BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1
Latar Belakang Masalah Putusan pengadilan merupakan bagian dari proses penegakan hukum.
Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan pada hal-hal yang relevan, secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan. Kualitas suatu putusan pengadilan menurut Artidjo Alkostar berkorelasi dengan profesionalisme, kecerdasan moral dan kepekaan nurani dari seorang hakim. Dalam upaya menemukan dan menerapkan keadilan dan kebenaran, putusan pengadilan harus sesuai dengan tujuan asasi dari suatu putusan pengadilan tersebut. Tujuan putusan pengadilan sesungguhnya harus mengandung hal-hal sebagai berikut : 1) Harus mengandung solusi autoritatif, artinya memberikan jalan keluar dari masalah hukum yang dihadapi oleh para pihak, dan tidak ada lembaga lain selain badan peradilan yang lebih tinggi, yang dapat mengoreksi suatu putusan pengadilan. 2) Harus mengandung efisiensi, yaitu cepat, sederhana, biaya ringan, karena keadilan yang tertunda itu merupakan suatu ketidakadilan (justice delayed is justice denied) tersendiri. 3) Harus sesuai dengan tujuan undang-undang yang dijadikan sebagai dasar dalam putusan pengadilan tersebut.
1
2
4) Harus mengandung aspek stabilitas, yaitu putusan pengadilan harus mengandung ketertiban sosial dan ketentraman masyarakat. 5) Harus mengandung fairness, yaitu suatu putusan pengadilan harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak (dalam perkara pidana yaitu pihak terdakwa atau jaksa) yang berperkara di pengadilan.1 Disamping hal-hal yang dikemukakan di atas, dalam perkara pidana berdasarkan KUHAP, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Berkaitan dengan fungsi putusan pengadilan harus memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang berperkara di pengadilan, hal tersebut sudah merupakan suatu prinsip universal yang menyatakan bahwa semua orang sama dan mempunyai hak yang sama di hadapan hukum serta berhak atas perlindungan hukum tanpa perlakuan atau sikap diskriminatif. Dan setiap orang berhak atas peradilan yang efektif dari pengadilan nasional jika ada pelanggaran hak-hak asasi yang dijamin oleh ketentuan peraturan perundang-undangan nasional. Sejalan dengan asas tersebut, bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap, ditahan atau diperlalukan secara sewenang-wenang dan setiap orang berhak diadili secara adil oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, baik mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajibannya maupun dalam tuntutan pidana yang ditujukan kepada terdakwa. 1
Artidjo Alkostar,2009, Dimensi Kebenaran dalam Putusan Pengadilan,Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun XXIV Nomor. 281, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta, hal. 36-37.
3
Asas perlakuan yang sama dimuka hukum dan tidak membeda-bedakan perlakuan (tanpa diskriminasi) merupakan hak dasar bagi setiap orang. Tersangka, terdakwa maupun terpidana dalam proses peradilan pidana tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 1 Undangundang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa : “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum”, juga dalam Pasal 28 I ayat 2 Undangundang Dasar 1945 menentukan bahwa : “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap yang bersifat diskriminatif itu. Sebagai tindak lanjut (follow up) dari ketentuan dalam konstitusi tersebut, hal itu juga terwujud dalam pasal dari Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan : “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Hal ini berarti bahwa setiap orang dihadapan pengadilan harus diadili secara bebas, adil serta tidak memihak dan tidak sewenang-wenang. Sesuai prinsip due process of law, dimana dalam proses hukum yang adil tersebut, setidak-tidaknya meliputi : 1. Perlindungan terhadap tindakan sewenang-wenang dari pejabat negara 2. Pengadilanlah yang berhak menentukan salah atau tidaknya terdakwa 3. Sidang pengadilan harus bersifat terbuka untuk umum, kecuali terhadap perkara anak dan kesusilaan
4
4. Tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan untuk dapat membela kepentingan dirinya. 2 Bila dicermati, ternyata perlindungan hak asasi manusia lebih besar diberikan kepada tersangka atau terdakwa daripada korban dari tindak pidana itu sendiri. Jadi KUHAP di bangun pada saat gencar-gencarnya perhatian dunia terhadap hak-hak asasi manusia dari pelaku
pidana, dari kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum dengan mengabaikan hak asasi manusia korban yang menderita akibat perbuatan pelaku dari tindak pidana itu sendiri. Hal ini terbukti dalam KUHAP begitu minimnya ketentuan yang mengatur perlindungan terhadap korban tindak pidana, yaitu dalam Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana hanya diatur dalam Pasal 98 sampai dengan Pasal 101, yang pada dasarnya ketentuan ini memberikan peluang kepada korban tindak pidana tersebut, untuk menggabungkan gugatan ganti kerugiannya kepada perkara pidana tersebut. Pasal
98 ayat (1)
menyebutkan : Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri menimbulkan akibat bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.3 Sementara Pasal 99 sampai Pasal 101 hanya berkaitan pada prosedur penggabungan ganti kerugian tersebut. Oleh karena itulah, korban bukan hanya dimaksud sebagai obyek dari suatu tindak pidana, akan tetapi harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu 2 I Gusti Ketut Ariawan,2008, Eksistensi Konsep Due Process of Law HAM dalam KUHAP, Bahan Pendalaman Mata Kuliah (MK) Bantuan Hukum dan Penyantuan Terpidana, Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana, Denpasar, hal 8. 3
Anonim,Departemen Kehakiman Republik Indonesia, 1996/1997, Undang-Undang Hukum Acara Pidana, hal. 44
5
mendapatkan perlindungan secara sosial dan hukum. Korban tindak pidana adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencapai pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan.4 Secara luas, pengertian korban bukan hanya sekedar korban yang menderita secara langsung, akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat dikualifikasikan sebagai korban. Korban tidak langsung disini seperti seorang istri kehilangan suami (seperti Suciwati yang kehilangan suaminya, Munir), seorang anak kehilangan bapaknya, orang tua kehilangan anaknya dan seterusnya. Bahwa korban atau keluarga korban dalam mengekspresikan tuntutan terhadap pelaku tindak pidana tersebut kepentingannya telah diakomodasi oleh Jaksa, karena dalam perkara pidana Jaksa sebagai pihak dalam berperkara di Pengadilan, disamping
mempresentasikan
kepentingan
negara
dan
masyarakat,
juga
mempresentasikan kepentingan korban atau keluarga korban. Bertitik tolak dari pemikiran pengadilan memberikan kesempatan yang sama bagi pihak-pihak yang berpekara yaitu hal mana sudah merupakan sebagai suatu prinsip universal yaitu bahwa semua orang pihak-pihak sama dan mempunyai hak yang sama di hadapan hukum, oleh karena itulah Jaksa di samping mewakili kepentingan negara dan masyarakat juga sebagai presentasi mewakili kepentingan korban atau keluarga korban. Oleh karena itu Jaksa sebagai salah satu pihak dalam perkara pidana, tidak ditentukan secara tegas kewenangannya untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali , seperti hak yang diberikan secara tegas kepada
4 Arief
Gosita, 1993. Masalah Korban Kejahatan., Akademika Pressindo,Jakarta hal. 262
6
terpidana. Namun dalam perkembangan praktek peradilan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa /Penuntut Umum telah dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Hal ini diatur dalam Pasal
263 ayat 1 KUHAP tidak secara
tegas mengaturnya, dimana Pasal 263 ayat 1 KUHAP menyatakan sebagai berikut : Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Pengajuan Kembali kepada Mahkamah Agung. Alasan-alasan yang dijadikan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, misalnya dapat dilihat dalam perkara terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009, tanggal 11 Juni 2009, yaitu : 1. Pasal 244 KUHAP menegaskan putusan bebas yang secara tegas tidak dapat dimintakan permohonan kasasi, namun melalui penafsiran terhadap Pasal 244 KUHAP telah diciptakan aturan hukum baru berupa putusan bebas murni tidak dapat dimintakan kasasi, putusan bebas tidak murni dapat dimintakan kasasi dan penafsiran ini lalu menjadi yurisprudensi tetap Mahkamah Agung. 2. Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 jo Pasal 23 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 (sekarang Pasal
24 ayat (1)
Undang-undang
Kekuasaan
Nomor
48
tahun
2009
tentang
Kehakiman), dimana ketentuan Pasal ini ditafsirkan bahwa di dalam perkara pidana selalu terdapat dua pihak yang berkepentingan yaitu terdakwa dan Kejaksaan yang mewakili kepentingan umum (negara). Oleh karena itu, pihak yang berkepentingan yang disebut dalam Pasal
7
21 Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 (sekarang Pasal
24 ayat
(1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman) tersebut ditafsirkan adalah Kejaksaan yang tentunya juga berhak memohon pemeriksaan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. 3. Pasal 263 ayat (3) menurut penafsiran Mahkamah Agung Republik Indonesia, maka ditujukan kepada Jaksa oleh karena Jaksa/Penuntut Umum adalah pihak yang paling berkepentingan agar putusan Hakim diubah, sehingga putusan yang berisi pernyataan kesalahan terdakwa tapi tidak diikuti pemidanaan dapat diubah dengan diikuti pemidanaan terhadap terdakwa. 4. Berdasarkan asas legalitas serta penerapan asas keseimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan
(termohon Peninjauan
Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara di lain pihak, di samping perseorangan (terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili Kejaksaan tersebut dapat juga melakukan Peninjauan Kembali (PK). 5. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan tertinggi di negara Republik Indonesia bertugas untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan Undang-undang diterapkan secara tepat dan adil, karena itu Mahkamah Agung akan mengisi kekosongan dalam hukum acara pidana tentang masalah Peninjauan Kembali putusan Kasasi perkara pidana yang ternyata ada hal-hal yang belum diatur oleh KUHAP
8
dengan cara menciptakan hukum acara sendiri (yurisprudensi) demi untuk adanya kepastian serta mengakomodasi kepentingan yang belum diatur dalam hukum acara pidana. 6. Berdasarkan argumentasi yuridis sebagaimana disebutkan di atas maka
Mahkamah
Agung
berpendirian
bahwa
permohonan Kejaksaan untuk Peninjauan Kembali
secara
formal
(PK) terhadap
putusan kasasi Mahkamah Agung Nomor 398 K/Pid/1995 tanggal 29 Septemer 1995 dapat diterima oleh Mahkamah Agung RI sehingga dapat diperiksa kembali. Mahkamah Agung atas dasar pertimbangan untuk memelihara keseragaman putusan Mahkamah Agung (consistency in court decision), maka Mahkamah Agung dalam memeriksa dan mengadili perkara Peninjauan Kembali terpidana tersebut, akan mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam putusan-putusannya yang terdahulu (yaitu putusan tanggal 25 Oktober 1996 Nomor 55 PK/Pid/1996, putusan Mahkamah Agung tanggal 2 Agustus 2001 Nomor 3 PK/Pid/2001 dan putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Januari 2008 Nomor 109 PK/Pid/2007) tersebut diatas, yang secara formal telah mengakui hak atau wewenang Jaksa/Penuntut Umum untuk mengajukan permintaan Peninjauan Kembali . Ternyata upaya-upaya hukum Peninjauan Kembali
oleh Jaksa/Penuntut
Umum yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung, khususnya dalam Putusan Nomor 12 PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, ternyata banyak pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung tersebut, antara lain :
9
1. OC. Kaligis, SH berpendapat bahwa : Sebenarnya Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana (KUHAP) berkaitan dengan Peninjauan Kembali (PK) sebagai upaya hukum luar biasa amat sangat jelas. Pasal
263 KUHAP dan penjelasan tidak
membuka peluang bagi Jaksa untuk melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Sayang, upaya coba-coba Jaksa mendapatkan justifikasi dari judex juris. Kalau hukum acara yang merupakan lex certa ditabrak, maka terbuka peluang untuk menabrak
pasal-pasal
lain di dalam
KUHAP.5 2. Herman Suryokumoro, berpendapat bahwa : Bahwa hukum Peninjauan Kembali dalam KUHAP merupakan suatu sistem. Oleh sebab itu, menolak putusan Mahkamah Agung yang membenarkan Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, dengan alasan bahwa putusan Mahkamah Agung itu sudah keluar dari sistem. Suatu sistem hukum yang berpihak pada landasan Peninjauan Kembali hanya ditujukan untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak terdakwa yang telah dirampas oleh negara secara tidak sah. Putusan Mahkamah Agung itu bertentangan dengan jiwa dibentuknya lembaga Peninjauan Kembali .6 3.
Laden Marpaung, berpendapat bahwa :
5. H. Adami Chazawi, 2009 Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana,Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktek dan Peradilan Sesat, Penerbit Sinar Grafika,Jakarta hal. 5 (selanjutnya disebut H.Adami Chazawi I) 6 Ibid.
hal. 7-8
10
- Pengajuan Permohonan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum selama ini belum lumrah, sebagaian para pakar telah mengungkapkan keberatan atau ketidak setujuan pendapat-pendapat para pakar tersebut ada yang berbeda meremehkan Mahkamah Agung.7 4.
Adami Chazani, berpendapat : - Bahwa putusan Mahkamah Agung yang membenarkan alasan pengajuan permintaan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, merupakan putusan yang dengan jelas memperlihatkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat 2 huruf c KUHAP hal ini dapat dimasukkan ke dalam putusan peradilan sesat dalam hukum, bukan sesat dalam hal dan karena fakta8 Bukan hanya dikalangan para pakar saja yang tidak sependapat dengan
upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, juga sikap tidak setuju tersebut juga ditunjukkan oleh anggota majelis yang menangani perkara Nomor 12.PK/Pid.Sus/2009 atas nama terdakwa Joko Soegiarto Tjandra, yang mengambil posisi dissenting opinion yaitu a. Komariah E. Sapardjaja, dengan pendapatnya sebagai berikut : -
Bahwa dalam sejarah pembentukan KUHAP, masalah Peninjauan Kembali disampaikan oleh pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 9 Oktober 1979 (vide Sejarah Pembentukan Undang-Undang
7
Laden Marpaung,2000, Perumusan Memori Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hal 84-85 (selanjutnya disebut Laden Marpaung I) 8 Adami Chazawi, Op.cit. hal 36
11
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara pidana, disusun oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan Depertemen Kehakiman RI, Jakarta, Jakarta, 2 April 1982, halaman 119). Masalah Peninjauan Kembali tersebut telah ditanggapi oleh berbagai Fraksi di DPR, bahwa “Lembaga Peninjauan Kembali ini justru dijadikan untuk melindungi kepentingan terpidana” sehingga tidak sulit untuk disepakati. -
Bahwa Pasal -Pasal
tentang Peninjauan Kembali, harus ditafsirkan
secara sistematis dengan Pasal
3 KUHAP dan Pasal
182 ayat (1)
huruf b, yang menyatakan bahwa : “dengan ketentuan bahwa terdakwa atau Penasehat Hukum selalu mendapat giliran terakhir”, maka jelaslah bahwa Peninjauan Kembali adalah juga upaya hukum luar biasa bagi terpidana, dan bukan bagi Jaksa/Penuntut Umum. -
Bahwa dalam bagian “menimbang” dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana butir c, telah digariskan “bahwa Pembangunan Nasional di bidang hukum acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya dan untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia”.
-
Bahwa alasan-alasan yang dikemukakan diatas adalah alasan yuridis untuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum (Pemohon Peninjauan
12
Kembali, pada halaman 6 Memori Peninjauan Kembali ), bahwa dilarang Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali . -
Bahwa dalam sejarah perjuangan hak asasi manusia khususnya tentang asas legalitas dalam KUHAP ( jo Pasal
3 KUHAP) yang
merupakan hasil perjuangan rakyat terhadap rezim kekuasaan absolut pada zaman ancient regime, sehingga diperlukan jaminan kepastian hukum bagi perlindungan individu dari kesewenang-wenangan penguasa, adalah alasan historis utuk membantah dalil Jaksa/Penuntut Umum seperti disebutkan di atas. b. Suwardi, berpendapat : -
Bahwa alasan-alasan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan, oleh karena : 1. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menerapkan peraturan secara umum tentang Peninjauan Kembali , sedangkan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana diatur secara khusus dalam Pasal
263
KUHAP. 2. Pasal 263 ayat (1) KUHAP menentukan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terdakwa atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”. 3. Bahwa ketentuan tersebut bersifat limitatif :
13
a) Bahwa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tidak dapat diajukan permintaan Peninjauan Kembali . b) Yang berhak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali hanya terdakwa atau ahli warisnya. Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat mengajukan Peninjauan Kembali .9 Atas pendapat yang kontra itu, ada pakar hukum yang sependapat dengan pendirian Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/ Penuntut Umum, yaitu : -
Muhamad Alim, berpendapat bahwa : -
9
Apabila sebagai narapidana, karena putusan perkaranya sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah dieksekusi, sebab permohonan Peninjauan Kembali tidak menunda eksekusi sesuai ketentuan Pasal 268 ayat 2 KUHAP, masih diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, yang ketentuan ini adalah ketentuan hukum acara yang harus memperlakukan sama terhadap semua pihak betapa tidak adilnya jika Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili masyarakat pada umumnya, korban pada khususnya, tidak diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali . Adalah suatu perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) apabila seorang narapidana sangat dilindungi, sementara korban yang dalam perkara pidana diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak diberikan perlindungan yang sepadan dengan terpidana dalam hal ada Novum untuk memohon Peninjauan Kembali. terpidana sudah nyata, berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah orang yang bersalah masih diberi kesempatan untuk mengajukan Peninjauan Kembali sementara korban yang diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum adalah orang yang baik yang telah dizalimi oleh terpidana, tetapi tidak diberi kesempatan untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali.10
Ibid. hal. 134-135
10
Budi Suharianto,2012, Peninjauan Kembali Putusan Pidana oleh Jaksa Penuntut Umum, Pusat Penelitian dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung, Jakarta,hal 22-23.
14
Terjadinya perbedaan pendapat diantara para pakar hukum terhadap dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum oleh Mahkamah Agung, akan tetapi Mahkamah Agung tetap secara konsisten terhadap pendiriannya tersebut, hal ini terbukti dengan dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara terdakwa Ram Gulunal pada tahun 2001, pada tahun 2006 dalam perkara terdakwa Soetyawati dan terakhir pada tahun 2007 Mahkamah Agung juga menerima permohonan Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Pollycarpus.11 Melihat problem dalam permasalahan upaya hukum Peninjauan Kembali, bagaimana sebaiknya nanti upaya hukum Peninjauan Kembali diatur pada masa yang akan datang, apabila Jaksa/Penuntut Umum ternyata dapat membuktikan adanya kesalahan atau memiliki alasan-alasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 263ayat 1 KUHAP, ketika putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun harus disadari dalam praktek peradilan bahwa putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata terdapat kekeliruan atau kesalahan baik mengenai faktanya maupun dalam penerapan hukumnya. Atas peristiwa tersebut lembaga upaya hukum Peninjauan Kembali sebagai sarana rekorektif terhadap putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diharapkan benar-benar dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang terjadi, tanpa meninggalkan asas keadilan maupun asas kepastian hukum. Oleh karena itu untuk memahami upaya hukum Peninjauan Kembali itu secara menyeluruh, perlu dikaji secara utuh, lembaga upaya
11
Ibid, hal 3
15
hukum Peninjauan Kembali dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata (KUHAP). Sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP bahwa yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali : “hanya terpidana atau ahliwarisnya”. Dalam ketentuan tersebut seolah-olah upaya hukum Peninjauan Kembali, menutup kemungkinan hak Jaksa/Penuntut Umum untuk dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Kalau disimak secara seksama dan mendalam dari ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut, disana disebutkan “..........kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung”, menjadi pertanyaan sekarang, terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, siapa yang dapat mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tersebut, sedangkan penjelasan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, hanya disebutkan cukup jelas, menurut penulis dalam ketentuan tersebut terdapat “norma kosong”. Begitu juga dalam ketentua Pasal 263 ayat 3 ditentukan bahwa : “ Atas dasar alasan yang sama sebagaimana tersebut Pasal 263 ayat 2 (dari Pasal 263 KUHAP), terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali apabila dalam putusan itu sudah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti suatu pemidanaan. Dalam ketentuan Pasal 263 ayat 3 KUHAP tersebut juga tidak menjelaskan siapa yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut. Ternyata dalam Penjelasan
16
dari Pasal 263 ayat 3 KUHAP juga hanya dinyatakan cukup jelas, oleh karena itu dalam ketentuan tersebut juga dapat dipandang sebagai “norma kosong”. Atas ketidak jelasan dari pada ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP maupun Pasal 263 ayat 3 KUHAP itulah, telah dijadikan alasan oleh Mahkamah Agung dalam mengabulkan permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam perkara Joko Soegiarto Tjandra, perkara Nomor : 12 PK/Pid Sus /2009, tanggal 11 Juni 2009, dalam pertimbangannya pada angka 3 sebagaimana telah diuraikan diatas. Selanjutnya hemat penulis, terlepas dari diskursus terhadap upaya hukum hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut, namum yang menjadi masalahnya sekarang bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum, sehubungan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009. Berdasarkan atas permasalahan tersebut diatas, penulis tertarik dan memandang perlu untuk membahas dan menulis tesis ini yang berjudul : “Pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana, (terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum”) 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan isu hukum yang telah diuraikan
sebagaimana tersebut di atas, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian tesis ini adalah :
17
1. Bagaimanakah pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum? 2. Bagaimanakah sebaiknya pengaturan upaya hukum Peninjauan Kembali dimasa datang untuk tetap dapat mencerminkan rasa keadilan bagi pencari keadilan? 1.3
Ruang Lingkup Masalah Suatu permasalahan yang akan dibahas perlu dibatasi pada segi tertentu
yang dianggap penting serta yang perlu diketahui. Dalam setiap penulisan karya ilmiah perlu diadakan pembahasan secara tegas mengenai hal-hal yang perlu dijadikan inti permasalahan yang akan dibahas. Bertitik tolak dari hal tersebut guna mencegah cakupan permasalahan pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa /Penuntut Umum, diperlukan batasan-batasan dimana ruang lingkup pembahasannya adalah bagaimana hak terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diberikan oleh undang-undang, terhadap ketentuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal undang 48 tahun 2009), ketika upaya hukum
Peninjauan Kembali oleh
Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung. 1.4
Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum :
24 ayat 2 Undang-
18
Secara Umum penelitian ini untuk mendiskripsikan mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek peradilan di Indonesia b. Tujuan Khusus : 1.
Untuk mengetahui dasar pertimbangan dari Mahkamah Agung dalam mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum.
2.
Untuk mengatahui, apakah terpidana dapat mengajukan Peninjauan Kembali,
terkait
dikabulkannya,
Peninjauan
Kembali
oleh
Jaksa/Penuntut Umum. 3.
Untuk menemukan konsep hukum bagaimana upaya hukum Peninjauan Kembali sebaiknya diatur secara tegas di masa yang akan datang,
supaya
tidak
menimbulkan
multi-tafsir
atas
dasar
pertimbangan keadilan dan perikemanusiaan. 1.5
Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk kalangan praktisi
dan
kalangan
akademisi
dalam
mengembangkan
ilmu
pengetahuan hukum acara pidana, yang ternyata sekarang paradigma yang berkembang bukan semata-mata hanya memberikan perlindungan hukum terhadap pelaku tindak pidana saja, tetapi juga memberikan perlindungan hukum terhadap korban tindak pidana itu juga tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan.
19
b. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan bahan masukan dalam rangka perubahan hukum acara pidana yang akan datang, agar upaya hukum Peninjauan Kembali tidak lagi menimbulkan mutitafsir. 1.6
Originalitas Penelitian Sepengetahuan penulis, Penulis menemukan tesis yang judulnya hampir mirip dengan judul tesis yang penulis ajukan : 1. Bona Fernandez MT. Simbolon, tesis tahun 2009 Universitas Sumatera Utara, Medan, dengan judul : Kewenangan Jaksa Dalam Melakukan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai : a) Apakah Jaksa/Penuntut Umum berwenang untuk melakukan permohonan Peninjauan Kembali menurut perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. b) Bagaimana dengan praktek Peradilan Indonesia apakah yang membenarkan
Jaksa/Penuntut
Umum
untuk
melakukan
permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. c) Alasan-alasan apakah yang digunakan oleh Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam praktek peradilan. 2. Rio Adhitya Wicaksono, tesis tahun 2010, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Jawa Timur – Surabaya, dengan judul : Kewenangan Jaksa/Penuntut Umum Dalam Pengajuan Peninjauan Kembali Perkara
20
Tindak Pidana Korupsi, studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 12 / Pid.Sus / 2009, terpidana Joko Sugiarto Tjandra. Dalam tesis ini masalah yang dikaji mengenai : a) Mengapa Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara tindak pidana korupsi. b) Bagaimana cara pembuktian Novum (keadaan baru) dalam kehilafan hakim. c) Apa
dasar
pertimbangan
Mahkamah
Agung
mengabulkan
Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dalam praktek tindak pidana korupsi. Bila judul tesis tersebut bermiripan akan tetapi permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang di dasarkan pada referensi buku-buku dan informasi. Maka berdasarkan pada alasan-alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah, karena penekanan pada penelitian ini belum pernah memperoleh kajian oleh peneliti-peneliti lainnya. Oleh karena itu penelitian yang penulis lakukan dapat dikemukakan bersifat orisinal dan layak untuk dijadikan sebagai obyek penulisan dalam bentuk tesis. 1.7
Landasan Teoritis dan Kerangka Berfikir 1.7.1 Landasan Teoritis Sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian maka diperlukan landasan teori. Landasan teori sebagai landasan berfikir yang
21
bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk mengucapkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Landasan teori tersebut juga merupakan upaya untuk mengidentifikasi teori-teori hukum, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum serta norma-norma hukum.12 Dalam tesis (tulisan) ini tentang Pengaturan Hak Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana (terkait dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum), akan dibahas lebih luas dan lebih mendalam. Sebagaimana upaya hukum (rechts middelen) lainnya, seperti perlawanan, banding, kasasi dimana upaya hukum Peninjauan Kembali dalam proses peradilan pidana dapat dikatakan bagian dari proses penegakan hukum sebagaimana pendapat dari Bagir Manan. perkembangan
13
Penegakan hukum di Indonesia sejalan dengan
masyarakat
telah
banyak
mengalami
pergeseran
peradigma, sesuai KUHAP telah terjadi perlakuan yang cukup besar terhadap tersangka atau terdakwa, dimana tersangka atau terdakwa, sejak pada tingkat penyidikan sudah dapat didampingi oleh Penasehat Hukum. Upaya penegakan supremasi hukum, menurut Nyoman Serikat Putra Jaya, harus ditegakkan asas persamaan didepan hukum (equality before the law)
yang didukung oleh Kekuasaan Kehakimanyang
merdeka dari segala pengaruh (baik internal maupun eksternal) sebagai
12 Anonim, 2008, Buku Pedoman Pemeriksaan Usulan Penelitian dan Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Udayana, hal 10. 13 Bagir Manan,2005, “Penegakan Hukum yang Berkeadilan,” dalam Varia Peradilan Tahun ke XX Nomor 241, Ikatan hakim Indonesia (IKAHI), Jakarta (selanjutnya disebut Bagir Manan I), hal 10.
22
langkah dalam menciptakan sistim checks and balances antara kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif agar tidak terjadi dominasi kekuasaan oleh salah satu cabang penyelenggaraan negara tersebut. 14 Terkait dengan proses penegakan hukum, menurut Bagir Manan terdapat dua aspek penting dalam keberhasilan penegakan hukum tersebut, yaitu tata cara penegakan hukum (prosudural justice).
15
Tata
cara dimaksud adalah tata cara untuk mewujudkan keadilan, karena menurut Bagir Manan, tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang adil pula. Penegakan hukum sebagai suatu proses menurut Wayne La Favre sebagaimana dikutif Soerjono Soekamto, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaedah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. 16 Berkaitan dengan pendapat-pendapat tersebut diatas, dalam pandangan Satjipto Rahardjo, menyatakan penegakan hukum pada hakekatnya berbicara tentang penegakan ide-ide serta konsep-konsep yang notabene adalah abstrak. Dikatakan demikian karena pada hakekatnya hukum mengandung ide atau konsep-konsep yang dapat digolongkan sebagai sesuatu yang abstrak. Karenanya Satjipto Rahardjo mengelompokkan pendapat Gustav Radbruch sebagai yang abstrak
14 Nyoman Serikat Putra Jaya, 2008, Beberapa Pemikiran Kearah Pengembangan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 132. 15 Bagir Manan, Op.cit hal 10. 16 Soerjono Soekamto, 2008, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 7.
23
tersebut termasuk ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial. 17 Bertitik tolak dari pendapat-pendapat para sarjana tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya hukum (rechts middlelen) baik perlawanan, banding, kasasi maupun Peninjauan Kembali merupakan bagian dari proses penegakan hukum, karena pada hakekatnya upaya hukum (rechts middelen) juga merupakan upaya mewujudkan ide mencapai keadilan ataupun kepastian hukum serta kemanfaatan sosial. Sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 angka 12 dari Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana bahwa upaya hukum (rechts middlelen) adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan Peninjauan Kembali serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP). Secara singkat eksistensi upaya hukum tersebut adalah upaya untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran materiil (materiil waarheid) bagi terdakwa/terpidana maupun Jaksa/Penuntut Umum dari pengadilan yang lebih tinggi. 18 Berdasarkan Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, maksud dari upaya hukum pada pokoknya adalah untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi yang sebelumnya dan
17 Satjipto Rahardjo, 2009, Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Satjipto Raharjo I) hal 12. 18 Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana, Teori, Praktek, Tehnik Penyusunan dan Permasalahannya, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 210.
24
untuk
kesatuan
dalam
peradilan.19
Disamping
itu
Martiman
Prodjohamidjojo juga menyatakan bahwa upaya hukum adalah alat untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan atas putusan hakim. 20 Adapun tujuan daripada upaya hukum itu sendiri pada dasar sebagai berikut: a. Diperolehnya kesatuan dan kepastian dalam hal menyatakan peradilan (operasi justice) b. Melindungi tersangka terhadap tindakan-tindakan yang bersifat sewenang-wenang dari hakim c. Memperbaiki kealpaan –kealpaan dalam menjalankan peradilan d. Usaha dari para pihak, baik terdakwa maupun Jaksa memberikan keterangan baru (novum). Peninjauan Kembali (herzeining) sebagai upaya hukum luar biasa, mulai serius dibicarakan setelah munculnya kasus Sengkon dan Karta. Karena pada saat itu telah terjadi kesalahan negara yang telah terlanjur menghukum Sengkon dan Karta, yang kemudian terbukti tidak bersalah karena itu diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1980 yang sifatnya sementara. Sifat sementara ini dikarenakan hukum acara mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali tidak seharusnya dibuat dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, melainkan harus melalui undang-undang. Namun dalam keadaan yang sangat mendesak
19 Anonim, 1982, Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Yayasan Pengayoman, Jakarta, hal 159. 20 Martiman Prodjohamidjojo, 1982, Komentar Atas Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana,Jakarta, hal 144.
25
Mahkamah Agung kembali mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 yang sudah dicabut karena mendapat reaksi dari pihak parlemen. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 dikeluarkan mengacu kepada Pasal 21 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman.
21
Melalui Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980, upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap perkara pidana ketika itu menjadi dimungkinkan sebagaimana diatur dalam Pasal 9 nya, untuk mengatasi perkara Sengkon dan Karta. Selanjutnya setelah lahir Kitab Undang-undang Hukum Acara itu, ketentuan upaya hukum Peninjauan Kembali telah diatur dalam ketentuan Pasal 263 ayat 2 KUHAP. Dalam perkembangan praktek peradilan selama ini, upaya hukum Peninjauan Kembali bukan saja diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, tetapi juga diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Adapun beberapa perkara pidana yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum upaya hukum Peninjauan Kembali, yang telah diputus oleh Mahkamah Agung seperti perkara Muchtar Pahpahan, perkara Ram Gulumal alias V.Ram (The Gandhi Memorial School), Soetiawati alias Ahua binti Kartaningsih, perkara Joko Soegiarto Tjandra, serta perkara Pollycarpus Budihari Priyanto, terlihat Mahkamah Agung telah menyimpang dari ketentuan Pasal 263 KUHAP.disamping memperlihatkan kesan tidak adanya konsistensi dalam penerapan Undang-undang (KUHAP) oleh 21
H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.
26
Mahkamah Agung dalam mengadili perkara yang dimohonkan upaya hukum Peninjauan Kembali, karena dalam penegakan hukum pidana akan menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dan juga menimbulkan ketidak adilan karena Mahkamah Agung dengan Surat Edarannya Nomor 10 Tahun 2009 telah melarang permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali dan memerintahkan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dengan penetapannya untuk menyatakan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali itu dinyatakan tidak dapat diterima, bila permohonan Peninjauan Kembali diajukan lebih dari satu kali. Padahal sesuai norma ketentuan Pasal 263 KUHAP bahwa yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya, sementara karena perkembangan praktek saja, kemudian Jaksa/Penuntut Umum dibolehkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali semestinya untuk keadilan, bila kemudian setelah upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, ternyata kemudian terpidana memiliki fakta hukum baru (novum)
yang potensial dapat
melumpuhkan putusan sebelumnya, kepada terpidana juga harus diberikan kesempatan atau dibuka ruang untuk dapat mengajukan Peninjauan Kembali. Untuk menjawab permasalahan tersebut perlu diklarifikasi secara akademik melalui teori-teori yang berkaitan. Dalam Shorter Oxford Dictionary dikatakan bahwa definisi teori adalah merupakan suatu skema atau sistem gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan
27
atau keterangan dari sekelompok fakta atau fenomena ........suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui atau diamati.22 Dalam tesis ini teori-teori dimaksud untuk menggambarkan dan menjelaskan suatu fenomena tertentu yang berkaitan dengan pengaturan hak, pengaturan Upaya
Hukum
Peninjauan
Kembali
Bagi
Terpidana
(Terkait
Dikabulkannya Upaya Hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum). Penguraian landasan teoritis ini berangkat dari teori atau konsep antara lain : 1.7.1.1 Teori Keadilan dari John Rawls Bahwa Pasal
263 ayat (1) sampai ayat (3) Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur tentang upaya hukum Peninjauan Kembali harus memberikan rasa keadilan, baik terhadap pelaku tindak pidana tersebut maupun korban dari tindak pidana, dengan memberikan
keadilan
prosedural
kepada
kedua
pihak
tersebut.
Sedangkan pihak korban, kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum. Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam yurisprudensi tersebut (Perkara Nomor 275 K/Pid/1983 tanggal 10 Desember 1983) dapat dijelaskan antara lain dari pertimbangan hak asasi antara kepentingan perseorangan (Termohon Peninjauan Kembali ) dengan kepentingan umum, bangsa dan negara. Di lain pihak, disamping perseorangan
22 H.R, Otje Salman,S dan Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, hal 22.
28
(terdakwa) juga kepentingan umum yang diwakili kejaksaan tersebut dapat pula melakukan Peninjauan Kembali . Bahwa pertimbangan tersebut di atas, sesuai dengan model yang bertumpu pada konsep “daad-dader-strafrecht”, yang oleh Muladi disebut model “keseimbangan kepentingan”, yaitu model yang realistis yang memperhatikan pelbagai kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana, yaitu kepentingan negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan23 dan selaras pula dengan tujuan hukum dari filsafat hukum Pancasila, yaitu pengayoman. Dimana hukum harus mengayomi semua orang, baik yang menjadi tersangka, terdakwa atau terpidana maupun korban tindak pidana. Dalam praktek acapkali menghadapi kasus perkara yang dalam penerapan hukumnya telah terjadi benturan kepentingan. Di satu sisi kepentingan kepastian hukum yang bermuara pada aspek prosedural, dan di sisi lain berhadapan dengan kepentingan kebenaran dan keadilan yang bermuara pada kepentingan umum atau negara. Harus disadari bahwa nilai keadilan dan kebenaran tidak dapat diperoleh dari fungsinya aspek kepastian hukum, akan tetapi ditentukan oleh faktor keseimbangan aspek perlindungan hukum terhadap korban maupun pelaku kejahatan. Oleh karena itu, konsekuensinya semakin serius akibat dan sifat kejahatannya, maka semakin besar pula tuntutan nilai keadilan yang harus dicapai dan
23 Muladi,
1995, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bajan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal 5
29
melebihi dari tuntutan nilai kepastian hukum. Dengan kata lain, agar dapat mencapai nilai keadilan dan kebenaran yang lebih tinggi, hakim harus berani mereduksi nilai kepastian hukum.24 Pendirian diatas sejalan dengan praktik peradilan yang terjadi selama ini, seperti dalam beberapa putusan Mahkamah Agung yaitu : dalam perkara Mochtar Pakpahan, Ram Gulumal alias V Ram (kasus The Gandhi Memorial School ), Soetiyawati alias Ahua binti Kartaningsih, Joko S Tjandra maupun Pollycarpus budihari Priyanto, telah terjadi reduksi terhadap nilai kepastian hukum yang terkandung dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Dalam beberapa putusan tersebut Mahkamah Agung dalam tingkat Peninjauan Kembali telah menerima permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. Putusan Mahkamah Agung mana telah menyimpang dari norma yang terdapat dalam KUHAP, karena sesuai ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP, Jaksa/Penuntut Umum bukan sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, melainkan pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali adalah terpidana atau ahli warisnya saja. Disini menunjukkan dari Mahkamah Agung telah melakukan langkah mereduksi nilai kepastian hukum yang terdapat dalam norma Pasal 263 ayat 1 KUHAP. Terhadap
pendirian
Mahkamah
Agung
dalam
putusan-
putusannya tersebut, bagi kalangan yang menganut aliran positivisme
24
Varia Peradilan. Op.cit. hal. 98-99
30
atau analytical positivism atau rechts dogmatick, yang cenderung melihat bahwa hukum sebagai suatu otonom, bahwa tujuan hukum tidak lain dari sekedar mencapai terwujudnya kepastian hukum,
25
dengan demikian
putusan Mahkamah Agung tersebut diatas sudah tentu dipandangnya telah melampaui kewenangannya, karena telah meriduksi nilai kepastian hukum yang ditentukan undang-undang. Karena sesuai pandangan aliran positivisme, bahwa penyimpangan terhadap undang-undang juga dianggap telah meniadakan kepastian hukum. Kesimpulan dari pendekatan ini adalah satu-satunya hukum yang diterima sebagai hukum merupakan tata hukum, sebab hanya hukum inilah dapat dipastikan kenyataannya. 26 Kenyataan-kenyataan
dasar
yang
dimaksud
oleh
aliran
positivisme diatas, telah ditentukan sebagai berikut : 1. Tata hukum negara tidak dianggap berlaku, karena hukum itu mempunyai dasarnya dalam kehidupan sosial (menurut Conte dan Spencer), bukan juga karena hukum itu bersumber dari jiwa bangsa (menurut Von Savigny), bukan juga karena hukum itu merupakan cermin dari suatu hukum alam. Dalam pandangan positivisme yuridis hukum hanya berlaku, oleh karena hukum itumendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang. 2. Dalam mempelajari hukum hanya bentuk yuridisnya dapat dipandang, dengan kata lain bahwa hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya. Dengan ini bentuk yuridis hukum dipisahkan dari kaidah-kaidah hukum material. 3. Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu pengetahuan hukum, oleh sebab isi ini dianggap variabel dan bersifat sewenang-wenang. Isi hukum tergantung situasi etis dan politik suatu negara, maka harus dipelajari dalam 25 Ahmad Ali, 1996, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta, hal. 94 26
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Theo Huijbers I) hal. 128
31
suatu ilmu pengetahuan lain, bukan dalam ilmu pengetahuan hukum. 27 Berkaitan dengan pandangan positifisme diatas, dalam teori HLA Hart, terdapat pembedaan dua sistem hukum, yaitu apa yang disebut sebagai aliran primer (primery rules) dan aturan sekunder (secondary rules).
28
Aturan primer (primery rules) lebih menekankan
kepada kewajiban manusia untuk bertindak atau tidak bertindak. Artinya agar berbuat atau bertingkah laku sebagaimana seharusnya sesuai dengan norma yang ada. Sedangkan dalam secondary rules atau yang disebut sebagai aturan tentang aturan (rules about rules) meliputi : -
Pertama : aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dapat dianggap sah (rules of recognation)
-
Kedua : bagaimana dan oleh siapa dapat diubah (rules of change) dan
-
Ketiga : bagaimana dan oleh siapa dapat dikuatkan/dipaksa (rules of adjudication) 29 Dari teori positivisme yang memandang hukum hanya berlaku
oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi yang berwenang dan hukum sebagai hukum hanya ada hubungan dengan bentuk formalnya, ajaran ini menggambarkan dan menjelaskan bahwa suatu produk hukum dibatasi oleh aturan-aturan yang mengikat sebagai pedoman. Oleh karenanya keputusan-keputusan hukum yang akan dihasilkan oleh pihak manapun tidak dengan mudah berubah-ubah, tidak
27
Ibid, hal. 128-129
28
HR Otje Salman S dan Anton F Susanto, Op.cit, hal. 90
29
HR Otje Salman Salman, Ibid hal. 90-91
32
bertentangan satu dengan yang lainnya, mudah dimengerti dan tidak membingungkan serta memiliki nilai kepastian. Putusan-putusan Mahkamah Agung sebagaimana disebutkan diatas, dalam pandangan aliran positivisme akan sulit untuk diterima, karena tidak berdasarkan pada ketentuan hukum (KUHAP), karena putusan Mahkamah Agung tersebut telah menyimpang dari norma pasal 263 ayat 1 KUHAP, dimana Mahkamah Agung telah menerima upaya hukum Peninjauan Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum, yang tidak ditentukan sebagai pihak dalam pasal 263 ayat 1 KUHAP. Penyimpangan yang dilakukan Mahkamah Agung tersebut menurut pandangan aliran positivisme dinilai tidak konsisten terhadap pelaksanaan undang-undang karena tidak berdasarkan pada aturan yang ada dan tidak memberikan kepastian hukum. Ketidak pastian hukum ini akan berlanjut, bagaimana hak bagi terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terkait
dikabulkannya
upaya
hukum
Peninjauan
Kembali
oleh
Jaksa/Penuntut Umum, mengingat sesungguhnya Pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya memberikan hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali hanya pada terpidana atau ahli warisnya, hal inilah menjadi kajian dalam tesis ini dan pembahasannya lebih mendalam akan dibahas dalam bab tersendiri. Bahwa pandangan positivisme diatas, kalau dilihat dalam penegakan hukum, sepintas nampaknya dapat dijadikan pegangan dalam usaha menegakkan asas kepastian hukum tersebut. Hal ini dikarenakan
33
hukum
ditanggapi
sebagai
kaidah-kaidah
(undang-undang)
yang
mengatur hidup bersama, dibuat oleh instansi yang berwenang dan berlaku sebagai norma. Akan tetapi, dibalik pandangan tersebut, banyak juga pendapat para ahli hukum yang mengkritisi, apakah kaidah-kaidah hukum dalam suatu undang-undang sudah dipastikan dapat dikatakan sebagai hukum yang baik dalam tata kehidupan masyarakat sebagaimana yang dicita-citakan. Bila ditinjau dari sisi keadilan, dimana putusan-putusan Mahkamah Agung yang menerima upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, belum tentu dikatakan sebagai putusan yang keliru atau salah karena telah menyimpang dari ketentuan yang berlaku (KUHAP) karena berdasarkan fakta ternyata ada peraturan perundang-undangan yang tidak mencerminkan pada prinsip-prinsip keadilan. Dimana hal tersebut sebagaimana diketahui bahwa KUHAP, khususnya dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, tentang upaya hukum Peninjauan Kembali, ternyata hanya memungkinkan terpidana atau ahli warisnya saja yang boleh mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali dan
tidak
memberi
kesempatan
kepada
pihak
lainnya,
yaitu
Jaksa/Penuntut Umum yang mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat lainnya ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP jelas bersifat diskriminatif, karena tidak memberikan hak yang sama (equal treatment) bagi pihak dalam suatu proses perkara (pidana), hal ini jelas bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 (Pasal 28 D ayat 1 UUD 1945,
34
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum), karena membeda-bedakan hak terpidana dengan Jaksa/Penuntut Umum, hal ini sejalan dengan substansi putusan Mahkamah Kostitusi Nomor 65/PUU-IX/2011. 30 Perlakuan tidak adil (unequal treatment) dalam suatu peraturan perundang-undangan akan sulit untuk mencari kebenaran materiil dalam suatu proses perkara pidana, apabila ternyata kemudian dapat diketahui bahwa terdapat kesalahan atau kekeliruan yang nyata telah dilakukan oleh hakim dalam memutus suatu perkara pidana, yang mengakibatkan kerugian bagi korban kejahatan atau masyarakat umum. Apabila terjadi kejadian seperti ini, Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, yang mempunyai tugas dan kewenangan untuk mencari
jalan
keluar
dan
menyelesaikansudah
pada
tempatnya
mengambil tindakan yang didasarkan masalah tersebut dan apabila Mahkamah
Agung
sebagai
institusi
yang
mempunyai
tugas
menyelesaikan masalah tersebut, bila memutus perkara itu hanya sematamata apa katanya undang-undang sebagai corong undang-undang maka dapat dibayangkan korban kejahatan atau masyarakat umum untuk selamanya tidak bisa membela kepentingannya. Bertitik tolak dari fakta dan kenyataan tersebut, Mahkamah Agung sudah pada tempatnya mengambil tindakan yang didasarkan pada
30
Berita Kompas, hari Selasa, Tanggal 3 Pebruari 2015, hal. 6 kolom 2-5
35
prinsip-prinsip keadilan hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan memberikan rasa keadilan bagi mereka yang secara langsung berhadapan dengan persoalan itu. Karena pada prinsip-prinsip keadilan, jika diterapkan pada fakta struktur masyarakat, harus mengerjakan 2 (dua) hal, yaitu : 1. Memberi penilaian konkrit tentang adil tidaknya institusi-institusi dan praktek-praktek institusional. 2. Membimbing kita dalam mempertimbangkan kebijakan-kebijakan dan hukum untuk mengoreksi ketidakadilan dalam struktur dasar masyarakat tertentu. 31 Berkaitan dengan prinsip keadilan diatas John Rawls dalam teorinya yang disebut sebagai Kerdetan Prosudural Murai, menyatakan : The procedure for determining the just result must actually be carried out for in these cases there is no independent critirion by refrence to whict a definite autcome can be know to be just. Clearly we cannot say that a particular state of affair is just because it could have been reached by following a fair procedure. This sould permit for too much and would lead to absurdly consequences. 32 Menurut Jhon Rawls, bahwa prosudur untuk menentukan hasil yang adil harus benar-benar dijalankan. Sebab dalam hal ini tidak ada kriteria independen yang bisa dijadikan acuan agar hasil nyata bisa adil. Lebih lanjut disebutkan John Rawls, kita tidak bisa mengatakan bahwa kondisi tertentu adalah adil karena ia bisa dicapai dengan mengikuti 31
Darji Darnodiharjo dan Sidharta, 2006, Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 163 32
John Rawls, 1972, A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambrigde, Massachusetts, hal 86
36
prosudur yang fair. Hal ini akan terlampau banyak membiarkan dan secara absurd akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang tidak adil. Melalui teori John Rawls diatas, ingin dijelaskan bahwa penerapan Pasal 263 KUHAP secara tekstual tidaklah menjamin akan mendatangkan nilai adil dalam penyelesaian suatu perkara yang diajukan Peninjauan Kembali, oleh karenanya pencarian prosudur yang adil perlu diupayakan, yaitu ketika ditemukan adanya unsur ketidak adilan. Selain itu John Rawls juga menegaskan, bahwa The minimum cafacity for the sense of justice insures that everyone has equel rights. The claims of all are to be adjudicated by the principle of justice. Equality is supported by the general facts of nature and not merely by aprosudural rule withhout substantive force.33 Untuk menjamin pencapaian keadilan prosudur diatas, menurut Jhon Rawls, setiap orang harus mempunyai hak yang setara. Kesetaraan tersebut didukung oleh fakta-fakta alamiah umum, bukan sekedar dengan sebuah aturan prosedur tanpa kebenaran substantif. Teori keadilan dari Jhon Rawls adalah sejalan
dengan
putusan-putusan
Mahkamah
Agung
yang
telah
mengabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Keadilan
yang
tercipta
setelah
dikabulkannya
atau
dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum
33
Berita Kompas, Hari Selasa, Tanggal 3 Pebruari 2015, hal. 6 kolom 2-5
37
Peninjauan Kembali, kemudian kembali terjadi ketidak adilan prosudur dalam proses perkara pidana dengan dikeluarnya Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 oleh Mahkamah Agung, dimana Surat Edaran tersebut pada pokoknya menyatakan : “bahwa permohonan Peninjauan Kembali perkara yang sama perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali bertentangan dengan undang-undang.”
Dan apabila terjadi
pelanggaran terhadap ketentuan tersebut Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, diperintahkan untuk menyatakan permohonan Peninjauan Kembali tersebut dinyatakan tidak dapat diterima. Padahal kalau dicermati secara seksama sesungguhnya dengan dibenarkannya Jaksa/Penuntut Umum, mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung, sebenarnya terpidana secara faktual belum pernah menggunakan haknya yang diberikan oleh ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut. Dan bagaimana halnya kemudian suatu kelak setelah upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan Mahkamah Agung, ternyata kemudian terpidana mempunyai alasan bahwa “terdapat keadaan baru (novum) yang kualitasnya mampu atau potensial dapat melumpuhkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, oleh karena itu adalah memenuhi rasa keadilan apabila kepada terpidana itu dibuka ruang untuk dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum.
38
Karena itu teori-teori keadilan dari John Rawls, selanjutnya akan dipergunakan untuk menganalisis, Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 tersebut, yang melarang diajukannya permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali. 1.7.1.2. Teori Responsif oleh Nonet-Selznick Pandangan positivisme muncul sebagai akibat pengaruh perkembangan masyarakat modern yang ditandai oleh kemajuan tingkat sosial ekonomi sebagai akibat dari pesatnya industrialisasi. Sehingga hal itu mempengaruhi cara berfikir masyarakat modern terutama selama masa pencerahan, pada umumnya bersifat rasionalistis dan individualistis. Dalam rasionalisme itu orang berfikir dengan bertolak atau berangkat dari ide-ide yang umum yang berlaku bagi semua manusia individual.
34
Hal ini dikatakan
oleh Satjipto Rahardjo bahwa : Masyarakat terutama masyarakat modern, sangat membutuhkan adanya kepastian dalam berbagai interaksi antara para anggotanya dan tugas itu diletakkan dipundak hukum. Kepastian hukum menjadi semacam idiologi dalam kehidupan berhukum, sehingga diperlukan suatu pemahaman yang kritis mengenai kata tersebut. Dengan menjadi idiologi, terjadi kecenderungan untuk mencampur adukkan antara pernyataan dan kebenarannya. 35 Kepastian hukum (rechts sicherkeit/security/rechts zekerheid) adalah sesuatu yang baruyaitu sejak hukum itu dituliskan, dipositifkan dan menjadi publik. Kepastian hukum menyangkut 34 35
Theo Huijbers I, Op.cit hal 104
Satjipto Rahardjo, 2006, Hukum Dalam Jagat Ketertiban, Bacaan Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponogoro, Uki Press, Jakarta,(selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II), hal 133
39
masalah “law being written down” bukan tentang keadilan dan kemanfaatan. Kepastian hukum adalah sicher keit des rechts selbst (kepastian tentang hukum itu sendiri)
36
sehingga terlihat bahwa
hukum hadir bukan lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia, melainkan hadir demi dirinya sendiri. Seiring
dengan
dinamika
perkembangan
masyarakat,
seringkali aturan hukum yang ada tidak mendukung terhadap suatu peristiwa konkrit, seperti yang terlihat pada aturan yang mengatur tentang upaya hukum luar biasa berupa Peninjauan Kembali. Dimana dalam ketentuan pasal 263 ayat 1 KUHAP hanya mengatur terpidana atau ahliwarisnya yang dapat mengajukan permohonan upaya hukum Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung. Ketentuan mana terkesan diskriminatif, karena hanya melindungi individu pelaku dari tindak pidana tersebut (terpidana) atau ahli warisnya, dan tidak mencerminkan asas persamaan didepan hukum (equality before the law) maupun asas perlindungan hak warga negaramelalui proses hukum yang adil (due process of law) sebagaimana ditentukan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
36
Ibid, hal 135-136
40
Fakta menunjukkan dalam pandangan positivisme demi terwujudnya kepastian hukum dan keteraturan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat, Mahkamah Agung sebagai penegak hukum sekaligus sebagai salah satu pemegang kekuasaan kehakiman (tertinggi), diharuskan melaksanakan aturan hukum (undang-undang) apa adanya atau sesuai teks yang tertulis dalam undang-undang. Penegakan hukum yang demikian sepertinya tidak memberikan ruang bagi pihak-pihak yang merasa kepentingannya terganggu untuk membela diri, padahal dalam praktek peradilan, tidak tertutup kemungkinan terjadi kekeliruan atau kealpaan atau kesalahan penerapan hukum oleh hakim dalam suatu putusan peradilan.ketika terjadi kealpaan atau kesalahan penerapan hukum dalam putusan pengadilan, maka pihak korban kejahatan atau masyarakat umum maupun negara yang merasa kepentingannya terganggu, berdasarkan Pasal 263 ayat 1 KUHAP tersebut, dimana Jaksa/Penuntut Umum sebagai institusi yang dalam perkara pidana mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum maupun negara, menjadi tidak dapat menuntut hak yang terganggu tersebut karena memang sudah dibatasi oleh undang-undang. Apabila ketentuan diatas diberlakukan secara strict atau kaku, maka pasti sudah dapat dibayangkan essensi tujuan hukum pada segi yang lain, yaitu rasa keadilan, akan sulit dapat diwujudkan. Karena sebagaimana diketahui bahwa tujuan hukum tidak hanya
41
ingin untuk mewujudkan tercapainya kepastian hukum semata, tetapi juga bertujuan untuk mewujdkan ketertiban dan keadilan secara konkrit dan nyata dalam masyarakat. Hukum disatu pihak memperlihatkan kecenderungan untuk berupaya memelihara dan mempertahankan apa yang telah dicapai, tetapi lain pihak juga memperlihatkan usaha untuk mendorong dan mengarahkan perubahan. Pemositifan hukum dalam perundangundangan menjadikan hukum itu terbatas dan sering tertinggal oleh dinamika
perkembangan
masyarakat.
Untuk
itu
menurut
Khudzaifah Dumyati diperlukan cara-cara yang dapat menjadi sistim hukum positif itu survive dan tetap mampu menyelesaikan persoalan yang dihadapkan kepadanya baik pada saat sekarang maupun yang akan datang (ius constituendum), konstruksi hukum, penafsiran analogi, penghalusan hukum, adalah contoh-contoh untuk itu. 37 Berkaitan dengan persoalan hukum diatas, Philippe Nonet dan Philip Selznick (Nonet-Selznick) dalam teorinya yang dikenal dengan teori hukum responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respon terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka hukum mengedepankan
37
Khudzaefah Dunyati,2005, Teorisasi Hukum, Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia, 1945-1990, Muhammadiah University Press, Surakarta, hal 65
42
akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. 38 Perkembangan hukum yang terjadi sekarang ini, telah timbul permasalahan tentang hak permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Praktik peradilan dalam menyikapi permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali tersebut, ternyata telah melangkah melebihi aturan hukum yang telah diatur dalam Pasal 263 ayat 1 KUHAP, dimana Jaksa/Penuntut Umum telah dibenarkan mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan pertimbangan utama untuk memberikan nilai keadilan bagi pihak-pihak dalam suatu perkara, hal ini terbukti dengan telah dikabulkannya oleh Mahkamah Agung beberapa upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, sebagaimana telah disinggung diatas. Praktik peradilan tersebut terlihat sebagai respon terhadap perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Hal ini seperti teori hukum responsif yang dikemukakan Nonet-Selznick bahwa hukum dituntut menjadi sistim yang terbuka dalam perkembangan yang ada dengan mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of
38
Bernart L Tanya dkk, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV.Kita, Surabaya,hal 239
43
purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibatakibat yang timbul dari kerjanya hukum. 39 Hukum seperti ini yang dibutuhkan dalam masa transisi. Artinya, ketika suatu aturan hukum yang telah ada tidak lagi bisa menjawab permasalahan yang timbul akibat perkembangan yang terjadi terjangkau oleh aturan hukum tersebut, maka hukum harus peka mengakomodasi perkembangan yang ada itu demi mencapai keadilan dalam masyarakat. Atas dasar itu maka dalam doktrinnya Nonet-Selznick mengemukakan, pertama hukum itu harus fungsional, pragmatik, betujuan dan rasional. Kedua, kompetensi menjadi patokan evaluasi terhadap semua pelaksanaan hukum. 40 Karena kompetensi sebagai tujuan berfungsi norma kritik, maka tatanan hukum responsif menekankan kepada : 1. Keadilan substantif sebagai dasar legitimasi hukum 2. Peraturan merupakan sub-ordinasi dari prinsip dan kebijakan 3. Pertimbangan hukum harus berorientasi pada tujuan dan akibat bagi kemaslahatan masyarakat 4. Penggunaan diskresi sangat dianjurkan dalam pengambilan keputusan hukum dengan tetap berorientasi pada tujuan 5. Memupuk sistim kewajiban sebagai ganti sistim paksaan 6. Moralitas kerjasama sebagai prinsip moral dalam menjalankan hukum 7. Kekuasaan didayagunakan untuk mendukung vitalitas hukum dalam melayani masyarakat 8. Penolakan terhadap hukum harus dilihat sebagai gugatan terhadap legitimasi hukum 39
Ibid, hal 239
40
Ibid, hal 240
44
9. Akses partisipasi publik dibuka lebar dalam rangka integrasi advokasi hukum dan sosial 41 Menarik teori hukum responsif diatas, dalam hal suatu keputusan hukum berorientasi pada maksud mencari keadilan atau kemanfaatan bagi masyarakat, seperti dalam pemberlakuan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, meskipun dalam aturan hukum yang telah ada (Pasal 263 ayat 1 KUHAP), Jaksa/Penuntut Umum tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, namun Mahkamah Agung
dalam
beberapa
putusannya
telah
mengabulkan
atau
membenarkan Jaksa/Penuntut Umum mengajukan upaya hukum atas dasar pertimbangan terciptanya nilai keadilan dalam masyarakat. Dengan dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 oleh Mahkamah Agung, yang pada pokoknya telah melarang diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap perkara yang sama, telah menimbulkan ketidak adilan (baru) lagi terhadap terpidana. Karena walaupun secara normatif (Pasal 263 ayat 1 KUHAP) terpidana atau ahli warisnya dinyatakan dapat mengajukan permintaan (upaya hukum) Peninjauan Kembali. Akan tetapi kalau dicermati dengan seksama, sesungguhnya secara
faktual terpidana
belum
pernah
menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan
41
Ibid, hal 240-241
45
Kembali yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan (Pasal 263 ayat 1 KUHAP). Terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena bagaimana halnya setelah dikabulkan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum, kemudian terpidana atau ahli warisnya menemukan atau memiliki alat bukti baru (novum) yang kualitasnya mampu atau potensial dapat melumpuhkan putusan Mahkamah Agung tersebut. Oleh karena itu akan memenuhi nilai rasa keadilan, apabila kepada terpidana atau ahli warisnya dibuka ruang untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. Oleh karena itu teori hukum responsif dari Nonet-Selznick juga akan dipergunakan untuk menganalisa upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya, terkait dikabulkannya upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan Jaksa/Penuntut Umum. 1.7.1.3. Teori Perlindungan Hukum Disamping itu penelitian tesis ini menggunakan teori perlindungan hukum, baik terhadap masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana sebagai pelaku tindak pidana maupun masyarakat (pihak) yang menjadi korban daripada tindak pidana tersebut. Sebagaimana diketahui, secara umum sering dikatakan bahwa fungsi dari suatu undang-undang acara pidana adalah untuk
46
membatasi kekuasaan negara dalam melindungi setiap warga masyarakat yang terlibat dalam proses peradilan pidana, sehingga diharapkan terjamin perlindungan para tersangka dan terdakwa dari tindakan aparat penegak hukum dan pengadilan. Dengan demikian, hukum yang sama memberikan pula pembatasan terhadap hak asasi warganya. Jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam peraturan hukum acara pidana mempunyai arti yang sangat penting sekali, karena sebagian besar dalam rangkaian proses dari hukum acara pidana ini menjurus kepada pembatasan-pembatasan hak asasi manusia. Di lain pihak, korban dari tindak pidana, bukan hanya dimaksudkan sebagai obyek dari suatu tindak pidana, akan tetapi harus dipahami pula sebagai subyek yang perlu mendapatkan perlindungan hukum. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepantingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi pihak yang dirugikan. Memperhatikan sejarah perkembangan hukum pidana, pada mulanya reaksi atas suatu tindak pidana adalah menjadi hak dari korban, yang berakibat terjadi balas dendam yang tidak berkesudahan. Karena perbuatan tersebut mengganggu ketertiban masyarakat, maka kemudian reaksi itu diambil alih oleh negara, yang dalam pelaksanaannya didelegasikan kepada jaksa dalam
47
rangka mewakili kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan korban di dalamnya. Jaksa yang merupakan presentasi mewakili kepentingan korban dan disamping untuk mewakili kepantingan negara dan masyarakat, maka dalam memberikan perlindungan terhadap korban kejahatan, adalah adil kalau kepada Jaksa/Penuntut Umum dapat diberikan hak untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali . Berdasarkan pembahasan perlindungan terhadap korban dari suatu tindak pidana, dipahami bahwa upaya hukum Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum merupakan sebagai sarana hukum untuk melindungi kepentingan korban tindak pidana, disamping juga untuk melindungi kepentingan umum dan negara atas pelaku dari tindak pidana tersebut. Sehingga pihak korban dari tindak pidana tersebut merasakan adanya perlindungan yang adil terhadap dirinya. Penelitian tesis ini juga akan melihat eksistensi perlindungan korban sebagaimana diputuskan dalam Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa VII/1998 di Milan (tentang “The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders”). Dalam kongres tersebut dikemukakan bahwa hak-hak korban seyogyanya dilihat sebagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana (victims right
48
should be perceived as an integral aspect of the total criminal justice sistem).42 Kemudian apabila dikaji dari perspektif teoritis, pengertian korban kejahatan mempunyai pelbagai dimensi. Berdasarkan ketentuan dalam angka 1 dalam “Declaration of Basic Principle of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power” pada tanggal 6 September 1985 dari Perserikatan Bangsa-Bangsa, Deklarasi Nomor. A/Res/40/34 tahun 1985 menegaskan sebagai berikut : “Victim means persons who, individually or cellectively have suffered harm, including physical or mental injury, emotional suffering, ecoNomormic loss or substansial inspirement of their fundamental right, through acts or omissions that are in violation of criminal laws operative within member states, including those laws proscribing criminal abuse power.” (Korban adalah orangorang baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian baik kerugian fisik maupun mental, penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau kerusakan substansial dari hakhak asasi mereka, yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan)43 Pengertian korban oleh Arif Gosita diartikan adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.
42
Dokumen Kongres PBB ke-7, Nomor. Kode A/CONF.121/C.2/L.14, hal. 14, dan vide pula Report
Seventeen UN Congress, New York 1986, hal. 147 43 Korban kejahatan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dengan titik tolak KUHAP dan KUHP, mempergunakan terminologi yang berbeda yaitu sebagai pelapor, pengadu, saksi korban, pihak ketiga yang berkepentingan dan pihak yang dirugikan.
49
Apabila dikaji lebih jauh, perspektif kerugian korban dapat diderita
oleh
seseorang,
kelompok
masyarakat
maupun
masyarakat luas. Selain itu, kerugian korban dapat bersifat materiil yang lazimnya dinilai dengan uang dan immateriil, yakni perasaan takut, sakit, kejutan psikis dan lain-lain.44 Dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, ternyata kedudukan korban relatif kurang diperhatikan karena ketentuan hukum masih bertumpu pada perlindungan bagi pelaku tindak pidana. Sedangkan kepentingan korban kejahatan diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum, hal ini merupakan bagian dari perlindungan masyarakat sebagai konsekuensi logis dari teori kontrak sosial dan teori solidaritas sosial.45 Upaya hukum Peninjauan Kembali sebagaimana diatur dalam Pasal
263 KUHAP, dari segi keadilan kepada korban
kejahatan yang kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum, sudah pada tempatnya upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum tidak perlu dipermasalahkan dan diperdebatkan oleh semua kalangan. Namun yang perlu dikaji lebih lanjut bagaimana pengaturan hak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali bagi terpidana, terkait dikabulkannya upaya Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum tersebut.
44
Mardjono Reksodipoetro, 1994. Kriminologi dan Sistem Peradilan. Jakarta, Indonesia,(selanjutnya disebut Mardjono Reksodipoetro I) hal. 78 45
Universitas
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana., PT. Alumni, Bandung, hal. 78
50
1.7.1.4 Teori Ajaran Prioritas Baku Penelitian ini menggunakan teori keadilan tentang ajaran “prioritas baku” tentang tujuan hukum dari Gustav Radbruch, dimana keadilan selalu diprioritaskan. Ketika hakim harus memilih antara keadilan dan kemanfaatan, maka pilihan harus pada keadilan, demikian juga ketika harus memilih antara kemanfaatan atau kepastian hukum, maka pilihannya harus pada kemanfaatan. Ajaran “prioritas baku” tersebut dianut pula dalam Rancangan Undang-Undang KUHP dalam Pasal
18 yang
berbunyi sebagai berikut : Keadilan dan kepastian sebagai tujuan hukum mungkin saling mendesak dalam penerapan pada kejadian-kejadian nyata. Dengan menyadari hal tersebut, maka dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkannya, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum. Bahwa berdasarkan pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman bahwa : Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekatkan kebenaran materiil ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwa melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan, maka KUHAP harus secara maksimal digunakan untuk mendapatkan kebenaran materiil dengan cara melakukan penafsiran ekstensif terhadap ketentuan-ketentuannya.46
46
Varia Peradilan. Op.cit. hal. 99
51
Apabila memperhatikan undang-undang, bahwa undangundang tidak saja menunjukkan banyak kekurangan-kekurangan, tapi seringkali tidak jelas. Walaupun demikian harus melakukan peradilan. Teranglah, bahwa dalam hal sedemikian, undang-undang memberi kuasa kepada hakim untuk menetapkan sendiri maknanya ketentuan undang-undang itu atau artinya suatu kata yang tidak jelas dalam suatu ketentuan undang-undang. Dan hakim boleh menafsir suatu ketentuan undang-undang secara gramatikal atau historis, baik recht maupun wet historis.47 Dari hal-hal yang diuraikan di atas, apabila terdapat ketidakjelasan suatu aturan hukum, dalam hal aturan mengenai upaya hukum Peninjauan Kembali , maka mengatasi perseoalan ini pendekatan keadilan yang harus dikedepankan daripada kepastian hukum. Hal ini sejalan dengan pendapat Paulus E. Lotulung, bahwa hakim harus pandai-pandai menemukan hukum dan pencarian hukum, karena hakim bukan sebagai corong undang-undang dan disamping itu banyak aturan hukum yang sudah tidak sesuai dengan rasa keadilan. Untuk penemuan hukum itu, titik tolaknya didasarkan semata-mata dengan rasa keadilan.48 1.7.1.5 Teori Hukum Progresif Kehadiran
hukum
progresif
bukanlah
sesuatu
yang
kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab dan bukan sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari
47 Lie
Oen Hock. Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum. hal. 11
Paulus E. Lotulung, dalam ceramah “Temu Wicara antara Mahkamah Agung dengan Bank Indonesia” di Hotel Novotel Palembang tanggal 20 Mei 2010. 48
52
proses searching for the truth (pencarian kebenaran) yang tidak pernah berhenti. Adapun teori ini adalah merupakan buah pemikiran Satjipto Rahardjo yang timbul dari rasa keprihatinannya terhadap kondisi penegakan hukum di Indonesia. Keprihatinan terhadap keadaan hukum di Indonesia terlihat ketika pada tahun 1970 an sudah ada istilah “mafia peradilan” dalam kosakata hukum di Indonesia, pada Orda Baru hukum sudah bergeser dari social engineering ke dark engineering karena digunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Pada era reformasi dunia hukum makin mengalami komersialisasi. Menurut Sutjipto Rahardjo, inti dari kemunduran diatas adalah makin langkanya kejujuran, empati dan dedikasi dalam menjalankan hukum. 49. Selain atas alasan tersebut, gagasan hukum progresif dimunculkan oleh Satjipto Rahardjo karena dilandasi rasa keprihatinannya terhadap terpuruknya kondisi hukum di Indonesia yang dianggap gagal mengantarkan bangsa di Indonesia kepada kehidupan yang adil, sejahtera dan bahagia. Keterpurukan hukum itu terjadi karena cara penyelenggaraan hukum terus dijalankan sepertinya halnya dalam kondisi masyarakat yang normal , meskipun sebenarnya sedang terjadi persoalan-persoalan hukum dalam nuansa transisi. Dalam keadaan demikian hukum mengalami kelambanan, sehingga tidak dapat berfungsi melayani 49
Satjipto Rahardjo, 2005, Hukum Progresif, Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif, Vol 1/Nomor.1, PDIH Ilmu Hukum UNDIV, hal 3
53
manusia. Disamping itu penyelenggaraan hukum juga tidak peka untuk merespon persoalan hukum yang sedang berkembang dalam masyarakat, sehingga sering terjadi kekacauan akibat adanya ketidak puasan masyarakat dalam kehidupan berhukum. Dinamika kehidupan masyarakat diatas menurut Satjipto Rahardjo, muncul karena situasi yang lama sudah tidak memadai lagi dan tidak mampu mewadahi kehidupan yang berubah. 50 Karenanya baik dalam dunia pemikiran maupun praktek, hukum mengalami
perubahan
dan
perkembangan.
Teori
lama
ditinggalkan untuk menemukan penjelasan yang lebih baru. Praktik lama ditingalkan karena menjadikan hukum tidak mampu menyalurkan proses-proses dalam masyarakat secara produktif. 51 Dari keadaan tersebut dalam pemikirin Satjipto Rahardjo diperlukan hukum yang progresif, yaitu cara berhukum yang memiliki karakteristik sebagai berikut : Pertama, paradigma hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia. Pandangan ,optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada dititik pusat perputaran hukum. Kedua, hukum progresif menolak untuk mempertahankan status quo dalam berhukum. Mempertahankan status quo memberi efek yang sama seperti pada waktu orang berpendapat, bahwa hukum adalah tolak ukur untuk semuanya, dan manusia adalah untuk hukum. Ketiga, hukum progresif memberikan perhatian besar terhadap peranan prilaku manusia dalam hukum. Peranan manusia disini 50 Satjipto
Rahardjo, 2007, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Buku Kompas, Jakarta (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III), hal 146 51 Ibid,
hal 146-147
54
merupakan konsekwensi terhadap pengakuan, bahwa sebaiknya kita tidak berpegangan secara mutlak kepada teks formal suatu peraturan. 52 Melihat pada karakteristik diatas, maka oleh Bernard L.Tanya dapat disimpulkan : Bagaimana hukum Progresif, proses perubahan tidak lagi berpusat pada peraturan , tetapi pada kreatifitas perilaku hukum mengaktualisasikan hukum dalam ruang dan waktu yang tepat. Pada pelaku hukum progresif dapat melakukan perubahan dengan melakukan pemaknaan yang kreatif terhadap peraturan yang ada, tanpa harus menunggu perubahan peraturan (changing the law). Peraturan yang buruk tidak harus menjadi penghalang bagi para pelaku hukum progresif untuk menghadirkan keadilan untuk rakyat dan pencari keadilan, karena mereka dapat melakukan interpretasi secara baru setiap kali terhadap suatu peraturan. 53 Dari konsep hukum progresif diatas yang melandasi bagaimana
hukum
tidak
saja
merespon
terhadap
setiap
perkembangan kehidupan masyarakat yang ada, melainkan juga bagaimana para pelaku hukum mengaktualisasikan hukum sesuai dengan kondisi yang sedang berkembang. Landasan konseptual gagasan hukum progresif dalam terminologinya cenderung agak asing bagi sebagian kalangan. Kamus Webster New Universal Unabridged Dictionary, yang 52
Ibid, hal 139-144
53 Bernard
L.Tanya dkk, Op.cit hal 247
55
berasal dari kata progress yang berarti moving forward (bergerak kearah depan), dapat dilacak lagi kedalam dua suku kata yaitu pro before yang artinya sebelum) dan gradi (to step yang artinya langkah). 54 Setidaknya memahami istilah progresivisme dalam konteks hukum progresif bertolak dari pandangan kemanusiaan bahwa pada dasarnya manusia baik. Dengan demikian hukum progresif mempunyai kandungan moral yang kuat semangat progresivisme ingin menjadikan hukum sebagai institusi yang bermoral.55 Jadi, asumsi dasar hukum progresif dimulai dari hakikat hukum adalah untuk manusia. Karena hukum tidak hadir untuk dirinya sendiri tetapi untuk nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mencapai keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Agenda dasar hukum progresif adalah menempatkan manusia sebagai sentralitas utama dari seluruh perbincangan mengenai hukum. Dengan kebijaksanaan hukum progresif mengajak untuk memperhatikan faktor perilaku manusia. Oleh karena itu hukum progresif menempatkan perpaduan antara faktor peraturan dan perilaku penegak hukum di dalam masyarakat. Disinilah arti penting pemahaman hukum progresif, bahwa konsep hukum terbaik musti diletakkan dalam konteks keterpaduan yang
54
Mahmud Kusuma, 2009, Menyelami Semangat Hukum Progresif, Terapi Paradigmatik Atas Lemahnya Penegakan Hukum Indonesia, Antonylib bekerjasama LSHP, Yogyakarta, hal 30 55 Ibid.
56
bersifat utuh (holistic) dalam memahami problem-problem kemanusiaan. Teori ini mengajarkan bahwa berhukum progresif adalah sebuah kerelaan dan kesediaan untuk membebaskan diri dari paham legal positivis. Ide pembebasan diri tersebut berkaitan erat dengan factor psikologis atau spirit yang ada dalam diri para penegak huku yaitu keberanian. Masuknya faktor keberanian tersebut memperluas peta cara berhukum, yaitu tidak hanya mengedepankan aspek peraturan (rule), tetapi juga aspek perilaku (behavior). Dengan demikian cara berhukum yang ditunjukkan tidak hanya tekstual, akan tetapi juga melakukan proses pencarian terhadap makna yang tersembunyi dibalik teks secara tertulis maupun teks yang hidup dalam masyarakat. 1.7.1.6. Teori Hukum Ekologis Oleh Carlos Cossio Pandangan para ahli dalam aliran penemuan hukum oleh hakim yang muncul ketika aliran legisme tidak lagi mampu memecahkan problem-problem hukum yang ada, para ahli hukum aliran ini berpendapat bahwamelakukan penemuan hukum oleh hukim adalah suatu yang wajar. Pendukung aliran legisme ketika itu memandang bahwa hakim tidak boleh berbuat selain dari menerapkan undang-undang secara tegas. Penganut aliran legisme, berpendapat bahwa undangundang dianggap sudah lengkap dan jelas dalam mengatur segala
57
persoalan yang ada didalamnya.
56
Hal itu seperti dikemukakan
oleh Montesquieu sebagaimana yang dikutip oleh Paul Scholten, bahwa hakim tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan tidak manusiawi, para hakim tidak boleh mengubahnya, baik tentang kekuatannya maupun keketatannya. 57 Penemuan hukum oleh hakim menurut Paul Scholten seperti dikutip Achmad Ali, adalah sesuatu yang dari pada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan
sangat
sering
terjadi
bahwa
peraturannya
harus
ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi.
58
Sedangkan Van Eikema Hommes dalam bukunya
logica en Rechtsvinding sebagaimana dikutip oleh sudikno Mertokusumo dan A.Pitlo, mengemukakan bahwa penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberikan tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang
konkrit.
Ini
merupakan
proses
konkritisasi
dan
individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. 59
56 Ahmad 57
Ali, Op cit, hal 144
Ahmad Ali, Op cit, hal 143
58 Achmad
Ali, Op cit, hal 146
59 Sudikno
Mertokusumo & A. Pitlo, 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, hal 4
58
Pandangan aliran penemuan hukum oleh hakim penting ditangkap untuk mendukung alasan-alasan hakim dalam usaha mendekati cita hukum
yang ditopang oleh tiga nilai dasar
sebagaimana diungkap oleh Gustav Radbruch, yaitu keadilan (gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmaeszigkeit) dan kepastian hukum (rechts sicherkeit). 60 Berkaitan dengan tugas hakim (Mahkamah Agung) dalam penanganan suatu perkara, menurut Franccois Geny, salah seorang tokoh terkemuka dalam ajaran etis dengan teorinya yaitu penafsiran hukum, dikatakan bahwa seorang hakim pertama-tama harus mengindahkan undang-undang dengan memperhatikan maksud tujuan pembentuk undang-undang. Bila tidak ada undang-undang,
yakni
bila
terdapat
kekosongan
hukum,
kekosongan itu harus diisi dengan hukum adat. Bila hukum adat juga tidak ada, keputusan dapat diambil atas dasar ajaran hukum yuris dan putusan-putusan para hakim. Hanya apabila pedoman ini tidak ada, diperbolehkan penyelidikan ilmiah bebas.
61
Teori
Francois Geny tersebut sejalan dengan maksud Pasal 28 ayat 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (sekarang Pasal 5 ayat 1 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009), yang menyatakan bahwa “ Hakim wajib menggali,
60 Satjipto 61
hal 128
Rahardjo II, Op cit, hal 135
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum, Kamisius, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Theo Huijbeers II)
59
mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” Para ahli pendukung aliran etis, yang menganggap bahwa tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencai keadilan, sesuai dengan maksud Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945, bahwa
“Setiap
orang
berhak
atas
pengakuan,
jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” maupun ketentuan Pasal 28 I ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu” Mengacu pada pasal-pasal dalam Undang-undang Dasar 1945 diatas, ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP dapat dikatagorikan sebagai aliran yang diskriminatif, karena dalam ketentuan pasal tersebut terdapat adanya ketidak seimbangan perlakuan dihadapan hukum, yaitu adanya pembedaan hak antara yang dimiliki terpidana atau ahli warisnya dengan korban kejahatan atau masyarakat umum maupun negara, yang dalam hal ini diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena apabila ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP diterapkan secara strict oleh Mahkamah Agung (hakim), akan terjadi fenomena perlakuan tidak adil dan bersifat diskriminatif, terhadap korban kejahatan atau masyarakat
60
umum maupun negara, yang kepentingannya diwakili oleh Jaksa/Penuntut Umum. Karena tidak menutup kemungkinan putusan hakim yang telah dijatuhkan sebelumnya terdapat kekeliruan atau kesalahan yang nyata. Ternyata dalam perkembangan praktek peradilan di Indonesia, terhadap ketentuan Pasal 263 ayat 1 KUHAP yang dipandang telah mengandung perlakuan tidak adil dan bersifat diskriminatif
itu, Mahkamah Agung dalam beberapa perkara
pada akhir-akhir ini telah mengambil sikap telah membenarkan atau mengabulkan, upaya hukum Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Jaksa/Penuntut Umum, yang dalam hal ini mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum maupun kepentingan negara. Telah terjadi ketidak adilan dan perlakuan diskriminatif dalam suatu peraturan, dengan telah terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 yang pada pokoknya menyatakan bahwa “ upaya hukum Peninjauan Kembali baik perdata maupun pidana yang diajukan lebih dari satu kali bertentangan dengan undang-undang. Karena walaupun secara normatif
(Pasal 263 ayat 1 KUHAP), terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, akan tetapi terkait dikabulkannya atau dibenarkannya upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum sebagai
61
perujudan
mewakili
kepentingan
korban
kejahatan
atau
masyarakat umum maupun kepentingan negara, dalam hal ini sesungguhnya secara faktual terpidana atau ahli warisnya belum pernah menggunakan haknya yang diberikan undang-undang untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali. Sebab bagaimana halnya ketika upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut
Umum
dikabulkan
atau
dibenarkan
oleh
Mahkamah Agung, ternyata kemudian terpidana atau ahli warisnya menemukan atau memiliki bukti baru (novum) yang mampu atau potensial dapat melumpuhkan putusan Mahkamah Agung sebelumnya. Untuk menganalisa dan mencari solusi terhadap permasalahan ini akan dilakukan analisa melalui teori hukum ekologis oleh Carlos Cossio. Dalam pengamatan Francois Geny, sebagaimana dikutip oleh Wolfgang Friedmann, penafsiran code civil oleh pengadilan Perancis, ternyata merupakan rangkaian aksi kreatif. Para hakim tidak hanya mengandalkan undang-undang tetapi juga adat kebiasaan, keputusan dan doktrin serta penelitian ilmiah yang bebas.
62
Pendapat Francois Geny tersebut menentang metode
rasionalisme yang berkembang pada abab ke 18 dan ke 19 yang meyakini bahwa undang-undang bersifat sempurna dan lengkap
62 Bernard
L. Tanya, dkk, Op.cit hal 231
62
sehingga dapat diterapkan begitu saja pada perkara-perkara.
63
Menurut Francois Geny, undang-undang tidak sempurna (apalagi peraturannya berupa surat edaran). Sebuah undang-undang (begitu juga sebuah surat edaran) tidak pernah mampu dengan sempurna mempersentasikan kebutuhan realitas yang ada dalam bentangan kehidupan sosial. 64 Pada sisi yang berbeda, dengan teori lain yang membahas bagaimana hakim atau pengadilan memandang dan menyikapi suatu aturan hukum dalam penerapan suatu perkara, kiranya dapat diambil teori hukum ekologis dari Carlos Cossio, bahwa hukum sebagai objek ekologis, yakni perilaku manusia dalam campur tangan intersubyektif. Menurut Carlos Cassio, pada dasarnya keputusan pengadilan terdiri dari 3 ( tiga ) unsur utama, yakni pertama struktur logis yang diturunkan dari suatu kerangka aturan. Kedua, kesatuan isi dari suatu situasi yang disebabkan oleh suatu keadaan khusus. Ketiga, penilaian yuridis yang diberikan oleh hakim pada dua unsur ini dalam suatu situasi tertentu 65. Atas dasar itu menurut Carlos Cassio sebagaimana ditulis Wolfgang Friedenan, bahwa dalam menghadapi suatu aturan hukum, seorang hakim tidak bertindak sebagai robot tetapi
63 Theo
Huijbers I, Op.cit, hal 247
64 Bernard 65
L Tanya,dkk.Loc.cit
Bernard L. Tanya, dkk, Op.cit hal 233
63
sebagai manusia. Dalam konteks hakim sebagai manusia ia dituntut mengambil keputusan yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan kepentingan umum. Dalam hal ini tiada norma yang spesifik, para hakim wajib berusaha mengikuti prinsip-prinsip hukum atau norma-norma dasar yang dianggap adil. Untuk sampai pada suatu keputusan yang didasarkan atas konsep keadilan 66. Berkaitan dengan permintaan upaya hukum Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung sebagai salah satu lembaga tertinggi pemegang atau penyelenggara kekuasaan kehakiman diharapkan bisa memberikan kontribusi positif dalam penegak hukum. Oleh karenanya produk putusan yang dihasilkan tentunya diharapkan, disamping akan memberikan nilai kemanfaatan dan nilai keadilan bagi
masyarakat
sebagaimana
esensi
dari
cita
hukum.
Nampaknya Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya telah mengabulkan suatu membenarkan upaya hukum Peninjauan Kembali dari Jaksa/Penuntut Umum sebagai perwujudan yang mewakili kepentingan korban kejahatan atau masyarakat umum maupun
kepentingan
negara.
Namun
kemudian
kembali
terjadinya ketidak adilan dalam peraturan berupa Surat Edaran Nomor 10 Tahun 2009 yang dikeluarkan Mahkamah Agung sebagaimana telah disinggung diatas.
66
Berrnard L. Tanya, dkk, Op.cit, hal 233-234
64
Tuntutan
demikian
seiring
dengan
dinamika
perkembangan masyarakat yang ada sekarang ini maupun karakteristik masyarakat Indonesia, yaitu tuntutan adanya nilai keseimbangan. Karena karakteristik masyarakat menurut Barda Nawawi Arief, lebih bersifat monodualistik dan prulalistik, dan berdasarkan berbagai kesimpulan seminar nasional, sumber hukum nasional diharapkan berorientasi pada nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat
67)
. Ide keseimbangan tersebut
antara lain mencakup ; Keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan individual/perorangan, keseimbangan antara perlindungan atau kepentingan pelaku tindak pidana dan korban tindak pidana, keseimbangan antara kreteria formal dan material, maupun keseimbangan antara kepastian hukum, kelenturan jelastisitas fleksibelitas dan keadilan 68). Atas pemahaman ide keseimbangan diatas, tentu sudah seharusnya juga pandangan terhadap permintaan (upaya hukum) Peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, berisi nilai-nilai yang tidak saja memenuhi nilai-nilai kepastiannya, akan tetapi juga diharapkan memenuhi nilai-nilai keadilan. Hal tersebut kiranya sesuai dengan filosofi peradilan, bahwa tujuan peradilan memberikan nilai yang adil, yakni keadilan bagi masyarakat.
67
Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana,dalam Perspektif kajian Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I) hal 7 68 Ibid, hal 12
65
Kedilan ialah terciptanya suatu suasana damai dikalangan masyarakat. 69 Teori Carlos Cossio tersebut diambil kiranya sesuai filosofi pradilan bahwa tujuan peradilan ialah memberikan nilai yang adil, yakni keadilan bagi masyarakat. Sehingga dengan landasan teori yang dikemukakan Carlos Cossio tersebut, esensi dari upaya hukum Peninjauan Kembali sebagai hukum luar biasa untuk mengoreksi terhadap segala adanya kesalahan atau kehilafan atau adanya hal yang kurang adil dalam suatu putusan pengadilan dapat dicapai, dengan tujuan agar masyarakat tidak sampai dirugikan, yaitu baik bagi terpidana atau ahli warisnya maupun bagi korban kejahatan atau masyarakat umum/kepentingan negara. Dari landasan teori tersebut, juga diharapkan dapat mengimbangi kekakuan aturan hukum ketika terdapat norma yang tidak adil maupun diskriminatif, juga apabila ketiadaan norma yang mengatur persoalan konkrit yang terjadi dalam masyarakat. Sebab seperti yang dikemukakan oleh Francois Geny, bahwa undang-undang sempurna
(peraturan)
mempresentasikan
tidak
pernah
mampu
dengan
kebutuahan realitas yang ada
dalam bentangan waktu kehidupan sosial. Juga seperti yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo, hal tersebut disebabkan oleh
69
Soerjono Soekanto & Purnadi Purbacaraka, 1978,Prihal Kaedah Hukum, Alumni, Bandung, hal 19
66
karena dalam ilmu hukum yang legalistis positivitis, hukum sebagai institusi pengaturan yang komplek telah di reduksi menjadi suatu yang sederhana, linier, mekanistis, dan diteministis terutama untuk kepentingan profesi. 70 Dalam legalistis positivistis, kebiasaan yang dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai suatu yang rasional logis, yang penuh dengan kerapian dan keteraturan.71 Padahal sebagaimana dikatakan oleh Charles Samford, sesungguhnya hukum itu tidak merupakan bangunan yang penuh dengan keteraturan logis rasional.
72
Hukum dibangun dari hubungan
antar manusia bersifat Melee (keadaan cair sehingga
tidak
memiliki format formal atau sruktur yang pasti dan kaku), yaitu hubungan sosial antar individu dengan sekalian fariasi dan kompleksitas. 73 Pemberlakuan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 10 Tahun 2009 bagi pencari keadilan atau masyarakat umum. Seyogyanya
sesuai
dengan
prinsip
keadilan
dan
tidak
diskriminatif dan juga seharusnya sesuai dengan konstitusi negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 D ayat 1 Undangundang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian 70 Satjipto Rahardjo, 2000, Mengantarkan Keteraturan Menemukan Ketidakteraturan (Teacting Order Finding Disorder, Pidato mengakhiri masa jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Diponogoro, Pleburan (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo III), hal.17 71 Ibid 72 Ibid 73 Ibid
67
hukum maupun sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 I ayat 2 Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diaskriminatif itu. 1.7.2
Kerangka Berfikir atau Kerangka Teoritis (Teorical Framework) Kerangka berfikir dari Si peneliti yang bersifat teoritis mengenai masalah yang diteliti, yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep atau variabel-variabel yang akan diteliti. Kerangka berfikir tersebut dilandasi oleh teori-teori yang sudah dirujuk sebelumnya. Permasalah
Upaya
Hukum
Peninjauan
Kembali
oleh
Jaksa/Penuntut Umum Dalam Praktek Peradilan di Indonesia, terus menerus menjadi debatable antara kalangan praktisi terutama antara Mahkamah Agung dengan kalangan akademisi maupun dari kalangan pengacara. Akan tetapi terlepas dari debatable tersebut, bagaimana korelasi dari ketentuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali, terhadap hak terpidana untuk mengajukan Peninjauan Kembali , terkait upaya hukum Peninjauan Kembali Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung. Bertitik tolak dari landasan teori yang diacu dalam pengkajian permasalahan, maka dapat dimuat suatu kerangka berfikir atau kerangka teori atas dasar acuan teori-teori yang telah disebutkan atau
68
diuraikan tersebut diatas, yaitu untuk mengetahui bagaimana hak terpidana untuk pengajuan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diberikan oleh undang-undang terhadap ketentuan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal
24 ayat 2 Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009), ketika upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum dikabulkan oleh Mahkamah Agung, perlu dilakukan penelitian berdasarkan teori-teori yang telah dikemukakan sebelumnya. 1.8 Metode Penelitian Penelitian merupakan pedoman dari istilah research yang berasal dari bahasa Inggris. Research terdiri dari kata re yang berarti kembali dan search yang berarti mencari sehingga penelitian berati mencari kembali. Penelitian dilakukan untuk mencari pengetahuan yang benar, yang akan digunakan untuk menjawab masalah atau ketidaktahuan 74 1.8.1
Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum Normatif
adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yakni aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan, akan tetapi penelitian hukum
74 Bambang
Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Gratindo Persada, Jakarta, Hal 27-28
69
normatif tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.
75
Salah
satu ciri penelitian hukum normatif adalah berangkat dari kesenjangan dalam norma/asas hukum. Sedangkan Johay Ibrahim menyatakan penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika. Keilmuan hukum dari sisi normatifnya, logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif. 76 1.8.2
Sumber Bahan Hukum dan Bahan Hukum Jenis data dan sumber bahan-bahan hukum dalam penulisan ini,
terdiri dari data sekunder yang mencakup : a. Bahan hukum primair, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari : 1) Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. 2) Peraturan dasar, terdiri dari : -
Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945.
- Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat 3). Peraturan perundang-undangan, yaitu : - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum acara pidana.
75 Abdul
Kadir Muhamad,2004, Hukum dan Penelitian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal 101.
76 Johny
Ibrahim, 2006, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media, Malang, hal 47.
70
- Yurisprudensi, yaitu putusan-putusan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan upaya hukum Peninjauan Kembali yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai badan hukum primair, seperti Rancangan Undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum yang berhubungan dengan upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum. c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primair dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan sebagainya.77 1.8.3
Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pada penelitian ini, metode yang digunakan dalam pengumpulan data
adalah
dokumentasi.
Pengumpulan
data
dengan
metode
dokumentasi ini dilakukan melalui penelusuran terhadap sumber bahan hukum Peninjauan Kembali, khususnya upaya hukum Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum, serta membaca dan mempelajari sumber-sumber bacaan, dokumen dan laporan yang berkaitan dengan obyek penelitian. Metode
dokumentasi
ini
termasuk
ke
dalam
penelitian
kepustakaan (library research) yang bertujuan untuk mendapatkan data yang bersifat teoritis sebagai penunjang atau dasar teoritis dalam
77
Ibid. hal. 13
71
memahami teori. Setelah memperoleh bahan-bahan hukum dari hasil penelitian kepustakaan, maka dilakukan pengelolaan bahan-bahan hukum yang didapatkan dengan cara mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. 1.8.4
Pengolahan dan Analisa Bahan Hukum Semua data yang telah berhasil diperoleh, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu dengan menganalisis kualitas data yang diperoleh, baik dari bahan-bahan hukum primair, sekunder maupun tersier, sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan relevan tentang permasalahan-permasalahan hukum tentang upaya Peninjauan Kembali oleh Jaksa Penuntut Umum. Kemudian penarikan kesimpulan dalam penelitian tesis ini menggunakan logika berpikir deduktif, yaitu penalaran yang berlaku umum pada kasus konkrit yang dihadapi. Proses yang terjadi dalam deduksi adalah konkritisasi, karena hal-hal yang dirumuskan secara umum diterapkan pada keadaan khusus. Sehingga aturan-aturan hukum yang bersifat umum dijabarkan dalam wujud aturan-aturan hukum konkrit, sehingga dapat ditafsirkan dan disimpulkan ke dalam aturan-aturan hukum khusus tentang Peninjauan Kembali oleh Jaksa/Penuntut Umum.