FARMAKOTERAPI BERBASIS BUKTI: ANTARA TEORI DAN KENYATAAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 7 Januari 2008 di Yogyakarta
Oleh: Prof. dr. Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD
3 Bismillaahirrohmaanirrohiim Assalaamu’alaikum warrahmatullaahi wabarakaatuh Yang saya hormati, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, Rektor, Wakil Rektor Senior, dan para Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada, Dekan dan para Wakil Dekan di lingkungan Universitas Gadjah Mada, Segenap Sivitas Akademika Universitas Gadjah Mada Para Tamu Undangan, Teman Sejawat, para Dosen, Mahasiswa, dan sanak keluarga yang saya cintai. Pertama-tama perkenankanlah saya menyampaikan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah senantiasa melimpahkan rahmat, nikmat, dan karuniaNya sehingga pada hari ini kita semua dapat berkumpul dalam keadaan sehat wal afiat untuk mengikuti Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada. Selanjutnya saya ingin menghaturkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Ketua dan Sekretaris Majelis Guru Besar yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam Ilmu Farmakologi, di Balai Senat Universitas Gadjah Mada. Adapun pidato pengukuhan saya berjudul: Farmakoterapi berbasis bukti: Antara teori dan kenyataan Judul ini sengaja saya pilih setelah cukup lama saya berkontemplasi, merefleksi setiap langkah perjalanan hidup saya dalam memahami ilmu, menelaah, mengaplikasikan, bahkan mendiseminasikannya kepada para mahasiswa, teman sejawat, dan berbagai kalangan. Ini juga menjadi bagian panjang dari perjalanan saya menyerap ilmu farmakoepidemiologi, yang ternyata tidak pernah berujung, menembus batas waktu, jarak, dan ruang
4 yang tak berdinding. Dimensi ilmu yang demikian luas dan tak bertepi membuat saya merasa semakin jauh dari sempurna. Pengetahuan yang bisa saya serap ternyata hampir tidak berarti dibandingkan dengan kekayaan ilmu yang ada di alam semesta ini. Saya menyadari, bahwa semakin banyak saya memperoleh ilmu, semakin kelihatan kecil dan terbatas kemampuan saya. Allah maha besar dengan segala karuniaNya. Sejarah pengembangan obat di dunia Hadirin yang saya muliakan, Sejarah panjang pengembangan obat sebenarnya telah dimulai sejak manusia ada di muka bumi ini, yang semuanya berbasis pada pemanfaatan bahan alam. Pada pertengahan abad 20, konsep ilmiah tentang pengembangan obat berubah sedemikian pesat, dan antara lain dipicu oleh tragedi thalidomide, yang dapat dikatakan menjadi salah satu tonggak penting pengembangan obat di dunia. Thalidomide merupakan suatu obat sedatif hipnotik yang dikembangkan di Jerman Barat sekitar tahun 1954 untuk mengatasi insomnia (D’Amato et al., 1994). Namun dalam perjalanannya obat ini banyak disalahresepkan pada ibu hamil untuk mengatasi gejala mual dan muntah. Karena popularitasnya, dalam waktu 3 tahun setelah dipasarkan, obat tersebut telah dikonsumsi secara besar-besaran di 46 negara di dunia (Matthews & McCoy, 2003). Belum genap 6 tahun menguasai pasar obat dunia, kisah tragis dan pilu muncul bersamaan. Bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang pada saat hamil mengkonsumsi thalidomide ditemukan cacat, baik dalam bentuk amelia (tidak memiliki tangan dan kaki), fokomelia (lengan dan kaki tidak lengkap), bibir sumbing (labioschisis), tanpa langit-langit (palatoschisis), tanpa mata (anophthalmus), tanpa telinga (anotia), tanpa tempurung kepala (anencephali), hingga abnormalitas berbagai organ tubuh (Matthews & McCoy, 2003). Pada pertengahan tahun 1962 thalidomide dinyatakan ditarik dari peredaran di seluruh dunia. Yang paling tragis, untuk menghentikan tragedi obat ini diperlukan waktu yang amat panjang, yaitu 8 tahun, dengan korban lebih dari 10.000 bayi cacat di seluruh dunia (Clark et al., 2001).
5 Dalam sejarah pengembangan obat, abad 18 disebut sebagai abad botanikal (Somberg, 1996). Sejarah Mesir kuno dan Yunani membukukan adanya farmakope, yang mencakup kompendium dan dosis obat bahan alam (Bogner, 1996). Hingga awal abad 19, semua obat bersifat toksik, karena dapat menyembuhkan atau sekaligus menyebabkan kematian. Ilmu tentang pengobatan selalu dikaitkan dengan “empirisme” dan “mantra”. Cara pembuatan obat bersifat sangat primitif sehingga perbedaan antara obat dan racun menjadi sangat tipis. Deklarasi Paracelcus pun menjadi tepat, bahwa yang membedakan antara obat untuk pengobatan dengan racun adalah dosisnya (Weatherall, 1990). Sejumlah nama terukir dalam sejarah pengembangan obat. Ignaz Semmel Weis memperkenalkan teori antiseptik (yaitu menolong persalinan tanpa terlebih dahulu mencuci tangan dengan antiseptik dapat menyebabkan infeksi pada ibu bersalin). Theodor Escherich yang menemukan bakterium coli, serta Emile Roux dan Alexandre Yersin yang berhasil mengisolasi bakteri penyebab difteri yang sangat mematikan, menjadi awal bagi penemuan obat dan terapetik. Nama lain yang perlu dicatat adalah Robert Koch, Joseph Lister, dan Louis Pasteur (Facklam & Facklam, 1992). Hingga paruh kedua abad 19 di antara berbagai obat yang ada di pasaran, beberapa ditemukan secara kebetulan sebagai sebuah keajaiban, antara lain quinin, digitalis, kokain, antipirin, dan aspirin. Era 1920 hingga 1940 ditandai dengan penemuan penisilin secara spektakular oleh Alexander Fleming. Sedangkan pada dekade 1950an pemahaman tentang teknologi dan instrumentasi baru, dikombinasikan dengan pengetahuan tentang fisiologi tubuh manusia serta pengaruh struktur DNA terhadap manusia, melahirkan konsep pengembangan obat berbasis bioteknologi. Dalam tahun 1960an yang merupakan “the pharmaceutical decade of the century” (Frey and Lesney, 2000), pengetahuan dan pemahaman tentang DNA sebagai materi genetik mulai banyak dibicarakan. Itu sebabnya ketika genderang perang terhadap penyakit kanker mulai ditabuh di era 1970an karena dianggap menjadi penyebab utama kematian manusia, penemuan obat baru mulai bergeser ke arah rekayasa genetika. Industri bioteknologi pun lahir di dekade ini.
6 Hadirin yang saya muliakan, Konsep biologi molekuler sangat kental mewarnai bangkitnya industri farmasi di berbagai belahan dunia pada dekade 1980an. Orientasi industri farmasi mulai bergeser dari “try and see empirical approach” ke arah konseptualisasi molekul secara lebih tepat. Era komersialisasi penemuan obat pun dimulai. Penemuan obat berbasis bioteknologi yang relatif mahal membuat cukup banyak industri farmasi terpaksa gulung tikar karena bangkrut akibat kegagalan inovasinya. Strategi aliansi pun dilakukan untuk meningkatkan nilai tawar. Berdalih efisiensi, di dekade 1990an beberapa industri farmasi kelas menengah dan atas dimerjer menjadi industri raksasa yang disegani. Peran obat sebagai komoditas komersial semakin tidak terhindarkan, dan ini berlangsung terus hingga saat ini. Di penghujung abad 20, di tengah persaingan global yang sangat ketat, mulai lahir berbagai industri farmasi raksasa berkelas “multibillion-dollar industry”. Pelajaran yang dapat dipetik adalah, bahwa ketika ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat terbatas, pengembangan obat umumnya masih didasarkan pada “takdir” dan “peluang”. Ketika ilmu pengetahuan semakin berkembang, pengembangan obat lebih mengarah pada target sel atau molekul dari masing-masing penyakit. Data empirik sebagai pembenaran: “Doing more harm than good” Hadirin yang saya muliakan, Seperti halnya Ilmu Kedokteran, ilmu tentang obat dan terapetik juga berkembang sangat pesat. Hipotesis dan teori yang berlaku di masa lalu secara cepat digantikan dengan teori baru yang lebih sempurna. Sebagai contoh, pemberian kompres dingin untuk menurunkan demam pada anak yang sudah dipraktekkan selama berpuluh-puluh tahun ternyata harus ditinggalkan. Demikian pula halnya dengan obat baru yang dapat saja segera ditarik dari peredaran karena terbukti memberikan efek samping yang berat. Kematian pada sekitar 100 orang di tahun 1937 akibat mengkonsumsi sulfanilamida dalam larutan diethylene glycol, menyebabkan obat ini segera ditarik dari peredaran. Kasus ini sempat menggemparkan masyarakat dunia
7 dan berhasil melahirkan Food, Drug, and Cosmetic Act di Amerika Serikat. Melalui undang-undang ini maka setiap pengembangan obat baru secara mutlak harus melalui uji toksisitas pra klinik pada hewan uji. Subacute myelo-optic neuropathy (SMON) yang mematikan akibat kliokinol, baru ditemukan sekitar tahun 1970an atau 40 tahun setelah obat tersebut diproduksi. Masih pada dekade 1970an, dunia juga digemparkan dengan banyak ditemukannya kejadian adenokarsinoma serviks dan vagina pada bayi perempuan yang lahir dari ibu yang menggunakan dietilstilbestrol selama masa kehamilannya. Sekali lagi, ini baru terdeteksi 20 tahun setelah obat tersebut dipasarkan dan merenggut ratusan nyawa tak berdosa. Hadirin yang saya muliakan, Salah satu kontribusi farmakoepidemiologi yang sangat bermakna adalah melacak keterkaitan antara paparan suatu obat dengan kejadian efek samping obat. Hal ini dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari risiko akibat obat. Ditemukannya sindroma okulomukokutaneus akibat praktolol pada tahun 1970an menjadi sinyal untuk menghentikan peredaran obat tersebut 5 tahun setelah dipasarkan. Di penghujung 1980 dilaporkan bahwa efek hepatotoksisitas yang mematikan ternyata berkaitan dengan penggunaan dua obat antiinflamasi non steroid (AINS) yaitu ticrynafen dan benoxaprofen. Selanjutnya zomepirac yang juga tergolong AINS diketahui menyebabkan reaksi anafilaktoid yang fatal. Penggunaan fenilbutazon, yang hingga kini masih beredar di Indonesia, juga tercatat menimbulkan diskrasia darah yang serius dan mematikan. Di awal 1980an perforasi usus yang masif pada penderita osteoartritis dilaporkan berkaitan dengan penggunaan sediaan lepas lambat indometasin. Masih berkaitan dengan AINS, acute flank pain syndrome disertai gagal ginjal akut terbukti berhubungan dengan penggunaan suprofen (Strom & Kimmel, 2007). Masih ada pula daftar panjang obat yang risiko efek sampingnya jauh lebih besar daripada manfaatnya. Bendectin, suatu obat kombinasi untuk mengatasi mual dan muntah pada wanita hamil ternyata bersifat teratogenik dan menimbulkan kecacatan pada bayi yang dikandung. Cacat pada bayi juga ditemukan jika selama kehamilan seorang ibu mengkonsumsi isotretinoin. Sementara itu berbagai studi kasus juga melaporkan kejadian hipertensi,
8 kejang, dan stroke pada ibu yang menkonsumsi bromokriptin pasca persalinan. Fluoxetine, salah satu obat unggulan di bidang psikiatri, ternyata memberi efek dorongan bunuh diri pada penggunanya. Dexfenfluramin, suatu antiobesitas, sempat menjawab kegalauan sebagian besar penduduk dunia yang mengalami masalah dengan pola makan yang tak tertahankan. Sayangnya, obat ini ternyata menyebabkan terjadinya lesi katup jantung (Conolly et al., 1997). Obat-obat tersebut di atas selanjutnya ditarik dari peredaran di berbagai belahan dunia, meskipun di beberapa negara lainnya tetap saja dipasarkan seperti layaknya tidak pernah terjadi apapun sebelumnya. Zelnorm (berisi tegaserod), diklaim sangat mujarab untuk mengatasi irritable bowel syndrome dan disetujui FDA pada bulan Juli 2002. Bahkan di tahun 2004 obat ini juga mendapat ijin untuk mengatasi konstipasi kronik. Hanya dalam tempo tidak lebih dari 3 tahun dilaporkan bahwa penggunaan tegaserod berkaitan dengan kelainan kardiovaskular yang serius. Delapan bulan yang lalu, tepatnya 30 Maret 2007, tegaserod dihentikan peredarannya oleh FDA, meskipun secara fantastik telah menembus pasar di 55 negara di dunia (US-FDA, 2007). Cisaprid, suatu obat gastrointestinal, terpaksa dihentikan peredarannya di seluruh Amerika Serikat (Smalley et al., 2000), Eropa (Ferriman, 2000), dan Canada (Anonymous, 2001) karena menyebabkan terjadinya aritmia jantung dan telah merenggut lebih dari 386 nyawa pengguna obat ini di seluruh dunia. Sayangnya, obat ini tetap boleh diresepkan di Indonesia untuk ketentuan khusus. Suatu bukti bahwa masih ada para dokter yang merasa kehilangan kepercayaan diri manakala suatu obat harus dihentikan peredarannya. Padahal mereka mengetahui bahwa risiko yang diakibatkan oleh cisaprid jauh melebihi manfaatnya. Perilaku semacam ini ternyata banyak ditemui di kalangan dokter, yang secara mudah meresepkan obat-obat baru tanpa terlebih dahulu memahami sifat obat secara rinci apalagi mempelajari hasil-hasil uji klinik yang menyertainya dari waktu ke waktu. Jangankan mengetahui farmakologi obat dan profil farmakokinetikanya, isi kandungan obatpun banyak yang tidak mengetahui. Nama dagang ternyata lebih enak untuk dilafal, sedangkan isi obat biarlah para farmakolog yang menghapal. Demikian mungkin yang terjadi.
9 Perubahan paradigma dari empirical based menjadi evidence-based medicine: Bukti ilmiah sebagai dasar terapi rasional Hadirin yang berbahagia, Pada waktu yang lampau dalam menetapkan jenis intervensi pengobatan, seorang dokter umumnya menggunakan pendekatan abdikasi (didasarkan pada rekomendasi yang diberikan oleh klinisi senior, supervisor, konsulen maupun dokter ahli) atau induksi (didasarkan pengalaman diri sendiri). Hal ini bukannya keliru, tetapi berbagai studi membuktikan bahwa teori abdikasi dan induksi tidak selalu memberikan hasil yang terbaik bagi pasien. Sebagian besar di antaranya justru mencelakakan. Sebut saja salah satunya yaitu antimikroba atau antibiotika. Di pelayanan kesehatan primer, pemberian antibiotika seolah-olah sudah mendarah daging dan turun temurun (Dwiprahasto, 2001; Pavin et al., 2003). Akibatnya, resistensi bakteri yang semula terjadi secara sporadis, dalam 2 dekade terakhir ini berubah menjadi sistematis dan sudah mencapai tahap yang mengkhawatirkan, terutama di rumahsakit (Sandiumenge et al., 2006). Bukti-bukti ilmiah ini ternyata tidak pernah menyurutkan para dokter untuk tetap menerapkan konsep induksi (Dwiprahasto, 2004). Kedua pendekatan terapi tersebut (abdikasi dan induksi) pada saat ini atau paling tidak, dalam 15 tahun terakhir seharusnya telah digantikan dengan pendekatan Evidence-based medicine (EBM), yaitu didasarkan pada buktibukti ilmiah terkini yang valid dan dapat dipercaya. Setiap upaya medik haruslah didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang memadai yang diambil dari hasil-hasil uji klinik acak terkendali (RCT-randomized controlled clinical trial), kajian-kajian dalam bentuk meta analisis ataupun telaah sistematik (systematic review). Dengan berbasis hasil-hasil studi yang terbaik (best evidence) maka akan diperoleh pilihan intervensi yang terbaik pula (best outcome), yang paling efikasius, aman, dan terjangkau. EBM adalah penggunaan bukti ilmiah terbaru secara eksplisit, hati-hati, dan cermat untuk membuat keputusan yang berkaitan dengan penatalaksanaan penyakit pada individu (Straus et al., 2005). EBM adalah suatu proses sistematik untuk menemukan, menelaah/me-review, dan memanfaatkan hasilhasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik.
10 Secara lebih rinci EBM merupakan keterpaduan antara (1) bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence); dengan (2) keahlian klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang ada pada pasien (patient values). Tujuan utama EBM adalah membantu proses pengambilan keputusan klinik, baik untuk kepentingan pencegahan, diagnosis, terapetik, maupun rehabilitatif berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasi pengambilan keputusan klinik yang berbasis bukti adalah menyediakan buktibukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang dihadapi serta diutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik, dan RCT (Culpepper & Gilbert, 1999). Mengingat bahwa EBM merupakan suatu cara pendekatan ilmiah yang digunakan untuk pengambilan keputusan terapi, maka dasar-dasar ilmiah penelitian juga perlu diuji kebenarannya. Uji klinik sebagai instrumen untuk membuktikan efficacy dan safety obat serta filosofi uji klinik Hadirin yang saya muliakan, Pengembangan obat merupakan suatu proses yang kompleks, rumit, dan memerlukan waktu yang sangat panjang. Jika penelitian in-vitro di laboratorium telah berhasil memilah suatu bahan aktif yang diduga mempunyai khasiat, maka tahap berikutnya adalah melakukan uji pra-klinik pada hewan uji. Tujuannya adalah untuk menemukan bukti in-vivo tentang efek obat pada hewan uji serta mencari tahu dosis yang masih memberi efek terapi (tetapi masih dapat ditoleransi), dosis toksik, dan dosis letal. Hal ini penting untuk memprediksi efek terapi pada manusia (beserta dosis yang paling dianjurkan), serta mengamati kemungkinan efek samping. Uji teratogenik, karsinogenik, dan uji toksikologi khusus pun dilakukan pada tahap ini untuk mengetahui apakah terdapat efek yang membahayakan, baik pada janin, organ, maupun jaringan. Tahap selanjutnya yang paling penting dalam proses pengembangan obat adalah uji klinik. Terdapat 4 tahap uji klinik yang harus dilalui oleh sebuah obat. Tahap pertama disebut uji klinik fase I, dilakukan pada sukarelawan sehat dan dalam jumlah yang terbatas. Tujuan utamanya adalah mengetahui
11 hubungan antara dosis dan respons, dan dosis yang masih dapat ditoleransi, Uji farmakokinetika juga dilakukan untuk mengetahui nasib obat di dalam tubuh setelah pemberiannya. Pada uji ini dapat diketahui kapan suatu obat diabsorpsi, didistribusikan ke seluruh tubuh, dimetabolisme, dan diekskresikan. Oleh sebab itu parameter kinetikpun digunakan seperti kadar puncak (Cmax), waktu yang diperlukan untuk mencapai kadar puncak (tmax), waktu paruh (t1/2), tetapan kecepatan eliminasi (Kel), area di bawah kurva (area under the curve/AUC) dan metabolit aktif yang dapat ditemukan dalam darah. Waktu paruh, misalnya, sangat penting diketahui antara lain untuk menetapkan frekuensi pemberian obat dalam sehari. Tahap selanjutnya adalah uji klinik fase II, dilakukan pada penderita dengan diagnosis yang sesuai untuk indikasi obat, tetapi dengan jumlah subyek yang terbatas. Tujuan utamanya adalah mengetahui hubungan dosis dan efek obat pada penderita/pasien. Jika hasil uji klinik fase I dan II secara meyakinkan memberi petunjuk tentang khasiat obat, maka tahap berikutnya adalah melakukan uji klinik fase III atau uji klinik acak terkendali (RCT). Tahap ini menjadi bagian paling utama dari pengembangan obat karena pengujian dilakukan secara cermat pada penderita, dengan skala yang lebih besar. Berbagai variabel yang berpengaruh terhadap outcome dikendalikan secara seksama, dan menggunakan parameter-parameter yang obyektif. Tujuannya adalah untuk membuktikan bahwa jika terjadi perbaikan pada penderita, hal ini benar-benar disebabkan oleh obat uji, bukan variabel-variabel yang lain. Setelah mendapat persetujuan (approval) dan obat diperbolehkan beredar di pasaran, industri farmasi sebenarnya masih memiliki kewajiban untuk melakukan uji klinik fase IV atau Post Marketing Surveillance (PMS). Farmakoepidemiologi menyoroti PMS ini secara khusus, karena merupakan mekanisme penapisan terakhir untuk menjamin keamanan obat pada populasi. Ini mengingat pada uji klinik fase III (RCT) data tentang jenis dan angka kejadian efek samping hanya diperoleh dari subyek yang memenuhi kriteria inklusi saja, sehingga belum mewakili gambaran efek samping pada populasi yang sebenarnya. Peran PMS ini sangatlah besar karena efek samping yang serius umumnya baru terdeteksi pada fase ini. Penarikan obat dari pasaran umumnya didasarkan pada hasil uji klinik fase IV ini.
12 Bukti ilmiah dari randomized controlled clinical trial. Haruskah? Hadirin yang berbahagia, Karena sifat dan tingkat validitas hasil yang paling dapat diandalkan, maka RCT dianggap sebagai standard baku emas (gold standard) dalam membuktikan adanya hubungan sebab akibat antara dua variabel atau lebih. RCT juga dapat digunakan untuk menguji kebenaran dari hasil studi observasional. Sebagai contoh, suatu studi observasional melaporkan bahwa terapi sulih hormon (hormone replacement therapy/HRT) dapat mencegah terjadinya aterosklerosis. Temuan ini kemudian dipatahkan oleh studi RCT (Anderson et al., 2003; Grady et al., 2002). Di Kanada, hasil RCT tersebut menyebabkan penggunaan HRT pada wanita pasca menopause menurun secara drastis (Austin et al., 2003). Demikian pula studi observasional di bidang neurologi yang menyatakan bahwa transplantasi fetal cell bermanfaat untuk terapi Parkinson (Lindvall et al., 1994). Temuan hasil ini segera dibantah setelah dilakukan RCT (Freed et al., 2000; Olanow et al., 2003). Contoh lain adalah penggunaan heparin pada stroke akut. Beberapa studi observasional (Furlan et al., 1982) dan rekomendasi berbagai ahli (Adams et al., 1994) menunjukkan bahwa heparin sangat bermanfaat pada penderita iskemi serebral. Namun hasil RCT yang dilakukan dalam skala besar (19.435 pasien) melalui International Stroke Trial (IST) menunjukkan bahwa risiko terjadinya komplikasi perdarahan akibat pemberian heparin ternyata jauh lebih besar daripada manfaatnya dalam mencegah iskemi ulangan (The International Stroke Trial, 1997). Untuk mencegah stroke ulangan, suatu studi RCT yang dikenal dengan Warfarin and Aspirin for Recurrent Stroke (WARSS) secara meyakinkan menemukan bahwa warfarin ternyata tidak bermanfaat dalam mencegah stroke ulangan. Temuan ini sekali lagi mematahkan rekomendasi para ahli yang selama bertahun-tahun sebelumnya menganjurkan penggunaan warfarin dalam terapi stroke (Mohr et al., 2001).
13 Bukti empirik: antara kebenaran dan pembenaran Hadirin yang saya muliakan, Dalam kenyataannya tidak semua obat dapat bernasib baik dan tetap bertahan di pasaran. Sebagai contoh, dari 548 obat yang disetujui oleh USFDA selama kurun waktu 1975-1999, lebih dari 10% nya (56 dari 548 obat) menimbulkan efek samping yang serius hingga menyebabkan kematian. Sekitar 3% akhirnya ditarik dari peredaran dan sisanya (8,2%) memerlukan perubahan label atau harus memberikan black box warning. Separuh dari obat yang ditarik, baru beredar di masyarakat sekitar 2 tahun sedangkan separuh dari yang memerlukan perubahan label, efek samping serius baru terdeteksi ratarata sekitar 7 tahun (Josefson, 2002). Itu artinya sangat banyak kasus-kasus efek samping obat yang serius atau bahkan mematikan, yang tidak pernah terdeteksi selama bertahun-tahun tanpa ada mekanisme monitoring yang memadai. Obat memang ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi memberikan efek terapi yang diharapkan, tetapi di sisi lain justru sering menimbulkan risiko yang mencelakakan. Sayangnya, bukti ilmiah mengenai efek obat yang merugikan, sering datang sangat terlambat, disaat korban-korban telah berjatuhan. Itu pun kadang tidak membuat pemegang kebijakan di bidang obat mampu dengan serta merta menghentikan peredaran suatu obat. Pemegang kebijakan obat seolah tidak berdaya menghadapi hegemoni industri farmasi yang secara intens memberikan tekanan politik, psikologis, dan tidak jarang intimidatif, dalam melanggengkan produk yang berbuah bencana. Kasus phenylpropanolamine (PPA) yang marak di penghujung tahun 2000 menjadi salah satu contoh yang mengemuka. Obat ini telah dikembangkan sejak awal abad 19 sebagai salah satu komponen obat flu. Beberapa kasus perdarahan intrakranial sejatinya telah mulai dilaporkan sejak tahun 1979 hingga 1992. Namun demikian, tidak satupun industri farmasi bergeming, apalagi pemegang kebijakan obat. Baru pada akhir Desember 2000 ketika peneliti dari Yale University (Kernan, et al., 2000) secara meyakinkan menemukan bukti hubungan antara PPA dengan terjadinya stroke perdarahan, seluruh dunia pun terperanjat. Hampir semua pemegang kebijakan obat di berbagai negara merespons bak pahlawan kesiangan, untuk menghentikan sementara peredaran
14 obat yang mengandung PPA. Kepanikan hanya terjadi sesaat, dan PPA pun tetap digelontor di pasaran melalui obat-obat flu dalam dosis yang lebih kecil. Dan risiko stroke pun diserahkan sepenuhnya pada pengguna obat flu yang mengandung PPA. Hal lain yang lebih mengejutkan di awal tahun 2007 ini adalah bahwa sebagian besar obat bebas (over the counter) yang ada di pasaran ternyata tidak memiliki bukti manfaat dan keamanan yang dapat diandalkan, khususnya untuk anak di bawah usia 12 tahun. Sebagian besar uji klinik menunjukkan bahwa efek obat batuk dan pilek (antara lain berisi ekspektoran, antihistamin, dan dekongestan) tidak lebih baik dibanding plasebo jika diberikan pada anak (Sharfstein, et al., 2007). Sementara di Amerika Serikat sendiri sejak Januari 2000 dilaporkan lebih dari 750.000 pengaduan berkaitan dengan penggunaan obat batuk dan flu pada anak. Dalam kurun waktu 2004-2005 saja ada lebih dari 1500 kasus kunjungan ke unit gawat darurat yang berkaitan dengan penggunaan obat batuk dan flu pada anak (Anonymous, 2005). Salah satu di antaranya adalah terjadinya aritmia jantung akibat dekongestan, halusinasi akibat antihistamin, serta penurunan kesadaran dan ensefalopati akibat penggunaan antitusif. USFDA pun mencatat lebih dari 123 kematian pada anak di bawah usia 6 tahun yang berkaitan dengan penggunaan obat batuk dan flu, yaitu akibat dosis yang berlebihan, cara dan frekuensi penggunaan yang keliru, atau terjadi interaksi antar obat yang diminum (FDA, 2007). Hal ini dapat terjadi mengingat hingga tahun 2000 penggunaan obat pada anak umumnya hanya didasarkan pada data pasien dewasa. Yang dilakukan selama ini hanyalah menyesuaikan dosis menjadi seperempat hingga separuh dosis dewasa, bukannya didasarkan pada hasil uji klinik secara khusus pada pasien anak. Mengantisipasi permasalahan yang semakin besar, US-FDA pada 18 dan 19 Oktober 2007 yang lalu menggagas pertemuan untuk menelaah penggunaan obat-obat flu pada anak yang diwakili oleh the Pediatric Committee dan the Nonprescription Drug Advisory Committee. Sepuluh hari sebelum pertemuan dilaksanakan, beberapa industri farmasi di Amerika Serikat secara serentak menarik produk-produk obat flu untuk anak di bawah usia 2 tahun (Joshua, et al., 2007) Hasil pertemuan tersebut kemudian menyepakati untuk menelaah ulang penggunaan obat flu pada anak, khususnya
15 di bawah usia 2 tahun. Sebagian besar kemudian melabel ulang obat flu yang mengandung antihistamin, dengan peringatan “tidak digunakan untuk menidurkan anak”. Satu bukti lagi menghadang dihadapan kita, bahwa penggunaan obat flu pada anak di bawah 2 tahun selama ini sama sekali tidak didasarkan pada hasil penelitian yang valid, apalagi menggunakan kaidah uji klinik yang baku untuk populasi anak. Hadirin yang saya muliakan, Obat dan efeknya memang tergolong unik. Paling tidak, terdapat 4 kategori sifat obat jika ditelaah berdasarkan manfaat dan risikonya (Strom, 2006). Pertama, disebut sebagai efek yang memang diharapkan (anticipated beneficial effect). Ini lazim dijadikan sebagai indikasi penggunaannya. Kedua, disebut sebagai efek samping yang diketahui dan dikenal saat tahap uji klinik dilakukan (anticipated harmful effect). Informasi mengenai efek samping inilah yang selalu dicantumkan pada label obat yang dipasarkan. Tujuannya adalah untuk memberikan peringatan, bahwa beberapa efek samping tersebut dapat terjadi pada sebagian orang yang menggunakan. Semua obat yang dikembangkan di dunia, masuk dalam kedua kategori tersebut. Yang ketiga disebut sebagai efek yang membahayakan tetapi tidak pernah disadari (unanticipated harmful effects). Dalam kategori ini termasuk obat-obat yang memberikan efek samping yang serius, tetapi baru diketahui dan dikenali setelah obat dipasarkan secara luas di masyarakat. Sebagai contoh adalah anemia aplastika akibat penggunaan khloramfenikol, gagal jantung pada penggunaan rofecoxib, dan nyeri otot (rhabdomyolisis) akibat penggunaan obat penurun kadar kolesterol. Yang keempat disebut sebagai efek menguntungkan yang tidak diduga (unanticipated beneficial effects). Efek ini tidak ditemukan saat uji in-vitro, uji pra klinik, maupun uji klinik. Sebagai contoh adalah aspirin, yang tidak dianjurkan lagi sebagai AINS karena efek perdarahan lambung yang cukup berat. Namun dalam perjalanannya diketahui bahwa penggunaan aspirin jangka panjang dalam dosis subterapetik dapat mencegah terjadinya penyakit jantung koroner (Sanmuganathan et al., 2001).
16 Bukti ilmiah: antara kebenaran dan pembenaran Hadirin yang berbahagia, Sama halnya dengan benda-benda yang ada di dunia ini, bukti ilmiah ternyata tidak pernah kekal. Bukti ilmiah yang lama selalu digantikan dengan yang baru, dan bukti ilmiah yang barupun tinggal menunggu waktu untuk segera tutup buku, jika muncul bukti ilmiah yang lebih valid. Namun, tidak demikian halnya dengan sifat manusia yang selalu bangga dan puas hanya dengan bukti ilmiah yang dulu pernah dipelajarinya. Mencari bukti ilmiah baru dari hasilhasil penelitian mutakhir seolah menjadi barang mewah dan bukan bersifat wajib. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan apabila banyak praktek-praktek farmakoterapi yang akhirnya lebih mengandalkan intuisi, pengalaman, dan pengetahuan yang di masa lampau memang benar, tetapi harus dikoreksi di masa ini. Dalam kancah peresepan misalnya, vitamin seolah menjadi bagian wajib yang harus dituliskan di resep. Peresepan vitamin bahkan meningkat secara dramatik sejak dalam komunikasi horisontal dikemas sebagai antioksidan dan tersedia dalam berbagai bentuk suplemen. Namun hingga saat ini tidak satupun bukti ilmiah yang ada mendukung teori bahwa pemberian suplemen vitamin (beta karoten, vitamin A, vitamin E, dan vitamin C) mampu mencegah terjadinya penyakit. Dari hasil meta analisis terhadap berbagai RCT yang ada (Bjelakovic et al., 2007), suplemen vitamin juga tidak mempercepat penyembuhan pada orang yang sakit. Hasil telaah sistematik (systematic review) terhadap berbagai RCT menemukan bahwa penggunaan suplemen vitamin C atau vitamin E atau koenzim Q10 ternyata tidak mampu mencegah terjadinya kanker apalagi menyembuhkan (AHRQ, 2003) Penggunaan antibiotika dalam praktek sehari-hari bagaikan ikon bagi peresepan moderen. Boleh dikata, praktek peresepan antibiotika ini sudah menjadi semacam ritual bagi hampir semua dokter. Bahkan di pelayanan kesehatan primer, baik Puskesmas maupun dokter praktek swasta, lebih dari 90% pasien dengan keluhan batuk pilek mendapatkan antibiotika. Padahal lebih dari 87% pasien batuk pilek umumnya viral infection yang tidak memerlukan antibiotika (Dwiprahasto, 2006). Hasil meta analisis menunjukkan bahwa antibiotika tidak lebih baik dibanding plasebo dalam hal meredakan
17 gejala batuk dan pilek. Pada dewasa, risiko terjadinya efek samping pada kelompok yang mendapat antibiotika hampir dua kali lebih besar daripada kelompok yang mendapat plasebo (Kenealy, 2005). Namun demikian bukti ilmiah inipun tidak menyurutkan para dokter untuk tetap meresepkan antibiotika. Ketika obat penghambat COX-2 mulai diperkenalkan di awal tahun 2000, dunia kedokteran merasa lega karena telah datang obat pahlawan untuk terapi arthritis rhematoid jangka panjang yang aman. Bagaimana tidak, selama ini terapi rhematoid arthritis umumnya lebih bertumpu pada penggunaan AINS, yang risiko efek sampingnya tidak ringan, yaitu perdarahan gastrointestinal. Rofecoxib (suatu penghambat COX-2), secara meyakinkan menunjukkan risiko perdarahan gastrointestinal yang lebih rendah dibanding AINS (Bombardier et al., 2000). Melalui studi meta analisis yang melibatkan lebih dari 28.000 pasien, rofecoxib juga mampu menepis isu efek samping kardiovaskuler (Konstam et al., 2001). Namun, praktisi medik sempat gundah ketika di pertengahan tahun 2002 suatu meta analisis pada lebih dari 200.000 subyek menunjukkan peningkatan risiko penyakit jantung koroner jika rofecoxib digunakan pada dosis lebih dari 25 mg (Ray et al., 2002). Badai berikutnya pun menerpa lebih dahsyat ketika di awal tahun 2004 studi yang melibatkan lebih dari 39.000 subyek secara meyakinkan menemukan bahwa risiko kardiovaskuler pada pengguna rofecoxib hampir 2 kali lebih besar daripada AINS (Juni et al., 2004). Rofecoxib pun tumbang. Tepat tanggal 30 September 2004, obat ini ditarik dari peredaran di seluruh dunia oleh produsennya. Sekali lagi, bukti ilmiah sehebat apapun, ia tidak pernah kekal, suatu saat pasti rapuh dan akhirnya mati ditelan jaman. Tantangan dalam aplikasi bukti ilmiah Hadirin yang saya muliakan, Kurangnya akses informasi terhadap bukti ilmiah terbaru, khususnya tentang obat dan farmakoterapi, tampaknya tetap akan menghantui para profesional kesehatan di negara sedang berkembang, termasuk di Indonesia. Meskipun hampir seluruh jurnal biomedik dan buku-buku teks kedokteran telah tersedia dalam bentuk elektronik dan sangat mudah diakses melalui
18 internet, namun kendala biaya, bahasa, perangkat komputer dan fasilitas akses internet tampaknya belum akan teratasi hingga 10-15 tahun ke depan. Tenaga profesional kesehatan yang tinggal di daerah terpencilpun akan semakin terisolasi dari kebaharuan bukti ilmiah dan ini akan semakin menjauhkan mereka dari konsep-konsep farmakoterapi berbasis bukti yang mutakhir. Ironisnya, kelemahan inilah yang dimanfaatkan duta-duta farmasi sebagai peluang untuk secara gencar membanjiri para dokter dengan informasi tentang produk obat mereka. Informasi ini umumnya unbalanced, cenderung misleading atau dilebih-lebihkan, dan lebih berpihak pada kepentingan komersial. Penggunaan informasi seperti ini jika ditelan begitu saja akan sangat berisiko dalam proses terapi (Mulrow & Oxman, 1997). Keterbatasan informasi inilah yang dalam perkembangan penggunaan obat sering menjadikan off-label use of drug sangat marak dalam praktek seharihari. Off-label use adalah penggunaan obat di luar indikasi yang direkomendasikan. Obat yang sering digunakan secara off label antara lain adalah antihistamin, antikonvulsan, antibiotika, serta obat batuk dan flu. Berbagai obat kardiovaskuler pun tergolong sangat sering digunakan secara off label, antara lain adalah antiangina, antiaritmia, dan antikoagulan. Gabapentin yang hanya diindikasikan untuk adjunctive therapy pada partial seizures dan untuk postherpetic neuralgia ternyata telah digunakan secara off label untuk kondisi lainnya, termasuk di antaranya monoterapi pada epilepsi, restless leg syndrome, bipolar disorder, migrain, dan kejang karena gejala putus alkohol (Radley et al., 2006). Penggunaan obat di luar dosis yang direkomendasikan, termasuk pula dalam kategori ini. Praktek-praktek kefarmasian di apotek juga terlalu banyak yang tergolong dalam off label use. Menggerus tablet untuk dijadikan puyer, kapsul, bahkan sirup untuk sediaan anak, atau menggerus tablet atau kaplet untuk dijadikan salep dan krim adalah bentuk off label use yang sangat umum ditemukan, terjadi secara turun menurun, berlangsung puluhan tahun, tanpa ada yang sanggup menghentikannya. Melestarikan penyimpangan, menikmati kekeliruan, dan mengulang-ulang kesalahan, tampaknya sudah menjadi bagian dari hedonisme peresepan. Yang satu mengajarkan dan yang lain mengamini sambil menirukan. Itulah cara termudah untuk mendiseminasikan informasi yang tidak berbasis bukti. Menulis resep seolah telah menjadi prosesi ritual,
19 yang tampaknya tidak bisa (tidak perlu) dikoreksi. Tulisan yang sulit dibaca seolah menjadi bagian dari sakralisasi peresepan. Padahal bahaya mengintai di mana-mana. Resep yang sulit dibaca akan membuat pembacanya (asisten apoteker dan apoteker) mencoba menduga, menebak, dan akhirnya memaksakan diri untuk menerjemahkannya dalam bahasa sendiri yang dapat berdampak fatal jika keliru. Terlalu banyak nama dagang obat yang mirip satu sama lain, tetapi isinya sama sekali berbeda. Losec® yang berisi omeprazole (untuk gangguan lambung) sering keliru dibaca sebagai Lasix® yang berisi furosemida (diuretika). Feldene® yang merupakan suatu AINS sering keliru terbaca sebagai Seldane® yang berisi terfenadine (suatu antihistamin). Sotatic® yang berisi metoclopramide (obat antimuntah) telah sering keliru dibaca menjadi Cytotec® (berisi misoprostol), yang dapat menyebabkan terjadinya aborsi jika diberikan pada ibu hamil. Kebiasaan keliru menuliskan aturan resep 3 kali sehari (signa 3 dd 1) seharusnya mulai ditinggalkan dan diganti menjadi diminum tiap 8 jam. Demikian juga untuk obat yang diberikan 2 kali sehari, seharusnya ditulis diminum tiap 12 jam dan seterusnya. Menulis resep dalam bentuk campuran (beberapa jenis obat digerus dijadikan satu sediaan puyer atau bahkan sirup) perlu segera dikoreksi, karena termasuk off label use. Jika praktek-praktek primitif semacam ini tetap saja dipertahankan maka keselamatan pasien (patient safety) tentu akan menjadi taruhannya. Hadirin yang saya muliakan, Di penghujung pidato ini, saya ingin mengajak semua tenaga profesional kesehatan untuk senantiasa mengacu pada bukti-bukti ilmiah terkini. “Keeping up to date” bukanlah sekedar slogan tapi merupakan prasyarat fundamental dalam implementasi EBM. Memang tidak semua hasil uji klinik obat dapat langsung diterima sebagai bukti ilmiah yang valid. Hasil uji klinik obat tetap harus ditelaah secara kritis untuk mengetahui validitas metode dan hasilnya. Harus pula dipertimbangkan secara seksama apakah hasil tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek medik sehari-hari. Sekedar menghilangkan gejala bukan lagi menjadi bagian akhir dari proses farmakoterapi berbasis bukti. Menerapkan praktek peresepan yang benar, tepat, sesuai dengan kaidahkaidah peresepan baku, dan didasarkan pada sifat farmakologi obat secara
20 spesifik dan adekuat harus menjadi komitmen semua dokter. Para dokter dan tenaga profesional kesehatan juga harus secara konsisten menerapkan konsep-konsep patient safety, yang mengisyaratkan setiap tindakan medik dan terapetik selain efikasius juga harus aman. Jika karena keterbatasan yang ada membuat seorang dokter tidak yakin akan hasil terapi yang diberikan, paling tidak ia harus yakin bahwa terapi yang diberikan tidak akan mencederai atau mencelakakan pasien. “Primum non nocere; First, do no harm”. Para hadirin yang saya muliakan, Perkenankanlah pada akhir pidato pengukuhan ini saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Menteri Pendidikan Nasional, atas kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk menduduki jabatan Guru Besar dalam Ilmu Farmakologi di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Rektor, Ketua dan Sekretaris Senat Akademik, serta para Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada, Ketua dan Sekretaris beserta segenap anggota Majelis Guru Besar UGM yang telah menyetujui pengusulan dan menerima saya sebagai Guru Besar. Pengusulan Guru Besar saya tentu tidak akan pernah terlaksana tanpa ijin dan perkenan dari Dekan, segenap Pengurus Fakultas dan Senat Fakultas Kedokteran UGM. Oleh karena itu saya ingin menghaturkan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya. Ungkapan bangga disertai penghargaan yang tinggi saya persembahkan kepada guru-guru saya di SD Negeri Serayu, SMP Negeri 8, dan SMA Negeri I Teladan Yogyakarta yang telah mengantar saya ke jenjang akademik tertinggi ini. Kepada para Guru Besar, dosen, dan segenap karyawan di FK UGM, saya berhutang budi atas semua pembelajaran yang telah diberikan kepada saya sejak saya mahasiswa. Terima kasih saya sampaikan kepada Dr. Budiono Santoso PhD atas bimbingannya saat saya bekerja di Bagian Farmakologi Klinik. Terima kasih yang tulus juga saya tujukan kepada Prof. Anthony J. Smith, Prof. David A. Henry, dan Prof. Dick Heller yang telah membimbing saya menyelesaikan pendidikan master di bidang Farmakoepidemiologi di University of
21 Newcastle, Australia. Secara khusus, perkenankan pula saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. dr. Suhartono Ds SpOG(K) dan mbak Evi atas segala kebaikan,dukungan,danbantuansaatsayamenyelesaikanprogramini. Rasa hormat dan terima kasih juga saya haturkan kepada Prof. Dr. dr. Noerhajati S., Prof. dr. HNE Marsetyawan PhD, Prof Dr. dr. Sri Kadarsih, dan Dra E. Sutarti SU, Pengelola Pusat Kedokteran Tropis pada saat itu yangmemfasilitasisayadalammenyelesaikanpendidikanPhDsayadiLondon School of Hygiene & Tropical Medicine. Kepada Prof. BM. Greenwood, dr. D. Chandramohan, PhD., dan Prof. SJ. Pocock, saya ucapkan terima kasih atas bimbingannya sehingga saya berhasil menyelesaikan pendidikan Doktor. Rasa hormat saya sampaikan pula kepada Bapak Fani Habibie, Duta Besar Indonesia untuk Inggris. . UcapanterimakasihjugasayahaturkankepadaalmarhumProfWilliam Inman dari Drug Safety Research Unit, Southampton England, Prof. BL Storm dan Prof. S. Edlavitch dari International Society for Pharmacoepidemiology, yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk memperdalamilmuFarmakoepidemiologi. Kepada guru-guru saya di Clinical Epidemiology and Biostatistics Unit FK UGM/RSUP. Dr. Sardjito, Prof. dr. Tonny Sadjimin MSc, MPH, PhD, Prof. dr. M. Hakimi PhD, SpOG(K), Prof. dr. MAnwar MMedSc, SpOG(K), Prof. dr. H. AH Asdie SpPD(K), Prof. dr. Makmuri Muchlas, SpKJ, PhD, Prof. Dr. dr Moch. Sya’bani MMedSc, SpPD(K-Nef), Prof. Dr. dr. Rusdi Lamsudin MMedSc, SpS(K), Prof. dr. Soesanto Tjokrosonto MSc, MCommH, PhD, saya ucapan terima kasih atas semua pembelajaran yang berharga. Kepada segenap anggota Board of Fellow di CE&BU serta dr. Osman Sianipar, SpPK, DMM, MSc, dr. Heru Prajatmo SpOG, MKes, dr. Endro Basuki, SpBS, dan Dra. Siwi Padmawati, MSc saya ucapkan terima kasihatasdukungandankerjasamanyaselamasayamenjadiDirekturCE&BU periode 2002-2006. Begitu juga kepada segenap supporting staff CE&BU. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada para direktur CEU di kawasan asia-pacific yang selama lebih dari 10 tahun bersama-sama mengembangkan INCLEN-SEA. Kepada DR. dr. Radjiman, Prof. Dr. dr. Soenarto Sastrowijoto SpTHT, dan dr. Yati Soenarto, PhD, SpA(K) saya ingin menyampaikan rasa hormat
22 dan terima kasih atas setiap dorongan, nasehat, dan masukan yang sangat berharga bagi perjalanan hidup saya. Ucapan terima kasih juga secara khusus ingin saya sampaikan kepada dr. Sri Endarini, MPH, Direktur Utama RSUP Dr. Sardjito yang telah banyak memberikan keteladanan kepada saya tentang bagaimana membangun kepemimpinansebuahrumahsakityangdemikianbesardankomplekssecara arif. Terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap Direktur RSUP Dr. Sardjito beserta jajarannya atas kepercayaan yang diberikan kepada saya selamaini. Kepada dr. Widyastuti Suroyo, MPH, Dr. Philip Stokoe, PhD, Dirjen POM, Departemen Kesehatan RI, Badan POM, PMPK FK UGM khususnya kepada Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc, PhD, Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya, World Bank, Asia Development Bank, dan USAID, saya mengucapkan terima kasih. SuhuA. Suharyanto selama lebih dari 15 tahun telah mengajarkan kepada saya sikap-sikap keteladanan seorang ksatria Shao Lin yang berjiwa teguh, tangguh, dan berkarakter tetapi bersikap welas asih. Beliau beserta Subo Emy selalu menjadi pelita bagi perjalanan hidup saya selama ini. Kepada dr. Johan Kurnianda SpPD, HONK saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga. Semua jasa dan kebaikan beliau akan selalu saya ingat dalam hati sanubari saya. Ucapan terima kasih secara khusus juga ingin saya sampaikan kepada ibu Nani dan Bapak Dr (Hon) Sutiyoso, Ibu dan Bapak H. Fauzi Bowo, GubernurDKIyangtelahbanyakmembantudanmemberiharapanbarudalam hidup saya. Demikian juga kepada segenap staf YKI Wilayah DKI Jakarta, Ibu Suharto, dr. Ulfana, dr. Yati dan Ibu Neneng.. Kepada kepala Bagian Farmakologi FK UGM Dr. Mustofa Apt, MKes, beserta segenap staf, Prof. dr. Ngatidjan MSc, SpFK, Dr. Med. dr. Widharto, SpFK, dr. Budhiarto (alm), Dr. Med. dr. IndwianiAstuti, dr. Setyo Purwono, SpPD, Dra. Erna Kristin, MSi, Dra. Yuliastuti, MKes, Dra. Maulina Dyah, MKes, dr. Eti Nurwening, MKes, dr. Jarir Atthobari, PhD, dr. Woro Rukmi, MKes, dan dr. Dwi Aris Agung, saya ucapkan terima kasih yang tiadaterkiraataskepercayaandanketulusanuntukmengusulkansayamenjadi Guru Besar di bidang Farmakologi. Ucapan terima kasih juga saya haturkan
23 kepada Prof dr. Iwan Darmansyah SpFK(K) dan Prof. Dr. dr. Herry Sastramiharja SpFK(K). Kepada almarhum eyang Kismosedewo, terima kasih yang tulus atas setiap pelajaran hidup yang telah Eyang berikan kepada saya. “Jadilah dokter yangbaik,tetapijanganlahmencarikekayaandarimenolongorangyangsakit”, pesan Eyang ini senantiasa saya ingat. Tiada ungkapan yang lebih baik dan layak yang bisa saya haturkan kepada almarhum ayah saya R. Oetomo Moestidjo yang banyak memberikan makna dan keteladanan dalam hidup saya. Terima kasih ayah, semoga Allah SWT menempatkanmu secara layak di sisiNya. Ibunda Sri Hartati, seorang ibu sejati yang senantiasa menjadi ibu sekaligus teman, bak dian yang tak kunjung padam di sanubari saya. Terima kasih ibu, doamu siang dan malam, puasa dan laku prihatinmu telah mewujudkan sesuatu yang tidak pernah saya impikan sebelumnya, menjadi Guru Besar di Universitas yang sangat terhormat ini. Terima kasih yang tulus saya sampaikan kepada Keluarga Besar Kismosedewo, yang selalu saya banggakan. Almarhum Om dan tante Wibowo adalah figur seorang pemimpin dermawan dan berbudi luhur yang telah banyak memberi suri tauladan bagi saya saat saya mempersiapkan diri melanjutkan program S2. Kepada saudara-saudara saya, Mbak Ida dan mas Hari, mas Bambang dan mbak Ade, mbak Ratna dan mas Dadik, mbak Ita dan mas Untung, Yanti dan Agung beserta semua keponakan yang sangat saya cintai, terima kasih atas semua dorongannya selama ini. Kepada bapak Mertua Prof M. Ramlan beserta almarhumah ibu Harni, saya mengucapkan terima kasih atas semua bimbingannya selama ini. Demikian pula kepada kakak ipar saya mas Adi dan mbak Rini, mas Wiwik dan mbak Titi, serta putra-putrinya. Penghargaan dan ungkapan terima kasih setinggi-tingginya juga saya sampaikan kepada istri saya tercinta dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD yang dengan segala pengertian, perhatian, kesetiaan, pengorbanan, kerelaan, dan ketulusikhlasan telah memberikan dorongan serta mendampingi saya siang dan malam, dalam suka dan duka selama lebih dari 18 tahun. Kepada anak semata wayang saya, Putri Karina Larasati, terima kasih atas segala kesabaran, pengorbanan, pengertian dan kehangatan yang selalu engkau berikan. Petuah seorang anak yang tak terduga sering menyadarkan saya betapa sering hari-
24 hari ceriamu tidak terdampingi oleh bapak yang selalu sibuk. Semoga engkau menjadi putri yang solehah, bermartabat, rendah hati, berjiwa sosial, dan berbudi luhur, serta bermanfaat bagi keluarga, agama, dan masyarakat. Meskipun ingin rasanya saya menyampaikan ucapan terima kasih dengan menyebut satu per satu orang ataupun lembaga, namun hanya ruang dan waktulah yang membatasi saya. Pada kesempatan yang amat berbahagia ini saya berdoa semoga buah amalan kebaikan bapak, ibu, dan saudara sekalian kepada saya dilipatgandakan oleh Allah SWT. Akhir kata, teriring ungkapan mohon maaf apabila ada banyak hal yang mungkin kurang berkenan atas pidato pengukuhan ini. Billahittaufiq wal hidayah, Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuh. DAFTAR PUSTAKA Adams Jr., H.P., Brott, T.G., Crowell, R.M., Furlan, A.J., Gomez, C.R., Grotta, J. et al., 1994. Guidelines for the management of patients with acute ischemic stroke. A statement for healthcare professionals from a special writing group of the Stroke Council, American Heart Association. Circulation 90: 1588–1601. AHRQ (Agency for Healthcare Research and Quality), 2003. Effect of supplemental use of antioxidants vitamin C, vitamin E, and coenzyme Q10 for the prevention and treatment of cancer. Evidence Report/Technology Assessment no. 75. AHRQ Publication no. AHRQ 03-E047. Anderson, G.L., Judd, H.L., Kaunitz, A.M., et al., 2003. Effects of estrogen plus progestin on gynaecologic cancers and associated diagnostic procedures: the Women’s Health Initiative randomized trial. JAMA 290: 1739–1748. Anonymous, 2001. Lessons from cisapride (Editorial). CMAJ 164(9): 1269. Anonymous, 2007. Infant deaths associated with cough and cold medicationstwo states, 2005. MMWR Morb Mortal Wkly Rep 56: 1-4. Antes, G. 1998. Evidence-based medicine. Internist 39: 899–908. Austin, P.C., Mamdani, M.M., Tu, K., Jaakkimainen, L., 2003. Prescriptions for estrogen replacement therapy in Ontario before and after publication of the Women’s Health Initiative Study. JAMA 289: 3241–3242.
25 Bjelakovic, G., Nikolova, D., Gluud, et al. 2007. Mortality in randomized trials of antioxidant supplements for primary and secondary prevention. Systematic review and meta analysis. JAMA 297: 842-857. Bombardier, C., Laine, L., Reicin, A., et al., 2000. Comparison of upper gastrointestinal toxicity of rofecoxib and naproxen in patients with rheumatoid arthritis. N.Engl.J.Med 343: 1520-1528. Clark, T.E., Edom, N., Larson, J., 2001. Thalomid® capsules: A review of the first 18 months of spontaneous postmarketing adverse event surveillance, including off-label prescribing. Drug Safety 24: 87–117. Conolly, H.M, Crary, J.L., McGoon, M.D., 1997. Valvular heart disease associated with fenfluramine-phentermine. N.Engl.J.Med. 337: 581-588. Culpepper, L, Gilbert, T.T., 1999. Evidence and primary care: Evidence and ethics. Lancet 353: 829-831. D’Amato, R.J., Loughnan, M.S., Flynn, E., Folkman, J., 1994 Thalidomide is an inhibitor of angiogenesis. Proc Natl Acad Sci USA 91: 4082–4085. Dwiprahasto, I. dan Kristin, E., 2003. Improving the use of antibiotics in primary health centres through a problem-based learning pharmacotherapy training approach. B.I.Ked. 35(3): 112-120 Dwiprahasto, I., 2004. Ketersediaan obat di kabupaten dan mutu peresepan di pusat pelayanan kesehatan primer. B.I.Ked. 36(2): 89-96. Dwiprahasto, I., 2006. Peningkatan mutu penggunaan obat di puskesmas melalui pelatihan berjenjang pada dokter dan perawat. JMPK 9(2): 94-101. Facklam, H., Facklam, M., 1992. Healing Drugs: The History of Pharmacology. Facts on File, Inc., New York. Ferriman, A., 2000. UK license for cisapride suspended. BMJ 321: 259. Freed, C.R., Greene, P.E., Breeze, R.E., et al., 2000. Transplantation of embrionic dopamine neurons for severe Parkinson’s disease. N.Engl.J. Med. 344: 710–719. Furlan. A.J., Cavalier, S.J., Hobbs, R.E.., 1982. Hemorrhage and anticoagulation after nonseptic embolic brain infarction. Neurology 32: 280–282. Grady, D., Herrington, D., Bittner, V., et al., 2002. Cardiovascular disease outcomes during 6.8 years of hormone therapy: Heart & Estrogen/progestin Replacement Study follow-up. JAMA 288: 49–57. Josefson, D., 2002. Doctors warned to be wary of new drugs. BMJ 324 (7346): 1113. Juni, P., Nartey, L., Reichenbach, S., Sterchi, R., Dieppe, P.A., Egger, M., 2004. Risk of cardiovascular events and rofecoxib: cumulative metaanalysis. Lancet 364(9450): 2021-2029.
26 Kernan, W.N., Viscoli, C.M., Brass, L.M., et al. 2000. Phenylpropanol-amine and the risk of hemorrhagic stroke. N.Engl.J.Med. 343: 1826-1832. Lindvall, O., Sawle, G.V., Widner, H. 1994. Evidence for long-term survival and function of dopaminergic grafts in progressive Parkinson’s disease. Ann. Neurol. 35: 172–180. Konstam, M.A., Weir, M.R., Reicin, A., Shapiro, D., et al, B.J., 2001. Cardiovascular thrombotic events in controlled, clinical trials of rofecoxib. Circulation 104: 2280-1188. Matthews, S.J., McCoy, C., 2003. Thalidomide: A review of approved and investigational uses. Clin. Ther. 25: 342–395. Mohr, J.P., Thompson, J.L., Lazar, R.M., et al., 2001. A comparison of warfarin and aspirin for the prevention of recurrent ischemic stroke. N.Engl. J. Med. 345: 1444–1451. Mulrow, C., Oxman, A.D., 2002. The Cochrane handbook. In: The Cochrane Library, Update Software, Oxford. Olanow, C.W., Goetz, C.G., Kordower, J.H., et al., 2003. A double-blind controlled trial of bilateral fetal nigral transplantation in Parkinson’s disease. Ann. Neurol. 54: 403-414. Pavin, M., Nurgozhin, T., Hafner, G., 2003. Prescribing practices of rural primary health care physicians in Uzbekistan. Trop. Med. & Int. Health 8: 182190. Radley, D.C., Finkelstein, S.N., Staffor, R.S., 2006. Off-label prescribing among office-based physicians. Arch. Intern. Med. 166: 1021-1026. Ray, W.A., Stein, C.M., Daugherty, J.R., et al 2002. COX-2 selective nonsteroidal anti-inflammatory drugs and risk of serious coronary heart disease. Lancet 360: 1071-1073. Sandiumenge, A., Diaz, E., Rodriguez, A., et al. 2006. Impact of diversity of antibiotic use on the development of antimicrobial resistance. J. Antimicrob. Chemother., 57: 1197-1204. Sanmuganathan, P.S., Ghahramani, P., Jackson, P.R., et al. 2001. Aspirin for primary prevention of coronary heart disease: safety and absolute benefit related to coronary risk derived from meta-analysis of randomized trial. Heart 85: 265-271. Sharfstein, J.M., Nort, M., and Serwint, J.R., 2007. Over the counter but no longer under the Radar-Pediatric cough and cold medications. N.Eng.J.Med., 357(23): 2321-2324. Smalley, W., Shatin, D., Wysowski, D.K., et al., 2000. Contraindicated use of cisapride. Impact of Food and Drug Administration Regulatory Action. JAMA 284(23): 3036-3039.
27 Straus, S.E., Richardson, W.S., Glasziou, P., Haynes, R.B., 2005. EvidenceBased Medicine. How to Practice and Teach EBM. 3rd Ed. Elsevier, Edinburgh. Strom, B.L. and Kimmel, S.E., 2006. Textbook of Pharmacoepidemiology. John Wiley & Sons, Chischester. International Stroke Trial Collaborative Group, 1997. The International Stroke Trial (IST): a randomised trial of aspirin, subcutaneous heparin, both, or neither among 19435 patients with acute ischaemic stroke. Lancet 349: 1569-1581. US-FDA, 2007. FDA Announces Discontinued Marketing of GI Drug, Zelnorm, for Safety Reasons. http://www. fda.gov/cder/drug/advisory/ tegaserod.htm, Diakses tgl 3 November 07. Weatherall, M., 1990. In Search of a Cure: A History of Pharmaceutical Discovery. New York, Oxford University Press.
28 RIWAYAT HIDUP Nama Tempat/tanggal lahir Jabatan Alamat Rumah
: : : :
Alamat Kantor
:
E-mail Keluarga Istri
: : :
Anak
:
Iwan Dwiprahasto Surabaya, 8 April 1962 Guru Besar Sukoharjo Indah Blok K 138, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta Bagian Farmakologi & Toksikologi FK UGM
[email protected] dr. Adi Utarini, MSc, MPH, PhD Putri Karina Larasati
Pendidikan: 1980 – 1987 1990 – 1992 1997 - 2001
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran UGM MMedSc in Pharmacoepidemiology, Newcastle University, New South Wales, Australia PhD, London School of Hygiene and Tropical Medicine, England.
Riwayat Pekerjaan: 1.
Wakil Dekan Bidang Akademik & Kemahasiswaan FK UGM (2004sekarang) 2. Ketua, Komite Sistem Informasi, Universitas Gadjah Mada (2006-sekarang) 3. Ketua, Pengurus Besar (PB) Ikatan Farmakologi Indonesia (IKAFI) (2006sekarang) 4. Ketua, Komite Pendidikan, Penelitian, dan Pengembangan RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta (2004-sekarang) 5. Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) (2006-sekarang) 6. Director, Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit (CE&BU) FK UGM/ RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta (2000-2006)
29 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
Board of Governor, International Clinical Epidemiology Network (INCLEN) 2000-2006) Kepala Bagian Farmakologi & Toksikologi FK UGM (2002-2004) Ketua, Unit Penelitian Fakultas Kedokteran UGM (2000-2004) Excutive Secretary, Clinical Epidemiology & Biostatistics Unit (CE&BU) FK UGM/RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta (1996-2000) Editor, Berkala Ilmu Kedokteran, Fakultas Kedokteran UGM (2000sekarang) Editor, Indonesian Journal of Clinical Epidemiology and Biostatistics (1998sekarang) Editor, Majalah Farmasi Indonesia (2004-sekarang) Editor, Majalah Yarsi (2005-sekarang) Tim Ahli DPHO PT Askes Indonesia (2003-sekarang) Tim Ahli Menteri Kesehatan RI untuk Evaluasi Harga Obat di Indonesia (2004-sekarang) Tim Ahli Health & Technology Assessment, Badan POM (2000-2003) Tim Ahli Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) (2000-sekarang) Tim Ahli Pestisida pada Badan POM (2002-2004) Pharmaceutical Task Force, Health Project IV, World Bank (1996-1997) Pharmaceutical Task Force, Health Project III, World Bank (1993-1995)
Penghargaan Akademik: 1. 2. 3.
Beasiswa International Development Program, Australia Beasiswa University Research for Graduate Education, Centre for Tropical Medicine Dosen Teladan UGM 1997
Keanggotaan Perkumpulan Profesi: 1. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 2. Ikatan Farmakologi Indonesia (IKAFI) 3. International Clinical Epidemiology Network (INCLEN) 4. International Society for Pharmacoepidemiology (ISPE) 5. Souteast Asian Clinical Epidemiology Network (SEACLEN) 6. Indonesian Clinical Epidemiology Network (IndoCLEN) 7. Perhimpunan Dokter Manajemen Medik Indonesia (PDMMI) 8. Indonesian Health Care Quality Network (IHQN)
30 Publikasi (5 tahun terakhir) : 1. Prawirohardjono W, Dwiprahasto I, Astuti I, Hadiwandowo S, Kristin E, Mustofa and Kelly MF, 2002. The administration to Indonesians of monosodium L-Glutamate in Indonesian foods: An assessment of adverse reactions in a randomized double-blind, crossover, placebo-controlled study. J. Nutrition 130(4):1074S-1076S. 2. Purwanto H, Sadjimin T & Dwiprahasto I, 2002. Lactation and the risk of breast cancer. Gan To Kagaku Ryoho 27 (Suppl 2):474–481. 3. Maryani E, Dwiprahasto I, Hendrartini Y, 2003. Analisis biaya pemakaian obat dan alat kesehatan habis pakai pada operasi jantung koroner di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. Sains Kesehatan 15(2): 4. Narang ES, Dwiprahasto I, 2002. The Immunogenicity of low dose intradermal recombinant hepatitis B vaccination, compared to standar dose. Berkala Penelitian Pasca Sarjana 11(3C):339-346. 5. Dewi Prawitasari, Dwiprahasto I, Sulanto Saleh Danu, 2002. Pengaruh ketersediaan obat terhadap pola penggunaan obat pada terapi lima penyakit di puskesmas kota Palangkaraya. JMPK 5(02):83-92. 6. Nurul Fathoni, Ali Ghufron Mukti, Dwiprahasto I, 2002. Pengaruh penerapan standar terapi dan regulasi terhadap pola peresepan di Rumah Sakit Pupuk Kaltim. JMPK 4(2):101-109. 7. Kuswibawati L, Dwiprahasto I, Kristin E., 2002. Pengaruh pemberian rifampisin terhadap profil farmakokinetika glipizid pada orang sehat. BIKed 34(1):9-14. 8. Hartawan S, Dwiprahasto I, 2003. Evaluasi penggunaan antibiotika pasca pengembangan Formularium 2002 di RSUD Wangaya Denpasar Bali. JMPK 6(03):125-130. 9. Dwiprahasto I, 2003. Kebijakan penggunaan antibiotika profilaksi untuk mencegah infeksi luka operasi di rumah sakit. JMPK 6(1)3-9. 10. Soenarto Sastrowijoto, Mohammad Hakimi, Dwiprahasto I., 2003. Aspek kualitas penelitian interdisipliner. Warta Penelitian Universitas Gadjah Mada. pp 37-46 11. Dwiprahasto I, Erna Kristin, 2003. Improving the use of antibiotics in primary health centres through a problem-based learning pharmacotherapy training approach. BIKed 35(3): 165-171. 12. Putri RS, Dwiprahasto I, 2004. Mutu klinik bedah elektif kamar operasi RS Dr. Sardjito Yogyakarta. BKK X(2):77-83.
31 13. Raini M, Dwiprahasto I, Sukasediati N, 2004. Pengaruh istirahat terhadap aktivitas kolinesterase petani penyemprot pestisida organofosfat. Buletin Penelitian Kesehatan 32:105-111. 14. Dwipahasto I, 2004. Penggunaan Obat Pada Kehamilan dan Menyusui. Obat pada Kehamilan. Bagian Farmakologi & Toksikologi. FK UGM, Yogyakarta. 15. Dwiprahasto I, 2004. Risk predictor for malaria in pregnancy and the role of chloroquine in low endemic area. BIKed 36(1):45-52 16. Dwiprahasto I, 2004. Kepemimpinan klinik-peran dan tantangan manajemen rumah sakit dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan. JMPK 7(3):105-108. 17. Dwiprahasto I, 2004. Ketersediaan obat di kabupaten dan mutu peresepan di pusat pelayanan kesehatan primer. BIKed 36(2):89-96. 18. Dwiprahasto I, 2004. Medical Error di rumah sakit dan upaya untuk meminimalkan risiko. JMPK 7(1):13-17. 19. Riyasa I K, Asdie AH, Dwiprahasto I, Zulaela, 2004. Gangguan nyenyak tidur pada pasien kanker mamae yang mendapat therapi operasi dan atau kombinasi. Sains Kesehatan 17 (1):53-64. 20. Dwiprahasto I, 2005. Kebijakan untuk meminimalkan risiko terjadinya resistensi bakteri di Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit. JMPK, 8(4):177181. 21. Wijanarka A, Dwiprahasto I, 2005. Implementasi clinical governance: pengembangan indicator klinik cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat. JMPK 8(4): 213-220. 22. Manuaba RW, Dwiprahasto I, 2005. Potensi risiko pada tindakan bedah urologi. BIKed 37(3)137-142. 23. Suswardana, Dwiprahasto I, Radiono S, 2006. Potensi sampo minyak mimba 5% untuk terapi ketombe derajat sedang. Sains Kesehatan 19(1): 87-97