BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Remaja (adolesence) berasal dari bahasa Latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa”. Perkembangan lebih lanjut, istilah adolesence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini diungkapkan oleh Piaget (Hurlock, 1991 : 206) yang menyatakan, secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa. Usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Integrasi dalam masyarakat (dewasa) mempunyai banyak aspek afektif, berhubungan dengan masa puber termasuk perubahan intelektual yang mencolok. Transformasi intelektual yang khas dari cara berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial dengan orang dewasa yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan remaja. Masa remaja menurut Hurlock (1991:206) dimulai dari usia 13 hingga 18 tahun. Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai 18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Dengan demikian akhir masa remaja merupakan periode yang sangat singkat.
1
Masa remaja merupakan masa terjadinya perubahan yang sangat pesat. Terdapat perubahan yang hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya bergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial. Bagi remaja muda, masalah baru yang timbul tampaknya lebih banyak dan lebih sulit diselesaikan dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Ketiga, perubahan minat dan pola perilaku sehingga mengubah sistem nilai. Apa yang pada masa kanak-kanak dianggap penting menjadi tidak penting lagi. Keempat, ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi takut bertanggungjawab akan akibat dan meragukan kemampuan untuk mengatasi tanggung jawab tersebut. Keempat perubahan yang terjadi pada remaja, membentuk sejumlah tugas perkembangan yang perlu dicapai oleh remaja. Pencapaian tugas perkembangan remaja memerlukan pengarahan tentang kehidupan melalui pendidikan dirumah, di sekolah maupun di masyarakat. Pada proses pendidikan, anak (dalam hal ini remaja) cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan anak mengetahui tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat atau patut dan tidak patut dilakukan. Peranan keluarga bagi pendidikan anak menurut Idris dan Jamal (Bakhrul Khair Amal, 2005) adalah memberikan dasar pendidikan, sikap, dan keterampilan dasar seperti pendidikan agama, budi pekerti, sopan santun, estetika, kasih sayang, rasa aman, dasar-dasar untuk mematuhi peraturan-peraturan, dan menanamkan
2
kebiasaan-kebiasaan. Peranan keluarga adalah mengajarkan nilai-nilai dan tingkah laku yang sesuai dengan yang diajarkan di sekolah. Orang dewasa yang merasa lelah terhadap sikap dan tingkah laku anak yang dinilai nakal menjadi tidak sabar dan menggunakan kekerasan untuk mendidik. Bagi banyak orang kekerasan pada anak dianggap hal yang wajar. Sebagian orang dewasa beranggapan memukul adalah bagian dari usaha mendisplinkan sehingga melupakan tugas dan tanggung jawab untuk mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Pada kasus penyiksaan, dapat dilandasi oleh masalah psikologis yang cukup berat yang dialami oleh pelaku. Menurut penelitian para psikoanalis, para abuser (pelaku) sebenarnya pernah menjadi korban di masa lalu, di mana abuser juga mengalami perlakuan sama atau lebih parah yang diterima dari orang dewasa atau siapapun yang berperan dalam hidup mereka saat itu. Demikian juga pihak korban, pada umumnya korban juga mempunyai masa lalu yang traumatis sehingga melahirkan sikap ketergantungan yang kronis. Hal ini lah yang menjelaskan mengapa korban tindak kekerasan tidak berani keluar dari lingkungan tempat tinggalnya meskipun sering diperlakukan tidak layak. Menurut berbagai lembaga penanganan terhadap anak-anak yang mendapat perlakuan negatif dari orang dewasa, ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dampak atau efek dari penyiksaan atau pengabaian terhadap kehidupan remaja. Faktor-faktor tersebut adalah :
3
1. jenis perlakuan yang dialami 2. seberapa parah perlakuan tersebut dialami 3. sudah berapa lama perlakuan tersebut berlangsung 4. usia dan daya tahan psikologis dalam menghadapi tekanan 5. apakah dalam situasi normal tetap memperoleh perlakuan atau pengasuhan yang wajar 6. apakah ada orang lain atau anggota keluarga lain yang dapat mencintai, mengasihi, memperhatikan dan dapat diandalkan. Menurut para ahli dan psikolog, tindak kekerasan tidak selalu berbentuk fisik, namun bisa secara emosional. Individu terkadang tidak menyadari bahwa dirinya telah melakukan atau pun menjadi korban penyiksaan secara verbal karena merasa hal itu biasa terjadi, normal atau karena “sudah wataknya” atau “sudah adatnya” ataupun mengingat latar belakang suku individu berasal. Padahal, semakin individu tidak sadar, maka akan semakin sulit pulih kembali karena penyiksaan emosional (yang dilakukan secara verbal) yang berlangsung lama dan intensif akan menimbulkan persoalan kritis menyangkut harga diri, rasa percaya diri dan sense of identity-nya. Semakin lama kekuatan psikis akan melemah sampai akhirnya dirinya yang jadi korban sudah hilang keberanian untuk keluar dari situasi tersebut. Semakin lama individu akan semakin tergantung pada pihak yang dominan meski membuatnya menderita namun individu merasa tidak punya pilihan lain dalam hidup.
4
Jika remaja sejak awal mempunyai locus of control yang lemah apabila dihadapkan pada persoalan ini, remaja hanya menyerah pada “nasib”. Remaja bisa timbul pemikiran bahwa seburuk apapun perlakuan yang diterima, paling tidak ia bisa mendapatkan tempat tinggal, serta dipenuhi kebutuhan sandang pangannya, karena remaja berpikir di luar belum tentu remaja mendapatkan halhal yang ia butuhkan selama ini. Pihak yang mendominasi akan semakin berlebihan sikap dan perilakunya, karena melihat remaja semakin tidak berdaya, lemah dan mudah dihancurkan. Bagaikan melihat musuh yang sudah kalah, maka agresivitasnya semakin bertambah. Berdasarkan
catatan
Komisi
Perlindungan
Anak
Indonesia
dalam
tempointeraktif.com, selama tahun 2003 terdapat 481 kasus kekerasan. Jumlah ini meningkat menjadi 547 kasus tahun 2004, dimana 221 kasus merupakan kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya. Berdasarkan rekapitulasi data surat kabar, anak korban kekerasan di wilayah Jawa Barat tahun 2002 oleh Lembaga Advokasi Anak (LAHA) Bandung sebagian besar anak korban kekerasan di Jawa Barat adalah remaja, dari 450 anak korban kekerasan jumlah remaja sebanyak 65 %. Penelitian di Jawa Timur tahun 1994-1997 ditemukan 103 kasus kekerasan yang 65 % nya adalah remaja (Abu huraerah, 2006 : 33). Jumlah tindak kekerasan diyakini lebih banyak lagi mengingat banyak kasus yang tidak terlaporkan maupun sengaja dirahasiakan karena dianggap aib, baik oleh korban, keluarga, maupun masyarakat sekitarnya.
5
Primary survey telah dilakukan terhadap sejumlah anak di SMA Pasundan 2 Bandung mengenai pengalaman tindak kekerasan yang dialami remaja dimulai dari usia 6 tahun hingga usia 18 tahun. Pengalaman tindak kekerasan yang pernah dialami remaja dapat dilihat dalam tabel 1.1. Tabel 1.1 Bentuk tindak kekerasan yang dialami siswa SMA Pasundan 2 Bandung JENIS KEKERASAN
TOTAL
Dipukul dengan penggaris Dipukul dengan tongkat Dipukul dengan buku, dibotaki rambut Dianiaya, dilempar batu Dilempar kayu, penghapus, kapur/buku Disundut rokok Disiram air Dibakar Mulut dilakban Dicubit Dimarahi/diomeli Diejek Disuruh lari Didorong Dibentak Digertak Dijewer Ditampar Didorong kepala Dipukul dengan tangan Dijemur ditengah lapangan Ditendang Push up Squat jump Diinjak Disuruh berdiri sebelah kaki Dijitak Ditarik alas mata
6
(%)
15
39%
4 2
11% 5%
2
5%
7 5
18% 13%
6
16%
0 0
0% 0%
29
76%
35 26
92% 68%
20
53%
22 26
58% 68%
14
37%
23 18
61% 47%
18
47%
19 4
50% 11%
13
34%
19 26
50% 68%
4
11%
11 16
29% 42%
1
3%
Dipaksa nonton film porno Diajak ngobrol porno Dicium paksa Dipeluk paksa Dicolek Paha di elus Dada diraba Rok disingkap Alat kelamin diraba Dirayu Dilihat dari kepala hingga kaki Ditarik tali BH (Breast Holder) Disodomi Diperkosa Dilecehkan Dipegang-pegang Pukulan penggaris di papan tulis agar siswa diam Dipaksa memakai narkoba Ditodong senjata di kepala Dimarahi Disindir Dikata-katai kasar Dilabeli (anak nakal, bodoh, badeur, pengganggu) Ditagih bayaran didepan kelas Nilai jelek bagi siswa yang tidak ikut les Paksaan untuk beli buku pelajaran Razia Dihina Diancam Diusir dari kelas Dibentak Digertak Disumpahi Dibanding-bandingkan Dilecehkan Dihadang Diejek Dibungkam Dipaksa mabuk
7
4
11%
13 0
34% 0%
1
3%
12 0
32% 0%
0
0%
4 0
11% 0%
14
37%
13 0
34% 0%
0
0%
0 1
0% 3%
3
8%
17 0
45% 0%
1
3%
36 26
95% 68%
20
53%
11 4
29% 11%
3
8%
11 18
29% 47%
17
45%
18 18
47% 47%
21
55%
13 8
34% 21%
26
68%
6 7
16% 18%
24
63%
4 5
11% 13%
Dicemooh Dikucilkan Dipalak Disakiti perasaan Ditipu Dicaci maki Diusir Kawin paksa Dikurung dikamar mandi Diolok-olok Dianggap bodoh Diterlantarkan
7
18%
13 21
34% 55%
26
68%
22 8
58% 21%
11
29%
0 2
0% 5%
10
26%
12 4
32% 11%
Berdasarkan rekapitulasi primary survey, pengalaman tindak kekerasan yang sering dialami remaja SMA Pasundan 2 Bandung secara fisik yakni dicubit, dimarahi/diomeli, disuruh lari, didorong, dibentak, dijewer, dipukul dengan tangan, push up, squat jump; secara psikis yakni disindir, dikata-katai kasar, diejek, dibanding-bandingkan, diejek, dipalak, disakiti perasaan dan ditipu; secara seksual yakni diajak ngobrol porno, dicolek, dirayu, dilihat dari kepala hingga kaki. Kekerasan akan menimbulkan dampak dan trauma pada remaja. Akibat-akibat kekerasan mencakup dampak kerusakan secara fisik dan emosional secara umum antara lain (Keri Lasmi Sugiarti, 2003:16): 1. dampak kesehatan secara umum, seperti luka fisik hingga cacat tubuh 2. mengalami kesulitan belajar 3. konsep diri yang buruk termasuk harga diri yang rendah 4. rendah diri
8
5. remaja belajar meyakini bahwa menyakiti orang yang dicintai adalah boleh-boleh saja 6. tidak memiliki kepercayaan pada orang lain 7. terstigmatisasi oleh pandangan masyarakat sekitarnya Remaja korban tindak kekerasan cenderung menjadi pelaku kekerasan setelah remaja dewasa. Individu yang pernah mengalami tindak kekerasan akan menimbulkan tingkah laku agresif atau depresi, tidak mampu bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya, memunculkan tingkah laku bermasalah dan menggunakan obat-obatan terlarang, berperilaku menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. Kekerasan yang dialami juga menimbulkan dampak trauma pada remaja, karena tindak kekerasan merupakan suatu pengalaman yang bersifat trauma bagi remaja. Sebuah pengalaman trauma remaja merupakan kejadian yang dialami seorang remaja, atau remaja sebagai saksi mata, atau mengalami langsung dimana remaja dalam keadaan terancam, mengalami luka serius, bahkan suatu ancaman kematian. Trauma yang berkepanjangan akibat pengalaman perlakuan tindak kekerasan akan membentuk rendahnya harga diri (low self esteem) pada remaja. Perasaan rendah diri dan merasa diri tidak berguna merupakan salah satu dampak dari rendahnya harga diri. Jungmeen Kim & Dante Cicchetti (2004) juga meyakini dalam penelitian, dikatakan “Maltreated children also are more likely to be rated by teachers and mothers as lower in self-esteem and social competence, and as
9
having less positive self-concepts than nonmaltreated children” (Anak yang sering diperlakukan salah oleh guru dan orangtua cenderung memiliki harga diri dan kompetensi sosial yang rendah, dan tidak memiliki konsep diri yang positif dibandingkan anak yang diperlakukan dengan benar). Pernyataan tersebut menyatakan harga diri yang rendah dapat terbentuk akibat perlakuan salah (kekerasan) yang diterima anak. Remaja
yang
mendapatkan
pengalaman
tindak
kekerasan
perlu
memperoleh bantuan bimbingan untuk meningkatkan harga diri agar tercapai tugas-tugas perkembangan sebagai remaja. Tugas perkembangan memiliki tiga macam tujuan, yakni (1) sebagai petunjuk bagi remaja untuk mengetahui apa yang diharapkan masyarakat; (2) memberikan motivasi pada remaja untuk melakukan apa yang diharapkan oleh kelompok sosial; (3) menunjukkan pada tiap remaja tentang apa yang remaja hadapi dan tindakan apa yang diharapkan dilakukan untuk memasuki tingkat perkembangan berikutnya. Harga diri sebagai bentuk dari konsep diri menimbulkan perasaan dan sikap percaya diri, diri berharga, diri mampu, dan perasaan berguna dan penting di dunia. Sebaliknya, frustrasi karena kebutuhan harga diri tak terpuaskan akan menimbulkan perasaan dan sikap inferior, canggung, lemah, pasif, tergantung, penakut, tidak mampu mengatasi tuntutan hidup dan rendah diri dalam bergaul. Menurut Maslow penghargaan dari orang lain hendaknya diperoleh berdasarkan penghargaan diri kepada diri sendiri. Orang seharusnya memperoleh harga diri
10
dari kemampuan diri sendiri bukan dari ketenaran eksternal yang tidak dapat dikontrol yang membuat tergantung kepada orang lain. Penelitian akan mengeksplorasi pengalaman kekerasan yang dialami siswa SMA Pasundan 2 Bandung serta dampak terhadap harga diri siswa sebagai remaja. Hasil dan profil tindak kekerasan dan dampaknya terhadap harga diri siswa akan menjadi dasar bagi guru bimbingan dan konseling di SMA Pasundan 2 Bandung dalam mengembangkan program bimbingan dan konseling untuk meningkatkan harga diri siswa yang memperoleh pengalaman perlakuan tindak kekerasan.
B. IDENTIFIKASI MASALAH Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik atau mental. Anak yang dimaksud dalam penelitian adalah individu yang belum mencapai usia 18 tahun. Oleh karena itu, kekerasan pada anak adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau individu pada seseorang yang belum 18 tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan atau mentalnya terganggu. Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual maupun emosi. Pelaku kekerasan karena bertindak sebagai caretaker, maka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak antara lain ibu dan bapak kandung, ibu
11
dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru, tukang ojek pengantar ke sekolah dan tukang kebon. Pelaku kekerasan tercatat pula berupa orang asing yang tidak dikenal korban. Pengalaman remaja berhadapan dengan kekerasan beraneka ragam baik dari segi bentuk-bentuk kekerasan yang dialami, pelaku kekerasan, tempat kejadian, dan sebab-sebab terjadinya kekerasan. Bentuk kekerasan yang dialami merupakan bentuk-bentuk perlakuan yang tidak wajar secara fisik, psikis, seksual atau tidak adanya perhatian atau penelantaran yang dapat menyebabkan luka fisik atau kerusakan emosional pada remaja. Remaja yang menderita secara fisik, psikis maupun seksual, atau mengalami penelantaran maka berarti remaja telah disiksa. Pengalaman tindak kekerasan yang dirasakan sejak kanak-kanak akan berdampak pada harga diri (self esteem) anak pada usia remaja. Jungmeen Kim & Dante Cicchetti dalam Journal of Abnormal Child Psychology (2004) mengatakan Studies also have shown that parental attachment and parenting behaviors have significant linkages with self-esteem in adolescents (penelitian-penelitian juga telah menunjukkan bahwa cinta kasih dan perilaku orang tua memiliki hubungan yang signifikan dengan harga diri anak pada masa remaja). Menurut Erikson, manusia berkembang melalui tahap psikososial yang mengalami perubahan perkembangan sepanjang siklus hidup manusia. Teori Erikson, delapan tahap perkembangan terjadi ketika individu melalui siklus hidup. Kedelapan tahapan tersebut adalah trust vs mistrust; autonomy vs shame and doubt; initiative vs guilt; industry vs inferiority; identity vs identity
12
confusion; intimacy vs isolation; generativity vs stagnation; integrity vs despair. Tiap tahap terdiri dari tugas perkembangan yang unik, yang menghadapkan individu dengan krisis yang harus dihadapi. Bagi Erikson, krisis bukanlah bencana tetapi merupakan titik balik dari kepekaan yang meningkat dan potensi yang bertambah. Semakin berhasil individu mengatasi konflik, semakin sehat perkembangan
individu.
Tahap-tahap
perkembangan
psikososial
Erikson
ditunjukkan dalam tabel 1.2 dibawah ini.
Tabel 1.2 Tahap-tahap Perkembangan Psikososial Erikson Tahapan Erikson Trust vs mistrust
Autonomy vs shame and doubt
Initiative vs guilt
Masa Karakteristik Perkembangan Masa bayi (tahun Rasa percaya tumbuh dari ketiadaan rasa pertama) kenyamanan fisik dan ketiadaan rasa takut tentang masa depan. Kebutuhan dasar bayi dipenuhi oleh pengasuh yang sensitif dan responsif. Masa bayi (tahun Setelah mengembangkan rasa percaya kedua) terhadap pengasuhnya, anak mulai menemukan bahwa anak mempunyai keinginan sendiri. Anak menyadari keinginannya. Kalau anak terlalu dikekang atau dihukum terlalu keras, anak mungkin akan mengembangkan rasa malu atau raguragu. Masa anak awal Ketika anak prasekolah memasuki dunia (usia pra sekolah, sosial yang lebih luas, anak menghadapi 3-5 tahun) lebih banyak tantangan dan harus mengembangkan tingkah laku yang bertujuan untuk mengatasi tantangan ini. Anak sekarang diminta lebih bertanggung jawab. Perasaan bersalah yang tidak nyaman mungkin timbul bila anak tidak
13
bertanggung jawab. Perasaan bersalah yang tidak nyaman mungkin timbul bila anak tidak bertanggung jawab dan ia dibuat menjadi terlalu cemas. Indistry vs inferiority
Masa anak pertengahan dan akhir (usia sekolah, 6 tahun pubertas)
Identity vs identity confusion
Remaja (10-20 tahun)
Akhir masa anak awal adalah masa perluasan imajinasi dan anak sangat antusias. Memasuki usia sekolah, anak mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Bahaya dalam tahap ini meliputi perasaan tidak kompeten dan tidak produktif Individu diharapkan menemukan siapa dirinya, dirinya sebetulnya apa, dan kemana dirinya menuju dalam hidupnya. Dimensi yang penting adalah mengeksplorasi solusi alternatif mengenai peran. Eksplorasi tentang karier adalah penting.
Sumber: Santrock, 2003: 48 Tabel 1.2 menjelaskan pengalaman rasa percaya pada masa bayi (trust vs mistrust) membentuk harapan sepanjang hidup bahwa dunia adalah tempat yang baik dan menyenangkan untuk hidup. Bila anak terlalu dikekang atau dihukum dengan terlalu keras pada masa autonomy vs shame and doubt, anak akan mengembangkan perasaan malu dan ragu-ragu lalu perasaan bersalah yang tidak menyenangkan akan timbul pada anak yang tidak bertanggungjawab dan anak yang dibentuk menjadi pencemas (initiative vs guilt). Inisiatif anak membawanya berhubungan dengan macam-macam pengalaman baru. Akhir masa anak-anak ketika imajinasi sedang berkembang merupakan masa dimana anak sangat bersemangat untuk belajar. Bahaya pada masa sekolah dasar (industry vs inferiority) adalah perkembangan rasa rendah diri, perasaan tidak kompeten dan
14
tidak produktif. Pada masa identity vs identity confusion, remaja dihadapkan dengan banyak peran baru dan status orang dewasa, bila remaja mengeksplorasi peran-peran tersebut dalam cara yang sehat dan mendapatkan jalan yang positif untuk diikuti dalam hidupnya, suatu identitas yang positif akan terbentuk. Kekacauan identitas akan terjadi pada diri remaja bila suatu identitas dipaksakan pada remaja oleh orangtua, bila remaja kurang mengeksplorasi peran-peran yang berbeda dan bila jalan ke masa depan yang positif tidak ditentukan. Pada karya klasik Erikson yang berjudul identity: Youth and Crisis (1968), terlihat dari delapan tahap perkembangan, Erikson, lebih memberi penekanan pada identitas vs kebingungan identitas (identity vs identity confusion), yang terjadi selama masa remaja. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tahap identity vs identity confusion dipandang menentukan perkembangan kepribadian masa dewasa. Pengalaman perlakuan tindak kekerasan yang dialami individu dari kecil hingga remaja akan mempengaruhi keseluruhan aspek kehidupan remaja dimasa dewasa kelak. Apabila pengalaman buruk tidak dapat diatasi, akan terjadi konflik dalam diri yang kemudian berimplikasi terhadap kepribadian remaja. Salah satu dampak yakni rendahnya harga diri (low self esteem). Ciri-ciri rendahnya harga diri akan tampak dalam beberapa sikap sebagai berikut. Takut (afraid), cemas (anxious), aneh (awkward), sendiri (alone), terbebani (burdened), tidak diterima (controlled), dikritik (criticized), tertekan (depressed), ditolak (disapproved of), rendah diri (discouraged), tidak dihormati (disrespected), tidak dipercaya (distrusful), frustrasi (frustrated), terisolasi
15
(isolated), bersalah (guilty), tidak tertolong (helpless), putus asa (hopeless), tidak mampu (incompetent), salah paham (misunderstood), pesimis (pessimistic), tertekan (pressured), lemah (powerless), ditolak (rejected), sadar diri (selfconscious), tidak disukai (unappreciated), tidak penting (unimportant), tidak dicintai (unlovable), tidak dibutuhkan (unneeded), tidak didukung (unsupported), tidak yakin (unsure), cemas (worried). Sekolah memiliki guru pembimbing atau konselor yang bertugas untuk menyelesaikan berbagai permasalahan psikologis siswa dalam keseluruhan aspek intelektual, emosional dan tindakan. Pengembangan program bimbingan dan konseling untuk meningkatkan harga diri siswa merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan guru pembimbing atau konselor disekolah.
C. RUMUSAN MASALAH Rendahnya harga diri akibat pengalaman perlakuan tindak kekerasan yang dialami remaja mulai dari masa anak-anak merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah terutama guru pembimbing untuk memberikan layanan bimbingan dan konseling. Tujuannya adalah agar siswa dapat meningkatkan harga dirinya dan mencapai tugas perkembangannya sebagai remaja secara optimal. Rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimana gambaran umum pengalaman perlakuan tindak kekerasan yang dialami remaja di SMA Pasundan 2 Bandung?
16
2. Bagaimana gambaran harga diri remaja di SMA Pasundan 2 Bandung? 3. Bagaimana hubungan pengalaman tindak kekerasan dengan harga diri remaja di SMA Pasundan 2 Bandung?
D. TUJUAN PENELITIAN Penelitian bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai: 1. Gambaran umum pengalaman perlakuan tindak kekerasan yang dialami remaja di SMA Pasundan 2 Bandung. 2. Gambaran harga diri remaja di SMA Pasundan 2 Bandung 3. Hubungan tindak kekerasan dengan harga diri remaja di SMA pasundan 2 Bandung.
E. DEFINISI OPERASIONAL Pengalaman perlakuan tindak kekerasan dalam penelitian adalah perasaan sakit dan perasaan tidak nyaman yang dilakukan orang dewasa melalui tindakan yang melukai berulang-ulang secara fisik (dicubit, dimarahi/diomeli, disuruh lari, didorong, dibentak, dijewer, push up, squat jump, dipukul dengan tangan), psikis (disindir, dikata-katai kasar, diejek, dibanding-bandingkan, dipalak, disakiti perasaan, ditipu) dan seksual (diajak ngobrol porno, dicolek, dirayu, dilihat dari kepala hingga kaki) terhadap diri remaja yang dialami mulai dari usia 6 hingga 18 tahun yang dilakukan oleh keluarga atau masyarakat di rumah atau lingkungan sekitar.
17
Harga diri dalam penelitian didefinisikan sebagai ukuran penilaian remaja sebagai orang yang memiliki kekuatan (power), keberartian (significant), kebijaksanaan (virtue), dan kompeten (competence) dalam dimensi evaluasi diri (self-evaluation) yang meliputi gambaran diri yang dimiliki (self-image) dengan gambaran diri yang diinginkan (self-ideal), penilaian sosial (social judgement) dan evaluasi terhadap identitas diri; serta keberhargaan diri (self-worth).
F. MANFAAT PENELITIAN Hasil penelitian dapat memberikan beberapa manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Praktis a. Bagi guru pembimbing yaitu rekomendasi satuan layanan bimbingan dan
konseling
yang
dapat
digunakan
di
sekolah
dalam
mengembangkan harga diri siswa yang mengalami perlakuan tindak kekerasan. b. Bagi guru yaitu hasil penelitian dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk tidak melakukan tindak kekerasan dalam mendidik siswa. c. Bagi peneliti selanjutnya yaitu hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk mengembangkan penelitian yang lebih mendalam terhadap pelaku tindak kekerasan. Untuk mengetahui secara pasti mengenai faktor-faktor penyebab yang membuat seseorang melakukan tindak kekerasan.
18
2. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian akan memantapkan dan mengembangkan teori mengenai tindak kekerasan kaitannya dengan harga diri di setting pendidikan. b. Hasil
penelitian
akan
diperoleh
gambaran
umum
mengenai
pengalaman tindak kekerasan serta kaitannya dengan harga diri remaja di SMA Pasundan 2 Bandung c. Hasil penelitian akan digunakan untuk merancang program untuk mengembangkan harga diri remaja di SMA Pasundan 2 Bandung.
19