1
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk paling mulia dan utama dalam ciptaan Allah, dengan dua karunia terbesar yang berupa akal dan perasaan. Akal memungkinkan manusia menggunakan segala kemampuan jiwa untuk menemukan jalan yang benar, sedangkan perasaan akan menciptakan dalam diri manusia tersebut sebuah keberanian yang gigih dan dorongan yang tak kunjung henti untuk mencintai jalan yang benar ini. Paduan yang tepat dari kedua sifat inilah yang akan memungkinkan manusia untuk dapat hidup dengan sempurna.1 Yakni pencapaian atas kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Dua karunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah untuk menjalankan beban dan tanggungjawabnya. Keduanya akan mengantarkan manusia untuk mencapai kedudukan khalifah. Manusia sebagai khalifah dapat menggunakan karunia tersebut dan potensi lainnya untuk memelihara alam, karena khalifah adalah yang diamanahkan untuk membangun dan memelihara alam, bukan sebagai pemilik yang sebenarnya. Dan sebagai khalifah, manusia harus menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, bukan membuat jalan sendiri dan tidak menentang
1
Hakim Abdul Hameed, Aspek-Aspek Pokok Agama Islam, Terj. M. Ruslan Shiddieq (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), 35-36.
1
2
peraturan-peraturan yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.2 Dari sini jelaslah bahwa manusia membutuhkan pendidikan dan bimbingan serta petunjuk yang benar yang bernilai mutlak untuk menjalankan beban dan tanggungjawabnya serta demi kebahagiaan dunia dan akhirat. Pendidikan diakui sebagai suatu usaha untuk menumbuhkan serta mengembangkan potensi peserta didik ke arah yang positif. Pendidikan bukan semata-mata mengembangkan ranah kognitif, tetapi harus pula mengembangkan ranah psikomotorik dan afektif. Noeng Muhadjir dalam bukunya Kamrani Buseri menjelaskan bahwa, pendidikan meliputi aktivitas interaktif antara pendidik dan subyek didik (peserta didik) untuk mencapai tujuan baik dengan cara dan dalam konteks positif. Artinya suatu program pendidikan harus mengimplisitkan nilai di dalamnya.3 Nilai adalah konsep, sikap dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang dipandang berharga olehnya.4 Menurut Louis E. Raths, Merrill Harmin dan Sidney B. Simon dalam bukunya Kamrani Buseri, sifat-sifat negatif akan timbul dalam diri seseorang jika ia tidak memiliki sistem nilai yang terintegrasi dalam kehidupannya.5 Oleh karena itulah dalam proses pendidikan bukan hanya materi yang berhubungan dengan perkembangan kognitif saja yang dibutuhkan oleh peserta didik, tetapi nilai-nilai edukatif (pendidikan) juga perlu diberikan,
2
Dr. Irwan Prayitno, “Potensi Manusia”, http://www.pro-ibid.com/content/view/44/2/. diakses Senin, 18 Mei 2009, 14.00 WIB. 3 Kamrani Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2004), 1. 4 Ibid., 15. 5 Ibid., xiv.
3
sebab pendidikan nilai akan sangat membantu peserta didik untuk dapat memiliki
jatidiri
yang
tahan
terhadap
berbagai
tantangan
dalam
kehidupannya dan untuk dapat hidup layak di dalam masyarakat, serta yang terpenting adalah dalam hubungannya dengan Allah SWT. Dalam dunia pendidikan, nilai-nilai akan efektif apabila melalui contoh-contoh dan dalam lingkungan yang sesuai dengan nilai yang diajarkan.6 Begitu pula nilai edukatif, maka harus diberikan melalui praktekpraktek/ perwujudan dari peserta didik daripada pemberian informasi mengenai nilai-nilai itu, sebab nilai-nilai akan mereka pahami secara mendalam dengan cara perwujudan, dan salah satunya adalah melalui ibadah ritual, karena pada dasarnya ibadah ritual akan menanamkan dan mengembangkan kesadaran hidup tertib dan kepatuhan bertata-tertib dalam segala hal.7 Ibadah ritual tersebut salah satunya adalah shalat. Shalat adalah suatu kegiatan fisik dan mental-spiritual yang memberikan makna baik bagi hubungan dengan Allah, dengan sesama manusia, dan hubungan dengan diri sendiri.8 Sedangkan shalat itu sendiri dalam pelaksanaannya sangat dianjurkan dengan berjama’ah, karena dalam shalat berjama’ah terkandung hikmah yang besar, yakni hikmah keutamaan serta nikmat iman yang kelak diberikan Allah SWT.9 Selain itu, shalat berjama’ah juga mendidik manusia untuk menumbuhkan solidaritas sosial
6
Ibid., xiii. Ali Yafie, Teologi Sosial; Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan (Yogyakarta: LKPSM, 1997), 164. 8 Sentot Haryanto, Psikologi Shalat, cet. IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), xix. 9 ’Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah di Balik Hukum Islam, Jilid 1, Terj. Syarif Hade Masyah dan Heri Purnomo (Jakarta: Mustaqim, 2002), 217. 7
4
yang kuat, ajaran persamaan antar manusia, kedisiplinan (keteraturan), perdamaian dan persaudaraan, sama-sama menyatakan diri sebagai hamba Allah yang bersaudara tak ada permusuhan, satu tujuan (visi) bersama mengabdi kepada Allah SWT.10 Akan tetapi, dalam kenyataannya tidak sedikit orang dalam melakukan sesuatu masih memerlukan waktu yang lama untuk dapat meresapi, memahami, menghayati dan kemudian menjalankannya. Orang sering kali dalam melakukan sesuatu masih harus mencari rasional tentang kegunaan atau manfaat dari apa yang dilakukannya,11 begitu juga dalam melakukan shalat berjama’ah. Maka agar peserta didik dapat memahami dan menyadari tentang pentingnya shalat berjama’ah beserta nilai edukatif yang dikandungnya, dibutuhkan lembaga pendidikan yang mendasarkan sistem pendidikannya pada konsep keimanan, karena lembaga pendidikan semacam ini dalam prosesnya akan selalu bersumber pada kesempurnaan ilahi sehingga sifat pendidikannya pun sempurna, sangat selaras dengan fitrah kemanusiaan, sangat kaya dengan hasil yang memuaskan dan berkualitas baik lahir maupun batin, sebab tidak bertentangan dengan fitrah manusia serta tidak menghalangi penyaluran potensi manusia, lebih memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya, menjawab
10
Nasruddin Razak, Dienul Islam, cet. IV (Bandung: Al-Ma’arif , 1981), 184-185. Imam Suprayogo, “Mentradisikan Sholat Berjama'ah di Kampus”, Artikel, (Online), http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=415:14-08-2008& catid=25:artikel -rektor, diakses Senin, 18 Mei 2009, 14.30 WIB. 11
5
pertanyaan, dan mendorong mereka agar dapat berfikir kritis serta tidak terbelenggu oleh pemikiran atau temuan yang bersifat relatif.12 Selain itu, lembaga ini juga akan berusaha untuk mewujudkan kesadaran, amanah dan sikap tanggung jawab peserta didik, mewujudkan sikap telaten dan sabar serta menumbuhkan sikap solidaritas baik kepada sesama manusia maupun terhadap alam sekitar.13 Sesuai dengan penjajagan awal di lapangan, diketahui bahwa PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan merupakan salah satu lembaga pendidikan yang mendasarkan sistem pendidikannya terhadap konsep keimanan. Hal ini terlihat dari adanya kegiatan shalat berjama’ah lima waktu di masjid yang berkaitan erat dengan aktualisasi dari nilai edukatif yang telah menjadi rutinitas sehari-hari, bahkan diwajibkan bagi seluruh santri, termasuk santri putri PPTQ Al-Hasan. Selain itu juga diikuti oleh pengasuh pondok serta masyarakat sekitar.14 Tentu saja hal ini tidak lepas dari adanya hikmah besar yang terkandung di dalam shalat berjama’ah tersebut. Selain itu juga berkaitan dengan tujuan pendidikan pesantren, untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual, keimanan dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bermoral, dan menyiapkan para peserta didik untuk hidup sederhana dan
12
Abdurrahman Al-Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 132-133. 13 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003),159. 14 Hasil observasi dan wawancara dengan saudari Khoirul Ummatin (santri putri PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Ponorogo) tanggal 5 Pebruari 2009, pukul 10.15-10.45 WIB di kantor pondok putri Al-Hasan.
6
bersih hati, juga untuk menanamkan pemahaman bahwa belajar adalah semata-mata untuk kewajiban dan pengabdian kepada Allah SWT.15 Berpijak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul AKTUALISASI NILAI EDUKATIF MELALUI
KEGIATAN
SHALAT
BERJAMA’AH
DI
PONDOK
PESANTREN TAHFIDZ AL-QUR’AN (PPTQ) AL-HASAN PATIHAN WETAN BABADAN PONOROGO.
B.
Fokus Penelitian Fokus penelitian ini adalah cara mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan, wujud aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan serta faktor pendukung dan penghambat dalam aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo.
C.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian di atas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana cara mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo? 15
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai (Jakarta: LP3ES, 1983), 20-21.
7
2. Bagaimana wujud aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan onorogo? 3. Apa faktor pendukung dan penghambat dalam aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo?
D.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah dan fokus penelitian, maka Tujuan Penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan: 1. Cara mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo. 2. Wujud aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo. 3. Faktor pendukung dan penghambat dalam aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo.
E.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Dari hasil penelitian ini secara teoritik akan: a. Ditemukan pola aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan.
8
b. Menambah khazanah keilmuan, baik bagi peneliti maupun bagi pihak-pihak yang berkepentingan. c. Sebagai sumbangan pemikiran bagi pengasuh dan pengurus PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Ponorogo. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini akan bermanfaat untuk: a. Mengetahui permasalahan yang dihadapi oleh pengasuh dan pengurus PPTQ Al-Hasan, khususnya yang berkaitan dengan aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah. b. Sebagai masukan bagi pengasuh dan pengurus PPTQ Al-Hasan dalam menentukan kebijakan lebih lanjut tentang shalat berjama’ah.
F.
Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam penelitian ini digunakan metodologi penelitian dengan pendekatan kualitatif, yang memiliki karaktristik alami (natural setting) sebagai sumber data langsung, deskriptif, proses lebih dipentingkan daripada hasil, analisis dalam penelitian kualitatif cenderung dilakukan secara analisis induktif, dan makna merupakan hal yang esensial.16 Ada 6 (enam) macam metodologi penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu etnografis, studi kasus, grounded theory, interaktif, partisipatoris, penelitian tindakan atau penelitian kelas. 16
Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat dialami. Lihat dalam Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2000), 3.
9
Dan dalam hal ini penelitian yang digunakan adalah studi kasus, yaitu suatu deskripsi intensif dan analisis fenomena tertentu atau satuan sosial, seperti individu, kelompok, institusi, atau masyarakat.17 2. Kehadiran Peneliti Ciri khas penelitian kualitatif tidak dapat dipisahkan dari pengamatan berperan serta, sebab peranan penelitilah yang menentukan seluruh skenarionya.18 Untuk itu dalam penelitian ini peneliti bertindak sebagai instrument kunci, partisipan penuh sekaligus pengumpul data, sedangkan instrumen yang lain hanya sebagai penunjang. 3. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Hasan Jln. Parang Menang No. 32 Patihan Wetan Babadan Ponorogo. Pengambilan lokasi ini didasarkan pada beberapa pertimbangan: a. PPTQ Al-Hasan merupakan pondok pesantren dengan jumlah santri yang tidak sedikit, yang tentunya memiliki latar belakang yang berbeda-beda, baik dari segi pendidikan, keluarga
maupun
lingkungan tempat tinggal di daerah asalnya, dan hal ini pastilah sangat berpengaruh pada pribadi dan tingkat keimanan masingmasing santri. b. Adanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang rutin dilaksanakan, seperti istighosah, shalat berjama’ah, dan lain-lain. 17
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), 2. Pengamatan berperan serta adalah sebagai penelitian yang bercirikan interaksi social yang memakan waktu yang cukup lama antara peneliti dengan subyek dalam lingkungan subyek. Dan selama itu data dalam bentuk catatan dikumpulkan secara sistematis dan catatan tersebut berlaku tanpa gangguan. Lihat dalam Moleong, Metodologi Penelitian, 117. 18
10
c. Adanya sebagian besar santri yang juga menempuh pendidikan formal di luar lingkungan pondok, yang memungkinkan mereka berinteraksi dengan dunia luar. d.
Hubungan yang dekat antara pengasuh dan pengurus pondok dengan para santri, sehingga menumbuhkan ikatan yang kuat diantara mereka. Ini merupakan nilai lebih yang belum tentu dimiliki oleh pesantren-pesantren yang lain. Dan hal ini akan sangat membantu dalam proses penanaman nilai edukatif dalam diri para santri.
e. Selain beberapa pertimbangan diatas, dengan penelitian ini juga diharapkan dapat menemukan hal yang bermakna dan baru. 4. Sumber Data Sumber data utama dalam penelitian ini adalah kata-kata sebagai hasil dari wawancara mendalam dengan beberapa pengurus dan santri putri terkait aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan dan tindakan sebagai hasil dari observasi partisipan yang dilakukan peneliti yang dalam hal ini adalah berupa aktifitas sehari-hari santri putri PPTQ Al-Hasan, terutama yang berkaitan dengan aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan, sedangkan selebihnya adalah tambahan, seperti dokumen, foto dan lainnya. Dengan demikian sumber data dalam penelitian ini adalah katakata dan tindakan sebagai sumber data utama, sedangkan sumber data
11
tertulis, foto, catatan dan rekaman adalah sebagai sumber data tambahan.19 5. Prosedur Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah meliputi wawancara, observasi, dan dokumentasi. Sebab bagi peneliti kualitatif fenomena dapat dimengerti maknanya secara baik, apabila dilakukan interaksi dengan subyek melalui wawancara mendalam dan diobservasi pada latar, dimana fenomena tersebut berlangsung dan di samping itu untuk melengkapi data diperlukan dokumentasi (tentang bahan-bahan yang ditulis oleh atau tentang subjek). a. Teknik wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Maksud
penggunaan
wawancara
antara
lain
adalah
(a) mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, perasaan,
motivasi,
tuntutan,
kepedulian
dan
lain-lain,
(b) merekonstruksi kebulatan-kebulatan demikian sebagai yang dialami pada masa lalu, (c) memproyeksikan kebulatan-kebulatan sebagai yang telah diharapkan untuk dialami pada masa yang akan datang, (d) memverifikasi, mengubah dan memperluas informasi yang diperoleh dari orang lain baik manusia maupun bukan manusia,
19
Lonfland, Analyzing Social Setting, A. Guide to Qualitative Observation and Analysis (Belmont, Cal: Wadsworth Publishing Company, 1984), 47. Lihat dalam Moleong, Metodologi Penelitian, 117.
12
dan (e) memverifikasi, mengubah dan memperluas konstruksi yang dikembangkan oleh peneliti sebagai pengecekan anggota.20 Dalam penelitian ini teknik wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam, artinya peneliti mengajukan beberapa pertanyaan secara mendalam yang berhubungan dengan fokus permasalahan, sehingga data-data yang dibutuhkan dalam penelitian dapat terkumpulkan semaksimal mungkin. Dan kemudian hasil wawancara dicatat dalam bentuk transkrip wawancara. Sedangkan
untuk subjek,
peneliti menggunakan teknik
purposive sampling yaitu pengambilan sampel bertujuan, sehingga memenuhi kepentingan peneliti.21 Dan dalam penelitian ini orangorang yang diwawancarai adalah enam orang pengurus putri, yang terdiri dari ketua pondok putri, koordinator seksi pendidikan putri, dua orang seksi keamanan putri, seksi kesehatan, dan mantan ketua pondok putri, serta empat orang santri yang terdiri dari dua orang santri baru, santri lama dan sesepuh pondok putri PPTQ Al-Hasan. Hasil wawancara dari masing-masing informan tersebut ditulis lengkap dengan kode-kode dalam transkip wawancara. b. Teknik observasi Dalam penelitian kualitatif observasi diklasifikasikan menurut tiga cara. Pertama, pengamat dapat bertindak sebagai seorang partisipan atau non partisipan. Kedua, observasi dapat dilakukan 20 21
Moleong, Metodologi Penelitian, 135. Ibid., 136.
13
secara terus terang atau penyamaran. Ketiga, observasi yang menyangkut latar penelitian. Dan dalam penelitian ini digunakan teknik observasi yang pertama, dimana pengamat bertindak sebagai partisipan. Pada observasi partisipan ini, peneliti mengamati aktivitas sehari-hari objek penelitian yang terdiri dari aktifitas yang dilakukan oleh pengasuh, pengurus, santri putri PPTQ Al-Hasan dan sekilas masyarakat sekitar PPTQ Al-Hasan, terutama yang berkaitan dengan aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kelancaran kegiatan shalat berjama’ah. Kemudian selain itu karakteristik fisik, yakni tentang letak geografis PPTQ Al-Hasan, situasi sosial, dan perasaan pada waktu menjadi bagian dari situasi itu. Selama peneliti di lapangan, jenis observasinya tidak tetap. Dalam hal ini peneliti mulai dari observasi deskriptif (deskriptive observations) secara luas, yaitu berusaha melukiskan secara umum situasi social dan apa yang terjadi di sana. Kemudian setelah perekaman serta analisis data pertama, peneliti menyempitkan pengumpulan datanya dan mulai melakukan observasi terfokus (focused observations). Dan akhirnya, setelah dilakukan lebih banyak lagi analisis dan observasi yang berulang-ulang di lapangan, peneliti dapat menyempitkan lagi penelitiannya dengan melakukan observasi selektif (selective observations). Sekalipun demikian,
14
peneliti masih terus melakukan observasi deskriptif sampai akhir pengumpulan data. Hasil observasi dalam penelitian ini dicatat dalam catatan lapangan (CL), sebab catatan lapangan merupakan alat yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Dalam penelitian kualitatif, peneliti
mengadakan
pengamatan
dan
wawancara
dalam
pengumpulan data di lapangan. Pada waktu di lapangan dia membuat catatan lapangan setelah pulang ke rumah atau tempat tinggal barulah menyusun catatan lapangan.22 Dalam penelitian ini catatan lapangan bersifat deskriptif, yakni bahwa catatan lapangan ini berisi gambaran tentang latar pengamatan, orang, tindakan, dan pembicaraan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan fokus penelitian. Dan bagian deskriptif tersebut berisi beberapa hal, diantaranya adalah gambaran diri fisik, rekonstruksi dialog, deskripsi latar fisik, catatan tentang peristiwa khusus, gambaran kegiatan dan perilaku pengamat.23 Format rekaman hasil observasi (pengamatan) catatan lapangan dalam penelitian ini menggunakan format rekaman hasil observasi. c. Teknik dokumentasi Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data dari sumber non insani, sumber ini terdiri dari dokumen dan rekaman. “Rekaman” sebagai setiap tulisan atau pernyataan yang dipersiapkan 22 23
Ibid.,153-154. Ibid., 156.
15
oleh
atau
untuk
individual atau organisasi dengan
tujuan
membuktikan adanya suatu peristiwa atau memenuhi accounting. Sedangkan “Dokumen” digunakan untuk mengacu atau bukan selain rekaman, yaitu tidak diersiapkan secara khusus untuk tujuan tertentu, seperti surat-surat, buku harian, catatan khusus, foto-foto dan sebagainya.24 Teknik dokumentasi ini sengaja digunakan dalam penelitian ini, mengingat sumber ini selalu tersedia dan murah, terutama ditinjau dari konsumsi waktu, rekaman dan dokumen merupakan sumber
informasi
yang
stabil,
baik
keakuratannya
dalam
merefleksikan situasi yang terjadi di masa lampau, maupun masa sekarang dan dapat dianalisis kembali tanpa menglami perubahan. Sumber ini sering merupakan pernyataan yang legal yang dapat memenuhi akuntabilitas. Dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari teknik dokumentsi antara lain adalah kegiatan shalat berjama’ah, sejarah singkat berdiri, visi, misi dan tujuan, struktur kepengurusan, sarana prasarana, program kegiatan santri putri, absensi shalat berjama’ah lima waktu dan data jumlah santri putri PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo. Hasil pengumpulan data melalui cara dokumentasi ini dicatat dalam format transkip dokumentasi.
24
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1998), 229-236.
16
6. Analisis Data Teknik analisis data dalam kasus ini menggunakan analisis data kualitatif. Miles & Huberman, mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas dan datanya sampai jenuh. Langkah-langkah analisis ditunjukkan pada gambar berikut:25 Pengumpulan data
Penyajian Data
Reduksi Data Kesimpulan-kesimpulan: Penarikan/ verivikasi
a. Data reduction Mereduksi data dalam konteks penelitian yang dimaksud adalah merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, membuat kategori. Dengan demikian data yang telah direduksikan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah
peneliti untuk
melakukan
pengumpulan
data
selanjutnya.
25
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis Data Kualitatif, Terj. Tjetjep Rohini (Jakarta: UI-Press, 1992), 16-17.
17
b.
Data display Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan data atau menyajikan data ke dalam pola yang dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, grafik, matrik, network, dan chart. Bila pola-pola yang ditemukan telah didukung oleh data selama penelitian, maka pola tersebut sudah menjadi pola yang baku yang selanjutnya akan didisplaykan pada laporan akhir penelitian
c. Conclusion Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif dalam penelitian ini adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi. Selanjutnya disesuaikan
dengan
menurut tahapan
Spradley,
teknik
analisis
data
dalam
penelitian.
Pada
tahap
penjelajahan dengan teknik pengumpulan data grand tour question, analisis data dilakukan dengan analisis domain. Pada tahap menentukan fokus analisis data dilakukan dengan analisis taksonomi. Pada tahap selection, analisis data dilakukan dengan analisis komponensial. Selanjutnya untuk sampai menghasilkan judul dilakukan dengan analisa tema. 7. Pengecekan Keabsahan Temuan Keabsahan data merupakan konsep penting yang diperbaharui dari konsep kesahihan (validitas) dan keandalan (reliabilitas).26 Derajat
26
Moleong, Metodologi Penelitian, 171.
18
kepercayaan keabsahan data (kredibilitas data) dapat diadakan pengecekan dengan teknik: a. Pengamatan yang tekun Ketekunan pengamatan yang dimaksud adalah menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari.27 Teknik ini dilaksanakan dengan cara mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol yang ada hubungannya dengan pengaktualisasian nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan. Kemudian menelaahnya secara rinci sampai pada suatu titik, sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah difahami dengan cara yang biasa. b. Triangulasi Teknik triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Ada empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori.28 Dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi dengan sumber, berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
27 28
Ibid., 177. Ibid., 178.
19
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif. 8. Tahapan-tahapan Penelitian Dalam penelitian ini terdapat tiga tahap penelitian dan ditambah dengan tahap terakhir dari penelitian yaitu tahap penulisan laporan hasil penelitian. Tahap-tahap penelitian tersebut adalah (1) tahap pra lapangan, meliputi menyusun rancangan penelitian, memilih lapangan penelitian, mengurus perizinan, menjajagi dan menilai keadaan lapangan,
memilih
dan
memanfaatkan
informan,
menyiapkan
perlengkapan penelitian dan yang menyangkut persoalan etika penelitian; (2) tahap pekerjaan lapangan, meliputi memahami latar penelitian dan persiapan diri, memasuki lapangan dan berperan serta sambil mengumpulkan data; (3) tahap analisis data, meliputi analisis selama dan setelah pengumpulan data; (4) tahap penulisan hasil laporan penelitian.
G.
Sistematika Pembahasan Di dalam penulisan skripsi ini diawali dengan halaman formalitas, yang terdiri dari halaman judul, halaman persetujuan, halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, kata pengantar dan daftar isi. Dalam pembahasan skripsi penulis membagi dalam bagian-bagian, tiap bagian terdiri dari bab-bab, dan setiap bab terdiri dari sub-sub bab yang
20
saling berhubungan dalam kerangka satu kesatuan yang logis dan sistematis. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan Bab ini berfungsi untuk memaparkan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah, fokus penelitian, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
BAB II Landasan Teori Bab ini berfungsi untuk mengetengahkan kerangka awal teori yang digunakan sebagai landasan melakukan penelitian yang terdiri dari nilai edukatif, meliputi pengertian nilai edukatif, jenis-jenis nilai edukatif, metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam usaha pengaktualisasian nilai edukatif. Kemudian shalat Jama’ah, meliputi pengertian shalat jama’ah dan nilai edukatif dalam shalat berjama’ah. Serta faktor-faktor pendidikan. BAB III Temuan Penelitian Bab ini memaparkan tentang: gambaran umum PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo, yang berisi tentang sejarah singkat, letak geografis, visi-misi dan tujuan, struktur organisasi, sarana dan prasarana, serta program kegiatan santri putri PPTQ AlHasan. Dan tentang diskripsi data khusus meliputi cara mengaktualisasikan
nilai
edukatif
melalui
kegiatan
shalat
berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Ponorogo, wujud
21
aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Ponorogo serta faktor pendukung dan penghambat dalam aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo. BAB IV Analisis temuan. Bab ini berisi pembahasan tentang analisis cara mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ AlHasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo, wujud aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan serta faktor pendukung dan penghambat dalam aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo. BAB V Penutup Bab ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi pembaca yang mengambil intisari dari skripsi yang berisi kesimpulan dan saran. Dan setelah lima bab, kemudian diikuti dengan daftar rujukan, pernyataan keaslian tulisan, lampiran-lampiran, dan daftar riwayat hidup.
22
BAB II NILAI EDUKATIF MELALUI KEGIATAN SHALAT BERJAMA’AH
A. Nilai Edukatif 1. Pengertian nilai edukatif Pendidikan merupakan sesuatu yang esensial serta merupakan suatu kegiatan yang universal dalam kehidupan manusia. Di mana pun di dunia ini terdapat masyarakat, di sana terdapat pula pendidikan. Pendidikan adalah bimbingan yang diberikan kepada seseorang agar dapat berkembang secara maksimal.29 Hal ini mencakup seluruh aspek kepribadian manusia, baik pengetahuan, nilai maupun sikap serta ketrampilannya. Pendidikan juga diakui sebagai kekuatan yang dapat menentukan prestasi dan produktivitas seseorang, sehingga melalui pendidikan manusia dapat belajar menghadapi segala problematika yang ada demi mempertahankan kehidupannya. Pendidikan pada hakikatnya akan mencakup kegiatan mendidik, mengajar dan melatih. Kegiatan tersebut kita laksanakan sebagai suatu usaha untuk mentransformasikan nilai-nilai. Maka dalam pelaksanaanya, ketiga kegiatan tersebut harus berjalan secara terpadu dan berkelanjutan
29
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam (Bandung: Rosdakarya, 1994),
27.
22
23
serta serasi dengan perkembangan peserta didik dan lingkungan hidupnya.30 Pendidikan, dalam proses dan pelaksanaannya tidak mungkin berjalan tanpa adanya arah yang hendak dicapai sebagai garis kebijaksanaan, sebagai program, dan sebagai tujuan pendidikan. Sedangkan tujuan pendidikan merupakan gambaran dari falsafah atau pandangan hidup manusia baik secara perseorangan maupun kelompok.31 Membicarakan tujuan pendidikan akan menyangkut sistem nilai dan norma-norma dalam suatu konteks kebudayaan baik dalam mitos, kepercayaan dan religi, filsafat, ideology dan sebagainya. Dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang perlu diperhatikan, yaitu: a. Autonomy yaitu memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok untuk dapat hidup mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. b. Equity (keadilan) yaitu bahwa dalam tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi dengan memberinya pendidikan dasar yang sama. c. Survival yaitu bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
30
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Alfabeta, 2003), 57. Mohammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional, 1988), 140. 31
24
Berdasarkan ketiga nilai tersebut, pendidikan mengemban tugas untuk menghasilkan generasi yang lebih baik, manusia-manusia yang berbudaya serta manusia yang memiliki kepribadian yang baik.32 Nilainilai di atas menggambarkan pendidikan dalam suatu konteks yang sangat luas, karena menyangkut kehidupan seluruh umat, di mana digambarkan bahwa tujuan pendidikan adalah “tercapainya kedewasaan”, yaitu tercapainya titik optimal dari perkembangan semua potensi manusia, baik fisikal maupun spiritual.33 Adapun tujuan pendidikan nasional, sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Bab 2 Pasal 3 adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.34 Tujuan pendidikan, baik isi maupun rumusannya tidak mungkin ditetapkan tanpa pengertian dan pengetahuan yang tepat tentang nilai-nilai. Bahkan seharusnya kita telah memegang satu keyakinan tentang nilai-nilai yang kita anggap sebagai kebenaran35, termasuk di dalamnya adalah nilainilai edukatif. Nilai edukatif sangat erat kaitannya dengan tujuan 32
Uyoh, Pengantar Filsafat, 59. Noor Syam, Filsafat Pendidikan, 22. 34 Kasnun, dkk. Modul-1 Materi Pembekalan Bagi Mahasiswa Peserta PPLK 2 (STAIN Ponorogo: Program PAI dan Bahasa Arab, 2008), 3. 35 Noor Syam, Filsafat Pendidikan, 140. 33
25
pendidikan karena di dalam tujuan pendidikan tersimpul semua nilai pendidikan yang hendak diwujudkan di dalam pribadi peserta didik. Nilai edukatif merupakan nilai-nilai pendidikan yang di dalamnya mencakup sikap individu dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial,
yang
digunakan
untuk
melangsungkan
hidup
pribadi,
mempertahankan sesuatu yang benar, dan untuk berinteraksi serta menuntun
tiap
individu
ketika
berperilaku
dalam
kehidupan
bermasyarakat.36 Nilai adalah konsep, sikap dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang dipandang berharga olehnya.37 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, bahwa nilai adalah sifat-sifat yang penting dan berguna bagi kemanusiaan, sedangkan edukatif berarti bersifat mendidik dan berkenaan dengan pendidikan.38 Dan dalam dunia pendidikan, nilai edukatif harus diberikan melalui praktek-praktek/ perwujudan dari peserta didik, tidak hanya sebatas pemberian informasi mengenai nilai-nilai tersebut, sebab nilai-nilai akan dapat mereka pahami secara mendalam dengan cara perwujudan. Dari uraian di atas jelaslah, bahwa inti tujuan pendidikan adalah tercapainya kedewasaan yang mencakup fungsi-fungsi individualitas, sosialitas dan moralitas, sehingga tercapai kebulatan pribadi sebagai
36
Lindri Setyorini Fikamaulana, “Nilai Edukatif dalam Cerita Bergambar Keluarga Bobo”, SKRIPSI Jurusan Sastra Indonesia - Fakultas Sastra UM, 2006, http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/sastra-indonesia/article/view/21, diakses Kamis 28 Mei 2009, 13.30 WIB. 37 Kamrani Buseri, Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar (Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2004), 15. 38 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 284 -783.
26
individu dan anggota masyarakat yang memerlukan moralitas. Untuk dapat menjabarkan potensi moralitas dalam kehidupan sehari-hari diperlukan nilai sebagai acuan tolak ukur bagi sikap seseorang. Sistem nilai merupakan unsur dinamis dari proses terjadinya integritas pribadi. Dan nilai biasanya dipahami dalam dua arti, pertama arti ekonomis, kedua nilai merujuk pada suatu kriteria atau strandar untuk menilai sesuatu,39 seperti dalam hal pendidikan yang disebut dengan nilai edukatif. Perkembangan nilai pada diri anak bermula dari penerimaan tanpa pertimbangan,
kemudian
penerimaan
dengan
pertimbangan
oleh
pribadinya dan akhirnya nilai akan menjadi bagian dari dirinya.40 Dan nilai akan menjadi tindakan atau pengamalan kalau seseorang mengetahui nilai itu, lalu memahaminya, kemudian menerima nilai tadi dan selanjutnya membulatkan tekad untuk mengamalkan nilai tadi.41
2. Jenis-jenis nilai edukatif Tujuan pendidikan sebagai cita-cita paedagogis dirumuskan secara singkat, padat dan sarat dengan nilai-nilai edukatif yang bersifat fundamental. Adapun macam-macam nilai edukatif tersebut diantaranya:42 a. Nilai agama Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nilai agama diartikan sebagai suatu konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan 39
Noor Syam, Filsafat Pendidikan, 22. Kamrani, Nilai-Nilai Ilahiah, 11. 41 Ibid., xiii. 42 Ahmad Ludjito, dkk. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 31. 40
27
oleh warga masyarakat kepada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang bersifat suci, sehingga menjadi pedoman bagi tingkah laku keagamaan warga masyarakat yang bersangkutan.43 Dalam
agama
Islam,
masalah
pokok
dalam
kehidupan
keagamaan tersebut meliputi tiga hal, yaitu aqidah (keimanan), syari’ah (ibadah), dan akhlak. Jadi ketiga hal tersebut harus dapat dijadikan pedoman bagi terwujudnya tujuan pendidikan. b. Nilai kebenaran/ilmu Dalam Islam terdapat dua sumber ilmu, yaitu: 1). Wahyu Allah, sebagai petunjuk ke arah jalan kebenaran yang tidak dapat diperoleh dengan upaya menusia sendiri (yaitu Al-Qur’an). 2). Intelektualitas manusia yang selalu kontak dengan alam semesta dengan observasi, renungan, eksperimen dan aplikasinya. Dalam hal ini manusia bebas, asalkan tetap dalam konteks Al-Qur’an dan Al-Hadist. Secara hukum, jenis ilmu yang pertama merupakan fardlu ‘ain dan yang kedua fardlu kifayah. Namun, manusia dapat dikatakan ideal adalah apabila mampu menguasai kedua jenis ilmu/ kebenaran tersebut, meskipun derajat kemampuannya sangat tergantung dari potensi yang dimilikinya, lingkungan dan kematangan diri serta masyarakatnya. c. Nilai estetika 43
Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 165.
28
Bahasa menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan, karena penggunaan bahasa mencerminkan pribadi penuturnya.
Bahasa
memang
memiliki
peran
sentral
dalam
perkembangan intelektual, sosial, dan emosional.44 Keindahan atau estetika merupakan nilai yang merujuk pada manusia untuk mencapai akhlak yang baik (keindahan internal), juga lingkungan yang bersih dan nyaman. Hidup dalam suasana saling menghargai dan bersama-sama mengupayakan terwujudnya keindahan lingkungan hendaklah ditanamkan sedini mungkin pada diri peserta didik. Keindahan juga akan mendorong timbulnya emosi yang lembut dan mulia. Akan memacu lingkungan hidup yang serasi dan terintegrasi yang memberikan kesejukan dan ketentraman hidup. Karena keindahan adalah salah satu atribut (asma) Allah SWT, maka merupakan cita ideal yang dapat kita raih dari pengalaman agama.45 d. Nilai Moral46 Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.47
44
Veranita Anggraini, “Nilai-Nilai Pendidikan”, Artikel Pendidikan, (Online) http://23artikel.blogspot.com/ jum’at 04 2008/07/html, diakses Kamis, 28 Mei 2009, 13.30 WIB. 45 Ludjito, dkk. Reformulasi Filsafat, 31. 46 Veranita, “Nilai-Nilai Pendidikan”, Artikel Pendidikan. 47 Sunarto dan Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002), 168.
29
Dalam pendidikan pembinaan moral harus dilakukan sejak kecil. Karena setiap anak yang dilahirkan belum dapat membedakan antara yang benar dan yang salah, dan belum mengetahui batas-batas serta ketentuan-ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Pendidikan moral harus dilaksanakan pada permulaan yaitu di rumah, dengan latihan terhadap tindakan-tindakan yang dipandang baik menurut ukuran-ukuran di mana ia hidup. Setelah anak terbiasa bertindak sesuai yang dikehendaki oleh aturan-aturan moral dan kecerdasan serta kematangan berfikir yang telah terjadi, barulah pengertian-pengertian yang abstrak diajarkan. Pendidikan moral yang paling baik terdapat dalam agama, maka pendidikan
agama
yang
mengandung
nilai-nilai
moral
perlu
dilaksanakan sejak anak lahir (di rumah) sampai duduk di bangku sekolah dan dalam lingkungan masyarakat ia hidup.48 e. Nilai etika sosial49 Etika pada dasarnya identik dengan philosofi of moral atau pemikiran sistematis tentang moralitas di mana yang dihasilkan secara langsung bukan kebaikan melainkan suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. Etika sebagaimana dikemukakan William K. Frankena adalah pemikiran filosofis tentang moralitas, problemproblem moral dan putusan atau pilihan moral. Tetapi harus dicatat
48 Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 39-40. 49 A. Qodri A. Azizy, Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), 23-25.
30
bahwa etika tidak selalu dipakai untuk cabang filsafat (moral), kadangkadang kata etika dipakai sebagai kata lain dari moralitas dan kadangkadang kata etika juga menunjuk pada arti ketentuan moral atau teori normatif tentang perorangan atau kelompok. Dengan kata lain, kata etika tidak identik dengan moral atau moralitas, namun dalam banyak hal tidak jarang dimaksudkan sebagai hal yang identik antara etika dan moral, karena keduanya mempunyai sasaran bahkan maksud yang sama. Dengan penjelasan di atas, pada dasarnya etika sosial diartikan dengan filsafat atau pemikiran kritis rasional tentang kewajiban dan tanggung jawab manusia sebagai anggota umat manusia. Etika sosial membicarakan tentang kewajiban manusia sebagai anggota umat manusia, yang berarti bahwa secara sadar yang berpangkal dari hati nuraninya, seseorang harus merasa berkewajiban untuk berbuat baik demi kepentingan masyarakat, di samping kepentingan dirinya sebagai sesama manusia, bukan kepentingan pribadi dalam pengertian egois dan merugikan orang lain. Hal Ini berarti penekanan pada hubungan sesama manusia. Ketika seseorang merasa berkewajiban itu berarti bahwa ia telah dan sedang memberi hak kepada orang lain. Dan di sini harus ada keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh seseorang sebagai anggota masyarakat, yang akan menghasilkan keteraturan sosial.
31
Dalam dunia pendidikan Islam, nilai-nilai yang mengandung keteraturan hubungan antar sesama manusia mendapatkan perhatian yang sangat besar. Termasuk diantaranya nilai moralitas atau etika yang pada dasarnya harus tertanam pada hati nurani seseorang yang kemudian ketika diimplementasikan menjadi kebaikan atau kesalehan sosial.
3. Metode-metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam usaha pengaktualisasian nilai edukatif Pemahaman dan dasar-dasar pendidikan harus ditanamkan sejak masa pertumbuhan dan harus dilakukan secara terus menerus. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, terdapat beberapa metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam usaha
pengaktualisasian nilai edukatif,
diantaranya: a. Mau’idzah (nasihat).50 Al-Nahlawi dalam bukunya Ahmad Tasir, menjelaskan bahwa Mau’idzah adalah nasehat dengan cara menyentuh kalbu. Mau’idzah ini dimaksudkan untuk mengajak orang yang dinasehati untuk mengamalkan kebenaran yang diterimanya. Dan pelaksanaannya adalah dengan cara berulang-ulang agar nasehat tersebut meninggalkan kesan
sehingga
orang
mengikutinya.
50
Tafsir, Ilmu Pendidikan, 145-146.
yang dinasehati akan
tergerak untuk
32
b. Keteladanan Keteladanan adalah sebuah metode pendidikan dengan cara memberikan contoh nyata kepada peserta didik tentang penerapan atas suatu
teori
dan
konsep.
Keteladanan
sangat
penting
bagi
berlangsungnya kehidupan dan dalam proses kependidikan. Sebab untuk merealisasikan segala yang diinginkan oleh pendidikan yang tertuang dalam konsep dan teori harus diterjemahkan dalam kawasan yang salah satunya adalah keteladanan, sehingga pola pendidikan tersebut akan tercermin dari kehidupan para pendidiknya. Dalam hal ini, Allah SWT juga mengutus Nabi Muhammad SAW agar menjadi teladan bagi seluruh manusia dalam merealisasikan sistem pendidikan tersebut. Hal ini juga dikarenakan secara fitrah manusiawi, keteladanan merupakan kebutuhan yang mendasar, yakni untuk dijadikan sebagai suri tauladan, penerang jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan tentang bagaimana yang seharusnya melaksanakan syariat Allah.51 c. Pembiasaan52 Pada dasarnya pembiasaan berintikan pada pengalaman. Dalam pelaksanaannya hendaklah dilakukan sebelum terlambat, secara terus menerus dan teratur. Selain itu hendaklah pendidikan tersebut konsekuen, bersikap tegas dan tetap teguh terhadap pendirian yang 51
Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004), 230-231. M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis Praktis (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997), 177-178. 52
33
telah diambil sehingga pembiasaan yang pada awalnya bersifat mekanis dapat menjadi pembiasaan yang disertai dengan kata hati dan keadaran. d. Hukuman53 Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh seseorang sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan dan kesalahan. Dalam pendidikan hukuman dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1). Hukuman preventif, yaitu hukuman yang dilakukan dengan maksud agar tidak terjadi pelanggaran. Hukuman ini dilakukan sebelum pelanggaran itu dilakukan dengan maksud untuk mencegah terjadinya suatu pelanggaran. 2). Hukuman represif, yaitu hukuman yang dilakukan karena adanya suatu pelanggaran yang terjadi. Hukuman ini dilaksanakan setelah terjadi suatu pelanggaran, sehingga akan menimbulkan pengertian dalam diri peserta didik bahwa hukuman yang diterima adalah sebagai akibat dari suatu kesalahan yang telah dia lakukan, dengan demikian dengan sendirinya perbuatan tersebut akan ditinggalkan.
B. Shalat Jama’ah
53
Ibid., 186-189.
34
1. Pengertian shalat jama’ah Menurut bahasa, shalat berarti do’a. Sedangkan menurut istilah berarti suatu sistem ibadah yang tersusun dari beberapa perkataan dan perbuatan, dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, berdasarkan atas syarat-syarat dan rukun-rukun tertentu, dan hukumnya fardlu ’ain atas tiap-tiap muslim yang telah dewasa.54 Shalat adalah ibadah yang paling istimewa kedudukannya jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lainnya, karena shalat adalah satu-satunya ibadah yang diterima langsung dari Allah, melalui peristiwa isra’ mi’raj Nabi Muhammad SAW. Shalat adalah suatu kegiatan fisik dan mental-spiritual yang memberikan makna baik bagi hubungan dengan Allah SWT, dengan sesama manusia, maupun hubungan dengan diri sendiri.55 Karena pada hakekatnya shalat merupakan media komunikasi antara makhluk dengan sang Kholiq, sebagai salah satu ekspresi kesyukuran manusia kepada Allah SWT, sebagai sarana untuk mempererat silaturrahmi dengan sesama dan sarana untuk memahami eksistensi diri sebagai khalifah di bumi. Bagi umat Islam, shalat bukan hanya sebagai perintah saja tetapi juga merupakan suatu kekuatan afirmasi atau penegasan kembali, yang kemudian dilanjutkan dengan proses yang dilakukan secara terus menerus dan berlangsung sepanjang hidup melalui gerak shalat. Proses ini merupakan langkah yang dapat membantu seseorang untuk lebih 54 55
Nasruddin Razak, Dienul Islam, cet. IV (Bandung: Al-Ma’arif , 1981), 178. Sentot Haryanto, Psikologi Shalat, cet. IV (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), xix.
35
menyelaraskan antara nilai-nilai keimanan dan kenyataan hidup yang harus dihadapi, yang mengandung makna bahwa shalat dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar.56 Karena dalam shalat, makna tujuan hidup akan ditanamkan sedalam-dalamnya, demi terbangunnya kejelasan misi dan visi yang akan membuat manusia mantap dalam menjalani setiap aktifitas hidupnya, sedangkan tingkat kekuatan manusia pada nilai selalu berubah-ubah dan naik-turun, maka pengulangan yang terus menerus dalam shalat inilah yang akan menanamkan nilai-nilai tersebut dalam diri manusia sehingga tercermin dalam tingkah lakunya. Kegiatan yang berulang-ulang secara terus menerus akan menciptakan kebiasaan dan kebiasaan rutin tersebut menghasilkan pengalaman yang akan membantu dalam pembentukan nilai. Shalat mengajarkan bagaimana hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Bagaimana seorang pemimpin harus memimpin umatnya dan sebaliknya bagaimana umatnya harus menjaga kepemimpinan sang pemimpin, dan semua itu dapat dipelajari dalam shalat jamaah. Oleh sebab itulah dalam pelaksanaannya, shalat sangat dianjurkan dengan berjamaah,57 karena memang pada hakikatnya shalat jamaah adalah mengadakan perikatan antara imam dan makmum, antara pemimpin dengan rakyatnya. Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah : 43.
56
Ary Ginanjar Agustian, ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual (Jakarta: AGRA, 2001), 274. 57 Shalat jamaah adalah shalat yang dilakukan secara bersama-sama sedikitnya oleh dua orang, yang terdiri dari imam dan makmum. Lihat: Labib Mz dan Maftuh Ahnan, Petunjuk Shalat Lengkap (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1998), 52.
36
∩⊆⊂∪ tÏèÏ.≡§9$# yìtΒ (#θãèx.ö‘$#uρ nο4θx.¨“9$# (#θè?#uuρ nο4θn=¢Á9$# (#θßϑŠÏ%r&uρ Artinya: ”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.”58 Mengenai hukum shalat berjama’ah, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama, sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah adalah fardlu ’ain, sebagian lagi berpendapat bahwa hukum shalat berjamaah itu fardlu kifayah, dan sebagaian yang lain adalah sunnah muakkad (sunnah yang dianjurkan), yakni jika dikerjakan mendapat pahal dan jika ditinggalkan tidak berdosa, tetapi tercela menurut pandanagn Islam. Dan pendapat terakhir inilah yang lebih banyak dan lebih kuat.59 Dalam menegakkan shalat, bukan hanya sekedar menjalankannya sebagai kewajiban yang harus dikerjakan saja, tetapi hendaklah kita juga memperhatikan dan menyempurnakannya, yakni dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan shalat, yang dalam hal ini adalah shalat jamaah, antara lain: a. Syarat-syarat shalat jama’ah Syarat adalah hal-hal yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum melakukan shalat. Jika salah satunya tidak terpenuhi maka shalatnya tidak akan sah. Syarat-syarat tersebut antara lain:60 58
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Department Agama RI, 197), 16. 59 Maftuh Ahnan, Risalah Shalat Lengkap dan Keutamaan-Keutamaannya (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1990), 99. 60 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, cet. XXVIII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995), 109-114.
37
1). Makmum hendaklah berniat mengikuti imam, 2). Makmum hendakah mengikuti imam dalam segala pekerjaannya. Maksudnya adalah bahwa hendaklah makmum memulai segala perbuatannya setelah imam, tidak boleh bersama-sama bahkan mendahului imam, 3). Mengetahui gerak-gerik perbuatan imam, perpindahan dari rukun ke rukun, baik dengan melihat sendiri atau dengan memperhatikan ma’mum di depannya atau hanya dengan mendengar suara, 4). Keduanya (imam dan makmum) berada dalam satu tempat dan tidak boleh ada tabir yang menghalanginya, dan jarak antara imam dan ma’mum tidak lebih dari 300 hasta, 5). Tempat berdiri makmum tidak boleh lebih depan daripada imam, 6). Imam hendaklah jangan mengikuti orang lain, 7). Aturan shalat makmum dengan shalat imam hendaklah sama, 8). Laki-laki tidak sah mengikuti perempuan, 9). Keadaan imam tidak ummi, sedangkan makmum qari’. Maksudnya imam hendaklah orang yang baik bacaannya, 10).Tidak boleh makmum kepada orang yang diketahui batal shalatnya (orang non Islam atau berhadas, bernajis badan, pakaian ataupun tempatnya). b. Etika dalam shalat berjama’ah 1). Imam
38
Imam adalah seorang pemimpin di dalam shalat berjamaah, maka untuk menjadi imam dalam shalat seseorang harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain Islam, baligh, laki-laki, bila makmum terdiri dari wanita saja maka tidak disyaratkan laki-laki untuk menjadi imam, tapi wanita dapat menjadi imam bagi jamaah wanita atau khuntsa, berakal, qari’ yakni bacaannya memenuhi syarat membaca, tidak berudzur, misalnya mengeluarkan air seninya terus-menerus, tidak berhadast dan suci dari najis.61 Kemudian imam adalah harus seseorang yang mengerti tentang hukum shalat, baik yang berkaitan dengan sah maupun rusaknya shalat, orang yang wara’ dan taqwa.62 Tetapi selain persyaratan-persyaratan di atas, masih terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi imam, yakni seorang imam hendaklah: (a). Memelihara diri dari kefasikan, serta terhindar dari dosa besar dan kecil, (b). Memelihara diri dari sifat ujub dan takabur, (c). Memiliki hak menjadi imam dan keridlaan dari makmum.63 2). Makmum
61
Kahar Masyhur, Shalat Wajib Menurut Madzhab Yang Empat (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 337-338. 62 Ahmad Zubaidi, dkk, Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah (Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000), 144. 63 Labib Mz, Menyingkap Rahasia Shalat Berjama’ah (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2004), 200-201.
39
Dalam shalat berjamaah, tidak hanya imam saja yang harus memenuhi persyaratan yang ada, tetapi makmum juga memiliki adab yang hendaknya dipenuhi demi teciptanya persatuan yang harmonis antara imam dan makmum, adab-adab tersebut antara lain: (a). Bila sudah berada di dalam masjid dan diserukan suara ”Qod qomati al-sholah” maka hendaklah berdiri, (b). Makmum hendaklah berdiri tegak, tenang, khudlu’ kepada Allah SWT, (c). Memenuhi dan mengatur serta menyempurnakan shaf hingga rapi, antara bahu harus saling beradu sehingga rapat.64 Dalam shalat berjama’ah kadang terdapat makmum yang datangnya terlambat, dia masih dapat mengikuti shalat imam tetapi tidak sempat membaca surat Al-Fatihah beserta imam, maka dialah yang disebut ma’mum masbuq. Maka apabila dia takbir pada saat imam belum rukuk, hendaklah dia mebaca Fatihah sedapat mungkin, dan apabila imam rukuk sebelum habis Fatihahnya, hendaklah ia rukuk juga mengikuti imam. Atau jika dia mendapatkan imam sedang rukuk hendaklah ia rukuk juga, maka sempurnalah rakaat itu. Tetapi apabila apabila dia mendapati imam sudah rukuk (satu rakaat), maka dia harus mengikuti imam sujud
64
Ibid., 209-211.
40
dan nanti kemudian apabila ada kekurangan rakaat maka hendaknya ia menambah setelah imam salam.65 3). Shaf (barisan di dalam shalat) Dalam pelaksanaan shalat jamaah terdapat ketentuan tentang susunan shaf yang benar, dan hal ini merupakan tanggung jawab imam. Ketentuan tersebut antara lain hendaklah laki-laki yang mukallaf berdiri di barisan depan, sesudah itu anak-anak, dan kemudian perempuan. Dan shaf yang paling utama adalah yang depan.66 Yang demikian itu adalah jika ma’mumnya banyak atau lebih dari dua. Jika jamaah tesebut hanya terdiri dari dua orang, imam dan seorang ma’mum, maka ma’mum tersebut hendaknya berdiri di sebelah kanan imam dan agak mundur sedikit, jika kemudian datang lagi seorang ma’mum yang lain, maka hendaklah berdiri di samping kiri imam, dan jika yang datang lebih dari seorang, maka membentuk shaf di belakang imam dan ma’mum yang awal tadi mundur sejajar dengan ma’mum yang lain.67 4). Waktu Semua ibadah secara mutlak mempunyai keterkaitan dengan waktu, termasuk shalat jamaah. Bahkan lebih dari itu Islam juga menarik perhatian manusia untuk memperhatikan soal waktu
65
Labib dan Maftuh, Petunjuk Shalat, 53. Teungku Muhammad Hasbi Al Shiddieqy, Pedoman Shalat (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005), 462-463. 67 Labib Mz, Menyingkap Rahasia, 226-227. 66
41
secara umum, yang dikaitkan dengan keberhasilan manusia dalam hidupnya serta sukses dalam pekerjaannya.68 Waktu-waktu shalat adalah seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW, berdasarkan pengalaman beliau pada saat shalat berjamaah dengan Malaikat Jibril dan beliau berlaku sebagai imam, yakni:69 (a). Subuh ketika terbit fajar hingga terbit matahari, (b). Dzuhur ketika tergelincir matahari hingga bayang-bayang sesuatu menyamainya, (c). Asyar ketika bayang-bayang sesuatu menyamainya, hingga bayang-bayang sesuatu dua kali panjangnya, yaitu pada saat matahari tenggelam, (d). Maghrib ketika terbenamnya matahari hingga hilangnya mega merah, (e). Isya’ ketika terbenam syafaq hingga terbit fajar. Adapun sebagai tanda datangnya waktu shalat adalah dengan cara memberitahukannya melalui lantunan adzan yang dilantunkan oleh seorang muadzin yang mengandung himbauan, lagu perjuangan, syiar agama, kalimat yang memiliki kekuatan yang dapat menggugah semangat serta mengandung makna ikrar kebenaran. Adzan merupakan panggilan agar manusia lekas
68 Ali Yafie, Teologi Sosia; Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan (Yogyakarta: LKPSM, 1997), 164. 69 Asep Muhyidin dan Asep Salahuddin, Salat Bukan Sekedar Ritual (Bandung: Rosdakarya, 2006), 312.
42
tersadar akan hakikat kemanusiaannya, agar manusia paham akan dirinya, paham kepada Tuhannya, tidak menjadi tawanan hawa nafsunya, kembali ke asli kita yang suci dan fithri, kembali ke garis khittah ajali yang cenderung kepada nilai-nilai religius, khusu’, tawakal dan tidak membangkang.70 5). Tempat Untuk melaksanakan shalat berjama’ah maka kaum muslimin memerlukan tempat, sebab itulah masjid dibangun. Masjid menjadi suatu tempat yang sangat penting dan berfungsi di dalam Islam serta dalam kehidupan kaum muslimin, salah satunya adalah sebagai lembaga pendidikan amaliyah atau praktek, yang mana di dalamnya diajarkan tentang suatu pengetahuan agama Islam secara teori dan juga ditanamkan prinsip-prisip Islam mengenai kemanusiaan dan keimanan agar diamalkan dalam kehidupan sehari-hari, diantaranya melalui shalat berjama’ah yang tentunya apabila senantiasa dilaksanakan secara penuh dalam sehari semalam.71 Selain itu Allah sendiri telah mengakui keimanan para pemakmur masjid, dan merekalah yang orang-orang yang diberi petunjuk.72 c. Sunnah shalat jama’ah 1). Meluruskan shaf dan tidak membiarkannya renggang,
70
Ibid., 327-328. Labib, Menyingkap Rahasia, 153-155. 72 Musnid bin Muhsin Al-Qohthoni, Seindah Shalat Berjamaah, Terj. Effendi Abu Ahmad, cet. II (Solo: Al-Qowam, 2007), 11. 71
43
2). Berdiri pada shaf yang terdepan, 3). Jika berjama’ah dilakukan oleh dua orang saja, maka disunnatkan bagi makmum berdiri pada shaf yang sebelah kanan imam, 4). Imam menyaringkan suara takbir, menguatkan suara ”sami Allahuliman hamidah” dan menguatkan salam.73 2. Nilai edukatif dalam shalat berjama’ah Shalat berjama’ah memiliki keutamaan dengan nilai dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendiri. Selain itu, dalam shalat berjama’ah juga terkandung nilai edukatif yang banyak sekali, diantaranya: a.
Menghindarkan dari kelupaan sehingga menghasilkan khusyu’ dan kehadiran hati.74 Dalam shalat terkandung makna tersembunyi, yakni kesiapan untuk menunaikan rukun, syarat serta pesan sosial, maka salah satu usaha untuk menjaga shalat kita agar semua dapat terpenuhi adalah dengan melaksanakannya secara berjama’ah. Selain itu, shalat juga merupakan peristiwa agung, di mana terjadi dialog langsung antara seorang hamba dengan Khaliqnya, maka tentu saja kekhusu’an menjadi sesuatu yang wajib dihadirkan dalam shalat. Dalam kehidupan manusia, khusyu’ bukan hanya dalam ritual saja, tetapi juga dalam kehidupan sosial yang berupa komitmen yang kokoh untuk selalu mewujudkan semesta yang berkeadaban,
73 74
Moh. Saifulloh Al Aziz S, Fiqih Islam Lengkap (Surabaya: Terbit Terang, tt), 176-177. Al Shiddieqy, Pedoman Shalat, 380-383.
44
menjelmakan kehidupan bermartabat yang jauh dari watak fahsya dan budaya mungkar.75 Dengan demikian, melalui shalat jama’ah akan dapat membantu dalam menyempurnakan shalat orang-orang yang kurang ibadahnya, demi tercapainya kebaikan agama dan dunia. b. Membiasakan umat mentaati dan mematuhi pemimpinnya.76 Dalam hal ini tentu saja kepatuhan tersebut tidak bersifat absolut. Kepatuhan hanya berlaku selama pemimpin (imam) tersebut dalam keadaan benar, tetapi pada saat pemimpin melakukan kesalahan, maka umat (makmum) berkewajiban untuk mengingatkannya, bahkan jika terpaksa dapat menggantikannya. Dan ini juga sebagai pendidikan kejujuran bagi seorang pemimpin, di mana dia harus berani mengakui kesalahan yang diperbuat dan bertanggung jawab atas hal tersebut. c. Mendidik kedisiplinan dan keteraturan77 Dengan berjama’ah, maka seseorang akan terlatih untuk selalu mengerjakan shalat pada awal waktu, dan hal ini ini akan sangat berpengaruh dalam kehidupan sehari-harinya. d. Kesatuan tujuan (visi) bersama mengabdi kepada Allah SWT .78 Shalat jama’ah mendidik manusia untuk dapat sama-sama menyatakan diri sebagai hamba Allah yang bersaudara tanpa ada
75
Muhyidin dan Shalahuddin, Salat, 17-19. Al Shiddieqy, Pedoman Shalat, 380-383. 77 Nasruddin, Dienul, 184-185. 78 Ibid. 76
45
permusuhan, serta memiliki kesatuan tujuan (visi) bersama mengabdi kepada Allah SWT. e. Amar ma’ruf nahi munkar. f. Melatih keadilan dan persamaan. Hal ini tercermin dari kegiatan shalat jama’ah, dimana dalam pelaksanaanya untuk menjadi seorang imam seseorang tidak harus memiliki jabatan yang tinggi, harta yang banyak ataupun terkenal, dia hanya harus dapat memenuhi persyaratan-persyaratan menjadi imam yang telah ditentukan dalam agama.79 Sedangkan untuk menjadi makmum tidak ada persyaratan bagi seseorang, baik kaya, miskin, pejabat maupun rakyat akan berdiri sejajar dalam shaf yang sama, tanpa ada perbedaan. g. Mendidik rasa solidaritas sosial yang kuat. Berjama’ah adalah pintu masuk untuk menggapai solidaritas dan jalinan sosial, untuk menopang ukhuwah dan ummah wahidah yang mempunyai tanggung jawab yang sama dalam mengelola dan mengupayakan terwujudnya egaliter-berkeadaban. Karena dengan berjama’ah, umat juga akan saling mengenal (ta’aruf), dan hal ini tidak hanya sebatas dalam maknanya yang fisikal, namun di dalamnya tumbuh sikap empatik, simpatik dan toleran terhadap orang lain.80 Wahbah Zuhayli dalam bukunya A. Rahman Ritonga dan Zainuddin menjelaskan, bahwa melalui shalat jama’ah akan terbina 79 80
Muhyidin dan Shalahuddin, Salat, 281. Ibid., 276-278.
46
sikap saling mengenal, menasehati, dan memberikan pelajaran, menumbuhkan rasa kasih sayang, memperhatikan orang yang lemah, sakit dan yang dalam kesusahan, sehingga persoalan mereka dapat diatasi.81 h. Memperbagus keadaan dan penampilan82 Dengan shalat berjama’ah akan mendidik muslim untuk selalu menjaga dan memperhatikan penampilannya serta kebersiahan dan keharuman pakaiannya, karena akan berkumpul dengan saudarasaudaraya. Dari keutamaan serta nilai-nilai pendidikan di atas yang terutama adalah bahwa shalat jama’ah mengandung hikmah yang sangat besar, yakni keutamaan serta nikmat iman yang kelak diberikan Allah.83 C. Faktor-Faktor Pendidikan Dalam melaksanakan pendidikan, maka perlu memperhatikan adanya faktor-faktor pendidikan yang ikut menentukan berhasil tidaknya pendidikan tersebut. Adapun faktor-faktor pendidikan tersebut adalah: 1. Tujuan Tujuan pendidikan adalah faktor yang sangat penting, karena merupakan arah yang hendak dituju oleh pendidikan.84
81
A. Rahman Ritonga dan Zainuddin, Fiqh Ibadah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997),
115. 82
Musnid, Seindah Sholat, 88-89. ’Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah di Balik Hukum Islam, Jilid 1, Terj. Syarif Hade Masyah dan Heri Purnomo (Jakarta: Mustaqim, 2002), 217. 84 Zuhairini, Metodik Khusus Pendidikan Agama (Surabaya: Usaha Nasional, 1980), 33. 83
47
Menurut Ahmad Tafsir, tujuan pendidikan Islam adalah muslim yang sempurna yakni jasmani yang sehat dan kuat, akal cerdas serta pandai dan hati takwa kepada Allah.85 Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa tujuan tertinggi pendidikan Islam adalah pengabdian kepada Allah, dengan pengembangan spiritual quotient (SQ), emotional quotient (EQ), intellegent quotient (IQ), dan creativity quotient (CQ), pembentukan Jasmani yang sehat dan kuat sehingga dari situ lahirlah insan-insan kaffah. 2. Pendidik. Pendidik adalah seseorang yang melakukan kegiatan dalam memberikan pengetahuan, ketrampilan, pendidikan, pengalaman dan sebagainya. Dan hal ini dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang tua, guru, tokoh masyarakat dan sebagainya. Karena berat dan mulianya tugas seorang pendidik, maka seseorang harus memiliki 4 syarat, yaitu: a. Syarat keagamaan, yaitu patuh dan tunduk melaksanakan syariat Islam dengan sebaik-baiknya, b. Berakhlak yang mulia, c. Selalu meningkatkan kemampuan ilmiyahnya, d. Mampu berkomunikasi dengan baik dengan masyarakat pada umumnya.86 3. Peserta didik.
85
Tafsir, Ilmu Pendidikan, 50. Basuki dan M. Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Ponorogo: STAIN Po Press, 2007), 78- 93. 86
48
Sebagai salah satu komponen pendidikan yang tidak bisa terlepas dari system pendidikan, dan mengingat pendidikan itu merupakan proses pembinaan dan pengembangan terhadap potensi fitrah yang dimiliki peserta didik, maka hal-hal yang berkaitan dengan peserta didik harus diperhatikan dan dipahami dalam proses pendidikan, terutama oleh pendidik. 4. Alat pendidikan Alat pendidikan adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalan usaha untuk mencapai tujuan pendidikan. Dalam pendidikan agama juga diperlukan alat pendidikan yaitu segala sesuatu yang dipakai dalam mencapai tujuan pendidikan. Dalam memilih alat pendidikan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: tujuan yang hendak dicapai, penggunaan alat pendidikan, keadaan murid, dan cara menggunkan alat pendidikan.87 5. Lingkungan pendidikan.88 Islam mengakui bahwa manusia memiliki dua fitrah (potensi) yang saling bertentangan, yaitu fitrah untuk berbuat baik (Islam) dan fitrah untuk berbuat jahat (kafir). Dalam hal ini lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar bagi perkembangan peserta didik, karena di situlah peserta didik akan tinggal, tumbuh dan berkembang. Apabila lingkungan tersebut kondusif bagi perkembangan peserta didik, maka potensi positifnya akan dapat berkembang secara maksimal. Tetapi 87 88
Zuhairini, Metodik, 47-48. Rosyadi, Pendidikan, 296-297.
49
sebaliknya, jika lingkungan tersebut destruktif, maka potensi negatiflah yang akan berkembang. Dalam Pengelolaan dan pengembangan suatu aktifitas memerlukan suatu perencanaan strategis, yaitu suatu pola atau struktur sasaran yang saling mendukung dan melengkapi menuju ke arah tujuan yang menyeluruh. Sebagai persiapan perencanaan, agar dapat memilih dan menetapkan strategi dan sasaran sehingga tersusun program-program dan proyek-proyek yang efektif dan efisien maka diperlukan suatu analisis yang tajam, salah satunya adalah dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT telah menjadi salah satu alat yang berguna dalam dunia industri. Namun demikian tidak menutup kemungkinan untuk digunakan sebagai aplikasi alat bantu pembuatan keputusan dalam pengenalan programprogram baru di lembaga pendidikan. Istilah SWOT berasal dari perkataan strength (kekuatan), weakness (kelemahan), opportunities (kesempatan/ peluang), dan threats (ancaman). Maksud dari analisis ini ialah untuk meneliti dan menentukan dalam hal manakah “lembaga”: 1. Kuat, sehingga dapat dioptimalkan, 2. Lemah, sehingga dapat segera dibenahi, 3. Kesempatan-kesempatan di luar, untuk dimanfaatkan, 4. Ancaman-ancaman dari luar, untuk diantisipasi. Proses penggunaan manajemen analisa SWOT menghendaki adanya suatu survei internal tentang strengths (kekuatan) dan weaknesses (kelemahan)
50
program, serta survei eksternal atas opportunities (ancaman) dan threats (peluang/kesempatan). Pengujian eksternal dan internal yang terstruktur adalah sesuatu yang unik dalam dunia perencanaan dan pengembangan kurikulum
lembaga
pendidikan.
Contoh
pengembangan
pendidikan
menggunakan analisa SWOT, adalah suatu cara yang berguna dalam menguji kondisi lingkungan tentang program baru yang ditawarkan suatu lembaga pendidikan. Sedangkan pemahaman mengenai faktor-faktor eksternal, terdiri atas ancaman dan kesempatan, yang digabungkan dengan suatu pengujian mengenai kekuatan dan kelemahan akan membantu dalam mengembangkan sebuah visi tentang masa depan. Perkiraan seperti ini diterapkan dengan mulai membuat program yang kompeten atau mengganti program-program yang tidak relevan serta berlebihan dengan program yang lebih inovatif dan relevan.89
89
Abdul Rosid, “Analisis Swot”, Manajemen Strategi, (Online), http://guebencieloe. blogspot.com/2007/12/analisis-swot.html, diakses Sabtu, 04 Juli 2009, 20.00 WIB.
51
BAB III AKTUALISASI NILAI EDUKATIF MELALUI KEGIATAN SHALAT BERJAMA’AH DI PONDOK PESANTREN TAHFIDZ AL-QUR’AN (PPTQ) AL-HASAN PATIHAN WETAN BABADAN PONOROGO
A.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1.
Sejarah singkat berdirinya PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo90 Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo didirikan oleh H. Qomari Hasan dan KH. Husein ‘Aly, MA beserta keluarga, pada tanggal 02 Juli tahun 1984 Masehi. Awal berdirinya Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an (PPTQ) Al-Hasan tidak berbeda dengan pondok pesantren lainnya di Indonesia. Dengan niat ikhlas berjuang di jalan Allah, beliau KH. Husain ’Aly yang berasal dari Yogyakarta menetap di Desa Patihan Wetan Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo, di tengah-tengah masyarakat yang masih memiliki kepercayaan animisme dan tidak begitu tahu tentang ajaran syariat Islam. Pertama kali berdakwah, banyak sekali kendala yang beliau hadapi antara lain dimusuhi oleh masyarakat sekitar yang belum dibuka hatinya oleh Allah SWT. Tetapi beliau pantang menyerah dengan kesabaran dan niat ikhlas akhirnya banyak masyarakat yang tadinya memusuhi berubah mendukung dan mengikuti jejak beliau. Selain itu
90
Lihat transkrip dokumentasi nomor: 07/D/F-1/27-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
51
52
banyak juga masyarakat yang datang untuk menitipkan putra-putrinya guna mempelajari Al-Qur’an. Untuk menampung mereka yang memiliki keinginan mengaji kepada beliau, sementara ditempatkan di sebelah rumah Kyai yang juga masih satu atap dengan ndalem (rumah Kyai). Di luar rencana, berdatangan juga wali santri dari luar kota yang juga berkeinginan untuk menitipkan putra-putrinya pada Kyai. Mengetahui hal ini akhirnya beliau membuat bangunan sederhana untuk menampung para santri yang jumlahnya semakin meningkat. Lama-kelamaan, sekitar 1990 M, seiring dengan meningkatnya jumlah santri yang datang, akhirnya masyarakat mulai memberikan bantuan, yakni dengan membangun asrama baru untuk menampung santri yang jumlahnya semakin bertambah. Dari sini berdirilah sebuah asrama yang dihuni kurang lebih 90 orang santri yang datang dari luar Ponorogo. Di samping itu, pesantren ini juga mempunyai cabang yang berada di kecamatan Sumoroto di bawah asuhan KH. Husain Aly sendiri. Adapun sejarah dinamakannya Al-Hasan yaitu untuk mengenang jasa-jasa bapak Hasan Aly, saudara kembar KH. Husain Aly yang telah meninggal.
53
2. Letak geografis PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo91 PPTQ Al-Hasan terletak di Desa Patihan Wetan Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo, kurang lebih 1km dari barat makam Batoro Katong. Alamat lengkap PPTQ Al-Hasan berada di Jl. Parang Menang No. 32 Patihan Wetan Kecamatan Babadan Kabupaten Ponorogo. Lokasi pesantren agak masuk ke dalam dan agak jauh dari suasana jalan raya yang dapat mengganggu konsentrasi menghafal AlQur’an. Perjalanan menuju PPTQ Al-Hasan termasuk mudah dijangkau dari segala arah. Dari arah barat dapat melalui jalan Batoro Katong dari arah timur melalui jalan Brig. Jendral Katamso. Selain itu juga dilalui oleh semua jalur angkutan dari arah terminal. Secara geografis, letak Desa Patihan Wetan adalah sekitar 4 km dari kecamatan Babadan dan 9 km dari kabupaten Ponorogo. Letak yang strategis memberikan peluang pada Desa Patihan Wetan dan khususnya PPTQ Al-Hasan lebih maju dibandingkan daerah-daerah lain. Visi, Misi dan Tujuan PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan
3.
Ponorogo.92 a. Visi dan misi Pondok Pesantren Tahfidz Al-Qur’an (PPTQ) AlHasan MengAl-Qur’ankan masyarakat dan memasyarakatkan Al-Qur’an
91 92
Lihat transkrip observasi nomor: 01/O/ F-1/ 7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkrip dokumentasi nomor: 08/D/F-1/27-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
54
b. Tujuan adalah hal pokok yang akan dicapai dari penyelenggaraan pendidikan keberhasilan dan kegagalan suatu lembaga pendidikan pendidikan dalam pembelajarannya dapat dilihat dari hasil yang diperoleh santri dengan tujuan yang telah digariskan, yaitu: 1).
Menghasikan
pribadi
muslim
yang
beriman,
bertaqwa,
berakhlakul karimah (berakhlak Qur’ani), beramal shalih dan memiliki tanggung jawab serta kesadaran atas kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya. 2).
Menghasilkan pribadi muslim yang pandai membaca AlQur’an, baik yang bi an-nadzor, bi al-ghaib ataupun qira’ah sab’ah.
3). Manghasilkan pribadi muslim yang mempunyai ketrampilan dan kecakapan serta keahlian yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan agama. 4). Manghasilkan pribadi muslim yang bisa memahami isi kandungan Al-Qur’an dan mau mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Empat tujuan ini yang ditetapkan oleh PPTQ Al-Hasan sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam yang bertakhassus pada AlQur’an. 4. Struktur Kepengurusan PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo.93
93
Lihat transkip dokumentasi nomor 09/D/F-1/27-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
55
Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai unsur dan personal yang memerlukan suatu wadah dalam bentuk organisasi agar jalannya pendidikan dan pengajaran yang diselenggarakan
dapat
berjalan
lancar
sehingga
dapat
menuju
tercapainya tujuan yang ditetapkan. Dengan adanya organisasi kepengurusan diharapkan setiap individu dapat bekerja sama sesuai tugas dan wewenangnya untuk mencapai tujuan bersama. 5. Sarana dan Prasarana PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo.94 Sarana dan prasarana yang memadai akan membantu kelancaran dalam proses belajar mengajar di sebuah lembaga pendidikan. Di PPTQ Al-Hasan ini sarana yang disediakan antara lain: a. Kamar santri putri terdiri dari 4 ruang b. 1 Ruang kantor dengan 2 buah lemari, 1 buah meja duduk, seperangkat meja kursi tamu, dan 1 buah papan struktur kepengurusan. c. 1 ruang UKS dengan peralatan satu buah tempat tidur, dan seperangkat tempat duduk d. Masjid e. 1 ruang majlis. f. 7 kamar mandi dan 2 WC g. 1 ruang dapur
94
Lihat transkip dokumentasi: 10/ D/F-1/27-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
56
6. Program kegiatan santri PPTQ Al-Hasan95 Untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan menghasilkan
santri
yamg
berkualitas,
dalam rangka untuk PPTQ
Al-Hasan
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang wajib diikuti oleh semua santri, meliputi: a. Kegiatan harian 1). Shalat Berjama’ah Shalat berjama’ah lima waktu dilaksanakan di masjid Nur Al-Salamah bersama pengasuh pondok dan masyarakat sekitar. 2). Pengajian Al-Qur’an kepada Abah Yai Pengajian Al-Qur’an dilaksanakan dua kali, yaitu ba’da dzuhur untuk santri putri dan ba’da subuh untuk santri putra. 3). Takrar Takrar dilaksanakan untuk mengulang-ulang membaca Al-Qur’an. Takrar dilaksanakan setiap hari setelah shalat asyar dan pada malam hari pada pukul 10.00 sampai 04.00 secara bergantian, khusus hari jum’at takrar dilaksanakan pada waktu siang hari setelah shalat dzuhur. 4). Sorogan Sorogan dilaksanakan 1 (satu) kali, setiap ba’da maghrib atau ba’da dzuhur, terserah pada santri.
95
Lihat transkip dokumentasi: 11/D/F-1/27-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
57
5). Madrasah diniyah b. Kegiatan mingguan 1). Istighosah Istighosah ini dimaksudkan untuk permohonan do’a kepada Allah agar berhasil dan lancar dalam menuntut ilmu dan mendapat ilmu yang bermanfaat bagi dunia maupun akhirat. Istighosah ini dilaksanakan satu minggu sekali, yaitu pada hari kamis ba’da asyar. 2). Tahlilan Tahlilan ini selain bertujuan untuk mendoakan keluarga yang sudah meninggal dan untuk keselamatan bagi yang masih hidup, juga bertujuan melatih dan menyiapkan santri dalam kehidupannya di masyarakat. Dilaksanakan satu bulan sekali, setiap malam jum’at ba’da ‘isya’. Dan setiap malam minggu, malam jum’at dan rabo tahlilan bersama masyarakat. 3). Senam santri Senam santri yang dilaksanakan setiap jum’at pagi adalah sebagai wujud kepedulian pondok terhadap kesehatan dan perkembangan jasmani santri. 4). Pembinaan minat dan bakat santri Pembinaan minat dan bakat santri yang dilaksanakan setiap hari jum’at sore meliputi seni hadroh, qiro’ah, dzibaiyah, dan muhadzoroh atau latihan ceramah.
58
c. Kegiatan bulanan 1). Istighosah bersama masyarakat sekitar. Istighosah ini selain untuk permohonan doa kepada Allah demi keselamatan dan keberhasilan juga dimaksudkan untuk menjalin silaturrahmi dengan masyarakat. Ini dilaksanakan 1 bulan sekali, yakni setiap malam jum’at legi di pondok putra. 2). Simaan Al-Qur’an Simaan Al-Qur’an dilaksanakan dengan membaca AlQur’an bi al-ghaib maupun bi an-nadlor yang disimak oleh santri lain. Tujuan utama simaan Al-Qur’an ini untuk melatih ingatan santri bi al-ghaib dan memperlancar membaca Al-Qur’an bagi santri bi an-nadlor. Simaan bagi santri bi al-ghaib dilaksanakan dua kali dalam satu bulan, yaitu awal bulan untuk santri putri dan akhir bulan untuk santri putra. Sedangkan untuk santri bi annadlor dilakukan satu kali dalam satu bulan, yaitu pada tengah bulan sekitar tanggal 15. 3). Pembacaan al-Barzanji yang dilaksanakan setiap bulan sekali. 4). Roan akbar d. Kegiatan tahunan 1). Penyelenggaraan wisuda santri berupa khataman Al-Qur’an yang penyelenggaraannya dilaksanakan 2 tahun sekali. 2). Nuzulul Qur’an 3). Penyelengaraan peringatan hari-hari besar agama Islam
59
4). Halal bi halal
B.
Deskripsi Data Khusus 1. Cara mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo PPTQ Al-Hasan adalah sebuah pondok pesantren yang sangat memperhatikan dan mengutamakan pembentukan generasi muda yang memiliki kepribadian muslim yang beriman, bertaqwa, berakhlak alkarimah (berakhlak Qur’ani), beramal shalih dan memiliki tanggung jawab serta kesadaran atas kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya. Berkenaan dengan hal itulah maka pengaktualisasian nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah sangat diperhatikan, serta menjadi salah satu program wajib PPTQ AlHasan. Adapun cara yang dilakukan pihak PPTQ Al-Hasan dalam mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah adalah: Sebagaimana yang disampaikan saudari Khoirul Ummatin, mantan ketua pengurus putri PPTQ Al-Hasan periode 2008-2009, mengatakan bahwa:96 Dengan melatih santri menghayati makna shalat berjamaah lima waktu dengan tertib, sehingga dapat menambah ketaqwaan dan keimanan santri kepada Allah SWT. dengan perantara shalat tersebut, salah satunya melalui doa yang dipanjakan dalam setiap shalat dan dzikir sehabis shalat. Dan usaha pengurus dalam hal ini adalah dengan menertibkan shalat berjamaah tersebut.
96
Lihat transkip wawancara nomor: 20/8-W/F-1/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
60
Sebagaimana yang disampaikan oleh saudari Muna, selaku seksi keamanan bahwa:97 Melalui pembiasaan, ya dengan mewajibkan shalat jamaah, ini untuk mendidik disiplin dan tanggung jawab santri. Dengan kebiasaan meskipun tidak diperintah tetap akan melakukan, jadi dengan kebiasaan di pondok maka dalam kehidupan di masyarakat pun akan seperti itu. Keteladanan, untuk menjadi figur, untuk melatih tawadlu’. Jadi misalnya Abah menyuruh sesuatu maka beliau juga melakukannya, begitu juga dengan ibu, dalam kehidupan sehari-hari misalnya ibu menyuruh bersih-bersih maka ibu juga ikut bersih-bersih, memberikan contoh bagi santrinya.
Sebagaimana yang disampaikan
juga oleh saudari Happy
Mutamimatin selaku seksi kesehatan, bahwa:98 Dengan diwajibkan dengan tujuan untuk melatih kedisiplinan dan ketertiban, dengan keteladanan karena kalau mbak-mbaknya aktif kan yang lain juga jadi ikut aktif, dengan ta’zir jadi bisa aktif dan anakanak jadi lebih bersemangat, dengan mau’idzah, karena biasanya setelah shalat jama’ah itu kan ada pengumuman-pengumuman, nah pada waktu itulah Abah memberikan mau’idzah tentang shalat jamaah.
Sebagaimana yang disampaikan
juga oleh saudari Khoirul
Rubiatin, selaku ketua seksi pendidikan bahwa:99 Dengan diwajibkan, dengan adanya pengabsenan rutin setiap kamar yang diserahkan pada ketua masing-masing, mengebel pada waktu datangnya sholat terutama shalat subuh, menyuruh menyegerakan sholat.
Dan hal ini juga diperjelas oleh saudari Mudrikatus Sa’diyah, selaku ketua pengurus putri PPTQ Al-Hasan periode 2009-2010, bahwa:100 Untuk shalat jamaah, memang dulu sudah pernah ada, tetapi karena ada hambatan akhirnya berhenti. Tetapi sekarang sudah mulai berjalan lagi. Dan ini sekarang menjadi peraturan yang turun dari Abah Yai
97
Lihat transkip wawancara nomor: 14/6-W/F-1/30-V /2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 23/9-W/F-1/31-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 99 Lihat transkip wawancara nomor: 11/5-W/F-1/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 100 Lihat transkip wawancara nomor: 03/2-W/F-1/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 98
61
sendiri. Bahwa bagi semua santri, baik putra maupun putri wajib mengikuti shalat berjamaah lima waktu, kecuali jika ada halangan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh saudari Afif Malihatul ’Abidah, selaku ketua seksi keamanan putri, bahwa:101 Pengurus sebagai contoh, pengurus harus didahulukan, makanya yang diurak-urak pengurusnya dulu, dan nanti jika ada ta’zir itu dua kali lipat. Nanti kalau pengurus sudah berjalan maka yang lain juga akan mengikuti. Dan kalau misalnya ditunggu 15 menit Abah tidak datang ke masjid maka badalnya kang santri.
Sebagaimana yang disampaikan pula oleh saudari Muna, selaku seksi keamanan putri PPTQ Al-Hasan, bahwa:102 Untuk yang tidak mengikuti shalat jama’ah subuh maka ta’zirnya tidak boleh mengaji kepada Abah Yai, kalau tidak ikut jama’ah lima waktu ya silahkan boyong. Jadi dengan hukuman itu anak akan sadar diri bahwasanya kalau dia dihukum berarti memang karena dia melakukan kesalahan sehingga mereka akan menjadi tertib dan disiplin, karena kalau misalnya ada yang melakukan kesalahan trus tidak dita’zir maka akan berantakan, tidak teratur dan terlalu bebas. Kalau begitu apa gunanya ada peraturan kalau tidak ditaati. Peraturan itukan untuk ditaati bukan untuk dilanggar.
Sebagaimana yang disampaikan juga oleh saudari Mudrikatus Sa’diyah, selaku ketua pengurus putri PPTQ Al-Hasan periode 20092010, bahwa:103 Sanksinya adalah diboyongkan (dipulangkan) dari pondok. Peraturan ini juga langsung dari Abah, dengan tujuan perampingan jumlah santri untuk mencetak generasi santri yang islami dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Abah. Abah memiliki prinsip “mending memiliki santri sedikit tetapi fokus pada pelajaran yang dipelajari disini.” Karena selama ini untuk santri putra itukan keadaanya bebas, dan untuk santri putri sendiri sanksinya belum ada, dan oleh Abah diserahkan kepada pengurus untuk diberi ta’zir apa.
101
Lihat transkip wawancara nomor: 06/3-W/F-1/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 14/6-W/F-1/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 103 Lihat transkip wawancara nomor: 03/2-W/F-1/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 102
62
Hal ini juga ditegaskan oleh saudari Afif Malihatul ’Abidah, selaku ketua keamanan putri, bahwa:104 Kalau ta’zir jamaah subuh itu tidak boleh mengaji Abah, jadi mereka rugi sendiri. Kalau yang lima waktu itu urusannya dengan Abah, nanti ada evaluasi 1 bulan sekali di masjid. Kalau dulu yang tidak ikut shalat jama’ah di ta’zir mengaji di jalan pada malam hari, dan di tunggu langsung oleh Abah, tetapi peraturan itu tidak berjalan terus dan sekarang lebih ditegaskan lagi. Dan untuk mengetahui ini aktif ikut shalat jama’ah atau tidak diserahkan kepada ketua kamar untuk mengabsen anggota kamarnya. Karena dari Abah Yai itu mewajibkan, terutama untuk pengurus karena sebagai contoh, dan barang siapa yang tidak mengikuti shalat jamaah sebanyak tujuh kali maka silahkan angkat kaki.
Menurut saudari Khoirul Ummatin, mantan ketua pengurus putri PPTQ Al-Hasan periode 2008-2009, mengatakan bahwa:105 Tidak ada perbedaan, hanya bedanya bagaimana setiap individu mengambil nilai edukatif yang terkandung dalam shalat berjama’ah tersebut, setiap orang pasti beda.
Hal ini juga ditegaskan oleh saudari shofi, selaku seksi bagian pendidikan, bahwa:106 Bagi yang bi al-nadzor maupun yang bi al-ghoib mungkin sama saja, tidak ada perbedaan. Tetapi bagi yang baru masih jauh tertinggal dari yang lama, sehingga perlu dorongan yang lebih. Begitu pula bagi yang sekolah, karena banyak waktu yang bentrok dengan kegiatan shalat berjama’ah, dan tentang nilai pun mereka masih tertinggal jauh dengan yang tidak sekolah.
2. Wujud aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo Berdasarkan dari hasil pengamatan peneliti, menemukan bahwa kehidupan pribadi serta sosial santri putri PPTQ Al-Hasan sudah sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari adanya interaksi antara sesama santri yang 104
Lihat transkip wawancara nomor: 06/3-W/F-1/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 20/8-W/F-1/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 106 Lihat transkip wawancara nomor: 17/7-W/F-1/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 105
63
telah mencerminkan rasa kekeluargaan, bahkan dengan masyarakat, kedisiplinan, semangat yang dimiliki para santri, kepatuhan mereka terhadap tata tertib pondok, serta keta’dziman mereka terhadap pengasuh pondok. Selain itu kehidupannya juga sudah mulai tertata, terbukti dengan adanya kepengurusan yang telah terstruktur yang mendukung dalam usaha penciptaan lingkungan yang kondusif demi terwujudnya aktualisasi nilai-nilai edukatif. Menurut saudari Asrurin Nurul Fadhilah, selaku santri lama PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:107 Dengan diadakannya kewajiban shalat berjamaah lima waktu dalam diri saya timbul sebuah semangat dan tanggung jawab. Memang kalau kita belum terlatih dari awalnya, mungkin niat pertama karena peraturan, tetapi kalau sudah terlatih akan lupa bahwa itu adalah peraturan. Dalam kehidupan (kegiatan) sehari-hari juga akan tertata. Kalau hari jumat dzuhur kan tidak ada jama’ah di sini, jadi hari biasa jam 1 belum ada sudah mengaji, tetapi kalau tidak ada jama’ah maka pasti masih tidur. Tentang pengurus, ada semangat untuk mengurusi tanggung jawabnya, meskipun untuk hal yang lain masih agak menyepelekan, tetapi itu hal yang wajar. Tetapi dalam artian untuk tanggung jawabnya mereka punya krenteg untuk menjalankannya. Dan karena diwajibkan shalat berjama’ah, maka yang mungkin awalnya karena takut dipulangkan tetapi lama-kelamaan juga terbiasa. Yang biasanya kalau mandi lama sekarang mereka tidak berani lagi mandi pada waktu-waktu shalat. Terus biasanya anak kan cuek, tetapi sekarang sudah tidak lagi, misalnya sudah mendengar adzan maka siapa yang bangun duluan maka itu yang akan membangunkan yang lain. Dan itu sudah menjadi kebiasaan. Dalam artian membantu temannya, ”fastabiqul khoirot”.
Menurut saudari Khoirul Ummatin, selaku mantan ketua santri PPTQ Al-Hasan periode 2008-2009, mengatakan bahwa:108 Dengan perantara shalat secara langsung setiap manusia mengakui keberadaan Allah atau iman kepada Allah, sebab dalam setiap gerakan shalat terdapat doa yang meng-Esa-kan Allah yaitu dalam bacaan 107 108
Lihat transkip wawancara nomor: 02/1-W/F-2/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 21/8-W/F-2/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
64
syahadat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, contoh setelah shalat berjamaah santri lebih rajin mengaji, lebih isiqomah berdzikir, lebih toleransi terhadap sesama, misalnya pada saat datang waktu shalat teman-teman yang tidur dibangunkan, lebih sabar dan menentramkan hati.
Menurut saudari Miftahur Rahmah, selaku santri baru PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:109 Menurut saya ya bisa melatih disiplin, yang biasanya enak-enakan jadi semangat. Jadi semakin akrab dengan teman-teman, apalagi saya sebagai santri baru yang belum begitu kenal banyak orang, jadi dapat membantu sosialisasi. kemudian shalat juga bisa semakin khusyu’, yang biasanya cepat jadi pelan dan tuma’ninah. kemudian karena di pondok terbiasa shalat tepat waktu, pada saat pulang kebiasaan itu tetap terbawa, ya...umpama molor itu tidak terlalu.
Menurut saudari Mudrikatus Sa’diyah, selaku ketua putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:110 Setelah mengikuti shalat berjama’ah, dari diri saya sendiri saya merasa ada tanggung jawab lebih untuk melakukan shalat jama’ah, menjadikan waktu kita lebih teratur, dan menjadikan diri kita semakin dekat denganNya, saya juga menjadi lebih bersemangat Teman-teman menjadi semakin disiplin, jujur, percaya diri dan yakin bahwa semua itu ada balasannya, selain itu setiap kamar memiliki absen sendiri, dari situ mereka dapat mengoreksi dan mengukur diri sendiri dan memotivasi untuk menjadi lebih baik lagi.
Menurut saudari Muna, salah satu santri putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:111 Displin, waktu juga jadi teratur, tidak tertunda-tunda, semakin mendekatan diri kepada Allah dan lebih khusyu’. Kalau shalat sendiri itu biasanya kan molor, pasti tidak tepat waktu, kalau jamaah itu pasti tepat waktu karena sudah ditentukan waktunya, jadi kalau tidak jama’ah itu rasanya kurang sempurna.
109
Lihat transkip wawancara nomor: 10/4-W/F-2/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 04/2-W/F-2/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 111 Lihat transkip wawancara nomor: 15/6-W/F-2/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 110
65
Menurut saudari Afif Malihatul ’Abidah, selaku ketua seksi keamanan putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:112 Saling tolong menolong dengan teman, kemudian pengurus adalah sebagai contoh, jadi punya tanggung jawab apalagi setelah ada peraturan, maka ya....berfikir juga. Kemudian silaturrahmi dengan ibu Nyai, teman-teman, serta masyarakat, karena biasanya sebelum shalat itu ngobrol dengan masyarakat. Disiplin, Yang biasanya tidak pernah jama’ah jadi jama’ah. Jama’ah dengan Abah Yai, otomatis ya ngalap barokah, mempererat persahabatan, misalnya dipondok bertengkar maka nanti pada saat jama’ah itu bisa bersalaman untuk minta maaf.
Menurut saudari Shofi, selaku seksi bagian pendidikan PPTQ Al-Hasan, bahwa:113 Kita semakin rajin dalam kegiatan shalat berjama’ah, kita semakin punya tanggung jawab dan merasa selalu butuh dengan sang Kholiq melalui shalat berjama’ah. Dan setelah mengikuti shalat berjama’ah secara rutin hati saya menjadi semakin tenang dan nyaman, serta melakukan aktifitas sehari-hari pun semakin enteng, dan terasa menyesal jika tidak mengikuti shalat berjama’ah.
Menurut saudari Happy Mutamimatin, selaku seksi kesehatan putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:114 Ya..teman–teman itu jadi lebih semangat, lebih aktif, lebih disiplin, dan ta’awanu ’ala al birri wa at taqwa mbak, kemudian juga semakin bertanggung jawab. Ada perasaan nyaman, dan meskipun sebelumnya itu males, tapi setelah bisa ikut shalat jama’ah itu merasa senang.
Menurut saudari Khoirul Rubiyatin, ketua seksi pendidikan putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:115 Ya alhamdulillah, wujudnya dalam kehidupan sehari-hari sudah ada, seperti ghosob itu masih ada, tetapi sudah berkurang, atau pengambilan keplek untuk mengaji itu juga perlu kejujuran, karena biasanya tanda tangan dulu tapi orangnya belum ada.
112
Lihat transkip wawancara nomor: 07/3-W/F-2/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 18/7-W/F-2/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 114 Lihat transkip wawancara nomor: 24/9-W/F-2/31-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 115 Lihat transkip wawancara nomor: 12/5-W/F-2/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 113
66
Menurut saudari Afif Malihatul ’Abidah, ketua seksi keamanan putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:116 Ya....istighosah, 1 bulan sekali, setiap malam jum’at legi yang dilaksanakan bersama-sama dengan masyarakat bertempat di pondok putra, tujuannya untuk menjalin silaturrahim santri dengan masyarakat. Kemudian shalat jamaah lima waktu, ini tidak hanya santri saja, tetapi juga masyarakat.
Menurut saudari Lathifatul Musyayaroh, salah satu santri putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:117 Mendekatkan diri kepada Allah, menanamkan solidaritas sosial, meringankan kita untuk melaksanakan shalat demi untuk mendekatkan diri, karena kalau misalnya di rumah itukan lebih susah, nah karena bareng-bareng jadi enteng, dan mengingat pahalanya yang 27 derajat.
Menurut saudari Afif Malihatul ’Abidah, ketua seksi keamanan putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:118 Program kerja keamanan disini adalah melayani izin pulang, menjaga hp masuk. Sebenarnya tidak boleh membawa tetapi karena ada kasus sekarang boleh membawa tetapi harus dititipkan di loket depan. Kemudian menjaga sepeda, apabila ada yang parkir di luar pada malam hari serta menutup pintu gerbang.
Menurut saudari Miftahur Rahmah, selaku santri baru PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:119 Setuju, malah sangat setuju. Kalau tidak jama’ah itukan shalatnya di akhir-akhir waktu, kalau jamaah shalatnya jadi di awal waktu.
Menurut saudari Muna, santri baru PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:120 Shalat jamaah itu bagi saya ya...kebutuhan, kalau kewajiban itu kan sepertinya harus, karena di absen, dan masih dipaksakan oleh orang lain.kalau butuh kan kita mencari sendiri, jadi kesadaran sendiri. 116
Lihat transkip wawancara nomor: 07/3-W/F-2/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 27/10-W/F-2/31-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 118 Lihat transkip wawancara nomor: 07/3-W/F-2/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 119 Lihat transkip wawancara nomor: 10/4-W/F-2/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 120 Lihat transkip wawancara nomor: 15/6-W/F-2/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 117
67
Pada hari Selasa, tanggal 12 Mei 2009, peneliti menyaksikan dua orang santri putri yang baru saja pulang kuliah pada saat shalat jama’ah dzuhur di masjid sudah selesai, mereka berdua kemudian mengambil air wudlu dan melaksanakan shalat berjama’ah dzuhur di kamar.121 Pada hari Selasa, tanggal 12 Mei 2009, peneliti menyaksikan ada seorang santri yang memiliki 1piring nasi putih, kemudian ada santri putri lain yang memberinya lauk dan sayur, dan akhirnya dia mengajak beberapa temannya untuk makan bersama dalam satu piring.122 Pada hari Rabu, tanggal 20 Mei 2009, peneliti menyaksikan ada seorang santri putri yang mengumumkan bahwa dia baru saja menemukan sejumlah uang di atas gedung asrama putri, tapi setelah berkeliling ke seluruh kamar sambil mengumumkannya, tidak ada seorang pun yang mengakui uang tersebut, karena memang ternyata baru diketahui kalau tadi ada santri putri yang kehilangan uangnya dan waktu itu dia sedang keluar.123 Pada hari Sabtu, tanggal 23 Mei 2009, peneliti menyaksikan pada saat hujan mulai turun ada beberapa orang santri putri yang sedang mengangkat baju dari jemuran, mereka juga membantu untuk mengangkatkan baju teman-teman mereka yang sedang sekolah atau sedang mengaji kepada Abah Yai dan belum sempat untuk mengangkat baju sendiri.124
121
Lihat transkip observasi nomor: 04/O/F-2/12-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip observasi nomor: 05/O/F-2/12-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 123 Lihat transkip observasi nomor: 06/O/F-2/20-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 124 Lihat transkip observasi nomor: 07/O/F-2/23-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 122
68
3. Faktor pendukung dan penghambat dalam aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo a. Faktor pendukung dalam aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah Faktor pendukung menurut ketua pengurus putri PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:125 Adanya pengabsenan jama’ah shalat yang dikoordinir kamar masingmasing, adanya fasilitas seperti masjid yang memadai, dan kesadaran semua santri untuk melaksanakan kegiatan dengan baik.
Faktor pendukung menurut ketua seksi bidang pendidikan PPTQ Al-Hasan mengatakan, bahwa:126 Faktor pendukungnya adalah jika yang adzan suaranya bagus, air lancar, tidak antri. Ya...yang pasti adanya kesadaran dari setiap santri dan adanya pengabsenan.
Faktor pendukung menurut mantan ketua santri putri PPTQ Al-Hasan periode 2008-2009 mengatakan, bahwa:127 Faktor pendukungnya antara lain shalat berjamaah merupakan peraturan yang wajib ditaati bagi tiap santri yang peraturan tersebut langsung bersumber dari pengasuh pondok, sehingga tidak ada alasan untuk melanggar peraturan tersebut. Kemudian koordinasi yang baik dari pengurus dalam menjalankan progran shalat berjama’ah, sehingga melancarkan jalannya program tersebut.
Faktor pendukung menurut ketua keamanan putri PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:128 Adanya absensi kamar dan kalau 15 menit Abah tidak datang ke masjid, maka badalnya kang santri. Trus biasanya temen-temen juga 125
Lihat transkip wawancara nomor: 05/2-W/F-3/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 13/5-W/F-3/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 127 Lihat transkip wawancara nomor: 22/8-W/F-3/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 128 Lihat transkip wawancara nomor: 08/3-W/F-3/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 126
69
suka bilang kalau tidak jama’ah kapan ngajine, kapan boyonge, apalagi kalau dapat ta’zir.
Faktor pendukung menurut seksi keamanan putri PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:129 Abah sendiri juga mendukung dan memberikan teladan, airnya lancar, masjidnya bersih, yang adzan suaranya juga bagus, serta mudahnya mengatur santri putri, jadi kalau ada peraturan tidak perlu terlalu ngoprak-ngoprak mereka sudah pada berangkat. Selain itu masjidnya dekat.
Menurut saudari Mudrikatus Sa’diyah, selaku ketua putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:130 Abah adalah sosok yang sangat memotivasi kita, dan apa yang beliau ucapkan akan berusaha kita laksanakan.
Faktor pendukung menurut seksi pendidikan putri PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:131 Faktor pendorong disini yaitu, yang pastinya adalah kesadaran dari setiap santri untuk hal tersebut, adanya pengabsenan setiap shalat berjama’ah.
Menurut saudari Happy Mutamimatin, selaku seksi kesehatan putri PPTQ Al-Hasan, mengatakan bahwa:132 Ya karena disini kan di wajibkan.
b. Faktor penghambat dalam aktualisasi nilai edukaif melalui kegiatan shalat berjama’ah Faktor penghambat menurut mantan ketua putri PPTQ AlHasan periode 2008-2009 mengatakan, bahwa:133
129
Lihat transkip wawancara nomor: 16/6-W/F-3/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 05/2-W/F-3/7-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 131 Lihat transkip wawancara nomor: 19/7-W/F-3/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 132 Lihat transkip wawancara nomor: 25/9-W/F-3/31-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 133 Lihat transkip wawancara nomor: 22/8-W/F-3/30-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 130
70
Adanya santri-santri tertentu yang bandel dalam mentaati peraturan, khususnya shalat jamaah. Adanya niat mengikuti shalat berjamaah karena adanya aturan bukan karena makna penting yang terkandung dalam shalat tersebut.
Faktor penghambat menurut seksi bidang pendidikan PPTQ Al-Hasan mengatakan, bahwa:134 Faktor penghambatnya itu bentrokan antara kegiatan santri di luar dengan waktu shalat berjama’ah, air yang kurang, antri wudlu, dan malas.
Faktor penghambat menurut ketua keamanan putri PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:135 Kebiasaan bagi santri yang apabila pulang sekolah ada yang tidak mengikuti jamaah dengan alasan capek, dan dari fasilitas, yaitu terkadang airnya mati dikarenakan diesel rusak Kalau adzan suarnya jelek bikin males,masalah air, apalagi waktu dzuhur karena panas, dan subuh karena masih ngantuk. Apalagi di sini anak luar sudah dicap agak mbeling, pengumumannya pas selesai shalat jamaah, karena pulang sekolah jam 1.
Faktor penghambat menurut seksi kesehatan putri PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:136 Tapi kalau siang malas mbak. Karena biasanya kalau pulang kuliah itu kan capek.
Usaha yang dilakukan pengurus berkaitan dengan faktor penghambat yang ada menurut seksi bidang pendidikan PPTQ AlHasan, mengatakan bahwa:137 Dari pengurus, kalau masalah air, kamar mandinya tidak hanya di depan, dan mengawali berwudlu supaya tidak antri. Kalau masalah males ya dari diri sendiri.
134
Lihat transkip wawancara nomor: 13/5-W/F-3/8-V /2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip wawancara nomor: 08/3-W/F-3/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 136 Lihat transkip wawancara nomor: 25/9-W/F-3/31-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 137 Lihat transkip wawancara nomor: 13/5-W/F-3/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. 135
71
Menurut
seksi
bidang
keamanan
PPTQ
Al-Hasan,
mengatakan bahwa:138 Belum ada, ya mulai dengan absensi itu karena urusannya langsung dengan Abah Yai.
Pada hari Senin, tanggal 11 Mei 2009, peneliti menyaksikan kegiatan shalat jama’ah dzuhur yang di laksanakan pada jam 12.1512.30 WIB di masjid Nur Al-Salamah Al-Hasan, shalat jama’ah dzuhur tersebut dilaksanakan oleh seluruh santri Al-Hasan, beserta pengasuh dan beberapa orang yang berasal dari masyarakat sekitar. Kegiatan shalat berjamaah ini merupakan kegiatan yang diwajibkan bagi seluruh santri PPTQ Al-Hasan. Tapi meskipun demikian masih ada santri putri yang tidak mengikuti shalat berjama’ah dzuhur, mereka adalah santri yang mengikuti kegiatan pendidikan di luar pondok, yaitu sekolah dan kuliah. Pulang dari sekolah mereka tidak langsung masuk pondok, tetapi mampir dulu ke loket penitipan Hand Phone pondok yang berada di depan pondok putri.139 Pada hari Selasa, tanggal 12 Mei 2009, peneliti menyaksikan antrian panjang santri putri di depan kamar mandi untuk mengambil air wudlu untuk shalat subuh, dan karena air yang tidak lancar akhirnya banyak sekali santri putri yang terlambat dan tidak bisa mengikuti shalat berjama’ah di masjid, dan itu berarti mereka tidak
138 139
Lihat transkip wawancara nomor: 08/3-W/F-3/8-V/2009 dalam lampiran skripsi ini. Lihat transkip observasi nomor: 02/O/F-3/11-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
72
akan bisa mengaji kepada Abah Yai karena tidak bisa mengambil keplek yang dijadikan sebagai persyaratan mengaji.140 Dari hasil penelitian di atas, diketahui bahwa, PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan merupakan salah satu lembaga pendidikan yang benarbenar menjadikan nilai-nilai pendidikan sebagai dasar bagi seluruh sistem pendidikannya. Hal ini telah terbukti, salah satunya adalah dengan adanya kebijakan pihak pengasuh yang mewajibkan seluruh santri untuk mengikuti kegiatan shalat berjama’ah lima waktu di masjid, di mana hal tersebut berkaitan erat dengan penanaman nilai-nilai edukatif. Meskipun dalam perjalanannya mengalami banyak hambatan, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan niat untuk tetap berpegang teguh pada tujuan awal pondok, yang salah satunya adalah menghasikan pribadi muslim yang beriman, bertaqwa, berakhlak al-karimah (berakhlak Qur’ani), beramal shalih dan memiliki tanggung jawab serta kesadaran atas kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya.
140
Lihat transkip observasi nomor: 03/O/F-2/12-V/2009 dalam lampiran skripsi ini.
73
BAB IV ANALISIS TENTANG AKTUALISASI NILAI EDUKATIF MELALUI KEGIATAN SHALAT BERJAMA’AH DI PONDOK PESANTREN TAHFIDZ AL-QUR’AN AL-HASAN PATIHAN WETAN BABADAN PONOROGO
A.
Analisis Cara Mengaktualisasikan Nilai Edukatif Melalui Kegiatan Shalat Berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo Manusia adalah makhluk yang dalam perkembangannya tidak lepas dari pengaruh bawaan sebagai potensi yang dimilikinya serta lingkungan yang ada di sekitarnya, baik keluarga, sekolah maupun masyarakat. Dalam diri manusia terdapat dua macam potensi, yaitu potensi positif yang akan mengarahkannya untuk menjadi orang yang baik dan potensi negatif sebagai lawannya, kedua potensi inilah yang akan mengantarkan manusia dalam perkembangan yang selanjutnya. Sedangkan kedua potensi tersebut akan selalu bertentangan, maka dalam perjalanannya potensi manakah yang lebih dominan itulah yang akan lebih berpengaruh, terutama dalam pembentukan kepribadian manusia tersebut. Dari sini, maka diperlukan adanya bimbingan terhadap potensi-potensi yang ada, untuk mengarahkan potensi positif agar dapat berkembang dengan sempurna, sedangkan potensi negatif dapat diarahkan dan dikendalikan, sehingga tidak akan berbahaya bagi perkembangan potensi positif.
73
74
Bimbingan dapat dilakukan dalam proses pendidikan, baik oleh orang tua, pendidik bahkan oleh masyarakat melalui interaksi diantara mereka. Dan pendidikan dalam prosesnya tidak akan pernah dapat lepas dari tujuan yang hendak dicapai, sedangkan tujuan sendiri dalam penetapannya haruslah berdasarkan pada nilai-nilai pendidikan, nilai yang dianggap sebagai kebenaran. Dengan demikian, pendidikan merupakan salah satu usaha untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan dalam diri manusia, yang dalam hal ini adalah peserta didik. Untuk menanamkan nilai pendidikan dalam diri manusia diperlukan sebuah proses yang sangat panjang, yakni mulai dari pengenalan, pemahaman, barulah nilai-nilai tersebut akan dapat tertanam sehingga dapat menjadi warna bagi kehidupan manusia. Seperti halnya minum jamu, pada awalnya anak hanya diberi tahu nama dari jamu tersebut dan diberi tahu bahwa rasanya enak, tindakan ini adalah sebagai pengenalan, kemudian barulah anak diberi tahu tentang manfaat dari minum jamu sebagai pemahaman terhadap mereka, dan akhirnya karena pemahamnnya akan manfaat jamu dan karena telah merasakan enaknya, maka anak akan mau minum jamu tanpa harus disuruh, bahkan mungkin saja jamu tersebut menjadi minuman favoritnya. Seluruh proses tersebut selain memerlukan waktu yang sangat panjang, juga harus dilakukan dengan menggunakan metode yang benar dan sesuai, karena penanaman nilai-nilai ini berkaitan dengan seluruh aspek manusia, meliputi aspek afektif, kognitif maupun psikomotoriknya.
75
Untuk itu usaha yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Tahfidz AlQur’an Al-Hasan Patihan Wetan dalam rangka meningkatkan pemahaman tentang penanaman nilai-nilai pendidikan salah satunya adalah melalui kegiatan shalat berjama’ah yang dilaksanakan dengan berbagai metode. Ada empat metode yang diterapkan oleh pihak PPTQ Al-Hasan dalam rangka mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah. 1. Maui’dzah (nasehat) Kegiatan shalat berjama’ah lima waktu di masjid Nur AlSalamah
PPTQ
Al-Hasan
dimanfaatkan
untuk
menyampaikan
pengumuman penting, selain itu juga untuk mendengarkan mau’idzah dari Abah Yai Husein ’Aly, di mana disampaikan tentang pentingnya pelaksanaan suatu amal, hikmah yang terkandung di dalamnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah, terutama yang berkaitan dengan shalat berjama’ah dan mengaji Al-Qur’an. Karena pada waktu shalat berjama’ah itulah semua santri, baik putra maupun putri dan pengasuh dapat berkumpul di masjid. Hal ini dimaksud agar terbentuk sikap optimisme terutama terhadap rahmat dan surga Allah, kontrol diri serta keteraturan (disiplin) dari setiap santri. Dan juga bertujuan untuk membentuk kesatuan visi dan misi pondok, yakni pendidikan yang harus didasarkan pada ke-Esaan Allah beserta seluruh aspeknya. Sebagaimana yang dikatakan Al-Nahlawi (dalam bukunya Ahmad Tasir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam, hlm. 145-146), menjelaskan bahwa
76
metode mau’idzah ini dimaksudkan untuk mengajak orang yang dinasehati untuk mengamalkan kebenaran yang diterimanya. 2. Keteladanan Sesuai dengan salah satu tujuan dari PPTQ Al-Hasan yaitu untuk menghasikan pribadi muslim yang beriman, bertaqwa, berakhlak alkarimah (berakhlak Qur’ani), beramal shalih dan memiliki tanggung jawab serta kesadaran atas kesejahteraan umat Islam khususnya dan masyarakat pada umumnya, maka pengasuh PPTQ Al-Hasan mengambil ketegasan dengan mewajibkan shalat berjama’ah lima waktu di masjid. Namun
disamping
memberikan
sebuah
peraturan
beliau
juga
memberikan teladan dengan melaksanakan shalat berjama’ah di masjid bersama-sama dengan santrinya dan bertindak sebagai imam shalat. Pada dasarnya manusia memiliki kecenderungan untuk meniru, dan mengambil apa yang ada di luar dirinya yang menarik, sesuai dan berhubungan dengan seluruh aspek kehidupannya, yang selanjutnya akan menjadikannya sebagai dasar dalam mewarnai hidupnya. Keteladanan sebagai salah satu metode untuk menanamkan nilai, dan dilakukan dalam rangka untuk mendidik sikap tawadlu’ pada diri santri dengan menjadikan pengasuh maupun pengurus sebagai figur yang dapat ditiru melalui perilaku yang dipraktikkan sehari-hari. Melalui keteladanan, santri akan menyaksikan sendiri bagaimana nilai-nilai pendidikan itu diperagakan dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian nilai-nilai tersebut akan dapat tertanam dalam diri mereka, dan
77
nilai yang tumbuh dan diterima atas dasar pilihan dan kesadaran sendiri tentu akan lebih stabil dan tidak mudah berubah. Karena menurut Khoiron Rosyadi (dalam bukunya Pendidikan Profetik, hlm. 230-231), keteladanan merupakan kebutuhan yang mendasar, yakni untuk dijadikan sebagai suri tauladan, penerang jalan kebenaran dan menjadi contoh hidup yang menjelaskan tentang bagaimana yang seharusnya melaksanakan syariat Allah. 3. Pembiasaan Dalam
pelaksanaan
pembiasaan,
peraturan
wajib
shalat
berjama’ah lima waktu pelaksanaanya sesuai dengan jadwal yang telah dibuat oleh pondok seperti pengadaan absensi shalat berjama’ah lima waktu dan penentuan untuk menjadi imam serta badal (pengganti imam), hal ini dilakukan agar tidak ada perselisihan dan menempatkan yang berhak pada tempatnya, selain itu pembiasaan shalat berjama’ah ini akan membentuk sikap adil dan sederhana pada setiap santri, seperti pembiasaan siapa yang datang lebih dulu maka dia yang di depan, dan yang terakhir di belakang meskipun yang datang tersebut ibu Nyai pondok. Peraturan-peraturan tentang shalat berjama’ah lima waktu yang dibuat oleh pondok bukan bertujuan untuk memaksa, tetapi dalam rangka pembiasaan agar seluruh santri dapat berpandangan luas, dan semangat mencari hikmah di balik hal-hal yang terlihat sehingga terbentuklah sikap Loyalitas serta amar makruf nahi munkar. Karena
78
loyalitas (kesetiaan) merupakan sesuatu yang berangkat dari panggilan jiwanya, niat untuk mendekatkan dan mengiyakan perintah yang benarbenar datang dari sanubarinya. 4. Hukuman Sesuai dengan prinsip dan tujuan pengasuh PPTQ Al-Hasan, yaitu melakukan perampingan jumlah santri demi untuk mencetak generasi santri yang islami dan sesuai dengan apa yang diharapkan, dengan hanya memfokuskan diri pada apa yang sedang dipelajarinya, maka Abah Yai Husein ’Aly memberikan penegasan dengan mewajibkan shalat berjama’ah lima waktu di masjid bagi seluruh santrinya, baik putra maupun putri. Dengan adanya peraturan tersebut, maka akan ada hukuman (ta’zir) yang akan diterima oleh santri sebagai konsekuensi apabila tidak mengikuti shalat berjama’ah lima waktu di masjid tanpa ada alasan yang tepat dan kuat. Dan bentuk ta’zir yang diberikan sesuai dengan bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh santri. Hukuman yang diberikan berbentuk represif, yaitu hukuman yang dilakukan karena adanya suatu pelanggaran yang terjadi. Dalam hal ini hukuman yang di berikan besifat mendidik tanpa ada unsur kekerasan fisik maupun psikis, dengan harapan akan menimbulkan kejeraan pada diri santri tanpa meninggalkan dendam dalam hati mereka, dan sebagai salah satu cara untuk mendidik santri agar memiliki rasa tanggung jawab, terutama atas segala perbuatan yang dilakukannya dan
79
berani mengakui kesalahan diri, karena apapun yang kita lakukan maka hasilnya akan kembali kepada kita sendiri. Dan dalam hal ini, baik bagi santri yang bi al-nadzor, bi al-goib, santri lama, baru, yang sekolah maupun yang tidak, tidak ada perbedaan metode. Hanya saja untuk santri baru dan yang sekolah, maka mereka masih membutuhkan dorongan yang lebih.……………………………
B.
Analisis Wujud Aktualisasi Nilai Edukatif Melalui Kegiatan Shalat Berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo Dalam kehidupannya, manusia dibekali dengan bermacam-macam potensi. Seluruh potensi tersebut merupakan alat yang diberikan oleh Allah pada manusia untuk menjalankan beban dan tanggungjawabnya. Dengan alat ini manusia dapat menjalankan ibadah, menunaikan kewajiban, bersikap amanah, serta mencapai kedudukan khalifah. Kelebihan yang dimiliki manusia dapat menjadikan suatu alasan bahwa manusia mampu menjalankan tugasnya seperti yang Allah berikan. Selain potensi tersebut manusia membutuhkan nilai-nilai yang harus terwujud. Ibadah bagi seorang mukmin adalah dengan menyerahkan segala macam urusan hidupnya demi untuk melaksanakan perintah, mencapai segala yang dikehendaki dan diridloi Allah baik urusan yang menyangkut tentang kepercayaan, perbuatan, maupun perkataannya, serta untuk menjauhi segala yang dilarang dan dibenci Allah SWT. Maka dari sini, seseorang itu akan dapat dikatakan sebagai mukmin apabila dia telah melepaskan segala
80
macam urusannya dan memasrahkannya kepada Allah, dalam arti kepasrahan yang tetap dibarengi dengan ikhtiar, dan telah keluar dari belenggu pengabdian pada selain Allah, termasuk di dalamnya pengabdian terhadap dirinya sendiri, yang pada hakekatnya merupakan pengabdian terhadap nafsu yang ada dalam dirinya. Seseorang belum dapat dikatakan mukmin, hanya dengan melakukan semua perintah Allah SWT saja, tetapi di samping itu dia juga masih gencar melakukan hal-hal yang dilarangNya serta tidak mau menerapkan nilai-nilai pendidikan dalam kehidupannya, yakni dengan menjadikannya sebagai dasar dalam menjalin hubungan baik dengan keluarga, masyarakat maupun dengan dirinya sendiri sebagai makhluk individu. Nilai edukatif shalat berjama’ah dapat terwujud ketika santri putri memperoleh hikmah dari setiap proses dalam menjalankan shalat berjama’ah. Untuk mendapatkan hikmah tersebut mereka harus menjalankan shalat berjama’ah dengan penuh kesadaran akan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai seorang hamba Allah, bukan karena mereka takut akan peraturan-peraturan yang diterapkan di pondok tentang pelaksanaan shalat jama’ah beserta ta’zirnya. Meskipun pada awalnya santri putri menjalankan shalat jama’ah dengan adanya paksaan yang berasal dari peraturan-peraturan pondok (kontrol dari luar), tapi lama-kelamaan mereka terbiasa juga dengan menjadikan shalat jama’ah sebagai kebutuhan. Dari sini mulai terbentuk kontrol dari dalam diri santri. Kemudian dari yang biasanya kalau mandi
81
lama sekarang mereka sudah tidak berani lagi mandi pada waktu-waktu shalat, yang biasanya bangun tidurnya susah sekarang sudah tidak lagi dan menjadi lebih aktif. Di sini mulai terlihat jelas akan nilai edukatif shalat jama’ah lima waktu dan dapat dilihat dari hikmah yang diperoleh santri putri yakni tentang kontrol diri, kedisiplinan serta kejujuran sebagai bagian dari nilai moral. Santri putri yang biasanya cuek dengan keadaan temannya yang suka mbangkong (bahasa jawanya) sekarang sudah tidak lagi, misalnya sudah mendengar adzan,
maka siapa
yang bangun
terlebih
dulu akan
membangunkan yang lain, dan hal itu sudah menjadi suatu kebiasaan dikalangan santri putri. Sehingga dengan begitu terciptalah lingkungan yang kondusif bagi pengaktualisasian nilai edukatif. Di sini terlihat jelas akan nilai edukatif shalat jama’ah lima waktu, yang tercermin pada hikmah shalat jama’ah, yakni membiasakan bersatu dan tolong-menolong dalam kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai bagian nilai estetika. Kemudian dalam kehidupan sehari-hari, santri putri juga menjadi lebih toleransi dan semakin akrab, baik dengan pengasuh, teman-teman maupun masyarakat. Sedangkan bagi santri baru, shalat jama’ah dapat membantu sosialisasi. Di sini terlihat jelas tentang bagian dari nilai etika sosial melalui hikmah shalat jama’ah yang sangat besar, yakni sikap saling mengenal, solidaritas sosial, persamaan dan persaudaraan. Selanjutnya santri putri yang biasanya enak-enakan jadi bersemangat dan lebih sabar. Mereka mulai merasakan ketentraman hati dan merasa
82
senang. Mereka juga merasakan bahwa dengan berjama’ah shalat akan semakin terjaga, karena jika pada satu kesempatan ada yang lupa maka ada yang mengingatkan, selain itu juga dalam rangka ngalap barokah. Disini terlihat jelas akan nilai kebenaran/ ilmu, sesuai dengan hikmah yang diperoleh santri putri melalui aktifitas shalat jama’ah lima waktu, yakni menyempurnakan shalat orang-orang yang kurang ibadahnya. Selain itu santri putri juga merasa menjadi istiqomah berdzikir, rajin mengaji, khusyu’, tuma’ninah, dan yakin bahwa semua itu ada balasannya serta meringankan kita untuk melaksanakan shalat demi untuk mendekatkan diri kepada Allah. Di sini terlihat jelas akan nilai agama, sesuai dengan hikmah yang diperoleh santri putri melalui aktifitas shalat jama’ah lima waktu, yakni menghindarkan dari kelupaan sehingga menghasilkan khusuk dan kehadiran hati, dan yang terpenting adalah kesatuan tujuan bersama mengabdi kepada Allah SWT. Dan dari kesemuanya tadi tidak lain adalah berpangkal pada keutamaan serta nikmat iman yang kelak diberikan Allah.
C.
Analisis Faktor Pendukung dan Penghambat Dalam Aktualisasi Nilai Edukatif Melalui Kegiatan Shalat Berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo Telah disadari bersama, bahwa proses pendidikan dapat berhasil dengan baik apabila terdapat beberapa faktor pendukung, baik yang bersifat material maupun spiritual. Menyadari hal yang demikian, sepertinya pihak
83
PPTQ Al-Hasan telah berupaya, namun karena keterbatasanya sehingga beberapa faktor yang semestinya terpenuhi menjadi tidak terpenuhi. Maka wajarlah apabila dalam proses mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo mengalami berbagai hambatan. Tentunya hal ini berdasar pada adanya faktor–faktor pendukung dan penghambat dalam proses pendidikan, di mana faktor-faktor tersebut berkaitan erat dengan kekutan, kelemahan, peluang serta ancaman yang dimiliki oleh PPTQ Al-Hasan, terutama yang berkaitan dengan aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah. Maka dari sini penulis akan mencoba menganalisis faktor pendukung dan penghambat dalam mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo, dengan melihat dan mempertimbangkan faktor-faktor kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman yang ada, meliputi: 1. Tujuan a. Kekuatan Tujuan dapat memberikan pengukuran atau rambu-rambu tentang hasil yang ingin dicapai, sehingga dapat dijadikan pendorong dan sebagai dasar dalam usaha untuk mewujudkan nilai edukatifm b. Kelemahan Pemahaman santri yang kurang terhadap tujuan pondok secara global, disebabkan karena kurangnya sosialisasi.
84
c. Peluang Adanya interaksi yang baik dan waktu bersama yang cukup banyak sehingga memberikan kesempatan bagi proses sosialisasi tujuan pondok agar dapat lebih maksimal. d. Ancaman Pemahaman yang salah dan anggapan tidak penting terhadap tujuan pondok, terutama dari diri para santri putri. 2. Pendidik, dalam hal ini adalah pengasuh pondok. a. Kekuatan Kepribadian pengasuh yang dapat dijadikan sebagai teladan bagi santri putri sehingga mempermudah untuk memahami tentang nilainilai pendidikan dan kemudian menerapkannya di dalam kehidupan. b. Kelemahan Ketegasan pengasuh yang kurang dalam menerapkan peraturan yang ada. c. Peluang Pemberian dukungan dan kedekatan pengasuh dengan santri putri dapat mempermudah dalam usaha untuk mewujudkan nilai pendidikan. d. Ancaman Faktor kesehatan pengasuh pondok yang kurang baik dan kesibukan beliau di luar pondok.
85
3. Peserta didik a. Kekuatan Kesadaran santri putri akan pentingnya shalat berjama’ah beserta hikmah-hikmahnya, sehingga dengan keikhlasan dan kesadaran penuh, meskipun tanpa adanya peraturan tersebut mereka akan tetap menjalankannya. b. Kelemahan Kemalasan yang dirasakan oleh sebagian santri putri karena alasan capek. c. Peluang Mudahnya mengatur santri putri sehingga memudahkan dalam penerapan peraturan, termasuk peraturan tentang kewajiban shalat berjama’ah lima waktu di masjid. d. Ancaman Niat mengikuti shalat berjama’ah adalah karena adanya peraturan bukan karena makna penting yang terkandung dalam shalat tersebut, serta adanya beberapa santri putri tertentu, terutama yang berasal dari luar Jawa, yang sudah dicap agak mbeling dan bandel dalam mentaati peraturan, khususnya shalat jama’ah. 4. Alat Pendidikan a. Kekuatan Suara muadzin yang merdu serta air yang cukup yang dipergunakan untuk bersuci. Selain itu adanya pengabsenan, dan evaluasi setiap 1
86
bulan sekali dengan pengasuh yang dilaksanakan di masjid, setelah shalat jama’ah. b. Kelemahan Kerusakan pada mesin air menyebabkan keterlambatan pemenuhan kebutuhan air sehingga dapat menghambat pengaktualisasian nilai edukatif melalui shalat berjama’ah dan suara muadzin yang kurang merdu, serta kurang tertibnya pengisian absensi shalat berjama’ah lima waktu di masjid. c. Peluang Jarak masjid yang cukup dekat yang masih berada dalam lingkungan pondok, kebersihan masjid yang selalu terjaga dan adanya jadwal muadzin yang sebelumnya telah ditentukan terlebih dahulu, yakni dengan kriteria memiliki suara yang merdu. d. Ancaman Adanya muadzin yang memiliki suara yang kurang merdu yang mengambil alih jadwal adzan tanpa ada persetujuan dari petugas yang asli dan adanya kecurangan dalam pengisian absensi shalat berjama’ah. 5. Lingkungan a. Kekuatan Lingkungan yang kondusif karena adanya kebiasaan tolong menolong di antara santri putri
87
b. Kelemahan Adanya kegiatan santri putri di luar pondok yang bertepatan dengan waktu shalat berjama’ah. c. Peluang Lingkungan pesantren yang memberikan keuntungan tersendiri bagi usaha mewujudkan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah d. Ancaman Adanya kecurangan dari santri putri yang mengatas namakan kegiatan sekolah untuk tidak mengikuti kegiatan shalat berjama’ah di masjid, terutama untuk shalat berjama’ah dzuhur. Usaha yang telah dilakukan oleh pihak PPTQ terkait faktor penghambat yang ada, dalam hal ini termasuk di dalamnya adalah faktor kelemahan dan ancaman, sementara ini masih terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan alat pendidikan, yakni dengan pengadaan fasilitas yang memadai dan mengadakan absensi shalat berjama’ah lima waktu bagi masing-masing kamar yang diserahkan kepada masing-masing ketua kamar. Dengan demikian, usaha selanjutnya yang harus dilakukakan oleh pihak pondok, baik dari pihak pengasuh maupun pengurus sendiri adalah untuk mengoptimalkan faktor-faktor yang merupakan kekuatan, termasuk diantaranya yang berkaitan dengan tujuan, kepribadian pengasuh, kesadaran santri putri, alat pendidikan yang telah ada dan lingkungan yang kondusif, dengan tujuan untuk memperbaiki kekurangan yang diakibatkan adanya beberapa kelemahan, termasuk diantaranya adalah yang berkaitan dengan
88
pemahaman santri yang kurang akan tujuan pondok, ketegasan pengasuh, motivasi yang dimiliki santri putri, kurang maksimalnya alat pendidikan, serta adanya kegiatan luar pondok. Kemudian pihak pondok juga harus dapat memanfaatkan peluangpeluang yang ada, baik yang berkaitan dengan tujuan, pengasuh, diri santri, alat pendidikan maupun lingkungan pendidikan, hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir faktor-faktor yang dapat menjadi ancaman bagi aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah. Dari penjelasan di atas, diketahui bahwa dalam kaitannya dengan usaha aktualisasi nilai edukatif, pesantren merupakan lembaga yang paling efektif, karena hal ini sesuai dengan faktor pendidikan yang ada dalam pesantren sendiri, termasuk di dalamnya adalah tujuan, kyai, santri, alat pendidikan serta lingkungan yang sangat kondusif, dengan tanpa mengabaikan seluruh faktor-faktor yang dimiliki, baik kekuatan, kelemahan, peluang terlebih ancaman yang ada. Karena seluruh faktor tersebut akan sangat berpengaruh bagi perkembangan dan kemajuan pondok sendiri, dan terutama bagi perkembangan dan kemajuan para santri, sehingga dapat menjadi insan kamil yang dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
89
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian tentang aktualisasi nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah di PPTQ Al-Hasan Patihan Wetan Babadan Ponorogo, dapat disimpulkan, bahwa: 1. Dalam rangka mengaktualisasikan nilai edukatif melalui kegiatan shalat berjama’ah, terdapat empat metode yang diterapkan oleh pihak PPTQ AlHasan, yaitu: maui’dzah, keteladanan, hukuman dan pembiasaan. Dan paduan dari seluruh metode tersebut diharapkan dapat mendidik dan menanamkan nilai-nilai edukatif dalam diri para santri. 2. Aktualisasi nilai edukatif dapat diwujudkan oleh santri putri ketika mereka memperoleh hikmah (nilai pendidikan) dari pada shalat berjama’ah. Wujud dari aktualsasi nilai edukatif tersebut adalah: a. Nilai moral: kontrol diri, kedisiplinan serta kejujuran. b. Nilai
estetika:
kebiasaan
tolong
menolong
sehingga
tercipta
lingkungan yang kondusif bagi pengaktualisasian nilai edukatif. c. Nilai etika sosial: sikap saling mengenal, solidaritas sosial, persamaan dan persaudaraan., baik antara santri, pengasuh maupun masyarakat. d. Nilai kebenaran/ ilmu: adanya semangat, kesabaran, ketentraman hati serta rasa senang dalam diri santri putri, serta pengakuan akan hikmah besar yang terkandung dalam shalat berjama’ah
89
90
e. Nilai agama: istiqomah berdzikir, rajin mengaji, khusyu’ dan tuma’ninah, serta yakin akan balasan atas semua amal ibadah. 3. Faktor pendukung aktualisasi nilai edukatif melaui kegiatan shalat berjama’ah dalam hal ini berkaitan dengan kekuatan dan peluang yang dimiliki oleh pondok. Sedangkan untuk faktor penghambatnya adalah halhal yang berkaitan dengan kelemahan dan ancaman yang ada, terutama yang berkaitan dengan kegiatan shalat berjama’ah. Dan faktor-faktor tersebut, berkaitan erat dengan faktor-faktor pendidikan. Sedangkan usaha yang telah dilakukan pihak pondok terkait faktor penghambat yang ada, sementara masih sebatas pada hal-hal yang berhubungan dengan alat pendidikan.
B. Saran Manusia selain diciptakan sebagai makhluk individual juga diciptakan sebagai makhluk sosial. Demikian juga peserta didik, maka dari itu pihak lembaga pendidikan diharapkan dapat membantu mereka untuk dapat mengembangkan seluruh potensi positif yang ada dalam diri mereka dan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya, yakni dengan menanamkan nilai-nilai edukatif (pendidikan) dalam jiwa mereka demi untuk menyiapkan mereka dalam berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya serta dalam hubungannya dengan Allah SWT. Yang mana dari kesemuanya tadi tidak lain adalah bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
91
DAFTAR RUJUKAN
Agustian, Ary Ginanjar. ESQ Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: AGRA, 2001. Ahnan, Maftuh. Risalah Shalat Lengkap dan Keutamaan-Keutamaannya. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1990. Al Aziz S, Moh. Saifulloh. Fiqih Islam Lengkap. Surabaya: Terbit Terang, tt. Al-Jurjawi, ’Ali Ahmad. Hikmah di Balik Hukum Islam, Jilid 1, Terj. Syarif Hade Masyah dan Heri Purnomo. Jakarta: Mustaqim, 2002. Al-Nahlawi, Abdurraman. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan Masyarakat, Terj. Shihabuddin. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Al-Qohthoni, Musnid bin Muhsin. Seindah Shalat Berjamaah, Terj. Effendi Abu Ahmad, cet. II. Solo: Al-Qowam, 2007. Al-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pedoman Shalat. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2005. Anggraini, Veranita. “Nilai-Nilai Pendidikan”, Artikel Pendidikan, (Online). http://23artikel.blogspot.com/ jum’at 04 2008/07/html, diakses Kamis, 28 Mei 2009. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1998. Azizy, A. Qodri A. Pendidikan (Agama) Untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu, 2003. Basuki dan Ulum, M. Miftahul. Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. Ponorogo: STAIN Po Press, 2007. Buseri, Kamrani. Nilai-Nilai Ilahiah Remaja Pelajar. Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2004. Daradjat, Zakiah. Pendidikan Agama Dalam Pembinaan Mental. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Depdiknas. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III. Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
92
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1983. Fikamaulana, Lindri Setyorini. “Nilai Edukatif dalam Cerita Bergambar Keluarga Bobo”, Artikel Pendidikan, (Online). http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/sastra-indonesia/article/view/21, diakses Kamis, 28 Mei 2009. Hameed, Hakim Abdul. Aspek-Aspek Pokok Agama Islam, Terj. M. Ruslan Shiddieq. Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. Haryanto, Sentot. Psikologi Shalat, cet. IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Kasnun, dkk. Modul-1 Materi Pembekalan Bagi Mahasiswa Peserta PPLK 2. STAIN Ponorogo: Program PAI dan Bahasa Arab, 2008. Labib Mz. Menyingkap Rahasia Shalat Berjamaah. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2004. ------------ dan Ahnan, Maftuh. Petunjuk Shalat Lengkap. Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 1998. Ludjito, Ahmad. dkk. Reformulasi Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996. Masyhur, Kahar. Shalat Wajib Menurut Madzhab Yang Empat. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Muhaimin. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar, 2003. Muhyidin, Asep. dan Salahuddin, Asep. Salat Bukan Sekear Ritual. Bandung: Rosdakarya, 2006. Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997. Pusat Pembinaan & Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam, cet. XXVIII. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995.
93
Razak, Nasruddin. Dienul Islam, cet. IV. Bandung: Al-Ma’arif , 1981. Ritonga, A. Rahman. dan Zainuddin. Fiqh Ibadah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Rosid,
Abdul. “Analisis Swot”, Manajemen Strategi, (Online). http://guebencieloe. blogspot.com/2007/12/analisis-swot.html, diakses Sabtu, 04 Juli 2009.
Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2004. Sadulloh, Uyoh. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, 2003. Sunarto & Hartono, Agung. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Asdi Mahasatya, 2002. Suprayogo, Imam. “Mentradisikan Sholat Berjama'ah di Kampus”, Artikel. http://www.uinmalang.ac.id/index.php?option=com_content&view=art icle& id=415:14-08-2008&catid=25:artikel -rektor, diakses Senin, 18 Mei 2009. Syam, Mohammad Noor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1988. Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: Rosdakarya, 1994. Yafie, Ali. Teologi Sosial;, Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan. Yogyakarta: LKPSM, 1997. Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur’an. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Department Agama RI, 1971. Zubaidi, Ahmad. dkk. Menjawab Persoalan Fiqih Ibadah. Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000. Zuhairini. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional, 1980.