BAB II Landasan Teori
A.
Ketentuan Umum Pembiayaan Mudharabah 1.
Pengertian Kenyataan menunjukan bahwa di antara manusia memiliki kelebihan
dana, tetapi tidak bisa mengunakannya untuk keperluan yang lebih produktif (usaha). Di sisi lain terdapat juga orang-orang yang memiliki keahlian dan ketrampilan dalam mengembangkan usaha tetapi mengalami masalah dengan keterbatasan modal. Hal inilah yang membuat perlunya kerja sama antara pihak yang memiliki kelebihan dana tetapi tidak memiliki ketrampilan atau keahlian dalam usaha, dengan mereka yang memiliki ketrampilan atau keahlian dalam berusaha tetapi keterbatasan modal. Sehingga pada akhirnya peningkatan taraf perekonomian dan kebutuhan hidup akan tercapai. Hal ini yang juga dilakukan Rasullulah SAW, ketika ia bertindak sebagai mudharib (pengelola investasi) untuk Siti Khadijah. Dikala itu Rasullulah SAW membawa barang dagangan milik Siti Khadijah ke Syam dan menjualnya disana. Selain itu, Khalifah Umar bin Khatab juga melakukan hal tersebut. Beliau menginvestasikan uang anak yatim kepada para saudagar yang berdagang di jalur perdagangan antara Madinah dan Irak. Kemitraan bisnis berdasarkan system bagi hasil sederhana semacam ini terus dipraktekan, yang kemudian menjadi landasan praktek mudharabah dimasa sekarang. 19
Hukum ini, juga dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya yang diriwayatkan dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya, bahwa ia menceritakan19 : Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Al-Kaththab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraq. Ketika kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni Gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata, “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk kalian, pasti akan aku lakukan”, kemudian beliau berkata : “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari harta Allah yang akan aku kirimkan kepada Amirul Mukminin. Aku memimjamkannya kepada kalian, untuk kalian belikan sesuatu di Iraq ini, kemudian kalian jual di kota AlMadinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil”. Mereka berkata, “Kami suka (dengan hal) itu”, maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khaththab, agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapat keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar, lantas Umar berkata : “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin, sehingga ia memberi kalian pinjaman? 19
Dalam kitab Al-Qiradh, Bab I, hal. 687 dan dibawakan juga oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu Fatawa (19/196)
20
Kembalikan uang itu beserta keuntungannya”. Adapaun Abdullah, hanya terdiam saja, sementara Ubaidillah langsung angkat bicara : “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian, wahai Amirul Mukminin. Kalau uang itu berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggung jawab,” (namun)
Umar
tetap
berkata,
“berikan
uang
itu
semuanya”.
Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara pegawai Umar berkata : “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi, wahai Umar?”. Umar menjawab, “Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi”. Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya. Dari referensi tersebut dapat dilihat bahwa Kaum Muslimin sudah terbiasa melakukan kerja sama semacam itu hingga jaman sekarang ini, di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun-temurun, dari zaman jahiliyah hingga zaman Nabi, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya. Sedangkan pada masa sekarang bentuk kerja sama semacam itu dituangkan melalui pembiayaan mudharabah yang diberikan oleh Bank Syariah, BMT, ataupun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) lainnya. Lebih lanjut menurut fatwa Dewan Syariah MUI,20 pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak 20
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh).
21
lain untuk suatu usaha yang produktif, dimana LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha.
Gambar 001 Dengan skema seperti gambar 001, maka baik shohibul mal (BMT) maupun mudharib (nasabah) akan sama-sama diuntungkan. Diantaranya, 1. Shohibul mal (BMT) akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha mudharib (nasabah) meningkat. 2. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/ arus kas usaha yang dibiayai sehingga tidak memberatkan mudharib (nasabah). 3. Shahibul mal (BMT) akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan.
22
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio,21 pembiayaan mudharabah dibagi menjadi dua jenis, yaitu pembiayaan mudharabah mutlaqah dan pembiayaan mudharabah muqayadah. Pada jenis pembiayaan mudharabah muthlaqah, pemilik dana (shohibul mal) memberi otoritas dan hak penuh kepada mudharib untuk mengelola dana yang diberikan. Selanjutnya pada jenis pembiayaan mudharabah kedua, yaitu pembiayaan mudharabah muqayyadah. Pemilik dana (shohibulmal) memberi batasan-batasan kepada mudharib dalam mengelola dana yang telah diberikan. 2.
Tujuan dan Fungsi Pembiayaan Secara umum tujuan pembiayaan dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu: tujuan pembiayaan untuk tingkat makro dan tujuan pembiayaan untuk tingkat mikro. Secara makro, pembiayaan bertujuan untuk:22 1. Tersedianya dana untuk peningkatan usaha, artinya untuk pengembangaan usaha dibutuhkan dana tambahan. Dengan adanya pembiayaan ini maka akan dapat diperoleh dana untuk peningkatan usaha. 2. Meningkatkan produktifitas, artinya adanya pembiayaan akan mampu memberi peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan daya produksinya. 3. Membuka lapangan kerja baru, artinya: dengan dibukanya sektorsektor usaha melalui penambahan dana pembiayaan maka sektor usaha tersebut akan menyerap tenaga kerja.
21
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani, 2001) hlm. 137. 22 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta:UPP AMP YKPN, 2005), hlm. 300.
23
4. Terjadinya distribusi pendapatan, masyarakat usaha produktif akan mampu melakukan aktifitas kerja, mereka akan memperoleh pendapatan dari hasil usahanya.
Sehingga dengan begitu akan
terjadi distribusi pendapatan. Adapun secara mikro, pembiayaan diberikan dalam rangka untuk:23 1. Upaya memaksimalkan laba, yaitu dengan melalui peningkatan produksi dan pemasaran. 2. Upaya
meminimalkan
resiko,
malalui
pembiayaan
resiko
kekurangan modal akan dapat teratasi. 3. Menyalurkan kelebihan dana, melalui mekanisme pembiayaan akan dapat menjembatani anatara pihak yang kekurangan dana terhadp pihak yang kekurangan dana. Sedangkan fungsi dari pembiayaan yaitu: 1. Meningkatkan daya guna uang. 2. Meningkatkat daya guna barang. 3. Meningkatkan peredaran uang. 4. Menimbulkan kegairahan usaha. 3.
Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah Hukum mudharabah dan dasar hukumnya secara eksplisit dalam al-Qur‟an tidak dijelaskan langsung mengenai hukum mudharabah, meskipun ia menggunakan akar kata dl-r-b yang darinya kata mudharabah diambil sebanyak lima puluh delapan kali.24 Namun ayatayat Qur’an tersebut memiliki kaitan dengan mudharabah, meski
23 24
Ibid, hlm. 18. Abdullah Saeed, Op,Cit., hlm. 91.
24
diakui sebagai kaitan yang jauh, menunjukkan arti “perjalanan” atau “perjalanan untuk tujuan dagang”. Secara umum, landasan dasar syariah tentang kebolehan bentuk kerjasama mudharabah adalah firman Allah dalam Surah alMuzzammil ayat 20 dan Al-Baqarah ayat 198:25
Artinya : “....dan sebagian mereka berjalan di bumi mencari karunia Allah....”. (Al-muzammil : 20) Yang menjadi argumen dari surat al-Muzamil ayat 20 adalah kata yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yaitu melakukan suatu perjalanan usaha. يَل ْ يَّلَع َس ْ ت ْن َأ ٌحاَنُج ْمُك َب ْت َ ف اوُغ َض ْ بَر ْن ِم اًّل ِ مُك Artinya : “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perdagangan) dari Tuhanmu....”. (al-Baqarah : 198). Kedua ayat tersebut di atas, secara umum mengandung kebolehan akad mudharabah, yang secara bekerjasama mencari rezeki yang ditebarkan Allah SWT di muka bumi. Kemudian dalam Sabda Rasulullah SAW. dijumpai sebuah riwayat dalam kasus mudharabah yang dilakukan oleh Abbas Ibn al-Muthalib yang artinya : “Tuan kami Abbas Ibn Abd al-Muthalib jika menyerahkan hartanya (kepada seorang yang pakar dalam perdagangan) melalui 25
Muhammad, Op,Cit., hlm. 95.
25
akad mudharabah, dia mengemukakan syarat bahwa harta itu jangan diperdagangkan melalui lautan, juga jangan menempuh lembahlembah, dan tidak boleh dibelikan hewan ternak yang sakit tidak dapat bergerak atau berjalan. Jika (ketiga) hal itu dilakukan, maka pengelola modal dikenai ganti rugi. Kemudian syarat yang dikemukakan “Abbas Ibn Abd al-Muthalib ini sampai kepada Rasulullah SAW, dan Rasul membolehkannya”. (HR. Ath-Tabrani). Selain Al-Quran dan Hadist, fatwa tentang mudharabah juga tertuang dalam Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 07/DSNMUI/IV/2000 tenatang Pembiayaan Mudharabah Yang didalammnya disebutkan sebagai berikut. a. Ketentuan Pembiayaan: 1) Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh (Lembaga Keuangan Syariah) LKS 2) Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu epada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif. proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau pengelola usaha. 3) Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha). 4) Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah dan LKS tidak ikut
26
serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. 5) Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. 6) LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. 7) Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. 8) Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan,
dan mekanisme
pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. 9) Biaya operasional dibebankan kepada mudharib. 10) Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. b. Rukun dan Syarat Pembiayaan Mudharabah: 1) Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
27
2) Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut: 3) Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad). 4) Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak. 5) Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 6) Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: a) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya. b) Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad. c) Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad. 7) Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: a) Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
28
b) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c) Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 8) Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut: a) Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan. b) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan. c) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. c. Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan 1) Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
29
2) Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi. 3) Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 4) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan
di
antara
kedua
belah
pihak,
maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. B.
Pengelolaan Pembiayaan Mudharabah Bermasalah Penanganan pembiayaan bermasalah merupakan bagian yang tidak dapat dihindari dalam proses pembiayaan didalam suatu institusi Lembaga Keuangan
Syariah
seperti
BMT,
maka
pengelolaan
pembiayaan
merupakan suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan. Oleh karena itu, apabila begitu dideteksi ada gejala kredit/pembiayaan bermasalah, maka harus segera diambil langkah penanganan sebelum masalah tersebut akan menjadi masalah besar. Dari hasil survey yang dilakukan pada bank syariah di Yogyakarta ditemukan, bahwa dalam proses pengelolaan pembiayaan bermasalah dilakukan sesuai dengan kolektabilitas pembiayaan, sebagai berikut: 26 1. Pembiayaan lancar, dilakukan dengan cara:
26
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2005), hlm. 168.
30
a. Pemantauan usaha nasabah. b. Pembinaan anggota dengan pelatihan-pelatihan. 2. Pembiayaan potensial bermasalah, dilakukan dengan cara: a. .Pembinaan anggota. b. Pemberitauan dengan surat teguran. c. Kunjungan lapangan atau silaturrahmi oleh BMT kepada nasabah. d. Upaya
preventif
penjadwalan
dengan
kembali
penanganan
jangka
waktu
rescheduling,yaitu angsuaran
serta
memperkecil jumlah angsuran. Juga dapat dilakukan dengan reconditioning, yaitu memperkecil keuntungan atau bagi hasil 3. Pembiayaan kurang lancar, dilakukan dengan cara: a. Membuat surat teguran atau peringatan. b. Kunjungan lapangan atau silaturrahmi oleh pemilik dana kepada nasabah secara lebih bersungguh-sungguh. c. Upaya penyehatan dengan cara rescheduling, yaitu penjadwalan kembali jangka waktu angsuran serta memperkecil jumlah angsuran. Juga dapat dilakukan dengan reconditioning, yaitu memperkecil margin keuntungan atau bagi hasil. 4. Pembiayaan diragukan/macet, dilakukan dengan cara: a. Dilakukan rescheduling, yaitu penjadwalan kembali jangka waktu angsuran serta memperkecil jumlah angsuran. b. Dilakukan reconditioning, yaitu memperkecil margin atau bagi hasil usaha. 31
c. Dilakukan pengalihan atau pembiayaan ulang dalam bentuk pembiayaan al-Qardhul Hasan. Selain itu juga dijelaskan pengelolaan Pembiayaan Bermasalah, dengan 3R27: d. Penjadwalan kembali (rescheduling). Pengelolaan yang dilakukan dengan memperpanjang jangka waktu jatuh
tempo pembiayaan,
tanpa
mengubah
sisa
kewajiban
nasabah yang harus dibayarka. e. Persyaratan kembali (reconditioning). Pengelolaan yang
dilakukan
dengan
syarat–syarat pembiayaan antara lain
menetapkan
kembali
nisbah bagi hasil,
jumlah angsuran, jangka waktu, jadwal pembayaran, pemberian potongan
pokok atau lainnya tanpa menambah sisa kewajiban
nasabah yang harus dibayarka. f. Penataan kembali (restructuring) dengan penambahan dana. Pengelolaan yang dilakukan dengan penambahan kepada nasabah agar kegiatan usaha nasabah dapat kembali berjalan dengan baik.
27
Iswi Hariyani, Restrukturisasi dan Penghapusan Kredit Macet, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2012), Hal. 234
32