1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Undang-undang memberikan hak yang dapat digunakan oleh para pihak yang berperkara untuk mengajukan suatu upaya hukum atas putusan pengadilan.
Hak
tersebut
diberikan
karena
setelah
serangkaian
pemeriksaan sidang pengadilan selesai dan putusan hakim telah dibacakan, masih terdapat kemungkinan putusan hakim tidak memuaskan bagi salah satu pihak atau kedua belah pihak. Putusan itu dinilai oleh salah satu pihak atau keduanya merugikan, sehingga perlu adanya upaya untuk mengubah putusan tersebut. Dalam konteks hukum acara pidana terdapat dua jenis upaya hukum yang dapat digunakan, yaitu upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa.1 Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi.2 Sementara itu, upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali.3
1
Pasal 1 Angka 12 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) 2 Pasal 233 sampai dengan Pasal 258 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) 3 Pasal 259 sampai dengan Pasal 269 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
2
Salah satu upaya hukum luar biasa dalam hukum acara pidana, yakni peninjauan kembali, menjadi fokus dalam penulisan hukum ini. Peninjauan kembali pada dasarnya adalah upaya hukum yang disediakan untuk semata-mata melindungi kepentingan terpidana, bukan kepentingan negara atau korban.4 Berbagai peraturan yang mengatur kemungkinan membuka kembali perkara yang telah berkekuatan hukum tetap setelah kemerdekaan Indonesia5 menunjukkan semangat perlindungan terhadap kepentingan terpidana untuk mencari keadilan. Dalam hal terdapat keberatan atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap maka terpidana atau ahli warisnya dapat melakukan suatu upaya dengan mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.6 Menurut Pasal 268 ayat (3) KUHAP pengajuan peninjauan kembali tersebut dibatasi hanya dapat diajukan satu kali untuk perkara yang sama yang telah diputus.7 Sehingga perkara yang sudah keluar putusan peninjauan kembali tidak boleh diujikan kembali. Dalam praktiknya memang pernah terjadi beberapa perkara dimana peninjauan kembali bisa terjadi lebih dari satu kali karena pihak penuntut
4
Adami Chazawi, 2010, Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 3 5 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1969 tentang Putusan Pengadilan Yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum Tetap, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 tentang Peninjauan Kembali Putusan Yang Telah Berkekuatan Hukum Tetap, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Taambahan Lembaran Negara Nomor 3209) 6 Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) 7 Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209)
3
umum juga menggunakan upaya hukum peninjauan kembali.8 Hal ini merupakan suatu penyimpangan karena pada dasarnya peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali dan hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli waris sebagaimana ditentukan Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, bukan diajukan oleh pihak penuntut umum. Namun selain praktik tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian melakukan judicial review atas Pasal 268 ayat (3) KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 9
Peninjauan kembali dapat dilakukan lebih dari satu kali setelah adanya
permohonan judicial review yang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Antasari Azhar beserta Ida Laksmiwaty (istri) dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (anak). Permohonan pengujian tersebut diajukan kepada MK dan tercatat dengan nomor register 34/PUU-XI/2013. Pada 6 Maret 2014, permohonan tersebut dikabulkan oleh MK.10 Antasari Azhar adalah terpidana kasus pembunuhan terhadap Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasruddin Zulkarnaen. Perkara tersebut telah berkekuatan hukum tetap dengan putusan pada tingkat kasasi Nomor 1429K/Pid/201011 tanggal 21 September 2010 dan terhadap putusan tersebut Pemohon mengajukan upaya hukum luar biasa 8
Putusan Mahkamah Agung Nomor 55PK/Pid/1996 perihal Peninjauan Kembali perkara Mochtar Pakpahan, tanggal 25 Oktober 1996. 9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 6 Maret 2014. 10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 6 Maret 2014. 11 Putusan Mahkamah Agung Nomor 1429K/Pid/2010 perihal Kasasi perkara Antasari Azhar, S.H., M.H., 21 September 2010.
4
peninjauan kembali dan telah diputus oleh Mahkamah Agung Nomor 117PK/Pid/201112 tanggal 13 Februari 2012 yang amarnya menyatakan menolak permohonan Peninjauan Kembali yang diajukannya. Bahwa karena Antasari Azhar telah mengajukan upaya hukum peninjauan kembali yang kemudian permohonan tersebut ditolak, maka berdasarkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP ia tidak lagi memiliki upaya hukum yang dapat dilakukan. Hal tersebut dikarenakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP membatasi permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan satu kali, yang mana upaya hukum tersebut sudah digunakan oleh Antasari Azhar. Ketiga pemohon beranggapan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang membatasi permohonan Peninjauan Kembali hanya bisa diajukan satu kali telah merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionil mereka yang diatur dan dijamin pada Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.13 Oleh karena itu, ketiga pemohon mengajukan permohonan pengujian pada MK. Permohonan para pemohon sesuai dengan wewenang MK yang berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada ayat (1) dan ayat (2) salah satunya adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik 12
Putusan Mahkamah Agung Nomor 117PK/Pid/2011 perihal Peninjauan Kembali perkara Antasari Azhar, S.H., M.H., 13 Februari 2012. 13 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 6 Maret 2014.
5
Indonesia Tahun 1945.14 Selain itu, kewenangan yang sama itu juga diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.15 Bahwa dalam rangka menegakkan hukum yang berkeadilan menurut para pemohon sudah seharusnya Pasal 268 ayat (3) KUHAP diubah
menjadi
dinyatakan
konstitusional
bersyarat
dengan
menitikberatkan pada hak untuk mendapatkan manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sehingga seharusnya berbunyi: 16 “Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali terhadap alasan ditemukannya bukti baru (novum) berdasarkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diajukan lebih dari sekali”. Dalam bagian pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi menilai bahwa peninjauan kembali yang dibatasi sebanyak satu kali tidak mencerminkan nilai keadilan bagi terpidana.17 Oleh karena itu, menurut Mahkamah Konstitusi peninjauan kembali harus dapat diajukan lebih dari satu kali demi memenuhi keadilan bagi terpidana.
14
Pasal 24C ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5199) 16 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 6 Maret 2014. 17 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 6 Maret 2014. 15
6
MK mengabulkan permohonan para Pemohon dan dalam amar putusannya menyatakan bahwa :18 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon: 1.1 Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1.2 Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana semestinya;
Setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 maka Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dengan demikian, peninjauan kembali sebagai salah satu upaya hukum luar biasa dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari satu kali. Berbeda dengan MK, MA setelah adanya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 justru mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) yang membatasi permohonan peninjauan kembali. MA mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana pada Desember 2014 yang justru menegaskan kembali permohonan peninjauan kembali
18
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 perihal Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 6 Maret 2014.
7
tetap hanya bisa diajukan sebanyak satu kali.19 Munculnya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tersebut jelas bertentangan dengan apa yang diamanatkan oleh Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 sehingga menimbulkan kepelikan bagi pelaksanaan upaya hukum peninjauan kembali. Keadaan ini juga menimbulkan diskursus terkait kepastian hukum dan keadilan. Dalam bagian pertimbangan Putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013 MK tampak mengedepankan keadilan bagi terpidana sehingga mengabulkan permohonan para pemohon. Oleh karena itu, Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 mendapat dukungan karena lebih menjamin keadilan bagi terpidana. Namun, peninjauan kembali yang diperbolehkan dilakukan lebih dari satu kali juga mendapatkan kritik. Praktik yang demikian dikhawatirkan justru akan membuat suatu perkara berlarut-larut sehingga mengganggu kepastian hukum. Selain itu, dalam dunia hukum juga dikenal adanya asas litis finiri oportet yang mana mengharuskan suatu perkara harus ada akhirnya juga menjadi perdebatan dalam perkara ini. Apabila perkara dibiarkan berlarut-larut, maka hal tersebut melanggar asas litis finiri oportet. Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, Penulis tertarik untuk membahas dalam bentuk penulisan hukum (skripsi). Oleh karena itu dalam penulisan hukum ini, Penulis mengambil judul: “IMPLIKASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 19
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana
8
34/PUU-XI/2013
TERHADAP
UPAYA
HUKUM
PENINJAUAN
KEMBALI DALAM HUKUM ACARA PIDANA TERKAIT ASAS LITIS FINIRI OPORTET”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat disusun perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana relevansi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana di Indonesia? 2. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap asas litis finiri oportet dalam hukum acara pidana di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang diharapkan dapat dicapai dalam penelitian ini meliputi dua hal sebagai berikut: 1. Tujuan Objektif Untuk mengetahui relevansi putusan MK Nomor 34/PUUXI/2013 terhadap upaya hukum peninjauan kembali dalam hukum acara pidana di Indonesia dan implikasinya terhadap asas litis finiri oportet.
Penelitian
ini
juga
bertujuan
untuk
menambah
9
pengetahuan di bidang hukum acara pidana, khususnya terkait upaya hukum Peninjauan Kembali. 2. Tujuan Subjektif Untuk memperoleh data yang diperlukan guna menyusun penulisan hukum sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Akademis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi perkembangan hukum secara umum, khususnya di bidang Hukum Acara Pidana. 2. Kegunaan Praktis Memberi gambaran mengenai permohonan Peninjauan Kembali pasca putusan MK nomor 34/PUU-XI/2013. Selain itu juga demi memberikan sumbangsih pikiran dalam praktik peradilan.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
penulis
yang
dilakukan
penulis
di
perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, bahwa penelitian menyangkut tema upaya hukum Peninjauan Kembali dalam perkara pidana pernah diangkat menjadi penulisan hukum di Fakultas Hukum Universitas
10
Gadjah Mada. Adapun penelitian yang telah dilakukan sebelum penulis dengan judul sebagai berikut: 1. Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUUXI/2013 Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan, disusun oleh Eka Lestaria, tahun 2014,20 penelitian tersebut merumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana implikasi yuridis putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 terhadap asas kepastian hukum dan keadilan? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Eka Lestaria, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1.
Keluarnya Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013 (putusan kedua) telah berimplikasi pada ketidakpastian hukum dan keadilan. Ketidakpastian hukum dari putusan tersebut oleh karena pertimbangan putusan tersebut inkonsistensi dengan putusan sebelumnya yaitu putusan nomor 16/PUUVIII/2010 (putusan pertama). Ketiga pertimbangan MK dalam putusan kedua kontrakdiktif dengan pertimbangan dalam putusan pertama sehingga menimbulkan keraguan dan ketidakjelasan. Sedangkan ketidakadilan dari putusan tersebut karena permohonan yang diabulkan oleh MK terkait PK hanya pada perkara pidana, sedangkan
20
Eka Lestaria, 2014, Implikasi Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 Terhadap Pemenuhan Asas Kepastian Hukum dan Keadilan, Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
11
pengajuan PK pada perkara perdata dan tata usaha Negara tetap dibatasi hanya satu kali, yang mana telah membatasi hak warga Negara lainnya untuk mencapai keadilan pada perkara perdata maupun tata usaha negara. Padahal hak setiap warga Negara dijamin persamaannya dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yaitu setiap orang berhak atas kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sehingga MK dalam putusannya tidak mencerminkan keadilan karena membeda-bedakan warga Negara yang satu dengan warga Negara lainnya, tidak menyamaratakan putusan yang permohonannya sama, terkesan memihak, dan sewenang-wenang. 2. Tinjauan Yuridis Permohonan Peninjauan Kembali yang Diajukan Advokat Sebagai Kuasa Hukum Terpidana dalam Peradilan Pidana Indonesia, disusun oleh Tengku Muslim Hidayat, tahun 2013, penelitian tersebut merumuskan permasalahan sebagai berikut:21 1. Apakah
yang
menjadi
alasan
yuridis
putusan
Mahkamah Agung dalam menyatakan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan melalui advokat sebagai Kuasa Hukum Terpidana tidak dapat diterima atau Niet Onvantkelijk verklaard?
21
Tengku Muslim Hidayat, 2013, Tinjauan Yuridis Permohonan Peninjauan Kembali yang Diajukan Advokat Sebagai Kuasa Hukum Terpidana dalam Peradilan Pidana Indonesia, Skripsi, Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
12
2. Bagaimana keabsahan permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan melalui Advokat sebagai Kuasa Hukum Terpidana mengingat ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP hanya menyebutkan Terpidana atau Ahli Warisnya? Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Tengku Muslim Hidayat, didapatkan kesimpulan sebagai berikut: 1. Dalam putusan Nomor 64 PK/Pid.Sus/2009 dan Putusan Nomor 74 PK/Pid.Sus/2010, tampak yang menjadi alasan yuridis Mahkamah Agung dalam memutuskan permohonan Peninjauan Kembali yang dimohonkan
melalui
Kuasa
Hukum
Terpidana
dinyatakan tidak dapat diterima atau Niet Onvantkelijk Verklaard (NO), karena Permohonan Peninjauan Kembali dan Berita Acara Pemeriksaan permohonan peninjauan kembali hanya dihadiri dan ditanda tangani oleh Advokat sebagai kuasa hukum dari Terpidana tanpa dihadiri Terpidana sendiri, Praktik demikian bertentangan dengan ketentuan Pasal 263 ayat (1) j.o. Pasal 265 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, dimana kehadiran Terpidana sebagai Pemohon adalah suatu keharusan dalam proses mengadili.
13
Disamping itu praktik pemberian kuasa kepada Advokat untuk mewakli pemohon dalam Peninjauan Kembali juga dinilai telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, dimana dalam perkara a quo peran advokat adalah mendampingi dan bukan mewakili. 2. Ketentuan dalam Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana hanya menyebutkan Terpidana atau Ahli Warisnya yang berhak mengajukan permohonan Peninjauan Kembali. Namun sejatinya dalam praktik permohonan Peninjauan Kembali tersebut dapat dikuasakan yang didasarkan pada 2 (dua) metode interpretasi sebagai berikut: 1) Berdasarkan penafsiran sosiologis, bantuan hukum
yang
diberikan
Advokat
sangat
dibutuhkan dan membantu para pencari keadilan dalam
menghadapi
proses
hukum
untuk
melindungi hak-hak asasi manusia, dalam hal ini Terpidana juga termasuk sebagai manusia yang harus dilindungi hak-hak asasinya. 2) Berdasarkan
penafsiran
historis,
ketentuan
dalam Pasal 263 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
14
Pidana tersebut merupakan bentuk penegasan bahwa Hak untuk mengajukan Peninjauan Kembali hanya diberikan kepada Terpidana atau Ahli Warisnya. Setelah membaca penelitian Eka Lestaria dan Tengku Muslim Hidayat, baik pada bagian rumusan masalah maupun kesimpulan maka Penulis menyimpulkan penelitian-penelitian tersebut berbeda dengan penelitian yang akan Penulis lakukan. Penelitian Eka Lestaria melihat implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 dari aspek hukum tata negara, sementara penelitian yang akan Penulis lakukan akan melihat implikasi putusan tersebut terhadap hukum acara pidana. Selain itu, penelitian Eka Lestaria dilakukan sebelum adanya SEMA Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Penelitian Tengku Muslim Hidayat membahas Peninjauan Kembali yang diajukan oleh advokat, sementara penelitian yang akan penulis lakukan melihat upaya hukum peninjauan kembali terlepas dari pihak yang mengajukan. Dengan demikian menurut penulis penelitian yang akan dilakukan penulis adalah asli.