BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian tentang penyelesaian konflik hukum dalam Tradisi Sifon pada Masyarakat Suku Atoni Pah Meto di Pulau Timor Provinsi Nusa Tenggara Timur, penting untuk dilakukan berdasarkan beberapa alasan. Pertama, wacana tentang Hukum Adat dalam konteks perkembangan konseptual maupun realita yang berkembang pada saat ini, tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan hukum-hukum lain, seperti Hukum Negara, Hukum Agama, dan Hukum Internasional. Interelasi berbagai sistem hukum tersebut terjadi karena adanya kontak internasional yang bersifat multilateral maupun bilateral, dalam rangka globalisasi, perdagangan bebas, dan kegiatan politik internasional. Perkembangan teknologi informasi yang diiringi dengan perkembangan ide-ide universal nilai-nilai hak asasi manusia dan keadilan, termasuk keadilan gender, menyebabkan Hukum Internasional, Hukum Negara, Hukum Agama, dan Hukum Adat, secara leluasa menyebarangi batasbatas kedaulatan negara dan semua kelas-kelas sosial. Relasi antara Hukum Negara, Adat, dan Agama juga sering terjadi, khususnya ketika institusi peradilan negara dan adat atau agama saling mengacu melalui putusan-putusan dalam penyelesaian sengketa (Irianto,
1
2
2004:2).1 Hasil interaksi Hukum Adat dengan berbagai sistem hukum tersebut dapat bersifat kompetitif, saling menolak, bahkan saling meneguhkan. Interaksi dan hasil interaksi di antara berbagai sistem hukum mengakibatkan terjadinya perubahan yang dinamis dan tidak akan berhenti pada masing-masing sistem hukum tersebut. Perubahan-perubahan itu berdampak tidak dimungkinkannya lagi upaya untuk mengidentifikasi batasbatas yang jelas di antara Hukum Adat, Hukum Agama, Hukum Negara, bahkan Hukum Internasional, sebagai suatu entitas yang jelas saat ini (Irianto, 2004:2).2 Dalam hal terjadinya inter relasi di antara sistem hukum, wacana hak asasi manusia dan keadilan menjadi wacana yang universal. Namun ketika bersentuhan dengan persoalan perempuan, wacana hak asasi dan keadilan yang universal tersebut menjadi sangat spesifik. Budaya patriarkhis yang sangat kuat berpengaruh pada rumusan-rumusan hukum, yang diterapkan berdasarkan interpretasi para penegak hukum, dan budaya hukum masyarakat, menyebabkan upaya perbaikan kehidupan perempuan melalui penegakan keadilan gender menjadi sangat sulit dilaksanakan.
1
2
Pada masyarakat non Barat khususnya, tidak dikenal pembagian kekuasaan Trias Politika. Pemimpin adat adalah juga pemimpin pemerintahan, dan pemimpin agama, sekaligus sebagai hakim dalam kasus-kasus sengketa. Mereka dikenal dengan berbagai sebutan local, yang dalam bahasa literature disebut sebagai Chief, the big man, head man. Sebagaimana diketahui, cara identifikasi semacam itu merupakan metode yang diterapkan oleh pemikiran positivistic dalam ilmu hukum yang sangat dominan dan berpengaruh, khususnya dalam lapangan hukum adat, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh von Vollenhoven (dan pengikutnya) dengan membagi wilayah nusantara menjadi 19 adat rechtskringen.
3
Di satu sisi, kita memiliki berbagai macam instrumen hukum, baik bersumber dari Hukum Internasional, misalnya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, yang diratifikasi melalui Undangundang Nomor 7 Tahun 1984, maupun yang bersumber dari Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia, yaitu UUD 1945 pasal 27, dan peraturan perundang-undangan, serta kebijakan Pemerintah Indonesia, misalnya Inpres Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender, yang prinsipnya menjamin kesetaraan dan keadilan bagi semua warga negara, dan memajukan perempuan, tetapi dalam prakteknya belum berhasil meredakan praktek yang merugikan perempuan (Irianto, 2004:3).3 Di sisi lain, seperangkat hukum yang menjamin keadilan bagi perempuan tersebut belum dapat ditegakkan dalam kehidupan nyata seharihari. Wacana penegakan hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan, di berbagai penjuru dunia secara universal pun, belum cukup kondusif bagi upaya pemajuan hak asasi perempuan. Hal tersebut disebabkan karena kasuskasus diskriminasi terhadap perempuan terus bermunculan di berbagai bidang kehidupan: politik, ekonomi, sosial, ketenagakerjaan, Hukum Keluarga, sumberdaya alam, praktek–praktek budaya yang sangat
3
merugikan
Tidak sedikit pula putusan-putusan hakim, yang menjadi jurisprudensi (khususnya dalam lapangan hukum waris), yang memberikan hak kepada perempuan untuk mewaris harta ayah maupun suaminya pada masyarakat dengan system kekerabatan patrilineal. Hak mewaris semacam itu tidak dikenal sebelumnya dalam hukum adat masyarakat tersebut, kecuali memberikan sebagian harta tersebut sebagai pemberian atau hadiah, bukan sebagai hak. Juga dapat kita lihat adanya putusan-putusan dari otoritas wilayah yang bertujuan menghentikan praktek-praktek budaya yang merugikan perempuan, seperti yang terjadi di India dan Sumatera Barat.
4
perempuan, dan masih banyak lagi. Jagger dan Rottenberg (2002), berpendapat bahwa secara historis: 1. Perempuan merupakan kelompok pertama yang tertindas; 2. Penindasan
terhadap
perempuan
terjadi
dimana-mana
dalam
masyarakat; 3. Penindasan perempuan adalah bentuk penindasan yang paling sulit di lenyapkan dan tidak akan bisa dihilangkan melalui perubahan-perubahan sosial lain, seperti penghapusan kelas masyarakat; 4. Penindasan terhadap perempuan menyebabkan penderitaan yang paling berat bagi korban-korbannya, meskipun penderitaan ini berlangsung tanpa diketahui oleh orang lain. Banyak faktor-faktor yang melatar belakangi timbulnya tindak kekerasan terhadap perempuan, diantaranya adalah : 1. Faktor Budaya Edward
Burnett
Tylor,
mendefinisikan
kebudayaan
sebagai
keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kepribadian dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat. Soemardjan dan Soemardi menilai kebudayaan merupakan sarana hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat (Wikipedia.org/wiki/budaya). Senada dengan Edward Burnett Taylor, Andreas Eppink menilai kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial, norma sosial, ilmu
5
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, termasuk segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat. Menurut Herskovits, kebudayaan terbentuk dalam waktu yang panjang sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang
lain,
yang
kemudian
disebut
sebagai
superorganic
(serunai.blogspot.com). Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah kebudayaan memerlukan waktu yang cukup panjang untuk menjadi suatu nilai, norma sosial, dan pengetahuan, yang diyakini dan menjadi rujukan bersama berupa sebuah sistem sosial. Sebagai sebuah sistem sosial, kebudayaan dapat berupa benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan sebagai suatu sistem sosial, juga mengatur hubungan sosial dan keluarga, antara lelaki dan perempuan, dalam berbagai bidang kehidupan. Pemahaman tentang relasi lelaki dan perempuan yang patriarkhal telah ikut menyebabkan posisi perempuan dalam struktur masyarakat dan keluarga menjadi subordinan, sehingga hak-hak perempuan dalam keluarga dan juga sosial menjadi terpinggirkan bahkan tidak terpenuhi. Lelaki selalu dianggap sebagai pemimpin, sebagai orang yang mengenyam pendidikan tinggi, hak reproduksi lebih diperhatikan, sebagai pengambil keputusan publik
6
maupun keluarga, bahkan sebagai pihak yang harus mendapatkan pelayanan dari pasangannya. Pola hubungan seperti inilah yang secara tidak langsung telah melegalkan kekerasan dan penindasan terhadap perempuan. 2. Faktor Sosial Selain faktor budaya, faktor sosial juga menjadi penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Faktor sosial merupakan faktor eksternal munculnya tindak kekerasan, karena faktor itu berada di luar individu. Faktor eksternal yang merupakan faktor sosial penyebab kekerasan terhadap perempuan adalah, pertama, kegagalan dalam berinteraksi. Menurut Soekamto (Kholek, 2010), adanya kontak sosial dan komunikasi merupakan syarat pembentuk interaksi. Kegagalan dalam interaksi biasanya dikarenakan adanya kemacetan dalam salah satu unsur pembentuk interaksi. Kesalahan dalam komunikasi dapat menyebabkan seorang lelaki tega melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan. Sebaliknya, komunikasi yang efektif dapat menghasilkan interaksi yang baik serta menciptakan masyarakat yang tentram. Faktor sosial yang kedua adalah kurang tegasnya pihak yang berwenang dalam mengatasi tindakan kekerasan. Hal ini bisa kita lihat dengan rendahnya hukuman para pelaku tindak kekerasan dalam hal apapun termasuk juga kekerasan terhadap perempuan. Dalam konteks Sistem Hukum Indonesia, pertama, pembahasan kedudukan perempuan dalam Hukum Adat, yang merupakan bagian dari
7
Hukum Positif Indonseia, akan menimbulkan pertanyaan tentang Hukum Adat itu sendiri, mengingat begitu banyak Hukum Adat yang berlaku di Indonesia, baik yang telah diidentifikasi maupun yang belum diidentifikasi, serta perkembangannya. Dalam rangka melegitimasi sesuatu sesuai dengan kepentingannya, seseorang dapat saja mengatakan bahwa suatu substansi aturan adalah Hukum Adat, meskipun subtansi aturan tersebut tidak memenuhi kriteria Hukum Adat dan bahkan sarat dengan kekinian. Adanya diseminasi hak-hak asasi perempuan yang global, introduksi instrumen Hukum Internasional, maupun produk hukum negara, ternyata tidaklah berpengaruh pada perubahan Hukum Adat secara substansial, melainkan hanya berpengaruh pada perubahan yang bersifat artificial saja. Oleh karena itu, perubahan Hukum Adat yang terjadi sebagai hasil interaksi dengan sistem hukum lain masih tetap melanggengkan subordinasi terhadap perempuan di segala aspek kehidupan. Kedua, dalam Sistem Hukum Indonesia saat ini, Hukum Negara, yang juga merupakan bagian dari Hukum Positif Indonesia, merupakan instrumen utama penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Semua perkara, terutama perkara pidana, harus diselesaikan melalui prosedur yang telah disediakan oleh negara. Pemikiran bahwa Hukum Negara mendominasi penyelesaian sengketa pada hakekatnya dipengaruhi oleh Paradigma Positivisme Hukum. Dalam Paradigma Positivisme, hukum dipandang sebagai sesuatu yang mengandung
8
kebenaran dan keadilan yang sudah pasti. Paradigma Positivisme mengklaim bahwa hukum yang tertinggi adalah Hukum Negara, dan negara adalah satusatunya institusi yang dapat mendistribusikan keadilan kepada setiap warga negaranya. Dalam definisi yang paling sederhana tentang hakekat hukum, Positivisme memaknai hukum sebagai norma hukum yang dipositifkan dalam bentuk peraturan tertulis, yang dipaksakan melalui kekuasaan negara (Nonet, 1990: 667-668), sehingga hakim hanya bertugas mengadili perkara-perkara berdasarkan Hukum Positif saja. Hakim tidak mempunyai celah untuk menciptakan hukum baru (Ali, 2009: 2), karena Hukum Positif dianggap bersifat objektif, netral (neutrality of law) dan terlepas dari politik (law politics distinctions) (Kasim, 2000:25). Paradigma Positivisme, dalam perkembangannya menjadi dasar bagi kelahiran Hukum Modern (Modern Law) (Ali, 2009:3).4 Marc Galanter mengemukakan bahwa Hukum Modern, yang dianut oleh hampir semua negara di dunia ini, mempunyai sebelas ciri, yaitu: seragam, transaksional, universal, hierarkis, birokratis, hanya dijalankan oleh kaum profesional, teknis, rumit, dapat diamandemen, memiliki karakter politis, dan hanya negara yang memiliki hak monopoli untuk menyelesaikan semua persilihan (Dimyati, 2004:84-86). 4
Mahrus Ali, dengan mengutip pendapat Peter Mahmud Marzuki, menjelaskan Hukum modern yang dimaksud adalah hukum yang masuk dalam kategori civil law system dengan tiga karakteristik utama, yaitu adanya kodifikasi, hakin tidak terikat pada preseden sehingga undang-undang menjadi sumber hukum yang utama, dan sitem peradilan bersifat inkuisitorial..
9
Hukum Modern lebih menekankan sentralisme hukum, yang bermakna bahwa law is and should be the law of the state, uniform for all the person, exclusive of all other law, and administered by a single set of state institutions (Ali, 2009: 5). Peranan negara sebagai pembuat hukum dalam sentralisme hukum sangatlah besar. Posisi Hukum Negara menjadi sentral, sedangkan posisi hukum lainnya hanyalah pinggiran. Konfigurasi pemikiran Paradigma Positivisme yang menjadi dasar keberadaan Hukum Modern dengan semua ciri-cirinya itu, sangat bertolak belakang dengan keberadaan negara-negara yang mempunyai kemajemukan budaya dan kemajemukan hukum (legal pluralism)5 (Lubis, 2006:3-4, Simarmata, 2006:47). Hukum Negara sebagai hukum yang bersifat formal modern yang dirancang secara sentral nasional, ternyata merupakan produk konstruksi sosial dari dunia yang berbeda serta memiliki logika dan keprihatinan dasar yang berbeda pula dengan Hukum Rakyat (Tanya, 2006: 5). Kemajemukan budaya dan kemajemukan hukum adalah salah satu penyebab mengapa hukum modern dengan sentralisme hukumnya tidak begitu berhasil diterapkan di Indonesia (Ihromi, 2003: 117). 5
Griffiths memaknai plurarisme hukum sebagai adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam satu area sosial. Sedangkan Sulistyowati Irianto, berpendapat bahwa ada dua macam pluralisme hukum, yaitu (Ali, 2009:6) : 1. Weak legal pluralism, diartikan sebagai bentuk lain dari sentralisme hukum karena mengganggap bahwa hukum negara tetap dipandang sebagai superior, sedangkan hukum-hukum yang lain disatukan dalam hierarki di bawah hukum negara; 2. Strong legal pluralism, diartikan sebagai produk dari ilmuan sosial berkaitan dengan pengamatan ilmiah mengenai fakta adanya kemajemukan tatanan hukum yang terdapat dalam semua kelompok masyarakat. Semua sistem hukum yang ada dalam masyarakat dianggap berkedudukkan sama. Tidak ada hierarki yang menunjukkkan sistem hukum yang satu lebih tinggi atau lebih rendah dari sistem hukum yang lain.
10
Dominasi Hukum Negara di Indonesia hampir terjadi di semua bidang hukum. Meskipun ada pengakuan terhadap eksistensi Hukum Adat (Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945), tetapi tidak secara otomatis hukum adat dapat berlaku seperti Hukum Negara. Ada persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi agar ketentuan Hukum Adat diakui dan dapat diterapkan, misalnya tentang perbuatan pidana adat. Ada tiga kriteria yang harus dipenuhi, sebagaimana diatur dalam Undang-undang nomor 1 Drt Tahun 1951, agar Hukum Pidana Adat dapat diberlakukan, yaitu (Putra Jaya, 2005: 286-287) : 1. Dalam hal tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP dianggap diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 500,- (lima ratus rupiah); 2. Dapat dijatuhi pidana penjara paling lama sepuluh tahun apabila sanksi adat sangat berat; 3. Apabila ada bandingannya dalam KUHP, selalu diterapkan sanksi yang mirip dalam KUHP. Ketentuan dalam Undang-undang Nomor 1 Drt Tahun 1951 tersebut menegaskan bahwa kedudukan KUHP lebih superior dari Hukum Pidana Adat karena sanksi yang akan diberikan kepada pelanggar Hukum Adat adalah sanksi yang terdapat dalam KUHP, jika memang didalamnya terdapat tindak pidanannya. Hierarki bahwa kedudukan KUHP lebih superior dari Hukum Pidana Adat merupakan cerminan dari pengaruh pemikiran Hans Kelsen, salah
11
seorang pengembang Paradigma Positivisme, yang juga dikenal sebagai pencetus Teori Berjenjang (Stuffenbau Theory)6. Ajaran Kelsenian tentang Stuffenbau Theory ini sangat berpengaruh di Indonesia, hal ini terlihat dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang mengatur tentang tata hierarki peraturan perundang-undangan, yang menetapkan urutan perundang-undangan di Indonesia mulai tertinggi , yakni: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; (3) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; (4) Peraturan Pemerintah; (5) Peraturan Presiden; (6)
Peraturan Daerah
Provinsi; dan (7) terendah adalah Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (pasal 7 UU No. 12 tahun 2011). Ketiga, Hukum Positif tidak netral dan objektif terhadap perempuan. Prinsip netralitas dan objektifitas, yang diagungkan oleh penganut positivisme, benar adanya sebagai the law as ought to be. Untuk dapat menegakkan dan melaksanakan the law as ought to be diperlukan kondisi sine quo non. Kondisi sine quo non yang dimaksud adalah struktur masyarakat yang homogen sehingga setiap orang memiliki akses kepada sumber kesejahteraan dan keadilan yang relatif setara, serta birokrasi 6
Teori Berjenjang (Stuffenbau Theory) adalah teori yang menyatakan bahwa hukum adalah suatu sistem yang terdiri dari susunan norma berbentuk piramida. Kekuatan norma yang lebih rendah berasal dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, semakin abstrak sifatnya dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya akan semakin konkrit. Norma yang tertinggi menduduki puncak piramida dan disebut sebagai norma dasar atau grund norm.
12
peradilan yang relatif bersih dari kolusi, korupsi, dan nepotisme. Dengan kondisi sine quo non seperti itu, maka prinsip equality before the law dapat ditegakkan dan memberikan rasa keadilan secara pasti kepada seluruh warga negaranya. Namun akan terjadi sebaliknya, jika kondisi sine quo non yang ada adalah struktur
masyarakat yang bertingkat (heterogen). Pada struktur
masyarakat yang bertingkat terdapat kesenjangan-kesenjangan, yang antara lain meliputi kesenjangan ekonomi yang luar biasa tingginya, serta kesenjangan kekuasaan dan politik. Apalagi jika individu-individu yang ada di dalam struktur masyarakat itu telah menyimpan berbagai macam persoalan ketidakadilan. Perbedaan suku, ras, agama, kelas sosial, dan jenis kelamin, menyebabkan adanya perbedaan perolehan akses untuk mendapatkan perlakuan yang sama. Belum lagi dengan kondisi birokrasi yang relatif korup. Dalam kondisi sine quo non yang demikian itu, implementasi dari prinsip equality before the law, menjadi diragukan dapat memberikan keadilan yang setara. Perlakuan yang berbeda kepada pihak yang dipandang sebagai the other, dapat dijumpai juga dalam rumusan yang eksplisit di berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan, maupun dalam praktek kehidupan sehari-hari. Dalam telaah Hukum Kritis, pada hakekatnya, hukum adalah pedang bermata dua. Di satu sisi hukum digunakan sebagai acuan yang paling adil dan melindungi. Disisi lain, hukum juga bisa digunakan sebagai alat untuk
13
mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan. Pada sisi hukum dianggap sebagai alat untuk mendefinisikan kekuasaan dan kepentingan, maka akan mengakibatkan adanya korban dari hukum yang tidak adil. Pada sisi yang kedua ini, juga menimbulkan perdebatan, terutama jika dikaitkan dengan berbagai pengalaman perempuan, kelompok minoritas, kelompok miskin, atau
kelompok-kelompok
yang
tidak
memiliki
kekuasaan
untuk
menyuarakan keberadaannya. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa baik atau buruknya tujuan hukum bergantung pada siapa yang berada di balik hukum itu sendiri. Dalam konteks Hukum Indonesia, terdapat banyak sekali instrumen hukum yang telah menjamin kesetaraan dan keadilan bagi setiap orang, tanpa membedakan jenis kelamin, usia, suku, ras, dan agama. Netralitas, objektifitas, dan kepastian hukum, merupakan nilai dan prinsip yang sangat dijunjung tinggi oleh para pembuat peraturan dan penegak hukum di Indonesia, sehingga hukum tidak boleh berpihak. Hukum dipercaya berdiri di atas semua golongan dan memberikan keadilan terhadap semua orang, tanpa terkecuali. Dengan kondisi sine quo non masyarakat Indonesia, yang heterogen, maka implementasi dari prinsip equality before the law, justru menimbulkan berbagai pertanyaan. Pengalaman perempuan menunjukkan bahwa hukum tidak berpihak pada perempuan, terutama kepada perempuan yang berasal
14
dari lapisan masyarakat miskin, atau kelompok-kelompok yang tidak memiliki kekuasaan untuk menyuarakan keberadaannya. Hingga saat ini, subordinasi terhadap perempuan di Indonesia masih sangat kuat. Selain terjadi dalam struktur sosial budaya, politik dan ekonomi, sobordinasi perempuan juga terjadi di bidang hukum. Contoh subordinasi perempuan di bidang hukum di Indonesia adalah masalah domestikasi peran perempuan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (UU Perkawinan), serta Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 139 BW memungkinkan suami istri mengadakan perjanjian kawin, dengan demikian memungkinkan istri dapat mandiri secara ekonomi dari suaminya. Namun, kemungkinan kemandirian istri sebagaimana diatur dalam Pasal 139 BW tersebut disangkal oleh Pasal 140 BW, yang menyatakan bahwa perjanjian kawin yang dilakukan oleh calon pasangan suami istri tidak boleh mengurangi segala hak yang disandarkan kepada suami. Adapun yang dimaksud sebagai “hak yang disandarkan kepada suami” adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 105 BW. Suami adalah kepala persatuan suami istri, dan dengan demikian suami wajib menjadi wali istrinya
untuk
melakukan
perbuatan
hukum.
Suami
juga
wajib
mengemudikan harta kekayaan milik pribadi istrinya, kecuali diperjanjikan lain dalam perjanjian kawin, tetapi setiap bentuk pemindahtanganan harta tersebut harus mendapat persetujuan dari istrinya. Bahkan Pasal 124 BW
15
memperbolehkan suami menjual atau memindahtangankan harta bersama tanpa persetujuan istrinya. UU Perkawinan juga membenarkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tentang kedudukan istri sebagai ibu rumah tangga, yang secara ekonomis kehidupannya dijamin oleh suaminya. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 31 ayat (1) UU Perkawinan : “Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”. Selanjutnya dalam Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan
disebutkan
bahwa
suami
wajib
mencari
uang untuk
kelangsungan kehidupan rumah tangganya. Dan dalam Pasal 34 ayat (2) UU Perkawinan mengatur kewajiban istri sebagai ibu rumah tangga. Keberadaan pasal-pasal dalam UU Perkawinan tersebut tidak memberi kesempatan kepada istri untuk mencapai kemandirian secara ekonomi. Ketidakmandirian ekonomi seorang istri seringkali secara psikologis dan politis, mempengaruhi daya tawar istri dalam membuat keputusan di dalam keluarga. Semakin tidak mandiri ekonomi seorang istri, semakin rendah daya tawar yang dimiliki oleh seorang istri. Lain BW dan UU Pekawinan, lain pula KUHP. Seperti di negara patriarki lainnya, KUHP Indonesia juga tidak memandang perempuan sebagai makhluk yang bermartabat seperti lelaki. Misalnya dalam pasal-pasal kejahatan seksual. Perkosaan yang diatur dalam Pasal 128 KUHP hanya mengisyaratkan bahwa korban harus bukan istrinya sendiri dan harus terjadi dalam bentuk hubungan seksual, yang dalam keputusan Hooge Raad
16
tertanggal 5 Pebruari 1912, diartikan sebagai “penetrasi penis ke vagina”. Nursyahbani
menganggap
perumusan
tersebut
sebenarnya
hanya
didasarkan pada cara pandang lelaki heteroseksual tentang hubungan seks, karena hanya mensyaratkan adanya penetrasi ke vagina (Katjasungkana, 2001: 92-93). Perumusan perkosaan yang demikian itu, hanya perumusan dari perspektif pelaku (lelaki) tanpa mempertimbangkan perspektif korban (perempuan), karena harga diri dan kondisi psikologis perempuan yang telah tercabik-cabik sangat diabaikan. Contoh-contoh
peraturan
perundang-undangan
di
atas,
mencerminkan bahwa hukum telah membatasi ruang gerak perempuan secara tidak adil. Hukum telah menempatkan perempuan yang telah menikah, tidak layak menjadi nahkoda keluarga bersama suaminya. Ironisnya hukum juga telah menyebabkan perempuan keluar dari tanah leluhurnya untuk menjadi budak di tanah asing, ketika masyarakat adat kehilangan aksesnya terhadap tanah dan sumberdaya alam. Perempuan terpaksa menjadi budak di negara asing, hanya karena sesuap nasi untuk keluarganya dan dirinya sendiri, serta kehilangan haknya sebagai orang yang merdeka. Demikian juga halnya yang terjadi dalam Hukum Adat di Indonesia. Perubahan Hukum Adat yang terjadi sebagai hasil interaksi dengan sistem hukum lain masih tetap melanggengkan subordinasi terhadap perempuan di segala aspek kehidupan. Adanya diseminasi hak-hak asasi perempuan yang
17
global, introduksi instrumen Hukum Internasional, maupun produk hukum negara, ternyata tidaklah berpengaruh pada perubahan Hukum Adat secara substansial, melainkan hanya berpengaruh pada perubahan yang bersifat artificial saja. Salah satu contoh Hukum Adat yang tidak terpengaruh atas adanya diseminasi hak-hak asasi perempuan yang global, introduksi instrumen Hukum Internasional, maupun produk hukum negara adalah Tradisi Sifon yang dilaksanakan oleh masyarakat Suku Atoni Pah Meto di Pulau Timor. Tradisi Sifon adalah tradisi khitanan atau sunatan untuk lelaki dewasa, yang sudah berumur 17 tahun lebih dan pernah melakukan hubungan seksual, atau lelaki yang sudah beristri dan mempunyai anak. Tradisi Sifon bertujuan untuk membersihkan diri dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari noda dosa dan pengaruh bala setan, serta secara biologis dimaksudkan untuk menambah kejantanan dan keperkasaan seorang lelaki dewasa. Keunikan ritual khitanan yang dilakukan oleh Suku Atoni Pah Meto terletak
pada
proses
penyembuhan
luka
yang
diakibatkan
oleh
pengkhitanan. Luka akibat khitan itu harus disembuhkan dengan cara melakukan hubungan seksual dengan perempuan tertentu. Perempuan tertentu itu adalah perempuan yang bukan istri atau anggota keluarga dekat. Tradisi Sifon yang dilaksanakan oleh Suku Atoni Pah Meto, telah menunjukkan suatu konstruksi sosial tentang karakteristik maskulinitas dan feminimitas berbasiskan perilaku seksual dalam budaya Suku Atoni Pah
18
Meto. Standard ganda seksualitas yang permisif bagi lelaki dan tidak permisif bagi perempuan, mengakibatkan tradisi ini semakin berkembang dan semakin menguatkan dominasi seksualitas lelaki terhadap perempuan. Dominasi kuasa tersebut menyebabkan perempuan ditempatkan pada posisi tidak berdaya dan tidak berani menolak tuntutan Tradisi Sifon (Hungu, 2005: 7). Tradisi Sifon juga telah menjadi semacam simbol konstitutif (yang membentuk kepercayaan-kepercayaan), simbol kognitif (yang membentuk ilmu pengetahuan), simbol penilaian moral (yang membentuk nilai-nilai moral dan aturan-aturan), dan simbol-simbol ekspresif (pengungkapan perasaan). Sebagai sebuah sistem simbol, tradisi ini memuat berbagai makna yang penting bagi masyarakat pendukungnya. Dalam konteks kenetralitasan dan keobjektifitasan hukum, serta sistem perlindungan hukum terhadap perempuan, kajian tentang Sifon dari perspektif gender ini menjadi sangat penting, mengingat bahwa Hukum Adat memberikan legitimasi pada Tradisi Sifon yang sangat merugikan perempuan, sedangkan Kitab Undang-undang Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), serta Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, sangat lemah untuk merespon para perempuan korban kekerasan, terutama kekerasan terhadap perempuan yang bersumber pada tradisi budaya, dalam hal ini Hukum Adat.
19
Para pembuat peraturan seringkali lupa mempertimbangkan : apakah hukum telah menjamin perempuan dalam memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia yang bermartabat? Apakah hukum sudah menjamin suara perempuan di ruang-ruang publik pengambilan keputusan penting dalam bermasyarakat
dan
bernegara?
Apakah
hukum
sudah
melindungi
perempuan dari kekerasan, kemiskinan dan kebodohan? Para penegak hukum, pada umumnya, hanya menjalankan tugas sebagai “corong” peraturan perundang-undangan. Aparat penegak hukum jarang sekali melakukan kajian terhadap kasus dan pengalaman masyarakat, untuk menggali
dan
menemukan
hukum,
serta
menggunakannya
dalam
menegakkan hukum. Para penegak hukum seolah-olah tidak menyadari bahwa telah terjadi benturan antar kerja hukum dalam masyarakat dengan kekuasaan, politik, kepentingan ekonomi, dan budaya. Benturan-benturan itu menuntut para penegak hukum untuk melakukan pembaharuan hukum, agar masyarakat memperoleh akses keadilan. Namun para penegak hukum belum
setiap
saat
melakukan
pembaharuan
hukum,
khususnya
pembaharuan paradigmatik hukum, serta melakukan terobosan-terobosan baru, sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
B. Permasalahan Penelitian ini adalah suatu kajian tentang bagaimana akses keadilan bagi perempuan media Sifon oleh sistem Hukum Adat dan Sistem Hukum
20
Negara, ketiadaan substansi hukum yang mengatur keberadaan perempuan, dan bagaimanakah penjelasan konteks sosio kultural Masyarakat Suku Atoni Pah Meto terhadap relasi di antara para pihak yang terlibat dalam ritual Tradisi Sifon. Berdasarkan pemikiran yang telah dikemukakan pada bagian Latar Belakang, maka pokok-pokok masalah dalam penulisan ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah Tradisi Sifon dalam perspektif Hukum Positif Indonesia? Rumusan pokok masalah yang pertama ini akan mempermasalahkan : a. Bagaimanakah Tradisi Sifon dalam perspektif Hukum Adat? b. Bagaimanakah Tradisi Sifon dalam perspektif Hukum Negara? 2. Bagaimanakah konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon? Rumusan pokok masalah yang kedua ini akan mempermasalahkan : a. Bagaimanakah Tradisi Sifon dalam perspektif Feminisme? b. Konflik apa yang ditimbulkan oleh Tradisi Sifon dalam Sistem Hukum Positif Indonesia? 3. Bagaimanakah bentuk-bentuk penyelesaian konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon ? Rumusan pokok masalah yang ketiga ini akan mempermasalahkan : a. Bagaimanakah penyelesaian konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon dalam Sistem Hukum Positif Indonesia, ditinjau dari perspektif Feminisme dan Positivisme?
21
b. Bagaimanakah membuat hukum yang bisa menampung dan menjamin kemajukan identitas, budaya dan pandangan hidup agar Tradisi Sifon tetap bisa dilaksanakan oleh Suku Atoni Pah Meto?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Untuk mengungkap Tradisi Sifon dalam perspektif Hukum Positif Indonesia. 2. Untuk mengungkap konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon. 3. Untuk menemukan bentuk-bentuk penyelesaian masalah jika terjadi konflik yang disebabkan oleh Tradisi Sifon.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai : 1. Refernsi akademik. 2. Bahan pembaharuan Sistem Hukum Indonesia yang netral dan obyektif.