1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Perempuan sebagai sumber daya manusia penting, keberadaannya tidak dapat diabaikan. Peranannya di masyarakat dan di berbagai pekerjaan publik dan profesi semakin meluas. Kenyataan menunjukan bahwa perempuan telah mempengaruhi berbagai perubahan dalam sistem sosial, politik, ekonomi dan kebudayaan
masyarakat. Perubahan tersebut dapat dilihat ketika perempuan
memperoleh kesempatan yang semakin besar dalam posisi yang strategis pada berbagai dimensi termasuk pekerjaan yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki, seperti direktur, polisi, detektif, pembuat kebijakan dan wakil aspirasi rakyat. Perempuan terus berjuang dan berupaya untuk meningkatkan kualitas dirinya dan menggali potensinya menurut bakat dan kemampuannya masing-masing untuk melepaskan
diri
dari
perangkap
kemiskinan,
keterbelakangan
dan
ketidakberdayaan. Upaya yang dilakukan perempuan untuk mengatasi masalah ini perempuan terus berjuang untuk mendapatkan hak-hak asasinya dalam memajukan peranannya di masyarakat. Demikian pula perempuan Amerika
telah bertahun–tahun lamanya
berjuang untuk memperoleh hak–hak yang sama dengan laki–laki dan kebebasan dari ketertindasan oleh laki–laki. Hasrat dan usaha mereka untuk mencapai kebebasan ditunjukkan dalam berbagai bentuk ekspresi berupa aktivitas, protes dan tulisan. Sejarah perjuangan perempuan Amerika untuk mendapatkan hak– hak dan kebebasan ini ditandai dengan sejarah gerakan perempuan Amerika
2
(woman movement). Menurut Sara M. Evans dari awal sejarah gerakan perempuan Amerika banyak hal yang telah dicapai perempuan, antara lain perempuan telah memperoleh hak pilih, ikut sertanya perempuan dalam dunia pendidikan dan bekerja di luar rumah (Evans, 1994: xxii). Kenyataannya banyak perempuan telah menduduki jabatan dalam pemerintahan, menyandang gelar sarjana dan sudah dapat mencari uang sendiri. Akan tetapi masih sedikit jumlah perempuan menempati karir yang sudah menjadi budaya dan sejarah laki-laki, seperti hakim, polisi dan detektif. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jeremiah Healy bahwa “many real–life private investigators were former law enforcement or military service personnel, profession that were almost exclusively male until relatively recently” (Grafton, 2002: 7). [Dalam kehidupan nyata, banyak detektif swasta adalah mantan penegak hukum atau personil pelayanan militer, suatu profesi yang secara eksklusif dilakukan oleh laki-laki sampai dengan sekarang ini]. Dari kenyataan itulah, perubahan kehidupan perempuan Amerika masih lebih banyak berkisar pada pekerjaan yang secara turun-temurun ditempati oleh perempuan atau dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti perawat, biarawati, guru dan sekretaris (Gates, 2011: 5). Untuk mencapai kesetaraan, gerakan perempuan sebagai gerakan sosial mempunyai beberapa sasaran. Sejak tahun 1960-an, gerakan pembebasan perempuan (Women’s Liberation Movement) yang dikenal dengan feminisme, melanjutkan aspirasi mereka yang lebih luas,
antara lain upaya perempuan
membebaskan dirinya dari belenggu budaya patriarkhi secara menyeluruh dan menuntut keadilan, yaitu memiliki hak dan posisi yang sama dengan kaum laki–
3
laki. Mereka menyadari kedudukan sosial perempuan dapat berubah setelah mereka berjuang memperoleh kesempatan dalam pendidikan dan bekerja di luar rumah. Selain itu, aspirasi mereka juga
tercipta
karena mereka telah
menemukan jalan untuk memasuki dunia bisnis atau profesi–profesi dan bahkan menjadi anggota–anggota parlemen atau menteri. Dengan memanfaatkan kesempatan pada periode tersebut yang diiringi dengan adanya peranan ilmu pengetahuan yang meningkat, percepatan industrialisasi dan perkembangan teknologi telah mengubah banyak hal dalam kehidupan perempuan Amerika. Sebagaimana Andersen mengungkapkan bahwa kebangkitan kembali feminisme pada tahun 1960-an menandakan awal dekade perubahan sosial peran perempuan yang akan meluas pada setiap bidang kehidupan, pada tempat kerja, pengadilan agama, seni dan dinamika kehidupan keluarga (1983: 10). Setelah gerakan perempuan gelombang pertama (1884 sampai dengan 1920) yang memfokuskan perjuangan pada hak untuk memilih (the right to vote), gerakan ini tidak aktif sampai dengan tahun 1950-an. Hal ini disebabkan oleh sebagaian besar perempuan Amerika pada tahun 1930-an disibukkan dengan pekerjaan industri dan diperlemah oleh ketidakmampuan mereka mengatasi kesenjangan ras dan jenis kelamin, sehingga mereka gagal melakukan tuntutan untuk kepentingan khusus perempuan. (Evans: 1994: 135). Kemudian pada akhir tahun 1940-an sampai dengan awal tahun 1950-an, peran domestik perempuan mendominasi budaya Amerika yang menyebabkan gerakan perempuan terthenti (Kurian, 2001: 348). Pada tahun 1960-an, gerakan perempuan bangkit kembali yang ditandai dengan meningkatnya kesadaran
4
terhadap tercapainya hak-hak dan tanggung jawab yang setara dengan laki-laki. Sebagaimana Joanne Hollows menegaskan bahwa tahun 1960-an dan 1970-an dikenal sebagai feminisme gelombang kedua yang secara umum feminisme dianggap sebagai suatu bentuk politik yang bertujuan untuk mengintervensi dan mengubah hubungan kekuasaan yang tidak setara antara laki dan perempuan (2010: 4).
Walaupun telah terjadi perubahan pengalaman perempuan dalam
hubungannya dengan kesadaran baru, tetapi tidak terlepas dengan berbagai masalah karena perubahan tersebut. Sampai dengan gelombang kedua ini, feminis memandang perempuan masih berada dalam situasi yang tertindas dan menjadi korban dari konsep patriarki, suatu sistem Amerika masih
dominasi laki-laki (Hollows, 2010: 8). Perempuan
menghadapi masalah-masalah diskriminasi atau kesenjangan
dalam pekerjaaan, pembayaran gaji, pendidikan dan dalam hukum dan masalahmasalah yang mereka alami sendiri, seperti beban rangkap dalam rumah-tangga. Oleh sebab itu, dengan semangat diterimanya Amandemen ke-19 tahun 1920 yang memberikan hak pilih pada kaum perempuan dan dengan terpilihnya Presiden John F. Kenedy yang telah mengeluarkan perintah untuk memantau kembali kedudukan perempuan, The President’s Commition on the Status of Women (PCSW), pada tahun 1961 memberi peluang bagi feminisme untuk mendirikan National Organization for Women (NOW) tahun 1966. Organisasi ini merupakan perwujudan dari The women’s rights movement yang mengharapkan kesejajaran dan keadilan dalam pekerjaan, keluarga, dan dalam sistem hukum. Kesempatan ini juga dimanfaatkan oleh grup Women’s Liberation seperti the
5
Redstockings, the Feminists dan the New York Radical Women (Kurian, 2001: 348) untuk mengungkapkan masalah perempuan dari masalah pribadi hingga masalah dalam masyarakat. Munculnya gerakan-gerakan sosial perempuan yang menuntut hak-hak mendapatkan kesetaraan merupakan aplikasi dari American Declaration of Independence yang disampaikan pada 4 Juli1776 pada alinea kedua yang menyatakan: “We hold these truths to be self-evident, that all Men are created equal, that they are endowed by their Creator with certain unalienable Rights, that among these are Life, Liberty and the Pursuit of Happiness.” (Armitage, 2008: 25). [Kami menemukan kebenaran-kebenaran ini menjadi terbukti sendiri bahwa semua manusia diciptakan sama; bahwa mereka dianugrahi oleh sang Pencipta
dengan hak-hak tertentu yang tidak dapat
dirampas; bahwa di antara hak-hak ini adalah kehidupan, kebebasan, dan hak mengejar kebahagiaan]. Pernyataan ini menjadi salah satu yang membangkitkan semangat perjuangan dan membuka jalan perempuan dalam meningkatkant kesetaraan yang lebih luas, yaitu: kesetaraan dalam berbagai bidang pekerjaan, pendidikan, politik, hukum, keluarga, masyarakat dan budaya. Demikian pula, sumber tuntutan perempuan terhadap kebebasan, seperti kebebasan berpolitik, berekspresi, beragama, dan memilih pekerjaan diilhami dari deklarasi tersebut. Bahkan di awal gerakan pembebasan perempuan, perempuan menuntut hak untuk memiliki kebebasan seksual yang sama dengan laki-laki, yang dikenal dengan revolusi seksual (Gamman, 2010: 130). Tuntutan kebebasan seksual bukan untuk penindasan perempuan, tetapi menunjukkan bagaimana seksualitas
6
perempuan bisa dimanfaatkan dalam mengekspresikan identitas yang sama dengan laki-laki dan berdasarkan pada kehendak perempuan itu sendiri. Ekspresi tentang kebebasan seksual perempuan banyak ditemui dalam karya-karya fiksi yang mengekspresikan tentang New Woman (Perempuan Baru) yang muncul sejak akhir abad ke19. Jenis fiksi tentang New Woman ini dikenal dengan gagasan tentang kebebasan seksual perempuan (Tichi, 1988: 591). Istilah New Woman ini muncul kembali hampir pada setiap generasi hingga pada era postfeminisme
ini. Para kritikus menandai lahirnya posfeminisme sekitar
pertengahan 1980-an sampai seterusnya (Gamble, 2010: 56). Pada era postfeminisme ini, New Woman ditandai dengan perempuan yang bisa bekerja sekaligus bercinta dalam satu paket (Gamman, 2010: 254). Ini menunjukkan bahwa antara karier perempuan dan seksualitasnya beriring dalam waktu yang sama. Fenomena Perempuan Baru juga ini, diadaptasikan pada cerita detektif yang ditulis oleh perempuan seperti karya-karya yang ditulis oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton. Sebagaimana
Sally R. Munt mengatakan
figur detektif
Victoria I.W. layak dikonstruksi sebagaimana figur Perempuan Baru (1994: 33). Dalam cerita detektif, perempuan dengan sengaja dan senang hati melakukan seks sebelum dan di luar pernikahan. Dalam posisi ini, seksualitas dimanfaatkan perempuan untuk mencapai sukses sebagai seorang detektif. Oleh sebab itu dalam penelitian ini perlu diungkapkan pentingnya figur New Woman dilekatkan pada perempuan yang berprofesi sebagai detektif. Cita-cita dari gerakan perempuan dari awal hingga sekarang ini telah membangkitkan dan meningkatkan kesadaran perempuan terhadap konsep-
7
konsep feminisme. Kebebasan-kebebasan yang sebelumnya sangat sulit diperoleh, dengan terbentuknya grup-grup gerakan perempuan dan tulisan-tulisan perempuan telah mempengaruhi dan mengubah cara hidup dan pola berfikir perempuan Amerika. Perubahan ini dapat dilihat ketika perempuan Amerika di era posfeminisme telah melebarkan wilayah pekerjaannya pada top jobs yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Rory Dicker (2008: 110) mencatat beberapa perempuan yang telah memperoleh kesempatan di arena publik pada top jobs sepanjang tahun 1980-an, antara lain: Sandra Day O’Connor menjadi perempuan pertama di Supreme Court (Mahkamah Agung) pada tahun 1981. Berikutnya pada tahun 1984, Geraldine Ferraro menjadi perempuan pertama yang dinominasikan untuk wakil presiden oleh partai demokrat. Perempuan yang berasal dari ras Afrika-Amerika, Barbara C. Harris terpilih sebagai uskup perempuan pertama yang dipilih oleh the Episcopal Church pada tahun 1989. Ini menunjukkan bahwa pada era posfeminis atau gerakan perempuan gelombang ketiga yang dimulai dari tahun 1980-an hingga sekarang ini menciptakan semakin bertambah perempuan Amerika menempati posisi-posisi utama di lingkungan pemerintahan dan badan perwakilan rakyat, bahkan pada institusi Agama. Mereka mulai meniti karier profesional hingga ke posisi tertinggi. Di tempat kerja lain, banyak perempuan Amerika sudah berani menjadi sekuriti, polisi perempuan, petugas pemadam kebakaran, pekerja konstruksi bangunan dan semua pekerjaan yang dianggap terlalu berat untuk perempuan termasuk bidang olah raga, seperti sepak bola, tinju dan angkat besi. Perempuan ingin memperlihatkan bahwa mereka cukup tangguh menangani pekerjaan-
8
pekerjaan yang berat dan memerlukan kekuatan fisik. Dalam hal ini Abigail A. Kohn (1997: 10) mengungkapkan bahwa citra tangguh
karakter
Amerika
dicirikan dengan kekuatan, kebulatan tekad, keberanian dan sifat moral. Sementara citra perempuan tangguh menurut Sherrie A Innes (2004: 7) adalah perempuan yang mandiri, yaitu perempuan yang tidak membutuhkan perlindungan laki-laki dari bahaya. Citra tangguh perempuan Amerika ini menunjukkan bagaimana
perempuan
menentang peran gender yang
konvensional dan melakukan perlawanan terhadap konstruksi yang dominan. Perempuan yang melakukan perlawanan terhadap bentuk-bentuk budaya ini merupakan karakteristik perempuan di era posfeminisme. Sebagaimana Ann Brooks mengungkapkan bahwa para teoretisi posfeminis yang mengkaji bentukbentuk budaya tidak hanya mengidentifikasi ‘situs penindasan’, tetapi pada saat yang sama, mereka juga secara aktif mengartikulasikan situs ‘perlawanan’, baik di dalam teori budaya maupun bentuk-bentuk budaya (1997: 10). Untuk itu, penelitian ini tidak terlepas dari suatu penggambaran perlawanan perempuan terhadap suatu konstruksi yang sudah dicapai oleh perempuan. Meskipun banyak kemajuan yang telah dicapai termasuk menempati pekerjaan yang tergolong top jobs, jumlah perempuan yang berada di posisi ini masih sedikit dibandingkan dengan jumlah laki-laki yang sudah lama menjadi wilayah pekerjaan mereka. Namun dengan capaian perempuan pada top jobs menunjukkan bahwa perempuan tidak
sekedar mendapatkan kesempatan
mencapai kesetaraan, akan tetapi perempuan telah menempati dunia yang semula didominasi oleh laki-laki dan sukses dalam profesi yang tidak biasanya mereka
9
kerjakan. Oleh sebab itu, Flora Davis mengatakan
feminis telah mencapai
separuh revolusi antara tahun 1960 dan 1990, yaitu undang-undang telah disahkan, keputusan pengadilan telah dijatuhkan, dan diskriminasi seks secara resmi dilarang; perempuan memilih bekerja di
kantor, perempuan diterima
memasuki pekerjaan laki-laki, dan dipromosikan menduduki pekerjaan yang belum pernah dilakukan sebelumnya (1991: 16). Meskipun kesetaraan gender telah lama diakui dan disepakati dalam upaya pembangunan sumber daya manusia, fakta perempuan menduduki top jobs belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Ini menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi berbagai hambatan yang tidak hanya bersumber dari dirinya sendiri, akan tetapi juga dari luar dirinya, seperti masih banyak perempuan yang memosisikan dirinya sebagai pelengkap dan lebih baik mengurus masalah domestik dan memosisikan dirinya sebagai second sex. Bagaimanapun fenomena perempuan di era posfeminisme menggambarkan situasi dan kondisi
dengan kesadaran yang heterogen,
melakukan pilihan sendiri-sendiri dalam mengarungi kehidupan, dan berbuat sesuatu yang berbeda dari orang lain atau dari situasi sebelumnya, menghilangkan stigma negatif terhadap feminin dan memberikan solusi alternatif dan perlawanan terhadap semua yang telah dicapai (Gamble, 2010: 53-67). Jika kesadaran perempuan pada era feminisme gelombang kedua dititik beratkan pada kesetaraan gender yang berusaha membuat perempuan seperti laki-laki, pada era posfeminisme difokuskan pada perbedaan gender dan perempuan tidak berpikir dengan cara yang sama dengan laki-laki atau dengan sesama perempuan. Sebagaimana Stevi Jackson dan Jackie Jones menegaskan bahwa tidak ada lagi
10
Gerakan Pembebasan Perempuan yang kelihatan dan bersatu. Perempuan tidak dapat lagi dipandang sebagai kelompok homogen yang memiliki identitas yang sama dan mengalami penindasan yang sama (1998: 6). Perempuan pada era posfeminisme tidak lagi membentuk gerakan perempuan atau secara kolektif berpikir sumber-sumber yang menyebabkan perempuan tertindas, tetapi lebih khusus berpikir seputar masalah seksualitas, ras dan kelas yang mengacu pada nilai dan norma perempuan itu sendiri. Fenomena sosial perempuan di era posfeminisme ini tercermin jelas dalam cerita detektif yang dikarang oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton yang karya-karya mereka diterbitkan tahun 1980. Di dalam cerita detektif mereka, perempuan dipresentasikan sebagai orang yang tangguh dan sukses dalam dunia pekerjaan yang awalnya hanya untuk laki-laki. Oleh sebab itu kajian terhadap cerita detektif yang ditulis oleh perempuan menarik ketika kajian terfokus pada perlawanan
perempuan terhadap peran gender dan seksual yang tradisional
sehingga perempuan mampu mencapai kesuksesan berkarir dalam dunia lakilaki.
Perempuan
penindasan
direpresentasikan
seksualitas,
membangun
bagaimana
perempuan
kemandiriannya,
menghindari
potensi
tubuhnya,
mendapatkan kemerdekaannya dan hak asasinya sebagai manusia.
Cerita
detektif menjadi sarana yang sangat representatif digunakan untuk menelusuri upaya-upaya yang ditempuh oleh perempuan dalam melintasi hambatanhambatan sehingga dia berhasil dalam wilayah pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh laki-laki. Oleh sebab itu, penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra yang memberikan pemahaman terhadap
karya sastra sebagai
11
dokumen sosial budaya yang mencerminan kondisi sosial masyarakat pada saat karya itu diproduksi. Konsep ini digunakan sebagai dasar untuk mengungkap fenomena sosial perempuan di era posfeminisme. Citra perempuan tangguh dalam cerita detektif seperti itu bisa muncul oleh pikiran laki-laki atau dalam pengarang laki-laki. Penelitian ini diarahkan pada pikiran perempuan atau kesadaran gender perempuan dari sisi pengarang perempuan. Khususnya perempuan sebagai pengarang, Lizbeth Goodman mengungkapkan bahwa perempuan dalam menulis menggunakan tulisan mereka sebagai alat pembebasan, tindakan politik, strategi yang sebversif, bentuk seni dan ‘platform’ atau alat untuk mengekspresikan diri (Bonner, 1992: 68). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perempuan menulis tidak hanya sebagai produser
yang
pengungkapan
menghasilkan
karya-karya
seperti
sastra,
kritik,
atau
pengalaman pribadi perempuan dan pandangannya, tetapi
menulis merupakan suatu alat untuk melaksanakan tindakan yang sifatnya politik. Karya sastra yang mereka ciptakan telah menyuarakan protes dan harapan perempuan. Disamping itu, perempuan sebagai penulis, menghilangkan suatu kebiasan yang sudah terpola dalam masyarakat tentang apa itu perempuan dan apa yang perempuan bisa lakukan. Mereka juga menentang suatu asumsi tentang kategori-kategori yang tetap terhadap feminitas dan maskulinitas atau batas-batas gender. Sekarang ini, bentuk karya sastra yang diproduksi oleh perempuan telah menyebar dalam bermacam–macam jenis. Karol Kort mencatat bahwa penulis perempuan Amerika sudah mempublikasikan berbagai jenis karya sastra, seperti
12
novel, cerita pendek, fiksi misteri, fiksi ilmiah, fiksi horor, puisi,
drama,
skenario film, jurnal, cerita anak muda, dan cerita pribadi dan juga non fiksi, seperti esei, surat–surat, resep masakan, diari, riwayat hidup, kritik sastra, dan ilmu alam (Kort, 2007: xiv). Kenyataan ini menunjukkan bahwa jenis karangan perempuan sudah memasuki wilayah tulisan yang sebelumnya didominasi oleh pengarang laki-laki. Sebagaimana sejak munculnya
fiksi misteri atau fiksi
detektif sebagai genre kriminal, tercatat dalam sejarah bahwa genre ini adalah garapan yang biasanya diproduksi oleh laki–laki. Maureen T. Reddy membenarkan hal ini bahwa “until quite recently, the story of the development of crime fiction was most commonly told as a movement from man to man, beginning with Edgar Allan Poe, then Arthur Conan Doyle, followed by Dashiell Hammett and so on.” (Priestman, 2003: 191). [Sampai dengan sekarang ini, sejarah perkembangan fiksi kriminal, umumnya disebut sebagai gerakan dari laki-laki ke laki-laki, yang dimulai dari Edgar Allan Poe, kemudian Arthur Conan Doyle, diikuti oleh Dashiell Hammett dan sebagainya]. Bahkan pada tingkat naratif secara historis, Maggie Humm menandai fiksi detektif dicirikan sebagai masculinist. Alasannya bahwa fiksi detektif menekankan narasinya pada action yang secara konstan berhadapan dengan kekerasan, serangan emosional dan kontradiksi mental dan sosial (Bloom, 1990: 238). Secara tradisional, seorang detektif telah dialokasikan untuk laki-laki, baik dalam kehidupan nyata maupun dalam fiksi dan media lainnya. Demikian pula dalam cerita detektif, baik pengarang
maupun tokoh detektifnya masih didominasi oleh laki-laki.
Sementara dalam cerita detektif yang ditulis oleh perempuan menampilkan tokoh
13
detektif perempuan, peran yang bertentangan dengan gender perempuan itu sendiri. Hal ini menjadi penting untuk dilakukan penelitian karena peneliti ingin mengetahui bagaimana pengarang perempuan mengekspresikan perempuan yang berkonfrontasi dengan kekerasan fisik dan mental yang tidak biasanya dialami perempuan. Dalam penelitian ini, cerita detektif hard-boiled Amerika yang dikarang oleh perempuan sejak tahun 1980-an sampai dengan sekarang ini dipilih sebagai alat atau sarana yang efektif dan komunikatif digunakan untuk memperoleh informasi dan memahami fenomena sosial perempuan Amerika yang tercermin dalam karya mereka. Hal ini sesuai dengan karakteristik karya sastra sebagai produk masyarakat yang membedakannya
dengan karya non-sastra.
Secara
umum karya sastra memiliki 3 karakteristik, pertama, sastra merupakan imajinasi pengarang, yaitu berasal dari daya khayal pikiran pengarang, artinya, sastra tidak menampilkan kenyataan yang sebenarnya. Kedua, bahasa sebagai medium yang digunakan dalam karya sastra bukanlah bahasa yang absolut, tetapi bahasa sastra, bahasa yang mempunyai arti yang universal. Ketiga, sastra merupakan fakta, akan tetapi fakta dalam sastra bukanlah hard fact sehingga tidak sama dengan realita yang sebenarnya. Sastra telah menjadi alat atau sarana (means) yang efektif dalam menyampaikan
massage (pesan)
khusus yang
tidak dapat
dikemukakan oleh sarana yang lain. Artinya sastra menggunakan fakta untuk menyampaikan pesan (Lotmann, 1972: 21). Perbedaan gender, waktu, latar belakang budaya dan pola pikir pengarang melahirkan perspektif yang berbeda terhadap realitas yang sebenarnya.
14
Banyak juga cerita detektif baik yang ditulis oleh laki-laki dan perempuan yang diproduksi tahun 1980-an. Dalam penelitian ini, peneliti memilih penulis perempuan, karena di era posfeminisme yang dipengaruhi oleh ide-ide feminis Prancis, perempuan dianjurkan mengekspresikan citra diri
untuk menulis. Dalam hal ini,
perempuan
perempuannya yang berasal dari pikiran dan
pengalamannya sendiri. Sebagaimana
Helene Cixous
mendesak perempuan
untuk menempati posisi subjek dalam tulisan perempuan dan menghilangkan batas-batas gender yang kaku (Humm, 1992: 196). Demikian pula, dalam penelitian ini cerita-cerita detektif Amerika yang ditulis oleh perempuan menjadi pilihan yang signifikan sebagai sarana efektif untuk mengungkapkan fenomena sosial perempuan Amerika sekarang ini. Fenomena tersebut
antara lain perempuan yang memperluas wilayah
pekerjaanya termasuk pekerjaan yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Sally R. Munt menanggapi hal ini dengan mengalokasikan perempuan detektif secara sosial berada pada kelas atas (1994: 4). Solusi alternatif untuk memecahkan persoalan perempuan Amerika, seperti beban ganda untuk perempuan berkarier dan diskriminasi dalam pekerjaan, lebih banyak muncul dan jelas tercermin dalam cerita detektif, dibandingkan dengan jenis karya sastra lainnya yang juga ditulis oleh perempuan sejak tahun 1980-an, seperti roman, melodrama, dan cerita misteri lainnya. Dalam cerita detektif difokuskan pada kesuksesan bekerja dalam dunia yang keras. Sejarah membuktikan bahwa jarang perempuan Amerika sebagai pengarang, apalagi dalam bentuk cerita-cerita detektif. Kalau mereka mengarang,
15
topiknya hanya berkisar pada diari, jurnal dan surat. Bentuk-bentuk tulisan yang akrab dengan diri mereka dan tujuannya hanya untuk menyenangkan diri mereka saja (Eagleton, 1996: 138). Ketika perempuan Amerika telah memproduksi cerita detektif, ini berarti bahwa perempuan Amerika telah mengalami perkembangan dalam bentuk karangan. Hal ini disebabkan oleh
perkembangan intelektual
mereka yang beriringan dengan kesempatan meraih pendidkan. Perubahanperubahan yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan Amerika turut memfasilitasi perkembangan karangan perempuan. Di sisi lain, mereka telah menemukan ekspresi baru dalam bentuk karya sastra yang telah disepakati sebagai genre yang yang biasanya diproduksi oleh laki–laki. Sebagaimana Sally R. Munt mengatakan
bahwa baik bentuk maupun isi dari cerita detektif
merupakan ikon maskulin, dalam pengertian sastra dan budaya (Munt, 1994: 1). Selama ini, cerita detektif dipandang sebagai ikon yang mempunyai karakteristik laki-laki sehingga muncul istilah maskulin. Dilihat dari karakteristik
cerita
detektif, bentuk ceritanya berpusat pada penyelidikan tentang masalah kriminal. Dalam
proses
penyelidikan,
detektif
menggunakan
logikanya
untuk
mengungkapkan kebenaran. Dia juga melakukan konfrontasi kekerasan fisik dengan pelaku kriminal (Herbert, 1999: 116). Oleh sebab itu, peran detektif biasanya diperankan oleh laki-laki, karena laki-laki itu distreotipkan dengan tangguh, memiliki kekuatan fisik, mampu bekerja pada lingkungan yang keras, dan bekerja seorang diri memenangkan perang dengan pelaku kriminal. Dalam cerita detektif yang dikarang oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton, tokoh detektif mereka diperankan oleh perempuan. Peran perempuan sebagai
16
detektif menimbulkan suatu pemikiran bagaimana peran ini diambil alih oleh perempuan yang di masyarakat merupakan peran yang dialokasikan untuk laki– laki. Raymond Chandler yang juga sebagai penulis cerita detektif mengatakan bahwa detektif dalam jenis cerita ini harus seorang laki–laki. Cerita ini adalah pertualangan laki-laki yang mencari kebenaran tersembunyi dan bukan menjadi suatu pertualangan jika tidak terjadi pada laki–laki karena laki–laki cocok melakukan pertualangan (Rzepka, 2010: 524). Ini tentu saja akan menimbulkan komplikasi pada citra perempuan yang diciptakan oleh pengarang perempuan, karena penulis perempuan akan menciptakan citra perempuan yang mempunyai ketangkasan atau ketangguhan dan pertualangan yang biasanya dilakukan lakilaki. Dengan kata lain, baik sebagai penulis maupun peran sebagai detektif, perempuan bekerja dalam dunia yang sebelumnya didominasi laki–laki. Oleh sebab itu, citra perempuan dalam cerita detektif yang ditulis oleh perempuan menarik untuk dilakukan penelitian karena perempuan telah merusak identitas gender dan tradisi genre cerita detektif. Dalam hubungan ini Andrew Pepper mengatakan
bahwa munculnya
grup penulis novel perempuan telah mengubah novel kriminal jenis hard–boiled dalam citra mereka sendiri (Pepper, 2000: 53). Dengan demikian, penulis perempuan menciptakan citra perempuan berbeda dengan yang diciptakan oleh laki-laki. Dapat pula dikatakan bahwa penulis perempuan mempunyai pola pikir sendiri terhadap citra perempuan dalam cerita detektif jenis hard-boiled. Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, pengkajian dibatasi hanya pada cerita detektif hard-boiled yang dikarang perempuan.
17
Sebagaimana sejarah telah membuktikan bahwa, ada dua grup penulis perempuan
yang menjadi bagian yang menarik dalam sejarah genre abad 20.
Grup pertama terjadi pada penulis-penulis novel hard-boiled di era Golden Age sekitar tahun 1920-an. Pada masa itu Agatha Christie, Ngaio Marsh, Dorothy L. Sayers, Margery Allingham, S.S.Van Dine, Ellery Queen dan Josephine Tey mendominasi bidang misteri. Grup kedua dimulai pada tahun 1970-an ketika penulis perempuan menggunakan
prosedur polisi dan untuk novel-novel
kriminal yang hard-boiled menggunakan perempuan sebagai tokoh protagonis. Dorothy Uhnak, Lilian O’Donnell menggunakan tokoh perempuan sebagai polisi. Marcia Muller, Sara Paretsky dan Sue Grafton menggunakan perempuan sebagai private eyes untuk menuntun akses yang sama dengan action. Penulispenulis ini menciptakan perempuan yang sering berolah raga, mencari para pelaku kriminal, memegang senjata api, masuk dalam dunia mean streets, professional dan sosial, siap siaga menghadapi laki-laki (Herbert, 1999: 177). Pada era Golden Age istilah private eyes atau private investigation muncul sebagai pengganti dari istilah private detective, yaitu seseorang yang dibayar untuk pelayanan penyelidikan tetapi tidak dipekerjakan oleh pemerintah. Pada era ini juga muncul istilah hard-boiled yang disesuaikan dengan adegan kekerasan (Herbert, 1999 354–355). Mean Streets dijelaskan oleh Maureen T. Reddy merupakan istilah yang banyak digunakan oleh Raymond Chandler untuk menunjukkan tokoh detektif yang berwatak laki–laki dalam cerita detektif jenis hard-boiled (Priestman, 2003 : 193).
18
Alison Light mengungkapkan bahwa para penulis cerita-cerita detektif perempuan memperhatikan kualitas cerita yang ‘unfeminine’ dan berusaha menghindari semua ‘stigma’ gender (Eagleton, 1996: 208). Pandangan ini sama dengan yang dinyatakan oleh Anne Cranny-Francis, bahwa banyak penulis cerita detektif perempuan dalam bentuk hard-boiled tidak mengungkapkan isu-isu tentang perbedaan. Sasaran mereka adalah mengembangkan karakterisasi perempuan yang radikal, perempuan yang tangkas, yang mampu menjaga diri mereka dan orang lain yang lemah, perempuan yang profesional, yang mengakhiri virginalitas dari karakterisasi perempuan yang tradisional (Eagleton, 1996: 211). Karakterisasi perempuan dalam wujud yang tangguh seperti ini merupakan karakteristik cerita-cerita detektif jenis hard-boiled, karena seorang detektif dalam cerita jenis ini diberikan suatu misi, selamanya terperdaya (a deceptive one), berhadapan dengan pembunuh dan kekerasan (Cawelti, 1976: 146). Oleh sebab itu, dalam penelitian ini, penulis cerita detektif perempuan yang diproduksi tahun 1980 oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton, karya-karya mereka itu dipilih sebagai sumber informasi yang mempresentasikan hal yang berbeda, yaitu tidak hanya karakterisasi yang biasanya melekat pada perempuan tetapi juga pada laki-laki. Perbedaan inilah yang
menarik untuk diteliti, karena Sara
Paretsky dan Sue Grafton mempresentasikan perempuan yang kuat, cerdas, perempuan yang menarik, sukses dalam profesinya sebagai detektif dan menyertakan kehidupan personal yang feminin. Peran perempuan sebagai seorang detektif dalam jenis hard-boiled selamanya
berhubungan dengan
kehidupam masyarakat kota moderen dan
19
berhadapan dengan
masalah-masalah sosial yang moderen pula, seperti
penyeludupan barang-barang ilegal dan korupsi. Sebagaimana John G. Cawelti mengungkapkan bahwa hal yang paling penting dalam hard-boiled formula adalah peran khusus dalam kota moderen sebagai latar belakang (1976: 140) dan pelaku kriminalnya terlibat dengan dunia kejahatan atau organisasi kriminal yang lebih besar (1976: 148). Dengan demikian melalui genre atau cerita-cerita jenis hard-boiled, penulis perempuan berkesempatan dan bebas mengekspresikan citra perempuan. Perempuan sebagai detektif relatif berada di luar rumah, berani, profesional, menjalani kehidupan yang moderen dan keras, menghasilkan uang sendiri dan bertindak sendiri. Penulis perempuan telah mengubah peran detektif yang oleh Maggie Humm dikatakan sebagai strategi penulis perempuan untuk mempersoalkan dan menentang konstruksi gender yang tradisional dalam cerita detektif (Bloom, 1990: 253). Hal ini juga dibenarkan oleh Malcah Effron bahwa “the detective genre as a whole, and particularly the hard-boiled subgenre, has tradisionally been understood as a masculine genre.” (Rzepka, 2010: 524). Dengan demikian, munculnya perempuan sebagai penulis cerita detektif dan menciptakan perempuan sebagai detektif dalam jenis hard-boiled telah melanggar atau
memecahkan batas gender dan tradisi genre. Fenomena ini
menjadi hal yang menarik ketika perempuan menjadi tangguh tanpa menghilangkan feminitas yang sebelumnya dianggap pelabelan yang membuat perempuan lemah. Sementara perempuan sebagai detektif berhadapan dengan situasi yang keras dan penuh tantangan. Bagaimana perempuan menjadi tangguh dengan karater yang feminin menjadi hal yang menarik untuk diungkapkan.
20
Para ahli teori feminis seperti Carol Gilligan dan Nancy Chodorow berhipotesis bahwa : a woman detective might read clues differently than a male detective would and that her relationship to the problem presented would differ from the male detective’s. The detective whether male or female, is primarily a reader, but a reader more than ordinarily sensitive to nuances of meaning and to implications (Gainor, 2001: 193). [Seorang detektif perempuan dapat membaca petunjuk–petunjuk dengan cara yang berbeda dengan detektif laki–laki dan hubungan detektif perempuan dengan masalah yang dipresentasikan berbeda dengan masalah yang dipresentasikan untuk detektif laki–laki. Detektif apakah laki–laki atau perempuan, pembacalah yang utama, tetapi pembaca biasanya lebih sensitif memberikan nuansa makna dan implikasi– implikasi]. Kebebasan penulis perempuan untuk menciptakan cerita detektif dan macam detektif dengan citra perempuannya yang dikemukakan merupakan pelepasan diri mereka dari belenggu tradisional. Sebagaimana dalam cerita detektif yang ditulis oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton, adegan-adegan yang diperlihatkan detektif perempuan dalam penyelesaian masalah tidak banyak menggunakan kekuatan fisik sebagaimana detektif laki-laki yang selalu tampil dengan adegan yang keras. Maureen Reddy dalam bukunya Sister in Crime (1988) mengidentifikasi beberapa prinsip cerita kriminal yang ditulis oleh perempuan yang berbeda dengan cerita kriminal yang ditulis oleh laki-laki. (Gainor, 2001: 192-193). Perbedaan ini dapat dilihat dengan jelas pada penulis-penulis cerita detektif perempuan pada periode setelah gerakan perempuan gelombang kedua, seperti: Sara Paretsky dan Sue Garfton. Dalam karya-karya mereka tidak hanya menggambarkan perempuan yang memiliki sifat-sifat yang biasanya melekat
21
pada laki dan perempuan, tetapi juga menampilkan perempuan yang menentang citra perempuan yang tradisional.
Sebagai contoh, karakter yang berperan
sebagai detektif dalam karya Sara Paretsky dan Sue Grafton adalah seorang perempuan, Victoria Iphigenia Warshawski dan Kinsey Millhone adalah perempuan yang mandiri, yang menangani dan mengatasi masalah sendiri tanpa menunggu keputusan atau bantuan
orang lain. Namun sisi feminin detektif
masih tampak, seperti cara berpakaian yang memperlihatkan tubuh yang seksual dan menggunakan sepatu bertumit. Fenomena ini sesuai dengan yang diungkapkan Pepper tentang detektif perempuan dalam karya Sara Paretsky. Pepper menyatakan bahwa Paretsky has been praised for her attempt to vocalise the liberal feminist idea of the liberated woman who is equal to the male role but still retains her femininity (2000: 54). [Paretsky memperoleh pujian karena usahanya menyuarakan ide feminis liberal tentang kebebasan perempuan yang peranannya sama dengan laki-laki, tetapi masih mempertahankan feminitasnya]. Ini menunjukkan bahwa cerita detektif yang ditulis oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton merefleksikan situasi perempuan pada era posfeminisme yang menyadari feminitas perlu peninjauan kembali. Penulis-penulis cerita detektif perempuan
yang dikatogorikan dalam
jenis yang hard-boiled, seperti Sara Paretsky, Julie Smith, dan Barbara Wilson menurut Bethany Ogden detektif mereka
selalu bekerja sendiri, membawa
senjata, keras dalam berbicara dan beroperasi dalan latar kota yang berbahaya. Dalam melakukan operasinya, detektif tidak bersama-sama dengan teman lakilaki mereka sebagaimana dalam ‘hard-boiled ideological orientation’, yaitu
22
melihat dunia dengan cara tertentu yang memberi kesan nilai-nilai patriarkhi (Pepper, 2000: 53). Detektif perempuan dalam karya-karya Sara Paretsky dan Sue Grafton lebih menekankan pada pembuktian atas kemampuannya sebagai seorang detektif yang cerdas dan tangkas dan memperlihat karakterisasi yang tangguh, berani, cerdas dan mandiri karena berurusan dengan kasus kriminal dari pada mengaharapkan bantuan dan ketergantungan pada laki-laki. Banyak hasil penelitian dan kajian dengan topik yag sama, yaitu kajian terhadap cerita detektif hard-boiled yang ditulis oleh perempuan yang juga mengambil pengaranganya Sara Paretsky dan Sue Grafton. Disertasi yang ditulis tahun 2005 oleh Laura Ellen Ng berjudul Feminist Hard-Boiled Detective Fiction As Political Protes in the Tradition of Women Proletarian Writers of the 1930s. Disertasi Laura Ellen Ng ini memfokuskan pada penulis detektik perempuan dalam era yang berbeda dan tokoh detektif dengan gender yang berbeda. Pada intinya disertasi ini mengangkat perbedaan ketangguhan perempuan dan laki-laki yang dikarang oleh perempuan dalam era yang berbeda. Sehingga yang baru pada penelitian yang sekarang ini adalah penekanan pada ketangguhan perempuan dalam perfektif posfeminisme. Adapun tesis yang melihat cerita detektif hard-boiled dalam persfektif posfeminisme yang ditulis oleh Robert Stanley Redmond dengan judul The Feme Fatale in “Postfeminist” Hard Boiled Detective Fiction: Redundant or Re-Reinventing Herself yang ditulis tahun 2014 memfokuskan pada perempuan sebagai femme fatale di era posfeminisme yang posisinya bukan sebagai tokoh detektif. Sementara dalam penelitian ini,
23
penekanannya pada tokoh detektif perempuan yang sekaligus sebagai femme fatale.
1.2
Masalah, Rumusan masalah, Permasalahan Setelah perempuan berjuang memperoleh kesempatan bekerja di ruang
publik, perempuan mendominasi pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan, seperti sekertaris, biarawati, guru dan perawat. Ketika perempuan di akhir abad ke-20 (di era posfeminisme), perempuan semakin banyak memasuki pekerjaan yang biasanya dikerjakan laki-laki. Kesadaran perempuan pada era ini selain meluasnya
dunia karier perempuan, perempuan juga melakukan
peninjauan kembali sifat-sifat feminin yang sebelumnya dianggap beban. Fenomena realitas sosial budaya perempuan di era ini diekspresikan pengarang perempuan dalam cerita detektif hard-boiled yang tokoh detektifnya diperankan oleh perempuan.. Sementara dalam cerita detektif hard-boiled biasanya peran tokoh detektif dimainkan oleh laki-laki, karena laki-laki dianggap cocok memaikan peran ini. Kecocokan peran ini berhubungan dengan atribut tangguh yang sudah begitu lama melekat pada laki-laki, karena biasanya laki-laki melakukan perlawanan kekuatan fisik dengan pelaku kriminal dan mampu bekerja dalam dunia yang keras. Ketika pengarang perempuan menciptakan cerita detektif hard-boiled yang tokoh detektifnya perempuan menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Peran perempuan sebagai detektif menimbulkan masalah, karena perempuan biasanya tidak bergulat dengan dunia yang keras, perempuan adalah orang yang dilindungi, dan biasanya berharap bantuan laki-laki. Bagaimana peran ini diambil alih oleh perempuan, sehingga dia mampu
24
mengadapi kekerasan fisik dan mental yang tidak biasa dialaminya. Suatu petualangan
yang
biasanya
dilakukan
laki-laki.
Biasanya
perempuan
distereotipkan dengan fisik lemah, tidak agresif, pasif, bermental lemah, selalu berperan dalam dunia domestik, objek atau korban dari hasrat seksual laki-laki dan menggantungkan hidupnya pada laki-laki, serta tidak dapat menangani tantangan yang sama seperti laki-laki. Bagaimana pula sifat-sifat feminin dihadapkan dengan penyelidikan kasus-kasus kriminal. Masalah ini yang akan dijawab oleh penelitian ini. Oleh sebab itu, penelitian ini merupakan upaya untuk mengungkapkan citra perempuan tangguh dalam cerita detektif yang ditulis oleh perempuan dalam perspektif posfeminisme. Pesan yang tercermin dalam cerita-cerita detektif yang ditulis perempuan ini mencerminkan gambaran perjuangan perempuan mencapai sukses dalam profesi pekerjaan yang biasanya didominasi oleh laki-laki, yaitu menyelidiki kasus-kasus kriminal. Penggambaran ini menunjukan bahwa menjadi perempuan tangguh memiliki penampilan yang
menarik lawan jenis, tubuh yang tidak
berotot, dalam melakukan penyelidikan menggunakan sepatu bertumit, blus, celana jeans dan heteroseksual. Jadi, perempuan tangguh mengikuti langkah yang sama dengan Meskipun
perempuan cantik yang melawan para pelaku kriminal.
perempuan
ditampilkan
feminin,
lembut,
menarik
secara
heteroseksual, tetapi dia juga menentang struktur sosial yang patriarkal yang membela perempuan dan dia bertindak melawan laki-laki yang mengancamnya. Cerita detektif merupakan sarana yang efektif untuk mengetahui konstruksi citra ketangguhan perempuan yang dieksprsikan dengan seorang
25
detektif perempuan. Citra ini merefleksikan suatu fakta bahwa perempuan menentang monopoli pekerjaan laki-laki dan pekerjaan yang terlalu berat dan keras untuk perempuan tanpa menghilangkan feminitas.
Sehingga rumusan
masalahnya ini adalah kehidupan sosial-budaya perempuan Amerika di era posfeminisme; perlawanan terhadap binerisme, perlawanan terhadap stereotip dan peran gender yang tradisional, hierarki gender, cerita detektif hard-boiled dan perempuan tangguh dalam fiksi. Dengan demikian, permasalahan dalam penelitian ini dapat dijabarkan sebagai berikut: 1. Cerita detektif bisa menjadi sarana yang efektif untuk merefleksikan citra ketangguhan perempuan 2. Perubahan yang terjadi pada tradisi genre dan identitas gender dalam cerita detektif hard-boiled
ketika tokoh detektif diperankan oleh perempuan
tangguh. 3. Citra ketangguhan perempuan dalam perspektif posfeminisme yang diekspresikan dalam cerita detektif hard-boiled. 4. Karakteristik perempuan tangguh yang direpresentasikan pengarang dalam cerita detektif hard-boiled. 5. Potensi-potensi yang dimiliki perempuan tangguh untuk memasuki dunia kerja yang keras sebagaimana direfleksikan dalam cerita detektif hardboiled. 6. Cara dan strategi yang dipilih perempuan dalam cerita detektif hard-boiled sehingga dia mampu melewati hambatan-hambatan menuju dunia yang keras.
26
1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui citra tangguh dari perempuan di era posfeminisme yang dikonstruksi oleh pengarang perempuan dalam cerita detektif hard-boiled Amerika. Secara rinci tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Menemukan bukti sejarah dan kehidupan sosial – budaya perempuan Amerika di era posfeminis yang terefleksi dalam cerita detektif. 2. Menemukan perubahan yang terjadi pada tradisi genre dan identitas gender dalam
cerita detektif hard-boiled
ketika diperankan oleh perempuan
tangguh. 3. Mengungkap citra ketangguhan perempuan dalam perspektif posfeminisme yang diekspresikan dalam cerita detektif hard-boiled. 4. Menemukan karakteristik perempuan tangguh yang direpresentasikan pengarang dalam cerita detektif hard-boiled. 5. Mengungkap potensi-potensi yang dimiliki perempuan tangguh untuk memasuki dunia kerja yang keras sebagaimana direfleksikan dalam cerita detektif hard-boiled. 6.
Mengungkap cara dan strategi yang dipilih perempuan dalam cerita detektif hard-boiled sehingga dia mampu melewati hambatan-hambatan menuju dunia yang keras.
27
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Penelitian ini akan
mengungkapkan citra tangguh dari
perempuan
karena dalam cerita-cerita detektif yang ditulis oleh perempuan menggambarkan perempuan yang menentang peran gender dan seksual yang tradisional dan sekatsekat yang menciptakan ketidakadilan sosial. Perempuan yang dipresentasikan adalah figur perempuan yang cerdas, kuat, single, bebas terhadap nilai-nilai patriarkhis, mandiri, dan perempuan yang berani menghadapi berbagai kesulitan dan bagaimana perempuan mengatasinya, bagaimana usaha dan menemukan solusinya. Dari figur perempuan yang dipresentasikan inilah citra tangguh dapat diungkapkan. Fenomena yang muncul dalam cerita detektif yang ditulis oleh perempuan ini akan menjadi bahan penelitian yang diharapkan dapat : 1. Membantu memberikan inspirasi pada peneliti yang tertarik pada kajian perempuan, yaitu
bagaimana defeninisi perempuan tangguh dalam era
posfeminisme yang terangkat dalam cerita detektif karya pengarang perempuan 2. Memperkaya wawasan para peneliti karya sastra dalam hal penerapan teori dan metode yang dipakai dalam melakukan penelitian ini. 3. Bertambahnya ragam penelitian bidang sastra, khususnya hubungan potret yang muncul dari karya sastra dengan kenyataan sosial. 4. Memberikan kontribusi pada kritik sastra feminis tentang studi gender bahwa karya–karya yang ditulis oleh perempuan akhir abad ke-20 sampai dengan awal abad ke-21 telah menciptakan citra tangguh dari perempuan yang
28
tidak saja memperlihatkan karakterisasi yang kelaki-lakian, tetapi juga kehidupan personalnya yang feminin. Penggambaran perempuan seperti ini memberikan informasi bahwa penulis perempuan telah memecahkan batas gender dan tradisi genre. 5. Membuka wawasan bagi para pemerhati dalam lingkup pengkajian Amerika (American Studies) terutama bagi mereka yang tertarik melihat ekspresi budaya dari sekian banyak budaya di Amerika Meneliti citra perempuan Amerika dalam cerita-cerita detektif gambaran
bukan berarti hanya mengungkap
perempuan sebagai detektif, tetapi
juga memperlihatkan
bagaimana potret kenyataan sosial perempuan Amerika tercermin dalam cerita detektif. 1.4.2 Manfaat Praktis 1. Dapat memberikan informasi kepada mayarakat tentang citra perempuan dalam cerita detektif yang menggambarkan perempuan yang cerdas, kuat, menarik, sukses dalam karier dan tetap feminin. Fenomena yang muncul ini dapat dimanfaatkan untuk membangkitkan kesadaran, meningkatkan kualitas hidup dan menolong perempuan dalam mengatasi rasa terisolasi yang merupakan penyebab dari ketertindasan perempuan dalam masyarakat patriarkis. 2. Konstruksi ketangguhan perempuan yang diciptakan oleh pengarang perempuan dapat dimanfaatkan sebagai solusi alternatif bagi perempuan yang ingin meluaskan pekerjaannya pada bidang-bidang yang sebelumnya didominasi laki-laki.
29
3. Pengetahuan yang terungkap dalam cerita detektif tentang berbagai kriminalitas, bagaimana cara dan strategi perempuan menghadapi pelaku kriminal, solusi yang yang diperlihatkan perempuan dalam menangani berbagai masalah baik masalah orang lain maupun diri sendiri dapat dijadikan sebagai bahan inspirasi, bekal pengatahuan, penambah wawasan bagi masyarakat pada umumnya dan perempuan pada khususnya. 1.5 Ruang Lingkup Studi Representasi perempuan tangguh sudah lama dan banyak ditampilkan dalam film dan karya sastra, sebagai contoh film La Femme Nikita, Xena: Warrior Princess, Bionic Woman dan Lara Croft. Contoh-contoh ini menjadi populasi dan sampelnya adalah cerita detektif yang dikarang oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton. Bentuk cerita detektif ada dua yaitu cerita detektif yang klasik dan cerita detektif yang hard-boiled. Berdasarkan tipe karakter, cerita detektif dibedakan atas detektif swasta (Private Detective atau Private Investigator atau Private Eye), detektif amatir (Amateur Detective) dan detektif polisi (Police Detective). Studi ini dibatasi pada cerita detektif yang hard-boiled dengan tipe karakter detektif swasta. Pembatasan studi pada cerita detektif hard-boiled dimaksudkan untuk melihat representasi citra perempuan dalam era dan lingkungan kehidupan moderen yang diliputi oleh kekerasan dan berbagai masalah yang dihadapi oleh perempuan, baik datang dari dirinya maupun dari luar dirinya. Untuk pemilihan pada tipe karakter detektif swasta, peneliti ingin melihat
perempuan yang
30
mandiri dalam bertindak dan berfikir, pekerjaan yang menghasilkan uang, dan mempunyai uang sendiri tanpa bantuan laki–laki atau pemerintah. Studi ini juga dibatasi pada penulis perempuan Amerika karena peneliti ingin mengetahui kesadaran baru dengan pola pikir yang lahir dari penulis perempuan Amerika pada era posfeminisme. Demikian pula, kajian tentang perempuan tangguh menarik untuk diteliti karena memperlihatkan citra baru perempuan dalam karya sastra. Lebih khusus, peneliti membatasi kajiannya pada grup penulis perempuan Amerika yang menulis cerita detektif
hard-boiled
dengan tipe karakter private eyes perempuan sejak tahun 1980 sampai dengan sekarang. Tahun ini menunjukkan periode kesadaran baru setelah gerakan perempuan gelembang kedua tahun 1960. Tercatat dalam A to Z of American Woman Writer yang ditulis oleh Carol Kort menyebutkan Sara Paretsky dan Sue Grafton adalah grup yang termasuk dalam kategori ini (2007: xiv). Kedua penulis ini
menggunakan
perempuan
sebagai
tokoh
utama
protagonis
yang
dipresentasikan secara serial. Dalam studi citra perempuan, tokoh serial ini juga penting karena menampilkan perkembangan kehidupan perempuan dari awal penerbitan cerita detektif sampai penerbitan terakhir.
Cerita–cerita
detektif
mereka yang ditulis sejak tahun 1980-an ini bukan ceriteranya yang serial melainkan tokoh detektifnya. Sebagaima Sara Paretsky juga mengungkapkan bahwa all my own books so far have been first person private eye novels with the same protagonist, Victoria I. Warshawski. (Grafton, 2002 : 74). Sara Paretsky menggunakan Victoria I. Warshawski sebagai tokoh utamanya dan Sue Grafton menggunakan Kinsey Millhone dari awal hingga akhir karya–karya mereka.
31
Tokoh detektif mereka dari serial awal sampai akhir tidak pernah laki-laki sebagaimana penulis cerita detektif perempuan lainnya.
1.6 TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka ini dilakukan untuk menjelaskan penelitian ini dan
keaslian dari
memberi input dan sumbangan pemikiran dari peneliti-
peneliti lainnya dengan perperspektif yang berbeda tentang cerita detektif. John G. Cawelti dalam bukunya Adventure, Mystery and Romance : Formula Stories as Art and Popular Culture (1976) mengungkapkan perbedaan antara penulis–penulis cerita detektif klasik dan cerita detektif yang hard-boiled dan perbedaan dari masing–masing formula. Disamping itu, artistik dari cerita detektif klasik dijelaskan dan penulis–penulis cerita detektif laki–laki seperti Dashiel Hammett, Raymond Chandler dan Mickey Spillance juga diungkapkan. Penjelasan ini sangat bermanfaat untuk memahami perbedaan masing-masing formula cerita detektif dan memberikan pemahaman gambaran cerita detektif yang ditulis oleh laki–laki. Sally R. Munt dalam bukunya Murder by the Book ? Feminism and the Crime Novel (1994), mengungkapkan penulis cerita-cerita detektif perempuan dalam hubungannya dengan feminist liberal. Menurutnya peran investigator (detektif) perempuan dilokasikan sebagai perempuan baru dan peran tersebut merupakan revolusi bagi perempuan. Munt menjelaskan juga masalah nila-nilai simbolik yang penting yang melekat pada detektif perempuan. Disamping itu, Munt membedakan formula dari masing-masing penulis cerita detektif.
32
Laura Ng dalam disertasinya yang berjudul Feminist Hard-Boiled Detective Fiction as Political Protest in the Tradition of Women Proletarian Writers of the 1930s (2005) menguraikan tentang protes politik yang diekspresikan oleh penulis detektif perempuan yang kontemporer terhadap tradisi penulisan cerita detektif yang ditulis oleh laki–laki. Menurutnya bahwa penulis – penulis seperti Sara Paretsky, Sue Grafton dan Marcia Muller menciptakan peran perempuan yang protagonis. Kesuksesan dan kegagalan penulis feminis ini diukur melalui standar yang diciptakan oleh cerita detektif klasik yang ditulis oleh Raymond Chandler, Dashiell Hammett, dan James M. Cain. Andrew Pepper mengungkapkan penulis-penulis detektif perempuan, antara lain Sara Paretsky, Julie Smith, Barbara Wilson dan Vicki Hendrick dalam bukunya The Contemporary American Crime Novel (2000). Pepper mencermati detektif dalam cerita-cerita detektif berdasarkan masalah ras, etnik, gender dan kelas. Pepper menyatakan bahwa karakter
detektif perempuan sering
digambarkan sebagai feminis, yaitu mewujudkan cita-cita feminis yang liberal. Dia juga memberikan pendapat bahwa munculnya grup penulis perempuan khususnya dalam fiksi kriminal yang hard-boiled telah merubah novel kriminal hard-boiled dalam citra menurut penulis itu sendiri. Istilah-istilah dan defenisi-defenisi yang berhubungan dengan ceritacerita detektif, seperti: defenisi cerita detektif, Crime Novel, Clues, Hard-Boiled dan Detective story, Types of Criminals, female detetive authors, female and feminist, private detective, private eye, sister in crime, Sleuth, Symbolism, elements in crime and mystery writing dapat ditemuai melalui karya yang disusun
33
oleh Rosemary Herbert dengan judul The Oxford Companion to Crime and Mystery Writing (1999). Carol Kort mempresentasikan penulis perempuan Amerika dari berbagai jenis sastra, seperti fiksi (termasuk novel–novel, cerita pendek, misteri, fiksi ilmiah, fiksi horor), puisi, nonfiksi (esey, surat, diari, riwayat hidup), drama, jurnal, sastra anak muda, dan cerita pribadi dalam bukunya A to Z of American Women Writer (2007). Dia juga berusaha memasukkan penulis perempuan secara historis,
dari
mencantumkan
jaman
kolonial
penulis-penulis
hingga
sekarang.
perempuan
Disamping
Amerika
yang
itu
Cort
memperoleh
penghargaan atas prestasi, beasiswa dan hadiah untuk karya sastra, yaitu Pulitzer Prizes, O. Henry Awards dan Nobel Prizes. Elizabeth Blakesley Lindsay menulis sebuah buku, Great Women Mystery Writers (2007) yang mencantumkan 90 penulis perempuan yang memperoleh nominasi sebagai penulis fiksi misteri. Dalam bukunya ini, Lindsay memasukkan informasi biografi, membahas karya–karya mereka, tema, kritikan, dan daftar karya–karya utama dan karya–karya tambahan. Dia juga menandai penulis– penulis yang memperoleh nominasi sebagai penulis misteri, dan memberikan informasi tentang organisasi Sister in Crime. Adapun penelitian yang mengungkapkan perempuan sebagai penulis dapat dilihat pada A literature of their own: British Women Novelists from Bronte to Lessing karya Elaine Showalter. Showalter mengatakan bahwa perbedaan antara aktivitas awal dan peran yang tradisional dari perempuan dan yang dilakukan oleh laki–laki membedakan penulisan perempuan. Pada
34
umumnya tulisan perempuan terdapat kontinuitas imajinasi, pengulangan pola– pola, tema–tema, masalah–masalah tertentu, dan citra–citra dari generasi ke generasi (Eagleton,1996: 14). Showalter menganggap bahwa tradisi sastra perempuan berasal dari hubungan antara perempuan dan masyarakatnya yang sedang berkembang. Penulis perempuan terikat (menyatu) dengan peran mereka sebagai anak perempuan, istri, dan ibu, juga terikat dengan ajaran–ajaran yang berkenaan dengan agama Nasrani, terikat dengan pencurigaan imajinasi, dan menekankan pada tugas; dan terikat dengan keterpaksaan hukum dan mobilitas ekonomi. Kadang–kadang penulis perempuan terikat pada masalah politik disekitarnya. Pada hakekatnya penulis perempuan lebih terikat oleh budaya dari aktivitas yang disadari (Eagleton,1996 : 17). 1.7 KERANGKA PEMIKIRAN TEORETIS Berdasarkan tujuan penelitian, teori–teori yang digunakan adalah sebagai berikut : 1.7.1
Kajian Interdisipliner dalam Pengkajian Sastra Amerika Pengkajian Amerika merupakan pengkajian terhadap budaya Amerika.
Budaya sebagai proyek pengkajian America tidak hanya berkisar pada budaya lama, tetapi juga pada budaya sekarang. Sebagaimana Henry Nash Smith mendefinisikan bahwa American Studies as the study of American culture, past and present, as a whole (Kwiat, 1980 : 13). Untuk mempelajari budaya Amerika menurut Barry Shank melalui teks-teks sastra dan teks-teks budaya serta artefak (2001 : 445). Senada dengan Leo Marx mengatakan bahwa the unique role of imaginative literature as a key to the culture (Wise, 1979 : 321). Untuk
35
memahami budaya, Gordon Kelly tidak mempertimbangkan, karya sastra itu besar atau tidak, karena karya sastra diperlakukan sebagai produk manusia dan untuk itu, karya sastra harus didasarkan pada realitas sosial (Wise, 1979 : 321). Dalam hubungan ini, Carolyn Porter dalam artikelnya What We Know That We Don’t Know: Remapping American Literary Studies mengatakan bahwa: Americanist committed to studying and teaching literature as cultural practice within social history are being forced to rethink what we thought we already knew by learning how dependent that knowledge has been on an idealized cultural nationalism now set in relief by its own failures.(1994 : 470) [Amerikanis yang melakukan pembelajaran dan pengajaran sastra sebagai praktek budaya dalam lingkup sejarah sosial wajib memikirkan kembali apa yang kita anggap sudah diketahui yaitu dengan belajar bagaimana menguasai pengetahuan yang sudah menjadi cita–cita budaya nasioanal sekarang yang diset untuk menjaga kemusnahannya] Dari pandangan ini dapat dipahami bahwa karya sastra merupakah wadah praktis bagi pengkaji Amerika untuk pengajaran dan pengkajian Amerika, karena karya sastra adalah produk budaya yang berisi rekaman peristiwa–peristiwa budaya dan pengalaman masyarakat Amerika yang perlu dilestarikan. Peneliti sastra Amerika secara aktif
dapat memahami pengalaman Amerika yang
diproduksi atau dikonstruksi secara kreatif oleh pengarang dalam karyanya. Kaitan antara budaya dan karya sastra ini oleh Janet Wolff, karya sastra dilihat sebagai tempat penyimpanan makna budaya (Wolff, 1981 : 4). Untuk itu dengan adanya karya sastra Amerika, berarti dapat memanfaatkan salah satu media untuk mengetahui budaya dan pengalaman masyarakat Amerika. Oleh sebab itu, Gene Wise mengungkapkan bahwa the American Experience; instead we look upon America from a variety of different, often competing, perspectives – popular
36
culture, black culture, the culture of women, youth culture, the culture of the aged, Hispanic-American culture, American-Indian culture, material culture, the culture of poverty, folk culture, the culture of regionalism, the culture of academe, the culture of literature, the culture of professionalism, and so on (Wise, 1979: 319) Dalam arti bahwa pengalaman masyarakat Amerika dapat ditelusuri melalui produk masyarakat yang menciptakan budaya tersebut. Menurut Henry Nash Smith, usaha untuk memahami budaya Amerika secara keseluruhan berarti memotivasi pengkajian yang
interdisipliner yang
merupakan karakteristik dari American Studies (Shank, 2001 : 443). Kaitan karya sastra dengan pengkajian yang interdisipliner menurut Rose De Angelis merupakan
peminjaman
ide-ide
yang
ilmiah
untuk
digunakan
dalam
menganalisis sastra (Angelis, 2002: 1). Karya sastra mempunyai keterkaitan dengan ilmu lain. Analisis citra perempuan dalam cerita-cerita detektif melalui pengkajian interdisipliner dalam penelitian ini, dapat memperlihatkan kepada pembaca
bagaimana
kedudukan
ilmu
dengan
teorinya
masing–masing
memecahkan persoalan citra perempuan secara bersama–sama sehingga penelitian terhadap budaya perempuan Amerika dapat dilakukan secara lebih jelas dan menyeluruh. Sebagaimana dalam cerita detektif yang hard-boiled yang ditulis oleh perempuan terpotret kehidupan sosial
perempuan dalam era
posfeminisme. Untuk mengungkapkan dan menganalisa isu–isu yang muncul dalam cerita tersebut, perlu mengadopsi dan mengadaptasikan ide–ide ilmiah yang disampaikan oleh pakar sosiologi yang mencermati kehidupan sosial – budaya perempuan pada era posfeminisme. Cerita detektif berkaitan erat dengan
37
ilmi sastra, seperti sosiologi sastra, studi budaya, studi gender, ekonomi, sosial, politik dan psikologi. Konsep ‘culture’ menurut Smith mencakup ‘masyarakat’ dan ‘seni’ (Kwiat, 1980 : 14). Menurut Clyde Kluckhohn ada 7 unsur kebudayaan, yaitu 1) sistem kepercayaan, 2) sistem pengetahuan, 3) sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia, 4) Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi, 5) Sistem organisasi kemasyarakatan, 6) Bahasa dan 7) Kesenian. Dalam hubungan ini Wolff menyimpulkan bahwa the art is a social product and artist as cultural producer (Wolff, 1981: 137). Jadi, budaya diproduksi oleh manusia dengan berbagai aspek–aspek kehidupan dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bentuk seni, antara lain karya sastra. Walaupun karya sastra di tulis oleh seorang pengarang, tetapi dia adalah anggota masyarakat yang dapat menyerap unsur–unsur kebudayaan dan aspek – aspek kehidupan lainnya yang terjadi dalam masyarakat dan menuangkannya melalui imajinasi yang kreatif ke dalam karyanya. Karya yang terbentuk menjadi karya seni yang dinikmati oleh pembaca. Memahami karya sastra sebagai sistem komunikasi secara keseluruhan, yaitu antara produksi, pengarang, karya seni dan pembaca, dalam rangka fungsinya, karya sastra menjadi sarana yang efektif bagi pembaca atau peneliti untuk dapat memahami budaya yang direpresentasikan penulis. Dalam hubungan ini, Donald E. Hall mengungkapkan bahwa : Whatever meanings author may intend to communicate through a text and whatever meanings a text may generate in seemingly clear fashion through its language or imagery, it is ultimately the reader who must
38
decode those meanings and whose acceptance of, use of, and response to them may vary widely (2001: 44). [Apapun makna–makna yang oleh pengarang dimaksudkan untuk berkomunikasi melalui teks dan apapun makna–makna teks yang menghasilkan mode yang nampak jelas melalui bahasa atau citra, pada akhirnya pembaca yang harus memberi kode makna tersebut dan pembaca menerima, menggunakan dan merespon makna–makna dalam variasi yang luas]. Jadi, dalam produksi makna terjadi proses komunikasi antara teks dan pembaca.
Pembaca
berperan
memberi
makna
teks,
menerimanaya,
menggunakannya, dan meresponnya secara luas dan bervariasi. Sebagaimana dalam penelitian ini teks cerita-cerita detektif digunakan untuk mengungkapkan citra perempuan. Oleh sebab itu, peneliti memilih pendekatan interdisipliner untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas terhadap objek penelitian tentang pencitraan perempuan oleh penulis perempuan dalam cerita-cerita detektif Amerika. Peneliti menggunakan pendekatan
dalam American Studies
sebagaimana yang dikemukakan oleh Henry Nash Smith dalam artikelnya yang berjudul Can American Studies develop a Method ?, berbunyi: The best thing we can do in my opinion, is to conceive American Studies as a collaboration among men working from within existing academic disciplines but attempting to widen the boundaries imposed by conventional methods of inquiry. This implied a sustained effort of the student of literature to take account of sociological, historical, and anthropological data and method, and of the sociologist or the historian to take account of the data and methods of scholarship in the fields of the arts (Kwiat and Turpic, 1980 : 14). [Menurut pendapat saya, hal yang paling penting yang kita bisa lakukan adalah memahami studi Amerika sebagai suatu kerja sama antara pakar– pakar yang bekerja dalam disiplin akademik yang ada tetapi berusaha memperlebar batas yang ditentukan oleh metode penelitian yang konvensional. Ini berarti usaha yang dialami pelajar sastra memperhitungkan data dan metode yang berhubungan dengan sosiologi, sejarah dan antropologi, dan usaha yang dilakukan oleh pakar sosiologi
39
dan pakar sejarah memperhitungkan data dan metode ilmiah dalam bidang–bidang seni] Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa karakteristik American studies dan studi sastra adalah studi interdisipliner, yaitu menggunakan berbagai disiplin ilmu secara bersama–sama untuk memecahkan suatu permasalahan yang sama. American Studies dan studi sastra tidak menggunakan metode penelitian yang konvensional, yaitu metode yang terbatas pada penggunaan satu disiplin ilmu. Pendekatan interdisipliner dalam Ameican Studies ini digunakan juga dalam penelitian sastra, yaitu penggunaan bidang-bidang ilmu yang berhubungan dengan karya seni.
Dengan demikian dalam penelitian ini, isu-isu tentang
gender, seksualitas, tubuh perempuan, identitas, etnisitas dan ras yang tercermin dalam cerita-cerita detektif dianalis dengan pendekatan berbagai disiplin ilmu, untuk mendapatkan makna yang bervariasi. 1.7.2 Teori Posfeminisme Sebagai suatu gerakan dan kesadaran, feminisme dapat ditinjau dari konteks sosial, politik dan sejarah. Feminisme dapat juga dilihat sebagai disiplin akademik dan praktek feminisme dalam masyarakat. Dalam konteks sejarah, feminisme di Amerika dibagi dalam tiga gelombang. Masing-masing gelombang mengungkapkan iklim sosial dan kesadaran masyarakatnya. Berbicara tentang Posfeminisme tidak terlepas dari munculnya kesadaran baru yang berbeda dengan kesadaran perempuan setelah gerakan perempuan gelombang pertama dan gelombang kedua. Oleh sebab itu, pembahasan posfeminisme pada bagian ini di dahului dengan penjelasan singkat tentang apa itu feminisme dan kesadaran perempuan pada gelombang pertama dan gelombang kedua.
40
Kata feminisme berasal dari bahasa Prancis ‘feminisme’ yang diungkapkan pertama kali oleh Hubertine Auclert, pendiri grup perempuan pertama yang memperjuangkan hak pilih
di Prancis. Orang Inggris mulai
menggunakan istilah tersebut pada tahun 1890, dan di Amerika dipublikasikan dan digunakan secara luas pada tahun 1910-an. Sebelum periode ini, perempuan meyakini bahwa ‘hak asasi
perempuan’, ‘hak pilih perempuan’, ‘gerakan
perempuan’, merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan aktifitas perempuan untuk memperoleh pendidikan tinggi, upah yang lebih baik dan hak suara (Rori, 2008: 10). Menurut Barbara Smith, feminisme adalah teori dan praktek politik yang berjuang untuk membebaskan semua perempuan: perempuan kulit hitam, perempuan kelas pekerja, perempuan miskin, perempuan penyandang cacat, perempuan Yahudi, lesbian, perempuan-tua, perempuan kulit putih, dan perempuan heteroseksual. Feminisme harus peduli dengan penindasan perempuan berdasarkan pada jenis kelamin, ras, kelas, kemampuan, usia, dan orientasi seksual (Rori, 2008: 8). Feminis ingin membebaskan perempuan dari semua sistem dominasi yang disebabkan oleh seksisme, rasisme, klasisme dan hal-hal lain yang berorientasi pada persoalan seksual, usia dan kecakapan. Secara umum, feminisme adalah suatu gerakan yang dibangun untuk
mencari
kebebasan perempuan dari penindasan seksis (Kurian, 2001: 137). Feminisme Amerika gelombang pertama (1820–1920) diawali dengan munculnya perjuangan untuk mengakhiri perbudakan pada tahun 1830-an. Pada gelombang pertama ini juga, para pejuang hak-hak asasi perempuan, Lucretia Mott dan Elizabeth Cady Stanton
menyelenggarakan konvensi untuk
41
memperjuangkan hak-hak asasi perempuan termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan, reformasi kepemilikan dan peran perempuan dalam keluarga. Konvensi tersebut diselenggarakan di Seneca Falls, New York pada tanggal 14 Juli 1848. Pada konvensi itu, perempuan dan laki-laki menggunakan Declaration of Independence tahun 1776 yang dirancang oleh Thomas Jefferson sebagai model untuk menyusun Declaration of Sentiments. Dalam konvesi itu juga menghasilkan 12 resolusi yang menuntut hak-hak kesetaraan perempuan yang dapat menentukan kehidupan mereka sendiri, khususnya dalam wilayah hukum, perkawinan, pekerjaan dan agama. Para peserta konvesi juga setuju memperjuangkan perempuan untuk memperoleh hak pilih. Susan B. Anthony dan Elizabeth Cady Stanton adalah para perintis yang membentuk The National Woman’s Suffrage Association (NWSA) pada bulan Mei 1869, suatu organisasi yang memfokuskan pekerjaan untuk memperoleh hak pilih. Setelah melalui berbagai kritikan dan perjuangan selama bertahun-tahun, pada Amandemen ke19, kongres mensahkan the Woman Suffrage Amendment pada tanggal 26 Agustus 1920. (Kurian, 2001: 347). Feminisme pada gelombang pertama ini tidak hanya memenangkan hak perempuan untuk memperoleh hak pilih, tetapi juga menghasilkan hak perempuan memperoleh pendidikan tinggi, hak milik atas nama mereka sendiri, perluasan akses di bidang profesi, hak menerima pendapatan sendiri ( Gamble, 2010: 301). Charlotte Perkins Gilman adalah seorang pemikir penting pada sisi ekonomi kehidupan perempuan kulit putih kelas menengah.
42
Feminisme Amerika gelombang kedua
(1960-1970) muncul setelah
gerakan perempuan tidak aktif selama lebih empat dekade, pada tahun 1960-an, gerakan feminisme bangkit kembali dengan berbagai sasaran, isu-isu, ide-ide dan munculnya perintis-perintis baru. Pada gelombang kedua ini, muncul dua pola pemikiran, yaitu yang berasal dari organisasi hak-hak perempuan (women’s rights) seperti the National Organization for Woman (NOW), Women’s Equity Action League dan the National Women’s Political Caucus. Para aktivis ini diklasifikasikan sebagai kelompok yang lebih tua. Kelompok lain berasal dari grup pembebasan perempuan (women’s liberation), seperti the Redstockings, the Feminist, dan the New York Radical Women. Para aktivis ini diklasifikasikan pada grup yang lebih muda. Sasaran dan aktivitas dari kedua gerakan ini berbeda, karena bersumber dari pengalaman yang berbeda. Para aktivis dari organisasi women’s rights berada dalam gerakan ini setelah mereka mengalami diskriminasi dalam keluarga, pekerjaan dan kehidupan pribadi mereka. Gerakan mereka lebih difokuskan untuk mencapai kesetaraan gender. Sementara grup perempuan dari Women’s Liberation berada dalam gerakan ini setelah mereka mengalami diskriminasi seks (sexism). Grup ini memfokuskan perhatian pada peningkatan kesadaran melalui penelusuaran pengalaman pribadi dan isu-isu seperti pekerjaan rumah, orientasi seksual, pengasuhan anak dan pekerjaan ( Kurian, 2001: 348). Dengan demikian, feminisme Amerika pada gelombang kedua ini lebih difokuskan pada perjuangan mencari pembebasan dan kesetaraan. Para perintis hak-hak perempuan, seperti Betty Friedan, salah satu pendiri NOW (1966) dan penulis The Feminine Mystique (1963), berjuang untuk mencapai kesetaraan
43
gender ini. Akan tetapi ide pembebasan bukan konsep yang muncul pertama kali pada
gelombang kedua ini. Ide pembebasan telah menjadi tema yang
berulang dalam sejarah gerakan perempuan. Mereka ingin kebebasan untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan yang dibayar, dan memimpin di gereja, dan dengan demikian mereka ingin membebaskan diri dari batasan dan hambatan peran sosial (Rory, 2008: 10). Pada era ini, perempuan diasimilasikan dengan laki-laki, yang secara efektif mendorong perempuan untuk menjadi seperti karakter laki-laki yang rasional, dan proaktif. Feminisme Gelombang Ketiga (1980 – sekarang) ini dikenal dengan feminisme
postmodern
dan
dipopulerkan
oleh
media
dengan
istilah
posfeminisme. Sebagaimana Andrea L. Press menyatakan bahwa the postfeminist sensibility is related to what recent feminist scholars have been constructing as the ‘third wave’ of feminism – again, a feminism that has ‘moved on’ from what is alleged to be the second-wave emphases (too business-like a focus on equality, perhaps?), and reclaimed elements of a pre-feminist past including, importantly, an emphasis on women’s sexual expression, and at the same time an emphasis on exhibiting an extreme femininity bodily, sexually and culturally. Third-wave feminism is a complex term generally identified with a new version of feminism featuring these emphases, emerging in the 1990s. (Gill, 2011: 117). Istilah posfeminisme ditelusuri sejak kemunculannya di media pada era 1980-an dan mulai populer tahun 1990-an. Feminisme dalam era ini memiliki berbagai konsep yang dipengaruhi oleh berbagai perubahan sosial-budaya yang terjadi pada akhir abad kedua puluh, tepatnya mulai tahun 1980-an. Perubahan itu tidak terjadi
44
begitu saja; dampak dari
feminisme gelombang pertama dan kedua yang
memfokuskan pada perjuangan terhadap hak-hak asasi perempuan dan penindasan perempuan oleh laki-laki, telah menciptakan berbagai baru.
Kesadaran baru yang muncul pada feminisme
kesadaran
gelombang ketiga ini
adalah kaum feminis yang berada pada konteks sosial yang berbeda dengan feminisme sebelumnya. Pada era ini muncul perempuan-perempuan muda yang mengidentifikasi diri mereka sebagai feminis, tetapi bukan kelanjutan feminis tahun enam puluhan dan tujuh puluhan yang lebih banyak melakukan protes terhadap penindasan dan ketidakadilan. Posfeminis berkeinginan untuk memiliki feminisme mereka sendiri yang lebih menekankan pada femininitas yang pada gerakan feminisme gelombang kedua dihilangkan. Ada juga feminis yang justru menyerang feminis sebelumnya yang diidentifikasi sebagai backlash politics (politik serangan balasan) sebagaimana yang dituangkan Susan Faludi dalam The Backlash: The Undeclared War Against Woman (1991). Agenda gerakan kaum feminis menurut Faludi diseting oleh media dan dirancang untuk meruntuhkan tujuan dan pencapaian kaum feminis (Brooks, 1997: 4). Postfeminisme menurut Faludi ini adalah serangan balasan terhadap capaian yang telah dibuat oleh gerakan feminis. Postfeminis sudah digunakan dalam berbagai cara untuk memaknai berbagai macam hal (Madsen, 2000: 28). Pengertian posfeminisme menunjukkan pengertian yang beragam. Oleh sebab itu, Sarah Gamble (2010: 53) mengomentari postfeminisme tidak pernah terdefinisikan dan tidak memiliki bentuk yang tetap. Pemahaman posfeminisme itu sendiri bukan lanjutan dari pemikiran feminisme gelombang kedua, akan tetapi dipahamai sebagai ide-ide
45
yang muncul setelah perjuangan feminis sebelumnya yang mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap perempuan. Sebagaimana dalam The Concise Oxford Dictionary edisi ke-9, posfeminisme didefinisikan sebagai sesuatu yang berhubungan dengan gagasan-gagasan, perilaku-perilaku, dan seterusnya, yang mengabaikan atau menolak gagasan-gagasan feminis tahun 1960-an dan dekadedekade berikutnya. Bahkan banyak feminis berpendapat bahwa postfeminisme persisnya merujuk pada sebuah pengkhianatan atas sebuah sejarah perjuangan feminis, dan penolakan dari semua yang sudah dicapai (Gamble, 2010: 56). Ditinjau dari asal mulanya postfeminisme di Amerika, tidak terlepas dari pengaruh feminis Prancis yang mulai berkembang tahun 1980-an dan mencapai kepopuleran tahun 1990-an atas prakarsa generasi muda dan media. Feminis Prancis yang berpengaruh adalah Luce Irigaray, Julia Kristeva dan Helene Cixous. Karya mereka diangkat oleh teoretikus feminis Anglo-Amerika dalam tulisan, budaya, studi film pada tahun 1980-an (Gamble, 2010: 49). Feminis Prancis bukan feminisme di Prancis, akan tetapi kaum feminis dari Prancis yang dipromosikan oleh Anglo-Amerika yang dikenal dengan Holy Trinity karena terdiri dari tiga perempuan dari Prancis. Para feminis Amerika menganggap feminisme Prancis
sebagai feminisme postmodern, feminisme gelombang
ketiga, posfeminisme, teori sastra feminis postrukturalisme. Istilah post menunjukkan ide-ide yang muncul setelah perjuangan feminis (Gambaudo, 2007: 97).
Dengan
demikian
kemunculan
posfeminisme
tidak
terlepas
dari
posmodernisme. Meskipun konsep pos pada posfeminis memiliki kesamaan dengan posmodernisme yaitu merujuk pada proses transformasi dan perubahan
46
yang terjadi di masyarakat dan kebudayaan kontemporer (Sarup, 2011: 202), tetapi kemunculan ‘pos’ pada posfeminisme dan posmodernisme memiliki rujukan yang berbeda. Ketika konsep
pos
pada posfeminisme, pikiran
perempuan berbeda dengan feminisme sebelumnya dan memiliki nilai baru, bahkan menentang konsep feminis sebelumnya, sehingga posfeminisme bukan kelanjutan dari feminisme. Ann Brooks mengungkapkan bahwa posfeminisme menantang asumsi-asumsi hegemonik yang dipegang oleh epistemology feminis gelombang kedua (1997: 2). Menurut Madam Sarup, banyak teori sosial feminis sebelumnya tidak memberikan perhatian yang memadai pada keanekaragaman kultural dan historis, dan secara keliru menggeneralisasi aspek-aspek pemikiran, masyarakat, budaya, kelas, ras dan gender zamannya (2011: 242). Perbedaan kesadaran
ini
dipengaruhi
oleh
pemikir-pemikir
perempuan
pada
era
posfeminisme berasal dari feminis Prancis yang mempunyai kesadaran sendiri yang berbeda dengan pemikiran
feminis Amerika atau feminis gelombang
kedua. Feminis Prancis berusaha mengembangkan kritik sosial yang mempunyai kesadaran heterogen dengan pilihan hidup sendiri-sendiri. Sementara konsep pos pada posmodernisme merupakan kelanjutan atau mengadopsi, memrotes, menentang dan diluar atau pemutusan dari konsep modernisme. Hubungan antara posfeminisme dengan posmodernisme tidak dapat dipisahkan.
Posmedrnisme
memunculkan
posfeminisme
sebagaimana
modernisme memunculkan feminisme. Akan tetapi feminisme tidak dikatakan modern feminism. Meskipun feminisme lahir pada era modern, modernitas tidak memberikan kebebasan, kesetaraan dan solidaritas (persaudaraan) yang penuh
47
pada perempuan dan modernitas bukanlah pembebas utama perempuan (Turner, 2008: 258). Hal ini dapat dilihat ketika di era modern masih banyak sekolahsekolah dan pekerjaan publik yang masih terpisah-pisah antara laki-laki dan perempuan, serta perempuan
memperoleh upah lebih rendah dari laki-laki.
Demikian pula modernitas mengesampingkan emosi dan lebih pada rasio. Sementara pada posmodernime, pikiran-pikiran perempuan, termasuk emosi dan feminin tertampung penuh. Oleh sebab itu, ide-ide dan kesadaran perempuan pada era posfeminisme tidak dapat dipisahkan dengan iklim posmodernisme, karena posmodernisme memberi pengaruh yang cukup bagi iklim intelektual perempuan di era posfeminisme. Sebagaimana George Ritzer menegaskan bahwa ide-ide postruktural/postmodern sekarang dan sebelumnya juga telah memiliki pertalian dengan teori feminis dan mencerminkan fakta bahwa feminisme (posfeminisme) dan postmodernisme menjangkau wilayah secara internasional (2010: 314). Kaitan antara posfeminisme dan posmodernisme antara lain isu-isu tentang budaya tinggi dan budaya populer atau budaya massa. Kritikus budaya posmodernisme menentang perbedaan tradisional antara budaya tinggi dan budaya rendah (Ward, 2003: 16). Salah satu yang berkomentar tentang persoalan ini adalah Andreas Huyssen. Dia mempertimbangkan bagaimana ‘seni pop’ dapat dipandang sebagai ‘bentuk kebudayaan posmodernis’, menantang kebanyakan pembedaan tradisional yang dibuat antara budaya tinggi dan budaya massa. Pop dalam pengertian yang lebih luas adalah konteks, yang didalamnya suatu gagasan tentang postmodern pertama kali memperoleh bentuknya (Brook, 1997:136). Selanjutnya Husssen mencatat bahwa sifat dasar budaya yang semakin tersebar
48
dan terfragmentasi membuat semakin sulit memuat budaya di dalam kategori yang aman (Brook, 1997: 137). Penantangan terhadap perbedaan ini tidak hanya terbatas pada bentuk seni arsitektur dan karya sastra, tetapi juga pada bentuk seni visual (Glenn, 2003). Demikian pula pemikir perempuan di era posfeminis mengevaluasi kembali budaya pop dalam bentuk musik, gaya, tarian, ritual sosial dari posisi feminis/posfeminis (Brook, 1997: 135). Hilangnya batas antara budaya tinggi dan budaya populer atau budaya massa cenderung menimbulkan percampuradukan bentuk seni. Sejumlah teoretikus dan penulis feminis mengomentari pandangan Huysenn, antara lain feminis Prancis, Helene Cixous menolak sejumlah oposisi biner seperti tinggi/rendah dan maskulin/feminin. Dukungan feminis terhadap posmodernisme nampak pada persoalan
perbedaan. Prinsip penting bagi
feminisme adalah mengesampingkan persamaan
gender dan mengakui
perbedaan. Luce Irigaray adalah salah satu feminis Prancis yang berminat pada konsep perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perlakuan yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan antara perempuan dan perempuan. Posmodernitas menekankan ide tentang perbedaan (Turner, 2008: 248). Pemikiran feminis yang dikembangkan dari pemikiran postmodern adalah isu tentang subyektivitas. Sebagaimana pemikiran Michel Foucault adalah analisis kritis historis mode pembentukan subjek: proses di mana, di kebudayaan kita, manusia dibentuk menjadi subjek (Sarup, 2011: 129). Luce Irigaray terpengaruh oleh pandangan Foucault. Luce Irigaray berpikir tentang perbedaan seksual sebagai strategi penegasan subjektivitas perempuan (Sarup, 2011: 129). Yang
49
akan dilakukan Irigaray adalah membangun kondisi subjektivitas perempuan. Bagaimana perempuan dapat memperoleh ‘aku’ yang berasal dari wacana mereka sendiri dan bukan sebagai turunan dari ‘saya’ laki-laki (Sarup, 2011: 185) Irigiray ingin menegaskan
perempuan sebagai subyek adalah bahwa
perempuan harus ikut terlibat dalam proses penciptaan realitas kultural dan politik (Sarup, 2011: 189). Sumber pemikiran berasal dari sudut pandang perempuan itu sendiri, bukan dari sudut pandang laki-laki. Tujuan utama feminis Prancis adalah tulisan yang dibuat oleh perempuan yang diekspresikan dari tubuh atau fisik dan psikologis perempuan. Mereka menginginkan femininitas tetap ada dan menjadi pusat perhatian, sebagaimana Sue Vice mengungkapkan berikut ini: The appeal of French feminist psychoanalytic theory is its effort to make femininity its central concern, directed against the perception that the symbolic order is a patriarchal monolith (Jackson, 1998: 169). [Daya tarik teori psikoanalisis feminis Prancis adalah pada usahanya untuk membuat femininitas sebagai pembahasan utama, ditujukan untuk melawan persepsi bahwa tatanan simbolis merupakan suatu keseragaman patriarkal]. Pandangan feminis Prancis ini memperhatikan perempuan yang melihat dirinya sendiri (subjektivitasnya), dan mengabaikan pandangan laki-laki terhadap perempuan, karena perempuan mempunyai pengalaman dan pengetahuan sendiri yang berbeda dengan laki-laki. Salah satu kesadaran yang ditekankan dalam posfeminisme
ini adalah perempuan yang bebas menentukan dirinya tanpa
meninggalkan femininitasnya. Jika di era feminisme gelombang kedua, kaum feminist Amerika menemukan penyebab ketertindasan perempuan dan berusaha mengakhiri semua
50
bentuk penindasan serta berjuang menempati posisi yang setara dengan laki-laki, pada era gelombang ketiga
ini, menurut Jane Spencer, kesetaraan dalam
berbagai segi kehidupan perempuan sudah banyak tercapai, tidak ada lagi gap dalam peneriman gaji dan pendidikan, ekonomi perempuan memiliki lebih banyak kesamaan dengan laki-laki, keluarga patriarkhal merupakan pilihan (Gillis, 2004: 16 ). Posisi perempuan yang telah banyak mencapai kesetaraan membawa
perempuan
terikat
pada
maskulinitas
dan
mengabaikan
femininitasnya. Kaum feminist pada gelombang kedua itu berusaha untuk membuat perempuan seperti laki-laki dan menyangkal perbedaan
esensial
perempuan. Sementara femininitas diidentifikasi sebagai dasar untuk penindasan perempuan. Sebagaimana Joanne Hollow mencatat bahwa bagi banyak feminis, nilai dan perilaku feminin dipandang sebagai penyebab utama penindasan yang dialami perempuan (2010: 4). Dan feminitas sebagai sesuatu
yang inferior
terhadap maskulinitas: yaitu kesetaraan antara laki-laki dan perempuan akan dapat tercapai jika perempuan menolak nilai-nilai dan perilaku feminin dan menggantikannya dengan nilai-nilai dan perilaku maskulin (2010: 13). Pada gelombang kedua, feminis menyuarakan kesetaraan dan mengacu pada nilai-nilai dan perilaku laki-laki. Femininitas dianggap perilaku yang tidak baik, karena feminim dikaitkan dengan kepasifan, kepatuhan dan ketergantungan yang menyebabkan perempuan tertindas. Sebagaimana Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex berargumentasi bahwa perempuan diopresi melalui keliyanannya (otherness). Perempuan adalah Liyan (the Other) karena perempuan adalah bukan laki-laki.
51
Laki-laki adalah bebas, mahluk yang menentukan dirinya sendiri yang mendefinisi makna eksistensinya (2003: x ). Dari pandangan ini, keliyanan (otherness) atau femininitas sebagai konstruksi budaya perempuan dihubungkan dengan segala sesuatu yang tidak diinginkan dan dimarjinalkan. Femininitas dianggap sebagai sumber opresi perempuan, karena menghalangi usaha-usaha mencapai kesetaraan. Perempuan didorong agar mengorbankan feminitasnya yang sudah lama terbentuk oleh budaya untuk mencapai kesetaraan dengan lakilaki. Nilai-nilai dan perilaku maskulin diakui berkualitas. Pada era posfeminisme ini,
femininitas mengalami peninjauan kembali dengan cara pandang yang
berbeda dengan feminisme gelombang kedua. Ini membuktikan bahwa identitas femininitas berubah-ubah seiring waktu. Sebagaimana ditegaskan Joanne Hollows (2010: 23) bahwa identitas feminin berbeda-beda, tidak hanya antara konteks historis dan geografis, tetapi juga dalam konteks mereka sendiri. Pemikiran feminitas pada era posfeminisme ini penting untuk dipahami karena
peniliti
ingin
mengungkap
bagaimana
penulis
perempuan
menggabungkan kesuksesan perempuan dalam profesi yang didominasi oleh laki-laki dengan femininitas.
Bagaimana perempuan sebagai detektif yang
diidentifikasi mengganggu gagasan gender yang dominan dan yang memerangi kejahatan secara feminin. Apa peran femininitas itu pada pekerjaan sebagai detektif. Bagaimana femininitas itu menjadi potensi perempuan menjadi sosok yang tangguh? Yang jelas bahwa femininitas dalam pandangan postfeminisme ini, perempuan tidak harus berfungsi sebagai komoditi atau menjadi korban.
52
Pada era posfeminisme ini, konsep-konsep kesetaraan mengalami peninjauan kembali terkait dengan sifat dasar perempuan yang feminin. Menurut Carol Gilligan dan Nodding, feminitas adalah anugrah bagi perempuan, dan bukan beban. Perkembangan ini muncul berkaitan dengan konteks sosial-budaya tertentu. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip yang perempuan dalam cerita detektif
representatif
ini mengacu pada
dengan citra
pandangan yang
dikemukakan oleh Luce Irigaray, Julia Kristeva dan Helene Cixous tentang femininitas. Dengan demikian ide-ide mereka itu dapat diterapkan bagaimana hubungan antara perempuan, feminine dan cerita detektif. Berdasarkan uraian di atas, cerita detektif karya Sara Paretsky dan Sue Grafton yang diproduksi tahun 1980-an mencerminkan dan sejajar dengan kondisi posfeminisme. Sebagaimana Sara Paretsky sendiri menegaskan bahwa dia bertekad untuk menulis cerita detektif hard-boiled yang diperankan oleh seorang perempuan dan mempunyai profesi yang lengkap, seseorang yang bisa beroperasi dengan sukses dalam lingkungan yang keras dan tidak kehilangan feminitasnya (Smith, 2000:2), Cerita detektif karya-karya Sara Paretsky dan Sue Grafton telah memperlihatkan kesadaran feminisme dalam hal perbedaan dan kebebasan dan kesadaran baru yang mencerminkan unsur-unsur pemikiran posfeminis khususnya pada perempuan dan feminitasnya. Sementara, feminisme Prancis terus memupuk pikiran memprovokasi dialog antara gagasan keadilan dan perbedaan. Oleh sebab itu, konsep-konsep feminis Prancis dapat diterapkan untuk mengungkapkan perempuan dalam cerita detektif yang memperlihatkan kesempatan perempuan dalam pekerjaan sebagaimana yang dilakukan laki-laki,
53
akan tetapi modus operandi perempuan dalam melakukan penyelidikan memanfaatkan feminitasnya yang tidak pernah dilakukan oleh detektif laki-laki. Berikut ini pemikiran feminis Prancis; Luce Irigaray, Helene Cixous dan Julia Kristiva yang digunakan untuk
mengakomodasi tujuan penelitian.
Pemikiran mereka berbeda dengan feminis Amerika. Menurut pandangan feminis Prancis bahwa perempuan berada di luar wacana yang dibuat oleh laki-laki, sehingga tidak menegaskan perempuan sebagai yang termarginalkan. Sedangkan perempuan menurut pikiran feminis Amerika cenderung berpijak pada nilai-nilai Puritan yang berorientasi pada kerja dan berpusat pada laki-laki (Gambaudo, 2007: 94). Sejak masa kolonial, posisi perempuan Amerika ditentukan berdasarkan sudut pandang koloni-koloni Puritan yang hierarkhis, yaitu sebagaimana laki-laki tunduk kepada Tuhan dan para pengikut-Nya, maka perempuan harus tunduk kepada laki-laki. Kaum Puritan percaya bahwa inferioritas perempuan disebabkan oleh dosa asal yang ditandai oleh fisik yang lemah, ukuran tubuh lebih kecil, intelektual terbatas, dan cenderung emosional dari pada rasional. Oleh sebab itu, aktifitas perempuan hanya terbatas pada ruang lingkup domestik, seperti mengasuh anak-anak, melakukan pekerjaan rumah tangga, dan melayani suami (Madsen, 2000: 2)
Perjuangan feminis
Amerika untuk mencapai kesetaraan didirikan berdasarkan logika kesamaan bahwa perempuan memiliki rasio yang sama dengan laki-laki dan kesempatan yang sama dalam pendidikan dan hak pilih. Secara efektif, perempuan didorong menjadi seperti karakter laki-laki (rasional, proaktif, bertanggung jawab, dan sebagainya). Kesetaraan diperoleh berdasarkan pada kondisi bahwa perempuan
54
diukur dengan kriteria yang sama dengan yang ditentukan pada laki-laki. Memersamakan perempuan dengan laki-laki dan menundukkan kondisi feminin untuk mencapai kedudukan laki-laki menjadi target feminis gelombang kedua (Gambaudo, 2007: 95). Sementara, dalam agenda feminis Prancis tidak ada perjuangan untuk mencapai kesetaraan (Jackson, 1998: 170). Jika feminis Amerika, seperti Kate Millet, mengatakan bahwa perempuan telah menyerap ideology feminitas dan dengan ideology itu mereka mencerap status inferior mereka (Gamble, 2010: 44). Feminis Prancis berupaya merumuskan bentuk ekspresi feminin melalui tulisan perempuan, sebagaimana pandangan mereka berikut ini: Luce Irigaray Luce Irigaray ingin menyelamatkan perempuan dari penilaian laki-laki yang tidak relevan dengan pengalaman perempuan. Dia mencatat bahwa segala sesuatu yang diketahui tentang perempuan termasuk hasrat seksualnya dari sudut pandang laki-laki. Argumentasi utamanya bahwa perempuan selalu dipaksa untuk menekan seksualitas mereka dan perolehan kembali tentang hal ini akan memberi pengaruh pada pembebasan (Gamble, 2010: 328). Perempuan tidak bisa cocok dengan kategori pemikiran laki-laki. Oleh sebab itu perempuan tidak bisa dikomunikasikan dengan cara yang dipahami oleh pola pikir laki-laki. Luce Irigaray berpendapat bahwa seksualitas feminin dan tubuh perempuan adalah sumber dari tulisan perempuan (Tong, 2006: 295). Dari pandangan ini mengungkapkan hanya melalui tulisan perempuan, feminitas bisa diinformasikan dengan jelas. Perempuan tidak pernah dapat mengatakan apa
55
yang mereka maksud karena makna mereka tidak dapat dimengerti dalam tradisi pikiran yang didefinisikan laki-laki. Oleh sebab itu, Luce Irigaray berminat pada konsep perbedaan jenis kelamin, sebagaimana diungkapkan Stevi Jackson berikut ini: Equality is not on Irigaray's agenda: 'women's exploitation is based upon sexual difference; its solution will come only through sexual difference', she writes (1998: 170) [Kesetaraan tidak ada dalam agenda Irigaray: ‘eksploitasi perempuan didasarkan pada perbedaan jenis kelamin; jalan keluarnya akan datang hanya melalui perbedaan jenis kelamin’, tulisnya] Irigaray tidak menilai perempuan berdasarkan ukuran pada laki-laki. Perempuan mempunyai nilai tersendiri yang berbeda dengan laki-laki. Pandangan Luce Irigaray ini cocok diterapkan pada cerita detektif karya Sara Paretsky dan Sue Grafton, karena memungkinkan peneliti untuk menemukan gambaran tentang standar ketangguhan perempuan sebagai seorang detektif. Hal ini menjadi penting untuk memahami ukuran ketangguhan perempuan yang tidak didasarkan pada
ukuran laki-laki, akan tetapi
ukuran yang dapat
ditoleransi untuk seorang perempuan. Berdasarkan pandangan Irigaray dapat juga diungkapkan dalam cerita detektif tetang protes ketidakadilan sosial berdasarkan pada pengalaman perempuan itu sendiri yang digunakan perempuan sebagai strategi sehingga dia bisa bertahan dalam dunia pekerjaan yang didominasi oleh laki-laki dan bukan apa yang harus dilakukan perempuan berdasarkan pandangan dan kebutuhan laki-laki. Helene Cixous
56
Helene Cixous percaya bahwa perbedaan perempuan dengan laki-laki tidak hanya secara seksual tetapi juga linguistik. Cixous memilki tujuan untuk menyuarakan dan menulis tentang sebuah representasi positif tentang feminitas dalam sebuah wacana yang dia istilahkan dengan ecriture feminine (tulisan perempuan). Cixous berpendapat bahwa jika tulisan perempuan menjadi ecriture feminine, tulisan itu dapat menggulingkan maskulin sebagai bahasa simbolik. Desakan Cixous terhadap perempuan untuk menulis diungkapkan dalam sebuah tulisan yang menyerupai esai seperti
“The Laugh of the Medusa’’ (1975).
Tulisan ini sebagaimana seluruh karyanya menyuarakan unsur-unsur erotis, ungkapan-ungkapan cair dan citra-citra baru, permainan kata-kata dan kekosongan untuk membebaskan tubuh-tubuh perempuan dari representasi yang ada. Di dalamnya, dia mengakui bahwa retorika tentang perbedaan ini yang berasal dari tubuh perempuan akan menciptakan identitas-identitas baru bagi perempuan dan akhirnya institusi- institusi sosial baru (Gamble: 262). Desakan Cixous terhadap perempuan untuk menulis diungkapkan dalam The Laugh of the Medusa adalah sebagai berikut: Woman must write her self: must write about women and bring women to writing, from which they have been driven away as violently as from their bodies – for the same reasons, by the same law, with the same fatal goal. Woman must put herself into the text – as into the world and into history – by her own movement ( Humm, 1992: 196). [Perempuan harus menulis dirinya sendiri: harus menulis tentang perempuan dan mendorong perempuan untuk menulis, sebagaimana mereka mendorong sekuat dari tubuh mereka - untuk alasan-alasan yang sama, oleh aturan yang sama, dengan tujuan yang sama pentingnya. Perempuan harus menempatkan dirinya ke dalam teks – sehingga terkenal oleh dunia dan tercatat dalam sejarah – melalui gerakan perempuan sendiri]
57
Cixous melihat bahwa perempuan mengungkapkan dunia mereka melalui tulisan perempuan yang dikendalikan oleh tubuh mereka. Dia melihat ada hubungan antara tulisan perempuan dengan tubuh perempuan. Dia juga menekankan bahwa tulisan perempuan tentang perempuan dapat menjangkau secara internasional dari sudut pandang mereka sendiri dan perempuan memiliki kesadaran yang berbeda pada waktu yang berbeda tercatat dalam sejarah. Cixous menolak tulisan dan pemikiran laki-laki, karena dia melihat dalam tulisan laki-laki dibentuk istilah-istilah dalam oposisi biner (pasangan yang berlawanan) yang terinspirasi dari oposisi laki-laki dan perempuan. Menurut Cixous laki-laki diasosiasikan dengan segala sesuatu yang aktif, kultural, terang, tinggi, atau secara umum positif, sementara perempuan diasosiasikan dengan segala sesuatu yang pasif, alami, gelap, rendah atau secara umum negatif (Tong, 2006:
292). Dengan demikian Cixous memberikan gagasan kepada penulis
perempuan untuk secara bebas bergerak diantara feminin dan maskulin sebagaimana dikatakannya berikut ini: Thought has always worked through opposition, Speaking/Writing Parole/Ecriture High/Low. . . Organization by hierarchy makes all conceptual organizations subject to man. Male privilege, shown in the opposition between activity and passivity, which he uses to sustain himself. Traditionally, the question of sexual difference is treated by coupling it with the opposition: activity/passivity. ( The Hélène Cixous Reader [ HCR ]: 38) [Pemikiran selalu bekerja melalui oposisi, Berbicara / Menulis Parole / Ecriture Tinggi/Rendah. . . Organisasi berdasarkan heirarki membuat semua konsep pengorganisasian tunduk pada laki-laki. Hak istimewa lakilaki, ditunjukkan pada oposisi antara aktifitas dan pasifitas, yang dia gunakan untuk mempertahankan dirinya. Secara tradisional, pertanyaan tentang perbedaan jenis kelamin diperlakukan dengan pasangan oposisi: aktifitas/pasifitas]
58
Cixous mendesak perempuan untuk menempati posisi subjek dalam tulisan perempuan dan menghilangkan batas-batas gender yang kaku. Cixous percaya bahwa penghancuran pikiran biner yang bertentangan, hanya dapat terjadi melalui tulisan perempuan. Struktur biner menimbulkan pengelompokan yang bersifat hierarkis dan menempatkan perempuan berada pada posisi yang rendah. Struktur biner menjadi sumber penindasan perempuan yang terus menerus. Cixous yakin bahwa hanya melalui bahasa perempuan
dapat
mematahkan binerisme yang telah mengutuk perempuan ke sisi negatif yang terus menerus ini. Cixous jelas memandang bahwa perempuan sebagai praktisi yang paling mampu dalam penulisan ini, karena perempuan lebih selaras dengan keperempuanan oleh sebab itu bisa masuk dalam tulisan mereka. Cixous percaya bahwa untuk menulis sebagai seorang perempuan, pada umumnya harus merebut kembali seksualitas mereka, yaitu seseorang yang berpusat pada perempuan dan yang merasakan sumber kesenangan mereka sendiri berbeda dengan laki laki. Apa yang diharapkan Cixous untuk menghilangkan struktur biner dan memutar semua jenis peran, yaitu perempuan menjadi subjek dalam tulisan perempuan nampak jelas dalam cerita detektif yang ditulis oleh perempuan. Sebagaimana dalam karya-karya Sara Paretsky dan Sue Grafton, perempuan telah menempati posisi subjek, yaitu perempuan berperan sebagai subjek investigasi dan tidak lagi memperlihatkan perempuan berada pada posisi yang pasif, lemah, dan bergantung pada laki-laki. Meskipun perempuan yang mereka gambarkan menggunakan atribut feminin, bukan berarti menunjukkan identitas
59
yang negatif, akan tetapi memperlihatkan identitas baru yang tidak meninggalkan feminitas dalam profesi yang sebelumnya didominasi oleh laki-laki. Hal ini terlihat pada perempuan tangguh yang mereka ciptakan telah menggoyahkan label ketangguhan yang terus menerus dilekatkan pada laki-laki. Julia Kristeva Julia Kristeva tidak mengidentifikasi feminin dengan perempuan secara biologis atau maskulin dengan laki-laki secara biologis. Dia beranggapan bahwa ketika seorang anak memasuki tatanan simbolik, si anak dapat mengidentifikasi diri dengan ibu
atau ayahnya. Bergantung
pada pilihan yang diambilnya,
seorang anak dapat menjadi kurang atau lebih feminin atau maskulin. (Tong, 2001: 300). Dengan demikian, anak perempuan atau anak laki-laki dapat memilih dengan modus tulisan feminim atau maskulin. Dia bebas bergerak di antara feminin dan maskulin. Dengan kata lain Kristeva membuat suatu strategi yang menolak identitas gender yang berlawanan atau menolak batas-batas gender. Dalam tulisan yang berjudul
About Chinese Women, Kristeva
berpendapat bahwa perempuan tidak dapat begitu saja berganti peran dengan laki-laki karena pemikiran dan representasi dalam aturan phallocratic dikonstruksi dalam konteks binarisme linguistik
yang selalu menyamakan
maskulin dengan keras/aktif dan feminim dengan lembut/pasif (Gamman, 2010: 25). Dalam sisi ini, Kristeva menekankan konsep perempuan yang terperangkap dalam kerangka falosentris yang terikat dengan konteks biner. Dengan berlandaskan pada pandangan Kristeva ini, diharapkan penelitian ini dapat mengungkap atribut-atribut, tingkah laku dan aktivitas feminin dan
60
maskulin apa saja yang dipilih perempuan dalam profesinya sebagai detektif. Dengan terungkapnya pilihan atribut-atribut, tingkah laku dan aktivitas yang feminin dan maskulin tersebut, diharapkan dapat menjawab manfaatnya dalam melakukan penyelidikan kasus kriminal dan hubungannya dengan kesuksesan perempuan dalam dunia yang keras. Pemikiran Kristeva dalam penelitian ini dapat juga diterapkan untuk mengungkapkan bagaimana penulis perempuan mengalihkan kerangka falosentris untuk mengalihkan dominasi oleh laki-laki.
I.7.3 Teori Sosiologi Sastra Sebagaimana karya sastra lainnya, cerita detektif karya pengarang perempuan tidak terlepas dari budaya masyarakat yang melatarbelakanginya. Cerita detektif yang dikarang oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton sebagai objek material dalam penelitian ini dilatarbelakangi oleh budaya perempuan pada era posfeminisme. Pada era ini, perempuan sudah meluaskan wilayah pekerjaannya yang semula didominasi oleh laki-laki, meniti karier professional hingga ke tingkat yang tertinggi. Perempuan tidak lagi memikirkan dimarginalkan atau menjadi ojek belaka dan berjuang untuk kesetaraan, akan tetapi mengubah paradigmanya sendiri-sendiri yang tidak didasarkan pada pandangan dan ukuran laki-laki. Nilai-nilai dan perilaku serta atribut feminin yang sebelumnya dianggap tidak berkualitas, pada era posfeminisme ini feminin merupakan potensi yang terus dikembangkan. Selain itu maraknya fenomena single parent dan single woman pada era ini dipandang sebagai ketangguhan perempuan yang memperlihatkan perempuan mampu berdiri di atas kaki sendiri. Fenomena sosial
61
perempuan ini digambarkan secara imajinatif oleh pengarang perempuan dalam cerita detektif. Oleh sebab itu teori yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara cerita detektif dan kehidupan masyarakat, khususnya perempuan di era posfeminisme adalah teori sosiologi sastra. Dengan suatu asumsi bahwa cerita detektif karya pengarang perempuan mampu mencerminkan berbagai kondisi perempuan Amerika pada era posfeminisme. Prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh Alan Swingewood digunakan dalam analisis ini. Alan Swingewood mengemukakan tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra. Pertama, the most popular perspective adopts the documentary aspect of literature, arguing that it provides a mirror to the age (1972: 13). [Perspektif yang paling populer adalah mengadopsi aspek karya sastra sebagai dokumen, dengan alasan bahwa karya sastra merupakan
cermin dari suatu
masa]. Dalam perspektif yang pertama ini, Swingewood mengemukakan bahwa karya sastra serbagai dokumen sosial yang di dalamnya mencerminkan kondisi sosial pada saat karya satra diciptakan.
Kedua, a literary sociology moves away
from the emphasis on the work of literature itself to the production side, and especially to the social situation of the writer (1972: 17). [Sosiologi sastra berangkat dari karya sastra itu sendiri menuju pada produksi karya sastra, dan terutama pada situasi sosial penulis]. Perspektif yang kedua ini Swingwood menekankan perhatiannya pada situasi sosial pengarang sebagai produksi karya sastra. Ketiga, one demanding a high level of skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received by a particular society at a specific historical moment (1972: 21). [yang menuntut keterampilan tingkat
62
tinggi, yaitu berusaha melacak bagaimana sebuah karya sastra dapat diterima oleh masyarakat tertentu pada momen sejarah tertentu]. Swingewood dalam perspektif yang ketiga ini melihat karya sastra diterima oleh masyarakat tertentu pada momen sejarah tertentu yang menuntut tingkat keahlian yang tinggi dalam proses penerimaan. Penelitian ini hanya menggunakan perpektif pertama, karena peneliti menekankan analisisnya pada
cerita detektif karya pengarang perempuan
sebagai dokumentasi sosial, khususnya budaya perempuan Amerika pada era posfeminisme. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fakta sosial perempuan yang direflesikan dalam cerita detektif. Dalam hubungan ini Swingewood (1972: 78) mengemukakan dua bentuk penelitian sosiologi yang menggunakan sastra sebagai objek kajiannya. Pertama, a sociology of literature yang penelitiannya
dimulai dari lingkungan sosial diluar karya sastra yang
kemudian menghubungkan karya sastra dengan faktor-faktor yang terdapat di luar karya sastra melalui refleksi atau pembiasan dalam teks sastra. Metode ini bertujuan untuk menjelaskan hubungan sosial sastra pada momen tertentu ketika karya sastra tersebut diproduksi. Kedua, a literary sociology, yaitu penelitian yang dimulai dari teks sastra, yang selanjutnya dihubungkan dengan fenomena sosial masyarakat. Oleh sebab itu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode a sociology of literature, yang memulai penelitiannya pada fakta sosial pada saat karya itu tercipta., yang kemudian menghubungkannya dengan fenomena sastra hasil imajinasi atau pembiasan oleh penulis. Pada saat cerita detektif yang ditulis oleh Sara Paretsky dan Sue Grafton tercipta mulai tahun
63
1982-an, saat itu situasi dan kondisi sosial perempuan Amerika telah memasuki era posfeminisme. Sara Paretsky dan Sue Grafton merefleksikan iklim tersebut ke dalam cerita detektif hard-boiled, suatu genre yang merefleksikan dunia yang keras yang semula didominasi oleh laki-laki. Oleh sebab itu
peneliti yang
menggunakan metode sosiologi sastra harus menghubungkan situasi karakter hasil imajinasi penulis dengan iklim yang berada di luar karya, sebagaimana Swingewood (1972: 14) mengungkapkan bahwa: It is the task of the sociologist of literature to relate the experience of the writer’s imaginary characters and situations to the historical climate from which they derive. [Tugas ahli sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh dan situasi-situasi ciptaan imajinasi pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asalusulnya]. Dengan demikian, pemahaman sastra menjadi lengkap, apabila dapat menghubungkan faktor sosial diluar sastra dan unsur dalam karya sastra. Dalam hal ini, hal-hal yang bersifat ekstrinsik dapat membantu mengunkapkan fenomena dalam karya sastra. Dengan metode ini, peneliti harus mempunyai pengetahuan tentang perubahan sosial-budaya perempuan Amerika di era posfeminisme untuk mengetahui apakah perilaku perempuan pada era tersebut terbentuk kembali dalam cerita detektif hard-boiled. Sehubungan dengan ini Swingewood menekankan bahwa: Since the literary document has to be analyzed in terms of the world it supposedly represent, then only a person who has knowledge of the structure of a society from other sources than purely literary ones is able to find out if, and how far, certain social types and their behavior are reproduced in a novel in an adequate or inadequate manner (1972: 14)
64
[Karena sebagai dokumen, karya sastra harus dianalisis dalam bentuk representasi, maka hanya orang yang memiliki pengetahuan tentang struktur masyarakat dari sumber lain diluar karya sastra yang mampu mengetahui apakah, dan seberapa jauh tipe dan perilaku yang direproduksi dalam novel secara memadai atau tidak memadai] Perspektif ini memperlihatkan bahwa karya sastra ditempatkan sebagai dokumen sosial yang mampu merekam ciri-ciri zamannya. Dengan demikian, hanya seseorang
yang mempunyai pengetahuan tentang struktur suatu
masyarakat dari sumber lain di luar karya sastra yang dapat menyelidiki sejauh mana tipe sosial tertentu dan
perilakunya direproduksi dalam karya sastra.
Dengan demikian, ketika cerita detektif diposisikan sebagai dokumen dalam kaitannya dengan dunia perempuan di era posfeminisme, peneliti hanya bisa melakukannya apabila kondisi sosial perempuan yang melahirkan karya tersebut dipahami. Perspektif yang menekankan karya sastra sebagai cerminan masyarakat, Swingwood (1972: 15) mengungkapkan bahwa: The conception of the mirror, then must be treated with great care in the sociological analysis of literature. Above all else, of course, it ignores the writer himself, his awareness and intention. Great writer do not set out simply to depict the social world in largely descriptive terms; it might be suggested that the writer by definition has a more critical task, of setting his characters in motion within artificially contrived situations to seek their own private ‘destiny’, to discover values and meaning in the social world. [Konsep cermin harus diperlakukan dengan hati-hati dalam menganalisis karya sastra secara sosiologis. Tentu saja, dalam analisisnya mengabaikan penulis itu sendiri, kesadarannya dan niatnya. Penulis besar tidak perlu menyampaikan gambaran dunia sosial yang uraiannya luas; yang disarankan bahwa penulis harus lebih kritik pada aksi karakter dalam situasi yang artifisial (tiruan) untuk mencari jati diri dari karakter itu sendirii, untuk menemukan nilai-nilai dan makna dalam dunia sosial]
65
Pandangan Swingewood tentang karya sastra sebagai cerminan zaman ini merupakan peringatan kepada peneliti untuk berhati-hati
dalam melakukan
analisis sosiologis terhadap karya sastra. Hal ini mengingat bahwa keadaan sosial pengarang seperti strata sosial, kecendrungan, maksud dan idelologi pengarang bisa muncul dalam produksi karya sastra. Akan tetapi dalam perspektif ini, pengarang sebagai agen yang menghasilkan karya sastra, kesadaran dan maksud pengarang diabaikan. Perspektif ini sama dengan konsep kepengarangan yang dikemukakan oleh Roland Barthes yang mengatakan bahwa the birth of the reader must be at the cost of the death of the Author (Wolff, 1981: 117). Demikian pula Janet Wolff mengingatkan bahwa untuk menganalisa karya seni dan karya sastra, pengarang sebagai subyek kreatif dimarginalkan (1981: 117). Dalam penelitian ini meskipun disebutkan pengarang perempuan, objek formalnya tidak menitikberatkan pada pengarang perempuan, tetapi pada citra perempuan yang diproduksi pengarang. Pengarang perempuan disebutkan dalam penelitian ini hanya untuk menjelaskan bahwa produksi cerita detektif Amerika, ada yang dikarang oleh laki-laki
dan
ada yang dikarang oleh perempuan.
Dengan demikian, penelitian ini tidak menekankan perhatian pada situasi sosial pengarang perempuan sebagai produksi cerita detektif. Oleh sebab itu tugas para peneliti dalam menggunakan konsep cermin tidak hanya untuk menemukan bukti sejarah dan sosial yang terefleksi dan yang terbias
(refract)
dalam
karya
sastra,
akan
tetapi,
peneliti
bertugas
mengartikulasikan hakikat nilai-nilai yang termuat dalam karya sastra yang oleh Raymond William menyebutnya dengan ‘the structure of feeling’ (Swingewood:
66
1972: 16). Pandangan ini menandai bahwa penelitian yang menggunakan konsep dalam sosiologi sastra mengungkapkan makna dan nilai-nilai yang diekspresikan dan yang dibiaskan dengan berbagai pikiran dan perasaan pengarang. Menurut Swingewood (1972:15) bahwa: Literature clearly reflects norms, attitudes to sex by the working class and middle class, for example; it reflects, too, values in the sense of the writer’s own intention, and it might be suggested that it is on the level of values where literature is seen to reinforce and illuminate purely sociological material. [Sastra jelas mencerminkan norma-norma, sikap masyarakat kelas pekerja dan kelas menengah; karya sastra mencerminkan juga nilai-nilai yang ada dalam niat penulis itu sendiri, dan disarankan bahwa pada tahap nilai, karya sastra dipandang memperkuat dan menjelaskan materi secara sosiologi] Karya sastra selalu mencerminkan norma dan sikap sosial. Oleh sebab itu dapat
dipahami
bahwa
kajian
sosiologi
sastra
adalah
usaha
untuk
mengungkapkan, menjelaskan dan memberi makna nilai-nilai yang termuat dalam karya sastra dalam hubungannya dengan kondisi sosial
yang
melingkupinya. Pandangan Swingewood memperhatikan hubungan dialektik antara karya sastra dengan realitas sosial. Menurunya bahwa: Literature is not only the effect of social causes but also the cause of social effect [Karya sastra tidak hanya memberi dampak pada masyarakat tetapi juga menerima dampak dari masyarakat]. Dengan demikian, cerita detektif merupakan cerminan kehidupan masyarakat ketika diproduksi dan konstruksi citra perempuan tangguh dalam cerita detektif mempengaruhi masyarakat atau memberi inspirasi kepada
67
perempuan sebagai solusi alternatif perempuan memasuki dunia kerja yang biasanya dikerjakan laki-laki. 1.8 METODE PENELITIAN Cara yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah riset kepustakaan. Analisis data ditekankan pada sumber-sumber pustaka, baik dari data primer yaitu cerita-cerita detektif Amerika yang ditulis oleh perempuan sejak 1980 sampai dengan sekarang, maupun dari data sekunder yang meliputi buku-buku, artikel-artikel dan jurnal-jurnal serta data yang diambil dari internet. Metode ini dilakukan dengan langkah–langkah kerja sebagaimana di bawah ini. 1.8.1 Road Map Riset Objek penelitian ini adalah citra perempuan tangguh akhir abad ke-20 sampai awal abad ke-21 sebagai objek formalnya dan cerita-cerita detektif Amerika yang ditulis oleh perempuan sebagai objek materialnya. Objek formal diperoleh dari objek material. Isu–isu dan fenomena–fenomena budaya yang melahirkan citra perempuan tangguh dalam objek formal dipengaruhi oleh genre dan gender penulis dalam objek material. Representasi citra perempuan tangguh oleh
penulis perempuan dalam cerita detektif dianalisa dengan menggunakan
pendekatan dalam pengakajian Amerika, teori posfeminisme dan teori sosiologi sastra. Konsep-konsep dalam teori sosiologi sastra dan teori–teori lain yang terkait
menjadi
sumber
pengetahuan
peneliti
dalam
menafsirkan
dan
memproduksi makna teks dari cerita-cerita detektif. Oleh sebab itu, cara-cara penafsirannya disajikan dalam bentuk deskripsi dengan menggunakan metode
68
kualitatif. Menurut Denzin, studi yang menggunakan metode kualitatif adalah studi kasus, pengalaman pribadi, introspeksi, cerita kehidupan, wawancara, artefak, teks-teks dan produksi-produksi budaya, teks-teks observasi, historis, interaksi, dan visual (2000 : 3). Ciri-ciri metode kualitatif adalah menekankan pada kualitas, proses dan makna yang tidak memerlukan pengukuran dan pengujian (Denzin, 2000 : 8). Berikut ini Road Map riset :
Objek Penelitian
Objek Formal
Objek Material
Citra Perempuan Tangguh dalam karya Sara Paretsky dan Sue Grafton
Pendekatan Pengkajian Amerika
Teori PosFeminisme
Cerita- cerita Detektif
Teori Sosiologi Sastra
Genre
Gender
Hardboiled
Penulis Perempuan
Penelitian Kualitatif Representasi Citra Perempuan Tangguh
1.8.2 Metode pengumpulan data Data terdiri dari data primer, yaitu cerita detektif
dan data sekunder,
yaitu buku-buku penunjang dan referensi lainnya.. Pengumpulan data primer diawali dari membaca data sekunder berupa buku–buku
tentang penulis
69
perempuan Amerika, penulis fiksi kriminal dan misteri Amerika serta kritikan– kritikan tentang cerita-cerita detektif baik ditulis oleh perempuan maupun lakilaki. Dari data sekunder ini peneliti menemukan cerita-cerita detektif Amerika yang ditulis oleh perempuan beserta karya–karyanya. Peneliti menentukan tahun terbitan, yakni cerita–cerita detektif yang ditulis tahun 1980 sampai dengan sekarang. Mandy Hicken dan Ray Prytherch menjelaskan bahwa penulis detektif perempuan Amerika yang kontemporer adalah Amanda Cross, Sue Grafton, Marcia Muller dan Sara Paretsky (Hicken, 1994 :403 – 413). Selain penulis cerita-cerita detektif
perempuan Amerika yang tersebut ini, masih banyak
penulis detektif perempuan yang tidak terkenal diambil sebagai populasi dan pemilihan sampel dilakukan berdasarkan atas pertimbangan peneliti atau purposive sampling. Menurut Nasution sampel yang purposif adalah sampel yang dipilih dengan cermat hingga relevan dengan desain penelitian dan menurut ciriciri spesifik, yaitu yang didasarkan pada pertimbangan peneliti (2007 : 98). Tahun terbitan cerita detektif akhir abad ke-20 sampai dengan sekarang diambil sebagai sampel penelitian ini. Batasan tahun tersebut
dipilih peneliti karena
peneliti ingin mengungkapkan perkembangan citra perempuan tangguh Amerika pada era posfeminisme, yaitu dari tahun 1980-an sampai sekarang yang diekspresikan dalam cerita-cerita detektif. Setelah melihat daftar karya–karya mereka dan tahun terbitnya, penulis Amerika Amanda Cross tidak termasuk dalam kriteria tahun yang ditentukan dalam penelitian ini. Akhir abad ke-20 penulis tersebut tidak memproduksi cerita–cerita detektif lagi. Penulis Amerika
70
Marcia Muller juga tidak dimasukkan sebagai sampel, karena tokoh detektifnya berganti-ganti dan sering diperankan oleh laki-laki. Sementara peneliti menggunakan kriteria penulis yang karya–karya mereka merupakan karya serial (tokoh serial) cerita detektif yang hard-boiled dan termasuk pada penulis yang terbaik dan sangat populer, sebagaimana Cawelti mengatakan at the present time, two of the best and most popular hard – boiled writer, Sara Paretsky and Sue Grafton , are women, and they have imported feminist values into the tough-guy genre (2004: 279). Kedua penulis, Sara Paretsky dan Sue Grafton juga tercatat dalam A to Z of American Women Writer sebagai penulis fiksi detektif hardboiled yang tokoh detektifnya sebagai private eyes (Kort, 2007 : xiv). Hanya Sara Paretsky dan Sue Grafton yang memiliki karakteristik yang sama, yaitu tokoh detektif mereka dari awal penerbitan sampai dengan sekarang adalah perempuan, yaitu Victoria Iphigenia Warshawski untuk penulis Sara Paretsky dan tokoh detektif Kinsey Millhone untuk Sue Grafton. Dalam penelitian ini, penulis Sara Paretsky dan Sue Grafton dipilih sebagai sampel dengan kriteria penulis yang termasuk sebagai penulis cerita detektif yang hard-boiled dengan tokoh detektif berperan sebagai private eye (detektif swasta). Selain itu, kedua penulis ini masih aktif sampai dengan sekarang. Adapun cerita-cerita detektif yang ditulis oleh mereka yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Cerita detektif karya Sara Paretsky antara lain, Indemnity Only (1982), Deadlock (1984), KilingOrders (1986), Bitter Medicine (1987), Blood Shot (1988), Burn Marks (1990), Guardian Angel (1992), Tunnel Vision (1994), Ghost Country (1998), Hard Time (1999), Windy City Blues
71
(1991), Total Recall (2001), Blacklist (2003), Fire Sale (2005), Bleeding Kansas (2008), Hard Ball (2009), Body Work (2010). Cerita Detektif yang ditulis oleh Sue Grafton antara lain, A is for Alibi (1985), B is for Burglar (1986), C is for Corpse (1987), D is for Deadbeat (1987), E is for Evidence (1988), F is for Fugitive (1989), G is for Gumshoe (1990), H is for Homicide (1991), I is for Innocent (1992), J. is for Judgment (1993), K is for Killer (1994), L is for Lawless (1995), M is for Malice (1996), N is for Noose (1998), O is for Outlaw (1999), P is for Peril (2001), Q is for Quarry (2002), R is for Ricochet (2004), S is for Silence (2005), T is for Trespass (2007), U is for Undertow (2009) Dalam penelitian ini, hanya ada beberapa karya, seperti Ghost Coutry, Windy City Blues, F is for Fugitive dan Q is for Quarry tidak dan diambil sebagai sumber data, karena citra perempuan sudah dapat terwakili oleh ceritacerita yang lain. 1.8.3 Metode Analisis Data Melihat objek penelitian ini adalah mengungkapkan citra perempuan tangguh dalam cerita-cerita detektif Amerika, berarti peneliti
berusaha
menemukan pesan dan memberi makna berdasarkan penafsiran peneliti. Ini pula yang ditekankan oleh Chris Barker bahwa interpretasi teks tergantung pada tampungan dan budaya pembaca dan pengetahuan mereka tentang kode-kode sosial, yang kesemuanya itu terdistribusi secara berbeda di berbagai kelas, gender, kebangsaan, dan lain-lain (2001: 71). Oleh sebab itu cara–cara penafsiran dalam penelitian ini disajikannya dalam bentuk deskripsi.Untuk menambah
72
intensitas pemahaman dan menghasilkan pluralitas makna terhadap objek penelitian, dengan metode ini akan melibatkan berbagai pendekatan dan konsep yang relevan dari berbagai disiplin. Oleh sebab itu, pendekatan interdisiplener digunakan untuk memahami pluralitas makna dalam penelitian ini. Pemberian makna tidak terlepas dari isu–isu dan fenomena–fenomena dan elemen–elemen dalam sastra, relevansi dengan dunia nyata yaitu, pandangan dunia perempuan Amerika yang diwakili oleh
penulis detektif perempuan. Elemen–elemen
dalam data primer dikaitkan dengan pendekatan interdisipliner yang juga sebagai salah satu pendekatan dalam American Studies dan Teori Sastra. Pendekatan tersebut cocok digunakan untuk memahami objek penelitian secara lebih luas. Aspek sosial memberikan penjelasan citra perempuan tangguh yang berhubungan dengan masyarakat. Di dalam cerita detektif,
perempuan
dihubungkan dengan masalah-masalah sosial, seperti pembunuhan, korupsi, dan tindakan asusila yang menyebabkan orang tidak aman. Disisi lain, seorang perempuan menghadapi konflik sosial antara dirinya dengan pelaku kriminal. Aspek sosial lainnya dapat ditinjau melalui latar (setting) cerita-cerita detektif. Lingkungan kota yang merupakan latar cerita detektif yang hard-boild menunjukkan lingkungan penduduk yang padat, ramai dan kehidupan yang keras. Situasi ini memberi potensi munculnya banyak tindakan kriminal yang bervariasi. Variasi kriminal dapat berasal dari masyarakat kelas atas, menengah dan bawah. Biasanya masyarakat kelas atas dan menengah melakukan tindakan kriminal berupa korupsi dan penyeludupan. Sedangkan masyarakat kelas bawah berupa pembakaran dan pencurian. Masalah-masalah sosial yang dihadapi
73
seorang detektif perempuan seperti ini tidak dapat dipisahkan dengan sifat-sifat, sikap-sikap dan tindakan-tindakan dan ideologi detektif perempuan yang dapat mencerminkan citranya. Aspek budaya dikaitkan dengan representasi kebebasan dan kemandiran perempuan. Cara dan gaya hidup dan pilihan pekerjaan merupakan pilihan yang bebas bagi perempuan, tidak tergantung pada keputusan orang lain.
Dalam
pelaksanaan penyelidikan detektif bekerja sendiri, dengan konsep–konsep yang dibuat sendiri.
Aspek psikologi yang berhubungan dengan citra perempuan
tangguh dalam cerita detektif berupa motivasi perempuan untuk melakukan penyelidikan kriminal dan sikap terhadap pelaku kriminal. Citra perempuan tangguh yang dikaitkan dengan aspek politik dalam cerita detektif dapat berupa strategi dan taktik perempuan dalam menemukan pelaku kriminal dan berbagai protes sosial yang menghambat dalam pekerjaannya. Disisi lain, fokus analisis data ini memperhatikan penulis cerita detektif adalah perempuan. Jika selama ini penulis cerita detektif adalah laki-laki, dalam penelitian ini, perempuan sebagai penulis cerita detektif merupakan bahan pembahasan. Konsep-konsep yang dikemukakan oleh feminis Prancis, Luce Irigaray, Julia Kristeva dan Helene Cixous tentang pola pikir, pengalaman, ideide dan harapan-harapan yang berasal dari penulis perempuan sebagai anggota grup sosial perempuan diterapkan dalam penelitian ini. Konsep-konsep yang tidak lagi memperjuangkan kesetaraan dan lebih memperhatikan pada perbedaan, yaitu pada feminitas menjadi karakteristik prinsip-prinsip feminis Prancis dan memberi pengaruh besar kepada perempuan di era posfeminisme.
74
Fokus analisis yang memberikan perhatian pada penulis cerita detektif perempuan menunjukkan suatu pembahasan tentang tulisan yang diproduksi oleh perempuan yang oleh Helene Cixous istilahkan dengan ecriture feminine (tulisan perempuan). Andrew Pepper mengungkapkan bahwa novel kriminal jenis hard-boiled yang ditulis oleh perempuan menunjukkan perubahan menurut citra yang diproduksi oleh penulis perempuan itu sendiri (2000 : 53). Dengan demikian, proses analisis data dalam penelitian ini memperhatikan citra perempuan
yang
diciptakan
sendiri
oleh
penulis
perempuan
dengan
memperhatikan unsur-unsur feminim seperti gaya dan cara hidup perempuan yang feminim, atribut dan pakaian yang feminim sebagaimana tercermin dalam cerita detektif hard-boiled. Analisis dalam penelitian ini tidak hanya berkisar pada cerita detektif sebagai fakta kemanusian, penulisnya perempuan dan disiplin-disiplin ilmu yang memproduksi pluralitas makna cerita detektif, akan tetapi analisis akan lebih lengkap ketika dikaitkan dengan kesadaran baru
perempuan, fenomena-
fenomena sosial, budaya dan politik yang terjadi di masyarakat Amerika, khususnya kehidupan sosial perempuan pada era posfeminisme yang tercermin di dalam cerita detektif.
Untuk analisis seperti ini,
konsep-konsep yang
dikemukakan oleh Alan Swingewood dalam teori sosiologi sastra diaplikasikan untuk menegaskan bahwa cerita detektif yang ditulis oleh perempuan merupakan refleksi dari suatu kondisi sosial perempuan dalam masa tertentu. 1.9 Sistematika Penyajian
75
Laporan penelitian ini disajikan dalam enam bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang memberi gambaran keseluruhan mengenai penelitian yang dilakukan. Pada bab ini diuraikan latar latar belakang pemilihan objek penelitian yang mengemukakan alasan penelitian ini perlu dilaksanakan dan ketertarikan melakukan penelitian. Penelitian ini hanya dapat dilakukan jika terdapat masalah yang perlu dipecahkan. Masalah ini ditemui dalam cerita detektif hard-boiled yang ditulis oleh perempuan. Dalam penelitian tidak terlepas dari masalah. Rumusan masalah ini dijabarkan setelah latar belakang pemilihan objek penelitian. Setelah rumusan masalah, manfaat peneltian dijabarkan. Manfaat penelitian ini diarahkan pada
pengembangan ilmu (secara teoretis) dan
penerapan dalam kehidupan sehari-hari (secara praktis). Peneltian ini perlu ada batasan, baik periodenya, banyaknya penulis, jumlah karyanya maupun inti permasalahan yang menjelaskan populasi dan sampel. Hal ini dijabarkan pada ruang lingkup studi, yang posisinya dalam penelitian ini setelah manfaat penelitian. Agar arah penelitian ini dapat mencapai sasaran yang diharapkan, tujuan penelitian diformulasikan setelah manfaat penelitian. Tinjauan pustaka yang mencakup tulisan-tulisan dan penelitian-penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan topik penelitian disertakan dalam bab pertama ini untuk menegaskan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian dan tulisan-tulisan yang sudah disebutkan. Untuk memberikan landasan yang kuat dan mengarahkan kegiatan penelitian, perlu menggunakan kerangka pemikiran teoretis. Pemilihan teori disesuaikan dengan masalah penelitian dan tujuan penelitian. Dalam melaksanakan kegiatan penelitian perlu pula diatur metode
76
yang memadai agar memberikan citra keilmiahan penelitian. Dalam penelitian ilmiah perlu juga disajikan sistimatika keseluruhan bab-bab, sehingga lebih jelas latar belakang penelitian ini dilakukan, sebagaimana dicantumkan pada bagian akhir bab pertama ini. Pada bab kedua ini diuraikan topik umum atau struktur umum yang sudah menjadi tradisi atau kesepakatan-kesepakatan dalam penciptaan cerita detektif yang hard-boiled. Topik umum dalam cerita detektif adalah penyelidikan dari suatu kasus kriminal dan struktur umum adalah tokoh detektif yang yang berperan memberikan solusi atas penyelidikan. Ketika cerita detektif ini diproduksi, tidak terlepas dari kondisi dan situasi sosial budaya masyarakat di Amerika. Jauh sebelum perempuan menulis cerita detektif hard-boiled, jenis cerita ini sudah ada. Jenis cerita ini dikenal dengan genre maskulin karena lakilaki yang mendominasi penulisan cerita detektif ini sampai sekarang. Sehingga terbentuklah naratif cerita yang memiliki karakteristik maskulin dan menjadi tradisi penulisan cerita detektif. Oleh sebab itu dalam bab ini diungkapkan latar belakang sejarah penulis dan cerita detektif Amerika hingga munculnya perempuan ikut serta menjadi penulis cerita detektif. Ketika munculnya kesadaran baru perempuan pada era posfeminisme, penulis perempuan menciptakan cerita detektif hard-boiled sesuai pola pikir perempuan pada era tersebut. Pada era posfeminis ini penulis cerita detektif perempuan melakukan perubahan tradisi genre. Semua hal ini diungkapkan pada bab 2 dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang sejarah dan tradisi yang membentuk
77
cerita detektif dan kondisi sosial budaya perempuan yang melatarbelakangi reprensentasi citra perempuan dalam cerita detektif oleh penulis perempuan. Salah satu tradisi yang umum dan tidak bisa terlepas dari penciptaan cerita detektif hard-boiled
adalah Tough Guy atau laki-laki tangguh karena
sesuai dengan isu-isu tentang pertualangan, kekerasan, kekuatan dan keberanian yang sudah lama melekat pada figur laki-laki. Ketika penulis perempuan menciptakan cerita detektif hard-boiled, citra ketangguhan tetap melekat pada tokoh detektif meskipun diperankan oleh perempuan. Fenomena perempuan tangguh dalam realitas masyarakat Amerika sudah banyak ditemui. Bagaimana konstruksi perempuan tangguh dalam cerita detektif hard-boiled yang ditulis oleh perempuan itu digambarkan dengan suatu konstruksi yang tidak terlepas dari cara pandang posfeminis? Uraian ini diungkapkan dalam Bab 3. Potensi untuk menjadi perempuan tangguh yang dikonstruksi penulis perempuan dalam cerita detektif tidak dibentuk sebagaimana ukuran atau standar laki-laki, tetapi tangguh berdasarkan ukuran yang dapat ditoleransi untuk perempuan. Semua potensi yang digambarkan penulis ini dimaksudkan untuk mencapai kesuksesan perempuan dalam profesinya sebagai detektif. Fenomena kehidupan sosial perempuan pada era posfeminisme menghasilkan suatu konstruksi perempuan tangguh yang fenomena kehidupan sosial
perempuan pada
identik dengan
akhir abad ke-19 yang
menamakan diri mereka dengan The New Woman. Uraian tentang citra New Woman dijabarkan pada bab 4. Pada bab 4 ini juga diungkapkan fenomena munculnya The New Woman pertama kali dalam realitas grup sosial perempuan
78
dan fenomena pada karya sastra yang pernah mengangkat ide-ide New Woman. Citra ketangguhan perempuan yang dihasilkan dari fenomena New Woman yang diciptakan penulis perempuan dalam cerita detektif ini merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap peran gender dan seksual yang tradisional
perempuan
untuk meraih sukses dalam wilayah pekerjaan yang didominasi laki-laki. Cara perempuan untuk menjadi tangguh
tidak hanya menentang peran
gender dan seksual yang tradisional, tetapi juga perempuan menggunakan strategi agar bisa melewati rintangan-rintangan yang mengahalangi perempuan menjadi tangguh. Pada bab 5 ini dijabarkan aspek-aspek sosial budaya yang menyebabkan ketidakadilan sosial yang membatasi dan menghalangi cita-cita perempuan menjadi tangguh. Setelah gambaran perempuan tangguh diungkapkan dalam cerita detektif oleh perempuan diuraikan
dari bab 2 sampai dengan bab 5, selanjutnya
dilakukan penyimpulan yang hasilnya dikemukakan pada bab 6.