal yang disentil” (kegembiraan, keprihatinan, kejanggalan, serta keluarbiasaan). Subbagian S berfungsi untuk memberi sentilan, mempertahankan topik, dan memunculkan humor. Adapun bagian Nama Penjaga berisi nama insani. Bagian ini tidak berstruktur, namun bernuansa semiotis. Nama Penjaga mencerminkan seseorang dengan sifat-sifat yang dicerminkan oleh namanya. Bagian ini dapat dilesapkan (Ø) karena pembaca diandaikan sudah mengetahuinya. Fungsi struktural bagian Nama Penjaga ialah menunjukkan sekaligus menyamarkan identitas penulis WP. Selain ketiga bagian itu, dalam WP SKH Suara Merdeka, dijumpai bagian Ekor setelah Nama Penjaga. Ekor merupakan sebuah pernyataan tambahan. Fungsi struktural Ekor adalah untuk mempertahankan topik, menyentil dengan membicarakan diri sendiri, dan memunculkan humor.
5
Kedua, penulis atau penutur WP adalah pimpinan redaksi yaitu wartawan senior di SKH yang bersangkutan karena merekalah yang memenuhi syarat sebagai penulis WP. Penulis WP diharapkan berpengalaman luas dan memahami kebijakan pengelola SKH. Penerima tutur WP adalah siapapun yang dituju / disasar oleh sentilan WP, baik individu, lembaga, maupun khalayak pembaca. WP berada dalam konteks lingual (koteks, cotext) serta konteks ekstralingual (konteks, context). Koteks WP adalah teks wacana berita yang menjadi sumber KB. Tidak semua KB berkoteks. KB berkoteks bila berfungsi mengutip berita dan tidak berfungsi bila memuat berita. Adapun konteks WP mencakup semua latar pengetahuan tentang bidang-bidang kehidupan manusia yang di dalamnya terjadi peristiwa-peristiwa bernilai berita yang diangkat dan disentil lewat WP. Ketiga, tujuan tuturan WP adalah menyentil. Menyentil dapat dirinci lebih lanjut sesuai tindak ilokusinya yaitu mengucapkan selamat, berterima kasih, berbela sungkawa, bersyukur, memuji, mengajak atau mengundang, menyetujui atau mendukung, mengharapkan atau mendoakan, menuntut atau memerintah, menolak atau menyangsikan, menuduh, mengejek, serta memarahi atau mengkritik. Sebagai hasil tindak verbal, WP adalah tuturan. Sesuai dengan tindak verbal atau tindak tutur yang menghasilkannya, WP dapat dibedakan menjadi ucapan selamat, ucapan terimakasih, ucapan belasungkawa, ucapan syukur, pujian, ajakan atau undangan, persetujuan atau dukungan, harapan atau doa, tuntutan/ permintaan/ perintah, tolakan atau sangsian, tuduhan, ejekan, dan kemarahan atau kritik. Tiga kesimpulan di atas memberikan landasan berpikir untuk meneliti pojok Gudeg Yu Siyem. Dalam tesisnya, Subagyo belum melakukan penelitian dan pembahasan terperinci mengenai pojok Gudeg Yu Siyem pada Surat Kabar Mingguan (SKM) Minggu Pagi. Subagyo ( 1998: 106) menyinggung sedikit mengenai pojok Gudeg Yu Siyem pada bagian lampiran Bab III Struktur Wacana Pojok dengan
6
mengutip pendapat Suratidjo (1997) mengenai kolom dan wacana pojok. Bagian lampiran yang menyinggung pojok Gudeg Yu Siyem tersebut tertuang dalam paparan di bawah ini.
Berdasarkan kajian singkatnya tentang WP, Suratidjo (1997: 327) berkesimpulan bahwa WP merupakan wacana dialog tansemuka. Sementara ISI WP dalam mingguan Minggu Pagi ( yang bernama kolom Gudeg Yu Siyem) cenderung berbeda dengan ISI WP dalam SKH. ISI WP SKH dapat terdiri atas beberapa pasang KB-S yang masing-masing membentuk sebuah dialog sederhana dengan topik masing-masing KB-S berbeda, tetapi ISI WP dalam Minggu Pagi cenderung sebagai wacana dialog kompleks dengan topik tunggal.
1.5. Landasan Teori Pojok, menurut Sudaryanto, merupakan salah satu macam ragam jurnalistik. Kolom pojok termasuk subragam opini jurnalistik (Subagyo, 1998: 18)
Opini
adalah pendapat, pikiran, dan pendirian (KBBI, 1990: 628). Opini pojok dapat diartikan sebagai pendapat redaksi yang mengungkapkan pernyataan sikapnya terhadap suatu hal atau peristiwa yang diwujudkan dalam sebuah rubrik pojok. Redaksi memakai gaya humoristis dan menyindir dalam mengungkapkan sikapnya terhadap suatu peristiwa yang terjadi. Subagyo (1998: 252) mengungkapkan bahwa wacana pojok yang standar harus memenuhi tiga syarat. Pertama, sungguh-sungguh sebagai opini atau pendapat yang mencerminkan pikiran, pendirian, dan sikap redaksi. redaksi dapat diartikan sebagai media cetak yang memuat kolom pojok tersebut. Syarat pertama ini menyangkut isi atau substansi wacana pojok. Kedua, sungguh-sungguh menyentil, Menyinggung, menyentuh, menegur, memarahi, atau mengkritik. Syarat kedua merupakan tujuan dan ketentuan yang diharapkan terdapat dalam wacana pojok. Ketiga, wacana pojok harus santai, menyindir, dan jenaka dalam mengapresiasikan atau mengemukakan isi
7
dan mencapai tujuan pemuatannya. Ketiga syarat di atas tercermin dalam bentuk rubrik pojok pada media cetak yang memuatnya. Penelitian ini berusaha melihat rubrik pojok objek penelitian ( Gudeg Yu Siyem) dengan mempertimbangkan ketiga syarat tersebut di atas. Pengkajian aspek pragmatik rubrik pojok objek penelitian perlu didahului dengan pengertian mengenai studi pragmatik dan hal-hal yang terdapat di dalamnya. Ilmu Pragmatik, menurut Levinson (via Nababan, 1991: 75), adalah pengkajian hubungan-hubungan antara bahasa dan konteks yang ditatabahasakan atau yang dituangkan ke dalam tata bahasa suatu bahasa. Sedangkan, tokoh pragmatik, Leech (1993: 8), memandang pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar atau speech situation. Dari dua definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pragmatik merupakan studi makna suatu bahasa yang tertuang dalam suatu kalimat atau tuturan yang dihubungkan dengan konteks kalimat atau konteks tuturan. Berkaitan dengan pojok surat kabar, maka, ilmu pragmatik dipergunakan untuk memahami aspek-aspek yang berhubungan dengan situasi tuturan yang terdapat di dalam pojok surat kabar tersebut. Maka, memahami pojok surat kabar secara pragmatik harus ditempuh dengan mempertimbangkan aspek-aspek situasi tutur seperti yang dikemukakan oleh Leech ( 1993), yaitu 1) penutur dan mitra tutur, 2) konteks tuturan, 3) tujuan tuturan, 4) tuturan sebagai tindak verbal, serta 5) tuturan sebagai produk tindak verbal (Wijana, 1996: 10 – 12). Aspek penutur, dalam pandangan leech, dapat disebut sebagai yang menyapa atau penulis, sedangkan mitra tutur dapat disebut yang disapa atau pembaca. Leech mengungkapkan juga istilah ‘penerima’ yaitu orang yang menerima dan menafsirkan pesan. Selain itu, disebutkan pula pula istilah ‘yang disapa’ yaitu orang yang seharusnya menerima dan menjadi sasaran pesan. Kedua istilah di atas memiliki
8
perbedaan walaupun keduanya berada pada posisi lawan tutur. Ketika dihubungkan dengan penelitian ini, ‘penerima’ dapat disamakan dengan penulis atau peneliti yang berusaha menganalisis secara pragmatik objek penelitian. Penulis berusaha mengartikan isi objek penelitian (pojok Gudeg Yu Siyem) hanya berdasarkan bukti kontekstual yang ada saja tanpa menjadi sasaran pesan si penutur. Sedangkan, ‘yang disapa’ atau ‘si petutur’ selalu menjadi sasaran tuturan dari penutur. (Leech, 1993: 19). Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah konteks. Konteks adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian (KBBI, 1990: 458). Jadi, konteks merupakan semua aspek fisik dan setting sosial yang melingkupi suatu kejadian. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Situasi yang berhubungan dengan kejadian wicara, dalam studi pragmatik, dimaknai sebagai semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra tutur ( Wijana, 1996: 11). Dengan bahasa lain, Wittgenstein ( via Arimi, 1998: 205) mengemukakan bahwa bahasa
merupakan penggambaran realitas. Upaya yang dilakukan
Wittgenstein melalui teorinya yang disebut teori gambar (the picture teory) ialah dengan menentukan kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Dalam rangka memahami tujuan suatu tuturan, pendapat Lyon berikut, kiranya, dapat dijadikan pertimbangan.
… keberhasilan komunikasi tidak hanya tergantung pada resepsi penerima atas sinyal dan apresiasinya terhadap fakta yang diketahuinya lebih daripada orang lain, tetapi juga bergantung pada pemahamannya terhadap tekanan-tekanan komunikatif pengirim beserta tanggapan-tanggapan kognitif dan behavioral yang sesuai untuknya ( Subagyo, 1998: 119).
9
Dalam studi pragmatik, fungsi bahasa tersebut menjadi daya pendorong bagi penutur dan lawan tutur untuk melakukan tindak lokusi ( locutionary act), tindak ilokusi
(illocutionary act), dan tindak perlokusi ( perlocutionary act). Keinginan
penutur dan lawan tutur untuk melakukan tindak tutur tersebut diwujudkan dengan tindak tutur langsung atau tidak langsung, tindak tutur literal atau tidak literal, tindak tutur langsung literal atau langsung tidak literal, serta tindak tutur tidak langsung literal atau tidak langsung tidak literal. Hal tersebut menunjukkan bahwa pragmatik berhubungan dengan tindak verbal ( verbal act) yang berhubungan dengan situasi tertentu. Dalam hubungan ini pragmatik menangani bahasa dalam tingkatannya yang lebih konkret dibanding dengan tata bahasa. Tuturan sebagai entitas yang konkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraannya ( Wijana, 1996: 12-36). Tuturan sebagai produk tindak verbal, dalam perspektif Wijana (1996: 12-13) adalah tuturan yang digunakan dalam rangka pragmatik, uraian sebelumnya mengacu pada bentuk dari tindak tutur atau tindak ilokusi menutur Leech. Sedangkan, tuturan sebagai produk tindak verbal menunjuk pada tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak tutur atau tindak ilokusi itu. Sebagai contoh kalimat Apakah rambutmu tidak terlalu panjang? Kalimat ini dapat ditafsirkan sebagai pertanyaan atau perintah. Dalam hubungan ini dapat ditegaskan ada perbedaan mendasar antara kalimat (sentence) dengan tuturan (utturance). Kalimat adalah entitas gramatikal sebagai hasil kebahasaan yang diidentifikasikan lewat penggunaannya dalam situasi tertentu.
1.6. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan strategis penelitian ( Sudaryanto, 1993 ) yang diharapkan dapat menguak dan menjelaskan objek penelitian.
10
1.
Tahap penyediaan data. Data-data yang mendukung penelitian dicari dan dikumpulkan dengan dua cara
yaitu mengunting kolom pojok Gudeg Yu Siyem di Minggu Pagi kemudian mengklipingnya dan mencatat kolom pojok tersebut. Data-data tersebut disusun secara urut menurut nomor penerbitan Minggu Pagi. Kurun waktu yang dipakai adalah satu tahun penerbitan secara berurutan karena sifat surat kabar mingguan. Selain itu, diperlukan pula objek pembanding untuk menemukan perbedaan dan ciri khas yang terdapat pada kolom pojok yang diteliti. Data objek pembanding diambil dari rubrik kolom Surat Kabar Harian (SKH) Kedaulatan Rakyat. Pengambilan kolom pojok SKH ini diharapkan dapat mewakili kolom pojok yang lain yang telah diteliti dalam tesis Subagyo (1998). Penelitian ini menyertakan kolom pojok SKH Republika dan majalah mingguan Djaka Lodang untuk menganalisis fungsi dan peranan gambar yang terdapat dalam rubrik pojok objek penelitian.
2.
Tahap analisis data Data tersebut, selanjutnya, dianalisis melalui berbagai tahap. Tahap pertama,
dilakukan pengamatan bentuk pojok Gudeg Yu Siyem. Pada tahap ini, unsur-unsur yang khas dari rubrik pojok tersebut dicermati. Tahap kedua, melakukan perbandingan dengan rubrik pojok yang lain. Analisis perbandingan ini mencakup bentuk rubrik pojok, aspek bahasa, komponen-komponen yang membangun rubrik pojok tersebut. Melalui analisis objek penelitian dengan objek pembandingnya akan ditemukan persamaan, perbedaan, maupun ciri khas bentuk dan struktur pojok Gudeg Yu Siyem. Tahap ketiga, melakukan analisis situasi tutur. Pada tahap ini, peneliti meleburkan diri dengan berperan sebagai sosok penutur dan mitra tutur untuk memahami dialog antara penutur dan mitra tutur dalam Gudeg Yu Siyem tersebut.
11
3.
Tahap penyajian analisis data Penyajian analisis data dilakukan secara sistematis untuk memudahkan
pengkomunikasian hasil analisis data. Tahapan ini dilakukan sesudah proses analisis data beserta simpulan pada setiap tahapan dilalui.
1.7. Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam penelitian ini mencakup beberapa bab. Bab I Pendahuluan yang meliputi Latar Belakang Masalah, Ruang Lingkup dan Tujuan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Landasan Teori, kemudian Metode Penelitian, serta Sistematika Penyajian. Bab II berisi Bentuk dan Unsur Pembangun Pojok Gudeg Yu Siyem. Bab III berusaha membedah Struktur Wacana Pojok Gudeg Yu Siyem. Bab IV menguraikan Situasi Tuturan Wacana Pojok Gudeg Yu Siyem. Bab V berisi penutup yang memuat kesimpulan dan saran.