BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang
terletak di Indonesia Timur. Provinsi ini terdiri atas beberapa pulau, antara lain Pulau Flores, Sumba, Timor, Adonara, Lembata, Alor, Sabu, dan Rote (Hartono, 2010: 9). Pulau Rote dan Ndao merupakan gugusan pulau yang terletak di bagian selatan Indonesia. Saat ini kedua pulau itu menjadi satu wilayah administrasi kabupaten baru di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang diberi nama Kabupaten Rote Ndao. Pusat kegiatan pemerintah kabupaten Rote Ndao adalah Kota Ba’a yang termasuk Kecamatan Lobalain. Kabupaten Rote Ndao terdiri atas beberapa Kecamatan, yaitu Kecamatan Rote Barat Daya, Kecamatan Ndao Nuse, Kecamatan Rote Tengah, Kecamatan Rote Timur, Kecamatan Rote Barat Laut, Kecamatan Rote Selatan, Kecamatan Lobalain, Kecamatan Landuleko, dan Kecamatan Pantai Baru. Pada umumnya masyarakat kabupaten tersebut memiliki sistem mata pencaharian sesuai dengan keadaan alamnya. Mata pencaharian yang dimaksud adalah bertani sawah dan ladang, kerjinan tenun ikat, menganyam topi, menyadap lontar, dan nelayan bagi warga yang berdiam di pesisir. Mata pencaharian tenun ikat menjadi permasalahan yang dibahas selanjutnya. Tenun ikat masyarakat Ba’a Kampung Ndao di Kecamatan Lobalain menjadi objek penelitian ini. Tenun ikat merupakan salah satu mata pencaharian yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Ba’a khususnya. Dikatakan demikian
1
karena hasil kerajinan tenun ikat berupa sarung, selimut, dan selendang dapat dijual untuk mendatangkan uang demi kebutuhan keluarga. sarung dan selimut merupakan sasaran kajian ini. Hasil tenun ikat tersebut memiliki fungsi dan makna yang sangat penting bagi masyarakat Ba’a kampung Ndao. Fungsi tenun ikat masyarakat Ba’a kampung Ndao adalah (1) sebagai sarana adat, (2) fungsi ekonomis, dan (3) fungsi sosial. Di samping itu, tenun ikat itu memiliki makna bagi masyarakat Ba’a kampung Ndao, yaitu (1) makna sejarah, makna budaya, (2) makna soial, dan (3) makna ekonomis. Tenun ikat merupakan kerajinan tangan yang hanya dilakukan oleh perempuan. Menurut salah seorang penenun, ibu Ako Mbate bahwa cara kerja perajin tenun ikat masih mengikuti pola yang diwariskan oleh leluhur. Peralatannya masih bersifat tradisional, yakni dibuat dari bahan baku lokal dan cara kerja secara manual. Namun, pada saat ini bahan baku lainnya seperti benang dan zat pewarna bersifat modern, yakni dibuat dengat dengan cara modern seperti benang dan wantex (zat pewarna) yang telah tersedia di toko. Bentuk dan proses pebuatan masih mengikuti pola yang diwariskan leluhur dan motifnya pun masih merupakan warisan leluhur. Selanjutnya, ibu Ako menjelaskan bahwa kerajinan tenun ikat berasal dari Pulau Ndao. Perempuan Ndao memiliki keterampilan menenun dengan baik. Namun, karena sistem perkawinan sehingga perempuan Ndao tersebar sampai di Ba’a khususnya di Kampung Ndao. Jadi, perempuan Ba’a yang memiliki keterampilan menenun sesunggahnya adalah keturunan dari Pulau Ndao.
2
Tenun ikat masyarakat Ba’a memiliki keunikan atau ciri khas. Pertama, warna tenun ikat Ba’a adalah kombinasi beberapa warna, yakni warna hitam, putih, kuning, dan merah. Warna-warna itu memiliki arti khusus bagi masyarakat Ba’a, seperti merah artinya keberanian untuk memperjuangkan, mempertahan hidup hidup, dan kerja keras. Warna hitam artinya kesabaran, kerendahan hati, dan setia. Warna putih artinya dalam usaha atau kerja harus dengan niat dan pikiran yang bersih, ikhlas, dan suci. Dan warna kuning artinya segala usaha atau kerja untuk kelangsungan hidup dengan tekun, sabar, setia serta dengan niat dan pikiran yang bersih pasti dapat memperoleh hasil yang memuaskan. Di samping itu, motif yang dikenakan pada tenun ikat masyarakat Ba’a sangat berhubungan dengan pengetahuan mereka tentang alam di sekitarnya, sangat berkaitan dengan kepercayaan, sejarah suku, dan pandangan hidup suku Rote.
1.2
Rumusan Masalah Penelitian tenun ikat pada Masyarakat Ba’a Kampung Ndao merupakan
objek kajian antropolgi budaya yang mengangkat beberapa masalah. Sebagaimana diuraikan terdahulu, bahwa tenun ikat tradisional tersebut di atas memiliki keunikan, yaitu pemberian warna dan motif yang berkaitan dengan sejarah pulau Rote pada zaman dahulu, kepercayaan, dan falsafah hidup suku Rote. Hal ini dapat membedakannya dengan tenun ikat tradisional suku-suku lainnya di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan penjelasan di atas, maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut.
3
1. Bagaimanakah bentuk dan proses pembuatan tenun ikat masyarakat Ba’a? 2. Bagaimanakah fungsi tenun ikat bagi kehidupan masyarakat Ba’a? 3. Bagaimanakah makna yang terkandung di dalam tenun ikat masyarakat Ba’a?
1.3
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1
Tujuan Penelitian Penelitian dirancang khusus untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
permasalahan tersebut di atas. Hal itu dapat dipaparkan secara rinci berikut ini. 1. Mendeskripsi bentuk dan proses pembuatan tersebut tenun ikat tradisional pada masyarakat Ba’a. 2. Mendeskripsi fungsi tenun ikat tradisional bagi kehidupan masyarakat Ba’a. 3. Mendeskripsi makna tenun ikat tradisional bagi masyarakat Ba’a. 1.3.2
Manfaat Penelitian Penelitian dengan judul “Tenun Ikat Masyarakat Ba’a Kampung Ndao,
Kabupaten Rote Ndao-NTT” memiliki dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis. Kedua manfaat penelitian ini dapat dijelaskan secara rinci berikut ini. 1. Manfaat Teoretis Penelitian ini dirancang secara khusus untuk pengembangan ilmu antropologi budaya, khususnya teori tenun ikat. Selain itu, studi ini bermanfat bagi peningkatan pengetahuan peneliti tentang tenun ikat
4
sebagai wujud kebudayaan masyarakat. Di samping itu, penelitian Tenun Ikat tradisional, dapat memperluas wawasan peneliti dalam bidang antropologi budaya, khusunya tenun ikat sebagai wujud kebudayaan. Secara khusus penelitian ini memperkaya wawasan teoretis peneliti tentang tenun ikat. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pedoman praktis dalam pengembangan dan pelestarian budaya tenun ikat tradisional masyarakat Ba’a. Sebagaimana diketahui bahwa tenun ikat tradisional masyarakat Ba’a merupakan wujud kebudayaan yang diwariskan leluhur memiliki nilai sejarah, kepercayaan, pengetahuan, dan pandangan hidup masyarakatnya. Karena itu, selayaknya dipelihara agar tetap hidup.Di samping itu, penelitian tenun ikat tradisional masyrakat Ba’a dapat dimanfaat oleh Pemerintah Daerah Tk.II Rote Ndao sebagai sumber informasi dalam pembuatan kebijakan yang berkaitan dengan upaya pelestarian budaya lokal, teristimewa budaya Tenun Ikat. Selain itu, hasil penelitian Tenun Ikat tradisional pada masyarakat Ba’a Kampung Ndao menjadi pedoman dalam pembinaan dan pengembangan tradisi tenun ikat tersebut agar tetap hidup di masyarakat Rote Ndao, khususnya masyarakat Ba’a di Kampung Ndao.
5
1.4
Kerangka Teori dan Konsep
1.4.1
Kerangka Teori Tenun ikat tradisional merupakan salah satu praktek budaya. Oleh karena
itu penelitian tenun ikat masyarakat Ba’a Kampung Ndao dipandu oleh kerangka pikir kebudayaan. Koentjaraningrat (2005:19) mengatakan bahwa kebudayaan adalah ciptaan dari segala pikiran dan perilaku manusia yang fungsional, estetis, dan indah, sehingga ia dapat dinikmati dengan pancindranya (yaitu pengelihatan, penciuman, pengecap, perasa, dan pendengar). Ia juga menyatakan bahwa kesenian tidak hanya dimaknai sebagai tari-tarian, tetapi juga dimaknai sebagai seni pembuatan tekstil, yang meliputi seni batik, seni kerajinan tenun ikat tradisional, dan lain sebagainya (Koentjaraningrat, 2005:20). Berdasarkan pandangan tersebut, maka kerajinan tenun ikat memiliki seperangkat fungsi, yaitu untuk merangsang rasa indah, memenuhi kebutuhan hidup manusia yang lain seperti kebutuhan akan pakaian, dan untuk kepentingan adat. Pernyataan teoretis tersebut di atas dijabarkan menjadi tiga teori, yaitu teori fungsi, teori simbol, dan teori makna untuk menganalisis permasalahan penelitian ini. Ketiga teori tersebut dimanfaatkan sebaga rujukan teoretis untuk menjelaskan permasalahanpermasalahan penelitian ini. Pertama adalah teori fungsi. Teori ini berasumsi bahwa tenun ikat tradisional memiliki bentuk, yakni berupa kain sarung, kain selimut, dan kain selendang yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan manusia, misalnya sebagai pembungkus badan, sebagai sarana belis dalam perkawinan, dan dipakai pada
6
saat upacara adat. Sealain itu, hasil tenun ikat dapat dipergunakan sebagai sarana bisnis. Kedua adalah teori simbol yang digunakan sebagai acuan teoretis untuk menjelaskan permasalahan bentuk dan proses tenun ikat tradisional pada masyarakat Ba’a Kampung Ndao. Dikatakan demikian karena tradisi tenun ikat tradisional itu merupakan wujud budaya atau gagasan dan tindakan sosial masyarakat. Karena tenun ikat tersebut merupakan simbol budaya masyarakat, maka untuk menjelaskan masalah makna motif tradisi tenun ikat tradisional pada masyarakat tersebut diperlukan kerangka pikir simbolis. Tenun ikat merupakan perwujudan kebudayaan masyarakat. Tenun ikat mencerminkan pikiran, pengetahuan yang dimiliki manusia, dan pandangan hidupnya karena itu tenun ikat merupakan sistem simbol. Tenun ikat termasuk salah satu komponen dalam sistem itu. Hasil tenun ikat, seperti sarung, selimut, dan selendang memiliki motif, kombinasi warna yang berbeda membuat hasil kerajinan tenun ikat itu terlihat indah. Karena itulah tenun ikat dikelompokkan sebagai karya seni. Pernyataan teoretis tersebut di atas dipertegaskan lagi oleh Suriadiredja (1983:32) yang mengatakan bahwa simbol adalah komponen utama perwujudan kebudayaan, karena setiap hal yang dilihat dan dialami oleh manusia (etnik Ba’a) itu sebenarnya diolah menjadi serangkaian simbol-simbol yang dimengerti manusia. Bertolak dari kerangka pikir tersebut, teori simbol dijadikan acuan untuk memerikan atau mendeskripsikan masalah motif, masalah desain tenun ikat
7
tradsional pada masyarakat Ba’a serta makna motif yang diaplikasikan dalam tenun ikat tradisinal yang dalam bahasa Rote disebut lave rambik. Di samping itu, teori simbol berasumsi bahwa tenun ikat tradisional merupakan wujud kebudayaan yang dipandang sebagai tradisi atau kebiasaan leluhur yang memiliki fungsi, makna, dan nilai. Makna dan nilai tradsional yang terkandung di dalam tenun ikat tradisional masyarakat Ba’a merupakan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga adalah teori makna. Teori ini berasumsi bahwa bentuk tenun ikat, seperti selendang, sarung, dan selimut memiliki makna dan nilai yang bermanfaat bagi masayarakat pendukungnya, Untuk menganalisis makna yang terkandung di dalam bentuk tenun ikat diperlukan pemahaman yang mendalam tentang kebudayaan sehingga peneliti dapat menafsir makna yang terkandung di dalamnya (Geertz, 1992:34). Jadi, Teori kebudayaan mencakup tiga teori, yaitu teori fungsi, teori simbol, dan teori makna Dijelaskan bahwa teori simbol diterapkan untuk menjelaskan permasalah tentang bentuk tenun ikat masyarakat Ba’a, teori makna digunakan menjelaskan masalah makna tenun ikat, dan teori fungsi diterapkan untuk menjelaskan permasalahan fungsi tenun ikat masyarakat tersebut. 1.4.2
Konsep Konsep yang dijelaskan pada bagian ini berkaitan dengan tenun ikat
tradisional masyarakat Ba’a. Konsep-konsep yang dimaksudkan adalah tenun ikat dan masyarakat Ba’a Kampung Ndao.
8
1. Tenun Ikat Tenun ikat merupakan hasil kerajinan yang bisa dikerjakan oleh kelompok masyarakat yang diwarisi leluhur kepada generasi penenerus. Tenun ikat, dalam perspektif budaya merupakan wujud budaya atau gagasan, wujud tindakan sosial etnik Rote khususnya etnik Masyarakat Ba’a Kampung Ndao. Di samping itu kegiatan tersebut merupakan citra suku tersebut yang tersusun apik dan sistematis, yang menjadi pola kehidupan sosial masyarakat tersebut. Berdasarkan penjelasan tersebut tenun ikat tradisional adalah seni kerajinan tangan masyarakat Ba’a Kampung Ndao yang merupakan warisan leluhurnya. 2. Masyarakat Ba’a Kampung Ndao Masyarakat adalah kumpulan orang yang memiliki visi, misi, dan tujuan hidup yang sama. Visi, misi, dan tujuan hidup bersama masyarakat itu dikemas dalam norma atau hukum yang harus ditaati bersama. Norma hukum itu menjadi satu-satunya perangkat hidup bersama yang mengikat kekerabatan Masyarakat untuk mencapai tujuan hidup bersama kelompok masyarakat yang bersangkutan.Selanjutnya istilah masyarakat dijelaskan Koentjaraningrat (1992:122) bahwa masyarakat hendaknya memiliki empat ciri yaitu (1) interaksi antarwarga; (2) adat istiadat, norma-norma, hukum serta aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga; (3) kontinuitas dalam waktu; dan (4) rasa identitas yang yang mengikat semua warga.
9
Berdasarkan penjelasan di atas, maka masyarakat merupakan kesatuan hidup yang saling berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat atau tradisi yang diturunkan dari para leluhur yang sifatnya berkesinambungan, dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat Ba’a atau etnik Kampung Ndao merupakan salah satu sub kelompok etnik Rote yang berdiam di wilayah pemerintah Kecamatan Lobalain yang memiliki visi, misi, dan tujuan hidup yang sama. Untuk mencapai tujuan hidup yang sama itu, mereka mematuhi aturan, norma, dan hukum yang diwarisi leluhurnya.
1.5
Model Penelitian Model penelitian adalah kerangka pikir analisis permasalahan penelitian.
Dikatakan bahwa tenun ikat merupakan warisan leluhur masyarakat Ba’a yang bersifat ajeg (dilakukan terus menerus) yang dipertahankan oleh para pendukungnya, yang dijadikan pedoman hidup dalam masyarakat tersebut yang terwujud dalam perilaku tradisi tenun ikat. Warisan leluhur ini dijadikan sebagai sumber kehidupan atau sebagai mata pencaharian pokok untuk meningkatkan taraf hidup baik dalam skala makro kehidupan maupun skala mikro (untuk kebutuhan hidup kelompok kecil, seperti keluarga). Sistem teknologi tenun ikat masyarakat Ba’a masih bersifat tradisional dengan peralatan yang sangat sederhana dan tenun ikat itu merupakan sistem mata pencaharian masyarakat. Tenun ikat memiliki bentuk, fungsi, dan makna. Bentuk tenun ikat masyarakat berupa kain sarung, selendang, selimut. Sedangkan fungsi
10
tenun ikat meliputi fungsi adat, fungsi ekonomis, dan fungsi simbol indentitas masyarakat Ba’a. Makna yang terkandung di dalam tenun ikat adalah makna sejarah, makna sosial, makna budaya, dan makna ekonomis.
Bagan 1 Model Penilitian Sistem Teknologi Tenun Ikat
Tenun Ikat Masyarakat Ba’a
Proses/Bentuk Tenun Ikat
Fungsi Tenun Ikat
Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Ba’a Makna Tenun Ikat
Temuan-Temuan
Keterangan: garis saling berhubungan :
1.6
Metode Penelitian
1.6.1
Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Masyarakat Ba’a Kampung Ndao,
Kecamatan Lobalain Kabupaten Rote Ndao Nusa Tenggara Timur. Adapun alasan pemilihan lokasi penelitian adalah: (1) Kampung tersebut merupakan pusat kegiatan tenun ikat; (2) aksebilitas ke lokasi penelitian ini cukup baik sehingga peneliti dapat melakukan penelitian secara efektif dan efisien sesuai dengan ketersedian waktu dan alokasi dana penelitia. Penelitian ini dimulai dari bulan Juni tahun 2014 sampai dengan bulan November tahun 2014.
11
1.6.2
Jenis dan Sumber Data Data penelitian ini meliputi dua jenis, yakni data kualitatif dan data
kuantitatif. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara dengan informaninforman. Pada saat dilakukan wawancara peneliti menggunakan sarana rekam seperti handicamp dan camera. Data kualitaif itu disebut juga data primer. Selain itu, data kualitatif diperoleh melalui observasi. Pada saat kegiatan berlangsung peneliti mencatat hal-hal yang diamati. Data kuantitatif dapat diperoleh melalui buku-buku, artikel dari internet tentang jumlah penduduk masyarakat Rote Ndao. Data kuantitatif ini kerap disebut data sekunder. Namun data kualitatif yang diutamakan dalam penelitian ini. 1.6.3
Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data tenun ikat tradisional pada masyarakat Ba’a Kampung
Ndao dilakukan dengan menggunakan metode pengamatan dan wawancara. Metode pengamatan digunakan untuk memperoleh data tentang cara mengerjakan, bahan-bahan apa yang digunakan, dan motif dan warna yang dipakai dalam tenun ikat, serta siapa yang melakukan tradisi tenun ikat itu. Teknik yang digunakan adalah observasi langsung. Pada waktu observasi peneliti menyimak sambil merekam informasi serta mengambil gambar. Penggunaan teknik observasi langsung tersebut dimaksudkan untuk memperoleh data alamiah (natural data) mengenai tradisi tenun ikat. Observasi partisipasi pun diterapkan melalui dua strategi, yakni (1) passive participation, peniliti tidak ikut campur dalam tradisi tenun ikat (tidak mempunyai peran tertentu, walaupun ia hadir dalam peristiwa tersebut; (2)
12
complete participation, peneliti secara aktif berinteraksi dengan pelibat lain di dalam tenun ikat. ( Sotari,dkk, 2009: 129-144) Di samping itu, metode wawancara dimanfaatkan untuk menjaring berbagai informasi yang berhubungan dengan tradisi tenun ikat yang tidak sempat diperoleh melalui metode pengamatan, antara lain mengenai kapan dilakukan, berapa lama tenun ikat dikerjakan sampai menjadi sebuah sarung,selimut dan selendang tradisional yang kerap disebut hasil tenun ikat asli suku Rote atau etnik Masyarakat Ba’a Kampung Ndao Metode lainnya ialah metode wawancara dilengkapi dengan teknik pencatatan dan perekam. Pencatatan dan perekaman dilakukan atas izin terwawancara (interviewee) wawancara, di samping digunakan untuk menjaring data mengenai saat atau waktu, pelibat, dan fungsi, di samping pemahaman mereka terhadap makna tradisi tenun ikat sebagai acuan hidup. Wawancara juga digunakan untuk mendata hal-hal yang tidak didata melalui pengamatan, atau pun didata namun menunjukkan ketidakjelasan informasi atau yang menimbulkan keraguan-keraguan. Hasil wawancara tersebut akan dijadikan materi cross-chek terhadap data observasi. Informasi tentang tradisi tenun ikat yang telah direkam ditranskipsikan sesuai dengan aslinya (dalam bahasa Rote) disertai padanannya dalam bahasa Indonesia. Hal lain yang diperlukan untuk pendataan ialah pemotretan yang dilakukan pada saat ibu-ibu mengerjakan tenun ikat. Hal ini diperlukan untuk melengkapi penjelasan mengenai fungsi dan makna tradisi tenun ikat pada aspek sosial budaya.
13
Di samping metode yang telah dikemukakan terdahulu, perlu dilakukan metode kepustakaan. Metode ini berkaitan dengan data sekunder. Informasi yang diperoleh dari kepustakaan digunakan sebagai data pelengkap apabila data lapangan masih kurang lengkap. Data kepustakaan itu dapat diperoleh dari buku, majalah, internet. Informasi yang diperoleh itu berupa konsep-konsep, kerangka teori, kebijakan yang berkaitan dengan pembinaan dan pengembangan tradisi tenun ikat dan informasi itu digunakan sebagai bahan pembanding teori dalam menganalisis data selanjutnya sehingga informasi itu dijadikan bahan dan sekaligus untuk mempertajam analisis data primer di lapangan. 1.6.4
Analisis Data Data tenun ikat yang telah dikumpulkan, kemudian dikelompokkan
dengan memberi kode sesuai dengan kandungan fungsi dan maknanya. Pengkodean perlu dilakukan untuk mengidentifikasi makna sosial budaya, makan ekonomis, dan makna lainnya. Data yang telah dikelompokkan itu dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif. Metode analisis ini diterapkan berdasarkan paradigma naturalistik atau alamiah sebagimana yang dikemukakan oleh Garna (1999:5977) bahwa paradigma naturalistik melatarbelakangi pendekatan kualitatif. Garna juga menegaskan bahwa berbagai gejala sosial budaya kelompok masyarakat yang dikaji tidak tampak secara artifisial, tetapi alamiah dan memiliki makna sebagaimana dimaksudkan oleh pelaku sosial dan budaya itu. Sehubungan dengan itu, interpretasi makna harus didasarkan pada konteks sosial budaya masyarakat Ba’a etnik Kampung Ndao. Dengan demikian,
14
penelitian ini diharapkan dapat memberikan pernyataan yang mendekati kondisi alamiah mengenai karakter etnik, termasuk berbagai perubahannya yang terjadi di masyarakat dan budaya tersebut. Dengan kata lain, analisis kualitatif diharapkan dapat memaparkan apa adanya (Djajasudarma, 1993a:13). Geertz (1992:5) mengatakan bahwa kebudayaan bersifat interpretatif. Dalam kaitan dengan analisis data tenun ikat pada etnik masyarakat Ba’a untuk menemukan karakteristik budaya diperlukan langkah interpretasi atau penafsiran. Tenun Ikat etnik masyarakat B’a itu dipandang sebagai simbol yang dimaknai berdasarkan konteks budaya Rote Ndao, khususnya masyarakat Ba’a Kampung Ndao. 1.6.5
Penyajian Hasil Analisis Data Tenun ikat adalah salah satu mata pencaharian masyarakat Ba’a khsusnya
kampung Ndao pada umumnya. Kajian ini merupakan sebuah penelitian antropoligi budaya. Sebagaimana lazimnya penelitian antropologi budaya yang datanya berupa data kuantitatif dan kualitatif. Numun penelitian ini memiliki sebagian besar data kualitatif. Karena itu penerapan metode informal digunakan untuk menyajikan hasil analsis data. Cara ini berfokus pada penjelasan ketiga pokok permasalahan secara kualitatif. Permasalahan-permasalahan penelitian ini dinarasikan secara kualitatif seperti masalah proses pembuatan dan bentuk tenun ikat masyarakat Ba’a Kampung Ndao. Hal ini dijelaskan secara rinci mulai dari bahan untuk pembuatan benang, peralatan yang digunakan dalam tenun ikat, proses menenun, pewarnaan, dan pembuatan motif. Selanjutnya dijelaskan pula secara kualitatif fungsi dan makna tenun ikat sebagai wujud kebudayaan masyarakat tersebut, dan diambil simpulan sementara. 15