BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Rencana Amerika Serikat (AS) untuk membuat sistem pertahanan rudal di Polandia tercapai. Pada tanggal 8 Juli 2008, Menteri luar negeri AS Condolizza Rice dan Menteri luar negeri Polandia Radek Sikorski secara resmi menandatangani kesepakatan pembangunan sistem pertahanan rudal tersebut.1 Kesepakatan ini tentunya akan menyebabkan hubungan antara AS dengan Rusia semakin tegang. Salah satu bentuk konkrit dari akibat hubungan buruk AS-Rusia adalah perang antara Rusia dan Georgia terkait perebutan wilayah Ossetia Selatan yang terjadi baru-baru ini. Upaya AS untuk menarik Georgia ke dalam blok Barat (AS dan NATO) telah menyebabkan Rusia tidak ragu untuk menggunakan kekuatan militernya terhadap Georgia. Perang tersebut adalah puncak dari kemarahan Rusia terhadap AS yang terus-menerus memperluas pengaruhnya terutama di negaranegara yang merupakan bekas Uni Soviet. Perilaku AS tersebut dilihat sebagai suatu ancaman besar oleh Rusia yang merasa negara-negara tersebut adalah “back yard-nya.2 Tidak dapat dipungkiri bahwa rencana penempatan sistem pertahanan rudal AS di Polandia dan Republik Ceko adalah salah satu manifestasi dari
1
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/16/00175780/sistem.rudal.disepakati, akses tanggal 1 September 2009. 2 Yang di maksud back yard disini adalah negara-negara tetangga yang berbatasan langsung dengan Rusia, termasuk Negara-negara yang tergabung dalam CIS. Akbar, Rahadhian T .2008.Georgia: Krisis Baru Menuju Babak Baru Dalam HI , diakses dari http://portalhi.web.id/georgia-sebuah-outbreak/, tanggal 27 Mei 2009.
1
rencana global AS untuk semakin memperkuat supremasi militernya di seluruh dunia. Sejak tahun 2001, pasca tragedi 11 September, AS berencana membangun 8 sistem radar dan 3 pangkalan anti rudal di berbagai kawasan.3 Tempat-tempat strategis yang dipilih AS adalah Alaska, Inggris, Greenland, Polandia, Ceko, Negara Kaukasus, dan Jepang.4 Penempatan Rudal AS di Polandia dan Ceko terutama dimaksudkan oleh AS untuk menangkis serangan rudal dari Korea Utara dan Iran.5 Sikap bermusuhan yang ditunjukkan oleh Korea Utara dan Iran yang diduga kuat sedang membangun kekuatan senjata nuklir dipandang sebagai ancaman yang sangat membahayakan keamanan AS. Namun, bagi Rusia rencana AS tersebut adalah suatu bentuk ancaman yang sangat serius. Bila diamati, lokasi-lokasi rencana penempatan sistem radar dan sistem anti rudal tersebut menempatkan Rusia pada posisi terkepung dari segala penjuru. Ancaman terbesar yang dirasakan Rusia tentunya berasal dari Polandia dan Ceko karena kedua negara tersebut jaraknya paling dekat dengan Rusia. Bahkan bagi Rusia kedua Negara itu adalah halaman belakangnya. Kecurigaan Rusia bahwa sebenarnya penempatan Rudal AS di Polandia dan Ceko dimaksudkan untuk mengunci rudal Rusia semakin kuat karena beberapa solusi yang ditawarkannya ditolak oleh AS. Sejak awal, Rusia telah
3
“AS-Rusia Tegang” diakses dari http://www.oyr79.com/news/as-rusia-tegang/, tanggal 20 Agustus 2009. 4 ibid 5 Fact Sheet: U.S.-Poland Bilateral Defense Cooperation, http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2011/05/28/fact-sheet-us-poland-bilateral-defensecooperation, diakses 09 April 2012.
2
menawarkan pengggunaan bersama pangkalan radar milik Rusia yang ada di Azerbaijan.6 Pangkalan tersebut merupakan sebuah instalasi radar peringatan dini (early warning radar). Stasiun radar yang ada di pangkalan ini memiliki jangkauan 6000 km. Jangkauan tersebut mencakup Iran, Turki, India Irak dan seluruh Timur Tengah.7 Dengan fakta itu maka penolakan AS untuk menggunakan pangkalan tersebut telah menegaskan maksud AS yang sesungguhnya. Konflik AS-Rusia akan menyebabkan ketegangan di dalam hubungan internasional secara keseluruhan. Ketegangan utamanya akan terjadi di wilayah Eropa Timur dan Eropa Tengah. Wilayah ini sangat penting bagi AS dan Rusia yang sama-sama sedang memperkuat eksistensinya di dunia. Ketegangan lebih luas akan terjadi pada hampir semua negara. Negara-negara lemah yang selama ini merasa lebih dekat dengan salah satu dari dua kekuatan utama dunia tersebut akan berusaha bergabung dengan salah satu dari keduanya. Hal itu adalah sikap alami yang selalu terjadi di dalam sistem internasional. Seperti dikatakan oleh realis, negara-negara lemah akan melakukan balancing yaitu beraliansi dengan negara yang lebih kuat untuk mengimbangi negara lain yang mengancamnya.8 Persaingan antar aliansi ini sangat potensial menyebabkan perang terbuka. Hal ini terjadi ketika Iran, Korea Utara, Kuba, Venezuela dan Sebagian negara di Eropa Timur dan Tengah beraliansi dengan Rusia untuk mengimbangi AS yang
6
Rusia Siap Bangun Rudal Balistik Untuk Tandingi Rencana Misil AS di Eropa Timur, diakses dari http://www.voanews.com/indonesian/archive/2007-02/2007-02-19-voa8.cfm?moddate=2007-0219, tanggal 27 Mei 2009. 7 Ibid 8 Gunaryadi, Pasang-Surut di Tepi Barat dan Timur Atlantik Utara, diakses dari http://indocase.nl, tanggal 03 Agustus 2009.
3
semakin ekspansif. Di pihak lain sebagian besar negara beraliansi dengan AS untuk mendapatkan perlindungannya.9 Dalam penelitian ini, peneliti membahas respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia yang kemudian mendorong Rusia untuk menyesuiakan diri dengan berbagai perubahan perilakunya. Perubahan perilaku ini akan digunakan untuk memahami pola interaksi antara Rusia dengan AS.
I.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Mengapa Rusia merespon rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia dengan upaya memperkuat diri ( self defense)?”
1.3. Telaah Pustaka 1.3.1. Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Rusia dan politik luar negerinya pasca perang dingin memang menjadi hal yang unik bagi para akademisi maupun paraktisi hubungan internasional. Rusia pasca perang dingin tetap merupakan representasi kekuatan Uni Soviet era perang dingin, sejauh ini asumsi tersebut masih dapat
9
Asumsi Penulis, Mengingat berbagai fenomena yang terjadi yang mencerminkan adanya upaya pembendungan pengaruh yang dilakukakan kedua pihak yang berseberangan, Amerika Serikat & Barat di satu sisi serta Rusia, Kuba, Venezuela, dan Korea Utara di sisi yang lain sebagai pihak-pihak yang saat ini sering terlibat masalah dengan Amerika Serikat.
4
diperdebatkan, namun kemunculan kembali Rusia dalam politik internasional akhir-akhir ini nampaknya akan memberikan angin segar bagi para pendukung asumsi tersebut. Simaboera,10 berpendapat bahwa Rusia tengah melakukan manuver dan strategi dalam mempertahankan hegemoninya di kawasan Eropa. Menurut Simaboera, Strategi itu antara lain dengan memanfaatkan isu tentang keamanan energi Uni Eropa, dimana pasokan energi gas dan minyak utamanya berasal dari Rusia. Selain itu Rusia juga tengah gencar menjalin hubungan dengan negaranegara Eropa Tengah serta dunia Islam. Hal ini dilakukan Rusia untuk membendung perluasan NATO ke Timur. Indikasi ini menunjukkan bahwa Rusia tidak sejalan dengan semua kebijakan AS, khususnya tentang ekspansi NATO ke Timur. Senada dengan Simaboera, Akbar juga berpendapat bahwa Rusia juga merespon secara negatif gerakan separatisme Ossetia Selatan di Georgia.11 Dalam penelitiannya, Akbar mencoba menganalisa klaim Rusia atas konsep kedaulatan penuhnya. Kedaulatan ini diterapkan pada perspektif realis dalam hubungan internasional dimana negara memiliki kedaulatan penuh untuk melakukan apa saja terhadap yang melanggar batas wilayahnya. Pelanggaran batas wilayah ini kemudian konsepnya dikembangkan oleh Negara modern dengan konsep citizenship/kewarganegaraan.12 Rusia terpancing ketika Georgia mencoba masuk
10
Simaboera, Refrizon Reaksi dan Strategi Rusia Dalam Mempertahankan Hegemoninya di Kawasan Eropa, diakses dari http://astarizon.org/Artikel/manuver%20Rusia.pdf, tanggal 26 Mei 2009 (09.00 WIB). 11 Akbar, Rahadhian T. op cit 12 Ibid
5
menjadi anggota NATO. Keputusan untuk melakukan operasi militer di Ossetia selatan dimulai ketika ada serangan retaliasi Georgia. Sebaliknya, Georgia mengklaim bahwa Rusia terlebih dulu melakukan serangan pertama. Artinya, bahwa konfigurasi sejarah membuat hubungan kedua aktor ini semakin meruncing. NATO sebagai bagian dari “peradaban barat” masih ditolak oleh Rusia. Penelitian yang peneliti bahas dengan judul Respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia berbeda dengan penelitian awal di atas tetapi memiliki kesamaan dengan penelitian tentang Reaksi Rusia atas gerakan separatisme Ossetia Selatan di Georgia, namun
dalam
penelitian ini peneliti lebih fokus kepada kajian keamanan strategis, yang menekankan bagaimana Rusia
memberikan persepsi terhadap hal-hal yang
dianggap mengancam keamanan nasionalnya serta dengan cara apa Rusia merespon hal tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti membahas respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia yang kemudian mendorong Rusia untuk menyesuiakan diri dengan berbagai perubahan perilakunya. Perubahan perilaku ini akan digunakan untuk memahami pola interaksi antara Rusia dengan AS. 1.3.2. Landasan Teori 1.3.2.1. Teori Balance of Threat Pengembangan konsep yang paling menarik dari paradigma realis adalah munculnya perbedaan pemikiran antara kelompok “defensif” dan “ofensif”. Isu
6
keamanan tetap menjadi isu utama kedua kelompok tersebut, dimana keamanan dalam hubungan internasional merupakan salah satu aspek kepentingan nasional suatu negara. Konsep keamanan dalam hubungan internasional kontemporer masih terus menjadi definisi yang diperdebatkan. Menurut Walter Lippmann, ” A nation is secure to the extent to which it is not in danger of having sacrifice core values, if it wishes to avoid war and it is able, if challenged to maintain them by victory in such a war”13
Dari definisi diatas, secara tradisional setiap negara akan berusaha mengeliminasi segala kemungkinan ancaman yang berasal baik secara internal maupun eksternal, terutama yang mengancam komponen nilai-nilai inti negara tersebut. Ancaman yang dapat menjadi sesuatu yang fatal bagi keberlangusungan seluruh komponen negara datang dari ancaman secara militer. Sehingga, sebuah negara didorong oleh rasa tidak aman kemudian membangun suatu kekuatan militer yang ditujukan sebagai perlindungan dari ancaman militer tersebut. Sehingga, Liddell Hart mengartikan studi keamanan strategis sebagai “the art of distributing and applying military means to fulfill the ends of policy”14. Dalam hal ini, tujuan dari kebijakan suatu negara adalah mengeliminasi semua kemungkinan ancaman terhadap kepentingan nasional dan tercapainya keamanan nasional dengan penggunaan kekuatan militer strategis.
13
Walter Lippman, dalam Banyu Perwita, Anak Agung dan Mochamad Yani, Yanyan, 2005,“Pengantar Ilmu Hubungan Internasional”, PT.Remaja Rosda Karya, Bandung. hal 121. 14 John Baylis, et al., Strategy in the Contemporary World: An Introduction to Strategic Studies, New York: Oxford University Press, 2002, hal. 4.
7
Berbicara mengenai definisi dari keamanan, tidak akan terlepas dari persepsi atau sumber ancaman yang dimiliki oleh suatu negara. Menurut Arnold Wolfers, “Security is any objective sense, measures the absence of threats to acquire values, in a subjective sense, the absence of fear that such values will be attacked.”15 Dari pernyataan diatas, sebelum suatu negara melakukan tindakan balasan atau respon, sangatlah penting bagi suatu negara untuk terlebih dahulu menganalisis sumber-sumber dari ancaman tersebut. Stephen M. Walt, dalam teorinya Balance of Threat menyebutkan empat persepsi atau sumber-sumber ancaman terhadap suatu negara antara lain16 : Aggregate Power dimana bahwa semakin besar sumber kemampuan total suatu negara (dalam hal ini kemampuan militer), maka semakin besar pula potensi ancaman yang bisa mereka tunjukkan kepada negara lainnya. Geographic Proximity dimana kekuatan yang dekat dengan wilayah suatu negara menunjukkan ancaman yang lebih besar dari pada kekuatan yang jauh. Offensive Power dimana negara dengan kemampuan serangan yang besar lebih memungkinkan untuk menunjukkan ancaman yang lebih besar pula dari pada negara-negara yang menekankan kemampuan pertahanan. Aggresive Intentions dimana beberapa negara yang dirasakan berperilaku agresif mungkin bisa memancing negara lain untuk menyeimbangkan diri dengan mereka.
15 16
Arnold Wolfers, dalam Banyu Perwita, op cit Walt, Stephen M. 1987. Origins of Alliances, Ithaca: Cornell University Press, diakses dari http://books.google.co.id/books?id=EuwgRogAHwC&dq=the+origin+of+alliancess+by+steph en+walt&printsec=frontcover&source=bn&hl=id&ei=n6p7StbvE6aK6AOk09Va&sa=X&oi= book_result&ct=result&resnum=4#v=onepage&q=&f=false, tanggal 25 Mei 2009.
8
Ancaman terhadap keamanan nasional suatu negara dapat dimaknakan baik secara objektif yakni menilai dari ancaman yang aktual, maupun secara subjektif yakni mengacu terhadap tingkat persepsi yang dimiliki suatu negara terhadap suatu hal.17 Maka dari itu, pendefinisian suatu ancaman secara subjektif tergantung dari persepsi suatu negara yang dihadapkan kepada suatu fenomena tertentu. Persepsi inilah yang kemudian dijadikan acuan untuk mengidentifikasi suatu bentuk ancaman dan respon yang tepat untuk menanggulangi ancaman tersebut. Salah satu diantaranya adalah peningkatan kekuatan militer yang digunakan sebagai respon terhadap suatu ancaman.18 Adapun sumber ancaman yang dipersepsikan dari perkembangan kapabilitas suatu negara, salah satunya berasal dari eskalasi pertahanan suatu negara. Menurut Wheller dan Booth, dilema terhadap keamanan terjadi apabila persiapan militer suatu negara menciptakan ketidakpastian dalam pemikiran negara lain mengenai tujuan dari persiapan militer negara tersebut, apakah persiapan tersebut dalam rangka mempertahankan dirinya semata atau sebagai tindakan ofensif yang dapat mengubah status quo berdasarkan kepentingan negara tersebut.19 Maka dari itu negara yang membangun kekuatan sebagai upaya SelfDefense, tidak selalu dipersepsikan oleh negara lain sebagai tujuan damai.
17
Anak Agung Banyu Perwita, Redefinisi Konsep Keamanan : Pandangan Realisme dan NeoRealisme dalam Hubungan Internasional Kontemporer dalam Yulius P. Hermawan “Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional : Aktor Isu dan Metodologi”, Yogyakarta; Graha Ilmu, 2007 hal.29 18 Ibid, hal 30. 19 Wheller and Booth, dalam Daniel.S.Papp, 2002, Contemporary International Relations : Framework for Understanding, sixth edition. New York: Addison Wesley Longman, Inc, hal. 228.
9
Perbedaan persepsi tersebut dapat mendorong negara lain untuk menempuh jalan yang sama¸ yakni turut mengembangkan kapabilitas defensifnya dengan cara yang sama. Berdasarkan Source of Threat Stephen M.Walt, maka dapat dibuat pola sebagai berikut : Aggregate Power
Geographic Proximity
Source of Threat Offensive Power
Aggresive Intentions
Indikator Penempatan Rudal AS di Ceko & Polandia
Gambar 1.1. Operasionalisasi Source of Threat Stephen M. Walt Ancaman militer dan upaya penangkalan melalui penggunaan kapabilitas militer masih menjadi prioritas dalam kerangka pemikiran kajian keamanan kontemporer. Source of Threat diatas juga menunjukkan bahwa kapabilitas militer merupakan suatu variabel yang vital yang berfungsi untuk melindungi keamanan negara. Bahkan menurut Kegley, pelaksanaan politik luar negeri suatu negara seringkali didasarkan pada kapabilitasnya untuk menghalau ancaman secara militer.20 Hal ini didukung pernyataan Barry Buzan, bahwa karena sifatnya yang langsung dan destruktif, serangan militer terhadap suatu negara dapat diartikan sebagai suatu serangan terhadap segala aspek kenegaraan beserta institusinya, seperti aspek ekonomi¸ aspek politik, aspek sosial, dan aspek lainnya yang
20
Ibid, hal. 229
10
menjadi titik vital bagi kelangsungan negara tersebut.21 Buzan juga menambahkan bahwa kapabilitas militer merupakan hal yang familiar dengan Power dan security struggle, sehingga sektor militer memiliki
dinamika yang independen tanpa
terpengaruh oleh adanya gejolak politik yang ada. Kapabilitas militer pun menurutnya merupakan suatu hal yang defensif yang utamanya dijadikan respon untuk mempertahankan keamanan nasional oleh suatu negara.22 1.3.3. Konsep 1.3.3.1. Konsep Structural Detterence Untuk meneliti lebih lanjut dari respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal AS di Ceko dan Polandia, maka penulis juga menyertakan konsep Structural Detterence, konsep ini digunakan untuk mengukur sejauh mana penggunaan persenjataan militer sebagai suatu respon terhadap kebijakan yang dilakukan negara lain. Detterence merupakan suatu tindakan negara yang ditujukan untuk menekan pengaruhnya terhadap negara lain, sehingga negara tersebut berperilaku sesuai dengan kepentingan negara tersebut. Definisi tersebut, datang dari konsep Detterence klasik¸ yang lahir dari tradisi intelektual realis yang terafiliasi dengan Power Politics dan Realpolitics¸ dimana negara pada dasarnya memiliki sifat untuk memaksimalkan kekuatannya atau menggunakan lingkungan sekitarnya untuk memaksimalkan keamanannya.23
21
Barry Buzan, People, State¸and Fear : An Agenda for International Security Studies in the PostCold War Era (2nd edition), London: Wheatsheaf Books, 1991, hal.312 22 ibid 23 Frank C. Zagare dan D. Marc Kilgour, “Perfect Detterence”.Cambridge, Cambridge University Press,2000 hal.11
11
Konsep Detterence klasik terdiri dari dua konsep yang lahir pada era Perang dingin yakni Structural Detterence dan Decision-Theoric Detterence. Konsep Structural Detterence dipilih oleh penulis sebagai variabel kerangka pemikiran karena sifatnya yang relevan untuk menjelaskan Detterence persenjataan militer sebagai respon militer Rusia terhadap rencana penempatan rudal AS di Ceko dan Polandia. Konsep Structural Detterence merupakan salah satu gagasan yang berkembang ditengah-tengah kemelut persaingan antara AS dan Uni Soviet. Menurut konsep yang dikemukakan oleh Frank C. Zagare tersebut, secara tradisional Detterence dapat berkembang karena faktor-faktor sebagai berikut: •
Perlombaan senjata baik secara kuantitatif dan kualitatif yang mampu mempengaruhi persepsi suatu negara terhadap kapabilitas negara lain.
•
Sistem pertahanan suatu negara yang komprehensif dan efektif, sehingga mampu untuk menimbulkan kecurigaan terhadap negara lain
•
Proliferasi senjata nuklir yang tidak selektif, sehingga mengundang kecurigaan negara lain terkait maksud proliferasi senjata nuklir tersebut. Dalam konsep tersebut, Zagare menambahkan bahwa Detterence
ditentukan oleh jumlah dan karakteristik persenjataan yang dimiliki suatu negara dengan kebijakan strategis para pengambil keputusan di negara tersebut dalam penggunaan senjata tersebut, termasuk: 24 •
Kebijakan atas pemilihan sasaran penggunaan senjata tersebut. Sasaran yang dituju pada umumnya sebagai Counterforce terhadap
24
Ibid hal 13
12
persenjataan dan kapabilitas negara lawan dan Countervalue terhadap infrastruktur negara lawan •
Kebijakan atas intensitas pengggunaan senjata tersebut. Intensitas penggunaan atau Rates of Fire berada diantara titik nilai maksimum dimana suatu negara menggunakan seluruh persenjataannya seefektif mungkin dan titik nilai minimum dimana suatu negara menyimpan seluruh persenjataannya untuk digunakan kemudian hari.
Maka dari itu, sangatlah penting untuk menyertakan elemen dari teknologi persenjataan sebagai salah satu instrumen dari kebijakan keamanan nasional suatu negara. Tujuannya adalah untuk Penggunaan kekuatan militer sebagai defensive means dari ancaman- ancaman eksternal secara tradisional.25 Sehingga menurut Andre Beaufre dalam teori Preemptive Counterforce Capacity, penggunaan seluruh basis kekuatan dan teknologi militer mempengaruhi “ Second phase of strategy planning of possessing such a destruction capacity that a first strike would annihilate any enemy respond capacity “26 sehingga pada dasarnya respon militer suatu negara sebagai kebijakan pertahanan suatu negara sangat bergantung kepada perkembangan teknologi militer yang menjadi evaluasi dari kapabilitas destruktif suatu negara yang mampu mengeliminasi kemampuan negara lain untuk melakukan respon secara militer. Dalam hal ini, Zagare menambahkan bahwa teknologi nuklir merupakan sesuatu yang diperlukan dalam menunjang stabilitas internasional. Asumsi ini
25
Barry Buzan, Ole Waever, and Jaap de Wilde, Security : A New Framework for Analysis, Boulder: Lynne Rienner Publisher, hal 116 26 Andre Beaufre, Strategy for Tomorrow, New York: Crane, Russak & Co.Inc., 1974, Hal 6.
13
datang dari pemikiran Stuctural deterrence yang umumnya dikenal pada masa Perang Dingin, dimana karena sifat senjata nuklir yang sangat destruktif, maka konsekuensi yang ditanggung oleh negara-negara yang memiliki kapabilitas nuklir menjadi sangat besar. Maka dari itu, banyak negara-negara yang meskipun memiliki pengembangan teknologi senjata nuklir yang mampu menjadi Detterence bagi negara lain namun tidak ingin menggunakannya secara ofensif dan frontal. Sehingga, pada tataran ini kendati menciptakan detterence¸ senjata nuklir seringkali dijadikan sebagai instrumen defensif yang digunakan sebagai salah satu instrumen respon militer suatu negara terhadap serangan dan deterrence negara lain.27 1.3.3.2. Konsep Balancing Teori balance of threat juga menjelaskan beberapa kondisi yang memungkinkan suatu negara berperilaku balancing,28 Pertama, Power and Weakness29, Semakin kuat negara, maka dia akan cenderung untuk balancing. Negara-negara lemah akan melakukan balancing ketika terancam oleh negaranegara dengan kemampuan yang rata-rata sama. Kedua, Availability of Allies, Ketika terancam oleh kekuatan besar, negara akan mencari sekutu yang potensial dengan posisi dan kepentingan yang sama. Ketiga, Peace and War, negara cenderung untuk balancing dalam keadaan damai atau pada masa awal perang, karena mereka mencoba untuk melawan kekuatan yang mengancam mereka.
27
Frank C. Zagare op cit hal. 14-16 Walt,Stephen M.1987.Alliances: Balancing and Bandwagoning dalam Robert J.Art & Robert Jervis, International politics; Enduring Conceps and Contemporary Issues,Eighth Edition, Pearson Education Inc, hal 99-101 29 Yang di maksud dengan kekuatan adalah kemampuan militer suatu negara 28
14
Alaziz, berpendapat bahwa untuk dapat mengidentifikasikan beberapa aspek yang berbeda, beberapa negarawan biasanya akan melakukan pertimbangan ketika memutuskan, dalam situasi tertentu, untuk memutuskan posisi balancing. Maka dibutuhkan beberapa indikator penunjang seperti di bawah ini.30 Pertama, Structure of the world order, dimana distribusi kekuasaan pada aktor internasional yang berbeda mempengaruhi keputusan negara untuk balancing. Dalam dunia yang bipolar atau multipolar, beberapa negara lebih memungkinkan untuk balancing karena mereka mencoba untuk melakukan persaingan antar negara yang berpredikat super power. Kedua, The Vulnerability of state, Prilaku balancing adalah hal yang menantang dari sikap agresif yang memerlukan dukungan sosial rasional agar bisa ditopang dan ditinjau kembali. Demokrasi adalah satu-satunya jalan untuk mengamankan dukungan publik yang bisa diperbaiki. Dengan cara yang sama, balancing memerlukan semacam ketergantungan bersama antara negara yang mengancam dan yang terancam. Dalam hal ini, tampaknya Rusia memilih menjalankan posisi balancing yaitu dengan cara menghimpun dukungan dan merangkul negara- negara yang berposisi sama (anti AS dan NATO) seperti Iran, Korea Utara, Kuba, Venezuela dan bahkan Shanghai Six.31 Hal ini dilakukan untuk mengimbagi AS dan NATO yang semakin ekspansif.
30
Alaziz.2003. Balance of Threat perception And the prospects of NATO Mediterranean Dialogue.University of Helsinki, diakses dari http://www.nato.int/acad/fellow/01-03/alaziz.pdf, tanggal 7 Agustus 2009. 31 Anggota Shanghai Six antara lain Rusia, China, Kazakhstan, Kyrgystan, Tajikistan, dan Uzbekistan, diakses dari http://www.antara.co.id/arc/2008/11/29/rusia-akan-gelar-rudal-baruberkemampuan-nuklir-mulai-2009/
15
1.4. Definisi Konseptual Balancing adalah tindakan suatu negara untuk mencegah negara lain memperbesar power terlalu jauh.32 Dari definisi ini, dapat kita simpulkan bahwa perilaku balancing merupakan reaksi atau respon dari aksi suatu negara. Keyakinan bahwa semua negara mempunyai kecenderungan alamiah untuk memperbesar kekuasannya menjadi alasan bagi suatu negara untuk berprilaku balancing.33 1.5. Definisi Operasional Karena balancing merupakan respon negara atas perilaku negara lain yang memperbesar powernya, maka variabel yang dapat digunakan adalah kapabilitas militer dan aliansi pertahanan. Untuk mengukur variabel tersebut maka diperlukan indikator-indikator sebagai berikut: - Modernisasi kemampuan militer - Kecenderungan membentuk aliansi dengan negara yang lebih kecil / lemah. 1.6. Variabel Penelitian Penelitian ini memiliki dua variabel yaitu independen dan dependen, variabel independen adalah variabel yang digunakan untuk menjelaskan tingkah laku dari variabel dependen, sedangkan variabel dependen adalah variabel yang tingkah lakunya akan dianalisa, diramalkan dan diprediksi oleh variabel
32
Mohtar, Mas’oed .1994, Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi, Jakarta, PT. Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 133 33 Ibid hal. 135
16
independen.34 Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia sedangkan variabel independennya adalah rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut : Menjelaskan Variabel Independen
Variabel Dependen
Rencana penempatan rudal
Respon Rusia
Pertahanan AS di Ceko dan Polandia
Gambar 1.2. Variabel Independen dan dependen 1.7. Hipotesis Jawaban sementara peneliti dari penelitian ini adalah bahwa Rusia merespon rencana penempatan rudal AS di Ceko dan Polandia dengan memodernisasi kemampuan militernya sebagai upaya Self-Defense untuk mempertahankan keamanan nasionalnya. Selain itu, Rusia juga berperilaku balancing, yakni dengan merangkul negara- negara yang berposisi sama (anti AS dan NATO) seperti Iran, China, Korea Utara, Kuba, Venezuela. Perilaku ini mencerminkan kepentingan Rusia terhadap keamanan internal Rusia dan kawasan Eropa Timur yang juga ditunjang oleh adanya negara-negara yang berposisi sama dan mempunyai kepentingan yang sama dengan Rusia (anti AS dan Barat).
34
Ibid hal. 35
17
1.8. Metodologi Fokus kajian dalam penelitian ini adalah tentang studi keamanan strategis dimana nantinya masalah akan dikaji melalui perspektif keamanan realis, dengan state / negara bangsa sebagai unit analisisnya. Analisa state centric lebih menjanjikan penjelaskan politik internasional, melalui hubungan kausal, yang sangat membatasi dan menentukan perilaku negara. Melalui pendekatan positivis, diharapkan penelitian ini akan mampu menjelaskan respon Rusia terhadap rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia sehingga penarikan kesimpulan akan mampu atau mewakili jawaban dari pertanyaan penelitian. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah Deskriptif Analitik dengan mempergunakan data-data sekunder yang di dapat dari media massa baik cetak maupun elektronik dan data-data dari beberapa kajian pustaka yang turut mendukung
jalannya
penelitian.
Sedangkan
analisis
data
dengan
cara
menghubungkan atau breakdown data-data yang diperoleh dengan teori dan konsep yang ada dalam kajian pustaka. Untuk membatasi permasalahan, Peneliti menggunakan periode kepemimpinan Vladimir Putin sebagai presiden Rusia periode kedua, yakni pada tahun 2004-2008.
18
I.9. Struktur Penulisan Bab I Dalam bab ini akan dibahas tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, telaah pustaka, serta metodologi yang dipakai dalam penelitian ini. Bab II Bab ini akan membahas sistem pertahanan militer Amerika Serikat pasca perang dingin dan Rencana penempatan rudal di Ceko dan Polandia. Bab III Bab ini akan menjelaskan bagaimana respon Rusia terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh rencana penempatan rudal pertahanan AS di Ceko dan Polandia, terutama menyoal motivasi Rusia melakukan modernisasi terhadap militernya dan penerapan strategi pembentukan aliansi baru. III. 1. Respon Militer A. Modernisasi Peralatan Militer B. Kenaikan Anggaran Militer III. 2. Respon Politik A. Kerjasama Negara-Negara Kontra AS B. Upaya Membentuk Pakta Pertahanan Baru Bab IV Dalam bab ini akan dilakukan penarikan kesimpulan berdasarkan hasil dari analisis data pada bab sebelumnya.
19
I.10. Alur Penelitian Alur penelitian ini akan peneliti jabarkan dalam bentuk bagan di bawah ini : Rencana Rudal Pertahanan AS di Ceko & Polandia
Terhadap
Respon Rusia
• Source of Threat Stephen M.Walt • Konsep Structural Detterence • Konsep Balancing
20