BAB I PENDAHULUAN I.1
Penelitian Terdahulu Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Any Miami pada
tahun 2008 dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Penetapan Tingkat Risiko (Risk Ranking) di Bidang Impor”. Penelitian ini membahas tentang bagaimana penetapan tingkat risiko (risk ranking) terhadap profil importir dan profil komoditi di bidang impor. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan penelitian yang bersifat deskriptif. Hasil penelitian ini adalah profil importir dibagi menjadi tiga kategori sesuai tingkat risiko importir, yaitu hi-rski, medium-risk, dan low-risk. Kemudian profil komoditi dibagi menjadi tiga kategori yaitu, very hi-risk (sebagai komoditi yang ditetapkan oleh pemerintah), hi-risk, dan low-risk. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Deviyanto The Dlava dalam skripsinya yang berjudul “Implementasi Manajemen Risiko Dalam Bidang Impor” yang berlokasi penelitian di KPPBC Soekarno-Hatta. Penelitian ini membahas tentang faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat risiko suatu impor dan bagaimana penetapan tingkat risiko suatu impor. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tujuan peneltian bersifat deskriptif. Hasil penelitian ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan tingkat risiko adalah profil importir, profil komoditi, dan profil pemasok. Kemudian penetapan tingkat risiko suatu impor dilakukan dengan penetapan jalur impor, yaitu jalur
1
Universitas Sumatera Utara
Merah, jalur Kuning, jalur Hijau, jalur MITA Non Prioritas, dan jalur MITA Prioritas. Berikut adalah tabel perbandingan dari penelitian terdahulu Tabel 1.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu Peneliti Any Miami Deviyanto The Dlava Tahun 2008 2012 Permasalahan 1. Bagaimana penetapan 1. Faktor-faktor apa saja tingkat risiko (risk yang mempengaruhi ranking) atas profil tingkat risiko suatu importir dan profil impor? komoditi di bidang 2. Bagaimana penetapan impor tingkat risko atas suatu impor? Metode Kualitatif Kualitatif Hasil Penelitian 1. Profil importir dibagi 1. Faktor-faktor yang menjadi tiga kategori mempengaruhi tingkat sesuai tingkat risko risiko adalah profil importir, yaitu hiimportir, profil risk, medium-risk komoditi, dan profil dan low-risk pemasok. 2. Profil komoditi dibagi 2. Penetapan tingkat risiko menjadi tiga suatu impor dilakukan karegori, yaitu very dengan penetapan jalur hi-risk (sebagai impor, yaitu jalur merah, komoditi yang jalur kuning, jalur hijau, ditetapkan jalur MITA Non Prioritas, dan jalur pemerintah), hi-risk MITA Prioritas dan low-risk Sumber : Diolah peneliti
I.2
Latar Belakang Dalam kehidupan sehari - hari, tanpa disadari maupun direncanakan sebuah
resiko dari setiap kegiatan kita lakukanakan menghampiri, baik yang bersifat positif (baik) maupun negatif (buruk). Oleh karena itu, diperlukan sebuah disiplin khusus yaitu Manajemen Risiko agar kita mampu memanajemen dengan baik semua risiko yang akan menghampiri sehingga setiap risiko menjadi keuntungan untuk diri kita ataupun memperbaiki/memperkecil dampak dari risiko yang
2
Universitas Sumatera Utara
telahterjadi, dan kedepannya kita mulai terlatih untuk menggambarkan risikorisiko apa saja yang akan menghampiri setiap kegiatan kita dimasa yang akan datang. Tidak berbeda dengan individu, begitu juga dengan organisasi baik organisasi swasta maupun organisasi di bawah pemerintah. Dalam hal ini adalah CUSTOMS sebuah Instansi Kepabeanan yang keberadaannya sangat esensial bagi suatu negara dimanapun, demikian pula dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yakni Instansi Kepabeanan yang dimiliki Indonesia adalah suatu instansi yang memiliki peran yang cukup penting sebagai ujung tombak dalam tugas pengawasan dan pelayananan barang keluar masuk wilayah Indonesia.Direktorat Jenderal Bea dan Cukai selanjutnya kita sebut Bea Cukai merupakan institusi global yang hampir semua negara di dunia memilikinya.Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki peran yang cukup penting dari negara dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk melindungi masyarakat dari masuknya barang-barang berbahaya, melindungi industri tertentu di dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat dengan industri sejenis dari luar negeri, memberantas penyelundupan, melaksanakan tugas titipan dari instansi-instansi lain yang berkepentingan dengan lalu lintas barang yang melampaui batas-batas negara, memungut bea masuk dan pajak dalam rangka impor secara maksimal untuk kepentingan penerimaan keuangan negara.Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memilik 4 fungsi utama yaitu : 1. Bea Cukai sebagai pelayan atau pemberi fasilitas perdagangan (Trade Facilitator).
3
Universitas Sumatera Utara
2. Bea Cukai ikut menunjang industri dalam negeri agar dapat bersaing dengan industri luar negeri (Industrial Assistance). 3. Bea Cukai sebagai abdi negara (Revenue Collector). 4. Bea Cukai sebagai pelayan dan pengawas dalam perdagangan (Community Protector) yaitu. Sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK. 09/2008 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Di Lingkungan Departemen Keuangan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai instansi yang berada di bawah langsung Kementerian Keuangan telah menerapkan manajemen risiko sebagai upaya menanggulangi risiko (mitigasi) yang dihadapi oleh organisasi. Bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) tentunya penerapan Manajemen Risiko memiliki tujuan dan manfaat.Tujuannya adalah untuk mengantisipasi dan menangani risiko secara efektif dan efisien. Disamping juga untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan risiko serta memelihara kinerja manajemen risiko serta untuk mengintegrasikan proses manajemen risiko ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kinerja. Mengenai manfaat yang akan diperoleh dengan penerapan Manajemen Risiko adalah menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam bentuk keluhan maupun keberatan dari para pemangku kepentingan (stakeholder), meningkatkan efisiensi, reputasi, tingkat kepercayaan dari stakeholder.
4
Universitas Sumatera Utara
Contoh Kasus Perlunya Penerapan Manajemen Risiko : Risiko-risiko yang biasa dihadapi oleh Bea dan Cukai adalah pertama, Penyelundupan fisik yang terjadi di pelabuhan-pelabuhan kecil atau sering disebut sebagai pelabuhan tikus. Kecenderungan terjadi di Pantai Timur Sumatera. Karena di sana rawan terjadinya penyelundupan tekstil dan produk tekstil, terutama pakaian bekas. Kedua adalah soal dokumen. Bea Cukai akan meningkatkan pengawasan melalui sistem IT. Melalui analisis yang dilakukan atas data yang tersedia dan melalui observasi serta mempelajari dokumen yang telah selesai. Atas barang-barang yang termasuk risiko menengah dilaksanakan pemeriksaan secara selektif seperti mainan anak-anak dan lainnya. Barang-barang yang diimpor maupun diekspor masih mempunyai potensi risiko yang kemungkinan dapat merugikan pendapatan negara. (http://finance.detik.com/read/2015/10/12/172153/3042548/4/jokowi-mintabarang-impor-ilegal-diberantas-ini-rencana-dirjen-bea-cukai
diakses
pada
15
April 2016 pukul 21.44 wib) Berdasarkan kasus di atas sangat jelas bahwa perlunya penerapan Manajemen Risiko yang baik. Maka dari itu penulis tertarik untuk mengambil judul penelitian “IMPLEMENTASI MANAJEMEN RISIKO DI BIDANG IMPOR(Studi Kasus Pada Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Dan Cukai Tipe Madya Pabean C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai)”
5
Universitas Sumatera Utara
I.3
Rumusan Masalah Melihat begitu banyaknya risiko – risiko yang ada dihadapan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai sehingga Manajemen Risiko perlu untuk diterapkan untuk menentukan mitigasi yang tepat sehingga tidak menimbulkan kerugian yang lebih besar.Penerapan Manajemen Risiko yang baik harus menjadi suatu kewajiban yang harus diterapkan pada fungsi pengawasan dan pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Oleh karena itu, pertanyaan yang menjadi rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impordi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai? I.4
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji secara
lebih mendalam mengenai untuk mengetahui secara mendalam Implementasi Manajemen Risiko di Bidang Impordi Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai Tipe Madya C Teluk Nibung Kota Tanjungbalai.
I.5
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Penelitian diharapkan bermanfaat untuk melatih kemampuan berpikir ilmiah, sistematis, dan bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan dan menuliskan karya ilmiah di lapangan berdasarkan kajian-kajian teori dan aplikasi yang diperoleh dari Ilmu Administrasi Negara.
6
Universitas Sumatera Utara
2. Manfaat Praktis Bagi penulis, manfaat praktis yang diharapkan dapat diperoleh dari seluruh tahapan penelitian serta hasilnya adalah dapat memperluas wawasan dan sekaligus memperoleh pengetahuan empirik mengenai penerapan fungsi Ilmu Administrasi Negara yang diperoleh selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Universitas Sumatera Utara.
3. Manfaat Akademis Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan Ilmu Administrasi Negara dan memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh mahasiswa/i Ilmu Administrasi negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara serta menjadi bahan referensi bagi terciptanya suatu karya ilmiah.
I.6
KERANGKA TEORI Menurut Masri Singarimbun (1989:37) Teori merupakan serangkaian
asumsi, konsep, konstrak, defenisi, dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep. Kerangka teori ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang batasan-batasan teori yang akan dipakai sebagai landasan yang akan dilakukan dalam penelitian. Berikut beberapa teori yang akan dijelaskan sebelum penelitian dilakukan.
7
Universitas Sumatera Utara
I.6.1 Kebijakan Publik I.5.1.1 Definisi Kebijakan Publik Secara etimoligis, istilah kebijakan atau policy berasal dari bahasa Yunani “polis” berarti negara. Diartikan ke dalam bahasa Inggris “policie” yang artinya berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah publik atau administrasi pemerintahan (William N Dunn 2000:22). Istilah “kebijakan” atau “policy” dipergunakan untuk menunjuk perilaku sorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu badan pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu, (Budi Winarno 2002:14). Sedangkan kata publik sendiri dapat diartikan sebagai negara. Namun demikian, kebijakan publik merupakan konsep tersendiri yang mempunyai arti dan definisi khusus akademik. Definisi kebijakan publik menurut para ahli sangat beragam. Menurut Easton (1963) dalam (Tangkilisan 2003:2) kebijakan publik adalah sebagai alat pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya meningkat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan suatu tinfakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupkan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat. Menurut Carl Friedrich (1963) dalam (Budi Winarno 2002:19), mendefinisikan kebijakan publik sebagai arah tindakan yang diusulkan seseorang, kelompok atau pemerintah dalam
8
Universitas Sumatera Utara
suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan kesempatan-kesempatan
terhadap
kebijakan
yang
diusulkan
untuk
menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu atau merealisasikan suatu sasaran dan maksud tertentu.Menurut James E Anderson (Ibid 2002:16), mendefinisikan kebijakan publik adalah arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan. Konsep kebijakan ini dianggap tepat karena memusatkan perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan atau bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bawha kebijakan publik merupakan serangkaian tindakan yang menjadi keputusan pemerintah untuk melakukan atau tindakan melakukan sesuatu yang bertujuan untuk memecahkan masalah demi kepentingan masyarakat. I.6.1.2 Proses Kebijakan Publik Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut: 1. Penyusunan Agenda Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalahpublik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status
9
Universitas Sumatera Utara
sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain. Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan. 1. telah mencapai titik kritis tertentu jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius; 2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu berdampak dramatis; 3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa; 4. menjangkau dampak yang amat luas ; 5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;
10
Universitas Sumatera Utara
6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya) Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama. Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder. 2. Formulasi kebijakan Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing slternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. 3.
Adopsi/ Legitimasi Kebijakan Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses
dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur
11
Universitas Sumatera Utara
oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi.Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. 4. Implementasi Kebijakan Suatu program kebijakan hanya akan menjadi catatan-catatan elit, jika program tersebut tidak diimplementasikan. Oleh karena itu, program kebijakan yang telah diambil sebagai alternatif pemecahan masalah harus diimplementasikan, yakni dilaksanakan oleh badan-badan administrasi maupun agen-agen pemerintah tingkat bawah. Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai kepentingan akan bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana, namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana. 5. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang
12
Universitas Sumatera Utara
sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan. I.6.1.3 Implementasi Kebijakan Publik Pengertian implementasi adalah serangkaian kegiatan yang terencana berdasarkan kebijakan/program yang telah dibuat yang berkaitan dengan kepentingan publik. Kebijakan yang telah dibuat merupakan strategi yang memanfaatkan sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik yang ada. Kebijakan dilaksanakan oleh aktor politik atau sekelompok aktor politik (implementor) untuk memecahkan masalah-masalah yang ada sebatas kewenangan yang dimiliki oleh para implementor. Selama ini kebijakan publik hanya menitik beratkan pada studi tentang proses pembuatan kebijakan dan studi-studi tentang evaluasi, tapi mengabaikan
permasalahan-permasalahan
pengimplementasian.
Dua
perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauhmana implementasi terpisah dari formulasi kebijakan, yakni apakah suatu kebijakan dibuat oleh pusat dan diimplementasikan oleh daerah (bersifat Top-Down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya (Bottom-Up). Padahal persoalan ini hanya merupakan bagian dari
13
Universitas Sumatera Utara
permasalahan yang lebih luas, yakni bagaimana mengidentifikasikan gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta beragam aktor yang terlibat di dalamnya. Dalam studi implementasi terdapat berbagai variabel
yang
mempengaruhi kesuksesan implementasi kebijakan berdasarkan para ahli. Secara umum yang membuat perbedaan variabel dalam teori implementasi ini berkaitan dengan keragaman isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan. Isu atau jenis kebijakan yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula, karena ada jenis kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit karena melibatkan banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif
mudah. Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki
perubahan yang relatif besar tentu cara implementasi dan tingkat kesulitannya akan berbeda dengan kebijakan yang lebih sederhana. Ada beberapa teori implementasi kebijakan publik diantaranya, Model Donald Van Metter dan Van Horn, Model George C. Edward III, Model Grindle, dan lain-lain. Penulis mengambil teori yang dikemukakan oleh George C. Edward III (1980), yakni : 1. Model Implementasi Kebijakan George C. Edward III ( 1980) Dalam pendekatan teori ini terdapat empat variabel yang mempengaruhi
keberhasilan
impelementasi
suatu
kebijakan,yaitu:
Komunikasi, Sumberdaya, Disposisi dan Struktur birokrasi. a. Komunikasi
14
Universitas Sumatera Utara
Variabel pertama yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan menurut Goerge C. Edward III (dalam Agustino, 2008 : 150) adalah komunikasi. Komunikasi, menurutnya sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif terjadi apabila para pembuat keputusan sudah mengetahui apa yang akan mereka kerjakan. Pengetahuan atas apa yang akan mereka kerjakan dapat berjalan apabila komunikasi berjalan dengan baik, sehingga setiap keputusan kebijakan dan peraturan impelementasi harus ditansmisikan (atau dikomunikasikan) kepada bagian personalia yang tepat. Selain itu, kebijakan yang dikomunikasikan pun harus tepat, akurat, dan konsisten. Komunikasi (atau pentransmisian informasi) diperlukan agar para pembuat keputusan dan para implementor akan semakin konsisten dalam melaksanakan setiap kebijakan yang akan diterapkan dalam masyarakat. Terdapat tiga indikator yang dapat dipakai dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi yaitu : a) Transmisi; penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran
komunikasi
adalah
adanya
salah
pengertian(misscommunication). b) Kejelasan; komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuarats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu/mendua)
ketidakjelasan
pesan
kebijakan
tidak
selalu
mengahalangi impelementasi, pada tataran tertentu, para pelaksana
15
Universitas Sumatera Utara
membutuhkan fleksibelitas dalam melaksanakan kebijakan. Tetapi pada tataran yang lain hal tersebut justru akan menyelewengkan tujuan yang hendak dicapai oleh kebijakan yang telah ditetapkan. c) Konsistensi; perintah yang diberikan dalam melaksanakan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas untuk diterapkan atau dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah, maka dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan, b. Sumber daya Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan adalah sumber daya. Sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008 :151-152). Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu : a) Staf; sumberdaya utama dalam implementasi kebijakan dalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan oleh karena staf yang tidak mencukupi, memadai, ataupun tidak ompoten dibidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak cukup, tetapi diperlukan juga kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri. b) Informasi; dalam implementasi kebijakan, informasi mempunyai dua bentuk, yaitu pertama informasi yang berhubungan dengan cara
16
Universitas Sumatera Utara
melaksanakan kebijakan. Implementor harus mengetahui apa yang harus mereka lakukan saat mereka diberi perintah. Kedua, informasi mengenai data kepatuhan dari para pelaksana terhadap peraturan dan regulasi pemerintah yang telah ditetapkan. Implementer harus mengetahui apakah orang yang terlibat di dalam pelaksanaan kebijakan tersebut patuh terhadap hukum. c) Wewenang; pada umumnya kewenangan harus bersifat formal agar perintah dapat dilaksanakan. Kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik. Ketika wewenang nihil, maka kekuatan para implementor
dimata
publik
tidak
terlegitimasi,
sehingga
dapat
menggagalkan proses implementasi kebijakan. Tetapi dalam konteks yang lain, ketika wewenang formal tersebut ada, maka sering terjadi kesalahan dalam melihat efektivitas kewenangan. Disatu pihak, efektivitas akan menyurut manakala wewenang diselewengkan oleh para pelaksana demi
kepentingannya sendiri
atau
demi
kepentingan
kelompoknya. d) Fasilitas;
fasilitas
fisik
juga
merupakan
faktor
penting dalam
implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukan dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (sarana dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
17
Universitas Sumatera Utara
c. Disposisi Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan adalah disposisi. Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi, menurut Goerge C.Edward III (dalam Agustino, 2008:152-154), adalah : a) Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan apabila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat tinggi. Karena itu, pemilihan dan pengangkatan personil pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan. b) Insentif; Edward menyatakan bahwa salah satu teknik yang disarankan untuk mengatasi masalah kecenderungan para pelaksana adalah dengan memanipulasi insentif. Oleh karena itu, pada umumnya orang bertindak menurut kepentingan mereka sendiri, maka memanipulasi insentif oleh para pembuat kebijakan mempengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana kebijakan melaksanakan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi (self interst) atau organisasi. d. Struktur birokrasi; Menurut Edward III (dalam Agustino,2008 : 153154), yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah struktur birokrasi. Walaupun sumber daya untuk melaksanakan
18
Universitas Sumatera Utara
suatu kebijakan tersedia, atau para pelaksana kebijakan mengetahui apa yang
seharusnya
dilakukan,
dan
mempunyai
keinginan
untuk
melaksanakan suatu kebijakan, kemungkinan kebijakan tersebut tidak dapat dilaksanakan atau direalisasikan karena terdapatnya kelemahan dalam struktur birokrasi. Kebijakan yang begitu kompleks menuntut adanya kerjasama banyak orang, ketika stuktur birokrasi tidak kondusif pada kebijakan yang tersedia, maka hal ini akan menyebabkan sumber daya-sumber daya menjadi tidak efektif dan menghambat jalannya kebijakan. Birokrasi sebagai pelaksana sebuah kebijakan harus dapat mendukung kebijakan yang telah diputuskan secara politik dengan jalan melakukan koordinasi dengan baik. Dua karakteristik, menurut Edward III, yang dapat mendongkrak kinerja struktur birokrasi/organisasi kearah yang lebih baik, yaitu dengan melakukan : a) Standar Operating Prosedures (SOPs); adalah suatu kegiatan rutin yang memungkinkan
para
pegawai
(atau
pelaksana
untuk
melaksanakan
kegiatan-
kebijakan/administrator/birokrat)
kegiatannya setiap hari sesuai dengan standar yang ditetapkan atau standar minimum yang dibutuhkan. b) Fragmentasi; adalah upaya penyebaran tanggungjawab kegiatan-kegiatan atau aktivitas - aktivitas pegawai diantara beberapa unit kerja.
19
Universitas Sumatera Utara
Gambar 1.1 Faktor Penentu Implementasi Menurut Edwards III Sumber : (George III Edward, 1980)
Jadi, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengna membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan program pemerintah (Tangkilisan 2003:9).
I.6.2 Manajemen Risiko Kata risiko banyak digunakan dalam berbagai pengertian dan sudah biasa dipakai
dalam
kehidupan
sehari-hari.Risiko
adalah
ketidaktentuan
atau
uncertainty yang mungkin menimbulkan kerugian. Menurut Kamus Besar Bahasa
20
Universitas Sumatera Utara
Indonesia risiko adalah akibat yang kurang menyenangkan (merugikan dan membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Menurut Ali (2006:2) risiko adalah terdapatnya ketidakpastian yang menyebabkan profitability atau bahkan dapat menimbulkan kerugian.Risiko adalah ketidakpastian atau uncertainty yang mungkin melahirkan kerugian Abbas Salim (1989:3). Menurut Kasidi (2010:5) risiko secara umum dapat dikelompokkan menjadi: 1. Risiko spekulatif adalah risiko yang mengandung dua kemungkinan, yaitu kemungkinan yang menguntungkan atau merugikan. 2. Risiko murni adalah yang mengandung satu kemungkinan yaitu kerugian saja. Menurut Kasidi (2010:7) sumber risiko dapat diklasifikasikan menjadi : 1. Risiko sosial adalah sumber utamanya masyarakat. Artinya, tindakan orang-orang menciptakan kejadian yang menyebabkan penyimpangan merugikan. 2. Risiko fisik adalah fenomena alam dan sebagian besarnya dilakukan oleh manusia. 3. Risiko ekonomi. Banyak risiko yang dihadapi oleh manusia itu bersifat ekonomi. Manajemen risiko adalah suatu metode logis dan sistematik dalam identifikasi kuantitatifikasi, menentukan sikap, menetapkan solusi, serta melakukan monitor dan pelaporan risiko yang berhubungan pada setiap aktivitas atau proses (Idroes 2008:8). Manajemen Risiko (Darmawi 2010 : 10) merupakan
21
Universitas Sumatera Utara
suatu usaha untuk mengetahui, menganalisis serta mengendalikan risiko dalam setiap kegiatan perusahaan dengan tujuan memperoleh efektifitas dan efisiensi yang lebih tinggi.Menurut Dorfman (1998:13) Manajemen Risiko dikatakan sebagai suatu proses logis dalam usahanya untuk memahami exposure terhadap suatu kerugian. Tindakan manajemen risiko diambil oleh para praktisi untuk merespon bermacam-macam risiko.Responden melakukan dua macam tindakan manajemen risiko yaitu mencegah dan memperbaiki.
I.6.2.1 Tujuan dan Manfaat Penerapan Manajemen Risiko Ada banyak aspek untuk mencapai kesuksesan suatu program organisasi dalam pelaksanaan pelayanan dan pengawasan.Manajemen risiko merupakan turunan dari ilmu manajemen namun bukan satu-satunya cara ampuh
untuk
mencapai
kesuksesan
organisasi.
Meskipun
demikian,manajemen risiko dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan, membantumengurangi kejutan-kejutan, dan meningkatkan kesempatan untuk mencapai kesuksesan organisasi. Jika manajemen risiko dapat diterapkan dengan baik maka akan memiliki tujuan dan manfaat yang baik untuk organisasi dalam mengelola risiko. Tujuan dan manfaat penerapan manajemen risiko menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK. 09/2008 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Di Lingkungan Departemen Keuangan adalah untuk mengantisipasi dan menangani risiko secara efektif dan efisien. Disamping juga untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengendalikan risiko serta
22
Universitas Sumatera Utara
memelihara kinerja manajemen rsisiko serta untuk mengintegrasikan proses manajemen risiko ke dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kinerja. Manfaat yang akan diperoleh dengan penerapan manajemen risiko adalah menghindarkan terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan dalam bentuk keluhan maupun keberatan dari para pemangku kepentingan (stake holder).
I.6.2.2 Proses Manajemen Risiko Manajemen risiko dijalankan sebagai sebuah proses dalam organisasi. Secara umum proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam beberapa kegiatan. Paul Hopkins menggambarkan proses manajemen risiko dengan 7Rs dan 4Ts. 7Rs dan 4Ts tersebut antara lain: 1. Recognitian of Risk. 2. Ranking of Risk 3. Responding to significant risk: a. Tolerate. b. Treat. c. Transfer d. Terminate 4. Resource control 5. Reaction (and event) planning 6. Reporting of risk performance. 7. Reviewing the risk managementsystem.
23
Universitas Sumatera Utara
Kegiatan-kegiatan manajemen risiko tersebut dimulai dengan usaha untuk mengidentifikasi risiko-risiko yang diihadapi atau yang akan dihadapi. Identifikasi risiko-risiko adalah langkah dasar dalam proses manajemen risiko. Dengan telah teridentifikasinya risiko-risiko, maka selanjutnya risiko-risiko tersebut harus disusun dalam peringkat-peringkat sesuai dengan kemungkinan terjadinya maupun dampaknya terhadap organisasi maupun kriteria-kriteria lain yang ditetapkan. Risiko-risiko yang telah dibagi dalam peringkat-peringkat tersebut kemudian ditetapkan tanggapan (respond) apa yang akan dilakukan terhadap risiko-risiko tersebut. Pengendalian sumber daya selanjutnya dilakukan terhadap sumber daya yang berkaitan dengan risiko-risiko tersebut terjadi. Langkah terkahir adalah melaporkan kegiatan manajemen risiko dan melakukan ulasan atas sistem manajemen risiko yang telah dijalankan. Manajemen Risiko dilaksanakan dengan beberapa proses atau tahapan. Menurut Ronny (2008:14)proses dan tahapan manajemen risiko adalah sebagai berikut : 1. Identifikasi risiko a. Daftar risiko Risiko perlu diidentifikasi untuk mendapatkan suatu daftar risiko. Daftar risiko merupakan output/hasil dari identifikasi risiko.
24
Universitas Sumatera Utara
2. Pengukuran risiko Setelah semua risiko yang perlu diketahui teridentifikasi dan daftar risiko telah dibuat kemudian risiko-risiko yang ada pada daftar tersebut diukur. Dengan demikian proses selanjutnya setelah identifikasi risiko adalah pengukuran risiko. Tahap ini digunakan untuk mendapatkan apa yang disebut dengan status risiko dan peta risiko. Status risiko adalah ukuran yang bisa menunjukkan tingkatan risiko sehingga kita bisa mengetahui mana yang paling mengancam. Sedang peta risiko adalah gambar sebaran risiko dalam suatu peta sehingga kita bisa mengetahui dimana risiko berada dalam suatu peta. 3. Penanganan Berdasarkan peta risiko dan status risiko ini, kemudian manajemen melakukan penanganan risiko yang dimaksud adalah memberikan usulan apa yang akan dilakukan untuk menangani risiko-risiko yang telah terpetakan. 4. Evaluasi Evaluasi merupakan aktivitas selanjutnya dari proses manajemen risiko. Usulan penanganan risiko diberikan kepada Internal Auditor. Sekurangkurangnya setahun sekali, Internal Auditor mengaudit perusahaan sekaligus mengaudit apakah usulan penanganan risiko yang diberikan oleh masingmasing manajer dilaksanakan atau tidak. Aktivitas audit ini merupakan bagian dari evaluasi.
25
Universitas Sumatera Utara
Identifikasi a. Daftar Risiko
Pengukuran Evaluasi
a. Peta b. Status
Penanganan a. Usulan Penanganan
Gambar 1.2 Tahapan Manajemen Risiko Sumber : Ronny (2008)
Proses Manajamen Risiko merupakan tindakan dari seluruh entitas terkait di dalam organisasi. Tindakan berkesinambungan yang dilakukan sejalan
dengan
definisi
Manajemen
Risiko
yaitu
identifikasi,
menilai/peringkat risiko, menentukan sikap, menetapkan solusi/mitigasi, pemantauan dan pengkajian ulang risiko Idroes (2008:7). Penerapan proses manajemen risiko dilakukan secara terus-menerus, sistematis logis, dan terukur. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK. 09/2008 proses manajemen risiko di jelaskan sebagai berikut:
26
Universitas Sumatera Utara
1. Penetapan konteks diperlukan untuk menjabarkan latar belakang, ruang lingkungan, tujuan, kondisi lingkungan dimana manajemen risiko diterapkan. 2. Identifikasi risiko adalah proses mengidentifikasi lokasi, waktu, sebab dan proses terjadinya peristiwa risiko yang dapat menghalangi, menurunkan, menunda atau meningkatkan tercapainya sasaran. 3. Analisis risiko dilakukan dengan mencermati sumber risiko dan tingkat pengendalian yang ada serta dilanjutkan dengan menilai risiko dari sisi konsekuensi dan kemungkinan terjadinya. 4. Evaluasi risiko dilakukan untuk pengambilan keputusan mengenai perlu tidaknya dilakukan penanganan risiko lebih lanjut serta prioritas penanganannya. 5. Penanganan risiko dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai opsi penanganan risiko yang terssedia dan memutuskan opsi penanganan risiko yang terbaik yang dilanjutkan dengan pengembangan rencana mitigasi risiko. 6. Monitoring dan Reviu dilakukan dengan cara memantau efektivitas rencana penanganan risiko, strategi, dan sistem manajemen risiko. Monitoring risiko bertujuan untuk mengantisipasi adanya perubahan, baik pada tingkat maupun tren risiko, yang berdampak terhadap profil risiko
27
Universitas Sumatera Utara
7. Komunikasi dan konsultasi dilakukan dengan cara mengembangkan komunikasi kepada stakeholder internal maupun eksternal. Setiap risiko akan berdampak langsung terhadap organisasi. Paul Hopkin (2010) dalam Deviyanto (2012) menggambarkan hubungan antara kemungkinan terjadinya risiko dan dampak terjadinya risiko sebagai berikut:
Gambar 1.3Kemungkinan dan Dampak Risiko Sumber : Hopkin, 2010
Melihat gambar di atas, Hopkin menggambarkan kemungkinan terjadinya risiko dan dampak terjadinya risiko dalam empat kuadran. Organisasi yang memperhatikan risiko-risiko yang dihadapi harus menganalisis risiko yang akan datang untuk menentukan langkah-langkah apa yang akan diambil oleh organisasi tersebut untuk mengantisipasinya.
28
Universitas Sumatera Utara
I.6.2.3 Prinsip Manajemen Risiko Manajemen
risiko
memiliki
harus
memiliki
karakteristik–
karakteristik tertentu sebagai sebuah konsep agar dikatakan baik. Prinsip– prinsip manajemen risiko yang baik menurut Paul Hopkin (2010) Deviyanto (2012) adalah sebagai berikut: 1. Proporsional, kegiatan manajemen risiko harus sebanding dengan tingkat risiko yang dihadapi oleh organisasi 2. Selaras, kegiatan manajemen risiko harus selaras dengan kegiatankegiatan lain dalam organisasi 3. Komprehensif, untuk mencapai manajemen risiko yang efektif, pendekatan
manajemen
risiko
harus
secara
menyeluruh
atau
komprehensif. 4. Tertanam, kegiatan manajemen risiko harus tertanam di dalam organisasi. 5. Dinamis, kegiatan manajemen risiko harus dinamus dan responsif terhadap risiko-risiko yang timbul dan perubahan-perubahan risiko yang dihadapi. Prinsip-prinsip
manajemen
risiko
dalam
Peraturan
Menteri
Keuangan No. 191/PMK.09/2008 : 1. Patuh terhadap peraturan perundang-undangan
29
Universitas Sumatera Utara
Risiko-risiko utama yang harus mendapatkan perhatian adalah risiko ketidakpatuhan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan. Demikian pula langkah-langkah pengendalian risiko juga harus memperhatikan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
2. Berorientasi Jangka Panjang Pengendalian risiko tidak hanya untuk mengatasi risiko-risiko jangka pendek tetapi juga harus mempertimbangkan kemungkinan dan dampaknya secara jangka panjang. 3. Berimbang a. Keputusan yang diambil dalam penerapan manajemen risiko harus memeperhatikan kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) secara berimbang dan tidak mendahulukan kepentingan tertentu. b. Dalam proses manajemen risiko dan langkah-langkah pengendaliannya harus memperhatikan bahwa biaya pengendalian risiko tidak boleh lebih besar dari konsekuensi risiko itu sendiri. Prinsip-prinsip ini harus diterapkan dengan baik oleh organisasi dan harus dijalankan oleh seluruh bagian di dalam organisasi. Keberhasilan penerapan manajemen risiko bukan hanya karena perencanaan yang baik tetapi juga karena pelaksanaan yang dilakukan oleh setiap bagian organisasi dengan baik.
30
Universitas Sumatera Utara
I.6.2.4 Manajemen Risiko Dalam Pabean Manajemen risiko yang berkembang sejak tahun 1970 di negaranegara maju dan baru diterapkan di Indonesia pada akhir tahun 2005, telah dikenal dalam lingkungan DJBC sejak tahun delapan puluhan. Risiko dapat diperkirakan dan dihitung melalui analisis resiko berdasarkan teori probabilitas. Risiko manajemen merupakan aplikasi prosedur manajemen secara
sistematik
untuk
mengidentifikasikan,
menganalisis,
menghitung/memperkirakan serta mengambil tindakan untuk meminimalkan atau membatasi risiko. Melalui teori ini, terdapat tahapan-tahapan yang dianggap mengandung risiko dalam setiap kegiatan kepabeanan seperti : 1. Tahap pertama adalah sebelum pemberitahuan (pre clearance), yakni sebelum, saat dan sesudah pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut, penyerahan manifest yang dilakukan oleh perusahaan sarana pengangkut atau agen/yang mewakili. Hal ini dilanjutkan dengan penyampaian pemberitahuan impor/ekspor. 2. Tahap kedua, pemeriksaan ulang atas semua dokumen yang telah selesai dan barang sudah dikeluarkan dari tempat penimbunan dan diterbitkan SPPB. 3. Tahap ketiga, audit kepabeanan (post clearance audit) yang dilakukan di tempat perusahaan yang menjadi sasaran audit. 4. Tahap keempat, merupakan lingkup investigasi sebagai kelanjutan dari atas dasar ini pemeriksaan pabean yang dilaksanakan oleh pejabatbea cukai bersifat selektif dengan mempertimbangkan risiko yang melekat
31
Universitas Sumatera Utara
pada barang dan importir. Selektif dalam arti bahwa pemeriksaan fisik dilaksanakan setelah membuat suatu analisis risiko. Barang yang diimpor/ekspor dikategorikan ke dalam tiga tingkat risiko yaitu, tinggi (hi risk), tinggi (medium risk) atau rendah low risk, tergantung dari hasil analisis yang dilakukan petugas. Tindakan penetapan jalur merupakan bagian tidak terpisahkan dari kegiatan penelitian administrasi. Penetapan jalur pengeluaran barang impor didasarkan atas profil Importir, yang dibuat oleh bagian pencegahan dan/atau profil komoditi yang disusun berdasarkan perkembangan importasi jenis-jenis barang yang banyak dilakukan pelanggaran. Profil importir dan profil komoditi dari perusahaan yang pernah melewati penetapan jalur ini akan dijadikan acuan untuk menentukan profil risiko sebuah perusahaan. Profil risiko dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK. 09/2008 Tentang Penerapan Manajemen Risiko Di Lingkungan Departemen Keuangan adalah penjelasan tentang total paparan risiko yang dinyatakan dengan tingkat (level) risiko. Profil risiko inilah yang dijadikan dasar untuk menjaring perusahaan yang akan kita lakukan pemeriksaan fisik. Pemuktahiran profil risiko masih menjadi masalah bagi Bea dan Cukai karena masih dianggap statis. Profil risiko yang dimiliki di dalam database perlu perbaharui untuk mendapatkan akurasi penetapan jalur bagi perusahaan. Jika perusahaan pernah mekakukan pelanggaran baik pelanggaran administratif maupun pidana, maka akan mempengaruhi profil risiko tersebut.
32
Universitas Sumatera Utara
Keempat
jalur
ini
awalnya
dikategorikan
dengan
penerapan
manajemen risiko berdasarkan profil risiko, jenis komoditi barang, track record dan informasi-informasi yang ada dalam data base intelejen DJBC. Sistem penjaluran juga telah menggunakan penjaluran otomasi sehingga sangat kecil kemungkinan diintervensi oleh petugas DJBC dalam menentukan jalur-jalur tersebut pada barang tertentu. Terdapat 4 (empat) penjaluran secara teknis. Pada tahun 2007 DJBC telah memperkenalkan Jalur MITA, yaitu sebuah jalur fasilitas yang khusus berada pada kantor Pelayanan Utama (KPU). Jalur tersebut adalah:
1. Jalur prioritas yang khusus untuk importir yang memiliki track record sangat baik, untuk importir jenis ini pengeluaran barangnya dilakukan secara otomatis (sistem otomasi) yang merupakan prioritas dari segi pelayanan, dari segi pengawasan maka importir jenis ini akan dikenakan sistem Post Clearance Audit (PCA) dan sesekali secara random oleh sistem komputer akan ditetapkan untuk dikenakan pemeriksaan fisik. 2. Jalur hijau, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk kedua jalur tadi pemeriksaan fisik barang tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem, adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang.
33
Universitas Sumatera Utara
3. Jalur Kuning, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk jalur tersebut pemeriksaan dokumen barang tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem, adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang. 4. Jalur merah (red channel) ini adalah jalur umum yang dikenakan kepada importir baru, importir lama yang memiliki catatan-catatan khusus, importir dengan risiko tinggi karena track record yang tidak baik, jenis komoditi
tertentu
yang
diawasi pemerintah,
pengurusannya
menggunakan jasa customs broker atau PPJK perusahaan pengurusan jasa kepabeanan dengan track record yang tidak baik ( "biro Jasa" atau "calo"), dan lain sebagainya. Jalur ini perlu pengawasan yang lebih intensif
oleh
karenanya
diadakan
pemeriksaan fisik tersebut
bisa
pemeriksaan 10%,
fisik
barang.
30%
dan
100%.(https://id.wikipedia.org/wiki/Direktorat_Jenderal_Bea_dan_Cukai diakses pada 20 April pukul 22:50 wib)
Petugas Pabean diserahi pengawasan dan pelayanan sesuai dengan kebutuhan industri dan pengguna jasa lainnya dalam rangka upaya untuk menghindari ketidaklancaran arus barang impor maupun ekspor. Di satu sisi kepabeanan dituntut untuk dapat memberikan fasilitas sesuai dengan kebijakan pemerintah terutama dalam peningkatan investasi langsung.
34
Universitas Sumatera Utara
Kepentigan industri dan proses perdagangan yang membutuhkan ketepatan dan kecepatan waktu penyerahan barang. Di sisi lain melakukan pengawasan yang dianggap sebagai “hambatan birokrasi” berupa sistem dan prosedur kepabeanan yang rumit sebagai pelaksana ketentuan dari instansi teknis lain, di bidang pengawasan dan penegakan hukum pabean. Fungsi kepabeanan yang harus mendukung perdagangan dan juga tetap menjaga kepatuhan kepabeanan pada setiap stakeholder menyebabkan kepabeanan pada saat ini harus menerapkan pendekatan yang lebih efektif dalam menjalankan kedua peran tersebut secara baik. Salah satu cara terbaik untuk mencapai hal tersebut adalah dengan melakukan manajemen risiko. Kepabeanan harus mampu untuk menjaga dua risiko secara bersamaan, yaitu risiko kegagalan memfasilitasi perdaganan internasional dan risiko ketidakpatuhan pabean di dalam negeri.
I.6.3 Definisi Pengawasan Pabean Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar rencana dapat diwujudkan dengan efektif sehingga orgasnisasi tersebut dapat mencapai tujuannya pengawasan berfungsi menjaga agar seluruh jajaran berjalan di atas rel yang benar. Pengawasan dapat dilakukan dari jauh maupun dari dekat. Menurut Colin Vassarotti (Risk Management 1996:19) tujuan pengawasan Pabean adalah memastikan semua pergerakan barang, kapal, pesawat terbang, kendaraan dan orang-orang yang melintas perbatasan Negara berjalan dalam kerangka
35
Universitas Sumatera Utara
hukum, peraturan dan prosedur pabean yang ditetapkan. Untuk menjaga dan memastikan agar semua barang, kapal dan orang yang keluar/masuk dari dan ke suatu negara mematuhi semua ketentuan kepabeanan. Pengawasan dari jauh disebut pemantauan atau monitoring ini dapat dilakukan menggunakan sarana telepon, fax, atau radio. Wujud pengawasan cara ini adalah permintaan laporan kepada bawahan dan jawaban dari bawahan atas permintaan tersebut. Jika pengawasan dari jauh tidak efektif dapat dilakukan pengawasan langsung ke obyeknya. Dalam hal ini pengawasan yang dilakukan disebut sebagai pemeriksaan yang berarti pemeriksa berhadapan langsung dengan obyek yang diperlukan. Pengawasan adalah kegiatan untuk menjaga agar semua peraturan dipenuhi atau dijalankan.
Petugas yang melakukan pemeriksaan barang impor pada
hakikatnya melakukan pengawasan karena ia meneliti apakah importir memberitahukan jumlah dan jenis barang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Selama ini yang dianggap pengawasan adalah orang mengawasi orang misalnya kegiatan seorang petugas Bea Cukai yang mengawasi petugas lainnya yang sedang memeriksa barang. Petugas Bea Cukai yang meneliti dokumen juga melakukan pengawasan kepada importir yang mengajukan dokumen. Dalam Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KEP-32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998 tentang Organisasi dan Tatakerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dalam ketentuan ini terjadi perubahan tugas dan fungsi dimana Kantor Wilayah mempunyai fungsi operasi pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan.
36
Universitas Sumatera Utara
Penindakan dan penyidikan yang tidak dimiliki oleh Kantor Pelayanan, fungsi pengawasan berada di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan hanya berfungsi pelayanan. Dalam hal ini muncul pertanyaan apakah dengan demikian di Kantor Pelayanan Bea Cukai tidak dimungkinkan adanya operasi pencegahan pelanggaran peraturan perundang undangan, penindakan dan penyidikan. Yang menjadi acuan kegiatan pengawasan adalah rencana, program kerja, prosedur atau petunjuk pelaksanaan yang pada umumnya dituangkan dalam bentuk perundang-undangan baik itu Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen (Direktur Jenderal) dan sebagainya. Pengawasan bekerja dengan memakai semua undang-undang, prosedur dan tatacara yang telah ditetapkan sebagai tolok ukur atau pembanding. Setiap administrasi pabean harus melakukan kegiatan pengawasan. Kegiatan pengawasan pabean meliputi seluruh pelaksanaan wewenang yang dimiliki oleh petugas pabean dalam perundang-undangannya yaitu memeriksa: kapal, barang, penumpang,
dokumen,
pembukuan,
melakukan
penyitaan,
penangkapan,
penyegelan, dan lain-lain. Dalam modul pencegahan pelanggaran kepabeanan yang dibuat oleh WCO (World Customs Organization) disebutkan bahwa pengawasan pabean adalah salah satu metode untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran kepabeanan. Berdasarkan modul WCO tersebut dinyatakan bahwa pengawasan Bea Cukai yang mampu mendukung pendeteksian dan pencegahan penyelundupan paling tidak harus mencakup kegiatan : penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, dan audit pasca impor. Di samping tiga kegiatan itu, patroli juga merupakan
37
Universitas Sumatera Utara
pengawasan Bea Cukai untuk mencegah penyelundupan. Jika kita lihat uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan Bea dan Cukai tidak terlihat adanya fungsi pencegahan pelanggaran, penindakan dan penyidikan tetapi kalau dilihat pada fungsi seksi-seksi di dalamnya terlihat adanya fungsi patroli, pemeriksaan kapal, periksaaan barang, pemeriksaan badan, penelitian dokumen dan sebagainya yang merupakan kegiatan pengawasan (Customs Control) menurut terminologi WCO. Apabila ditinjau dari kegiatan kepabeanan mulai dari saat kedatangan kapal atau penumpang, pembongkaran barang, pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang atau penumpang, nampaklah bahwa fungsi-fungsi yang dimiliki seksiseksi di dalam Kantor Pelayanan telah dapat melaksanakan sebagian fungsi pengawasan. Petugas Kantor Pelayanan berwenang melakukan pengawasan pembongkaran, penelitian dokumen, pemeriksaan barang dan pemeriksaan penumpang. Yang tidak dapat dilaksanakan hanyalah kegiatan audit pasca impor, penindakan dan penyidikan karena ketiga kegiatan ini tidak tercantum dalam uraian tugas dan fungsi Kantor Pelayanan maupun seksi-seksi di dalamnya. Kegiatan penindakan dan penyidikan sebenarnya merupakan tindak lanjut dari pengawasan pabean. Pengawasan pabean yang dilakukan melalui penelitian dokumen, pemeriksaan fisik, audit pasca-impor, maupun patroli jika menemukan adanya pelanggaran atau tindak pidana akan ditindaklanjuti dengan penindakan atau bahkan penyidikan. Penelitian dokumen atau audit yang menemukan dokumen palsu akan segera ditindaklanjuti dengan penyidikan. Demikian juga apabila dalam
38
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan fisik ditemukan barang larangan/terlarang akan ditindaklanjuti dengan penyidikan. Jika petugas Bea Cukai di Kantor Pelayanan tidak mempunyai wewenang melakukan penindakan akan timbul masalah apabila dalam tugasnya ia menemukan pelanggaran. Pemeriksaan barang di pelabuhan adalah upaya pencegahan (preventif) agar tidak terjadi pelanggaran, demikian pula penelitian dokumen sebelum barang diizinkan keluar dari pelabuhan. Petugas Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan yang melakukan penelitian dokumen berarti memberikan pelayanan kepada masyarakat tetapi penelitian dokumen itu juga sekaligus suatu pengawasan pabean (Customs Control). Dari berbagai tipe pelanggaran sebagian besar adalah pengimporan atau pengeksporan di pelabuhan tempat pengawasan Bea dan Cukai. Untuk tipe pelanggaran ini informasinya lebih banyak dan lebih mudah diperoleh dari dokumen-dokumen yang diajukan pada Bea dan Cukai Kantor Pelayanan, tetapi untuk penyelundupan yang terjadi di luar tempat kedudukan Bea dan Cukai informasinya harus dicari langsung di lapangan. Intelijen (termasuk Surveillance) hanya dilakukan oleh petugas Kantor Wilayah tidak akan efektif dan tidak mungkin bisa meliputi seluruh wilayah karena terbatasnya jumlah petugas dan dana dibandingkan dengan luasnya wilayah. Secara teoritis bisa secara rutin dikirim satuan tugas Surveillance dari Kantor Wilayah untuk mengumpulkan dan mencari informasi ke seluruh wilayah tetapi secara teknis sulit kalau wilayahnya relative luas. Akan lebih mudah kalau
39
Universitas Sumatera Utara
kegiatan intelijen juga dilakukan oleh Kantor Pelayanan karena mereka berada didekat sumber informasi. Pada umumnya yang dianggap informasi bagi orang awam adalah pemberitahuan dari seseorang atau badan secara tertulis atau lisan bahwa akan terjadi penyelundupan yang dilakukan oleh seseorang. Informasi yang sudah matang ini di Bea Cukai lazim disebut hasil intelijen atau intelijen positif. Sebenarnya informasi tidak hanya sebatas yang sudah matang saja tetapi banyak informasi yang masih mentah berserakan disana-sini berada dalam dokumen Pabean maupun dokumen pelengkapnya, informasi ini kalau diolah juga akan menghasilkan informasi matang (intelijen positif) yang dapat digunakan mendeteksi penyelundupan atau pelanggaran Kepabeanan. Pengawasan pabean antara lain adalah penelitian dokumen, pemeriksaan fisik dan audit pasca-impor. 1) Untuk dapat melaksanakan pengawasan diperlukan informasi yang mencukupi dan khusus untuk Bea dan Cukai informasi yang diperlukan itu sebagian besar berada dalam dokumen pabean atau dokumen pelengkap pabean yang diserahkan kepada Bea dan Cukai di Kantor Pelayanan. Dengan demikian Kantor Pelayanan mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan Kantor Wilayah dalam penguasaan informasi ini dan lebih mudah melakukan pengawasan. 2) Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No: 32/KMK.01/1998 tanggal 4 Pebruari 1998 tentang Organisasi dan Tatakerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai titik berat fungsi pengawasan berada pada Kantor Pelayanan namun kalau dilihat dari ketersediaannya informasi dan akses ke arah informasi
40
Universitas Sumatera Utara
Kantor Pelayanan lebih potensial untuk melakukan pengawasan dalam pengertian dayto- day-operations.
3) Fungsi pengawasan yang bersifat pencegahan (Preventif) oleh Kantor Wilayah akan menghadapi kendala kurangnya informasi, jumlah tenaga dan biaya yang harus dikeluarkan tetapi untuk pengawasan yang tidak bersifat pencegahan misalnya verifikasi dan audit dapat dilakukan sepenuhnya.
4) Meskipun di dalam fungsi Kantor Pelayanan tidak tersebut adanya pencegahan, penindakan dan penyidikan namun seyogyanya kegiatan ini tetap dapat dilaksanakan di Kantor Pelayanan sebab kegiatan-kegiatan tersebut merupakan tindak lanjut dari pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang, pemeriksaan penumpang, hasil patroli. Informasi yang umumnya dipakai untuk kegiatan pengawasan berada di dalam dokumen Airway Bill (AWB), Bill of Lading (B/L), manifest, Pemberitahuan Impor Barang (PIB), Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Invoice, Polis Asuransi, Certificate of Origin, Letter of Credit (L/C), profit importir, data pemeriksaan kapal, data kapal, data Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanan, dan sebagainya yang berada di Kantor Pelayanan karena data tersebut berada dalam dokumen-dokumen yang harus diserahkan kepada Bea dan Cukai dalam rangka pelayanan. Kantor Wilayah hanya bisa memperoleh data tersebut apabila dikirim ke Kantor Pelayanan. Untuk bisa melakukan pengawasan Kantor Wilayah harus mempunyai informasi yang cukup. Informasi yang diperlukan ini justru berada di Kantor Pelayanan.
41
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya Kantor Pelayanan adalah institusi yang paling efektif untuk mendeteksi dan mencegah adanya pelanggaran atau penyelundupan karena menguasai informasi yang banyak. Informasi tentang muatan kapal, jumlah, dan jenisnya, importir dan eksportir semua ada pada Kantor Pelayanan. Petugas Kantor Pelayanan juga melihat dan mengawasi langsung penimbunan atau pemuatan dan dapat mendeteksi adanya kejanggalan yang merupakan indikator adanya pelanggaran. Hukuman atau sanksi sanksi yang diberikan diharapkan membuat jera pelakunya sehingga dikemudian hari tidak melakukan pelanggaran lagi. Jika dilihat dari banyaknya importir/eksportir yang melakukan kegiatan tentunya tidak seluruh perusahaan diaudit. Untuk menyeleksi perusahaan mana yang perlu dilakukan audit juga diperlukan informasi dan informasi yang diperlukan ini tersedia di Kantor Pelayanan. Jika tidak ada transfer informasi dari Kantor Pelayanan ke Kantor Wilayah akan sulit bagi Kantor Wilayah menentukan sasaran audit. Fungsi pengawasan di Kantor Pelayanan saat ini sebagian dilaksanakan oleh Seksi Kepabeanan yang melakukan kegiatan pemeriksaan dokumen, pemeriksaan barang, pemeriksaan penumpang, dan Seksi Manifest dan Informasi yang melakukan patroli dan pemeriksaan sarana pengangkut. I.6.4 Perdagangan Internasional Setiap negara berbeda dengan negara lainnya ditinjau dari sumber alamnya, iklimnya, letak geografisnya, penduduk, keahliannya, tenaga kerja, tingkat harga,
42
Universitas Sumatera Utara
keadaan sturuktur ekonomi, dan sosialnya. Keadaan ini menciptakan perbedaan barang yang diproduksi, biaya yang diperlukan, serta kualitas dan kuantitas barang. Karena itu mudah dipahami adanya negara yang lebih unggul dan lebih istimewa dalam memproduksi hasil tertentu. Hal ini dimungkinkan karena ada barang yang hanya dapat diproduksi di daerah dan diiklim tertentu atau karena suatu negara mempunyai kombinasi faktor-faktor produksi lebih baik dari negara lainnya, sehingga negara itu dapat menghasilkan barang yang lebih bersaing. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan menjaga tingkat harga barang dalam negeri, maka suatu negara melakukan kegiatan perdagangan internasional (ekspor dan impor) dengan negara lain. Sama halnya dengan perdagangan dalam negeri yakni melakukan transaksi “jual-beli” maka dalam perdagangan luar negeri pun dilakukan juga hal yang sama hanya saja tata caranya lebih sulit dan lebih rumit disebabkan faktor-faktor. Menurut Amir (2000:3), beberapa faktor yang membuat perdagangan luar negeri menjadi lebih sulit dan rumit, sebagai berikut: 1. Pembeli dan penjual terpisah oleh batas-batas kenegaraan; 2. Barang yang dikirim atau diangkut ke suatu negara lainnya malalui bermacam peraturan seperti peraturan pabean yang bersumber dari pembatasan yang dikeluarakan masing-masing pemerintah; 3. Antara satu negara dengan negara lainnya tidak jarang terdapat perbedaan dalam bahasa, mata uang, takaran, dan timbangan, hukum, dalam perdagangan, dan lain-lainnya.
43
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu dalam melakukan perdagangan luar negeri, diperlukan pengetahuan yang cukup misalnya dalam segi teknis pembiayaan baik impor maupun ekspor masalah peraturannya, masalah shipping, urusan pabean, dan lain-lain.
Banyak faktor yang mendorong suatu negara melakukan perdagangan internasional, di antaranya sebagai berikut : 1. Faktor Alam/ Potensi Alam 2. Untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa dalam negeri 3. Keinginan memperoleh keuntungan dan meningkatkan pendapatan negara 4. Adanya perbedaan kemampuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengolah sumber daya ekonomi 5. Adanya kelebihan produk dalam negeri sehingga perlu pasar baru untuk menjual produk tersebut. 6. Adanya perbedaan keadaan seperti sumber daya alam, iklim, tenaga kerja, budaya, dan jumlah penduduk yang menyebabkan adanya perbedaan hasil produksi dan adanya keterbatasan produksi. 7. Adanya kesamaan selera terhadap suatu barang. 8. Keinginan membuka kerja sama, hubungan politik dan dukungan dari negara lain. 9. Terjadinya era globalisasi sehingga tidak satu negara pun di dunia dapat hidup sendiri. Bea dan Cukai dibentuk pemerintah suatu negara untuk memeriksa barangbarang dan bagasi ketika memasuki suatu negara. Pemeriksaan ini diperlukan untuk melihat apakah pajaknya telah dibayar. Pemeriksaan jugauntuk mengecek barang-barang tersebut barang selundupan ataupun barang terlarang atau tidak. Cara yang digunakan dalam pemeriksaan antara lain dengan melihat dokumen barang,menggunakan detektor barang berbahaya, atau menggunakan anjing
44
Universitas Sumatera Utara
pelacak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Perdagangan_internasional di akses pada 26 Juni 2016 pukul 13.29) Perdagangan internasional dalam penelitian ini adalah kegiatan impor. Impor adalah proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara lain. Impor barang secara besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari perdagangan internasional. Oleh karena itu dalam melakukan perdagangan luar negeri, diperlukan pengetahuan yang cukup misalnya dalam segi teknis pembiayaan baik impor maupun ekspor masalah peraturannya, masalah shipping, urusan pabean, dan lain-lain.
I.6.5 Sistem Informasi Manajemen Sistem informasi manajemen merupakan salah satu aspek penting dalam organisasi. Sistem informasi manajemen adalah jaringan prosedur pengolahan data yang dikembangkan dalam suatu organisasi dan disahkan bila diperlukan untuk memberikan data kepada manajemen untuk dasar pengambilan keputusan dalam rangka mencapai tujuan. Data-data tersebut diolah untuk menjadi sebuah informasi. Sistem informasi manajemen adalah sebuah sistem manusia atau mesin yang telah terintegrasi dengan baik untuk menyajikan informasi yang berguna untuj menunjang fungsi operasi, manajemen, dan dalam pengambilan keputusan di suatu organisasi (Davis, 2002). Komponen yang menyusun sistem ini terdiri
45
Universitas Sumatera Utara
dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), prosedur pedoman, model manajemen keputusan dan sebuah database. Pada saat organisasi menetapkan visi, misi, tujuan dan sasaran perusahaan, maka terlebih dahulu perlu dilakukan identifikasi peristiwa potensial yang mempengaruhi pencapaian sasaran, mengukur level risiko, dan mengambil langkah penting untuk mengelola risiko, dll. Untuk mempermudah dan meningkatkan akurasi dalam pengelolaan risiko atau manajemen risiko diperlukan sebuah aplikasi sistem informasi manajemen risiko yang handal. Pengelolaan risiko harus terus menerus dilakukan terkait dengan berbagai perubahan lingkungan perusahaan baik internal maupun eksternal. Berikut Gambar Piramida dari Robert V. Head (dalam Davis, 2002:2)
Gambar 1.4 Sistem Informasi Manajemen (Robert V. H dalam Davis 2002:2)
46
Universitas Sumatera Utara
1. Lapisan terbawah terdiri dari informasi untuk pengolahan transaksi, penjelasan status. 2. Lapisan kedua terdiri dari sumber-sumber informasi yang mendukung operasi manajemen. 3. Lapisan ketiga terdiri dari sumber daya sistem informasi untuk membantu perencanaan
taktis
dan
pengambilan
keputusan
untuk
pengendalian
manajemen. 4. Lapisan keempat (puncak) terdiri dari sumber daya informasi untuk mendukung perencanaan dan perumusan kebijakan oleh tingkat puncak manajemen.
I.7
Definisi Konsep Konsep merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan
secara abstrak kejadian, keadaan, kelompok, atau individu yang menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Dengan konsep peneliti melakukan abstraksi dan menyederhanakan pemikiranya melalui penggunaan satu istilah untuk beberapa kejadian (events) yang berkaitan satu dengan yang lainya maka defenisi konsep untuk penelitian ini ialah: 1. Implementasi kebijakan adalah proses ataupun tindakan-tindakan terhadap kebijakan yang telah di tetapkan dan dijalankan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Implementasi Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Implementasi Peraturan Menteri Keuangan No. 191/PMK
47
Universitas Sumatera Utara
09/2008 dengan memperhatikan 4 variabel yang di kemukakan oleh George C. Edwards III Sebagai Berikut : a. Komunikasi b. Sumberdaya c. Disposisi d. Struktur Birokrasi 2. Manajemen Risiko adalahtindakan berkesinambungan yang dilakukan sejalan dengan untuk mengantisipasi risiko-risiko yang dihadapi organisasi yang akan berdampak terhadap organisasi. Secara umum proses manajemen risiko dapat dibagi ke dalam beberapa kegiatan. Paul Hopkins menggambarkan proses manajemen risiko dengan 7Rs dan 4Ts. 7Rs dan 4Ts tersebut antara lain: 1. Recognitian of Risk. 2. Ranking of Risk 3. Responding to significant risk: a. Tolerate. b. Treat. c. Transfer d. Terminate 4. Resource control 5. Reaction (and event) planning 6. Reporting of risk performance. 7. Reviewing the risk managementsystem.
48
Universitas Sumatera Utara
3. Pengawasan adalah suatu kegiatan untuk menjamin atau menjaga agar rencana dapat diwujudkan dengan efektif sehingga organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya pengawasan berfungsi menjaga agar seluruh jajaran berjalan di atas rel yang benar. 4. Sistem informasi manajemen adalah jaringan prosedur pengolahan data yang dikembangkan dalam suatu organisasi dan disahkan bila diperlukan untuk memberikan data kepada manajemen untuk dasar pengambilan keputusan dalam rangka mencapai tujuan.
I.8
Sistematika Penulisan
BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang, permasalahan yang menjadi rumusan pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistmematika penulisan
BAB II
: METODE PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
BAB III
:GAMBARAN UMUM DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN DAN PENGAWASAN PABEAN
49
Universitas Sumatera Utara
Bab ini berisikan gambaran umum mengenai lokasi penelitian dan karakteristik lokasi penelitian. BAB IV
: PENYAJIAN dan ANALISIS DATA Bab ini menyajikan data yang diperoleh selama penelitian di lapangan dan dokumentasi yang akan dianalisis. Bab ini berisikan analisis data dari data yang diperoleh saat melakukan penelitian dan memberikan interpretasi atas permasalahan yang diajukan.
BAB V
: KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini berisi kesimpulan dan saran yang diperoleh dari hasil penelitian.
50
Universitas Sumatera Utara