BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Putusan Pengadilan merupakan suatu produk hukum berupa Putusan yang
dikeluarkan oleh Hakim dan merupakan pernyataan sebagai pejabat Negara yang berwenang, diucapkan dimuka sidang yang hasil akhirnya adalah untuk mengakhiri sengketa perkara antar pihak yang bersengketa. Putusan juga merupakan suatu pernyataan yang memiliki kekuatan hukum mengikat yang diatur dalam undang-undang untuk dipatuhi dan dijalani. Pada perkara kepailitan yang diajukan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang bunyinya adalah “Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”. Perbedaan yang sangat substansial dalam hukum acara kepailitan tersebut terletak pada bentuk pengajuannya berupa Permohonan tetapi produk hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga adalah Putusan. Dapat diketahui bahwa suatu putusan dikeluarkan oleh Pengadilan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa, yaitu produk
1
pengadilan yang sesungguhnya dan disebut jurisdiction contentiosa, karena adanya 2 (dua) pihak yang berlawanan dalam perkara (penggugat dan tergugat). Adapun yang dimaksud dengan penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter), misalnya penetapan dalam perkara dispensasi nikah, izin nikah, wali adhal, poligami, perwalian, itsbat nikah, dan sebagainya. Penetapan
merupakan
jurisdiction
valuntaria
(bukan
peradilan
yang
sesungguhnya). Karena pada penetapan hanya ada permohon tidak ada lawan hukum dan dalam suatu penetapan, Hakim tidak menggunakan kata “mengadili” namun cukup dengan menggunakan kata”menetapkan”. Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga terkait permohonan pernyataan kepailitan juga memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam perkara kepailitan terdapat 2 (dua) jenis produk hukum yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga. Produk hukum tersebut adalah Putusan Hakim yang dikeluarkan oleh Hakim Pemutus dan Penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim Pengawas yang memiliki kekuatan yang sama dengan Putusan Hakim tersebut. Pada sifatnya, suatu putusan memiliki 3 kekuatan hukum tertentu yang diatur oleh undang-undang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata antara lain : 1.
Kekuatan mengikat (Pasal 1917) yaitu putusan memiliki kekuatan mengikat kedua belah pihak yang berperkara dan hal ini menuntut para pihak untuk tunduk dan patuh terhadap putusan pengadilan tersebut;
2.
Kekuatan pembuktian (Pasal 1918) yaitu kekuatan pembuktian dalam putusan pidana, putusan memiliki kekuatan pembuktian dan dengan adanya
2
putusan tersebut telah diperoleh kepastian tentang perkara tersebut dan dapat dipergunakan sebagai bukti dalam perkara perdata yang berjalan bersama dengan perkara pidana tersebut; 3.
Kekuatan eksekutorial (Pasal 195 HIR) yaitu bahwa putusan memiliki kekuatan untuk dilaksanakan dengan segera dan secara paksa yang dapat dilakukan oleh alat-alat Negara. Putusan pengadilan dalam susunan ada isinya terdiri atas 5 bagian1, hal ini
diatur dalam beberapa Pasal yang terdapat dalam Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan Rechtsreglement Buitengewesten (RBG) antara lain Pasal 183 Jo. 184 Jo. 187 HIR atau Pasal 194,195,198 RBG yang menyebutkan bahwa bagian tersebut yaitu: 1.
Kepala Putusan;
2.
Identitas para pihak;
3.
Pertimbangan;
4.
Amar;
5.
Penandatanganan. Dalam kitab undang-undang hukum acara perdata yang dikenal juga sebagai
HIR (berlaku untuk pulau jawa dan Madura) dan RBG (berlaku selain dipulau jawa dan Madura) memuat tentang bagaimana beracara dipengadilan dan tata cara penerapan hukum acara perdata, yang dijelaskan secara terperinci.
1
Lihat ketentuan Pasal 183 jo. 184 jo. 187 Herziene Indonesische Reglement (HIR) dan/atau Pasal 194 jo. 195 jo. 198 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG).
3
Menurut R. Soeroso, dalam bukunya yang berjudul Praktik Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan, menyebutkan bahwa didalam struktur peradilan umum di Indonesia terbagi atas 32, yaitu : 1.
Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan tingkat pertama yang memiliki wewenang mengadili semua perkara baik perkara pidana atau perdata;
2.
Pengadilan Tinggi atau Pengadilan tingkat banding yang juga merupakan pengadilan tingkat kedua;
3.
Mahkamah Agung yang merupakan Pengadilan tingkat terakhir dan bukan merupakan pengadilan tingkat ketiga. Perkara-perkara ini merupakan perkara yang dimintakan Kasasi dan yang diperiksa adalah penerapan hukumnya saja. Selain itu Mahkamah Agung juga memiliki wewenang untuk melakukan Peninjauan Kembali terhadap kasus-kasus yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Selain itu untuk proses beracara dalam persidangan pengadilan yang harus
diperhatikan adalah tahapan dalam beracara yang diawali dari pemberian kuasa kepada kuasa hukum (advokat) yang telah memiliki izin beracara di Pengadilan. Hal ini dapat dilakukan ataupun tidak, mengingat hal tersebut merupakan hak dari setiap pribadi dan apabila pemberian kuasa dilakukan hal ini bertujuan agar memberikan bantuan hukum berdasarkan keahlian khusus dibidang hukum dan membantu menentukan langkah konkrit yang akan diambil dalam penyelesaian perkara tersebut.
2
R.Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata:Tata Cara Dan Proses Persidangan, Jakarta, Sinar Grafika, Edisi 4, 2001, hlm 5-6.
4
Apabila langkah hukum yang diambil adalah dengan mengajukan Gugatan Perdata kepada Pengadilan maka tahap selanjutnya adalah menyusun dan merumuskan Gugatan. Dalam hal untuk menyusun gugatan yang dapat dilakukan oleh kuasa hukum adalah untuk merumuskan duduk perkara, dalam hal ini harus ada dalil-dalil posita konkret tentang alasan dari gugatan tersebut atau Fundamentum Petendi
3
yang terdiri atas bagian yang menguraikan tentang
kejadian atau peristiwa dan bagian yang menguraikan tentang dasar hukumnya. Dalam perumusan Posita dan Petitum ini harus ada hubungan hukum yang jelas agar gugatan tersebut dapat diterima, jika tidak gugatan tersebut dapat dianggap obscuur libel (Gugatan kabur). Setelah adanya gugatan tersebut barulah masuk dalam proses pemeriksaan perkara, proses persidangan dan yang terakhir adalah Putusan Hakim yang merupakan Putusan Pengadilan. Terhadap Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan tersebut dapat diajukan upaya hukum. Upaya hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa (istimewa). Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum tetap dan pada dasarnya dapat menangguhkan eksekusi (dengan pengecualian adanya putusan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau uitvoerbaar bij voorad) . Terhadap Upaya Hukum Biasa mencakup : 1.
Perlawanan/Verzet;
2.
Banding yang dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi;
3.
Kasasi yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. 3
R. Soeroso, Praktek Hukum Acara Perdata: Tata Cara Dan Proses Persidangan,Jakarta,Sinar Grafika,Edisi kedua,2009, hlm 57
5
Selain upaya hukum biasa, dikenal juga upaya hukum luar biasa (istimewa) yang merupakan upaya hukum yang dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Terhadap upaya hukum luar biasa mencakup : 1.
Peninjauan Kembali yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung;
2.
Perlawanan Pihak Ketiga / Derden Verzet terhadap sita eksekutorial. Berbeda dengan Hukum acara Kepailitan yang diatur dalam Undang-undang
No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak yang kalah dalam perkara kepailitan adalah Kasasi kepada Mahkamah Agung sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (1) yang mengatakan bahwa “Upaya hukum yang dapat diajukan terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah kasasi ke Mahkamah Agung”4. Lilik Mulyadi, dalam bukunya yang berjudul Perkara Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik : Dilengkapi Putusan Putusan Pengadilan Niaga, mengatakan bahwa Putusan Hakim dalam perkara Kepailitan apabila dilihat dalam perspektif normatif yaitu Pasal 8 ayat (7) dan Pasal 16 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 yang mengisyaratkan bahwa terhadap Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga mempunyai kekuatan dapat dilaksanakan terlebih dahulu. Pengaturan dapat dilaksanakan terlebih dahulu ini
4
Lihat Pasal 11 ayat (1) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
6
hakikatnya berorientasi kepada lembaga uitvoerbaar bij voorad atau putusan serta-merta sebagaimana dikenal dalam hukum acara perdata5 Terhadap Permohonan pernyataan pailit kepada Pengadilan Niaga memiliki syarat yang harus dipenuhi sebagaimana diatur pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (4) yaitu : 1.
Debitur yang memiliki 2 (dua) atau lebih Debitur;
2.
Tidak membayar lunas sedikitnya 1 (satu) utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih; dan
3.
Terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan yang dimaksudkan dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi. Berdasarkan ketentuan tersebut maka terhadap Permohonan pernyataan
pailit harus dikabulkan oleh Pengadilan Niaga berdasarkan Putusan Pengadilan baik atas permohonan dari Debitur sendiri maupun atas permohonan dari 1 (satu) atau lebih Kreditur. Suatu Putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah suatu putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan pada tingkat pertama yang tidak diajukan upaya hukum maupun putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan tingkatan tertinggi, sehingga tidak akan ada putusan dari pengadilan lain yang dapat mengalahkan putusan tersebut. Berdasarkan atas ketentuan tersebut maka terhadap Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu dapat segera dilaksanakan meski harus menggunakan paksaan karena memiliki kekuatan eksekutorial.
5
Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik : Dilengkapi Putusan-Putusan pengadilan Niaga, Bandung, Alumni, 2010, hlm 153-154.
7
Pada Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dapat dilakukan tidakan eksekusi6. Eksekusi tersebut merupakan suatu tindakan yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu perkara yang dijatuhkan kepada pihak yang kalah oleh Pengadilan. Hal ini juga telah diatur dalam HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui7 bab ke-10 bagian ke-5 atau RBG Titel ke-4 bagian ke-4 termasuk didalamnya adalah dimulai dari Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau dimulai dari Pasal 206 sampai dengan Pasal 258 RBG. Adapun tata urutan yang diatur dalam pelaksanaan eksekusi tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat;
2.
Peringatan / aanmaning;
3.
Sita eksekusi
4.
Lembaga paksa badan dan atau penyanderaan (gijzeling);
5.
Penjualan lelang. Saat ini tata urutan yang tersebut sudah ada perubahan yang diatur dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2000 yang menyebutkan bahwa penyaderaan terhadap debitur tertentu dapat dilakukan apabila terpenuhi syaratsyarat tertentu yang disebutkan dalam peraturan tersebut. Terhadap lembaga paksa badan tersebut akan lebih lanjut dijelaskan pada sub bab tersendiri dalam tesis ini. Pada suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap maka eksekusi tersebut seharusnya dapat langsung dilakukan dalam teorinya, tetapi dalam prakteknya bisa saja tidak dapat dilakukan karena adanya perlawanan-perlawanan 6 7
R. Soeroso, Op.cit.,hal 9 Ibid, hlm 14
8
dari pihak yang kalah. Perlawanan tersebut dapat berbentuk perlawanan fisik ataupun perlawanan hukum. Dalam perlawanan terhadap putusan tersebut melalui perlawanan hukum dapat saja dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1.
Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ke-3 sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap perkara tersebut disebut derden verzet8;
2.
Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ke-3 sesudah adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap terhadap perkara tersebut disebut gugatan perdata biasa. Tentang perlawanan yang diajukan ini haruslah berasal dari pihak ke-3 yang
merasa bahwa dengan adanya putusan eksekusi tersebut dan pelaksanaannya dapat merugikan dirinya baik dalam bentuk materi maupun fisik. Pihak ke-3 ini berarti adalah pihak lain yang tidak ada sangkut pautnya dalam perkara awal (bukan merupakan salah satu dari penggugat atau tergugat maupun turut tergugat). Terhadap eksekusi atas Putusan Pengadilan tersebut harus terkandung asasasas sebagai berikut: 1.
Adanya putusan yang telah berkekuatan hukum tetap;
2.
Putusan tidak dijalankan dengan sukarela;
3.
Adanya putusan yang bersifat kondemnator (kondemnatoir) yaitu putusan yang amar putusan atau diktumnya mengandung unsur penghukuman9;
4.
eksekusi dibawah perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan Negeri
8
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm 300 9 M. Yahya Harahap,Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata , Jakarta, Sinar Grafika, Edisi Kedua, 2010, hlm 14
9
Eksekusi dapat dijalankan sesuai dengan tata cara eksekusi atas putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tetapi ada pengecualianpengecualian yang telah ditetapkan oleh Undang-undang yaitu antara lain : 1.
Pelaksanaan putusan yang dapat dijalankan terlebih dahulu menurut Pasal 180 (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG yang memberikan hak kepada penggugat untuk mengajukan permintaan agar putusan dapat dijalankan eksekusinya sekalipun putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap seperti halnya yang berlaku pada Putusan Permohonan Pernyataan Pailit yang dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga sebagaimana diatur didalam Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
2.
Pelaksanaan Putusan Provisi terdapat pula dalam Pasal 180 ayat (1) HIR atau Pasal 191 ayat (1) RBG pada kalimat terakhir yakni tuntutan lebih dulu yang bersifat sementara mendahului putusan pokok perkara;
3.
Adanya Akta Perdamaian yang terdapat dalam Pasal 130 HIR atau Pasal 154 RBG dan saat ini teradapat peraturan tambahan yang dipergunakan oleh Hakim dalam menentukan lembaga mediasi di Pengadilan yaitu berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 tahun 2008, walaupun Akta Perdamaian ini bukanlah merupakan putusan yang dapat mengakhiri sengketa perkara, tetapi HIR telah mensejajarkan Akta Perdamaian dengan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Akta ini dapat dipergunakan apabila salah satu dari para pihak yang membuat akta perdamaian tersebut ingkar janji untuk dilakukan eksekusi;
10
4.
Eksekusi atas hak tanggungan dan jaminan fidusia berdasarkan Undang undang Nomor 4 Tahun 1996 mengenai hak tanggungan dan Undangundang Nomor 42 Tahun 1999 tentang jaminan fidusia;
5.
Grosse Akta. Pengertian grosse adalah salinan pertama dari akta otentik. Salinan pertama ini diberikan oleh notaris kepada kreditur dengan irah-irah (kepala akta) berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sedangkan salinan lainnya diberikan kepada debitur tanpa irahirah. Asli akta yang disebut “minit” disimpan oleh notaris juga tidak ada irah-irahnya. Dalam hal pelaksanaa Eksekusi harus diajukan terlebih dahulu permohonan
pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri dan atas Penetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri memberikan perintah untuk melaksanakan eksekusi kepada juru sita atau apabila objek sitaan berada di wilayah hukum/Yurisdiksi Pengadilan Negeri lain maka harus dilakukan terlebih dahulu pendelegasian kepada Pengadilan Negeri setempat dimana objek sitaan berada. Setelah melihat dan mencermati uraian tentang Eksekusi tersebut, ada hal yang sangat menarik untuk disimak bahwa Putusan Pengadilan Niaga tekait perkara Kepailitan memiliki kekuatan hukum tetap sehingga oleh Kurator yang diberikan wewenang oleh Pengadilan berdasarkan Putusan tersebut, dapat segera dilakukan eksekusi berupa pelaksanaan pengurusan dan pemberesan. Bahwa lebih jauh lagi di dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU diatur pula tentang batasan waktu yang dipergunakan dalam
11
acara persidangan Kepailitan dan PKPU sejak didaftarkan sampai dengan Putusan dikeluarkan oleh Pengadilan Niaga sebagaimana disebutkan pada Pasal 6 ayat (4, (5), (6) dan (7) jo Pasal Pasal 8 ayat (2) dan (5) jo Pasal 910, yaitu : 1.
Panitera diwajibkan untuk menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada Ketua Pengadilan paling lambat 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan;
2.
Pengadilan dalam kurun waktu paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan harus sudah mempelajari dan menetapkan hari sidang;
3.
Sidang pemeriksaan atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan;
4.
Apabila atas permohonan Debitur dan dengan berdasarkan alasan yang cukup dapat melakukan penundaan atas 20 (dua puluh) hari tersebut dengan ketentuan maksimum 5 (lima) hari atau terhitung sebanyak 25 (dua puluh lima) hari setelah tanggal permohonan didaftarkan;
5.
Juru sita wajib melakukan pemanggilan kepada Para Pihak dengan surat kilat tercatat paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum sidang pertama diselenggarakan;
6.
Putusan pengadilan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan; dan 10
Lihat Pasal 6 ayat (4, (5), (6) dan (7) jo Pasal 8 ayat (2) dan (5) jo Pasal 9 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
12
7.
Terhadap salinan putusan pengadilan tersebut wajib disampaikan oleh juru sita dengan surat kilat tercatat kepada Debitur, Pemohon, Kurator dan Hakim Pengawas paling lambat 3 (tiga) hari setelah tanggal Putusan atas permohonan pernyataan pailit diucapkan. Bahwa atas suatu Putusan Kepailitan memiliki kekuatan eksekutorial yang
dapat dilakukan terlebih dahulu (serta merta) sebagaimana diatur pada Pasal 8 ayat (7) yang mengatakan bahwa “Putusan atas permohonan pernyataan pailit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dilaksanakan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum”11 Dalam suatu Putusan Pernyataan Pailit sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan (3) harus dilakukan Pengangkatan Kurator dan seorang Hakim Pengawas yang ditunjuk oleh Hakim Majelis Pemutus Perkara, disebutkan pula bahwa Kurator dimaksud harus independen, tidak mempunyai benturan kepentingan dengan Debitur atau Kreditur dan tidak sedang menangani perkara kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang lebih dari 3 (tiga) perkara dalam satu waktu tersebut. Yang dimaksud dengan Kurator ini sebagaimana diatur pada Pasal 70 UUK adalah Balai Harta Peninggalan (BHP) atau Kurator lainnya. Syarat yang harus dipenuhi oleh seorang Kurator12 adalah :
11
Lihat Pasal 8 ayat (7) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 12 Lihat Pasal 7 ayat (2) Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
13
1.
Orang perseorangan yang berdomisili di Indonesia;
2.
Memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan/atau membereskan harta pailit;
3.
Terdaftar sebagai Kurator di Kementerian Hukum dan Ham. Kewenangan Kurator dalam suatu perkara kepailitan adalah melaksanakan
tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan meskipun terhadap Putusan tersebut diajukan Upaya Hukum, dan apabila atas Putusan Pernyataan Pailit dibatalkan berdasarkan Upaya Hukum yang telah dilakukan maka segala perbuatan yang telah dilakukan oleh Kurator sebelum atau pada tanggal Kurator menerima pemberitahuan tentang Putusan Pembatalan tersebut tetap sah dan mengikat Debitur.13 Kepailitan dapat dikenakan kepada subyek hukum berupa : 1.
Orang perorangan/manusia (natuurlijke persoon);
2.
Badan usaha bukan berbadan hukum, yang termasuk sebagai badan usaha bukan berbadan hukum adalah :
3.
a)
Persekutuan perdata (Maatschap);
b)
Persekutuan Firma;
c)
Persekutuan Komanditer (CV);
Badan usaha berbadan hukum (rechtpersoon/legal entity), yang dapat dibedakan menjadi 2 bentuk yaitu : a)
Badan Hukum Publik (publiekrecht), yaitu badan hukum yang mengatur hubungan antara negara dan atau aparatnya dengan warga
13
Lihat Pasal 16 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
14
negara yang menyangkut kepentingan umum/publik, seperti hukum pidana, hukum tatanegara, hukum tata usaha negara, hukum international dan lain sebagainya; b)
Badan Hukum Privat (privaatrecht), yaitu perkumpulan orang yang mengadakan kerja sama (membentuk badan usaha) dan merupakan satu kesatuan yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum. Badan
Hukum
Privat
umumnya
bertujuan
pada
keuntungan tetapi ada juga yang bertujuan untuk sosial. Badan usaha berbadan hukum ini mencakup : a)
Koperasi;
b)
Yayasan; dan
c)
Perseroan Terbatas (PT), dapat berupa BUMN atau swasta.
Bahwa apabila dibuatkan dalam sebuah skema subyek hukum kepailitan, maka dapat dibuat sebagai berikut :
15
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 1618 KUHPerdata mengatur tentang maatschap (persekutuan perdata) dan Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 KUHD mengatur tentang Firma dan CV sedangkan terhadap Koperasi diatur pada Undang-Undang No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi walaupun pada tahun 2012 telah dibentuk Undang-undang yang baru pengganti Undang-undang No. 25 tahun 1992 yaitu dengan Undang-undang No. 17 tahun 2012 akan tetapi melalui Mahkamah Konstitusi berdasarkan Putusan No. 28/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa terhadap Undang-undang No. 17 tahun 2012 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga kembali kepada Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi. Terhadap yayasan diatur pada Undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan jo. Undang-undang No. 28 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 16 tahun 2001 tentang Yayasan jo. Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-undang tentang Yayasan. Perseroan Terbatas (PT) merupakan Badan Hukum sebagaimana diatur pada Undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bahwa menurut Rudhi Prasetya tehadap bentuk Maatschap, Firma dan CV dianggap sebagai asosiasi orang (personen associatie)14 dan yang dimaksud dengan asosiasi orang adalah asosiasi yang menghimpun orang sedangkan Perseron Terbatas (PT) adalah suatu asosiasi modal yaitu suatu asosiasi untuk menghimpun modal. Suatu asosiasi untuk usaha-usaha besar di mana untuk usaha
14
Rudhi Prasetya, Teori dan Praktik : Perseroan Terbatas, Jakarta, Sinar Grafika, 2011, hlm 4.
16
itu perlu dikumpulkan modal yang amat banyak, yang karena besarnya modal yang diperlukan, maka perlu dikumpulkan dari sejumlah orang yang amat banyak. Lebih jauh untuk pembahasan terhadap Perseroan Terbatas (PT) bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dan yang diulang kembali dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas menyebutkan bahwa : “Pemegang Saham Perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimilikinya” Pada ketentuan tersebut maka dapat diartikan bahwa jika perseroan mengalami kerugian dan atau utang, maka kerugian atau utang itu semata-mata hanya dibebankan dan menjadi tanggungan harta kekayaan perseroan yang bersangkutan. Apabila harta kekayaan institusi tidak mencukupi maka tidak akan sampai melibatkan harta kekayaan pribadi pemegang saham yang tidak dimasukan kedalam perseroan. Hal ini sangat berbeda dengan Maatchap (persekutuan perdata), Firma dan CV yang setiap pihak atau sekutu bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng terhadap seluruh perikatan-perikatan yang dibuat oleh Persekutuan. Mengingat bahwa dalam Perseroan Terbatas segala bentuk keuntungan dan tanggung jawab yang dimiliki oleh para Pemegang Saham adalah terbatas pada besarnya saham yang dimiliki oleh masing-masing pemegang saham, lalu bagaimanakah apabila dalam suatu perkara kepailitan yang diputuskan
17
berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga terhadap suatu Perseroan Terbatas yang oleh Pengadilan telah dilakukan penunjukan dan pengangkatan Kurator yang melakukan pemasukan aset pribadi milik pemegang saham sebagai boedel pailit/harta pailit ? Kasus ini terjadi pada Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Semarang dengan nomor perkara No 02/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg yang memutuskan bahwa mengabulkan Permohonan Pernyataan Pailit terhadap PT. SARWO INDAH yang dalam Amar Putusannya Mengabulkan Permohonan Para Pemohon Pailit untuk seluruhnya dan menyatakan PT. Sarwo Indah Pailit dengan segala akibat hukumnya, akan tetapi Kurator dalam perkembangan pelaksanaan tugas Pengurusan dan pemberesan harta pailit, telah mengajukan permohonan Penetapan Boedel Pailit kepada Hakim Pengawas yang meliputi harta pribadi milik pemegang saham sebagaimana tercantum dalam Penetapan No. 02/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg dan Penetapan Daftar Kreditur tetap dengan nomor penetapan No. 02/Pailit/2011/PN.Niaga.Smg. Saat ini telah dilakukan penunjukan dan pengangkatan kurator pengganti dan kasus tersebut saat ini masih berlangsung yang sedang ditangani oleh Kurator Pengganti Nasrullah Nawawi, SH., MM., yang terdaftar di Departemen Hukum dan HAM RI dengan Surat Bukti Pendaftaran Kurator dan Pengurus Nomor : AHU.AH.04.03-80 tanggal 17 Desember 2009, beralamat di Law Firm Nasrullah Nawawi & Rekan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis menetapkan judul penelitian adalah sebagai berikut :
18
“ EKSEKUSI PUTUSAN PAILIT PERSEROAN TERHADAP ASSET PRIBADI PEMEGANG SAHAM”
B.
Perumusan Masalah Dari apa yang sudah dijabarkan dari latar belakang tersebut maka timbulah
beberapa pertanyaan yang menarik untuk dicari jawabannya, yaitu: 1.
Apakah lembaga paksa badan yang dikenakan kepada direksi debitur pailit dapat membantu proses pengurusan dan pemberesan boedel pailit/harta pailit demi memenuhi kepentingan Kreditur ?
2.
Apakah aset pribadi milik pemegang saham yang tidak dimasukan sebagai asset perusahaan sebagai debitur pailit dapat ditarik sebagai boedel pailit/harta pailit ?
C.
Keaslian Penulisan Berdasarkan pengetahuan dan hasil penelusuran yang dilakukan penulis
terhadap data kepustakaan pada Perpustakaan FH UGM, Perpustakaan tesis UGM, dan terhadap penulisan maupun penulisan karya ilmiah, hingga kini penulis telah menemukan 3 tesis yang objek penelitiannya mengangkat tentang PT. Sarwo Indah (dalam pailit), akan tetapi rumusan masalah yang dibahas tidak ada yang sama dengan penulisan ini. Berikut 3 tesis tersebut, yaitu : 1.
Pengurusan dan Atau Pemberesan Harta Pailit Oleh Kurator Tidak Melalui Mekanisme pelelangan Umum Sebagaimana Ketentuan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di
19
PT. Sarwo Indah oleh Diaz Nurima Sawitri yang dipublikasi oleh Universitas Gadjah Mada dengan rumusan permasalahan adalah : a)
Apakah tindakan yang dilakukan tim kurator PT. Sarwo Indah merupakan perbuatan melawan hukum?
b)
Apakah peran Hakim Pengawas yang memiliki tugas utama untuk mengawasi segala tindakan kurator dalam menjalankan tugasnya melakukan pengurusan dan atau pemberesan harta pailit PT. Sarwo Indah?
2.
Analisis Yuridis Gugatan Wanprestasi Perjanjian Jual Beli Kavling Terhadap PT. Sarwo Indah yang Dikabulkan Melalui Putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 96/Pdt.G/2011/PN.Slmn oleh Andhika Pandu Sidik yang dipublikasi oleh Universitas Gadjah Mada dengan rumusan masalah adalah : a)
Apakah faktor-faktor yang menjadi dasar pertimbangan Hakim mengabulkan gugatan wanprestasi perjanjian jual beli kavling terhadap PT. Sarwo Indah?
b)
Apakah akibat hukum gugatan wanprestasi PT. Sarwo Indah yang dikabulkan melalui Putusan Pengadilan Negeri Sleman No. 96/Pdt.G/ 2011/PN.Slmn?
3.
Aspek-aspek Yuridis Perjanjian Pengikatan Jual Beli Properti Menurut Keputusan Menteri Negera Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 Tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli rumah (Studi Kasus pada PT. Sarwo
20
Indah Kabupaten Sleman) oleh Ismaliah yang dipublikasi oleh Universitas Gadjah Mada dengan rumusan masalah adalah : a)
Apakah
perusahaan
pengembang
PT.
Sarwo
Indah
sudah
melaksanakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli properti menurut Keputusan
menteri
Negara
Perumahan
Rakyat
Nomor
09/KPTS/M/1995 di kabupaten Sleman? b)
Apakah kekuatan Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebagai dasar untuk menuntut pemenuhan hak pembeli jika penjual tidak memenuhi prestasinya berupa penyerahan sertipikat kepemilikan rumah yang telah dilunasi pembayarannya?
Terhadap ketiga tesis diatas telah dapat dibuktikan memiliki rumusan masalah yang berbeda dengan yang penulis dalam tesis ini. Oleh karena itu, penulis menyatakan bahwa tesis ini merupakan karya orisinil penulis, dan karenanya dapat dipertanggungjawabkan secara akademik.
D.
Tujuan Penulisan Dengan akan dilakukannya penelitian ini maka diharapkan agar dapat
mengetahui bagaimana tinjauan yuridis atas pelaksanaan eksekusi Putusan Pailit Perseroan terkait harta pribadi milik pemegang saham yang seharusnya tanggung jawabnya tidaklah sampai pada pribadi para pemegang saham dan dalam hal ini tujuan yang paling mendasar yang menyangkut langsung dengan rumusan masalah diatas adalah :
21
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis fungsi lembaga paksa badan yang dikenakan kepada direksi debitur pailit untuk membantu proses pengurusan dan pemberesan boedel/harta pailit demi memenuhi kepentingan kreditur;
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme penarikan aset pribadi milik pemegang saham yang tidak dimasukan sebagai asset perusahaan /debitur pailit sebagai boedel/harta pailit.
E.
Manfaat Penulisan Apabila penelitian ini dapat berhasil dilaksanakan maka diharapkan Tesis
ini dapat memberikan manfaat, yaitu : 1.
Manfaat Akademis Untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S2 pada Program Pascasarjana Magister Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Manfaat selain sebagaimana peneliti adalah untuk meningkatkan pengetahuan serta membina sikap ilmiah mahasiswa didalam menghadapi masalah-masalah yang timbul di bidang Ilmu hukum khususnya praktisi hukum.
2.
Manfaat Teoritis Memberikan kontribusi bagi pengembangan hukum eksekusi di Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan eksekusi putusan pernyataan pailit. Selain itu manfaat bagi Masyarakat adalah diharapkan dapat memberikan penjelasan secara mendalam tentang apa arti kepailitan dan akibat hukum atas kepailitan yang dialami oleh sebuah perseroan terbatas serta
22
konsekuensi yang harus ditanggung oleh pemegang saham sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia. 3.
Manfaat Praktis Diharapkan karya tulis ini dapat memberikan masukan bagi pemerintah bahwa segala macam aturan yang dibuat oleh pemerintah harus juga diperhatikan bagaimana prakteknya dilapangan apakah sesuai dengan tujuan awal dibuatnya peraturan tersebut yaitu menciptakan keadilan yang adil dan merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
F.
Kerangka Teori Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teori kedaulatan hukum
asas keseimbangan yang menyebutkan bahwa hukum adalah sesuatu yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak jika hukum tersebut tidak sesuai dengan rasa keadilan dari jumlah tersebut maka hukum tersebut tidaklah mengikat dan bukanlah merupakan sebuah hukum walaupun masih ditaati ataupun dipaksakan untuk ditaati15. Rasa keadilan inilah yang melatar belakangi adanya teori Keadilan yang menyebutkan tentang hal-hal yang dapat membuat masyarakat diperlakukan sama, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya yang akhirnya akan memberikan keseimbangaan dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini berkaitan erat dengan Aliran hukum positif yang menyatakan bahwa tidak ada hukum diluar undang-undang dan satu-satunya
15
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm 63.
23
sumber hukum adalah undang-undang16. Yang dari pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa segala sesuatu yang menyangkut dengan peraturan atau jika kita berbicara dengan peraturan maka kita berbicara tentang Undang-undang yang berlaku dan dasar dari seluruh peraturan di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Selain itu, disini penulis menyertakan pula penjelasan mengenai beberapa kosa kata yang dipergunakan yang nantinya dapat memberikan penjelasan dan pengetahuan terhadap permasalahan yang akan dibahas pada Tesis ini, kosa kata tersebut antara lain adalah : 1.
Renvooi Proceduur adalah Perbaikan atau Pengajuan Keberatan atas suatu Penetapan yang dikeluarkan oleh Hakim pengawas;
2.
Boedel Pailit adalah harta yang dimiliki oleh Debitur yang diajukan oleh Kurator dan telah mendapatkan persetujuan dari Hakim Pengawas;
3.
Putusan Inkracht atau inkracht van gewijsde adalah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat;
4.
Eksekusi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk merealisasikan hak Pemohon eksekusi yang wajib dipenuhi oleh Termohon eksekusi sesuai dengan Amar Putusan Pengadilan;
5.
Putusan serta merta adalah putusan yang dapat dilakukan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut dilakukan upaya hukum banding, kasasi yang dilakukan oleh pihak yang kalah maupun pihak ke-3 yang merasa berhak untuk melakukan hal tersebut; 16
H. Lili Rasjidi., Dasar-dasar Filsafat Dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, Edisi X, 2007, hlm 56.
24
6.
Sita eksekusi adalah sita yang dapat diajukan oleh Pemohon eksekusi terhadap harta kekayaan Termohon eksekusi untuk dipakai sebagai pemenuhan prestasi sesuai Amar Putusan Pengadilan;
7.
Peringatan (aanmaning) adalah teguran yang diberikan oleh ketua Pengadilan Negeri kepada pihak Termohon eksekusi agar dalam waktu sebagaimana oleh Undang-undang mau melaksanakan Putusan dengan sukarela. Penelitian ini akan membahas tentang Kewenangan Pengadilan Niaga untuk
mengeluarkan Putusan Pernyataan Pailit terhadap suatu Perseroan Terbatas dan akibat hukum yang dialami oleh Pemegang Saham berkenaan dengan Boedel Pailit dan Aset Pribadi milik Pemegang Saham. Dasar dari penelitian ini tentu tentu saja adalah Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan beberapa Peraturan Perundang-undangan yang terkait, yaitu: 1.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata;
2.
Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan umum jo. Undangundang no. 8 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-undang No. 49 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum;
3.
Undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
4.
Undang-undang no. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman; dan
25
5.
Keppres No. 97 Tahun 1999 Tentang Pembentukan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya dan Pengadilan Negeri Semarang.
6.
Perma No. 1 tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan.
G.
Sistematika Penulisan Tesis
BAB I
: PENDAHULUAN, bab ini terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penelitian, dan keaslian penelitian.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA, bab ini membahas tentang pengertian Putusan Pengadilan dan Putusan Pengadilan dalam rangka Kepailitan, Boedel Pailit, Pengenaan Aset Pribadi Pemegang Saham dalam Boedel Palilit, lembaga paksa badan dalam perkara kepailitan, serta eksekusi putusan pailit terhadap aset pribadi Pemegang Saham. BAB III : METODOLOGI PENELITIAN, bagian ini terdiri dari pengertian, jenis dan pendekatan penelitian, cara penelitian, sumber data dan analisis data. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN, bagian ini merupakan hasil analisis rumusan masalah tentang lembaga paksa badan yang dikenakan kepada direksi debitur pailit dapat membantu proses pengurusan dan pemberesan boedel pailit/harta pailit demi memenuhi kepentingan Kreditur dan aset pribadi milik pemegang saham yang tidak dimasukan sebagai asset perusahaan sebagai debitur pailit dapat ditarik sebagai boedel pailit/harta pailit, serta analisa kasus.
26
BAB V :
PENUTUP yaitu yang berisi tentang kesimpulan dan Saran.
DAFTAR PUSTAKA
27