eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2016, 4 (1) 075-088 ISSN 2477-2623, ejournal.hi.fisip-unmul.ac.id © Copyright 2016
PENOLAKAN KOREA SELATAN UNTUK BERGABUNG KE DALAM SISTEM PERTAHANAN RUDAL AMERIKA SERIKAT DI ASIA TIMUR Dewi Permatasari1 Nim. 1102045057 Abstract The rejection of South Korea to join the US missile defense system in East Asia is a form of South Korea’s decision not to join in the defense system which is influenced by the internal and external scope. The aim of this study is to explain factors and background which explains South Korea’s rejection on joining the missile defense. This problem is analyzed by using decision making theory. The type of research that used by the author is explanatory, the data presented are secondary which obtained by library research and the data analysis technique used is qualitative. The results of this research indicated that the factors which led South Korea’s refusal to join the US missile defense system in East Asia was based on internal and external factors. The internal factor is refusal of South Korea society who does not approve of South Korea to join the US missile defense system because it will be able to undermine all the goals, and national interest of South Korea, such as creating peace in the Korean Peninsula and Inter-Korean reunification. The external factor is the relationship between South Korea and China. Keywords : Anti-Ballistic Missile Shiled, United States, East Asia, South Korea Pendahuluan Penempatan sistem pertahanan rudal balistik Amerika Serikat di kawasan Asia Timur dimulai sejak bulan Juni tahun 2006. Sistem ini merupakan sistem Sensor radar peringatan dini X-Band yang dikerahkan ke Pangkalan Udara Militer Pasukan Bela Diri Jepang (The Japan Air Self-Defense Force – JASDF) di Tsugaru, Prefektur Aomori, Jepang. Penempatan radar X-Band tersebut merupakan bagian penting dari proyek pertahanan rudal bersama Jepang dan Amerika Serikat (Natalia Bubnova, 2013: 294). Selain itu Amerika Serikat juga menempatkan dua sistem pertahanan tambahan yakni sistem pencegat Patriot Advanced Capabilitu 3 (PAC-3) serta kapal penjelajah USS Shiloh yang dilengkapi dengan sistem rudal pencegat Standard Missile-3 (SM-3) ke Pangkalan Angkatan Laut dan Udara Amerika Serikat di Jepang. Penempatan kedua sistem ini dilakukan untuk melindungi sebagian besar pasukan Amerika Serikat yang berada di Jepang serta untuk melindungi wilayah Jepang dan Amerika Serikat sendiri dari ancaman serangan rudal Korea Utara. 1
Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman. Email:
[email protected]
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016: 075-088
Rudal balistik Korea Utara telah menjadi ancaman bagi pasukan Amerika Serikat di wilayah tersebut, dan juga menjadi ancaman yang nyata bagi Jepang dan Korea Selatan tentunya. Rudal merupakan elemen penting dari strategi Pyongyang untuk mempertahankan diri dari kekuatan pengaruh asing (Awani Irewati, RR Emilia Y, dan Firman, 2007: 26). Korea Utara telah menunjukan ambisi nuklirnya dengan terus melakukan pengujian terhadap teknologi rudal balistiknya, dimana rudal-rudal ini diyakini telah memiliki kemampuan untuk menyerang wilayah Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Amerika Serikat. Korea Utara juga tengah mengembangkan teknologi rudal jarak jauh (Intercontinental Ballistic Missile – ICBM) yang kini menjadi perhatian khusus Amerika Serikat beserta sekutu-sekutunya di Kawasan Asia Timur. Untuk menghadapi potensi ancaman serangan rudal balistik Korea Utara tersebut dan juga untuk memperkuat jaringan (Ballistic Missile Defense – BMD) di kawasan Asia Timur, Amerika Serikat berupaya untuk melibatkan Korea Selatan ke dalam kerjasama pertahanan rudal balistik BMD yang telah dibentuk oleh Amerika Serikat dan Jepang sejak tahun 2006. Bagi Amerika Serikat, Korea Selatan sangat penting untuk memperkuat aliansi sistem pertahanan anti rudal di kawasan Asia Timur. Amerika Serikat kemudian telah merencanakan berbagai upaya agar Korea Selatan dapat terlibat ke dalam kerjasama BMD regional di Asia Timur seperti keinginan Amerika Serikat untuk membentuk suatu pertahanan rudal balistik trilateral antara Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, menyepakati kerjasama interoperabilitas dan pakta pertukaran informasi, serta berupaya untuk menempatkan sistem pertahanan anti rudal THAAD di Korea Selatan. Namun dengan segala bentuk upaya Amerika Serikat untuk melibatkan Korea Selatan ke dalam sistem pertahanan rudal di Asia Timur mendapatkan reaksi penolakan dari Korea Selatan yang dinyatakan oleh Kementerian Pertahanan Korea Selatan pada tanggal 22 Februari 2015, bahwa Korea Selatan menolak untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan rudal Amerika Serikat di Asia Timur. Kerangka Dasar Teori dan Konsep Pembuatan Keputusan (Decision Making Theory) Keputusan adalah komitmen yang berdasarkan pada analisis tentang informasi yang ada dan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan tindakan terhadap lingkungan (Mas’oed, 1989: 119). Proses pengambilan keputusan secara sederhana didefinisikan sebagai suatu langkah dalam memilih berbagai alternatif yang ada. Hal yang cukup mendasar dalam teori pengambilan keputusan adalah persepsi. Dalam teori pengambilan keputusan, para pengambil keputusan menganggap pandangan tentang dunia dari sudut tertentu (The world as viewed) lebih penting dibandingkan dengan realitas objektif itu sendiri. Dalam proses pengambilan keputusan, kejadian-kejadian eksternal dan tuntunan internal merupakan suatu hal yang perlu dipertimbangkan para pengambil keputusan. Teoritisasi hubungan internasional yang menerapkan pendekatan pembuatan keputusan dalam analisis politik luar negeri adalah Richard C. Snyder. Snyder mengungkapkan bahwa berbagai internal dan eksternal setting mempengaruhi prilaku politik luar negeri suatu negara (Yanyan Mochamad Yani, 2008: 5). Dalam prosedur
76
Penolakan Korea Selatan Bergabung dalam Pertahanan Rusal AS (Dewi Permatasari)
yang dikemukakan oleh Snyder, faktor apapun yang menjadi determinan dalam politik luar negeri akan diperhatikan dan dipertimbangkan oleh para pembuat keputusan (decision makers). Kelebihan dari model ini yaitu dimensi manusia dianggap lebih efektif dari politik luar negeri itu sendiri. Maka dari itu, faktor-faktor yang paling penting yang dapat menjelaskan pilihan-pilihan politik luar negeri adalah: 1. Motivasi dari para pembuat keputusan (nilai-nilai dan norma yang dianut), merupakan suatu dorongan untuk menggunakan kesempatan yang dimiliki dan menekankan mengapa suatu keputusan tersebut diambil. 2. Arus informasi diantara mereka (jaringan informasi), untuk mengetahui sumbersumber yang dapat menjadi masukan bagi perumusan politik dan kebijakan luar negeri. 3. Pengaruh dari berbagai politik luar negeri terhadap pilihan mereka sendiri, menekankan tentang persepsi mengenai lingkungan internasional yang mempengaruhi pembuatan kebijakan tersebut. 4. Keadaan atau situasi untuk mengambil keputusan (occasion for decision) yang ada pada waktu keputusan itu dibuat, apakah sedang dalam krisis atau tidak dalam krisis suatu keputusan tersebut diambil. Dengan demikian akan banyak variabel-variabel yang dapat mempengaruhi suatu aktor. Kerangka variabel yang dimaksud adalah lingkungan eksternal dan lingkungan internal yang melekat pada aktor, termasuk juga struktur sosial dan perilaku. Variabel-variabel tersebut dibagi menjadi beberapa poin, yang membuat teori tersebut menjadi lebih kompleks. (lihat diagram 1.1) dibawah ini : Diagram 1.1 Model Snyder Tentang Proses Pembuatan Keputusan
Berdasarkan faktor-faktor tersebut terbentuk variabel-variabel yang dapat mempengaruhi suatu aktor. Kerangka variabel yang dimaksud adalah lingkungan internal dan eksternal lingkungan yang melekat pada aktor. Internal dan eksternal setting memiliki kedudukan yang sama dan saling mempengaruhi dalam pembuatan keputusan luar negeri. Internal setting sangat dipengaruhi oleh beberapa variabel
77
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016: 075-088
dalam negeri seperti lingkungan non-manusia, masyarakat, lingkungan manusia serta penduduk dan kebudayaan. Eksternal setting dapat dipengaruhi oleh beberapa variabel, antara lain lingkungan non manusia, budaya-budaya luar, masyarakat luar dan tindakan pemerintah lainnya dalam hal ini tindakan negara lain. Berdasarkan internal dan eksternal setting, para pembuat kebijakan berusaha menyeimbangkan faktor-faktor tersebut dalam perumusan kebijakan luar negeri. Metode Penelitian Jenis Penelitian yang digunakan untuk penelitian ini merupakan eksplanatif, yaitu menjelaskan alasan Korea Selatan menolakan untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan rudal Amerika Serikat di Asia Timur. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui telaah pustaka, yakni dengan mengumpulkan data-data yang relevan dengan subyek permasalah yang berasal dari literature seperti buku, situs internet dan lain-lain. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini adalah library research dan teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis kualitatif. Hasil Penelitian Masalah Rudal Balistik Di Kawasan Asia Timur : Perkembangan Rudal Balistik Korea Utara Sejak tahun 1965 Korea Utara telah mengembangkan kapabilitas rudal balistik, yang diawali dengan mendirikan Akademi Militer Hamhung di bawah Kementerian Pertahanan Korea Utara untuk mendukung pengembangan senjata modern, termasuk rudal balistik (Josep S. Bermudez Jr, 1999: 7). Korea Utara juga mendapatkan bantuan berupa sistem pertahanan anti rudal serta pelatihan untuk mengembangkan dan memproduksi kapabilitas rudal balistik sendiri dari Uni Soviet yang merupakan mitra penting dan sekutu utama Korea Utara pada masa itu. Pada tahun 1975 menjadi bukti nyata bahwa Korea Utara telah memulai program rudal balistiknya. Ini dimulai ketika Kim Il Sung memimpin Korea People’s Army (KPA) dan Ministry of Atomic Energy Industri (MAEI) untuk memulai mengimplementasikan desain program nuklir Korea Utara, termasuk melakukan ekspansi besar-besaran terhadap fasilitas nuklir dan pembangunan infrastruktur program senjata nuklir di Yongbyong. Secara spesifik alasan Korea Utara mengembangkan senjata nuklirnya adalah untuk meningkatan kapabilitas dalam melindungi wilayahnya dari ancaman serangan nuklir Amerika Serikat, ketidakstabilan hubungan Korea Utara dan Uni Soviet, kekuatan militer dan ekonomi Korea Selatan yang semakin meningkat, serta penggunaan rudal taktis oleh Mesir dan Suriah selama perang pada tahun 1973. Pada tahun 1979 Korea Utara juga mulai bekerjasama dengan Mesir dalam pengembangan rudal balistik (Josep S. Bermudez Jr, 1999: 9). Atas kerjasamanya tersebut Korea Utara memperoleh rudal Scud-B dan sejumlah rudal R-17E, yang kemudian dimodifikasi hingga menghasilkan rudal Hwangsong-5 dan di uji coba pada bulan April tahun 1984. Korea Utara juga mulai memproduksi rudal jarak pendek – menengah yakni rudal Nodong atau Rodong-1 yang mampu untuk menyerang seluruh wilayah Jepang, termasuk pangkalan Amerika Serikat di Okinawa, Jepang serta di wilayah Pasifik dan juga memproduksi rudal balistik jarak jauh yakni rudal TaepoDong-1 yang diuji coba pada tahun 1998 dengan kemampuannyayang dapat
78
Penolakan Korea Selatan Bergabung dalam Pertahanan Rusal AS (Dewi Permatasari)
menjangkau objek vital di Jepang serta rudal Taepo-Dong-2 yang di uji coba pada tanggal 5 Juli 2006 diyakini memiliki kemampuan hingga menjangkau Alaska, Hawaii dan bagian barat dari Amerika Serikat. Korea Utara juga mulai membangun rudal balistik antar benua terbaru seperti rudal KN-08 yang merupakan rudal mobile dengan tiga tahap dan berbahan bakar padat. Para analis barat percaya bahwa Korea Utara tidak memiliki pengalaman dan kemampuan untuk mengembangkan rudal balistik antar benua berbahan bakar padat. Namun Kepala Komando Pertahanan Ruang Angkasa Amerika Utara (North American Aerospace Defense Command – NORAD) Admiral Bill Gortney menyampaikan pada tanggal 7 April 2015, bahwa rudal balistik Korea Utara tersebut sudah pada tahap operasional dan jika KN-08 betul-betul masuk pada jajaran operasional arsenal nuklir Korea Utara, maka akan sangat sulit menangkal dan menanggulanginya. Amerika Serikat percaya Korea Utara mempunyai kemampuan untuk menempatkan kepala nuklir atau hulu ledak pada rudal balistik KN-08 dan akan menembakkannya ke daratan Amerika Serikat (http://www.stripes.com/news/norad-commander-north-korean-kn-08-missileoperational-1.338909). Dengan adanya ancaman rudal Korea Utara tersebut, menurut Deputi Direktur Urusan Politik-Militer wilayah Asia di Departemen Pertahanan Amerika Serikat David Stiwell, mengatakan bahwa kondisi ini akhirnya telah menciptakan suatu kebutuhan bagi sistem pertahanan anti rudal balistik Amerika Serikat yakni sistem THAAD untuk di tempatkan di Semenanjung Korea sebagai pelindungan terhadap wilayah sekutu, pasukan Amerika Serikat serta untuk wilayah Amerika Serikat sendiri. Pengembangan Sistem Pertahanan Anti Rudal Amerika Serikat di Asia Timur Untuk menghadapi potensi ancaman rudal balistik di kawasan Asia Timur, Amerika Serikat telah membuat suatu pertahanan rudal balistik (Ballistic Missile Defense – BMD) sebagai komponen utama untuk perlindungan terhadap pasukan Amerika Serikat yang ditempatkan di seluruh dunia, dan juga sebagai perlindungan terhadap keamanan sekutu. Amerika Serikat kemudian mengerahkan aset-aset BMD-nya dengan mengirimankan dua kapal perusak yang juga dilengkapi dengan fasilitas persenjataan anti rudal ke pasifik barat, serta juga telah mengerahkan sistem rudal pencegat PAC-3 dan THAAD di wilayah Alaska dan Guam.Amerika Serikat juga membentuk kerjasama BMD dengan negara-negara di kawasan Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan agar dapat menyebarkan sistem pertahanannya di kawasan tersebut. 1. Kerjasama Pertahanan Anti Rudal Balistik Amerika Serikat dan Jepang Jepang merupakan salah satu mitra penting Amerika Serikat dalam pembangunan sistem pertahanan di kawasan Asia Timur (Natalia Bubnova, 2013: 293). Tokyo memandang perlu untuk memulai penelitian terhadap BMD setelah terjadinya tiga kali peluncuran rudal Taepo-Dong-1 yang dilakukan oleh Korea Utara pada tahun 1998, dimana rudal tersebut terbang melintasi wilayah Jepang dan kemudian akhirnya jatuh di Samudera Pasifik. Pada bulan Desember tahun 1998 secara formal Jepang telah memulai kerjasama sistem pertahanan rudal dengan Amerika
79
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016: 075-088
Serikat ketika kabinet menyetujui riset teknologi gabungan dari sistem Navy Theater Wide Defense (NTWD). Pada tanggal 9 Desember tahun 2004 Amerika Serikat dan Jepang kembali menandatangani memorandum kerjasama pertahanan rudal balistik, termasuk ketentuan untuk transfer teknologi dan informasi terkait. Kerjasama pertahanan anti rudal ini kemudian terintegrasi secara operasional pada tahun 2006 yang ditandai dengan ditempatkannya sistem radar peringatan dini X-Band sebagai salah satu bagian dari sistem pertahanan rudal balistik regional yang ditempatkan di Pangkalan Udara Militer Pasukan Bela Diri Jepang di Tsugaru, Prefektur Aomori, Jepang dan pada tahun 2007 radar X-Band kemudian di pindahkan ke situs the U.S Shariki Communication. Penempatan radar X-Band tersebut merupakan bagian penting dari proyek pertahanan rudal bersama Jepang dan Amerika Serikat. Amerika Serikat juga menempatkan sistem pertahanan tambahan lainnya seperti pesawat pengintai elektronik RC-1353 Cobra Ball, dua sistem rudal pencegat PAC-3, serta kapal penjelajah USS Shiloh yang di lengkapi dengan sistem rudal pencegat SM-3. Amerika Serika dan Jepang juga telah bersama-sama mengembangkan generasi terbaru dari sistem rudal pencegat SM-3 yakni sistem SM-3 Blok IIA yang telah di uji coba pada tahun 2006 dan dengan demikian kedua negara telah membuat sebuah sistem multi-layered yang siap untuk melacak rudal balistik yang diluncurkan oleh Korea Utara. Pada tahun 2012 Amerika Serikat dan Jepang kembali memasang sistem radar pertahanan rudal X-Band kedua di Jepang. Radar kedua Jepang tersebut akan meningkatkan kemampuan aliansi untuk membela Jepang serta untuk melindungi sekitar 47.000 ribu pasukan Amerika Serikat yang ditempatkan Jepang dan pada tanggal 21 Oktober 2014 sistem radar peringatan dini X-Band kemudian di instal dan ditempatkan di Pangkalan Angkatan Bela Diri Udara di Kyotango, sebelah barat laut Kyoto. Pada tahun 2015 Amerika Serikat juga telah menambahkan lima buah kapal penghancur yang dilengkapi dengan sistem BMD Aegis, empat buah sistem rudal pencegat PAC-3 yang di gunakan Angkatan Darat Amerika Serikat untuk melindungi wilayah Okinawa, Jepang. Serta Amerika Serikat juga berencana akan menambahkan kembali dua kapal perusak anti rudal balistik tambahan yakni USS Benfold (DDG-15) dan USS Milius (DDG-69) bersama dengan sistem terbaru dari BMD Angkatan Laut Amerika Serikat yang rencananya akan di tempatkan di wilayah Yokusuka, Jepang pada tahun 2017. 2. Upaya Amerika Serikat melibatkan Korea Selatan ke dalam Sistem Pertahanan Amerika Serikat di Asia Timur Selain membentuk kerjasama pertahanan keamanan dengan Jepang, Amerika Serikat juga membentuk kerjasama serupa dengan Korea Selatan. Kerjasama pertahanan keamanan antara Amerika Serikat dan Korea Selatan mulai terbentuk sejak ditandatanganinya Mutual Security Agreement pada tahun 1953 (Mark E. Manyin, Mary Beth D. Nikitin, 2014: 13). Kerjasama pertahanan keamanan ini kemudian semakin berkembang sejak diumumkannya Joint Vision for the Alliance oleh Presiden Barrack Obama dan Presiden Lee Myun Bak pada tanggal 16 Juni 2009 di Washington, D.C, Amerika Serikat. Aliansi ini menjanjikan untuk meningkatkan kerjasama globalisasi pertahanan di masa depan antar Amerka
80
Penolakan Korea Selatan Bergabung dalam Pertahanan Rusal AS (Dewi Permatasari)
Serikat dan Korea Selatan. Di tahun yang sama tepatnya pada tanggal 26 Mei 2009 Amerika Serikat juga menjalin kerjasama Proliferation Security Initiative (PSI) dengan Korea Selatan. PSI merupakan upaya secara global untuk menghentikan penyelundupan senjata pemusnah masal atau Weapon of Mass Destruction (WMD), sistem pengirimannya dan material-material yang berhubungan dengan senjata pemusnah masal dari dan ke pelaku negara dan nonnegara diseluruh dunia. Amerika Serikat juga berupaya untuk melibatkan Korea Selatan kedalam aliansi kerjasama BMD antara Amerika Serikat dan Jepang yang telah terbentuk sejak tahun 2006. Dalam laporan yang dibuat oleh Badan Pertahanan Rudal dan Departemen Pertahanan Amerika Serikat tahun 2009, Korea Selatan digambarkan sebagai salah satu negara yang berpotensi untuk bergabung ke dalam upaya pembentukan BMD regional (http://m.koreatimes.co.kr/phone/news/view.jsp?req_newsidx=52311). Untuk itu Amerika Serikat kemudian melaksanakan berbagai upaya agar Korea Selatan dapat terlibat ke dalam kerjasama BMD regional di Asia Timur tersebut, seperti: a. keinginan Amerika Serikat untuk membentuk suatu pertahanan rudal balistik trilateral antara Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, yang disampaikan Jenderal Walter Sharp saat berkunjung ke Seoul pada tanggal 10 September 2010. Rencana pembentukan sistem pertahanan trilateral antara Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan kembali di sampaikan oleh Ketua Kepala Staf Gabungan Jendral Martin Dempsey saat mengajukan banding ke Jepang dan Korea Selatan pada tanggal 21 dan 26 April 2013. b. Menyepakati kerjasama interoperabilitas pada tanggal 2 Oktober 2013. Dalam kerjasama ini Korea Selatan akan menerima informasi yang diperlukan untuk mendeteksi, mengidentifikasi serta melacak rudal Korea Utara melalui bantuan dari aset-aset milik Amerika Serikat. c. Amerika Serikat juga merencanakan untuk menempatkan sistem pertahanan anti rudal Terminal High-Altitude Area Defense (THAAD) yang merupakan bagian integral dari sistem BMD di Korea Selatan. Rencana tersebut di sampaikan oleh Komandan Pasukan Khusus Amerika Serikat di Korea Selatan (United States Forces Korea – USFK) Jendral Curtis Scaparrotti saat berkunjung ke Seoul pada tanggal 3 Juni 2014. d. Menyepakati Pakta Pertukaran Informasi tiga negara mengenai kerjasama intelijen untuk saling berbagi dan menjaga informasi mengenai program rudal dan nuklir Korea Utara, yang ditandatangani oleh Deputi Menteri Pertahanan Korea selatan Baek Seung-Joo, Wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Work, dan Deputi Menteri Pertahanan Jepang Masanori Nishi pada tanggal 29 Desember 2014. e. Merekomendasikan kepada Korea Selatan untuk menggunakan sistem pertahanan anti rudal seperti PAC-3 dan SM-3. Dengan penggunaan sistem tersebut Korea Selatan akan menjadi lebih siap untuk menghadapi serangan rudal balistik dari Korea Utara. Keinginan Amerika Serikat untuk melibatkan Korea Selatan ke dalam sistem pertahanan anti rudal regional di kawasan Asia Timur, tidak terlepas dari peran
81
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016: 075-088
penting Korea Selatan. Korea Selatan sangat penting untuk tiga alasan bergabung kedalam sistem pertahanan regional (http://m.state.gov/md147952.hrml). Alasan pertama adalah politik, Korea Selatan tentu akan mampu memperkuat kemampuan respon bersama terhadap ancaman musuh, seperti melawan ancaman rudal balistik Korea Utara. Kedua adalah operasional, Korea Selatan akan mampu meningkatkan kemampuan operasi pertahanan rudal dalam berbagi data dan intersepsi rudal dan ketiga adalah anggaran, dengan bergabungnya Korea Selatan kedalam pertahanan rudal ini maka akan membantu dalam penghematan biaya sehingga mampu mengurangi investasi tumpang tindih diantara negara-negara aliansi. Korea Selatan juga dapat memperkuat aliansi sistem pertahanan anti rudal ini. Aliansi antara Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan ini nantinya akan berfungsi menjaga perdamaian dan keamanan di Asia Timur laut serta di seluruh kawasan. Akan tetapi meskipun Korea Selatan telah menyepakati dan menandatangani berbagai kerjasama pertahanan keamanan dengan Amerika Serikat, namun kesepakatan kerjasama tersebut tidak berarti bahwa Korea Selatan telah bergabung ke dalam sistem pertahanan anti rudal Amerika Serikat di Asia Timur. Melalui juru bicara Kementerian Pertahanan Korea Selatan Kim Min Seok pada tanggal 9 Mei 2013, Ia menyatakan dalam situasi untuk melawan ancaman rudal Korea Utara, Korea Selatan dan Amerika Serikat hanya bekerjasama dalam berbagi informasi dan data intelijen terkait kemampuan rudal Korea Utara secara keseluruhan, namun bukan berarti Korea Selatan menyatakan bersedia untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan anti rudal pimpinan Amerika Serikat. Hal ini kemudian kembali dipertegas oleh Menteri Pertahanan Kim Kwan Jin pada tanggal 16 Oktober 2013 bahwa Korea Selatan tidak akan bergabung dengan sistem pertahan rudal Amerika Serikat. Kim Kwan Jin mengatakan bahwa harus ada alasan yang tepat bagi Korea Selatan untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan tersebut. Pada tanggal 22 Februari 2015 Pemerintah Korea Selatan melalui Kementerian Pertahanan kembali menyatakan penolakan Korea Selatan untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan anti rudal Amerika Serikat di Asia Timur. Hal ini menanggapi tanggapan atas kerjasama Pakta Pertukaran Informasi intelejen yang ditandatangani oleh Amerika Serikat, Jepang, dan Korea Selatan pada tanggal 29 Desember 2014. Kementerian Pertahanan menyampaikan bahwa membangun sistem pertahanan anti rudal regional merupakan fokus utama bagi Amerika Serikat saja, mengingat meningkatnya ancaman nuklir dan misil dari Korea Utara. Sedangkan Pakta pertukaran informasi intelejen hanya dipergunakan untuk membahas bagaimana langkah dan cara untuk bisa mengatasi masalah terhadap ancaman nuklir dan misil Korea Utara. Ia menambahkan bahwa tidak ada kesepakatan jika dalam Pakta tersebut ketiga negara akan membentuk sebuah sistem pertahanan anti rudal regional. Penegasan sikap penolakan Korea Selatan untuk menyebarkan sistem THAAD di Korea Selatan kembali disampaikan oleh Presiden Park Geun Hye pada tanggal 15 Oktober 2015, yang menyatakan bahwa meskipun beratnya ancaman militer yang ditimbulkan oleh Korea Utara, namun sejauh ini ia tidak mendukung ide penyebaran sistem THAAD di Korea Selatan.
82
Penolakan Korea Selatan Bergabung dalam Pertahanan Rusal AS (Dewi Permatasari)
Alasan Penolakan Korea Selatan Untuk Bergabung Ke Dalam Sistem Pertahanan Anti Rudal Amerika Serikat di Asia Timur Penolakan Korea Selatan untuk bergabung kedalam sistem pertahanan Amerika Serikat di Asia Timur dapat dijelaskan melalui teori pembuatan keputusan (Decision Making Theory). Berdasarkan teori pembuatan keputusan Snyder, keputusan pemerintah Korea Selatan menolak untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan Amerika Serikat di Asia Timur disebabkan oleh dua hal yaitu, faktor lingkungan internal dan faktor lingkungan eksternal. 1. Faktor Internal : Penolakan Masyarakat Korea Selatan Rencana penempatan sistem anti rudal THAAD milik Amerika Serikat di Korea Selatan kurang mendapat dukungan dari masyarakat Korea Selatan. Masyarakat menyadari bahwa ancaman rudal balistik Korea Utara memang harus dihalangi, namun mereka tampaknya tidak yakin bahwa sistem THAAD adalah solusi yang tepat, terlebih lagi biaya pemasangan sistem THAAD yang cukup mahal yakni hingga mencapai 2 triliun Won. Sistem THAAD juga dapat menimbulkan efek radiasi elektromagnetik yang sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat serta dapat mengganggu lalu lintas udara, karena sistem ini memancarkan gelombang mikro super-kuat. Sistem THAAD diketahui juga menimbulkan efek lingkungan dan radiasi elektromagnetik yang sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat.Dampak dari sistem THAAD tersebut telah dianalisis oleh Penilaian Lingkungan (Environmental Assessment – EA) yang menyebutkan bahwa efek lingkungan dari sistem THAAD adalah pada kualitas udara dan sumber daya air yang menjadi tercemar dari bahan-bahan yang berbahaya. Efeknya ialah kualitas udara akan tercemar emisi Karbon Dioksida (Co2), dimana Co2 tersebut dihasilkan dari kegiatan ground-disturbing dan dari pembakaran bahan bakar sistem THAAD. Sumber daya air disekitar penempatan sistem THAAD juga akan tercemar dari limbah cair yang berasal dari tumpahan dan kebocoran bahan kimia seperti pelumas, bahan bakar, serta bahan-bahan lainnya, yang mengandung konsentrasi sedimen yang sangat tinggi. EA juga menjelaskan masyarakat harus berada cukup jauh dari sistem THAAD untuk menghindari pancaran radiasi elektromagnetik.Efek radasi elektromagnetik sangat membahayakan bagi tubuh manusia karena sistem ini memancarkan gelombang mikro super-kuat. Gelombang mikro tersebut juga akan merusak berbagai perangkat elektronik serta mengganggu sistem kerja pesawat terbang, sehingga akan membahayakan para awak dan penumpang yang ada di dalamnya pada radius 5,5 km. Kelompok sipil Korea Selatan kemudian mendesak pemerintah untuk menolak setiap upaya Amerika Serikat untuk menyebarkan sistem pertahanan rudal THAAD di Korea Selatan yang disampaikan oleh Kelompok sipil People’s Solidarity for Participatory Democracy (PSPD), dan kelompok sipil The Solidarity for Peace and Reunification of Korea (SPARK) saat menggelar aksi konferensi pers yang diadakan didepan kantor kepresidenan Cheong Wa Dae pada tanggal 19 Maret 2015. Mereka menyatakan bahwa pemerintah harus menolak penyebaran sistem THAAD di Korea Selatan, karena hal tersebut akan dapat merugikan masyarakat Korea Selatan sendiri serta menghancurkan perdamaian di kawasan Asia Timur Laut, termasuk di Semenanjung Korea dan juga akan merusak hubungan Korea Selatan dengan negara-negara sekitarnya.
83
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016: 075-088
Pada tanggal 1 April 2015 aksi protes dan demonstrasi kembali dilakukan oleh masyarakat sipil dari calon lokasi penempatan sistem THAAD yakni dari organisasi masyarakat sipil Incheon (Incheon International NGOs), serta masyarakat sipil dari Pyeongtaek, Daegu dan Gyeongsang Utara menggelar aksi protes menuntut penghentian rencana penyebaran sistem THAAD. Dalam aksi protesnya mereka menyatakan menolak sistem THAAD ditempatkan di wilayah mereka dan juga di berbagai wilayah lain di Korea Selatan. Para pejabat daerah dari berbagai provinsi di Korea Selatan juga menyatakan sikap penolakan mereka terhadap penyebaran sistem THAAD di Korea Selatan. Walikota dari daerah Daegu Kwong Young Jin menyatakan penolakannya terhadap sistem THAAD. Ia bersama dengan 460.000 masyarakat daerah Daegu sangat menentang penyebaran sistem THAAD di wilayah mereka. Pejabat daerah yang juga mewakili daerah Pyeongtaek Won Yoo Chul juga menyatakan penolakannya terhadap penyebaran sistem THAAD di kota Pyeongtaek. Ia menyatakan bahwa kota Pyeongtaek adalah kota pelabuhan utama dari perdagangan Korea Selatan dengan Cina, dan tentu saja kota Pyeongtaek harus menjaga manfaat ekonomi dari kerjasama perdagangan antara Korea Selatan dan Cina. Penolakan juga datang dari Gubernur provinsi Jeolla Utara Song Ha Jin beserta anggota parlemen dari partai Min Joo yang mendesak pemerintah Korea Selatan melalui surat protes kepada Kementerian Pertahanan menuntut agar pemerintah menolak penempatan sistem THAAD di Korea Selatan. Para aktivis lingkungan dari kota Gunsan juga menyampaikan aksi penolakan mereka terhadap sistem THAAD. (http://www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2016/03/205_198113.html) Presiden Park Geun Hye tentu tidak ingin kehilangan kepercayaan dari masyarakat Korea Selatan. Presiden Park Geun Hye menegaskan bahwa dia berjanji akan menjaga keamanan dalam negerinya dan juga bertekad memperkokoh keamanan diwilayah Semenanjung Korea, serta akan mengatasi ketidaksetaraan dan memperbaiki hubungan dengan Korea Utara. Ini dibuktikan dengan keinginan Presiden Park Geun Hye membuka kembali hubungan diplomatik tingkat tinggi dengan Pyongyang, serta diterapkannya kebijakan Trust-Politik Policy untuk mengubah Semenanjung Korea dari zona konflik menjadi zona kepercayaan. Kebijakan Trust-Politik Policy didasarkan pada “trust-politik” yaitu “saling membangun kepercayaan” antar-kedua Korea berdasarkan norma-norma global sekaligus untuk menangkal ancaman dari Korea Utara seiring dengan eskalasi aksi militer provokatifnya. Dalam teori pembuatan keputusan, dalam pengambilan keputusan Presiden Park Geun Hyen bertindak sebagai aktor rasional dimana Presiden Park memutuskan kebijakan untuk mencapai suatu tujuan yaitu kepentingan lingkungan dalam negeri Korea Selatan. Presiden Park Geun Hyen tentu telah memilih dari semua pilihan-pilihan yang tersedia.Pilihan yang telah diputuskan oleh Presiden Park Geun Hyen merupakan keputusan yang didukung oleh faktor internal dan eksternal.Lingkup internal yang mempengaruhi kebijakan Presiden Park Geun Hye adalah peran masyarakat. Pentingnya peran masyarakat sipilturut mempengaruhi proses damai di Semenanjung Korea. Dalam artian masyarakat sipil memiliki pengaruh kuat untuk membentuk pandangan pemimpin di Korea Selatan dalam setiap memformulasikan kebijakan luar negerinya.
84
Penolakan Korea Selatan Bergabung dalam Pertahanan Rusal AS (Dewi Permatasari)
Demi menjaga kepercayaan masyarakat tersebut pemerintah Korea Selatan akhirnya memutuskan untuk tidak menempatkan sistem pertahanan anti rudal Amerika Serikat yakni THAAD di Korea Selatan. Presiden Park Geun menyatakan keputusan ini diambil untuk menjaga kestabilan didalam negeri Korea Selatan sendiri, serta mempertegas bahwa Pemerintahan Presiden Park Geun Hyen masih terus berusaha menjaga dan menciptakan hubungan baik dengan Korea Utara. Meskipun Presiden Park Geun Hye mengakui beratnya ancaman militer yang ditimbulkan oleh Korea Utara, namun ia menekankan kembali bahwa tujuan akhir dari keputusannya tersebut adalah untuk mewujudkan “penyatuan” antara Utara dan Selatan. (http://www.washingtontimes.com/news/2015/oct/15/park-geun-hye-of-southkorea-eyes-alliance-with-us/?page=all). 2. Faktor Eksternal : Hubungan Korea Selatan dan Cina Dalam rencana penempatan sistem pertahanan anti rudal Amerika Serikat di Asia Timur tentu saja mendapat kecaman keras dari beberapa negara seperti Cina dan Rusia. Cina merupakan salah satu negara yang sangat menentang Amerika Serikat menempatkan sistem pertahanannya di Korea Selatan. Hal tersebut disampaikan langsung oleh Duta Besar Cina untuk Korea Selatan Qiu Guohong saat kunjungannya ke Seoul pada tanggal 24 November 2014. Qiu menyatakan bahwa penempatan sistem THAAD terkesan menargetkan Cina dan bukan Korea Utara. Hal ini dikarenakan jarak jangkauan sistem THAAD yang akan ditempatkan di Korea Selatan berjarak 2000 km dimana jarak itu melebihi jarak jangkauan untuk tujuan pertahanan diri dari misil Korea Utara, sistem ini malah justru berpengaruh buruk bagi sistem keamanan Cina. Para ahli Cina percaya bahwa sistem THAAD milik Amerika Serikat tersebut tidak hanya akan beroperasi untuk melindungi Semenanjung Korea dari rudal balistik Korea Utara, tetapi juga akan memantau aktivitas udara Cina di lepas pantai timur. Cina telah memperingatkan bahwa rencana penyebaran sistem pertahanan anti rudal THAAD di Korea Selatan, akan menguji hubungan antara Cina, Korea Selatan, Amerika Serikat atau bahkan Rusia, dan bahkan jika perlu, Cina akan mengambil langkah-langkah kuat untuk melawan ancaman dari program pertahanan anti rudal Amerika Serikat tersebut, termasuk memperbaharui dan meningkatkan kekuatan militer, meningkatkan jumlah hulu ledak konvensional dan senjata nuklir (http://sputniknews.com/asia/20150423/1021263872.html). Pada tanggal 5 Februari 2015 melalui Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hong Lie Cina kembali menegaskan bahwa penempatan sistem anti rudal Amerika Serikat di Korea Selatan akan dapat merusak stabilitas regional di kawasan Asia Timur-Pasifik. Selain itu penyebaran sistem THAAD di Korea Selatan juga bisa merusak kepentingan keseluruhan dari hubungan bilateral antara Seoul dan Beijing. Jika Korea Selatan bersedia menjadi tuan rumah penempatan sistem pertahanan tersebut dan tentu saja itu berarti secara otomatis Korea Selatan bergabung kedalam sistem pertahanan regional pimpinan Amerika Serikat, maka hal ini akan sangat berpengaruh buruk pada hubungan kerjasama perdagangan Korea Selatan dan Cina.
85
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016: 075-088
Saat ini hubungan kerjasama perdagangan antara Korea Selatan dan Cina tengah memasuki masa era keemasan. Cina yang sejak tahun 2003 telah menjadi mitra dagang pasar ekspor dan impor terbesar Korea Selatan yang sebelumnya diduduki oleh Jepang dan Amerika Serikat (UK Heo, Terebce Roehrig. 2014: 96). Hubungan kerjasama perdagangan antara Korea Selatan dan Cina terus mengalami peningkatan yang signifikan sejak kedua negara memulai negosiasi untuk kesepakatan kerjasama perdagangan bebas pada tahun 2012, yang kemudian secara resmi ditandatangani di Seoul pada tanggal 1 Juni 2015. Kerjasama ini memiliki tujuan untuk meningkatkan konektivitas pasar serta komunikasi menyeluruh antar kedua negara sehingga akan membawa manfaat yang lebih nyata untuk masyarakat dari kedua belah pihak. Selain itu kerjasama iniakan memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap proses integrasi ekonomi di kawasan Asia Timur bahkan juga terhadap perkembangan ekonomi global.Kerjasama perdagangan ini mencakup berbagai macam sektor seperti jasa, investasi, keuangan, komunikasi, serta di bidang manufaktur, film, produksi TV, budaya, perawatan medis dan juga tentu akan meningkatkan investasi bilateral di bidang parawisata, logistik dan mendorong peningkatan kerjasama dibidang energi terbarukan, perlindungan lingkungan serta indsutri otomotif antar kedua negara. Keputusan Presiden Park Geun Hye tidak terlepas dari faktor eksternal yang mempengaruhinya.Hubungan antara Korea Selatan dan Cina menjadi alasan diambilnya keputusan ini. Cina sebagai pihak yang paling menolak adanya rencana ini memberikan respon tindakan yang mengancam, bahwa Cina akan membalas dengan tindakan ekonomi jika THAAD ditempatkan di Korea Selatan. Cina meyakinkan bahwa setiap negara saat ingin meningkatkan keamanannya sendiri, harus juga mempertimbangkan kepentingan keamanan negara lain, perdamaian dan stabilitas regional. Demi menjaga hubungan baik yang telah terjalin bersama Cina, Pemerintah Korea Selatan akhirnya mengambil keputusan untuk menerapkan kebijakan strategi ambiguitas dalam menanggapi isu penyebaran sistem pertahanan anti rudal Amerika Serikat di Korea Selatan. kebijakan strategis ambiguitas menjelaskan posisi Seoul terkait isu penyebaran sistem THAAD yakni “Three No” yang berarti tidak ada permintaan resmi dari Amerika Serikat, tidak ada konsultasi dengan Amerika Serikat, dan tidak ada keputusan dari pemerintah Korea Selatan. Presiden Park Geun Hye menegaskan bahwa keputusan akhir pemerintah adalah merupakan pilihan strategis yang pasti sudah didasarkan pada pertimbangan panjang dan hati-hati untuk menjaga kepentingan nasional Korea Selatan sendiri. Ini dikarenakan Pemerintah Korea Selatan sangat mengkhawatirkan reaksi politik negara-negara sekitar seperti Cina, Korea Utara dan bahkan Rusia, serta menghindari mengambil keputusan yang prematur dan tidak tepat terkait masalah tersebut yang takutnya akan berakibat memicu ketegangan yang lebih parah di kawasan Asia Timur. Penerapan kebijakan strategi ambiguitas ini juga dilakukan agar Korea Selatan tidak terpaksa untuk memilih antara kepentingan ekonomi dan kepentingan keamanan. Saat ini perekonomian Korea Selatan sangat tergantung pada Cina
86
Penolakan Korea Selatan Bergabung dalam Pertahanan Rusal AS (Dewi Permatasari)
yang merupakan eksportir dan importir terbesar Korea Selatan (http://thediplomat.com/2015/04/solving-the-thaad-puzzle-in-korea). Namun di saat yang sama Korea Selatan juga menyadari manfaat keamanan nasional dari kehadiran pasukan militer Amerika Serikat di Korea Selatan. Bagi Korea Selatan kepentingan ekonomi maupun kepentingan keamanan adalah merupakan dua hal yang sangat penting, namun agar tidak menyebabkan kerenggangan dalam hubungan kerjasama antara Korea Selatan dan Cina serta untuk menjaga perdamaian dan stablitas di kawasan Asia Timur, Pemerintah Korea Selatan memutuskan untuk tidak menempatkan sistem pertahanan anti rudal THAAD milik Amerika Serikat tersebut dan artinya Korea Selatan telah menolak untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan anti rudal Amerika Serikat di Asia Timur. Kesimpulan Korea Selatan merupakan mitra penting Amerika Serikat untuk memperkuat aliansi kerjasama pertahanan rudal di kawasan Asia Timur yang telah dibentuk oleh Amerika Serikat dan Jepang sejak tahun 2006. Untuk itu Amerika Serikat telah merencanakan berbagai upaya untuk melibatkan Korea Selatan ke dalam sistem pertahanan anti rudal ini, seperti keinginan Amerika Serikat untuk membentuk suatu pertahanan rudal balistik trilateral antara Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan, menyepakati kerjasama interoperabilitas dan pakta pertukaran informasi, serta berupaya untuk menempatkan sistem pertahanan anti rudal THAAD di Korea Selatan. Meskipun Korea Selatan telah menyepakati dan menandatangani berbagai kerjasama pertahanan dengan Amerika Serikat tersebut, namun Korea Selatan telah menyatakan penolakannya untuk bergabung ke dalam sistem pertahanan anti rudal Amerika Serikat di Asia Timur. Keputusan Korea Selatan tersebut adalah di dasarkan pada : a. Faktor internal yakni berupa tuntutan masyarakat dan kelompok kepentingan politik yang ada di sekitar berupa penolakan publik Korea Selatan yang tidak menyetujui Korea Selatan untuk bergabung ke dalam proyek dengan anggaran besar tersebut, karena hal tersebut akan dapat merusak semua tujuan, dan kepentingan nasional seperti menciptakan perdamaian di kawasan Semenanjung Korea dan reunifikasi antar Korea. b. Faktor eksternal yakni berasal dari hubungan Korea Selatan dan Cina. Keikutsertaan Korea Selatan ke dalam Sistem Pertahanan regional yang dipimpin oleh Amerika Serikat tersebut akan menimbulkan protes diplomatik dari Cina yang tentu akan berpengaruh buruk bagi hubungan bilateral antara Cina dan Korea Selatan. Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Heo, UK. Terebce Roehrig. 2014. "South Korea’s Rise : Economic Development Power, and Foreign Relations",Cambridge, UK: Cambridge University Press. Irewati, Awani, RR EmiliaY, dan Firman. “Demokrasi Mati Suri” LIPI, Jurnal penelitian politik No. 1, 2007. Jakarta: Pustaka Pelajar-Lipi. Manyin, Mark E. Mary Beth D. Nikitin “U.S.-South Korea Relations”
87
eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 4, Nomor 1, 2016: 075-088
http://fas.org/sgp/crs/row/R41481.pdf Mas’oed Mochtar, “Studi Hubungan Internasional: Tingkat Analisis dan Teorisasi”, 1989. Yogyakarta: Pusat Antara Universitas-Studi SosialUniversitas Gajah Mada. Yani, Yanyan Mochamad,“Perspektif-perspektif Politik Luar Negeri : Teori dan Praksis” terdapat di http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/perspektif_perspektif_politik_luar_negeri.pdf Buku Elektronik Bubnova, Natalia. 2013. “Missile Defense Confrontation and Cooperation” http://carnegieendowment.org/files/Missile_Defense_Book_eng_fin2013.pdf S. Bermudez Jr, Josep. 1999. “A History of Ballistic Missile Development in the DPRK” terdapat di cns.miis.edu/opapers/op2/op2.pdf Internet “Chinese Military Expert Warns of THAAD Risks to Regional Security”terdapat di http://sputniknews.com/asia/20150423/1021263872.html “NORAD commander: North Korean KN-08 missile operation” terdapat di http://www.stripes.com/news/norad-commander-north-korean-kn-08-missile operational-1.338909 “Remarks to 2010 Multinational BMD Conference and Exhibition” terdapat di http://www.state.gov/t/avc/rls/147952.htm “Safety concerns overshadow THAAD talks” terdapat di http://www.koreatimes.co.kr/www/news/nation/2016/03/205_198113.html diakses pada tanggal 16 April 2016. “Solving the THAAD Puzzle in Korea” terdapat di http://thediplomat.com/2015/04/solving-the-thaad-puzzle-in-korea “South Korea Negative on Joining US Missile shield” terdapat di http://m.koreatimes.co.kr/phone/news/view.jsp?req_newsidx=52311 “South Korea pushes three-way alliance with U.S., China to address North Korea threat” terdapat di http://www.washingtontimes.com/news/2015/oct/15/park-geunhye-of-south-korea-eyes-alliance-with-us/?page=all
88