BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Masalah Agen adalah orang perorangan atau badan usaha yang bertindak sebagai
perantara untuk dan atas nama pihak yang menunjuknya untuk melakukan pembelian, penjualan dan/atau pemasaran tanpa melakukan pemindahan atas fisik barang. Keagenan sebagai bentuk perjanjian tidak bernama karena timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis perjanjian ini belum tercantum dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, tetapi jumlah perjanjian ini tidak terbatas dengan nama yang disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya.Namun keagenan ini bersumber pada asas kebebasan berkontrak seperti yang tercantum pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak. Namun asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak, tetapi ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh Pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Perdata terhadap asas ini yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Keagenan
yang
memiliki
peranan
penting
dalam
suatu
kegiatan
pemasaran.Dimana agen berperan sebagai perantara yang mewakili penjual dan
pembeli dalam transaksi dan dalam hal ini hubungan kerja dengan kliennya. Keagenan itu sendiri erat kaitannya dengan distribusi.Hubungan keagenan merupakan suatu kontrak dimana satu atau lebih orang (prinsipal) memerintah orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal serta memberi wewenang kepada agen membuat keputusan yang terbaik bagi prinsipal. Jika kedua belah pihak tersebut mempunyai tujuan yang sama untuk memaksimumkan nilai perusahaan, maka diyakini agen akan bertindak dengan cara yang sesuai dengan kepentingan prinsipal. Dalam hal keagenan, konflik antara prinsipal dan agen dapat dikurangi dengan mensejajarkan kepentingan antara prinsipal dan agen.Mengingat belum ada peraturan yang menjawab permasalahan yang menyangkut tanggungjawab agen dalam perjanjian keagenan, akan mengacu pada prinsip-prinsip pemberian kuasa sebagaimana diatur diatur Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pendapatpendapat dari para sarjana. Berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Perindustrian
Nomor
:
295/M/SK/7/1982tentang Ketentuan - Ketentuan Keagenan Tunggal, maka Agen Tunggal merupakan suatu badan usaha yang ditunjuk oleh pihak Prinsipal (Produsen) sebagai wakilnya untuk menjual dan mendistribusikan barang-barang dalam suatu wilayah pemasaran tertentu serta melaksanakan pelayanan purna jual dari barangbarangnya, dimana penunjukan tersebut dilakukan berdasarkan perintah
atau
pemberian kuasa dengan memberikan batas-batas kewenangan tertentu dalam bertindak untuk dan atas nama dari Prinsipal. Prinsip keagenan dilakukan dengan upah dan berada dibawah pengaruh pihak Prinsipal.Dikarenakan Agen bertindak
untuk dan atas nama Prinsipal, maka Agen tidak melakukan pembelian barang dari pihak prinsipal, melainkan barang-barang tersebut adalah masih menjadi milik pihak prinsipal sampai proses jual beli tersebut selesai dilakukan, dan berpindah ketangan konsumen. Pengangkatan atau Penunjukan Agen Tunggal yang dilakukan oleh Prinsipal Asing wajib dilakukan dengan suatu perjanjian yang bersifat eksklusif, dengan jangka waktu tertentu sesuai dengan sifat dan tujuan penggunaan produk yang menjadi obyek perjanjian. Jangka waktu untuk suatu keagenan Tunggal ditentukan minimal selama 3 (tiga) tahun, khusus untuk keagenan yang bergerak di bidang perakitan dan pembuatan paling minimal adalah 5 (lima) tahun.Persyaratan untuk menjadi Agen tunggal adalah harus merupakan Badan Hukum.Bentuk yang umum terjadi di Indonesia adalah Perseroan Terbatas, yang didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Setiap perjanjian Pengangkatan atau Penunjukkan Agen Tunggal wajib didaftarkan pada Departemen Perindustrian, dan baru dapat melakukan kegiatannya setelah mendapat Surat Pengakuan Keagenan Tunggal dari Departemen Perindustrian, sebagai Surat Izin Khusus dalam melaksanakan kegiatannya. Dengan berjalannya waktu perjanjian Keagenan Tunggal tidak hanya didukung prinsip kebebasan berkontrak saja, tetapi juga Surat Keputusan Menteri Perindustrian Nomor : 295/M/SK/7/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Tentang Keagenan Tunggal dan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor : 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda
Pendaftaran Agen Atau Distributor Barang Dan/Atau Jasa, sehingga dapat menjamin agar macam dan jenis barang-barang modal yang beredar di Indonesia dapat memenuhi ketentuan-ketentuan yang berlaku terutama dalam hal keagenan tunggal. Sehingga apabila dilihat dalam perkembangan perjanjian keagenan tunggal dapat mengarah pada Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM).Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) ialah perusahaan nasional yang ditunjuk oleh perusahaan manufaktur pemilik merek dagang (prinsipal) yang umumnya berada di luar negeri, untuk secara eksklusif mengimpor, memasarkan, mendistribusikan serta melayani layanan purna jual barang dan/atau jasa di Indonesia.Dari sudut keagenan tunggal, fungsi merek dapat dilihat dari tiga sudut yaitu produsen (prinsipal), pedagang (agen tunggal), dan konsumen.Dari pihak prinsipal, merek digunakan untuk promosi barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar. Dari pihak konsumen, merek digunakan untuk mengadakan pilihan barang yang akan dibelinya. Namun secara umum, merek berfungsi sebagai tanda pengenal yang menunjukkan asal barang dan/atau jasa, sekaligus menghubungkan barang dan jasa yang bersangkutan dengan produsennya. Merek menjadi bagian strategi bisnis dalam memenangkan persaingan bisnis, maka perlu diperhatikan perlindungan hukumnya sebagai bagian dari Hukum Kekayaan Intelektual pemegang merek. Perlindungan hukum tersebut tidak hanya berlaku terhadap produsennya tetapi juga terhadap konsumen yang memilih merek tersebut agar tetap memperoleh pelayanan atau jasa yang tepat dengan apa yang didapat semula.Di Indonesia, perlindungan Hukum Kekayaan Intelektual (HKI)
khususnya terhadap merek diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (selanjutnya disebut UU Merek). Sehingga keagenan dalam hal ini khususnya Agen Tunggal Pemegang Merek, selain menjadi ruang lingkup hukum perjanjian juga merupakan obyek kajian Hukum Kekayaan Intelektual maka timbul hakikat Perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual. Dengan adanya persaingan maka pelaku usaha akan berlomba-lomba untuk terus memperbaiki produk ataupun jasa yang dihasilkan sehingga pelaku usaha terus menerus melakukan inovasi dan berupaya keras memberi produk atau jasa yang terbaik bagi konsumen. Disisi lain dengan adanya persaingan maka konsumen sangat diuntungkan karena mereka mempunyai pilihan dalam membeli produk atau jasa tertentu dengan harga yang murah dan kualitas baik.Persaingan dapat terjadi apabila beberapa pihak menginginkan sesuatu yang terbatas atau sesuatu yang menjadi pusat perhatian.Persaingan yang wajar dengan mematuhi aturan main tertentu disebut persaingan sehat dan memberi dampak positif bagi pihak-pihak yang bersaing, atau adanya motivasi untuk lebih baik. Namun, jika persaingan sudah tidak sehat, maka persaingan akan memberi dampak buruk bagi kedua belah pihak. Sebuah
persaingan
membutuhkan aturan main, karena terkadang tidak selamanya mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik.Dalam pasar, biasanya usaha-usaha dari pelaku usaha untuk menghindari
atau
menghilangkan
terjadinya
persaingan
diantara
mereka.Berkurangnya atau hilangnya persaingan memungkinkan pelaku usaha
memperoleh laba yang jauh lebih besar. Di Indonesia, pengaturan persaingan usaha baru terwujud pada tahun 1999 saat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat disahkan (selanjutnya disebut UU Anti Monopoli). Kelahiran UU Anti Monopoli tersebut ditunjang pula dengan tuntutan masyarakat akan reformasi total dalam tatanan hidupan berbangsa dan bernegara, termasuk penghapusan kegiatan monopoli di segala sektor termasuk dalam keagenan.
Kebijakan
persaingandi
Indonesia
dalam
penegakan hukum persaingan akan sangat menentukan efektif berlakunya undangundang hukum persaingan. Kebijakan ini diterjemahkan dengan mempertimbangkan industri manakah yang perlu diregulasi atau industri manakah yang terbuka untuk bersaing.Hukum persaingan juga mengenal adanya pengecualianuntuk menegaskan bahwa suatu aturan hukum dinyatakan tidak berlaku bagi jenis pelaku tertentu ataupun kegiatan tertentu. Masalah yang terkait dengan hukum kekayaan intelektual dikecualikan dari larangan. Hal tersebut dikarenakan bila pemilik HKI tidak diberi hak monopoli maka ini tidak akan memberi insentif kepada penemu maupun pemiliknya.
Oleh
karenanya
untuk
dapat
memberi
insentif
maka
dikecualikan.Disamping itu monopoli yang diberikan oleh Negara dalam bentuk perlindungan, ada batas waktunya.Artinya monopoli tidak dilakukan secara tidak terbatas.Dengan dikecualikan dari larangan maka para penemu maupun peneliti akan terus bersaing satu sama lain untuk melakukan penemuan dan mendapatkan perlindungan dari Negara. Dengan demikian pada tujuan akhir antara hukum
persaingan dan hukum HKI mempunyai persamaan yaitu menciptakan adanya persaingan.1Karena hal tersebut, aturan hukum mengenai Agen Tunggal Pemegang Merek yang termasuk dalam HKI memiliki hubungan yang kuat dengan aturan mengenai monopoli dagang dan persaingan usaha sebagaimana yang diatur dalam UU Anti Monopoli.
Di
samping itu UU Anti Monopoli umumnya memberikan pengecualian atas dasar perjanjian, misalnya perjanjian HKI ataupun keagenan pada umumnya dan perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek khususnya.HKI merupakan alasan diberikan hak memonopoli dan proteksi karena HKI membutuhkan sumber daya dan waktu dalam upaya mendapatkannya.Sehingga akan timbul perjanjian Keagenan Tunggal berdasarkan HKI tersebut dikecualikan dari UU Antimonopoli. Berdasarkan
latar
belakang diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian hukum yang dituangkan dalam sebuah skripsi yang berjudul:EKSISTENSI PERJANJIAN AGEN TUNGGAL
PEMEGANG
MEREK SETELAH BERLAKUNYA
UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN PRAKTEK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT. 1.2.
Rumusan Masalah
1
Emmy Yuhassarie, Tri Harnowo, 2004, Undang-Undang No.5/1999 dan KPPU: Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-Masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis Lainnya, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, hal. 50.
Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka permasalahan yang akan dibahas adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Hakikat Perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek berdasarkan HukumKekayaan Intelektual? 2. Mengapa Perjanjian Keagenan Tunggal berdasarkan HKI dikecualikan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Mengingat begitu luasnya permasalahan yang dapat diangkat, maka dipandang perlu adanya pembatasan mengenai ruang lingkup masalah yang akan dibahas nanti. Adapun ruang lingkup permasalahan pertama adalah berkisar padahakikat perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual yang meliputi : 1. Konsepsi dan Pengaturan HKI di Indonesia; 2. Karakteristik Agen Tunggal Pemegang Merek dalam Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual Ruang Lingkup Permasalahan kedua berkisar pada Eksistensi Agen Tunggal Pemegang Merek Berdasarkan Undang-Undang Anti Monopoli yang meliputi : 1. Struktur Pengaturan dalam Undang-Undang Anti Monopoli 2. Hubungan Hukum Anti Monopoli dengan Hukum Kekayaan Intelektual 1.4.Orisinalitas Penelitian
Dalam rangka menumbuhkan semangat anti plagiat didalam dunia pendidikan di Indonesia,maka mahasiswa diwajibkan untuk mampu menunjukkan orisinalitas dari penelitian yang tengah dibuat dengan menampilkan beberapa judul penelitian skripsi atau tesis terdahulu sebagai pembanding. Adapun dalam penelitian kali ini, peneliti akan menampilkan 3(tiga) tesis terdahulu yang pembahasannya berkaitan dengan Keagenan dan UU Anti Monopoli, yaitu: 1.
Yeni Pujihartini dari Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2008di Semarang, pernah melaksanakan penelitian mengenai praktek monopoli berjudul “Pelaksanaan Perjanjian Keagenan Pada Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912 Jambi”. Adapun rumusan masalah dari tesis tersebut sebagai berikut: 2 a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian keagenan yang ada pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912Jambi ? b. Bagaimana penyelesaian sengketa perjanjian keagenan pada Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera 1912 Jambi ?
2.
Pandu Soetjitro dari Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2007di Semarang, pernah melaksanakan penelitian mengenai praktek monopoli berjudul “Praktek Monopoli di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Undang Nomor
2
Yeni Pujihartini, 2008, Pelaksanaan Perjanjian Keagenan Pada Asuransi Jiwa Bersama (AJB) Bumiputera 1912, Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hal.9.
5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat”. Adapun rumusan masalah dari tesis tersebut sebagai berikut: 3 a. Bagaimana praktek monopoli di Indonesia sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ? b. Bagaimana kondisi industri kecil sebelum dan sesudah berlakunya UndangUndang Nomor5 Tahun 1999 ? c. Bagaimana prospek Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dalam mencegah praktek monopoli ? 3. Akhmad Muhari dari Program Pascasarjana Universitas Indonesia pada tahun 2012 di Jakarta, pernah melaksanakan penelitian mengenai praktek monopoli berjudul “Praktek Monopoli Layanan Taksi Bandara: Studi Kasus Terhadap Putusan-putusan KPPU Tentang Pelanggaran Pasal17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999”. Adapun rumusan masalah dari tesis tersebut sebagai berikut: 4 a. Apakah jasa layanan taksi bandara sebagai penunjang kegiatan bandara merupakan kegiatan yang dikecualikan menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 ? b. Bagaimana KPPU membuktikan adanya pelanggaran Pasal 17
Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999 oleh pelaku usaha taksi bandara ?
3
Pandu Soetjitro, 2007, Praktek Monopoli di Indonesia Pra dan Pasca Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, hal.8. 4 Akhmad Muhari, 2012, Praktek Monopoli Layanan Taksi Bandara: Studi Kasus Terhadap Putusan-putusan KPPU Tentang Pelanggaran Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999, Tesis Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, hal.11.
c. Apakah tindakan pelaku usaha taksi bandara melanggar Pasal 17 Undangundang Nomor 5 Tahun 1999 ? Dilihat dari beberapa perbandingan tesis diatas maka esensi dari Pengecualian Pasal 51 UU Nomor 5 Tahun 1999 berkaitan dengan apa yang dianggap penting oleh Negara inilah merupakan bagian yang sulit.Sehingga masalah keagenan memang memerlukan eksklusifitas. Perjanjian keagenan antara pemilik dengan agen yang dilakukan secara khusus sering disebut sebagai eksklusifitas.Ini sebenarnya bertujuan agar pemilik ataupun produsen dapat menjamin agar agen berkonsentrasi penuh dalam memasarkan barangnya. Dan memang apabila perjanjian keagenan ini memuat untuk memasok kembali barang atau jasa dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan ini akan dianggap melanggar Pasal 15 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Perjanjian Tertutup. Demikianlah beberapa filosofi dari pengecualian sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 Tahun 1999. Tentunya bagi praktek Indonesia setiap pengecualian ini akan sangat tergantung pada penafsiran dari KPPU maupun lembaga peradilan mengingat perumusannya sangat umum. Dengan demikian tulisan skripsi yang akan ditulis oleh penulis berbeda dengan beberapa tesis diatas , namun tesis diatas dijadikan sebagai bahan perbandingan dalam penulisan skripsi penulis dengan judul “Eksistensi Perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat” yang mengangkat 2 (dua) rumusan masalah diantaranya yaitu :
a. Bagaimana Hakikat Perjanjian Agen Tunggal
Pemegang Merek
berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual ? b. Mengapa Perjanjian Keagenan Tunggal berdasarkan HKI dikecualikan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ? 1.5. Tujuan Penelitian 1.5.1. Tujuan Umum 1. Untuk mengetahui Hakikat Perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek Berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual 2. Untuk
mengetahui
Eksistensi
Agen
Tunggal
Pemegang
Merek
Berdasarkan Undang-Undang Anti Monopoli.
1.5.2. Tujuan Khusus 1.
Untuk memahami Hakikat Perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek Berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual
2.
Untuk memahami Eksistensi Agen Tunggal Pemegang Merek Berdasarkan Undang-Undang Anti Monopoli.
1.6. Manfaat Penelitian 1.6.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai sumbangan pemikiran untuk pengembangan dan pembaharuan hukum terutama dalam hal praktek usaha Agen Tunggal Pemegang Merek di dalam dunia bisnis
Indonesia.Kemudian menambah studi kepustakaan yang dirasakan masih minim secara umum, dan juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian dalam bidang hukum keagenan untuk selanjutnya. 1.6.2. Manfaat Praktis 1. Dapat menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi lembaga legislatif dalam merumuskan undang-undang; 2. Dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dan pada pelaku usaha maupun para pekerja dan juga berbagai kalangan yang menaruh perhatian terhadap persoalan-persoalan keagenan tunggal; 3. Dapat menambah pengalaman dan kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian hukum. 1.7. Landasan Teoritis Pada prinsipnya suatu teori adalah hubungan antara dua fakta atau lebih, atau pengaturan fakta menurut cara-cara tertentu fakta tersebut merupakan suatu yang dapat diamati dan pada umumnya dapat diuji secara empiris, oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana, suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel ataulebih yang telah diuji kebenarannya.5Kerangka teori merupakan pendukung dalam membangun atau berupa penjelasan dari permasalahan yang dianalisis.
5
hal.30.
Teori
dengan
demikian
memberikan
penjelasan
dengan
cara
Soerjono Soekanto,2001,Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Gravindo Persada, Jakarta,
mengorganisasikan dan mensistemasikan masalah yang dibicarakan.6 Menurut M. Solly Lubis, kerangka teori merupakan pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai suatu kasus atau permasalahan yang dapat menjadi bahan perbandingan dan pegangan teoritis. Hal ini dapat menjadi masukan eksternal bagi penulis. Teori Hukum Kekayaan Intelektual (HKI) sangat dipengaruhi oleh pemikiran John Locke tentang hak milik.Dalam bukunya, Locke mengatakan bahwa hak milik dari seorang manusia terhadap benda yang dihasilkannya itu sudah ada sejak manusia lahir.Benda dalam pengertian disini tidak hanya bendayang berwujud tetapi juga benda yang abstrak, yang disebut dengan hak milik atas benda yang tidak berwujud yang merupakan hasil dari intelektualitas manusia.7 Hak dan Kekayaan Intelektual adalah harta intelektual yang dilindungi oleh Undang-undang dan pada umumnya Undang-Undang HKI melindungi penggunaan atau peniruan oleh orang yang tidak berhak, yang setiap orang wajib menghormati HKI orang lain. HKI tidak boleh digunakan oleh orang lain tanpa izin pemiliknya, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang. Perlindungan hukum berlaku bagi HKI yang sudah terdaftar dan dibuktikan dengan sertipikat pendaftaran.Perlindungan hukum tersebut berlangsung selama jangka waktu yang ditentukan menurut bidang dan klasifikasinya. Apabila orang ingin menikmati manfaat ekonomi dari HKI orang
6
M. Solly Lubis ,1994, Filsafat Hukum Dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 80. Locke,2010, Two Treatises of Government, edited and introduced by Peter Laslett, 1988, hal. 285 dalamHukum Tentang Perlindungan Hak Milik Intelektual Dalam Menghadapi Era Globalisasi, Syafrinaldi. UIR Press, hal 7. 7
lain, ia wajib memperoleh izin dari orang yang berhak. Penggunaan HKI dari orang lain tanpa izin tertulis dari pemilik merek atau melakukan pemalsuan atau menyerupai HKI orang lain, dianggap ada dan perlindungan pelanggaran hukum. Konsep ilmu hukum, HKI dianggap ada dan perlindungan hukum terhadap HKI merupakan pengakuan atas suatu hak untuk dalam waktu tertentu dapat dinikmati atau dieksploitasi sendiri oleh pemilik hak atau oleh pihak lain atas izin pemilik hak, karena perlindungan ataupun pengakuan tersebut hanya diberikan secara khusus, sehingga HKI disebut hak eksklusif .8 Hak atas kekayaan intelektual berasal dari istilah asing yaitu Intelectual Property Rights.Istilah Hak atas Kekayaan Intelektual biasa disingkat dengan beberapa ejaan diantaranya HAKI atau HaKI dan ada juga yang menggunakan HKI, tetapi istilah yang resmi digunakan oleh Direktorat Jendral Hak atas Kekayaan Intelektual adalah HKI.HAKI secara substantif dapat diartikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia.9 Kemajuan teknologi informasi dan transportasi yang sangat pesat, juga mendorong globalisasi Hak Kekayaan Intelektual. Suatu barang atau jasa yang diproduksi di suatu Negara, bebarapa telah dapat dihadirkan di Negara lain. Kehadiran barang atau jasa yang dalam proses produksinya telah menggunakan Hak Kekayaan Intelektual, dengan demikian juga telah menghadirkan Hak Kekayaan Intelektual pada saat yang sama ketika barang atau jasa yang bersangkutan 8
Ita Gambiro, 1992, Desain Produk Industri, Gramedia Offset, Jakarta, hal.12. Sujud Margono dan Longginus Hadi, 2002, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, Penerbit CV.Novindo Pustaka Mandiri, hal.4. 9
dipasarkan. Kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual pada saat yang sama ketika barang atau jasa yang bersangkutan dipasarkan. Kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual yang tumbuh dalam persamaan dengan kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa sebagai komoditi dagang.Kebutuhan untuk melindungi barang atau jasa dari kemungkinan pemalsuan atau dari persaingan usaha tidak sehat, juga berarti kebutuhan untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual yang digunakan pada atau untuk memproduksi barang atau jasa tadi.10 Landasan yuridis atau hukum keagenan dapat diartikan seperangkat konsep peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak atau acuan (bersifat material, dan bersifat konseptual) dalam rangka praktek keagenan di Indonesia.Jadi, landasan hukum keagenan adalah dasar atau pondasi perundangundangan yang menjadi pijakan dan pegangan dalam pelaksanaan keagenan di suatu negara. Di Indonesia, landasan hukum dari praktek keagenan dalam dunia bisnis Indonesia adalah : 1. Pengaturan dalam peraturan perundang-undangan; 2. Pengaturan berdasarkan konvensi internasional; 3. Pengaturan berdasarkan kebiasaan bisnis. Secara harfiah “aspek” berarti “tanda” atau “sudut pandang”.Dengan demikian maka Aspek Hukum adalah sudut pandang tentang bagaimana hubungan atau peranan hukum terhadap sesuatu. Dalam hubungannya dengan Aspek Hukum
10
Budi Agus Riswandi,M.Syamsudin, 2004, Hak Kekayaan Intelektual, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.82.
dalam Bisnis adalah: “sudut pandang tentang bagaimana hukum sebagai kaidah atau peraturan berperan dalam kegiatan bisnis”. Bentuk hubungan keagenan umumnya tertuang dalam bentuk perjanjian keagenan yang dibuat antara pihak agen dengan pihak prinsipal. Perjanjian keagenan tersebut mengandung berbagai aspek hukum yang menurut Munir Fuady dalam bukunya mengandung :11 1. Aspek hukum perdata (makelar dan komisioner). 2. Aspek hukum dagang (makelar dan komisioner) 3. Keterampilan negosiasi, review dan drafting kontrak keagenan. 4. Business usage (kebiasaan dalam praktek) dan sikap yurisprudensi terhadap masalah keagenan. 5. Praktek hukum bisnis internasional tentang hukum keagenan karena seringkali antara prinsipal dengan agennya berasal dari dua negara yang berbeda. Hukum dapat diartikan sebagai norma tertulis yang dibuat secara resmi dan diundangkan oleh pemerintah dari suatu masyarakat. Norma atau kaidah berisi kehendak yang mengatur perilaku seseorang, sekelompok orang, atau orang banyak dalam hubungannya dengan orang lain atau dengan makhluk lain, dan alam sekelilingnya. Di dalam kehidupan manusia terdapat berbagai macam norma seperti; norma moral, norma susila, norma etika, norma agama, norma hukum, dan lain-lain.
11
Munir Fuady, 1997, Hukum Bisnis Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 151-152
Di antara norma-norma tersebut norma hukum merupakan norma yang paling kuat berlakunya, karena bagi pelanggarnya dapat diancam sanksi pidana atau sanksi pemaksa oleh kekuasaan negara, oleh karena itu norma hukum mempunyai sifat keberlakuan yang heteronom sedangkan norma-norma lain mempunyai sifat keberlakuan yang otonom. Norma hukum sebagaimana halnya dengan norma-norma lainnya tersusun secara hierarkis dan berjenjang ke atas berhadapan dengan norma hukum yang membentuknya, dan ke bawah berhadapan dengan norma hukum yang dibentuknya. Susunan tersebut berpuncak pada norma tertinggi yang disebut sebagai norma dasar yang tidak dibentuk oleh norma yang lebih tinggi lagi, melainkan ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat yang bersangkutan. Norma hukum berisi kehendak yang bersifat imperatif.Kehendak itu dapat berupa suruhan atau larangan, dan dapat juga berupa pembebasan dari suruhan atau pengecualian dari larangan. Norma hukum selain berfungsi mengatur perilaku, juga berfungsi memberi kuasa kepada norma hukum lain untuk mengatur perilaku atau berfungsi mengubah atau mengganti norma hukum lain, menurut Bruggink, norma hukum sebagai norma perilaku berisi: (a) Perintah (gebod); yaitu kewajiban masyarakat untuk melakukan sesuatu. (b) Larangan (verbod); yaitu kewajiban masyarakat untuk tidak melakukan sesuatu. (c) Pembebasan/Dispensasi (vrijfstelling); yaitu pembolehan khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan.
(d) Izin (toestemming); yaitu pembolehan (perkenan) atau pengecualian khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.12 Muatan norma hukum yang mengatur perilaku ini dapat dilihat dari dua sisi: Pertama, dilihat dari orang-orang yang diatur perilakunya, pada tataran ini norma bersifat umum dan individual. Kedua, dilihat dari perilaku yang diaturnya, pada tataran ini norma bersifat abstrak dan konkrit. Dengan demikian muatan norma hukum yang sifatnya umum dan abstrak dirumuskan dalam undang-undang dan norma hukum yang sifatnya konkrit dan individual dimuat dalam Keputusan Tata Usaha Negara. Selanjutnya menurut Hart, disamping norma perilaku terdapat sekelompok norma yang menentukan sesuatu berkenaan dengan kaidah perilaku itu sendiri yang disebut dengan meta norma, yaitu: a) Norma Pengakuan (Rules of Recognition); yaitu norma yang menetapkan norma perilaku mana yang di dalam suatu masyarakat hukum tertentu harus dipenuhi. b) Norma Perubahan (Rules of Change); yaitu norma yang menetapkan bagaimana sesuatu norma perilaku dapat diubah. c) Norma Kewenangan (Rules of Adjudication); yaitu norma yang menetapkan oleh siapa dan dengan melalui prosedur yang mana norma perilaku
12
Bruggink, JJ. H., 1996, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, Cipta AdityaBakti, Bandung, hal. 100.
ditetapkan dan bagaimana suatu kaidah perilaku harus diterapkan jika dalam suatu kejadian tertentu terdapat ketidakjelasan.13 Di dalam hal ini telah diketahui bahwa Eksistensi Perjanjian Agen Tunggal berdasarkan HKI tersebut telah menyangkut norma pengecualian yang dimana pengecualian tersebut terdapat di dalam UU Anti Monopoli yang sudah jelas dalam Praktek bisnis perjanjian keagenan antara prinsipal dengan agen tunggal di Indonesia sebenarnya telah melanggar Pasal 9 UU Anti Monopoli yang menyebutkan : “Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (Onyong Umanailo, 2009;6)14 1.8. Metode Penelitian Metode penelitian merupakan suatu unsur yang mutlak ada didalam penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, peranan metodelogi dalam penelitian dan ilmu pengetahuan yaitu menambah kemampuan pada ilmuwan untuk mengadakan atau melaksanakan penelitian secara lebih baik atau lebih lengkap, memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk melakukan penelitian interdisipliner, dan
13
Ibid, hal. 102. Onyong Umanailo, 2009, Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Keagenan Antara Prinsipal dengan Agen Tunggal Yang Tidak Sehat Menurut Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Jurnal Beraja Niti Vol.1, No. 12, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, hal.7. 14
memberikan pedoman untuk pengorganisasian serta mengintegrasikan pengetahuan mengenai masyarakat.15 1.8.1. Jenis Penelitian Penelitian adalah merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi yang dilakukan secara metodelogis, sistematis, dan konsisten.16Penelitian yang dilakukan kaitannya dengan penulisan skripsi ini termasuk dalam kategori/jenis penelitian normatif, yaitu penelitian hukum kepustakaan atau penelitian hukum yang didasarkan pada data sekunder. 17Data sekunder yaitu data-data yang bersumber dari data yang sudah terdokumenkan dalam bentuk bahan hukum.18 Perlunya penelitian hukum normatif ini adalah beranjak dari belum adanya norma hukum berkaitan permasalahan penelitian, sehingga didalam mengkajinya lebih mengutamakan sumber data sekunder, yaitu berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. 1.8.2. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif (penggambaran). Penelitian ini bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada
15
Soerjono Soekanto,1986,Pengantar Penelitian Hukum,UI Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal. 7 16 Ibid,hal. 42. 17 Soerjono Soekanto, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, CV. Rajawali Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hal.15. 18 Sedarmayanti & Syarifuddin Hidayat, 2002, Metodelogi Penelitian, Mandar Maju, Bandung, hal. 108.
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. Penelitian ini menggambarkan Hakikat Perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek Berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual dan Eksistensi Agen Tunggal Pemegang Merek Berdasarkan Undang-Undang Anti Monopoli. 1.8.3. Jenis Pendekatan Penelitian
ini
mempergunakan
Pendekatan
Perundang-undangan
dan
Pendekatan konsep.Kedua pendekatan itu dipergunakan untuk mengkaji beberapa aturan hukum yang ada, untuk mengetahui bagaimana Hakikat Perjanjian Agen Tunggal Pemegang Merek berdasarkan Hukum Kekayaan Intelektual serta Mengapa Perjanjian Keagenan Tunggal berdasarkan HKI dikecualikan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Permasalahan dikaji dengan mempergunakan interpretasi hukum, serta kemudian diberikan argumentasi secara teoritik berdasarkan teori-teori dan konsep hukum yang ada. 1.8.4. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Adapun bahan-bahan hukum sebagaimana dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif atau
mempunyai otoritas atau memiliki kekuatan mengikat, yaitu : 19 a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; c. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang; d. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek; e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu meliputi buku-buku, literatur, makalah, tesis, skripsi, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.20 Disamping itu, juga dipergunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui electronic research yaitu melalui internet dengan jalan mengunduh bahan hukum yang diperlukan. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu berupa kamus, yang terdiri dari : a. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Balai Pustaka, Jakarta; b. Black’s Law Dictionary; c. Kamus hukum. 1.8.5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum 19
Soerjono Soekanto & Sri Mahmudji, 1988, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Press, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), hal. 34 20 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan ke-IV, Kencana, Jakarta, hal.141.
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumentasi.Bahan hukum yang diperolehnya, diinventarisasi dan diidentifikasi serta kemudian dilakukan pengklasifikasian bahan-bahan sejenis, mencatat dan mengolahnya secara sistematis sesuai dengan tujuan dan kebutuhan penelitian.Tujuan dari tehnik dokumentasi ini adalah untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, pendapatpendapat,penemuan-penemuan yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Teknik studi dokumen merupakan teknik awal yang digunakan dalam melakukan penelitian ini dengan cara mengumpulkan data berdasarkan pada bendabenda berbentuk tulisan, dilakukan dengan cara mencari, membaca, mempelajari dan memahami data-data sekunder yang berhubungan dengan hukum sesuai dengan permasalahan yang dikaji yang berupa buku-buku, majalah, literatur, dokumen, peraturan yang ada relevansinya dengan masalah yang diteliti. 1.8.6. Teknik Analisis Bahan Hukum Dalam penelitian ini, metode analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.Artinya pengumpulan data menggunakan pedoman studi dokumen. Penelitian dengan teknik analisis kualitatif ini keseluruhan data yang terkumpul baik dari data primer maupun sekunder, akan diolah dan dianalis dengan cara menyusun data secara sistematis, digolongkan dalam pola dan tema,dikatagorisasikan dan diklasifikasikan, dihubungkan antara satu data dengan data lainnya, dilakukan interpretasi untuk memahami makna data, dan dilakukan penafsiran dari perspektif peneliti setelah memahami keseluruhan kualitas data. Proses analisis tersebut dilakukan secara terus menerus sejak pencarian data di lapangan dan berlanjut terus
hingga pada tahap analisis. Setelah dilakukan analisis secara kualitatif kemudian data akan disajikan secara deskriptif kualitatif dan sistematis.