107
BAB IV UPAYA HUKUM DAN PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BERKAITAN DENGAN KEBERATAN ATAS PUTUSAN BPSK
Sesungguhnya keberadaan BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen seperti yang telah diuraikan dalam BAB III sudah mendapatkan kepercayaan di hati masyarakat. Terbukti dari beberapa putusan yang telah dikeluarkan oleh majelis BPSK dimana para pihak menerima putusan BPSK tersebut secara sukarela tanpa mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri. Namun demikian ada beberapa putusan BPSK yang oleh para pihak diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri hingga kasasi ke Mahkamah Agung. Atas kasus tersebut, berikut ini akan diuraikan putusan Pengadilan Negeri yang menguatkan putusan BPSK dan putusan Pengadilan Negeri yang membatalkan putusan BPSK. 4.1. Putusan Pengadilan Negeri Yang Menguatkan Putusan BPSK. 4.1.1. Upaya Pengajuan Keberatan Ke Pengadilan Negeri Terhadap Putusan BPSK Kota Medan. Sebelum menguraikan upaya pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri Medan terhadap putusan BPSK kota Medan, terlebih dahulu dikemukan tahapan pemeriksaan oleh BPSK kota Medan atas pengaduan yang dilakukan konsumen. Dalam pengaduan konsumen tersebut tercatat didalam register perkara BPSK kota Medan No. 7/PEN/BPSK/2006/Mdn. Penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan oleh BPSK kota Medan dipilih dengan cara Arbitrase atas pilihan para pihak setelah sebelumnya diawali dengan upaya perdamaian oleh majelis BPSK
108
kota Medan, akan tetapi upaya perdamaian tersebut tidak dapat tercapai. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari tiga wakil pemerintah dalam BPSK. Yang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi adalah majelis BPSK bukan para pihak, karena para pihak telah menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa konsumen kepada Majelis BPSK, sehingga penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk Putusan BPSK. Pada persidangan pertama ketua majelis BPSK wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Jika terjadi perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Kepmen No. 350/2001 maka majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian, akan tetapi upaya perdamaian tersebut tidak berhasil. Berdasarkan ketentuan Pasal 54 ayat (3) UUPK dikatakan bahwa putusan yang dijatuhkan oleh Majelis BPSK bersifat final dan mengikat (final and binding), pada penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK ditegaskan bahwa kata besifat final diartikan tidak terdapat upaya banding dan kasasi. Namun demikian ternyata UUPK mengenal pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri hingga ke kasasi ke Mahkamah Agung bagi para pihak yang tidak menerima atas putusan
109
majelis BPSK tersebut. Hal ini tampak dalam perkara sengketa konsumen putusan Pengadilan Negeri Medan No.206/Pdt/G/2006/PN.Mdn tanggal 2 Agustus 2006. Atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan tersebut, selanjutnya konsumen mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung melalui putusannya No.1/K/PER/KONS/2007 tanggal 8 Oktober 2007. Suatu putusan tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak, sehingga oleh sebab itu demi kebenaran dan keadilan terhadapnya perlu diberikan kemungkinan untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Pada umumnya bagi setiap putusan hakim tersedia suatu upaya hukum yang bertujuan sebagai alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam putusan tersebut. Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undangundang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim. Berdasarkan ketentuan Pasal 58 UUPK Terhadap putusan BPSK kota Medan No.7/PEN/BPSK/2006/Mdn tanggal 1 Juni 2006, pelaku usaha mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Medan dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak pemberitahuan putusan oleh BPSK kota Medan (Pasal 56 ayat (2) UUPK jo Pasal 7 ayat (2) SK Menperindag 350/MPP/Kep/12/2001). Atas keberatan tersebut Pengadilan Negeri Medan telah menjatuhkan putusan No.206/Pdt.G/2006/PN.Mdn. tanggal 02 Agustus 2006 dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak diterimanya keberatan (Pasal 58 ayat (1) UUPK). Terhadap putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut diterima, konsumen
110
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung yang terdaftar dalam register perkara No.01/K/PER/KONS/2007 dan diputus pada tanggal 8 Oktober 2007 dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat 3 UUPK). Dengan dimungkinkannya untuk melakukan upaya hukum banding (atau yang menurut istilah UUPK adalah “keberatan”) dan selanjutnya kasasi ke Mahkamah Agung, maka sesungguhnya pembentuk undang-undang telah bersikap inkonsisten. Penjelasan Pasal 54 ayat (3) UUPK tidak sejalan dengan rumusan pasal 58 UUPK. Kendati demikian, keadaan ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda pelaksanaan penegakan hukum perlindungan konsumen. Dalam hal ini Pengadilan atau Hakim harus menunjukan sikap pro aktifnya sebagai pembentuk hukum melalui metode interpretasi yuridis (rechtvinding) terhadap masalah ini sebagaimana diatur pada Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Semestinya penjelasan dalam suatu undangundang tidak akan menimbulkan suatu masalah, namun apabila ternyata menimbulkan masalah, maka penyelesaiannya dikembalikan kepada rumusan pasal-pasal undang-undang tersebut dan bukan kepada penjelasannya.80 Pasal 2 dan Pasal 4 SK Menperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang BPSK menegaskan bahwa penyelesaian sengketa melalui BPSK bukanlah suatu proses penyelesaian secara berjenjang. Oleh karenanya untuk mengajukan proses penyelesaian sengketa
80
Yusuf Shofie, Op.Cit., hal 50
111
konsumen ke Pengadilan Negeri tidak harus berproses terlebih dahulu melalui BPSK. Penegasan pada SK Menperindag ini dapat membantu memberikan pemahaman perihal upaya hukum keberatan atau banding dan kasasi pada sengketa konsumen yang diajukan kepada BPSK, meskipun ditinjau dari tata urutan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Tap MPR Nomor III / MPR / 2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Perundang-Undangan, dimana suatu Peraturan Menteri atau Keputusan Menteri tidak termasuk di dalamnya, oleh karenanya suatu SK Menperindag tidak memiliki kewenangan untuk memberikan penjelasan terhadap materi suatu undang-undang, kecuali dalam batas-batas kewenangan yang diberikan oleh undang-undang yang bersangkutan. 4.1.2. Putusan BPSK Yang Di Kuatkan Oleh Putusan Pengadilan Negeri Dan Putusan Mahkamah Agung. Atas upaya pengajuan keberatan yang telah diuraikan diatas, berikut ini dikemukakan perkara sengketa konsumen yang secara konkrit telah diselesaikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan berkaitan dengan keberatan atas putusan BPSK melalui putusannya No.206/Pdt/G/2006/PN.Mdn tanggal 2 Agustus 2006.81 Atas putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan tersebut, konsumen mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung melalui putusannya No.1/K/PER/KONS/2007 tanggal 8 Oktober 2007.82
81 Pengadilan Negeri Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 2 Agustus 2006, Putusan Pengadilan Negeri No.206/Pdt.G/2006/PN.Mdn. 82 Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 8 Oktober 2007, No.01/K/PER/KONS/2007.
112
Dipilihnya putusan ini dikarenakan putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut telah menjatuhkan putusan dalam amarnya yang menguatkan keberadaan BPSK didalam menjatuhkan putusan akibat kerugian yang dialami oleh konsumen. Istilah “menguatkan” yang dipakai dalam penelitian ini karena putusan Pengadilan Negeri Medan sependapat dalam hal menjatuhkan putusan yang menyatakan pelaku usaha bersalah karena mengedarkan brosur dan iklannya yaitu Tarif Ngirit Malam (TNM) yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikannya sebagaimana dalam Pasal 8 ayat (1) butir (f), Pasal 9 ayat (1) butir (k) dan Pasal 10 butir (a) dari UUPK. Walaupun majelis hakim Pengadilan Negeri Medan merubah jumlah ganti kerugian yang harus diterima oleh konsumen tanpa mempertimbangkan asas keseimbangan dan rasa keadilan antara konsumen dan pelaku usaha namun putusan majelis BPSK tersebut dikuatkan kembali oleh Mahkamah Agung melalui kasasi yang dilakukan oleh konsumen. Disamping itu alasan memilih kasus ini karena melibatkan salah satu perusahaan operator jasa komunikasi GSM terkemuka di Indonesia yang tentunya juga sangat menarik untuk dikaji. Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perkara sengketa konsumen yang bersangkutan antara JHON PARLYN H.SINAGA sebagai penggugat yang selanjutnya
disebut
pihak
konsumen
melawan
PT.
EXELCOMINDO
PRATAMA Tbk., sebagai tergugat yang selanjutnya disebut sebagai pelaku usaha. Kasus ini berawal pada tanggal 30 Maret 2006, Pelaku usaha mendistribusikan flyer/brosur tentang Program Tarif Ngirit Malam (Program
113
Tarif Ngirit XL Bebas) untuk pelanggan, yang menginformasikan Program Tarif Ngirit Malam (Program Tarif Ngirit XL Bebas) tersebut mulai berlaku tanggal 1 April 2006 sampai dengan 30 Juni 2006. Kemudian pada tanggal 31 Maret 2006 mengetahui bahwasanya pada flyer/brosur yang telah didistribusikan tersebut telah terjadi kesalahan cetak, dimana yang seharusnya program tersebut berlaku mulai tanggal 06 April 2006, namun ternyata tercetak mulai berlaku pada tanggal 01 April 2006. Pelaku usaha berusaha untuk secepatnya menarik semua flyer/brosur yang salah cetak masa berlakunya tersebut, namun dikarenakan pada tanggal 01 April dan 02 April adalah hari libur, tentu penarikan seluruh flyer/brosur yang salah cetak tersebut baru dapat dilakukan secara maksimal pada tanggal 02 April 2006. Konsumen
sebagaimana
termaksud
dalam
surat
pengaduannnya
tertanggal 16 April 2006 menyebutkan bahwasanya pada tanggal 1 April 2006 telah mendatangi salah satu toko Hand Phone yang turut menjual produk dari pelaku usaha dan setelah membaca flyer (brosur) maka konsumen tertarik terhadap Program Tarif Ngirit Malam (Program Tarif Ngirit XL Bebas) sehingga memanfaatkan dengan membeli paket perdana XL Bebas. Menurut konsumen, Program Tarif Ngirit Malam (Program Tarif Ngirit XL Bebas) tidak sesuai dengan keterangan yang ada pada flyer (brosur) yang diperolehnya. Hal ini diketahui oleh konsumen melalui upaya pembuktian yang dilakukan sendiri pada tanggal 2 April 2006. Walaupun antara pelaku usaha dan konsumen telah berulang kali mengadakan musyawarah untuk menyelesaikan keluhan konsumen tersebut di
114
atas secara damai, tetapi konsumen tidak mau menerima penawaran (itikad baik) pelaku usaha tersebut. Pada tanggal 16 April 2006, konsumen membuat pengaduan konsumen kepada BPSK Medan, dan atas pengaduan konsumen tersebut BPSK Medan telah memanggil pelaku usaha dan untuk acara konsiliasi yang dilanjutkan dengan arbitrase dalam nomor perkara No. 7/PEN/BPSK/2006/Mdn. Selanjutnya untuk mempersingkat uraian kasus ini, majelis BPSK Medan pada tanggal 1 Juni 2006 membacakan putusannya yang amarnya berbunyi sebagai berikut:83 1. Menerima pengaduan/gugatan konsumen sebagian. 2. Menyatakan bahwa pelaku usaha bersalah karena mengedarkan brosur dan iklannya yaitu TARIF NGIRIT MALAM (TNM) yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat 1 butir f, Pasal 9 ayat 1 butir k dan Pasal 10 butir a dari Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999. 3. Menghukum pelaku usaha untuk tidak memberlakukannya lagi kepada konsumen tersebut. 4. Menyatakan adanya kerugian yang diderita oleh konsumen akibat perbuatan pelaku usaha yang menurut keyakinan majelis dan rasa keadilan adalah sebesar Rp. 4.000.000,- (empat juta rupiah). 5. Menghukum pelaku usaha untuk membayar ganti rugi tersebut kepada konsumen. 83
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Medan, Putusan Perkara antara Jhon Parlyn H.Sinaga vs. PT. Exelcomindo Pratama Tbk., 1 Juni 2006, Putusan BPSK Kota Medan No.7/PEN/BPSK/2006/Mdn.
115
6. Menghukum pelaku usaha untuk membayar denda sebesar Rp. 1.000.000,(satu juta rupiah) setiap harinya apabila lalai/tidak mau melaksanakan keputusan pada poin 4 dan 5 tersebut. Sejak keputusan ini berkekuatan hukum tetap. 7. Menolak gugatan lain dan selebihnya. Pelaku usaha sangat berkeberatan terhadap pertimbangan hukum maupun terhadap putusan Majelis BPSK kota Medan dalam perkara a quo. Menurutnya karena majelis BPSK kota Medan telah salah dalam menerapkan hukum dan/atau menerapkan hukum tidak sebagaimana mestinya serta memutus perkara melebihi dan atau melampui batas kewenangannya. Menurut pelaku usaha bahwa hal ini dikarenakan kerugian sebenarnya yang diderita oleh konsumen sebagaimana yang dinyatakan konsumen sendiri dalam surat pengaduannya adalah sebesar Rp.9.054,- (sembilan ribu lima puluh empat rupiah). Selanjutnya pelaku usaha mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Medan. Terhadap permohonan keberatan tersebut, Pengadilan Negeri Medan telah mengambil putusan, yaitu putusan No.206/Pdt.G/2006/PN.Mdn. tanggal 02 Agustus 2006 yang amarnya sebagai berikut: 1. Mengabulkan keberatan Penggugat (Pelaku Usaha) untuk sebahagian. 2. Menyatakan Penggugat (Pelaku Usaha) bersalah karena mengedarkan brosur dan iklannya yaitu Tarif Ngirit Malam (TNM) yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikannya sebagaimana dalam Pasal 8 ayat 1 butir f, Pasal 9 ayat 1 butir
116
k dan Pasal 10 butir a dari Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 3. Menghukum Penggugat (Pelaku Usaha) untuk tidak memberlakukannya kepada konsumen. 4. Menyatakan adanya kerugian yang diderita oleh Tergugat (Konsumen) akibat perbuatan Penggugat (Pelaku Usaha) sebesar Rp. 9.054,- (sembilan ribu lima puluh empat rupiah). 5. Menghukum Penggugat (Pelaku Usaha) untuk membayar ganti rugi kepada Tergugat (Konsumen) sebesar Rp. 9.054,- (sembilan ribu lima puluh empat rupiah). 6. Menolak keberatan Penggugat (Pelaku Usaha) selain dan selebihnya. 7.
Membebankan ongkos perkara yang timbul kepada Penggugat (Pelaku Usaha) sebesar Rp.129.000,- (seratus dua puluh sembilan ribu rupiah). Terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Medan tersebut,
selanjutnya konsumen mengajukan kasasi ke Mahmakah Agung melalui putusannya No.01/K/PER/KONS/2007 tanggal 8 Oktober 2007 menetapkan agar pelaku usaha dalam hal ini PT. EXELCOMINDO PRATAMA, Tbk. membayar ganti kerugian yang dimungkinkan oleh UUPK kepada konsumen yang besarnya sebagaimana tersebut dalam amar putusan BPSK kota Medan. Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi pemohon kasasi JOHN PARLYN H.SINAGA dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan No.206/PDT.G/2006/
117
PT.Mdn. tanggal 02 Agustus 2006 serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang disebutkan di bawah ini: 1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : JHON PARLYN H.SINAGA tersebut; 2. Membatalkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Medan
No.206/PDT.G/
2006/PT.Mdn. tanggal 02 Agustus 2006; Selanjutnya Mahkamah Agung mengadili sendiri dengan amar putusan sebagaimana yang disebutkan dibawah ini: 1. Menolak keberatan dari Pemohon : PT.EXELCOMINDO PRATAMA: 2.
Menyatakan sah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen kota Medan Nomor : 7/PEN/BPSK/2006/MDN tanggal 01 Juni 2006 tentang Arbitrase;
3. Menghukum Termohon Kasasi/Pemohon untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan, yang dalam tingkat kasasi ini ditetapkan sebesar Rp.500.000,- (lima ratus ribu rupiah); Dari uraian permasalahan sampai dengan amar putusan Pengadilan Negeri Medan dan amar putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, dapat dianalisa bahwa dalam memutus pokok perkara majelis hakim Pengadilan Negeri Medan sependapat dalam hal menjatuhkan putusan yang menyatakan pelaku usaha bersalah karena mengedarkan brosur dan iklannya yaitu Tarif Ngirit Malam (TNM) yang tidak sesuai dengan yang diperjanjikannya sebagaimana dalam Pasal 8 ayat 1 butir f, Pasal 9 ayat 1 butir k dan Pasal 10 butir a dari UUPK. Meskipun
Pengadilan
Negeri
Medan
sama
sekali
tidak
memberikan
118
pertimbangan yang argumentasi juridis terhadap pembelaan diri konsumen didalam surat jawaban tentang pokok perkara mengenai keberatan konsumen tentang minimnya ganti kerugian sebesar Rp.4.000.000.- tersebut, maka patut untuk ditegaskan bahwa tidak sependapat dengan alasan-alasan keberatan pelaku usaha tersebut, sebab pelaku usaha sendiri telah mengakui bahwa Pasal 19 ayat (2) UUPK dan Pasal 12 ayat (2) hurut a dan b SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tersebut telah mengatur ragam kerugian konsumen yang tidak hanya berupa pengembalian kerugian finansial (incasu selisih/indebitum akibat "kesalahan" penerapan tarif) semata, akan tetapi juga pemberian santunan yang tentunya atas penderitaan fisik dan atau penderitaan psikis, yang jumlahnya oleh undang-undang dibatasi maximum Rp.200.000.000.- (Pasal 60 ayat (2) UUPK). Sehingga dengan mengacu pada Pasal 19 ayat (2) jo. Pasal 60 UUPK dan Pasal 12 ayat (2) huruf a dan b SK Menperindag No.350/MPP/Kep/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tersebut maka tidak dapat ditafsirkan lain kecuali mengandung makna yuridis bahwa ganti kerugian yang oleh BPSK Kota Medan hanya dikabulkan sebesar Rp.4.000.000.- dari maximum Rp.200.000.000.- itu adalah ganti kerugian berupa pemberian santunan terhadap konsumen. Pertimbangan hukum Judex Facti tidak mengacu secara persuasif effect pada
Putusan
Mahkamah
Agung
R.I.
tertanggal
18
Agustus
2005
No.01.K/PER.KONS/2005 yang mewajibkan pelaku usaha untuk selain membayar kembali selisih pembayaran atas kelebihan harga kepada konsumen,
119
juga membayar ganti rugi atas biaya-biaya yang dikeluarkan untuk mengurus sengketa ini kepada konsumen. Walaupun kerugian yang sebenarnya dialami oleh konsumen sejumlah Rp. 9.050,- (sembilan ribu lima puluh rupiah), namun Pengadilan Negeri Medan tidak memperhatikan azas keseimbangan keadilan bagi kedua belah pihak konsumen dan pelaku usaha, agar pelaku usaha membayar ganti kerugian yang dimungkinkan oleh UUPK kepada konsumen. Bila dilihat dari amar putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut, terlihat bahwa Pengadilan Negeri Medan tidak mempertimbangkan asas keseimbangan antara konsumen dan pelaku usaha dengan menjatuhkan putusan untuk ganti kerugian kepada konsumen sebesar Rp. 9.054. (sembilan ribu lima puluh empat rupiah) tentunya nilai sebesar itu tidak sebanding dengan kerugian psikis yang dialami konsumen. Melalui putusannya No. 01/K/PER/KONS/2007 tanggal 8 Oktober 2007, Mahkamah Agung telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan No. 206/Pdt/G/2006/PN.Mdn tanggal 2 Agustus 2006 dengan mengadili sendiri yang amarnya berbunyi menolak keberatan dari pemohon PT. EXELCOMINDO PRATAMA (pelaku usaha), menyatakan sah putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen kota Medan No. 7/PEN/BPSK/2006/MDN tanggal 1 Juni 2006 tentang arbitrase dan menghukum pelaku usaha untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan. Dengan dikuatkannya putusan BPSK oleh Mahkamah Agung tersebut, berarti Mahkamah Agung sependapat dengan pertimbangan hukum majelis
120
arbitrase BPSK kota Medan dan sebagai upaya untuk menguatkan peran BPSK dalam penyelesaian sengketa konsumen antara konsumen dan pelaku usaha sangat besar. Adapun yang menjadi alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam suatu permohonan kasasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 adalah sebagai berikut: 1.
Perihal tidak berwenangnya atau melampaui batas kewenangan suatu Pengadilan.
2.
Karena kesalahan dalam menerapkan hukum atau melanggar hukum yang berlaku.
3.
Adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan batalnya putusan yang bersangkutan. Oleh karena pada tingkat kasasi tidak diperiksa ulang duduk perkara atau
peristiwanya, maka pemeriksaan tingkat kasasi pada umumnya tidak dianggap sebagai pemeriksaan tingkat ke-3. Setelah proses pemeriksaan perkara di tingkat kasasi tersebut selesai, maka Mahkamah Agung mengeluarkan suatu putusan. Adapun bentuk putusan yang dapat dijatuhkan Mahkamah Agung terhadap perkara yang diperiksanya dalam tingkat kasasi adalah sebagai berikut: - Menyatakan Permohonan Kasasi Tidak Dapat Diterima. - Putusan Menolak Permohonan Kasasi.
121
- Mengabulkan Permohonan Kasasi. Atas putusan kasasi Mahkamah Agung tersebut diatas, permohonan Peninjauan Kembali dapat diajukan oleh pelaku usaha, baik secara tertulis maupun lisan oleh para pihak sendiri kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat kedua. Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan sekali saja. Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir. Selanjutnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah Ketua Pengadilan yang memutus perkara pada tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka Panitera mengirimkan salinan permohonan kepada pihak lawan. Adapun yang menjadi alasan-alasan diajukannya peninjauan kembali secara limitatif telah diatur oleh UUMA, yakni sebagai berikut: 1.
Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang dikemudian oleh Hakim pidana dinyatakan palsu.
2.
Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan.
122
3.
Apabila dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut.
4.
Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
5.
Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain.
6.
Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. UUPK tidak mengatur secara tegas kemungkinan dilakukan Peninjauan
Kembali (PK) terhadap perkara-perkara perlindungan konsumen, namun tidak mustahil apabila upaya hukum Peninjauan Kembali diajukan oleh pihak-pihak yang keberatan terhadap putusan final, karena Pasal 23 UU. No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dimintakan upaya peninjauan kembali berdasarkan UU. No. 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 5 Tahun 2004, maka karena tidak dilarang secara tegas dalam UUPK, maka berlaku ketentuan umum, bahwa terhadap perkara-perkara konsumen pun masih dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Meskipun permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan pelaksanaan putusan pengadilan. Hal ini mengakibatkan makin jauh perjuangan konsumen dalam menanggapi hak-haknya melalui jalur hukum.
123
Perkara sengketa konsumen pada umumnya berskala kecil, tetapi sengketa konsumen yang merugikan hak konsumen tidak boleh dibiarkan, karena akibatnya bisa berdampak serius bagi masyarakat luas. Bila dibiarkan terjadi, pelanggaran hak konsumen akan mengakibatkan penyimpangan yang dilakukan oleh pelaku usaha semakin tidak terkendali. Walaupun nilai kerugian yang diderita oleh konsumen nilainya relatif kecil, tetapi hal tersebut tidak boleh dibiarkan demi terjaganya perekonomian nasional yang sehat serta melindungi konsumen dari setiap tindakan pelaku usaha. 4.1.3. Pelaksanaan Eksekusi Putusan Oleh BPSK Terhadap Putusan Mahkamah Agung. Pada asasnya hanya suatu putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang dapat dilakukan eksekusi terhadapnya, kecuali apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan yang dapat dilaksanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Pasal 180 HIR. Perlu pula dikemukakan disini bahwa hanya terhadap putusan yang bersifat condemnatoir yang dapat dilakukan eksekusi. Putusan condemnatoir adalah putusan pengadilan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Sementara putusan-putusan yang bersifat declaratoir dan konstitutif tidaklah memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya, karena tidak dicantumkannya hak atas suatu prestasi suatu pihak terhadap pihak lainnya. Berangkat dari uraian perkara sengketa konsumen yang telah diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan berkaitan dengan keberatan atas putusan BPSK melalui putusannya No.206/Pdt/G/2006/PN.Mdn tanggal 2
124
Agustus 2006 dan putusan Mahkamah Agung RI No.1/K/PER/KONS/2007 tanggal 8 Oktober 2007 yang menguatkan putusan BPSK Kota Medan tersebut, maka untuk pelaksanaan eksekusi terhadap putusan kasasi Mahkamah Agung RI tersebut, BPSK Kota Medan wajib terlebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Medan berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK. Meskipun pihak pelaku usaha selaku pihak yang dikalahkan mengajukan upaya Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, maka permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan (eksekusi) Putusan Pengadilan dan dapat dicabut selama belum diputus serta hanya dapat diajukan sekali saja. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, dan putusan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Sebelum dilaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri Medan terlebih dahulu melakukan peneguran kepada pihak yang kalah, untuk waktu delapan hari melaksanakan putusan tersebut dengan suka rela. Berdasarkan ketentuan Pasal 195-236 HIR disebutkan bahwa jika pihak yang ditegur tidak mau melaksanakan putusan
dengan
sukarela
maka
dimulai
pelaksanaan
eksekusi
yang
sesungguhnya. Jika sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga, secara otomatis menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang-barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang wajib dibayar
125
menurut putusan Hakim dan ditambah dengan semua biaya sehubungan pelaksanaan putusan tersebut. Purwoto S. Gandasubrata mengemukakan asas-asas hukum eksekusi yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan eksekusi adalah:84 1) Eksekusi dijalankan atas putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, apabila tereksekusi tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, kecuali undang-undang menentukan lain, misalnya menurut Pasal 180 HIR/191 Rbg dimana suatu putusan dinyatakan dapat dilaksanakan secara serta merta atau suatu tuntutan provisi dikabulkan. 2) Yang dapat dieksekusi adalah amar putusan yang bersifat penghukuman (comdemnatoir), sedangkan putusan yang bersifat konstitutif atau declaratoir tidak memerlukan eksekusi. 3) Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutanm, dilaksanakan oleh Panitera dan jurusita dengan bantuan alat kekuasaan Negara dimana diperlukan. 4) Eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara terbuka dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara. Terhadap putusan arbitrase BPSK, ada 2 (dua) kemungkinan yang terjadi, yakni putusan dilaksanakan secara sukarela atau putusan tersebut dimintakan fiat eksekusi
ke
Pengadilan
Negeri.
Pasal
42
Kepmenperindag
No.
350/MPP/Kep/12/2001 menyebutkan bahwa putusan BPSK yang telah final dan 84
Purwoto S. Gandasubrata, Asas-Asas Hukum Eksekusi, Suatu makalah tidak bertanggal, dalam Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau Dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 344
126
mengikat dimintakan penetapan eksekusinya oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri ditempat konsumen yang dirugikan. Ketentuan pasal ini, bertentangan dengan ketentuan hukum acara perdata pada umumnya yang mengatur bahwa pihak yang dimenangkan dalam putusan hakim, yang memohon kepada Pengadilan Negeri untuk dilakukan eksekusi baik secara tertulis atau secara lisan. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2006 dinyatakan bahwa konsumen mengajukan permohonan eksekusi atas putusan BPSK yang tidak diajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri di tempat kedudukan hukum konsumen yang bersangkutan atau dalam wilayah hukum BPSK yang mengeluarkan putusan. Dalam hal pelaku usaha menerima isi atau amar putusan BPSK, maka berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) UUPK ia wajib melaksanakan putusan tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK. Adapun yang menentukan bahwa pelaku usaha menerima isi putusan BPSK berdasarkan Pasal 56 ayat (3) UUPK adalah dengan tidak diajukannya upaya hukum keberatan kepada Pengadilan Negeri yang oleh karenanya membawa akibat hukum Putusan BPSK berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Selanjutnya, dalam rangka melaksanakan (eksekusi) isi atau amar Putusan BPSK, berdasarkan Pasal 57 UUPK terhadap Putusan BPSK yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dimintakan suatu Penetapan Pengadilan Negeri setempat, dalam hal ini domisili Konsumen yang dirugikan melalui mekanisme permohonan fiat eksekusi.
127
Bagi Pelaku Usaha yang tidak melakukan upaya hukum keberatan ke Pengadilan Negeri dan juga tidak melaksanakan isi Putusan, apalagi setelah diajukannya permohonan fiat eksekusi, dianggap telah melakukan tindak pidana di bidang perlindungan konsumen dan oleh karenanya berdasarkan Pasal 56 ayat (4) UUPK, BPSK menyerahkan Putusan tersebut kepada Penyidik sebagai bukti permulaan yang cukup untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Norma hukum ini merupakan salah satu upaya penghormatan terhadap lembaga peradilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri. BPSK memang bukanlah suatu lembaga peradilan, akan tetapi ia lebih merupakan suatu lembaga quasi rechtspraak yang putusannya baru dapat dieksekusi setelah Pengadilan Negeri mengeluarkan Penetapan fiat eksekusi. Jadi putusan BPSK yang dapat di eksekusi hanyalah putusan BPSK yang memuat besarnya ganti kerugian, dan tidak melanggar atau melampaui asas ultra petita yang ditentukan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR, yaitu putusan tidak boleh melebihi yang diminta dalam petitum. Cara melaksanakan eksekusi terhadap putusan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata diatur pada Pasal 195 sampai dengan Pasal 208 HIR. Di dalam hukum acara perdata dikenal 3 (tiga) macam eksekusi, yaitu:85 1. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 196 HIR dan seterusnya, dimana seseorang dihukum untuk membayar sejumlah uang; 2. Eksekusi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 225 HIR dan seterusnya, dimana seseorang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan; 85
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op.Cit., hal 130
128
3. Eksekusi riil yang merupakan pelaksanaan prestasi yang dibebankan kepada debitur oleh putusan Hakim secara langsung. Pada prakteknya eksekusi riil ini tidak mungkin dilaksanakan karena debitur tidak dapat dipaksa secara langsung untuk memenuhi putusan secara pribadi. Disamping ketiga jenis eksekusi tersebut diatas, di dalam hukum acara perdata masih dikenal dengan apa yang dinamakan “parate executie” atau eksekusi secara langsung. Parate executie terjadi apabila seorang kreditur menjual barang-barang tertentu milik debitur. Untuk dapat dilaksanakan suatu putusan hakim secara paksa oleh Pengadilan Negeri, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan supaya putusan dilaksanakan. Selanjutnya berdasarkan permohonan tersebut, Ketua Pengadilan Negeri memanggil pihak yang dikalahkan untuk ditegur agar memenuhi putusan dalam waktu 8 (delapan) hari setelah teguran tersebut. Dalam waktu 8 (delapan) hari tersebut pihak yang dikalahkan diberi kesempatan untuk melaksanakan putusan tersebut secara suka rela, dan apabila jangka waktu tersebut telah dilewati dan pihak yang dikalahkan belum juga melaksanakan isi putusan atau tidak juga datang menghadap, maka Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya memberi perintah dengan surat penetapan supaya disita barang-barang bergerak milik pihak yang dikalahkan atau kalau tidak ada barang bergerak, maka disita barang tidak bergerak sejumlah nilai uang yang tersebut dalam putusan untuk menjalankan putusan. Jadi dalam hal ini barang yang menjadi prioritas untuk disita adalah barang bergerak, dan apabila barang bergerak yang disita itu tidak ada atau tidak mencukupi, maka terhadap barang yang tidak bergeraklah dilakukan penyitaan. Pelaksanaan putusan hakim dalam
129
perkara perdata dilakukan oleh Panitera dan Juru Sita yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri.86 4.2. Putusan Pengadilan Negeri Yang Membatalkan Putusan BPSK. 4.2.1.
Upaya Pengajuan Keberatan Ke Pengadilan Negeri
Terhadap Putusan BPSK Kota Surabaya. Sebelum menguraikan pengajuan keberatan ke Pengadilan Negeri Surabaya terhadap putusan BPSK kota Surabaya, berikut ini dikemukan tahapan pemeriksaan oleh BPSK kota Surabaya atas pengaduan yang dilakukan konsumen. Dalam pengaduan konsumen tersebut tercatat didalam register perkara BPSK kota Surabaya No.43.1/Pts-BPSK/VI/2009, penyelesaian sengketa konsumen yang dilakukan oleh BPSK kota Surabaya dipilih dengan cara Arbitrase. Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar Pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK. Berdasarkan ketentuan Pasal 32 Kepmen No. 350/2001 disebutkan bahwa konsumen akan memilih salah satu arbiter konsumen yang terdiri dari tiga orang, demikian pula pengusaha akan memilih satu arbiter pengusaha dari tiga arbiter yang ada. Sedangkan ketua majelis hakim BPSK adalah seorang dari tiga wakil pemerintah dalam BPSK. Yang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi adalah majelis BPSK bukan para pihak, karena para pihak telah menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa konsumen kepada Majelis BPSK, sehingga penyelesaian sengketa konsumen dibuat dalam bentuk Putusan BPSK.
86
Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hal 247
130
Pada persidangan pertama ketua majelis BPSK wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa. Jika terjadi perdamaian antara kedua belah pihak yang bersengketa, sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (3) Kepmen No. 350/2001 maka majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian. Penulis lebih condong jika perdamaian tersebut dituangkan dalam bentuk putusan perdamaian, bukan penetapan, karena putusan yang telah dimintakan fiat eksekusi kepada Pengadilan Negeri lebih mempunyai daya paksa daripada penetapan. Hal ini untuk menghindari kemungkinan ingkar janji setelah putusan diucapkan. Sebaliknya berdasarkan Pasal 34 Kepmen No 350/2001, jika tidak tercapai perdamaian maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen, dan surat jawaban dari pelaku usaha. Selama proses penyelesaian sengketa, alat-alat bukti barang atau jasa, surat dan dokumen keterangan para pihak, keterangan saksi dan atau saksi ahli, dan bukti-bukti lain yang mendukung dapat diajukan kepada majelis. Dalam proses penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK beban pembuktian ada pada pelaku usaha, namun pihak konsumen juga harus mengajukan bukti-bukti untuk mendukung gugatannya. Setelah mempertimbangkan pernyataan dari kedua belah pihak mengenai hal yang disengketakan dan mempertimbangkan hasil pembuktian serta permohonan yang diinginkan oleh para pihak, maka majelis BPSK memberikan putusan. Majelis BPSK kota Surabaya wajib menyelesaikan sengketa konsumen selambat-lambatnya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima disekretariat BPSK kota Surabaya (Pasal 7 ayat 1
131
Kepmenperindag No. 350/2001). Namun demikian, sekalipun putusan BPSK kota Surabaya bersifat final dan mengikat (Pasal 54 ayat 3 UUPK), akan tetapi keberatan atas putusan tersebut masih dapat diajukan kepada Pengadilan Negeri Surabaya (PN Surabaya) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan BPSK disampaikan (Pasal 56 ayat (2) UUPK). Terhadap putusan BPSK kota Surabaya No.43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009, kemudian konsumen mengajukan keberatan kepada Pengadilan
Negeri
Surabaya
yang
tercatat
dalam
register
perkara
No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby. Selanjutnya Pengadilan Negeri Surabaya wajib memutusnya dalam jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari (Pasal 58 ayat 1). Terhadap putusan Pengadilan Negeri Surabaya, masih dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan Pengadilan Negeri Surabaya diterima. Selanjutnya Mahkamah Agung wajib memutus perkara dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan kasasi diajukan (Pasal 58 ayat 3 UUPK). Terhadap
putusan
Pengadilan
Negeri
Surabaya
No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby tanggal 10 Nopember 2009 yang membatalkan putusan BPSK kota Surabaya No.43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009, setelah melewati waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan diterima oleh para pihak, baik pihak konsumen maupun pihak pelaku usaha tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Sehingga putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.
132
4.2.2. Putusan BPSK Yang Batal Demi Hukum Oleh Putusan Pengadilan Negeri. Disamping putusan Pengadilan Negeri Medan yang menguatkan putusan BPSK kota Medan sesuai dengan uraian tersebut diatas, berikut ini akan dimukakan perkara sengketa konsumen yang secara konkrit telah diselesaikan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya berkaitan dengan keberatan atas putusan majelis BPSK melalui putusannya No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby tanggal 10 Nopember 2009.87 Dipergunakannya putusan ini dikarenakan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya tersebut telah menjatuhkan putusan dalam amarnya yang menyatakan putusan arbitrase BPSK Surabaya No.43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 adalah batal demi hukum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya mempertimbangkan mengenai ketentuan pasal 54 UUPK yang menyatakan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) UUPK serta dibantu seorang Panitera. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya berpendapat bahwa dengan adanya ketentuan jumlah anggota majelis harus ganjil adalah dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 54 ayat (2) UUPK Jo. Pasal 30 ayat (1) Kepmenperindag No.350/MPP/Kep/XII/2001 bahwa putusan majelis didasarkan 87
Pengadilan Negeri Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 10 Nopember 2009, No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby.
133
atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya berpendapat bahwa manakala putusan diambil dengan alternatif suara terbanyak maka ada kemungkinan majelis tidak dapat mengambil keputusan manakala majelis berjumlah genap, karena akan menemui jalan buntu jika jumlah suara sama. Atas putusan majelis BPSK kota Surabaya yang berjumlah genap yaitu terdiri dari 4 (empat) orang, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya berpendapat bahwa putusan BPSK Surabaya No. 43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 bertentangan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UUPK Jo. Pasal 18 Kepmenperindag No.350/MPP/Kep/XII./2001 sehingga majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan putusan BPSK kota Surabaya No. 43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 yang merupakan putusan arbitrase tersebut adalah batal demi hukum. Adapun pihak-pihak yang terlibat pada perkara sengketa konsumen yang bersangkutan antara RUDI SANTOSO sebagai penggugat yang untuk selanjutnya disebut sebagai pelaku usaha melawan DENNY ZADI SAPUTRO sebagai tergugat yang untuk selanjutnya disebut sebagai pihak konsumen. Kasus ini berawal pada tanggal 9 September 2007, DENNY ZADI SAPUTRO (untuk selanjutnya disebut konsumen) telah memesan rumah pada RUDI SANTOSO (untuk selanjutnya disebut pelaku usaha) di Bukit Citra Darmo dengan model dan bentuk sesuai type 45/105 sesuai brosur pada blok BC/A.3 dan
134
pelaku usaha berjanji akan melakukan serah terima pada bulan Juli 2008. Namun sampai lewat bulan Juli 2008, pelaku usaha belum dapat melakukan serah terima rumah
sebagaimana
tercantum
dalam
surat
persetujuan
pemesanan
No.AMA/FM/01-01 tertanggal 19 Juli 2007. Atas
hal
tersebut,
pelaku
usaha
melalui
suratnya
No.
16/EXT/BCD/PM/XI/2008 tanggal 11 Nopember 2008 mengakuinya dan memohon maaf dan akan melakukan percepatan penyelesaian pembangunan rumah sehingga pada bulan Januari 2009 dapat dilakukan serah terima rumah. Ternyata pada bulan Januari 2009 telah lewat, pelaku usaha belum dapat menyelesaikan pembangunan rumah sehingga serah terima tidak bisa dilakukan. Atas kejadian tersebut, konsumen mengajukan perkara ini ke BPSK Surabaya. Selanjunya pada tanggal 10 Pebruari 2009, konsumen melakukan somasi kepada pelaku usaha atas keterlambatan penyelesaian pembangunan dan serah terima rumah tersebut. Atas somasi tersebut, pelaku usaha berjanji akan melaksanakan dan diselesaikan pada akhir bulan Maret 2009 dan akan diberikan tambahan sebagai kompensasi keterlambatan, dibuatkan taman depan yaitu 2 minggu setelah penandatanganan berita acara serah terima rumah. Selanjutnya majelis BPSK kota Surabaya menyidangkan perkara ini dengan jalur arbitrase dengan memanggil para pihak yaitu konsumen dan pelaku usaha. Hingga pada panggilan yang kedua, pelaku usaha tidak hadir di persidangan pada tanggal yang telah ditentukan tanpa ada keterangan apapun yang dapat dipertanggungjawabkan, sehingga majelis BPSK memeriksa perkara sengketa konsumen dengan tanpa hadirnya pihak dari pelaku usaha dan pada
135
tanggal
30
Juni
2009,
majelis
BPSK
mengeluarkan
putusan
No.
43.1/Pts.BPSK/VI/2009 yang amarnya berbunyi sebagai berikut:88 1. Gugatan perkara konsumen pada BPSK oleh majelis BPSK, sesuai dengan Pasal 36 ayat (3) Kepmen No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK, bahwa ketidak hadiran pelaku usaha dalam sidang BPSK dapat dijadikan dasar bagi majelis untuk mengabulkan gugatan konsumen tanpa kehadiran pelaku usaha. 2. Pelaku
usaha
berkewajiban
melaksanakan
pemenuhan
kewajiban
menyerahkan rumah sebagaimana spesifikasi yang dijanjikan. 3. Pelaku usaha wajib membayar ganti rugi kepada konsumen sebagaimana pasal 12 ayat (2) Kepmen No.350/MPP/Kep/12/2001 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang BPSK dan hitungannya sesuai dengan surat pemberitahuan dari Bukit Citra Darmo No. 26/ETX/BCD/PM/XI/2008, yaitu sebesar 10/100 (satu promil) perhari dari 30% uang yang telag disetorkan untuk masing-masing unit dengan maksimal dengan 30 hari keterlambatan. 4. Badan Penyelesaian Konsumen menjatuhkan sanksi administratif terhadap pihak Bukit Citra Darmo sesuai dengan pasal 26 sebesar Rp. 200.000.000,(dua ratus juta rupiah). Selanjutnya putusan BPSK Surabaya tersebut, telah diberitahukan dan diterima oleh pelaku usaha pada hari Rabu, tanggal 15 Juli 2009. Atas putusan BPSK kota Surabaya tersebut, kemudian pelaku usaha pada tanggal 3 Agustus 2009 mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Surabaya. 88
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surabaya, Putusan Perkara Antara Denny Zadi Saputro Vs Rudi Santoso, 30 Juni 2009, No. 43.1/Pts.BPSK/VI/2009.
136
Pelaku usaha sangat keberatan dengan putusan BPSK bagian ke 4 yang berbunyi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen menjatuhkan sanksi administratif terhadap pihak Bukit Citra Darmo sesuai dengan pasal 26 sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan alasan rujukan pasal 26 yang dipakai oleh majelis BPSK adalah salah. Padahal pasal 26 mengatur tentang kewajiban pelaku usaha memenuhi jaminan. Sedangkan sanksi administratif diatur dalam pasal 60 UUPK. Pelaku usaha berpendapat bahwa putusan dijatuhkan dengan tanpa mempertimbangkan rasa keadilan bagi pelaku usaha, oleh karena denda administratif yang dijatuhkan justru melebihi dari harga jual beli rumah itu sendiri. Atas putusan BPSK kota Surabaya tersebut, selanjutnya pelaku usaha mengajukan keberatan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Kemudian majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya mengadili sendiri yang amar putusannya berbunyi: 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian; 2. Menyatakan putusan BPSK Surabaya No. 43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 batal demi hukum. 3. Menghukum penggugat membayar ganti rugi kepada tergugat atas keterlambatan serah terima rumah di Bukit Citra Darmo type 45/105 Blok BC/A3 sebesar 30 %o (tiga puluh promil) dari jumlah uang yang telah dibayarkan/disetorkan oleh tergugat untuk membeli rumah tersebut. 4. Menghukum penggugat untuk menyerahkan rumah type 45/105 blok BC/A3 di Bukit Citra Darmo kepada tergugat.
137
5. Menolak gugatan penggugat selain dan selebihnya. 6. Menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara yang hingga kini dianggar sebesar Rp. 216.000,- (dua ratus enam belas ribu rupiah). Dengan diputusnya keberatan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan yaitu 14 (empat belas hari) sejak putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak berdasarkan ketentuan dalam Pasal 58 ayat (2) UUPK, baik Rudi Santoso sebagai penggugat (pelaku usaha) maupun Denny Zadi Saputro sebagai tergugat (konsumen) tidak mengajukan upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung RI. Sehingga putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya sudah berkekuatan hukum tetap. Dari uraian permasalahan tersebut diatas, dapat dianalisa bahwa dalam memutus keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya telah menjatuhkan putusan dalam amarnya menyatakan putusan arbitrase BPSK Surabaya No.43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 adalah batal demi hukum. Sebagai dasar pertimbangan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya adalah ketentuan pasal 54 UUPK yang menyatakan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, BPSK membentuk majelis. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam pasal 49 ayat (3) UUPK serta dibantu seorang Panitera. Atas putusan majelis BPSK Surabaya yang terdiri dari 4 (empat) orang tersebut, majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya berpendapat bahwa putusan
138
BPSK Surabaya No. 43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 bertentangan dengan ketentuan Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2) UUPK Jo. Pasal 18 Kepmenperindag
No.350/MPP/Kep/XII./2001
sehingga
majelis
hakim
Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan putusan BPSK Surabaya No. 43.1/PtsBPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 yang merupakan putusan arbitrase tersebut adalah batal demi hukum. Dengan adanya putusan arbitrase BPSK yang diputus batal demi hukum oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya, maka penulis mempertanyakan penguasaan materi hukum acara majelis BPSK yang mengabaikan dasar-dasar hukum acara dalam penyelesaian sengketa konsumen di persidangan hingga diputus batal demi hukum oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Berdasarkan Pasal 49 ayat (3) UUPK, anggota BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen dan unsur pelaku usaha. Keterwakilan
unsur-unsur ini oleh undang-undang dimaksudkan
untuk
menunjukkan partisipasi masyarakat dalam upaya perlindungan konsumen serta menunjukkan bahwa perlindungan konsumen menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Pembagian anggota BPSK ke dalam tiga unsur tersebut berkaitan dengan konsep keseimbangan kepentingan para pihak yang bersengketa dan kepentingan pemerintah yang memposisikan diri sebagai pihak yang netral dalam pengambilan kebijakan. Sekurang-kurangnya sepertiga dari anggota BPSK harus berlatar belakang pendidikan hukum. Ini penting karena BPSK merupakan badan bentukan
139
pemerintah yang tugas pokoknya menjalankan fungsi pengadilan. Seharusnya pemerintah tetap mengaitkan keterwakilan pemerintah itu dengan kompetensi dan syarat-syarat keanggotaan BPSK.89 Perbedaan latar belakang kultur masing-masing unsur BPSK tersebut menyebabkan muncul persepsi yang tidak sama terhadap aspek-aspek perlindungan konsumen dan penafsiran hukum sehingga menghambat proses penyelesaian sengketa. Anggota BPSK dari unsur pelaku usaha yang direkrut dari wakil asosiasi dan/atau organisasi perusahaan didaerah kota/kabupaten setempat, pada umumnya kental dengan kultur bisnis yang sering terjebak pada pandangan-pandangan pragmatis ekonomis untuk mencapai tujuan tertentu. Persoalan-persoalan tersebut menjadi lebih kompleks ketika dihadapkan lagi dengan masalah profesionalisme rata-rata sumber daya manusia yang masih memerlukan peningkatan pengetahuan maupun pengalaman dalam penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK. Kurangnya profesionalisme anggota dan secretariat BPSK ini berakibat rendahnya kualitas pelayanan kepada para pihak yang mempercayakan penyelesaian sengketanya pada BPSK. Apabila hal ini dibiarkan, maka BPSK tidak dapat berjalan dengan efektif sehingga akan ditinggalkan oleh masyarakat.
4.2.3.
Pelaksanaan Eksekusi Putusan Oleh BPSK Terhadap
Putusan Pengadilan Negeri.
89
Yusuf Sofie dan Somi Awan, 2004, Sosok Peradilan Konsumen, Piramedia, Jakarta, hal 20
140
Berangkat dari uraian perkara sengketa konsumen tersebut diatas yang telah diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya berkaitan dengan keberatan atas putusan BPSK kota Surabaya No.43.1/Pts-BPSK/VI/2009 tanggal 30 Juni 2009 melalui putusannya No.506/Pdt.G/2009/PN.Sby tanggal 10 Nopember 2009 yang menyatakan putusan BPSK kota Surabaya tersebut adalah batal demi hukum, maka untuk pelaksanaan eksekusi terhadap putusan Pengadilan Negeri Surabaya tersebut, BPSK kota Surabaya wajib terlebih dahulu meminta penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri Surabaya berdasarkan ketentuan Pasal 57 UUPK. Sampai dengan batas waktu yang telah ditentukan yaitu 14 (empat belas hari) sejak putusan tersebut diberitahukan kepada para pihak berdasarkan ketentuan dalam Pasal 58 ayat (2) UUPK, baik Rudi Santoso sebagai penggugat (pelaku usaha) maupun Denny Zadi Saputro sebagai tergugat (konsumen) tidak mengajukan upaya hukum berupa kasasi ke Mahkamah Agung RI. Sehingga putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya sudah berkekuatan hukum tetap dan sudah dapat diajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri Surabaya. Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti, dan putusan yang mengandung perintah kepada suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan. Sebelum dilaksanakan eksekusi, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya terlebih dahulu melakukan peneguran kepada pihak yang kalah, untuk waktu delapan hari melaksanakan putusan tersebut dengan suka rela. Berdasarkan ketentuan Pasal 195-236 HIR disebutkan bahwa jika pihak yang ditegur tidak
141
mau melaksanakan putusan dengan sukarela maka dimulai pelaksanaan eksekusi yang sesungguhnya. Bila sebelum putusan dijatuhkan telah dilakukan sita jaminan maka sita jaminan itu setelah dinyatakan sah dan berharga, secara otomatis menjadi sita eksekutorial. Kemudian eksekusi dilakukan dengan cara melelang barang-barang milik orang yang dikalahkan, sehingga mencukupi jumlah yang wajib dibayar menurut putusan Hakim dan ditambah dengan semua biaya sehubungan pelaksanaan putusan tersebut. Perlu untuk di jelaskan disini bahwa suatu putusan badan peradilan tidak akan ada artinya, manakala tidak dapat dilaksanakan. Pada dasarnya suatu putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum pasti dapat dijalankan. Oleh karena itulah, putusan suatu badan peradilan harus mempunyai kekuatan eksekutorial, yaitu kekuatan untuk dilaksanakan apa yang telah ditetapkan dalam putusan tersebut secara paksa dan bila perlu menggunakan alat-alat Negara. Adapun yang memberi kekuatan eksekutorial pada suatu putusan untuk dapat dilaksanakan secara paksa adalah adanya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Permohonan eksekusi dapat dilakukan baik terhadap putusan BPSK maupun putusan keberatan ke Pengadilan Negeri. Jadi putusan BPSK yang dapat dieksekusi hanyalah putusan BPSK yang memuat besarnya ganti kerugian, dan tidak melanggar atau melampaui asas ultra petita yang ditentukan dalam Pasal 178 ayat (3) HIR yaitu putusan tidak boleh melebihi yang diminta dalam petitum.
142
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan apakah lembaga BPSK yang harus mengajukan
permohonan
eksekusi
ke
pengadilan
atas
putusan
yang
dihasilkannya? BPSK merupakan lembaga yang menyelesaikan sengketa konsumen, dimana ia memiliki kewajiban untuk memutus sengketa antara konsumen dan pelaku usaha dalam menetapkan ganti kerugiannya. Oleh karena itu, kedudukan BPSK harus netral dan tidak berpihak sehingga memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen dan pelaku usaha/produsen. Meskipun tujuan utama pendirian BPSK adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen, tetapi BPSK tidak berarti bahwa dalam upaya ganti kerugian, BPSK yang harus mengajukan permohonan eksekusinya ke Pengadilan. Oleh karena ganti kerugian diberikan untuk kepentingan konsumen, maka yang dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan BPSK hanyalah konsumen sendiri, bukan lembaga BPSK. Apabila BPSK dikenakan kewajiban untuk mengajukan eksekusi seperti yang ditentukan didalam Pasal 42 Kepmenperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, maka kedudukan BPSK sebagai badan yang netral dan imparsial menjadi diragukan. Selain itu, apabila BPSK yang melakukan pengajuan permohonan eksekusi, maka akan menambah beban kerja dari BPSK itu sendiri. Untuk itulah demi mendorong kinerja BPSK yang baik hendaknya BPSK tidak dikenakan kewajiban mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan.