BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bazerman et al. (2002) berpendapat bahwa keputusan pemerintah Amerika Serikat (AS) untuk memberlakukan Sarbanes-Oxley Act (SOX) di tahun 2002 bukanlah solusi tepat untuk memecahkan masalah yang terjadi di AS. Menyusul skandal Enron dan kantor akuntan publik (KAP) Arthur Andersen (AA), pemerintah AS kemudian memberlakukan SOX, yang di dalamnya, di antara berbagai aturan yang lain, berisi larangan bagi partner kantor akuntan publik untuk mengaudit klien yang sama lebih dari tiga tahun berturut-turut. Solusi yang kurang lebih sama juga diadopsi di Indonesia pada tahun yang sama, yaitu dengan melakukan pelarangan kantor akuntan publik dan akuntan publik untuk mengaudit klien yang sama setelah lima tahun dan tiga tahun berturut-turut.1 Kasus Enron dan KAP AA ini dikaitkan dengan ketakindependenan KAP AA terhadap Enron. Ada
dua
hal
yang
setidaknya
diduga
berhubungan
dengan
ketakindependenan yang memicu keruntuhan Enron dan KAP AA. Pertama adalah peran ganda yang dijalani oleh KAP AA. Menurut Wall Street Journal (14 Desember 2001), pada tahun 2000 KAP AA mendapat fee sebesar USD 52 juta, yang terbagi menjadi USD 25 juta sebagai fee jasa audit, dan USD 27 juta sebagai fee jasa non-audit. Jasa non-audit ini terdiri atas pajak dan konsultasi. Dengan kata lain, 52% dari penghasilan KAP AA pada tahun sebelum keruntuhan Enron berasal dari pendapatan jasa non-audit. Sumber ketakindependenan yang kedua 1
Peraturan yang dimaksud adalah Keputusan Menteri Keuangan no. 423 tahun 2002. Pada tahun 2008, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan no. 17 tahun 2008 yang menyatakan bahwa kantor akuntan harus dirotasi setelah menjadi auditor selama enam tahun berturut-turut. Sementara itu, akuntan publik tetap harus dirotasi setelah tiga tahun. Peraturan yang berlaku di Indonesia ini bisa dikatakan bersifat antisipatif karena tidak didahului oleh terjadinya kasus kecurangan seperti yang terjadi di AS.
2
adalah ketiadaan pembatasan hubungan auditor dengan klien. Di AS, dan juga di banyak negara, sebelum terkuaknya kasus Enron, tidak ada pembatasan lama seorang auditor boleh mengaudit satu klien. The Economist (Desember, 2001) menyatakan bahwa KAP AA telah mengaudit Enron selama 16 tahun sejak pendirian Enron. Sebagai perbandingan, hubungan sepanjang itu tidak terlalu panjang dibandingkan, misalnya, dengan hubungan kantor akuntan di Indonesia dengan klien yang bisa mencapai 20 tahun.2 Namun, jika kasus Enron ini tidak terkuak, maka hubungan tersebut sangat mungkin akan makin panjang. Masyarakat AS berpikir bahwa jika auditor dibatasi dalam memberikan jasa nonaudit kepada klien yang sedang mereka audit laporan keuangannya dan jika masa hubungan auditor dengan klien dibatasi, maka skandal seperti Enron bisa dicegah di masa depan.3 Sebuah skandal perusahaan yang melibatkan auditor juga pernah terjadi di Indonesia. PT Great River International (GRIV), sebuah perusahaan garmen, bekerjasama dengan auditornya, kantor akuntan publik (KAP) Johan, Malonda & rekan, melakukan kecurangan pencatatan sehingga terjadi penggelembungan nilai penjualan dan piutang tahun buku 2003. Tujuan dari kecurangan tersebut diduga
2
PT BAT Indonesia misalnya telah diaudit selama 24 tahun oleh satu KAP yang sama. Pergantian baru terjadi setelah tahun 2004. Contoh lain, PT Aqua Golden Mississippi dari tahun 1989-1992 (empat tahun) diaudit oleh KAP Drs. Utomo dan rekan. Tahun 1993-2001 (sembilan tahun) diaudit oleh KAP Drs. Prasetio Utomo dan rekan. KAP yang kedua ini diduga adalah kelanjutan dari KAP yang pertama. Dari tahun 2002 mereka diaudit oleh KAP Prasetio, Sarwoko, dan Sanjaya. Setelah itu mereka berganti auditor lagi ke KAP Hadi Sutanto dan rekan (2003) dan KAP Haryanto Sahari dan rekan (2004-2005). Secara total PT Aqua Golden Mississippi telah diaudit oleh KAP Prasetio Utomo dan rekan ditambah dengan KAP Prasetio, Sarwoko, dan Sanjaya dan rekan selama 15 tahun, atau 14 tahun jika KAP yang terakhir tidak dihitung sebagai kelanjutan KAP Prasetio Utomo. 3 Ketika disertasi ini dalam proses penyelesaian, kasus Toshiba dan kantor akuntan publik (KAP) Ernst & Young terungkap. KAP EY telah menjadi auditor Toshiba sejak tahun 2002. Salah saji laba mencapai 1,2 milyar USD selama rentang tujuh tahun. Nilai kecurangan itu kemungkinan menjadi lebih tinggi menyusul temuan baru di akhir bulan Agustus yang menyebabkan Toshiba harus menunda laporan keuangannya untuk tahun yang berakhir tanggal 31 Maret 2015. Eksekutif perusahaan telah mengundurkan diri ketika investigator mengetahui kecurangan tersebut.
3
berhubungan dengan penerbitan obligasi dan pemerolehan kredit dari bank. Perusahaan kemudian ternyata tidak mampu untuk membayar hutangnya. Atas masalah hutang tersebut, Bapepam melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Agung pada tahun 2006 (HukumOnline.com, 2007), sedangkan direktur utama perusahaan, Sunjoto Tanudjaja, melarikan diri keluar negeri (Detik.com, 2006). Seorang rekanan dari KAP Johan, Malonda & rekan dijatuhi hukuman pembekuan izin akuntan publik selama dua tahun. KAP Johan, Malonda & rekan sendiri membela diri dengan membantah bahwa mereka telah melakukan konspirasi dalm pengauditan laporan keuangan GRIV. Pihak KAP menyatakan bahwa selama mengaudit mereka tidak menemukan adanya penggelembungan akun penjualan atau penyimpangan dana obligasi. Namun, pihak KAP juga mengakui bahwa metoda pencatatan akuntansi yang digunakan oleh GRIV berbeda dengan yang berlaku umum (HukumOnline, 2007). Masalah ini baru diketahui dari audit investigatif ketika GRIV kesulitan aliran kas untuk membayar hutang dan obligasi. Sebagai catatan, laporan auditor independen untuk tahun buku 2003 memberikan pendapat wajar tanpa pengecualian. Kasus lain yang juga pernah muncul di Indonesia adalah kasus PT Kimia Farma (KAEF). Pada tanggal 27 Desember 2002, Bapepam menghukum KAEF, kantor akuntan publik (KAP) Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM), dan seorang partner KAP tersebut karena Bapepam menilai bahwa KAP dan auditor tersebut gagal
mendeteksi
penggelembungan
yang
dilakukan
oleh
KAEF.
Penggelembungan tersebut tidak terdeteksi di dalam audit laporan keuangan tahun 2001 dan baru ditemukan sewaktu diadakan audit interim untuk laporan keuangan
4
lima bulan yang berakhir pada 31 Mei 2002. Keduanya diaudit oleh KAP HTM sehingga KAP HTM tersebut dianggap bertanggungjawab atas kegagalan penemuan penggelembungan tersebut. Pelanggaran tersebut sebenarnya dilakukan oleh managemen perusahaan perioda 1998-Juni 2002. Sebagai catatan pada Juli 2002, KAEF mencatatkan diri ke BEJ dan BES sehingga tidak ada catatan publik siapa auditor KAEF sebelum tahun-tahun tersebut. Untuk kasus KAEF ini, Bapepam menyimpulkan bahwa tidak ada indikasi kesengajaan akuntan publik terlibat di dalam penggelembungan tersebut, namun Bapepam
memutuskan
bahwa
KAP
HTM
tidak
berhasil
mendeteksi
penggelembungan karena KAP HTM tidak mengambil sampel dari unit-unit yang melakukan penggelembungan (unit PBF dan unit bahan baku) sehingga risiko audit tidak bisa mereka minimalisasi. Kasus ini mendorong KAEF untuk mengganti auditor mereka untuk tahun buku 2002. Menurut Bazerman et al. (1997, 2002) kasus-kasus pengauditan seperti itu sebenarnya bukanlah karena ada kecurangan yang disengaja oleh akuntan publik, namun adalah karena ketidaksadaran akuntan publik bahwa mereka telah berperilaku bias dalam membuat keputusan. Dengan kata lain, auditor gagal untuk menjadi tidak berpihak dan objektif terhadap kliennya ketika seharusnya mereka tidak boleh berpihak pada klien. Setidaknya ada dua alasan mengapa auditor tidak boleh berpihak pada klien. Pertama, secara teoretis, auditor ditugaskan oleh pemilik perusahaan untuk menjadi “mata” mereka di dalam perusahaan. Para pemilik perusahaan ini, karena keterbatasan mereka, harus menggunakan jasa auditor untuk mencegah klien membuat kebijakan yang merugikan pemilik perusahaan. Jadi, auditor bukan
5
dikontrak oleh klien dan bekerja untuk klien, namun justru dikontrak oleh pemilik dan bekerja untuk pemilik perusahaan. Kedua, juga secara teoretis, auditor dibayar oleh pemilik perusahaan, bukan oleh manager perusahaan. Pemilik perusahaan membayar jasa auditor dengan merelakan bagian dari kekayaan mereka sebagai pembayar jasa auditor. Oleh sebab itu, auditor seharusnya tunduk pada kepentingan pemilik, bukannya menjadi tidak independen terhadap kliennya. Pertanyaannya adalah apa yang menyebabkan auditor bisa menjadi parsial dan tidak objektif secara tidak sadar terhadap kliennya? Bazerman et al. (2002) mengutarakan beberapa faktor yang menurut mereka menjadi akar masalah di atas. Salah satu yang mereka duga menjadi akar masalah adalah kerekatan (attachment) hubungan antara klien dengan auditor. Bisnis akuntansi yang sangat ketat menjadi salah satu alasan auditor untuk harus membina hubungan yang baik dengan klien mereka yang kemudian bisa menjadi lebih daripada sekadar hubungan bisnis antara dua perusahaan. Dalam pandangan auditor, klien mereka adalah pihak yang memberi mereka pekerjaan dan, dengan demikian, juga adalah pihak yang bisa memecat mereka. Oleh sebab itu, adalah sebuah tugas yang penting bagi auditor untuk bisa mempertahankan klien mereka selama mungkin. Secara prinsip, jika auditor bisa mempertahankan dirinya untuk tetap bersikap imparsial dan objektif terhadap klien, maka hubungan yang erat dan dekat tidak akan memberikan konsekuensi yang negatif. Jika kedua pihak secara profesional menjalankan tugas mereka, maka auditor bisa secara tepat memberikan pendapatnya. Namun, akademisi di bidang psikologi berpendapat bahwa hubungan antara dua pihak tidak selamanya akan membawa dampak yang
6
positif, atau selamanya negatif. Di dalam psikologi ada dua hipotesis yang saling bertentangan, yaitu hipotesis hubungan-sebagai-pendorong (relationship-asenabler) dan hipotesis hubungan-sebagai-pembatas (relationship-as-bound) (Sedikides et al., 1998, 2002; Campbell et al., 2000). Hipotesis yang pertama menjelaskan peran fasilitatif persahabatan untuk peningkatan-nilai diri (selfenhancement), sedangkan hipotesis yang kedua menjelaskan peran persahabatan untuk menghambat peningkatan-nilai diri. Sedikides et al. (1998) dan Campbell et al. (2000) berpendapat bahwa hipotesis yang pertama memprediksi bahwa hubungan yang erat akan memunculkan self-serving bias (SSB). Di lain sisi, hipotesis yang kedua memprediksi bahwa hubungan yang erat justru tidak akan memunculkan SSB. Self-serving bias muncul karena ada keyakinan positif dari seorang individu bahwa ia, misalnya, adalah orang yang lebih jujur, lebih bermoral, dan menarik dibandingkan dengan orang lain atau bahwa ia adalah pemimpin dan manager yang baik dibandingkan orang lain (Sedikides et al., 1998). Orang yang memiliki bias ini menganggap bahwa keberhasilan dirinya adalah karena kemampuan dirinya, sementara kegagalannya disebabkan oleh kesalahan lingkungannya atau kesalahan orang lain. Misalnya, seorang pengendara mobil mungkin menyalahkan jalan yang licin dibandingkan kecerobohannya kala mengendarai kendaraan, sebagai contoh SSB yang berhubungan dengan diri sendiri. SSB juga bisa muncul dalam hubungan antara diri dengan seseorang lain. Misalnya, dikaitkan dengan contoh sebelumnya, si istri turut mendukung suaminya menyalahkan jalanan yang licin padahal ia tahu bahwa suaminya tidak berhati-hati sebelum kecelakaan tersebut terjadi. Contoh lain, seorang ayah yang
7
memuji kecerdasan anaknya ketika nilai rapornya baik, namun menyalahkan cara penilaian guru dan beban pelajaran dan tugas sekolah atas nilai buruk yang diperoleh anaknya. Bazerman et al. (1997, 2002) berpendapat bahwa SSB membuat orang tidak dengan tepat membuat keputusan. SSB mendorong orang berpikir bahwa keputusan mereka telah bebas dari bias. Riset-riset menunjukkan, dalam konteks hubungan dua orang, sebagaimana yang dikutip oleh Campbell et al. (2000) bahwa seorang teman tidak akan mengungkapkan pendapat yang sesungguhnya terhadap temannya, menghindar jika harus menilai temannya, lebih suka mendiskusikan sifat positif daripada sifat negatif temannya, dan lebih terdorong untuk mengabarkan berita baik dibandingkan berita buruk. Campbell et al. (2000) berpendapat bahwa persahabatan sering digunakan oleh orang untuk tujuan peningkatan-nilai diri mereka sendiri.
1.2 Masalah Penelitian Bazerman et al. (2002) berpendapat bahwa bias pembuatan keputusan adalah masalah yang dihadapi oleh para auditor ketika mereka membuat pertimbangan terhadap klien mereka. Pertimbangan yang mereka buat, yang dinilai lebih cenderung memihak klien, bukan karena kesengajaan untuk bersikap takindependen, namun hal itu terjadi secara tidak sadar. Pengaturan hubungan auditor dengan klien dan pembatasan pemberian jasa non-audit yang boleh diberikan auditor kepada klien yang juga mendapatkan layanan audit laporan keuangan, menurut Bazerman et al. (2002) hanyalah solusi awal dari masalah ini. Sarbanes-Oxley Act (SOX) seksi 201 butir (g) melarang kantor akuntan publik memberikan sebanyak sembilan jasa non-audit kepada klien yang sama dengan
8
yang sedang diaudit laporan keuangannya. Pemerintah AS berekspektasi bahwa upaya yang mereka lakukan tersebut akan mengembalikan kepercayaan publik karena mereka meyakini bahwa pemberian jasa non-audit oleh kantor akuntan publik yang sama telah menimbulkan konflik kepentingan (Grant et al., 2009). Namun, menurut Bazerman et al. (2002) solusi tersebut tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi jika akar masalah tidak diatasi. Akar masalah tersebut, menurut mereka, adalah SSB yang melekat di diri auditor. Bazerman et al. (1997, 2002) berpendapat bahwa SSB diperburuk oleh beberapa hal yang berhubungan dengan hubungan auditor dengan klien. Salah satu yang membuat SSB makin buruk adalah hubungan yang berkelanjutan antara auditor dengan organisasi yang mereka audit. Hubungan yang panjang ini, secara bertahap akan merusak independensi kantor akuntan (Bazerman et al. 1997). Sementara itu, di dalam sistem yang ada saat ini, auditor disewa dan dipecat oleh perusahaan yang mereka audit. Di dalam riset banyak diketahui bahwa perusahaan memang memecat auditor jika hasil audit tidak menyenangkan manager perusahaan yang mereka audit (lihat, misalnya, Dye, 1991 dan Bockus & Gigler, 1998). Untuk bisa mengatasi SSB, Bazerman et al. (2002) mengusulkan agar ada perubahan mendasar pada struktur sistem pengauditan. Pertama, harus dihilangkan ancaman pemecatan bagi auditor jika mereka memberikan opini audit yang tidak sesuai dengan keinginan manager perusahaan yang mereka audit. Untuk itu, auditor harus memiliki perioda kontrak yang pasti dan terbatas dan selama masa kontrak tersebut mereka tidak boleh dipecat. Misalnya, auditor tidak boleh dipecat atau diganti jika klien belum menyewa mereka selama empat tahun
9
berturut-turut. Kedua, klien tidak diizinkan untuk memperpanjang kontrak kantor akuntan jika kontrak tersebut telah mencapai jumlah penugasan tertentu. Oleh sebab itu, jika suatu batasan maksimum masa kontrak telah tercapai, klien harus mengganti auditornya. Artinya, auditor tidak bisa disewa sebanyak yang disukai oleh klien, maupun oleh auditor itu sendiri. Kedua pemecahan radikal yang disarankan oleh Bazerman et al. (2002) tersebut jelas berhubungan dengan rotasi dan retensi auditor secara wajib. Rotasi auditor secara wajib diekspektasi akan memutus hubungan auditor dengan klien dan, seandainya lama hubungan tersebut memunculkan potensi sikap takindependen auditor, maka pemutusan tersebut diduga bisa mengurangi potensi SSB. Retensi secara wajib juga akan mengurangi SSB karena auditor memiliki jaminan bahwa mereka tidak akan bisa dipecat oleh klien mereka jika pendapat auditor dianggap klien merugikannya. Jadi, Bazerman et al. (2002) memprediksi bahwa bias auditor akan menurun jika salah satu atau kedua aturan ini diberlakukan. Riset di akuntansi yang telah menguji bias pendapat auditor dalam rezim hukum yang mengatur rotasi dan retensi wajib adalah riset Dopuch et al. (2001). Mereka menemukan bukti empiris bahwa di rezim yang mengatur rotasi saja dan di rezim yang mengatur rotasi dan retensi sekaligus keinginan auditor untuk menerbitkan laporan yang bias menjadi lebih rendah dibandingkan dengan rezim yang hanya mengatur retensi auditor saja dan dibandingkan dengan rezim yang sama-sekali tidak mengatur masalah rotasi maupun retensi. Namun, riset Dopuch et al. (2001) tidak secara khusus menguji sebuah peraturan, sementara usul Bazerman et al. (2002) berhubungan dengan peraturan.
10
Bazerman et al. (2002) berpendapat bahwa pengaturan durasi hubungan auditor dengan klien akan bisa mengendalikan SSB ke level yang rendah, walau mungkin tidak mampu untuk menghilangkannya. Walaupun Dopuch et al. (2001) meneliti hal yang sama, namun eksperimen mereka tidak secara khusus menguji keefektifan sebuah aturan rotasi maupun retensi. Misalnya, mereka menyatakan bahwa masa retensi selama tiga perioda dan rotasi setiap empat perioda hanya ditetapkan secara arbitrer.4 Hal ini bisa dimaklumi karena pada saat itu belum ada kebutuhan untuk menguji sebuah aturan. Di akhir laporan penelitian, mereka berpendapat bahwa hubungan yang lebih panjang sebelum terjadi rotasi mungkin akan meningkatkan kecenderungan auditor untuk lebih mendukung klien dan oleh karena itu perlu juga diperhatikan oleh peneliti yang lain. Di Indonesia saat ini berlaku PMK No. 17 tahun 2008 yang mengharuskan auditor untuk membatasi durasi hubungannya dengan klien selama enam tahun. Keefektifan peraturan ini untuk pengurangan bias sebaiknya diinvestigasi karena jika peraturan tersebut ditelusuri, maka tidak ada bukti bahwa pemerintah mendasarkannya pada sebuah landasan empiris. Selain itu, PMK No. 17 tahun 2008 tersebut tidak mengatur retensi minimum auditor oleh klien yang menurut Bazerman et al. (2002) adalah salah satu cara untuk mengurangi SSB. Pengujian atas keefektifan aturan retensi wajib untuk mengurangi SSB akan memberikan dukungan prediksi Bazerman et al. (2002). Masalah lain yang perlu dijawab adalah apakah hubungan yang erat antara auditor dengan klien memang akan mendorong SSB. Di dalam psikologi ada dua hipotesis yang saling bertentangan. Hipotesis yang pertama memprediksi bahwa 4
Selain disimpulkan dari paper, penulis juga mendapatkan jawaban ini dari Ronald King melalui surel.
11
orang cenderung untuk memberikan umpan-balik yang meningkatkan nilai diri pasangannya. Mereka, misalnya, tidak memberikan pendapat mereka yang jujur tentang pasangannya, lebih suka untuk menceritakan sifat baik daripada sifat buruk pasangan, dan berita baik akan disampaikan lebih sering, lebih cepat, lebih lengkap, dan secara spontan dibandingkan dengan berita buruk. Dalam kondisi terjadi krisis personal, orang yang memiliki hubungan yang erat akan memberi dukungan sosial kepada pasangannya yang mengalami masalah, berusaha mengatasi emosi negatif yang muncul, dan meningkatkan perasaan berharga di diri pasangannya. Teori tentang atribusi memprediksi bahwa hipotesis ini akan mendorong orang untuk meningkatkan-nilai dirinya (self-enhancement). Tindakan anggota pasangan tersebut akan berpotensi menunjukkan SSB (Sedikides et al., 1998, 2002; dan Campbell et al., 2000). Hipotesis yang kedua berpendapat bahwa hubungan akrab antara dua pihak akan mendorong pihak yang satu untuk bersikap melindungi pasangannya atau lebih cenderung untuk meningkatkan nilai dirinya daripada nilai diri pasangannya. Seorang individu yang pasangannya menerima umpan-balik yang positif akan membagi tanggungjawab atas keluaran tugas tersebut, dan demikian juga halnya jika pasangannya menerima umpan-balik yang negatif. Motivasi seorang individu untuk meningkatkan nilai dirinya akan sama besar dengan motivasinya untuk meningkatkan nilai diri temannya. Persahabatan, oleh sebab itu, bisa dipandang sebagai sebuah konteks di mana upaya untuk peningkatan diri si individu itu sendiri menjadi menurun atau berkurang. Hipotesis ini disebut dengan hipotesis hubungan-sebagai-pembatas. Terbalik dengan hipotesis yang pertama, untuk hipotesis yang kedua ini, teori memprediksi bahwa persahabatan
12
atau hubungan yang erat akan menekan peningkatan-nilai diri (self-enhancement), sehingga dalam hal ini anggota pasangan tidak akan menunjukkan SSB (Sedikides et al., 1998; Campbell et al., 2000). Jika memang auditor memiliki SSB, maka pendapat Bazerman et al. (2002) akan menegaskan hipotesis hubungan-sebagai-pendorong tersebut. Sebaliknya, jika auditor tidak terbukti menjadi lebih baik dengan pengaturan durasi hubungan, maka yang benar adalah hipotesis yang kedua. Sedikides et al. (1998) dan Campbell et al. (2000) yang juga meneliti fenomena SSB pada dua orang yang saling berpasangan (dyad) dan telah saling mengenal justru gagal mendapatkan temuan yang mendukung hipotesis hubungan sebagai pendorong tersebut. Namun, Sedikides et al. (1998) menemukan bukti SSB pada responden yang berpasangan, namun tidak saling mengenal sebelumnya. Jadi ada bukti empiris yang tidak sepenuhnya mendukung teori ini. Sampai saat ini belum ditemukan ada penelitian di bidang pengauditan, terutama dalam pengujian SSB, yang secara khusus menguji kedua hipotesis ini. Hubungan auditor dengan klien memang tidak sepenuhnya bisa disamakan dengan persahabatan seperti yang dimaksud oleh Sedikides et al. (1998, 2002) maupun Campbell et al. (2000). Hubungan erat yang dimaksud oleh Sedikides (1998) adalah hubungan yang dikenakan oleh peneliti kepada partisipan, sementara Campbell et al. (2000) menggunakan partisipan yang memang telah bersahabat sejak beberapa tahun sebelum eksperimen terjadi. Walaupun tidak bisa dikatakan sebagai sahabat seperti yang dimaksud oleh Campbell et al. (2000), namun hubungan bisnis seperti auditor dan klien bisa dikatakan memiliki
13
komponen persahabatan dan efek dari kedekatan akan terjadi.5 Oleh sebab itu, bisa dikatakan bahwa pengujian validitas kedua hipotesis tersebut terhadap SSB dalam konteks hubungan antara dua pasangan, dalam hal ini auditor dengan klien, adalah valid.
1.3 Pertanyaan Penelitian Bazerman et al. (2002) memprediksi bahwa jika auditor diberi kontrak yang memungkinkan ia tidak dipecat hingga kontrak itu selesai, maka SSB akan bisa lebih rendah dibandingkan dengan jika ia tidak diberi kontrak sama-sekali. Walaupun mereka tidak menganjurkan lama kontrak yang mungkin bisa mengurangi SSB, namun yang jelas kontrak tersebut bukanlah kontrak kerja satu tahun audit saja. Kontrak tersebut harus pasti dan auditor tidak boleh lagi diperpanjang masa kontraknya jika durasi yang disebutkan di dalam kontrak awal telah tercapai. Jika durasi itu telah tercapai, maka auditor tersebut harus diganti dengan auditor yang lain. Sehubungan dengan rekomendasi Bazerman et al. (2002), maka pertanyaan yang bisa diajukan adalah: (1) Apakah bias pertimbangan akan lebih rendah jika kepada auditor diberi pembatasan masa minimum hubungannya dengan manager dibandingkan dengan
jika
auditor
tidak
diberi
pembatasan
masa
minimum
hubungannya dengan manager? (2) Apakah bias pertimbangan akan lebih rendah jika kepada auditor diberi pembatasan 5
masa
maksimum
hubungannya
dengan
manager
Berasal dari diskusi peneliti dengan W. Keith Campbell via surel. Ia menyatakan bahwa setiap hubungan bisnis bisa memiliki elemen persahabatan. Hubungan tersebut akan menimbulkan efek kedekatan dan kedekatan tersebut mungkin baru bisa diputus oleh kekuatan eksternal yang cukup kuat.
14
dibandingkan dengan jika auditor tidak diberi pembatasan masa maksimum hubungannya dengan manager? Pernyataan Bazerman et al. (2002) tidak secara spesifik menunjukkan bahwa kedua pembatasan tersebut diberlakukan terpisah. Sebaliknya, mereka justru mengisyaratkan bahwa kedua peraturan tersebut sebaiknya diberlakukan bersama-sama. Artinya, SSB akan lebih rendah jika aturan durasi hubungan minimum diberlakukan bersamaan dengan durasi hubungan maksimum. Pernyataan itu menyiratkan bahwa pengaruh penurunan pembatasan masa hubungan minimum terhadap bias keputusan auditor akan dimoderasi oleh pembatasan masa hubungan maksimum auditor dengan manager. Selain itu, pernyataan itu menyiratkan bahwa bias paling rendah terjadi jika kedua pembatasan itu berlaku secara sekaligus. Oleh karena itu pertanyaan ketiga yang akan dijawab adalah: (3) Apakah bias pertimbangan auditor akan paling rendah jika aturan pembatasan di satu lingkungan hukum tidak hanya pada durasi minimum, namun juga pada durasi maksimum hubungan auditor dengan manager? Karena pembatasan durasi akan menghasilkan bias yang lebih rendah, maka secara implisit bisa disimpulkan bahwa ketiadaan pembatasan akan memiliki bias tertinggi. Jadi, pertanyaan keempat adalah (4) Apakah ketiadaan pembatasan aturan durasi hubungan auditor dengan manager memang menunjukkan bias keputusan yang paling tinggi? Selain itu, karena auditor dengan manager tidak memiliki pembatasan durasi hubungan, maka bisa diduga bahwa semakin panjang durasi hubungan tersebut, maka semakin tinggi bias keputusan auditor. Hipotesis hubungan-sebagai-
15
pendorong yang ditemukan di dalam riset psikologi menyiratkan bahwa jika dua orang yang saling berhubungan erat dan menjalin persahabatan, maka teori memprediksi bahwa SSB akan muncul. Oleh sebab itu pertanyaan kelima adalah: (5) Apakah lama hubungan auditor dengan manager berhubungan positif dengan bias keputusan auditor? Pengaturan lama hubungan minimum antara auditor dengan klien tidak ada di dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17 tahun 2008. Bazerman et al. (2002) berpendapat bahwa aturan tersebut sebaiknya dibuat untuk mengurangi bias. PMK No. 17 tahun 2008 memang telah mengatur hubungan maksimum auditor dengan klien. Namun, Pasal 3 Ayat 2 dari PMK tersebut membolehkan auditor untuk kembali mengaudit klien sebelumnya, setelah satu tahun dipisahkan dari klien tersebut. Sebenarnya, pembatasan lama hubungan maksimum tersebut diprediksi akan bisa mengurangi bias keputusan auditor, namun Ayat 2 ini akan membuat auditor secara potensial kembali akan mengalami bias dalam membuat keputusan karena ia kembali berhubungan dengan kliennya yang lama. Jika hal ini memang terjadi, yaitu jika auditor kembali mengaudit klien yang lama setelah satu tahun dipisahkan dari klien tersebut, maka bisa diprediksi bahwa bias keputusan auditor akan sama antara masa sebelum ia diganti dengan masa ketika ia kembali menjadi auditor klien yang sama tersebut. Pertanyaan keenam adalah: (6) Apakah bias keputusan auditor akan berbeda sebelum ia dipisahkan dari kliennya dengan setelah ia kembali ke kliennya setelah satu perioda tidak menjadi auditor klien tersebut?
16
Selama masa penyapihan satu perioda tersebut auditor yang lama diganti oleh auditor lain. Karena Pasal 3 Ayat 2 membolehkan auditor lama untuk kembali mengaudit kliennya setelah satu tahun kliennya diaudit oleh auditor lain, maka keputusan auditor pengganti bisa saja menjadi sama biasnya dengan auditor yang digantikan atau justru memiliki bias keputusan yang lebih rendah dibandingkan dengan auditor pengganti. Pertanyaan yang ketujuh adalah: (7) Apakah bias keputusan auditor pengganti sama atau berbeda dengan auditor yang digantikan? (8) Apakah bias keputusan auditor sebelum ia diganti sama dengan bias keputusan setelah ia kembali mengaudit klien yang sama?
1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini secara umum menginvestigasi self-serving bias (SSB) pada auditor yang memiliki hubungan yang relatif panjang dengan manager (klien) dan meneliti apakah strategi yang disarankan oleh Bazerman et al. (2002) itu mampu untuk memitigasi bias ini. Hipotesis hubungan sebagai pendorong (Sedikides et al. 1998, 2002) memprediksi bahwa hubungan yang erat antara dua pihak bisa memunculkan SSB jika salah satu dari kedua pihak tersebut harus membuat penilaian atas pihak yang lain. Bazerman et al. (2002), dalam konteks lingkungan hukum di AS, menyatakan bahwa SSB yang muncul dalam hubungan auditor dengan klien bisa dihilangkan jika panjang hubungan auditor dengan klien dikendalikan dan tidak dibiarkan ditentukan oleh klien seperti saat ini. Dalam konteks Indonesia, pemerintah Indonesia telah mengatur batas maksimum hubungan auditor dengan klien. Namun, hingga sekarang, dalam konteks lingkungan hukum yang dimaksud, belum ditemukan riset tentang bukti SSB
17
antara auditor dengan klien dan apakah strategi yang diusulkan oleh Bazerman et al. (2002), salah satunya berupa pengaturan lama tenur auditor, memang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan SSB. Oleh sebab itu, secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi apakah hubungan yang erat antara auditor dengan manager memang bisa memunculkan SSB seperti yang diduga oleh Bazerman et al. (2002) dan Sedikides et al. (1998, 2002). Karena SSB bisa muncul di dalam hubungan antara dua orang yang berpasangan seperti auditor dan klien dan Bazerman et al. (2002) menyarankan agar hubungan auditor dan klien harus dibatasi, maka penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi keefektifan pembatasan masa hubungan minimum dan/atau maksimum antara auditor dengan manager untuk mengurangi SSB. Aturan rotasi wajib maupun retensi wajib bisa berdiri sendiri maupun digabung. Pemerintah Indonesia hanya mengatur pergantian auditor setelah enam tahun, namun tidak melarang klien untuk menyewa auditor yang lalu setahun setelah auditor tersebut digantikan oleh auditor pengganti. Aturan tersebut bisa mendorong perusahaan (klien) untuk meminta jasa auditor yang lama setelah menggunakan jasa auditor pengganti selama minimum satu tahun. Jika auditor tersebut memiliki kecenderungan untuk bias mendukung kliennya, maka ketika ia kembali bias yang sama akan muncul kembali. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti bias yang terjadi di kedua masa hubungan auditor-klien tersebut. Terakhir, karena aturan rotasi wajib tersebut, maka perusahaan (klien) harus menyewa auditor baru. Auditor baru ini menyadari bahwa ia bisa saja diganti setahun setelah penunjukannya atau bisa juga lebih lama setelah itu, maksimum enam tahun. Karena tidak ada jaminan bahwa ia tidak akan dipecat, maka auditor pengganti ini bisa jadi berusaha untuk mendukung
18
kliennya untuk menjamin keberlanjutan hubungan mereka. Hal yang sebaliknya juga bisa terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi perbedaan bias antara auditor pengganti ini dengan auditor sebelumnya yang ia gantikan.
1.5 Kontribusi Penelitian Menurut Campbell et al. (2000), dalam konteks berpasangan (dyadic), jika salah seorang dari anggota pasangan tersebut berhasil mendapatkan hasil yang positif, maka ia akan menganggap bahwa keberhasilan tersebut adalah karena kemampuannya, sementara jika ia gagal, maka ia akan menyalahkan pasangannya sebagai penyebab kegagalannya. Di dalam riset psikologis terdapat dua hipotesis yang saling berlawanan memprediksi efek dari hubungan erat antara pasangan (dyad) terhadap self-serving bias. Penelitian Sedikides et al. (1998) dan Campbell et al. (2000) gagal menunjukkan bahwa hubungan yang erat antara dua pasangan bisa menimbulkan SSB, walaupun mereka memprediksi sebaliknya. Hubungan auditor dengan klien adalah bentuk hubungan berpasangan. Jika auditor dan klien diberi kebebasan untuk menentukan lama hubungan mereka, maka potensi SSB akan muncul dalam hubungan tersebut. Karena auditor adalah pihak yang harus membuat penilaian atas kliennya, maka bias itu diprediksi akan ditemukan pada auditor ketika ia harus membuat penilaian terhadap kliennya. Prediksi ini terdapat dalam hipotesis hubungan-sebagai-pendorong. Hingga saat ini belum ada penelitian yang secara khusus menguji hipotesis ini dalam konteks hubungan antara auditor dengan kliennya padahal hubungan antara pasangan auditor dan klien memenuhi kondisi untuk pengujian kedua hipotesis di atas, yaitu hipotesis
hubungan-sebagai-pendorong
dan
hipotesis
hubungan-sebagai-
penghalang. Dari sisi teoretis, penelitian ini akan memberi bukti mana di antara
19
kedua hipotesis tersebut yang akan terdukung dalam konteks hubungan auditor dengan klien. Kedua hipotesis tersebut diturunkan dari teori atribusi Heider (1958) dan Weiner (1972, 1985). Simpulan yang diperoleh oleh Sedikides et al. (1998) dan Campbell et al. (2000), misalnya, masih belum konklusif tentang pengaruh keakraban dua orang terhadap bias atribusi. Dari sisi empiris penelitian ini memberikan bukti perbedaan bias auditor dalam pembuatan keputusan di berbagai kondisi hukum. Bazerman et al. (2002) menyiratkan bahwa bias keputusan auditor akan berbeda jika aturan yang mengatur lama hubungan auditor dengan klien juga berbeda. Penelitian ini akan menguji perbedaan bias keputusan auditor pada empat rezim yang berbeda, yaitu (1) rezim tanpa pengaturan lama hubungan, (2) rezim dengan pengaturan lama hubungan maksimum, (3) rezim dengan pengaturan lama hubungan minimum, dan (4) rezim yang sekaligus membatasi lama hubungan maksimum dan minimum. Kontribusi empiris yang lain adalah dari bentuk hubungan berpasangan auditor dengan klien yang berbeda dengan bentuk hubungan berpasangan lain dalam konteks bias atribusi. Di dalam riset-riset yang lain, misalnya Sedikides et al. (1998) dan Campbell et al. (2000), pengamatan SSB adalah ketika salah satu subjek membuat atribusi atas capaian dia dan pasangannya yaitu apakah capaian itu adalah prestasinya atau kesalahan pasangannya. Artinya, SSB yang diamati adalah ketika salah satu anggota pasangan diminta menentukan atribusinya atas capaian dia dan pasangannya secara berpasangan. Riset ini, walaupun mengamati SSB di dalam konteks berpasangan, bias pertimbangan yang diamati tidaklah antara salah satu pasangan terhadap kontribusi pasangan yang lain. Auditor tidak
20
diminta untuk menentukan apakah suatu prestasi adalah karena dirinya dan kegagalan karena faktor pasangannya. Auditor hanya diminta membuat pertimbangan dalam konteks dia mewakili kliennya terhadap pihak lain di luar dia dan pasangannya. Riset yang mengamati pola SSB dalam konteks berpasangan seperti ini belum ada. Riset dengan desain rezim pengaturan hubungan auditor dengan klien yang mirip dengan riset ini adalah Dopuch et al. (2001). Riset Dopuch et al. (2001) tidak didesain berdasarkan sebuah aturan tertentu. Mereka juga membuat pembatasan lama hubungan minimum dan maksimum secara arbitrer. Sebaliknya, penelitian ini secara khusus meminjam aturan di pasal 3 ayat 1 dan 2 dari PMK No. 17 tahun 2008. Peraturan tersebut membatasi lama hubungan auditor dengan klien selama enam tahun untuk kantor akuntan publik dan tiga tahun untuk akuntan publik (pasal 3 ayat 1), membolehkan auditor untuk kembali menjadi auditor bagi klien yang lama setelah tidak memberikan jasa audit selama satu tahun (pasal 3 ayat 2), dan tidak memiliki aturan tentang keharusan meretensi auditor selama beberapa tahun. Oleh sebab itu, dari sisi kebijakan, kontribusi kebijakan dari penelitian ini adalah untuk menginvestigasi keefektifan desain aturan tersebut dan memberi bukti apakah retensi sebaiknya juga diatur atau tidak diatur di dalam peraturan sejenis, misalnya peraturan pelaksana bagi UndangUndang Akuntan Publik.