BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Fiksi menurut Altenbernd dan Lewis (1966:14) dapat diartikan sebagai prosa naratif yang bersifat imajinatif, tetapi biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasi hubungan-hubungan antarmanusia. Pengarang mengemukakan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Namun, hal itu dilakukan secara selektif dan dibentuk sesuai dengan tujuannya yang sekaligus memasukkan unsur hubungan dengan penerangan terhadap pengalaman kehidupan manusia. Sementara itu, fiksi, menurut Stanton (2007:21-22), dibagi menjadi dua, yakni fiksi serius dan fiksi populer. Fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, kadang-kadang harus dilakukan semacam analisis terhadap bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain. Selanjutnya, menurut Nurgiyantoro (1998:18), fiksi atau sastra populer adalah sastra yang populer pada masanya dan banyak pembacanya, khususnya pembaca di kalangan remaja. Sastra populer tidak menampilkan permasalahan
1
2
kehidupan secara intens. Sebab jika demikian, sastra populer akan menjadi berat dan berubah menjadi sastra serius. Sebutan sastra populer mulai banyak digunakan setelah tahun 1970-an. Sering pula sastra yang terbit setelah itu mempunyai fungsi hiburan belaka, walaupun bermutu kurang baik, tetap dinamakan sebagai sastra populer atau sastra pop (Kayam, 1981:82). Biasanya sastra populer bersifat artifisial atau bersifat sementara, cepat ketinggalan zaman, dan tidak memaksa orang untuk membacanya sekali lagi. Oleh karena itu, sastra populer cepat dilupakan pembacanya apalagi dengan munculnya karya sesudahnya (Nurgiyantoro, 1998:20). Menurut Kayam (1981:88) sastra populer adalah perekam kehidupan, dan tidak banyak memperbincangkan kembali kehidupan dalam serba kemungkinan. Ia menyajikan kembali rekaman-rekaman kehidupan itu dengan harapan pembaca akan mengenal kembali pengalaman-pengalamannya sehingga merasa terhibur karena seseorang telah menceritakan pengalaman-pengalamannya itu.
Sastra
populer
yang
baik
akan
mengundang
pembaca
untuk
mengidentifikasikan dirinya. Berdasarkan definisi terakhir oleh Kayam, fiksi lintasmedia dapat dikategorikan sebagai fiksi atau sastra populer. Fiksi lintasmedia merupakan fiksi yang disajikan secara berbeda, tak hanya berbentuk tulisan, ia disajikan bersama musik dan visualisasi sederhana. Musik dan visualisasi tersebut dimaksudkan untuk mempermudah pembaca menangkap pengalaman-pengalaman yang disajikan teks sekaligus memasuki dirinya masing-masing dan mengenali kembali
3
pengalaman-pengalamannnya sebab musik dan visualisasi akan membantu mengaktifkan indera-indera yang lain pula. Sementara itu, fiksi lintasmedia merujuk pada format fiksi-musik-visual. Hal ini memang bukan hal yang sama sekali baru, hanya saja masih belum umum. Pembicaraan mengenai fiksi lintasmedia memang belum banyak. Dalam beberapa media, terdapat dua tulisan yang membahas secara khusus tentang kemunculan fiksi lintasmedia, yakni dari Damar Junianto (2011) dan Subakti Erri (2011). Dalam tulisan Damar Junianto yang berjudul “Keniscayaan Hadirnya Fiksi Lintasmedia”, dipaparkan bahwa fiksi lintasmedia hadir seiring dengan kemajuan zaman dan menetas dari kemajuan teknologi. Terminologi fiksi lintasmedia secara sederhana ia kemukakan sebagai sebuah kisah atau cerita yang disajikan dengan memadukan dua atau lebih medium yang berbeda, misalnya tulisan dengan audiovisual atau tulisan, musik, serta audio-visual sekaligus. Konteks fiksi lintasmedia dalam penelitian ini adalah fiksi-audio-visual. Musik membantu menyituasikan perasaan, sementara visual (foto, gambar bergerak, citra, warna) membantu daya imajinasi. Oleh karena itu, dari segi format dan kebaruannya, fiksi lintasmedia sebagai objek material dapat dikatakan istimewa dan menarik untuk diteliti. Fiksi lintasmedia dapat digolongkan sebagai bagian dari sastra elektronik. Dalam arti luas karya sastra yang diproduksi, dimodifikasi, dan dikemas dengan menggunakan peralatan elektronik dapat dinamakan sastra elektronik. Sesuai dengan media yang dipakai, sastra elektronik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yakni sastra audio, sastra audiovisual, dan sastra multimedia (fiksi
4
lintasmedia) (diunduh di http://id.wikipedia.org/wiki/Sastra_elektronik pada 13 April 2013 pukul 19:52 WIB). Fiksi semacam itu telah dikembangkan di berbagai negara, contohnya di Inggris. Pada situs wetellstories.co.uk, terdapat enam penulis berkolaborasi menghasilkan suatu karya fiksi bentuk baru yang khusus didesain untuk internet. Proyek tersebut diinisiasi oleh penerbit Penguin UK sejak tahun 1995. Penerbit tersebut menantang beberapa penulis, di antaranya adalah Mohsin Hamid, lulusan Princeton Universty yang menulis novel Moth Smoke (2000) dan diterbitkan dalam sepuluh bahasa, pernah memenangkan Betty Trask Award, dan ia merupakan finalis PEN/Hemingway Award. Selanjutnya ada Kevin Brooks, seorang penulis fiksi popular remaja yang terkenal. Kemudian ada Nicci French, pemenang penghargaan Naomi Alderman dan seorang penulis best-selling thriller, termasuk novelnya yang sangat terkenal, yaitu Killing Me Softly (1999). Karya digital mereka tersebut berbentuk fiksi yang diterbitkan dalam website tersebut. Fiksi tersebut adalah fiksi baru yang menawarkan keunikan dan pengalaman inovatif
kepada
pembaca
dimana
pun
berada
(diunduh
di
http://www.wetellstories.co.uk/about pada 8 Oktober 2013 pukul 20.24 WIB). Selanjutnya ada pula novel serial dan multimedia yang ditulis oleh Pamela Redmond Satran dalam website hosprings.com sejak tahun 2009. Pamela merupakan penulis sekaligus seniman visual dan musisi dalam novel digital tersebut, tetapi kadangkala ia tetap berkolaborasi dengan seniman lainnya. Sementara itu, tidak hanya pada prosa, puisi digital pun telah dibicarakan oleh majalah Alire di Prancis pada April 2002. Dalam abstrak dari tulisan
5
Phillippe Bootz yang termuat dalam majalah tersebut, terdapat istilah puisi digital. Sastra digital menurut pandangan Bootz adalah tetap dapat dikatakan sebagai
sastra. Barangkali, jika di Indonesia, musikalisasi puisi Sapardi Djoko Damono bisa kategorikan sebagai puisi digital mengingat usahanya untuk memakai seni secara kolaboratif. Selain itu, masih pada bahasan sastra digital atau elektronik, sekitar tahun 2001, terdengar nama Yayasan Multimedia Sastra. Kehadirannya ditengarai dengan terbitnya buku Graffiti Gratitude pada tanggal 9 Mei 2001. Graffiti Gratitude merupakan buku antalogi puisi cyber. Penerbitan antologi tersebut dimotori oleh Sutan Iwan Soekri Munaf, Nanang Suryadi, Nunuk Suraja, Tulus Widjarnako, Cunong, dan Medy Loekito. Mereka tergabung dalam satu wadah yang dinamakan Yayasan Multimedia Sastra (YMS) tersebut. Pada press release yang disebarkan di internet, presiden YMS, Medy Loekito (2002), berharap antologi puisi digital ini dapat menjadi embrio dari perkembangan sastra yang berbasis internet. Menurutnya, puisi digital lahir dari perkawinan berbagai cabang seni yang masing-masing telah "ditransfer" kedalam bahasa digital. Menurut Medy, pekerjaan itu dipermudah dengan memanfaatkan teknologi internet. Sementara itu, menurut Faruk (2011:22), kemunculan Yayasan Multimedia Sastra ini yang paling menonjol dan dapat dikatakan fenomenal. Sebagaimana majalah Alire, usaha mereka bisa dikatakan keras untuk meyakinkan publik bahwa karya-karya sastra yang dipublikasikan internet, karya-karya sastra internet atau cyber adalah juga karya sastra dan bahkan mempunyai kemungkinan untuk membentuk genre sastra tersendiri (Faruk, 2000:23). Kemungkinan sastra yang
6
dibuat dan dipublikasikan dalam dan melalui internet ini untuk menjadi genre tersendiri memang terbuka karena terdapat beberapa di antaranya yang bersifat multimedia dengan memanfaatkan juga citra-citra visual, audio-visual, dan animasi (Faruk, 2000:23). Berdasarkan beberapa fakta dan pertimbangan di atas, fiksi lintasmedia tidak sama sekali baru dalam dunia sastra internasional. Namun, dengan melihat keistimewaan dan kebaruannya seperti yang telah dipaparkan di atas, fiksi lintasmedia merupakan karya sastra perlu dianalisis. Karya sastra sebagai objek yang dianalisis, menurut Murtono (2010:9), dianggap sebagai sesuatu yang menampilkan kualitas estetis yang paling beragam. Hakikat bahasa sebagai medium menyebabkan hadirnya berbagai mediasi sehingga melahirkan berbagai aspek estetis. Terjadinya keindahan itu diakibatkan oleh kemampuan penerima untuk menikmatinya. Wolfgang Iser dalam bukunya The Act of Reading: A Theory of Aesthetic Response (1976:34) mengemukakan bahwa teks memiliki arti ketika ia dibaca. Oleh karena itu, membaca menjadi prasyarat penting bagi proses interpretasi sastra. Titik sentral dalam pembacaan karya sastra adalah interaksi antara struktur karya tersebut dengan penerima atau pembaca. Tidak akan mungkin untuk mendeskripsikan tanggapan pembaca tanpa menganalisis proses pembacaannya. Dalam hal ini, analisis pembacaan terhadap teks menjadi sesuatu yang amat penting merujuk pada model pendekatan pragmatis yang dikemukakan oleh MH. Abrams. Teori sastra yang menggunakan model pendekatan pragmatis salah satunya adalah teori resepsi sastra. Junus (1985:1) mengemukakan bahwa resepsi sastra
7
membicarakan tentang bagaimana 'pembaca' memberikan „makna‟ terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Resepsi sastra tidak banyak memberikan tekanan pada teks dan menjadi suatu gebrakan penting dalam penelitian sastra yang berbeda dari kecenderungan selama ini. Ada banyak pembicaraan mengenai teori resepsi sastra, namun penelitian ini menggunakan teori estetika resepsi eksperimental yang dikemukakan oleh Rien T. Segers. Resepsi, pada dasarnya, adalah komunikasi teks dengan pembacanya. Apabila seorang pengarang menulis novel dan pembaca membaca karyanya, pengarang dan pembaca adalah dua kutub proses komunikasi sastra yang sedang berperan. Dalam pembacaan sebuah novel, saluran komunikasi terdiri atas materi buku. Kode yang dipilih pengarang dan diketahui atau sebagian diketahui oleh oleh pembaca memungkinkan pembaca untuk mendecode tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks. Saluran komunikasi memungkinkan pembaca membaca teks sastra, di sisi lain, kode memungkinkan pembaca menafsirkan teks sastra. Sesuai dengan kode yang didefinisikan Miller, kode dalam sastra dapat dirumuskan sebagai suatu sistem tanda-tanda verbal yang dipergunakan untuk menggambarkan atau menyampaikan informasi sastra (Segers, 2000:17-18). Estetika resepsi eksperimental merupakan disiplin instrumental yang penting dalam penelitian evaluasi sastra karena menganggap putusan nilai sebagai bentuk perilaku human yang dapat diukur dengan alat sinstrumen yang umumnya digunakan dalam ilmu-ilmu sosial (Handy, 1970:16 via Segers. 2000:80).
8
Karakter estetika resepsi ekserimental adalah karakter yang interdisipliner. Selain itu, bagi estetika resepsi dan juga bagi estetika eksperimental berkenaan dengan sastra, reaksi pembaca pada teks merupakan titik tolak suatu penelitian. Kolaborasi antara estetika resepsi dengan estetika eksperimental mungkin mengarahkan pada hasil-hasil penting bagi studi sastra, pendidikan, pengajaran sastra, dan juga psikologi. Dalam kolaborasi ini, estetika resepsi memiliki tugas menyusun basis penelitian teoritik dan merumuskan tujuan-tujuan penelitian; estetika eksperimental akan memberikan kerangka bagi penelitian yang layak dan tepat (Segers, 2000:82). Dalam penelitian ini, fiksi lintasmedia dianalisis menggunakan teori estetika resepsi eksperimental dengan tujuan membuktikan hipotesis bahwa ada perbedaan tata nilai sastra dan faktor pendukung tata nilai sastra antara kelompok pembaca sastra pada eksperimen I dan kelompok pembaca sastra pada eksperimen II terhadap pembacaan fiksi Kau yang Mengutuhkan Aku (selanjutnya disingkat menjadi KyMA), selain itu juga membuktikan bahwa faktor dampak memberi sumbangan paling tinggi dalam tata nilai sastra kelompok pembaca fiksi lintasmedia. Berdasarkan hal ini, dilakukan dua perlakuan (eksperimen) yang berbeda dua kelompok responden. Perlakuan pada kelompok responden pertama (eksperimen I), yakni responden dikondisikan membaca atau menikmati teks hanya dalam format teks (tanpa audio-visual), sedangkan perlakuan pada kelompok responden kedua (eksperimen II) adalah responden dikondisikan membaca atau menikmati teks melalui format fiksi lintasmedia (dengan audiovisual). Hal ini dilakukan untuk menguji adakah perbedaan terkait tata nilai
9
pembaca ketika teks sastra disajikan hanya dalam format teks dan dalam format fiksi lintasmedia. Tujuan penelitian ini juga berkaitan dengan implikasi munculnya fiksi lintasmedia yang disebut-sebut sebagai embrio genre sastra baru. Perlunya diadakan penelitian ini juga didasari oleh pendapat Faruk (2011:38) yang menyatakan bahwa anak-anak muda merupakan generasi multimedia, generasi yang kepekaan inderawinya sejak kecil diasah oleh televisi dan lanskap kehidupan yang semakin tervisualisasikan, mahasiswa termasuk di dalam generasi yang demikian, mahasiswa sekarang cenderung tidak lagi dapat dipesona oleh sekedar retorika bahasa, kejernihan konseptual, ketajaman pemikiran yang kritis. Menurutnya, mahasiswa sekarang, dengan sensibilitas multimedianya, hanya akan tertarik dengan tampilan yang multimedia, yang dapat mengaktifkan seluruh indera mereka, dengan proses belajar-mengajar yang membuat mereka terlibat, bukan yang membuat mereka mampu berjarak, yang membawa mereka dalam kegiatan kolektif, bukan refleksi individual. Berdasarkan hal itu, menurut Faruk, untuk mereka dibutuhkan sebuah metode pembelajaran yang spesifik karena di dalam proses belajar-mengajar mahasiswa merupakan variabel yang harus diperhitungkan. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat lisan. Menurut Ong (1982:172—173) karena ketergantungan bunyi, masyarakat lisan terus-menerus mengasah kepekaan anggota-anggotanya terhadap bunyi, terus-menerus melatih indera pendengarannya sebab dalam dan dengan tulisan masyarakat tidak terlalu terdorong untuk mengingat informasi yang disampaikan.
10
Sementara itu, fiksi lintasmedia yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah karya yang berjudul Kau yang Mengutuhkan Aku (2011) karya Fahd Djibran, Futih Aljihadi, dan Fiersa Besari. Karya ini diciptakan oleh tiga orang sekaligus, yakni Fahd Djibran sebagai penyair (lyricist), Futih Aljihadi sebagai videographer, dan Fiersa Besari sebagai musisi. Karya ini dapat diperoleh di http://www.youtube.com/watch?v=L0pLhwvfpg0. Karya ini sampai sekarang telah ditonton 2.250 orang dalam waktu satu bulan. Karya ini dianggap penting untuk diteliti karena dalam karya inilah tiga profesi sekaligus bersatu untuk menciptakan satu karya yang didalamnya terdapat muatan sastra. Jadi, fokus objek material penelitian ini adalah pada muatan yang terdapat dalam karya tersebut. Beranjak pada penulis fiksi tersebut, Fahd Djibran yang memiliki nama asli Fahd Pahdepie merupakan penulis muda produktif yang telah menghasilkan karya-karya, diantaranya A Cat in My Eyes (2008), Curhat Setan (2009), Rahim: Sebuah Dongeng Kehidupan, Menatap Punggung Muhammad (2010), Yang Galau, Yang Meracau (2011), dan belum lama ini meluncurkan Hidup Berawal dari Mimpi (2012), sebuah karya kolaborasi bersama Bondan Prakoso & Fade2Black dalam bentuk fiksi-musikal. Selain itu, karya terbaru yang diluncurkan berjudul Perjalanan Rasa (2012). Karya fiksi lintas media yang telah dihasilkan adalah Perpisahan Termanis (2011), Kau yang Mengutuhkan Aku (2011), Apologia Sebuah Nama (2011) yang diluncurkan bertepatan dengan Hari Ibu Nasional, Tentang Kita (2012), dan April (2013). Fahd dikenal sebagai penulis kreatif yang memperkenalkan metode creative writhink dan menjadi nominator dalam Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa Bidang Kreatif
11
Tahun 2009 yang diselenggarakan Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional RI. Selain itu, ia juga pernah dianugerahi penghargaan sebagai UNICEF Young Writer. Saat ini, ia merupakan peneliti di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sementara itu, Fiersa Besari adalah seorang musisi muda asal Bandung yang kerap aktif berkarya. Saat ini, sudah dua album indie bertajuk akustik dan balada dengan lirik yang liris lahir darinya, yakni album 11:11 (2012) dan Tempat Aku Pulang (2013). Beberapa karyanya juga bisa diunduh di web pribadinya fiersa.tk. Saat ini, Fiersa sedang dalam perjalanan menjelajah Indonesia. Selain itu, terdapat nama Futih Al Jihadi. Futih adalah seorang seniman grafis muda yang saat ini berkiprah di What If Artwork bersama istri dari Fahd Djibran. Berdasar pada uraian di atas, kemunculan (embrio) genre baru ini erat kaitannya dengan aspek pembaca, khususnya pada value judgments yang tercipta sehingga dirasa sesuai ketika teori estetika resepsi eksperimental digunakan dalam meneliti perbandingan antara dua perlakuan dalam penelitian ini. Tentunya, dengan tidak mengesampingkan aspek bahwa pembacaan sastra itu bersifat polyinterpretable.
1.2 Rumusan Masalah Berkaitan dengan uraian di atas, permasalahan atau pertanyaan penelitian sebagai rumusan masalah yang ingin dikemukakan dalam penelitian ini adalah tata nilai sastra masing-masing kelompok responden terhadap teks KyMA yang
12
disajikan tanpa audio visual (eksperimen I) dan pada teks KyMA yang disajikan dengan audio visual (eksperimen II).
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini memiliki dua tujuan utama, yakni tujuan teoritis dan tujuan praktis. Secara teoritis, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tata nilai sastra masing-masing kelompok responden terhadap teks KyMA yang disajikan tanpa audio visual (eksperimen I) dan pada teks KyMA yang disajikan dengan audio visual (eksperimen II) dengan menggunakan teori estetika resepsi eksperimental yang dikemukakan oleh Segers untuk membuktikan hipotesis bahwa ada perbedaan tata nilai sastra dan faktor pendukung tata nilai sastra antara kelompok pembaca sastra pada eksperimen I dan kelompok pembaca sastra pada eksperimen II terhadap pembacaan fiksi KyMA, selain itu juga membuktikan bahwa faktor dampak memberi sumbangan paling tinggi dalam tata nilai sastra kelompok pembaca fiksi lintasmedia. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi terhadap perkembangan penelitian sastra Indonesia. Adapun tujuan praktis penelitian ini adalah menambah wawasan pembaca dalam upaya memahami cara baru membaca sastra dan mencipta karya fiksi lintasmedia sehingga dapat meningkatkan apresiasi pembaca terhadap fiksi lintasmedia. Pada tahap selanjutnya, diharapkan penelitian ini mampu mendorong
13
peneliti-peneliti lain untuk turut menyambung dialektika demi keberagaman dan kedalaman penelitian sastra Indonesia.
1.4 Hipotesis Sebagaimana uraian di atas, penelitian ini mengkaji tata nilai sastra masingmasing kelompok responden terhadap teks KyMA yang disajikan tanpa audio visual (eksperimen I) dan pada teks KyMA yang disajikan lengkap dengan audio visual (eksperimen II) dengan menggunakan teori estetika resepsi eksperimental yang dikemukakan oleh Segers untuk membuktikan hipotesis. Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1.4.1 Ada perbedaan tata nilai sastra antara kelompok pembaca sastra pada eksperimen I dan kelompok pembaca sastra pada eksperimen II terhadap pembacaan fiksi KyMA. 1.4.2 Ada perbedaan faktor pendukung tata nilai sastra antara kelompok pembaca sastra pada eksperimen I dan kelompok pembaca sastra pada eksperimen II terhadap pembacaan fiksi KyMA. 1.4.3 Faktor dampak memberi sumbangan paling tinggi dalam tata nilai sastra kelompok pembaca fiksi lintasmedia KyMA.
14
1.5 Tinjauan Pustaka Salah satu tulisan yang membahas tentang fiksi lintas media adalah “Keniscayaan Hadirnya Fiksi Lintasmedia” oleh Damar Junianto (dalam Kompasiana, 18 November 2011). Pembicaraan dalam tulisan ini adalah seputar kehadiran fiksi lintasmedia dan terminologinya. Tulisan tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa fiksi lintasmedia hadir seiring dengan kemajuan zaman, ia menetas dari kemajuan teknologi. Terminologi fiksi lintasmedia secara sederhana dikemukakan sebagai sebuah kisah atau cerita yang disajikan dengan memadukan dua atau lebih medium yang berbeda, misalnya tulisan dengan audio-visual atau tulisan, musik, serta audio-visual sekaligus. Pembicaraan lain adalah pada artikel “Dengar Fiksinya, Baca Musiknya” oleh Subakti Erri (dalam Kompasiana, 21 November 2011). Tulisan tersebut menyatakan bahwa kini menghadirkan puisi atau fiksi tidak sekadar musikalisasi puisi yang hanya bisa dipentaskan di panggung-panggung kesenian, tetapi melalui medium internet blog, youtube, jejaring sosial, yang kita tidak saja berbagi inspirasi dan ide hanya lewat kata-kata, melainkan juga bisa menggabungkan berbagai nuansa seni. Fiksi lintasmedia adalah salah satu contoh konkretnya. Menurut Er, sebuah tulisan dalam dunia blogging kini tidak hanya mengandalkan diksi sastra, tapi juga bisa menampilkan ambience atas apa yang dirasakan dan ingin ungkapkan. Sementara itu, tulisan-tulisan yang menggunakan teori dan metode estetika resepsi eksperimental belum banyak ditemukan. Berikut ini terdapat dua buah skripsi mahasiswa dalam lingkungan Fakultas Ilmu Budaya UGM yang
15
membahas studi eksperimental resepsi sastra. Penelitian pertama merupakan skripsi dari Dyah Hasto Palupi (1987) yang berjudul “Tata Nilai Pembaca Sastra terhadap Tiga Buah Cerita Pendek Indonesia: Sebuah Studi Eksperimental Resepsi Sastra”. Penelitian ini mengambil tiga objek, yakni cerpen Ancam-ancaman karya Julius Sirajanamual, Jodoh (1999) karya A. A. Navis, dan Meja karya Hamid Jabar. Palupi membagi populasi menjadi dua kelompok, yakni kelompok pembaca akademik dan non akademik. Namun, kedua kelompok tersebut adalah kelompok intelektual. Sementara itu, penelitian selanjutnya merupakan skripsi dari Johan Argono (2007) yang berjudul “Kajian Eksperimental Resepsi Sastra terhadap Cerkak Lelakone Si Lan Man”. Penelitian ini merupakan penelitian terhadap karya sastra Jawa yang berbentuk cerkak dan berbahasa Jawa pula. Argono membagi populasi menjadi dua kelompok, yakni kelompok mahasiswa Jurusan Sastra Nusantara yang memang kesehariannya mengapresiasi karya sastra Jawa, dengan kelompok mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia yang justru kesehariannya mengapresiasi karya sastra berbahasa Indonesia. Argono berasumsi bahwa ada perbedaan pendapat yang signifikan antara kelompok kritikus dengan latar belakang akademis Sastra Nusantara dan Sastra Indonesia. Asumsi selanjutnya adalah ada perbedaan faktor-faktor yang mendukung tata nilai sastra antara kedua kelompok tersebut. Kedua skripsi di atas dapat memberikan referensi pada penulis tentang teori dan metode estetika resepsi eksperimental milik Segers. Selain kedua skripsi di atas, terdapat laporan penelitian yang ditulis oleh Cahyaningrum Dewojati (2008) berjudul “Keterbacaan Novel Laskar Pelangi di
16
Kecamatan Sanden”. Penelitian tersebut berusaha menjelaskan adanya fenomena keterbacaan karya sastra, khususnya Laskar Pelangi di komunitas generasi muda desa di wilayah Sanden, Bantul. Penelitian ini juga berusaha mengungkapkan tanggapan pembaca yang berangkat dari frame budaya desa dalam merespon novel Laskar Pelangi sebagai produk global. Penelitian ini bermaksud menjelaskan pengaruh karya sastra tersebut dalam kehidupan sosial-budaya mereka. Dalam hal ini, penelitian ini menggunakan teori resepsi sastra eksperimental dalam menganalisis keterbatasan novel Laskar Pelangi tersebut. Di samping itu, terdapat sebuah disertasi oleh Titin Nurhayatin (2011) dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Disertasi tersebut berjudul “Efektivitas Model Pembelajaran Membaca Fiksi dengan Pendekatan Estetika Resepsi”. Teori dan metode pendekatan estetika resepsi yang dipakai dalam disertasi ini adalah teori dan metode milik Segers model Indiana. Model pembelajaran membaca prosa fiksi dengan pendekatan estetika resepsi diberikan di kelas perlakuan dan pendekatan konvensional diberikan di kelas kontrol. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara kemampuan mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Pasundan dalam membaca prosa fiksi
dengan
pendekatan estetika resepsi
dengan kemampuan
mahasiswa
membaca prosa fiksi dengan pendekatan konvensional. Selain itu, ia telah sampai pada kesimpulan bahwa model pembelajaran membaca prosa fiksi dengan pendekatan estetika resepsi lebih efektif meningkatkan hasil dan kualitas proses pembelajaran daripada
model pembelajaran membaca prosa fiksi dengan
17
pendekatan konvensional. Sebagaimana kedua skripsi di atas, disertasi ini juga dapat memberikan referensi pada penulis tentang teori dan metode estetika resepsi eksperimental milik Segers. Terdapat pula penelitian lain yang menggunakan teori estetika resepsi eksperimental, yakni penelitian yang dilakukan oleh Cahyaningrum Dewojati yang berjudul “Pendidikan Karakter dalam Karya Sastra” (2012). Penelitian ini mengkaji internalisasi nilai-nilai dalam cerpen Robohnya Surau Kami, Senyum Karyamin, dan Telepon dari Aceh karya Seno Gumira Adjidarma. Teori yang digunakan adalah teori estetika resepsi eksperimental model Indiana dan Yale. Penelitian ini menggunakan responden para pelajar SMA di Yogyakarta. Tulisan di atas telah menggunakan teori resepsi sastra eksperimental Segers. Namun, objek material yang diteliti sejauh ini hanya sampai pada cerita pendek dan efektivitas model pembelajaran fiksi. Sementara itu, sepengetahuan penulis, penelitian-penelitian mengenai fiksi lintasmedia belum dibicarakan mengingat kemunculannya yang belum lama dan masih terbatas, sejauh ini hanya sebatas tulisan-tulisan esai dalam media massa seperti yang diuraikan di atas. Topik-topik penelitian yang berkaitan mengenai kajian estetika resepsi eksperimental pada fiksi lintasmedia hingga saat ini belum ditemukan.
1.6 Landasan Teori Fiksi, menurut Stanton (2007:21—22), dibagi menjadi dua, yakni fiksi serius dan fiksi populer. Fiksi serius bermaksud menyajikan pengalaman
18
kemanusiaan melalui fakta-fakta, tema-tema, dan sarana-sarana kesastraan. Untuk memahami dan menikmatinya, kadang-kadang harus dilakukan semacam analisis terhadap bagian-bagian tersebut dan relasi-relasinya satu sama lain. Sementara
itu,
fiksi
populer
juga
bermaksud
menyajikan
pengalaman
kemanusiaan. Hanya saja, tidak diperlukan perlakuan-perlakuan khusus atau analisis-analisis untuk memahami fiksi jenis ini. Fiksi lintasmedia dapat digolongkan dalam fiksi populer. Dalam tulisan Damar Junianto (dalam Kompasiana, 18 November 2011) yang berjudul “Keniscayaan Hadirnya Fiksi Lintasmedia”, dipaparkan bahwa fiksi lintasmedia hadir seiring dengan kemajuan zaman dan menetas dari kemajuan teknologi. Terminologi fiksi lintasmedia secara sederhana ia kemukakan sebagai sebuah kisah atau cerita yang disajikan dengan memadukan dua atau lebih medium yang berbeda, misalnya tulisan dengan audio-visual atau tulisan, musik, serta audiovisual sekaligus. Sementara itu, Fahd Djibran dalam tulisannya “Saya, Revolvere Project, dan (Gagasan) Fiksi Lintasmedia” (2010) menyatakan bahwa format fiksi-musikvisual memang bukan hal yang sama sekali baru, tetapi memang masih belum umum.
Alasannya
mengerjakan
karya-karya fiksi-auvi (fiksi-audio-visual,
meminjam istilah lain dari Bambang Trimansyah) karena ia menemukan cara baru menyediakan „pintu‟ dan „jendela‟ yang bisa mengajak penikmatnya memasuki dirinya masing-masing. Musik membantu menyituasikan perasaan, sementara visual (foto, gambar bergerak, citra, warna) membantu daya imajinasi. Djibran beranggapan bahwa jika kedua elemen ini digabung dengan fiksi dalam konsep
19
audio-visual, karya tersebut akan mengajak pembaca menemukan dirinya dalam karya yang bersangkutan secara lebih baik. Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa karya sastra juga erat kaitannya dengan pembaca. Hubungan antara karya dan pembacanya dijelaskan dalam proses komunikasi sastra. Menurut Dieter Janik, ada tiga lapisan komunikasi dalam sastra. Lapisan pertama berkenaan dengan hubungan komunikasi antara pengarang, teks, dan pembaca. Lapisan kedua terdiri atas komunikasi antara narator dan pembaca implisit (implied reader, yang menunjuk pada peran pembaca dalam teks). Adapun lapisan ketiga dalam (sepanjang) tiga poros. Poros horizontal menyajikan tiga jenis penyelidikan semiotik (murni, deskriptif, dan terapan); poros vertikal menyajikan tiga tataran hubungan semiotik (sintaktik, semantik, dan pragmatik); dan poros yang menyajikan tiga kategori sarana terdiri atas hubungan komunikasi timbal balik antarpelaku dan teks (Segers, 2000:15). Resepsi pada dasarnya adalah komunikasi teks dengan pembacanya. Apabila seorang pengarang menulis novel dan pembaca membaca karyanya, pengarang dan pembaca adalah dua kutub proses komunikasi sastra yang sedang berperan. Dalam pembacaan sebuah novel, saluran komunikasi terdiri atas materi buku. Kode yang dipilih pengarang dan diketahui atau sebagian diketahui oleh oleh pembaca memungkinkan pembaca untuk mendecode tanda-tanda tekstual dan mengaitkan makna dengan materi teks. Saluran komunikasi memungkinkan pembaca membaca teks sastra, di sisi lain, kode memungkinkan pembaca menafsirkan teks sastra Sesuai dengan kode yang didefinisikan Miller, kode
20
dalam sastra dapat dirumuskan sebagai suatu sistem tanda-tanda verbal yang dipergunakan untuk menggambarkan atau menyampaikan informasi sastra (Segers, 2000:17--18). Teori resepsi sastra merupakan salah satu pendekatan pragmatis dalam ilmu sastra. Pendekatan pragmatis mempertimbangkan implikasi pembaca melalui berbagai kompetensinya. Dengan mempertimbangkan indikator karya sastra dan pembaca, maka masalah-masalah yang dapat dipecahkan melalui pendekatan pragmatis, diantaranya adalah berbagai tanggapan masyarakat tertentu terhadap sebuah karya sastra, baik sebagai pembaca eksplisit maupun implisit, baik dalam kerangka sinkronis maupun diakronis (Ratna, 2010:72) Selain itu, interpretasi dan evaluasi dalam teks sastra sebagian besar bergantung pada identifikasi dan analisis terhadap konotasi. Informasi yang disampaikan dalam oleh teks sastra sebagai suatu keseluruhan memiliki sifat konotatif sedemikian rupa sehingga menimbulkan penafsiran dan penilaian yang berbeda terhadap suatu teks. Poliinterpretabilitas suatu teks sastra memungkinkan pembaca mempunyai beberapa kode. Penerima kode mempunyai kebebasan untuk menerapkan kodenya sendiri atas kode tekstual yang berbeda, dan mengabaikan kode pengirim informasi. (Segers, 200:21) Dari pandangan mengenai resepsi seperti yang dikemukakan, dapat diketahui bahwa upaya penelitian sastra dari sisi resepsi pembaca dapat dilakukan terhadap sambutan atas karya sastra yang berkembang, sebagaimana yang dapat dilakukan terhadap karya sastra lama. Demikian pula, penelitian dari sisi pembaca
21
ini juga dapat dilakukan terhadap sambutan karya-karya yang sewaktu. Penelitian yang pertama sering disebut dengan penelitian sambutan pembaca historis dan kedua di disebut dengan penelitian sambutan pembaca kotemporer (Segers, 1978: 96--97). Penelitian terhadap pembaca ini juga berhubungan dengan penelitian terhadap khalayak. Menurut Stokes (2006:148), penelitian khalayak menempatkan pengalaman manusia sebagai pusat penelitian. Meneliti khalayak media dan budaya memungkinkan peneliti menyelidiki manfaat-manfaat sosial media. Dengan mencermati bagaimana teks-teks diterima, peneliti akan mampu memahami dampak, efek, dan pengaruh media. Penelitian khalayak juga memungkinkan untuk meneliti apa yang diperoleh orang-orang dari media, yang mereka sukai (dan tidak disukai), serta mengapa. Dalam hal ini, pemahaman tersebut memberikan beberapa pertimbangan untuk penelitian dalam skripsi ini. Penelitian ini meneliti pembaca terhadap sambutan atas karya sastra yang berkembang, yaitu fiksi lintasmedia, fiksi yang berkembang karena kemajuan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji tata nilai sastra masing-masing kelompok responden terhadap teks KyMA yang disajikan tanpa audio visual (eksperimen I) dan pada teks KyMA yang disajikan dengan audio visual (eksperimen II) dengan menggunakan teori estetika resepsi eksperimental yang dikemukakan oleh Segers untuk membuktikan hipotesis bahwa ada perbedaan tata nilai sastra dan faktor pendukung tata nilai sastra antara kelompok pembaca sastra pada eksperimen I dan kelompok pembaca sastra pada eksperimen II terhadap pembacaan fiksi KyMA, selain itu juga membuktikan bahwa faktor
22
dampak memberi sumbangan paling tinggi dalam tata nilai sastra kelompok pembaca fiksi lintasmedia. Penelitian ini menggunakan metode eksperimen. Menurut Nawawi (2007:88), metode eksperimen adalah prosedur penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dua variabel atau lebih dengan mengendalikan pengaruh variabel yang lain. Metode ini dapat dibedakan menjadi dua jenis dari segi tujuannya, yakni eksperimen eksploratif (explorative experimental) dan eksperimen pengembangan (developmental experiment). Eskperimen eksploratif bermaksud mempertajam masalah dan perumusan hipotesis tentang hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih. Eksperimen eksploratif ini biasanya menggunakan binatang atau benda percobaan. Sementara itu, eksperimen pengembangan dilakukan untuk menguji atau membuktikan hipotesis dalam rangka menyusun generalisasi yang berlaku umum (Nawawi, 2007:88). Oleh karena itu, penelitian estetika resepsi eksperimental ini termasuk dalam eksperimen pengembangan. Sasaran studi dalam penelitian ini adalah tata nilai pembaca. Tata nilai pembaca sastra diteliti dengan instrumen metodologi penelitian ilmu sosial. Metode penelitian yang digunakan dipinjam dari psikologi dengan beberapa modifikasi dan menggunakan beberapa prosedur statistik (Segers, 2000:111). Sementara itu, pertimbangan penggunaan ilmu statistika ini, yakni (1) statistik bekerja dengan angka-angka, angka memiliki dua arti, yaitu sebagai jumlah atau frekuensi dan angka yang menunjukkan nilai atau harga yang
23
berkaitan dengan kualitas, (2) statistik bersifat objektif, hal ini menyangkut arti dan penggunaan kenyataan-kenyataan statistik adalah persoalan lain yang berada di luar kompetensi statistik, dan (3) statistik bersifat universal, dapat digunakan pada hampir semua bidang penelitian, baik dalam wilayah eksakta maupun sosial (Hadi, 1982:222). Dalam penelitian estetika resepsi eksperimental, terdapat beberapa permasalahan yang harus diselesaikan untuk memperoleh gambaran mengenai tata nilai pembaca, yaitu perbedaan penilaian secara keseluruhan, tingkat kesamaan dan hubungan antara kriteria penilaian dengan keseluruhan penilaian, faktor analisis atau pengelompokan, dan korelasi antara macam-macam perangkat kriteria dengan evaluasi keseluruhan terhadap cerpen (Segers, 2000:112). Untuk menjawab permasalahan pertama, akan dibandingkan cerita dengan sangat sederhana, yaitu dengan merata-rata (mean) nilai keseluruhan yang diberikan oleh semua responden dalam kelompok tertentu. Nilai ini tidak memberitahukan apapun tentang bagaimana responden sampai pada penilaiannya, tetapi memberi ukuran global tentang reaksi-reaksi evaluatif dan nilai yang sebenarnya yang diberikan oleh responden kepada beberapa cerpen yang menjadi objek (Segers, 2000:112). Untuk jawaban permasalahan kedua, indeks bernomor akan digunakan dan akan disebut koefisien korelasi (r). Hal ini digunakan untuk mengukur tingkat kesamaan dari dua belas kriteria pada saat dipakai oleh para penilai, dan hubungan antara 12 kriteria dengan keseluruhan evaluasi. Semakin tinggi koefisiennya,
24
semakin dekat hubungan antara kedua perangkat nilai itu ketika hubungan itu diterapkan. Dengan kata lain, semakin tinggi korelasi, semakin baik orang dapat menduga nilai sebuah cerita dengan satu variabel dengan nilainya pada variabel lain (Segers, 2000:112-113). Permasalahan ketiga dapat ditunjukkan dengan menggunakan prosedur yang disebut factor analysis. Faktor analisis adalah prosedur yang dirancang untuk mengidentifikasi jumlah dan sifat dimensi yang menjadi dasar pengukuran ganda. Faktor analisis adalah suatu konstruksi, suatu kesatuan hipotesis yang diperkirakan mendasari tes-tes dan perfomansi tes. Terdapat tiga langkah faktor analisis, yaitu persiapan matriks korelasi, meringkas faktor-faktor penting; penyelidikan pengurangan data, dan rotasi kea rah pemecahan terakhir; pencarian faktor-faktor sederhana dan dapat diinterpretasi. Berapa banyak faktor yang diringkas bergantung pada keputusan peneliti. Dalam banyak hal, ini adalah prosedur trial and error untuk menemukan sejumlah faktor yang memadai (Segers, 2000:113). Sementara itu, permasalahan keempat dapat dijawab dengan menguji korelasi antara faktor-faktor yang muncul dalam faktor analisis dengan evaluasi keseluruhan atas semua cerita digabung dan masing-masing cerita secara terpisah. Skor total pada semua variabel yang paling representative dari semua faktor khusus, dihitung untuk masing-masing penilaian person terhadap cerpen tertentu. Skor total ini dibandingkan dengan nilai yang diberikan seseorang dalam evaluasinya terhadap sebuah cerita secara keseluruhan. Jika korelasinya tinggi
25
menyarankan bahwa faktor-faktor yang muncul benar-benar membentuk dimensidimensi yang menentukan evaluasi keseluruhan. Jika korelasinya rendah mungkin menandakan bahwa yang terakhir itu bukan merupakan masalah, jelas bahwa ada serangkaian
kemungkinan
di
dalamnya
(Segers,
2000:114).
Keempat
permasalahan yang akan dipecahkan di atas adalah untuk memperoleh gambaran tata nilai pembaca sastra dalam penelitian ini.
1.7 Metode Penelitian Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode estetika resepsi eksperimental seperti yang dikembangkan oleh Segers. Kajian ini hanya mengenai value judgment yang berlandaskan pada satu kriteria atau lebih yang relevan dengan studi sastra (Segers, 2000:101). Value judgment pembaca diteliti dengan instrumen metodologi penelitian ilmu sosial. Salah satu tujuan studi ini ialah menemukan seberapa jauh penelitian semacam itu dapat membantu studi sastra umumnya dan studi penelitian sastra khususnya (Segers, 2000:102). Metode penelitian yang digunakan dipinjam dari psikologi dengan beberapa modifikasi dan menggunakan beberapa prosedur statistik (2000:101). Penelitian ini mengkaji pendapat responden dalam penilaian karya sastra. Dalam hal ini responden berkedudukan sebagai informed reader, ‟pembaca yang diberi informasi‟. Informed reader dibatasi dengan tiga karakteristik, yaitu (1) pewira kompeten terhadap bahasa yang dipakai dalam teks, (2) memiliki pengetahuan semantik yang penuh, pendengar dewasa yang dapat memahami
26
tugasnya; ini termasuk pengetahuan (misalnya pengalaman menciptakan dan atau memahami) atau perangkat leksikal, kemungkinan kolokasi, idiom, dialek profesional, dan lain-lain, dan (3) memiliki kompetensi sastra (Fish, 1972:406). Beberapa kriteria di atas akan merujuk pada kriteria yang termasuk dalam populasi. Responden yang dipilih adalah responden yang berlatar belakang pendidikan
akademik
Jurusan
Sastra
Indonesia.
Penelitian
ini
tidak
mengelompokkan responden berdasarkan latar belakangnya, tetapi berdasarkan perlakuan dalam eksperimen. Perlakuan pertama adalah membaca fiksi hanya dalam format teks (tanpa audio-visual). Sementara itu, perlakuan kedua adalah membaca cerpen dalam bentuk fiksi lintasmedia (dengan audio-visual). Kedua kelompok tersebut diminta untuk memberikan pendapat terhadap karya fiksi lintasmedia KyMA. Untuk menjaring pendapat dari kedua kelompok tersebut, peneliti menggunakan
kuesioner.
Kuesioner
dalam
penelitian
ini
seluruhnya
menggunakan kuesioner yang telah digunakan oleh Segers terhadap mahasiswa Universitas Yale di Amerika pada tahun 1974 sampai dengan 1975. Kuesioner tersebut menggunakan teknik skala kuesioner bedaan semantik yang nantinya masing-masing responden menilai sebuah fiksi lintasmedia dengan mengisi kuesioner tersebut. Berdasarkan jawaban pada kuesioner tersebut akan diketahui penilaian masing-masing kelompok terhadap karya tersebut. Penilaian dalam kuesioner tersebut diwujudkan dengan angka-angka. Angka-angka tersebut diwujudkan berdasarkan jawaban yang dipilih oleh masing-masing responden sehingga dapat memudahkan pengolahan dan analisis.
27
Sementara itu, oleh karena penelitian ini bersifat eksperimental, yakni eksperimen pengembangan, dibutuhkan uraian mengenai variabel-variabel yang tepat. Menurut Bungin (2005:59-60), variabel atau ubahan berarti faktor tak tetap atau berubah-ubah atau bervariasi. Dengan demikian, variabel adalah fenomena yang bervariasi dalam bentuk, kualitas, mutu standar, dan sebagainya yang penjelasannya amat sangat bervariasi sebagaimana bervariasinya variabel itu sendiri. Singkatnya, menurut Hadi (1982:437) segala sesuatu yang akan menjadi objek pengamatan dalam penelitian itu disebut sebagai variabel atau ubahan. Ada
dua
variabel
dalam
penelitian
ini
yang
digunakan
untuk
pengelompokan data, diantaranya variabel bebas dan terikat. Menurut Hadi (1982:437), variabel bebas merupakan variabel yang efeknya dinilai dari kriteriakriteria dan variabel terikat merupakan variabel perilaku sebagai kriteria dari mana efek perlakuan hendak dinilai. Sementara itu, variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini dijelaskan berikut ini. 1.7.1
Variabel bebas, yakni karya fiksi lintasmedia KyMA dan dua kelompok responden.
1.7.2
Variabel terikat, yakni kemampuan responden dalam memahami fiksi lintasmedia KyMA yang diwujudkan melalui 17 kriteria dalam kuesioner bedaan semantik. Jadi, penelitian ini akan membahas pendapat dari dua kelompok responden,
yakni kelompok pembaca fiksi tanpa audio-visual dan kelompok pembaca fiksi dengan audio-visual dalam memahami fiksi lintasmedia KyMA yang diwujudkan
28
melalui tata nilai masing-masing kelompok melalui kuesioner bedaan semantik sebagai data yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan 17 pertanyaan yang seluruhnya diambil dari kuesioner penelitian Segers yang berjumlah 20 pertanyaan, artinya dalam penelitian ini menghilangkan 3 pertanyaan karena dianggap kurang relevan. Seluruhnya merupakan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Segers terhadap mahasiswa Universitas Yale di Amerika pada tahun 1974 sampai dengan 1975. Keduapuluh pertanyaan tersebut lahir dari tiga faktor yang berkaitan erat dengan kriteria pembaca terhadap sebuah cerita pendek. Menurut Segers (2000:158), ketiga faktor yang dimaksud adalah faktor kebaruan, dampak, dan bentukan. Keduapuluh
pertanyaan dalam kuesioner tersebut merupakan
perwujudan dari tiga faktor tersebut yang terdapat kriteria-kriteria sastra di dalamnya. Kriteria-kriteria tersebut, meliputi tema, universalitas, bahasa, plot, orisinalitas (keaslian), keterlibatan, teknik narasi, karakterisasi, tempo, kerumitan, dapat dipahami, struktur, masuk akal, khayalan (imaji), isi, aspek mengikat, ironis, suka cita, bentuk, dan minat. Namun, dalam penelitian ini hanya digunakan 17 kriteria, 3 kriteria yang lain sengaja tidak dipakai karena kurang tepat dalam kasus penelitian ini. Poin khayalan (imaji), kerumitan, dan ironis adalah tiga poin yang sengaja dihilangkan dalam kuesioner penelitian ini. Beberapa aspek di atas dicari dengan menggunakan alat, yakni kuesioner dengan teknik skala bedaan semantik. Teknik ini menggunakan tujuh nilai ruang, sebagai contoh berikut ini.
29
Sangat buruk
Buruk
Agak buruk
Cukup
Agak baik
Baik
Sangat baik
1
2
3
4
5
6
7
Sangat tidak setuju
Tidak setuju
Agak setuju
Cukup setuju
setuju
sangat setuju
Sangat amat setuju (sempurna)
1
2
3
4
5
6
7
Bergerak dari kiri ke kanan, simbol di atas dapat dibaca: sangat buruk, buruk, agak buruk, cukup, agak baik, baik, sangat baik. Selain itu, juga bisa dibaca sangat tidak setuju, tidak setuju, agak setuju, cukup setuju, setuju, sangat setuju, sangat amat setuju (sempurna). Dari kiri ke kanan jawaban tersebut mempunyai nilai mulai 1 (satu) sampai dengan 7 (tujuh). Dalam penerapannya, responden diminta untuk membuat keputusan yang paling tepat sesuai dengan penilaiannya masingmasing dengan memberikan tanda yang sesuai. Nilai yang dihasilkan pada setiap butir pasangan kata bedaan semantik berjarak satu sampai tujuh sehingga makin tinggi nilainya makin dekat korelasinya, demikian pula sebaliknya. Sementara itu, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan hipotesis. Hipotesis I dan II dibuktikan dengan melakukan analisis uji t atau uji perbedaan, sedangkan hipotesis III dibuktikan dengan melakukan analisis regresi. Yang dimaksud dengan uji perbedaan atau uji t adalah sebuah pengujian yang bertujuan untuk melihat apakah sebuah sampel mempunyai perbedaan yang nyata dengan sampel yang lain (Tim BPS, 2009:35). Pada penelitian ini, digunakan analisis uji t dua sampel. Uji t dua sampel akan membandingkan rata-rata dari dua kelompok
30
yang tidak berhubungan satu dengan yang lain, dengan tujuan apakah kedua kelompok tersebut mempunyai rata-rata yang sama ataukah tidak secara signifikan (Tim BPS, 2009:37). Sementara itu, analisis regresi dilakukan dengan tujuan mencari seberapa besar pengaruh sebuah variabel terhadap variabel yang lain (Tim BPS, 2009:50). Untuk memudahkan, langkah-langkah kerja penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama, menyiapkan rancangan instrumen (Segers, 2000:110). Selanjutnya, hasil kuesioner yang telah diisi oleh responden ditabulasikan untuk diukur, kemudian dianalisis apakah ada korelasi antara faktor-faktor dan evaluasi keseluruhan. Dalam penelitian ini, dilakukan dua perlakuan yang berbeda. Perlakuan pertama adalah membaca fiksi hanya dalam format teks (tanpa audiovisual). Sementara itu, perlakuan kedua adalah membaca cerpen dalam bentuk fiksi lintasmedia (dengan audio-visual). Kedua kelompok tersebut diminta untuk memberikan pendapat terhadap karya fiksi lintasmedia KyMA. Langkah-langkah penelitian akan dipaparkan lebih rinci pada poin-poin berikut ini. 1. Menentukan bahan atau materi yang digunakan dalam penelitian. 2. Menentukan populasi, sampel, dan data. 3. Menentukan responden. Responden diambil dari mahasiswa tingkat akhir Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM yang dirasa telah mendapatkan keilmuan yang cukup dalam hal kritik sastra. 4. Melakukan studi pustaka.
31
5. Menyusun kuesioner. Dalam hal ini, kuesioner yang dipakai diadaptasi dari penelitian terdahulu, yakni penelitian yang dilakukan oleh Segers dengan topik yang sama. 6. Mengambil data dengan pengisian kuesioner oleh responden. 7. Tabulasi data hasil pengisian kuesioner oleh responden dengan menggunakan metode Segers. 8. Mengidentifikasi perbedaan penilaian secara keseluruhan yang diberikan oleh masing-masing kelompok responden terhadap karya. 9. Mengidentifikasi tingkat kesamaan dan hubungan antara kriteria penilaian dengan keseluruhan penilaian terhadap karya. 10. Mencari faktor analisis, mengelompokkan kriteria-kriteria menjadi perangkat atau item-item yang saling berhubungan. 11. Menganalisis korelasi antara macam-macam perangkat kriteria dengan evaluasi keseluruhan. 12. Mengkaji hipotesis. 13. Menarik kesimpulan.
1.8 Populasi, Sampel, dan Data Berdasarkan kedudukan responden sebagai informed reader, populasi pada penelitian ini adalah para kritikus sastra yang memiliki kriteria, yaitu (1) kompeten dalam menggunakan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tulis, (2) memiliki pengetahuan seputar karya sastra, (3) memiliki kompetensi dalam kritik sastra, (4) merupakan digital natives, dan (5) merupakan mahasiswa tingkat
32
akhir Jurusan Sastra Indonesia yang dipastikan memiliki pengetahuan tentang sastra dan memiliki kompetensi dalam kritik sastra. Berdasarkan populasi tersebut, diambil 60 mahasiswa sebagai sampel. Masing-masing tiga puluh responden diberi dua perlakuan yang berbeda. Perlakuan untuk 30 responden pertama adalah responden dikondisikan membaca fiksi hanya dalam format teks (tanpa audio-visual), sedangkan perlakuan untuk 30 responden lainnya adalah responden dikondisikan membaca cerpen dalam bentuk fiksi lintasmedia (dengan audio-visual). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan teknik purposive random sampling, yaitu pemilihan secara acak dari sekelompok subjek yang didasarkan pada ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya; dan setiap individu dalam populasi diberi kesempatan yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel (Hadi, 1993: 74-78).
1.9 Sistematika Penyajian Laporan ini disajikan dalam tiga bab. Pembagian pembahasan pada tiap-tiap bab tersebut adalah sebagai berikut. Bab I berupa pendahuluan yang mencakup latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, hipotesis, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
33
Bab II berisi pemaparan hasil laporan penelitian berdasarkan kedua eksperimen dan analisis tata nilai sastra masing-masing kelompok responden terhadap teks KyMA yang disajikan tanpa audio visual (eksperimen I) dan pada teks KyMA yang disajikan dengan audio visual (eksperimen II). Bab III berisi kesimpulan dan saran.