BAB I PENDAHULUAN
Profesi akuntan publik (auditor) merupakan profesi yang sangat penting dalam dunia bisnis yang kian berkembang. Peran penting auditor terutama terletak pada peningkatan kualitas dan kredibilitas atas laporan keuangan yang disusun oleh suatu perusahaan, melalui laporan audit yang diterbitkan oleh auditor tersebut. Dalam penyusunan laporan audit ini, pertimbangan (judgment) auditor memainkan peran yang penting, karena judgment dari auditor inilah yang akan menjadi dasar bagi publik dalam mengambil berbagai keputusan. Penelitian ini bermaksud untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan (role stress) terhadap kinerja (job performance) auditor yang diproksikan dengan judgment auditor. Tekanan dalam pekerjaan diduga akan berpengaruh pada judgment auditor ketika ia dihadapkan pada banyak tekanan di dalam pekerjaannya.
1.1. Latar Belakang Kualitas audit merupakan produk judgment individu dari auditor yang dipengaruhi oleh kompetensinya, sementara kompetensi auditor ditentukan oleh seberapa besar auditor dapat mematuhi standar profesionalnya, baik standar audit maupun kode etik profesi (Watkins et al., 2004). Kualitas judgment ini akan menunjukkan kinerja auditor dalam menjalankan penugasannya. Judgment auditor dipengaruhi oleh banyak hal, baik yang bersifat teknis maupun non teknis (Pflugrath et al.,
2
2007). Secara teknis, Yustrianthe (2012) mengemukakan bahwa judgment auditor antara lain dapat dipengaruhi oleh pengalaman, tekanan ketaatan baik dari atasan maupun entitas, kompleksitas tugas, ataupun gender, sedangkan secara non teknis Watkins et al. (2004) mengemukakan bahwa judgment auditor dapat dipengaruhi oleh lingkungan etika (ethical environment). Dengan demikian, tekanan/stress merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi judgment auditor. Stress yang dialami oleh karyawan pada berbagai organisasi, biasa disebut role stress (Fisher, 2001) atau job stress (Almer and Kaplan, 2002) banyak menjadi topik penting dalam penelitian di bidang keperilakuan, tak terkecuali di bidang akuntansi/auditing (Fogarty et al., 2000; Fisher, 2001; Almer and Kaplan, 2002; Pasewark and Viator, 2006). Beberapa penelitian menemukan bahwa stress akan berpengaruh pada kinerja auditor (Rebele and Michael, 1990; Fisher, 2001; Viator, 2001; Burney and Widener, 2007, Marginson and Bui, 2009). Rebele and Michael (1990), Viator (2001), dan Burney and Widener (2007) menguji anteseden dan konsekuensi dari role stress yang dialami auditor independen. Bentuk dari role stress yang diuji dalam penelitian tersebut adalah ambiguitas peran (role ambiguity) dan konflik peran (role conflict). Hasil ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa ambiguitas peran berhubungan dengan kinerja auditor, sementara konflik peran belum mendapatkan dukungan empiris yang cukup untuk menunjukkan adanya hubungan antara konflik peran dengan kinerja auditor. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh Marginson and Bui (2009) yang menguji potential human cost pada berbagai ekspektasi peran, menemukan adanya hubungan antara konflik peran dan kinerja auditor. Dukungan empiris bagi
3
hubungan antara konflik peran dan kinerja auditor ditunjukkan pula oleh hasil penelitian Fisher (2001), meskipun ia meneliti role stress sebagai variabel independen utama dan bukan sebagai variabel mediasi. Dengan adanya hasil penelitian yang belum konsisten ini perlu dilakukan suatu penelitian yang menguji hubungan antara role stress dengan kinerja untuk memperkuat dugaan adanya hubungan antara konflik peran dengan kinerja auditor. Dengan menginvestigasi hubungan antara stress dengan kinerja auditor, maka KAP dapat mengambil kebijakan yang sesuai untuk mengurangi dampak negatif dari tekanan yang dialami oleh auditor di tempat kerja, karena satu opsi mungkin akan sesuai dengan satu kondisi namun tidak bagi kondisi yang lain. Hasil penelitian sebelumnya yang masih belum konsisten tersebut kemungkinan dapat disebabkan oleh penggunaan metode yang diterapkan. Semua penelitian tersebut menggunakan metode survei dengan instrumen berupa kuesioner yang dikembangkan oleh Rizzo et al. (1970) yang berbentuk self perception (penilaian pada diri sendiri), sehingga yang diukur bukan kinerja auditor yang sesungguhnya namun penilaian auditor terhadap dirinya sendiri. Hasil penelitian dengan menggunakan metode survei dapat bersifat sangat subjektif karena jawaban yang diperoleh merupakan judgment subjektif dari responden (Rahman, 1986). Gould (2002) menyebutkan beberapa kelemahan survei, antara lain: terjadinya sampling error yang besar ketika jumlah sampelnya sangat kecil dan/atau tidak mencerminkan populasi; kejujuran dalam menjawab kuesioner dapat dipertanyakan terutama ketika kebenaran tersebut bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku umum; waktu, usaha, dan biaya yang dikeluarkan
4
cukup mahal dalam mengumpulkan, mengkodifikasi, dan menganalisis data dari survei; penyusunan kuesioner dan metode pengumpulan data sangat memengaruhi hasil survei; serta panjangnya kuesioner dapat memengaruhi ketertarikan responden pada penelitian dan responden menjadi tidak kooperatif. Beberapa kelemahan lain yang dapat terjadi dalam penggunaan metode survei dengan menggunakan instrumen kuesioner antara lain adalah terjadinya bias karena penggunaan kata-kata yang tidak tepat, seperti misalnya responden bingung terhadap maksud pertanyaan, responden menginterpretasikan pertanyaan dengan salah, responden sama sekali tidak mengerti maksud pertanyaan, akibatnya responden dapat menjawab sekenanya atau tidak menjawab sama sekali, yang disebut sebagai bias tidak merespon/ nonresponse bias (Hartono, 2008). Survei dengan menggunakan kuesioner yang dikirim lewat pos memiliki kelemahan antara lain adanya kemungkinan bahwa pihak yang mengisi kuesioner bukanlah pihak/responden yang dituju oleh peneliti. Dewasa ini telah berkembang survei dengan berbasis internet. Survei berbasis internet ini memiliki kelebihan dalam kecepatan respon dari subjek dan tingkat nonresponse bias yang lebih rendah dibandingkan survei lewat pos (Kwak and Radler, 2002). Nahartyo (2012) mengungkapkan bahwa kelemahan utama dalam penelitian survei adalah peneliti tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol variabel-variabel lain yang berpotensi memengaruhi variabel dependen namun tidak relevan dengan tujuan penelitian (biasa disebut sebagai variabel pengganggu atau extraneous variable). Meskipun telah diungkapkan beberapa kelemahan dari survei, namun survei secara umum memiliki beberapa keunggulan di bandingkan metode lain.
5
Beberapa keunggulan survei yang diungkapkan oleh Mathiyazhagan and Nandan (2000) antara lain: pengumpulan data yang lebih cepat dibandingkan metode lain; pengumpulan data relatif murah; data survei akan sangat akurat jika samplingnya probabilistik; cakupan akses partisipan yang luas; menggunakan metode, material, dan latar belakang dari situasi kehidupan yang nyata saat pengambilan data sehingga memberikan keyakinan validitas ecological; merupakan satu cara mendapatkan kembali informasi tentang pengalaman masa lalu responden; dan merupakan satu-satunya metode dimana generalisasi informasi dapat dikumpulkan dari hampir seluruh populasi manusia. Penelitian dalam disertasi ini mencoba untuk mengatasi kelemahan metode survei kuesioner tersebut, terutama berkaitan pengukuran kinerja dengan menggunakan self rating dalam metode survei diganti dengan pengukuran judgment auditor dengan menggunakan metode eksperimen. Pengerjaan dan pengumpulan data eksperimen ini dilakukan melalui media website di internet, sehingga penelitian ini disebut sebagai eksperimen berbasis internet, dengan memberikan perlakuan konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja pada auditor sebagai subjek eksperimen. Penggunaan metode eksperimen dalam penelitian ini diharapkan mampu melengkapi penelitian tentang role stress sehingga dapat memperkaya literatur yang ada. Pengujian dampak tekanan dalam pekerjaan yang dialami auditor dengan metode eksperimen sangat mungkin memberikan hasil yang berbeda dengan pengujian yang dilakukan melalui survei. Kekuatan utama dari penelitian eksperimen seperti diungkapkan Nahartyo (2012) adalah adanya kontrol yang dimiliki peneliti terhadap variabel independen yang
6
akan menyebabkan perubahan pada variabel dependen. Melalui manipulasi dari satu atau lebih variabel, dan dengan mengontrol variabel-variabel pengganggu, peneliti dapat memperoleh tingkat keyakinan yang tinggi terhadap kejadiankejadian mana yang menyebabkan suatu efek dan menentukan secara tepat mengenai bentuk yang tepat dari hubungan yang terjadi (Gould, 2002). Dengan demikian metode eksperimen lebih tepat digunakan untuk menguji hubungan sebab akibat antara dua atau lebih variabel. Dalam eksperimen, peneliti secara aktif memanipulasi variabel independen dan mengukur dampaknya pada variabel dependen, sedangkan pada metode lain, seperti survei misalnya, peneliti bersifat pasif terhadap variabel independen dan hanya mengukurnya bersama dengan proses pengukuran variabel dependen, oleh karena itu metode eksperimen dapat juga disebut sebagai metode riset aktif (Nahartyo, 2012). Keunggulan metode eksperimen dalam penelitian ini adalah peneliti dapat memanipulasi variabel konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja yang kemudian mengukur dampaknya pada kinerja auditor berupa judgment pengendalian internal klien. Dengan demikian, diharapkan pengukuran judgment auditor ini merupakan dampak dari variabel konflik peran, ambiguitas peran, ataupun kelebihan beban kerja, dan bukan karena variabel lain. Penelitian dengan menggunakan eksperimen berbasis internet memiliki keunggulan dibandingkan eksperimen tradisional dengan menggunakan kertas dan pena. Salganik and Watts (2009) menyebutkan keunggulan dari metode ini adalah meminimalisasi interaksi antar subjek dalam melakukan penugasan eksperimen karena partisipan diminta untuk membuat keputusan saat ini juga. Penelitian ini
7
akan memberikan kontribusi dalam metodologi karena sepanjang pengetahuan dan bacaan peneliti, belum ada penelitian yang menghubungkan antara ketiga bentuk tekanan dalam pekerjaan dan kinerja auditor dengan menggunakan metode eksperimen. Berkaitan dengan karakteristik individu, beberapa penelitian menemukan bahwa karakteristik individu mampu memengaruhi capaian pekerjaan dari seseorang (Keenan and McBain, 1979; Liedtka et al. 2008). Individu dengan karakteristik tertentu akan mengalami reaksi yang berbeda ketika dihadapkan pada masalah dan situasi yang sama. Sebagai contoh, Fisher (2001) menyebutkan bahwa individu tipe A (TAPB) dideskripsikan sebagai individu yang hiperaktif terhadap tekanan lingkungan. Ketika individu tersebut dihadapkan pada situasi pekerjaan yang tertekan maka ia cenderung akan bereaksi dengan usaha yang lebih keras untuk mencapai suatu tujuan, memiliki rasa persaingan yang tinggi, permusuhan, agresif, tidak sabar, dan mudah marah (Glass, 1977a, 1977b). Penelitian tentang karakteristik individu dalam hubungannya dengan tekanan dalam pekerjaan dan kinerja auditor, dilakukan oleh Fisher (2001) dengan memasukkan karakteristik individu tipe A sebagai moderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Individu tipe A tentunya akan bereaksi secara berbeda terhadap tekanan dalam pekerjaannya dibandingkan dengan individu tipe B. Namun hasil penelitian gagal untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan. Keenan and McBain (1979) melakukan penelitian di bidang psikologi yang mengkaitkan karakteristik TAPB dan tingkat toleransi terhadap ambiguitas
8
pada hubungan antara role stress dengan capaian pekerjaan. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja yang lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang menoleransi ambiguitas. Perlunya memasukkan karakteristik individu dalam penelitian ini disebabkan perbedaan karakteristik seseorang akan memberikan perbedaan respon terhadap perlakuan yang diberikan, sehingga mungkin akan memengaruhi hasil penelitian. Auditor yang memiliki karakter yang toleran atau tidak toleran terhadap ambiguitas diduga akan memengaruhi judgment yang dibuatnya. Auditor yang memiliki karakteristik yang tidak toleran terhadap ambiguitas akan memiliki perasaan tidak nyaman jika dihadapkan pada situasi yang ambigu dan akan selalu berusaha untuk menyangkalnya, sehingga akan mempengaruhi judgment yang dibuatnya. Di sisi lain, jika auditor memiliki karakteristik yang toleran terhadap ambiguitas, tidak akan mempengaruhi judgment yang dibuatnya meskipun pada kondisi ambiguitas peran yang tinggi. Terdapat dugaan bahwa tingkat toleransi terhadap ambiguitas ini akan memperlemah atau memperkuat hubungan antara ambiguitas peran dan judgment auditor. Sepanjang pengetahuan peneliti, masih sangat jarang penelitian di bidang psikologi, teori organisasi, dan terutama akuntansi, yang menguji dampak variabel tingkat toleransi terhadap ambiguitas pada hubungan antara role stress dengan kinerja. Dengan memahami karakteristik individu, KAP dapat mengambil kebijakan yang dapat mengurangi hubungan negatif antara stress dengan kinerja auditor.
9
Disertasi ini bertujuan untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan yang bersumber dari konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja, terhadap judgment yang diberikan oleh auditor. Selain itu, penelitian ini juga ingin menguji apakah variabel karakteristik individu, yaitu tingkat toleransi terhadap ambiguitas memoderasi hubungan antara ambiguitas peran dengan judgment yang dibuat oleh auditor. Tekanan yang dihadapi oleh auditor ini dapat berdampak positif (eustress) maupun negatif (distress) pada auditor (Jarinto, 2010; Saether, 2011), dan tingkat toleransi terhadap ambiguitas diduga akan memperkuat atau memperlemah hubungan antara ambiguitas peran dan kinerja auditor tersebut. Baker (1977) menyatakan bahwa profesi akuntan publik memiliki potensi konflik dan ketidakjelasan peran yang tinggi. Murtiasri (2007) menyebutkan bahwa salah satu sumber dari stress adalah terperangkapnya auditor dalam situasi di mana auditor tidak dapat lepas dari tekanan dalam pekerjaan. Sebagai boundary spanners, yaitu orang yang berinteraksi dengan banyak orang, baik dari dalam maupun dari luar organisasi, dengan tuntutan dan ekspekstasi yang berbeda, profesi akuntan publik memiliki tingkat stress yang tinggi berkaitan dengan kebutuhan untuk memahami dan memenuhi ekspektasi dari banyak pihak tersebut (Fisher, 2001). Beberapa penelitian menemukan bahwa stress dapat berdampak pada tingkat turnover auditor pada Kantor Akuntan Publik (Fogarty et al. 2000; Almer and Kaplan, 2002; Pasewark and Viator, 2006). Dengan demikian, tingginya tingkat stress pada auditor dapat diindikasikan dari tingginya pergantian auditor (employee turnover) di KAP. Pasewark and Viator (2006) menyatakan bahwa
10
turnover auditor di KAP merupakan masalah yang cukup serius, tingkat turnover di beberapa tahun terakhir berkisar antara 10% sampai 16% per tahun. Survei pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti di beberapa KAP terkemuka di Yogyakarta, menunjukkan bahwa terdapat turnover auditor yang tinggi, terutama di level auditor junior. Dari jumlah karyawan yang berkisar antara 25 hingga 30 orang pada satu KAP, rata-rata terjadi perekrutan 10-15 karyawan baru setiap tahunnya. Hasil wawancara dengan beberapa auditor yang telah keluar menyebutkan bahwa mereka keluar dengan alasan banyaknya pekerjaan yang harus mereka tangani sehingga terkadang mereka harus melakukan lembur selama berhari-hari untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Banyaknya pekerjaan yang harus ditangani atau kelebihan beban kerja ini merupakan salah satu bentuk tekanan dalam pekerjaan. Hasil survei awal tersebut menemukan bahwa auditor dihadapkan pada berbagai macam bentuk tekanan, namun tekanan yang dialami tersebut pada intinya dapat dibedakan ke dalam dua hal, yaitu tekanan yang dialami oleh auditor pada level atas (yaitu partner atau manajer) dan tekanan yang dihadapi oleh auditor level bawah (auditor junior dan senior). Berdasarkan hasil wawancara dengan partner di beberapa KAP, tekanan yang dihadapi oleh auditor level bawah, terutama auditor junior pada dasarnya lebih disebabkan oleh keterbatasan kecakapan atau ketrampilan yang dimiliki olehnya. Auditor junior akan lebih mengalami tekanan dalam pekerjaan (role stress) dikarenakan ia belum terbiasa dengan kondisi dan situasi kerja saat melaksanakan penugasannya. Tekanan tersebut dapat berasal dari ambiguitas peran, konflik peran, maupun kelebihan
11
beban kerja yang dihadapinya saat menjalankan penugasan audit. Berbeda halnya dengan tekanan yang dihadapi oleh auditor level atas. Auditor level atas tidak lagi menghadapi tekanan yang berasal dari ambiguitas peran, konflik peran maupun kelebihan beban kerja, hal ini disebabkan karena auditor level atas telah terbiasa dalam melakukan penugasan audit, sehingga ia cenderung dapat mengelola pekerjaan dan waktunya dengan baik. Tekanan yang dihadapi oleh auditor level atas lebih disebabkan oleh adanya pemeriksaan, baik oleh teman sejawat (peer review) maupun oleh instansi lain, seperti misalnya dari kantor pajak. Hal yang paling dikhawatirkan dan menimbulkan tekanan, lebih pada ketakutan dalam menghadapi adanya ancaman litigasi dari klien. Smith and Everly (1990) menunjukkan bahwa orang yang memiliki kekuasaan (power) dan jaminan kerja (job security) lebih besar (misalnya tenured individual) baik yang berasal dari akademisi maupun dari praktisi, dilaporkan mempunyai penyebab stress dan gejala fisik yang berhubungan dengan stress yang secara signifikan lebih rendah, serta memiliki perilaku pengatasan stress yang relatif lebih tinggi dibandingkan yang masih level junior. Berdasarkan alasan tersebut, maka perlu untuk dibedakan antara penelitian yang menguji tekanan yang dihadapi oleh auditor level atas dan level bawah. Penelitian ini mencoba untuk menguji tekanan dalam pekerjaan yang dihadapi oleh auditor level bawah yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja, yang dikaitkan dengan kualitas penilaiannya dalam melaksanakan penugasan audit. Teori yang mendukung penelitian di bidang ini adalah Teori Peran (Role Theory) yang dikemukakan oleh Kahn et al. tahun 1964 sebagaimana yang
12
disebutkan dalam Pfeffer (1982) bahwa teori Peran menekankan sifat individual sebagai pelaku sosial yang mempelajari perilaku sesuai dengan posisi yang ditempatinya di lingkungan kerja dan masyarakat. Individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada diri seseorang. Salah satu sumber stress yang pada umumnya dihadapi oleh banyak individu dalam setting pekerjaan adalah role stress (Fisher, 2001) atau job stress (Almer and Kaplan, 2002). Tekanan dalam pekerjaan (role stress) menunjukkan seberapa luas ekspektasi serangkaian peran anggota organisasi menghadapi situasi yang mengandung tiga konstruk, yaitu: a) ketidakjelasan peran (ambiguity), b) ketidaksesuaian peran sehingga antar peran bertentangan satu dengan lainnya (conflict) dan c) beratnya tekanan dalam pekerjaan (overload) (Wolfe and Snoek, 1962). Sementara Almer and Kaplan (2002) yang memperluas penelitian yang dilakukan oleh Fogarty et al. (2000) menyebutkan tiga bentuk job stressors, yaitu: a) konflik peran (role conflict), b) ambiguitas peran (role ambiguity), dan c) kelebihan beban kerja (role overload). Konflik peran terjadi ketika karyawan menghadapi ketidakcocokan harapan seperti kepatuhan pada satu ekspektasi akan membuatnya sulit atau tidak mungkin untuk secara efektif memenuhi ekspektasi yang lain (Kahn et al. 1964), sementara ambiguitas peran muncul ketika karyawan tidak cukup informasi untuk kinerja yang efektif dari peran tertentu (Senatra, 1980). Role overload dinyatakan oleh Schick et al.(1990) terjadi ketika auditor memiliki beban pekerjaan sangat berat yang tidak sesuai dengan waktu dan kemampuan yang dimiliki. Penelitian ini akan menguji tekanan dalam pekerjaan yang
13
bersumber dari konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja, seperti halnya yang dilakukan oleh Fogarty (2000) dan Almer and Kaplan (2002). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada penggunaan metode eksperimen untuk mendapatkan hasil penelitian yang lebih objektif, serta memasukkan
karakteristik
tingkat
toleransi
terhadap
ambiguitas
untuk
memoderasi hubungan antara ambiguitas peran dengan kinerja auditor. Pentingnya memasukkan karakteristik ini karena auditor yang toleran terhadap ambiguitas mungkin akan bereaksi berbeda dibandingkan dengan auditor yang tidak toleran terhadap ambiguitas, karena individu yang tidak toleran terhadap ambiguitas akan merasa tidak nyaman pada situasi yang ambigu sehingga ia cenderung akan melakukan penyangkalan atas ketidaknyamanan tersebut sehingga akan berpengaruh pada judgment yang dibuatnya, namun tidak demikian halnya pada individu yang toleran terhadap ambiguitas. Sejumlah penelitian telah menguji beberapa anteseden dari tekanan dalam pekerjaan, antara lain Boundary Spanning Activity (Rebele and Michaels, 1990); Strategic Performance Measurement System dan Job Relevant Information (Burney and Widener, 2007); Iklim Organizational (Senatra, 1980), Status Organisasional (Pei and Davis, 1989), dan Mentor (Viator, 2001). Sementara role stress akan membawa pada beberapa konsekuensi dari job outcome, seperti: Kepuasan Kerja (Almer and Kaplan, 2002; Fisher, 2001; Pasewark and Strawser, 1996; Collins and Killough, 1992; Senatra, 1980); Job Performance (Burney and Widener, 2007; Fisher, 2001; Rebele and Michael, 1990); Turnover Intention
14
(Almer and Kaplan, 2002; Viator, 2001; Collins and Killough, 1992; Senatra, 1980); dan Job-Related Tension (Rebele and Michael, 1990; Senatra, 1980). Terdapat dua isu pokok dalam penelitian ini, yaitu: (1) tekanan dalam pekerjaan dan (2) tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Berkaitan dengan isu yang pertama, penelitian ini bermaksud untuk menguji pengaruh tekanan dalam pekerjaan terhadap pertimbangan (judgment) yang dibuat oleh auditor. Penilaian kinerja dari auditor menjadi hal yang penting bagi Kantor Akuntan Publik (KAP), mereka bahkan bersedia untuk memakai metode yang rumit yang mengonsumsi banyak waktu dan sumberdaya, untuk dapat mengukur kinerja anggotanya dengan baik (Fogarty, 1994). Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) menjadi pedoman bagi auditor dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam SPAP disebutkan bahwa tujuan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen adalah untuk menyatakan pendapat tentang kewajaran dalam semua hal yang material, posisi keuangan, hasil operasi, serta arus kas sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum. Tanggung jawab manajemen adalah menyelenggarakan pengendalian intern yang memadai dan menyajikan laporan keuangan yang wajar atas jalannya operasi yang dilakukan perusahaan. Sementara tanggung jawab auditor adalah merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh kepastian yang layak tentang apakah laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material, baik yang disebabkan oleh kekeliruan ataupun kecurangan/kesengajaan. Dalam kaitannya dengan tujuan audit yang berkaitan dengan saldo suatu akun/rekening, auditor dihadapkan pada beberapa pekerjaan, antara lain:
15
memastikan eksistensi jumlah yang tercantum memang ada, memeriksa kelengkapan jumlah yang dicantumkan, mengecek keakuratan jumlah yang tercantum telah dinyatakan dengan benar, dan lain-lain, ataupun saat auditor menilai pengendalian internal dari perusahaan klien. Berkaitan dengan hal itu, auditor dihadapkan pada sejumlah pertimbangan (judgment) dan keputusan (decision) yang harus dibuat berkaitan dengan pekerjaannya. Beberapa penelitian mencoba menguji kinerja auditor berdasarkan pertimbangan (judgment) yang dibuat oleh auditor. Hasil penelitian yang dilakukan Arnold et al. (2000) menunjukkan bahwa limit waktu memengaruhi waktu yang dibutuhkan individual untuk membuat keputusan, mengganggu proses pembuatan keputusan, namun nampaknya memengaruhi grup secara berbeda tergantung pada lingkungan keputusan. Penelitian lain dilakukan oleh Guess et al. (2000) menemukan bahwa risiko dan ambiguitas secara signifikan memengaruhi estimasi waktu audit yang dianggarkan oleh auditor. Sejalan dengan penelitianpenelitian tersebut, diduga bahwa tekanan dalam pekerjaan akan memberikan pengaruh pada judgment auditor ketika auditor dihadapkan pada banyak tekanan di dalam pekerjaannya. Isu kedua berkaitan dengan tipe kepribadian yang tidak atau yang menoleransi ambiguitas, yang memoderasi hubungan antara ambiguitas peran dengan kinerja auditor. Seseorang yang memiliki tipe kepribadian yang tidak menoleransi adanya ambiguitas (ambiguity intolerant), cenderung untuk menerima situasi yang ambigu sebagai suatu ancaman (Budner, 1962). Ketidaktoleransian terhadap ambiguitas dapat memengaruhi persepsi dan
16
judgment dalam berbagai bidang, termasuk juga akuntansi. Auditor yang tidak menoleransi ambiguitas akan memersepsikan proses audit secara berbeda (Gupta and Fogarty, 1993) dan akan kurang yakin/percaya diri dalam memberikan opini pada laporan keuangan (Pincus, 1991). Berhubungan dengan ambiguitas, individual yang tidak menoleransi ambiguitas biasanya akan bereaksi dengan cara menunjukkan ketidaknyamanannya (Liedtka et al. 2008). Satu reaksi yang mungkin dilakukan adalah penyangkalan, atau mengubah realita yang ada agar sesuai dengan keinginan dari si penerima. Sebagai contoh, individu yang tidak menoleransi ambiguitas akan mengecilkan
atau
mengabaikan
petunjuk-petunjuk
yang
ambigu
untuk
menghindari mempertimbangkan informasi yang membuatnya tidak nyaman. Dengan demikian individu yang memiliki tingkat toleransi ambiguitas yang rendah atau tidak menoleransi adanya situasi yang ambigu cenderung akan memandang segala sesuatunya menjadi hitam dan putih. Beberapa penelitian menemukan bahwa individu yang memiliki tipe kepribadian yang tidak menoleransi atau menoleransi ambiguitas akan berpengaruh pada capaian (outcome) pekerjaannya. Keenan and McBain (1979) menemukan adanya korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang menoleransi ambiguitas. Sementara Liedtka et al. (2008) mendokumentasikan bahwa pola dalam mengevaluasi Balanced Scorecards (BSC) bervariasi dengan kualitas dari evaluator. Hasil penelitiannya menemukan bahwa evaluator yang tidak menoleransi ambiguitas dapat memengaruhi reaksi mereka pada variasi
17
diantara pengukuran kinerja dalam kategori BSC. Khususnya, variabilitas akan memengaruhi evaluasi dari individual yang tidak menoleransi ambiguitas ketika kinerja dalam kategori BSC yang relevan relatif kuat, namun tidak ketika kategori BSC yang relevan relatif lemah. Sebaliknya, Liedtka et al. (2008) tidak menemukan bukti bahwa variabilitas kinerja dalam kategori BSC berdampak pada evaluasi dari evaluator yang menoleransi ambiguitas. Hasil ini konsisten dengan argumen bahwa individu yang tidak menoleransi ambiguitas lebih mungkin tidak memperhitungkan atau mengabaikan info yang ambigu ketika ambiguitas tersebut berkaitan dengan informasi yang positif. Dengan demikian individu yang memiliki tipe kepribadian yang tidak menoleransi ambiguitas akan mengalami ambiguitas peran yang rendah sehingga berdampak pada kualitas kinerjanya akan meningkat. Dalam hal ini diasumsikan bahwa ketidaktoleransian terhadap ambiguitas akan mendorong individu untuk menghindari peran kerja yang ambigu kapan saja hal tersebut dimungkinkan.
1.2. Perumusan Masalah Profesi akuntan publik sangat rentan terhadap kondisi stress yang disebabkan oleh tuntutan pekerjaan. Sebagai boundary spanners, menyebabkan auditor memiliki potensi konflik dan ketidakjelasan peran yang tinggi sebagaimana dinyatakan oleh Baker (1977). Tekanan dalam pekerjaan menunjukkan seberapa luas serangkaian ekspektasi peran anggota organisasi menghadapi situasi yang berkaitan dengan ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja.
18
Konsekuensi dan capaian dari tekanan tidak selalu bersifat negatif (distress), tetapi dapat juga positif (eustress). Hal ini tergantung pada persepsi individu, interpretasi, reaksi terhadap tekanan dan pemicu stress, serta bagaimana mereka dapat mengelola sensor mereka untuk mengubah kekurangan menjadi tantangan untuk meningkatkan kinerja mereka (Al-Khasawneh and Futa, 2013). Distress akan berdampak pada penurunan kinerja, sementara eustress akan berdampak pada peningkatan kinerja. Penelitian yang menghubungkan antara tekanan peran yang berasal dari dalam (tekanan dalam pekerjaan) dan luar organisasi, menemukan hasil yang masih belum konsisten. Banyak penelitian yang menemukan adanya hubungan negatif antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja (Rebele and Michaels, 1990; Burney and Widener, 2007; Fisher, 2001; Marginson and Bui, 2009; Jamal, 2011), sementara beberapa penelitian menemukan hasil yang berlawanan, yaitu terdapat hubungan positif antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja (Meglino, 1977; Saether, 2011). Hal ini diperkuat oleh sejumlah peneliti yang menemukan adanya hubungan inverted-U antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja (Yerkes and Dodson, 1908; Onyemah, 2008), penelitian-penelitian ini mengemukakan bahwa individu pada level tekanan yang sangat rendah atau sangat tinggi akan menghasilkan kinerja yang rendah, sementara pada tingkat stress menengah akan memicu individu untuk menghasilkan kinerja yang tinggi. Hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja pada lingkungan auditor, masih menemukan hasil yang juga belum konsisten. Rebele and Michaels (1990) dan Burney and Widener (2007) memperlihatkan bahwa
19
ketidakpastian lingkungan dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan kinerja, sedangkan konflik peran tidak memperoleh dukungan bukti. Pada sisi yang lain, penelitian Fisher (2001) dan Marginson and Bui (2009) menemukan bahwa meningkatnya konflik peran akan mendorong pada menurunnya kinerja. Fisher (2001) mengukur kinerja auditor secara umum, dengan mengambil sampel 169 responden auditor di dua KAP besar yang termasuk the Big 6 di New Zealand. Responden yang dipilih adalah responden yang setidaknya telah mempunyai pengalaman selama 1 tahun (12 bulan). Pengukuran kinerja menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Choo (1986). Sementara Marginson and Bui (2009) mengukur kinerja manajer yang multi fungsi, dalam hal ini manajer dituntut sebagai pimpinan yang ‘creative innovation’dan juga dapat mencapai tujuan perusahaan. Sampel yang digunakan sebanyak 229 responden yang merupakan manajer tingkat menengah yang diambil dari empat diantara delapan bisnis unit di Telserve, yang meliputi bagian mesin, pengembangan produk, penjualan dan pemasaran, serta operasi. Pengukuran menggunakan instrumen yang dikembangkan oleh Mahoney et al.(1963, 1965). Rebele and Michaels (1990) menguji anteseden dan konsekuensi dari tekanan peran yang dihadapi oleh auditor. Dinyatakan dalam penelitian ini bahwa tekanan peran berhubungan dengan kepuasan kerja yang rendah, meningkatnya tension yang berhubungan dengan pekerjaan, kinerja yang rendah, dan keinginan yang tinggi untuk keluar dari pekerjaan. Sampel yang digunakan adalah 211 auditor yang bekerja pada empat KAP internasional besar. Penelitian Rebele and Michaels (1990) ini menggunakan auditor yang telah berpengalaman minimal
20
satu tahun, dan pengukuran kinerja menggunakan instrumen yang dikembangkan sendiri oleh peneliti. Sementara Burney and Widener (2007) mengeksplorasi respon perilaku manajerial yang berhubungan dengan sistem pengukuran kinerja perusahaan yang terhubung dengan strategi dari perusahaan. Penelitian ini menggunakan 700 responden yang berasal dari manajer yang menjadi anggota Institute of Management Accountants (IMA). Alasan pemilihan sampel ini karena diasumsikan bahwa anggota IMA merupakan informan yang berpengetahuan tentang isi dan pekerjaan dari sistem kinerja organisasi. Pengukuran kinerja yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan dari literatur-literatur yang mendasari penelitian ini. Rebele and Michaels (1990) dan Burney and Widener (2007) menemukan bahwa konflik peran tidak berpengaruh terhadap kinerja, sementara Fisher (2001) dan Marginson and Bui (2009) menemukan hasil yang sebaliknya. Rebele and Michaels (1990) dan Fisher (2001) menggunakan auditor sebagai subjek penelitian, sementara Burney and Widener (2007) dan Marginson and Bui (2009) menggunakan manajer sebagai subjeknya, hal ini berarti bahwa subjek penelitian mungkin bukan merupakan penyebab adanya perbedaan hasil penelitian tersebut. Jika ditilik dari jumlah responden penelitian, tidak terlalu menampakkan beda yang besar, sehingga mungkin jumlah responden bukanlah faktor penyebab perbedaan tersebut. Metode pengumpulan data dari keempat penelitian tersebut dilakukan dengan survei dan menggunakan instrumen berupa kuesioner yang berbentuk self perception untuk pengukuran kinerja. Penggunaan pengukuran self perception memiliki kelemahan berkaitan dengan subjektifitas dari jawaban yang
21
diberikan responden untuk mengukur kinerja dari auditor. Pengukuran berupa self perception
memiliki
kelemahan
bahwa
persepsi
ini
barangkali
tidak
mencerminkan fakta yang sesungguhnya (fakta yang objektif) karena sifatnya yang sangat subjektif (Rahman, 1986; Saether, 2011). Besar kemungkinan penggunaan metode survei ini merupakan salah satu penyebab perbedaan hasil penelitian. Sementara itu, pengukuran dengan menggunakan metode survei kuesioner dan berbentuk persepsi, tidak mengukur kinerja auditor yang sesungguhnya, karena tidak berkaitan dengan pekerjaan auditnya. Oleh karena itu perlu untuk meneliti keterkaitan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja audit yang dihubungkan dengan penugasan audit, misalnya pertimbangan yang dibuat oleh auditor dalam penugasannya. Tekanan dalam pekerjaan, yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja, diduga akan memengaruhi judgment yang dibuat oleh auditor. Dengan demikian pertanyaan penelitian 1 yang diajukan adalah sebagai berikut: Apakah auditor yang mengalami tekanan dalam pekerjaan akan membuat judgment yang berbeda dengan auditor yang tidak mengalami tekanan dalam pekerjaan? Karakteristik individu diduga menjadi variabel yang memoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja auditor. Fisher (2001) memasukkan karakteristik individu tipe A sebagai moderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Individu yang memiliki karakteristik tipe A yang digambarkan sebagai individu yang hiper reaktif terhadap tekanan lingkungan (kompetitif, agresif, berusaha keras untuk
22
mencapai prestasi, dan seterusnya), tentunya akan bereaksi secara berbeda dibandingkan dengan individu tipe B yang digambarkan sebagai individu yang sebaliknya, dalam merespon adanya tekanan dalam pekerjaannya. Namun hasil penelitian gagal untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan. Kegagalan untuk memperoleh dukungan tersebut menimbulkan pertanyaan, barangkali ada variabel karakteristik individu yang lain yang mungkin memoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dari auditor, seperti misalnya tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Keenan and McBain (1979) di bidang psikologi menemukan adanya hubungan kuat antara role ambiguity dengan ketidakpuasan dalam pekerjaan pada grup yang memiliki kepribadian tipe A dibandingkan grup yang memiliki kepribadian tipe B. Selain menginvestigasi karakteristik kepribadian tipe A pada hubungan antara role stress dengan capaian kerja, Keenan and McBain (1979) juga meneliti tentang karakteristik kepribadian yang lain, yaitu tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Mereka menemukan adanya korelasi antara ambiguitas peran dengan kepuasan kerja yang lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang menoleransi ambiguitas. Sementara Liedtka et al.(2008) mengkaitkan kepribadian yang tidak menoleransi ambiguitas dengan pengukuran kinerja menggunakan Balanced Scorecards (BSC). Mereka mendokumentasikan bahwa pola dalam mengevaluasi BSC bervariasi sesuai dengan kualitas evaluator. Hasil penelitiannya menemukan bahwa evaluator yang tidak menoleransi ambiguitas dapat memengaruhi reaksi mereka pada variasi diantara pengukuran kinerja dalam kategori BSC. Khususnya,
23
variabilitas akan memengaruhi evaluasi individu yang tidak menoleransi ambiguitas ketika kinerja dalam kategori BSC yang relevan relatif kuat, namun tidak terjadi ketika kategori BSC yang relevan relatif lemah. Sebaliknya, Liedtka et al.(2008) tidak menemukan bukti bahwa variabilitas kinerja dalam kategori BSC berdampak pada evaluasi dari evaluator yang menoleransi ambiguitas. Kedua penelitian tersebut yang mendasari pemikiran bahwa tingkat toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi (toleran terhadap ambiguitas), meskipun ambiguitas perannya tinggi tidak akan berpengaruh pada kinerjanya, sehingga kinerjanya akan tetap baik. Karena subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah auditor level bawah, maka auditor senior dan auditor junior yang memiliki karakteristik toleran terhadap ambiguitas akan meminimalisir atau memperkuat dampak dari ambiguitas peran terhadap judgment yang dibuatnya. Dengan demikian pertanyaan penelitian 2 yang diajukan adalah sebagai berikut:
Apakah kinerja pada auditor yang mengalami tekanan dalam pekerjaan akan lebih tinggi pada individu yang toleran terhadap ambiguitas dibandingkan individu yang tidak toleran terhadap ambiguitas, atau sebaliknya? Penelitian ini menguji tekanan dalam pekerjaan yang dihadapi oleh
auditor level bawah yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja, yang dikaitkan dengan kualitas penilaiannya dalam melaksanakan penugasan audit. Dengan demikian subjek yang diteliti dalam penelitian ini adalah auditor level bawah, khususnya auditor junior.
24
1.3. Motivasi Penelitian Kantor Akuntan Publik (KAP) sangat berkepentingan dengan penilaian kinerja dari anggotanya, mereka bahkan memakai
metode yang rumit,
yang
mengkonsumsi waktu dan sumber daya yang besar, hanya untuk mengukur kinerja (Fogarty, 1994). Kinerja tidak saja merupakan pengukuran kepatuhan individu terhadap tuntutan profesinya, tetapi juga merupakan internalisasi standar dari keunggulan yang telah dicapai. Sejumlah penelitian telah menguji hubungan antara tekanan peran dan kinerja. Rebele and Michaels (1990) dengan menggunakan 155 auditor dari empat perusahaan sebagai sampel penelitiannya menemukan bahwa ketidakpastian lingkungan dan ambiguitas peran berhubungan negatif dengan kinerja auditor. Namun hal serupa tidak terjadi pada hubungan antara konflik peran dengan kinerja. Sementara hasil penelitian yang dilakukan oleh Fisher (2001) menunjukkan bahwa ambiguitas peran dan konflik peran berhubungan dengan kinerja auditor. Penelitian-penelitian terkait di beberapa tahun terakhir, antara lain dilakukan oleh Burney and Widener (2007) yang menguji anteseden dan konsekuensi dari tekanan peran yang dialami oleh auditor independen. Hasil penelitian menunjukkan hasil yang sama dengan Rebele and Michaels (1990) bahwa ambiguitas peran dan ketidakpastian lingkungan berhubungan negatif dengan kinerja, namun hubungan konflik peran dengan kinerja tidak memperoleh dukungan yang cukup. Penelitian yang dilakukan oleh Marginson and Bui (2009)
25
memberikan hasil yang mendukung Fisher (2001) bahwa meningkatnya konflik peran akan mendorong pada menurunnya kinerja. Hasil dari keempat penelitian di atas memperlihatkan hasil yang belum konsisten, hal ini menunjukkan bahwa pengukuran yang digunakan untuk mengukur kinerja auditor mungkin belumlah tepat. Mereka menggunakan pengukuran self perception yang memiliki kelemahan berkaitan dengan subjektifitas dari jawaban yang diberikan responden untuk mengukur kinerja dari auditor. Selain itu penggunaan metode survei juga masih memungkinkan adanya faktor-faktor lain di luar variabel penelitian yang diteliti yang dapat memengaruhi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dan kinerja. Pengukuran dengan menggunakan metode survei kuesioner dan berbentuk persepsi, tidak mengukur kinerja auditor yang sesungguhnya, karena tidak berkaitan dengan pekerjaan auditnya. Oleh karena itu perlu untuk meneliti keterkaitan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja audit yang dihubungkan dengan penugasan audit, misalnya auditor diminta untuk membuat pertimbangan dalam melaksanakan penugasan penelitian, dengan demikian kinerja auditor yang diteliti merupakan pencerminan kinerja auditor yang sesungguhnya. Pemberian perlakuan dalam penelitian disertasi ini yang berupa tekanan dalam pekerjaan yang bersumber dari ambiguitas peran, konflik peran dan kelebihan beban kerja diduga akan berdampak bagi auditor dalam menjalankan penugasannya, sehingga akan memengaruhi pertimbangan/judgment-nya. Sejalan dengan Nahartyo (2012), dengan penggunaan metode eksperimen peneliti dapat mengontrol variabel lain yang tidak relevan dengan tujuan penelitian yang berpotensi memengaruhi
26
variabel dependen, dan peneliti dapat secara aktif memanipulasi variabel independen dan mengukur dampaknya pada variabel dependen, sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja auditor yang terjadi memang disebabkan oleh perlakuan ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja yang diberikan oleh peneliti. Sepanjang pengetahuan dan bacaan peneliti, masih belum ada penelitian yang menguji hubungan antara tekanan dalam pekerjaan yang berasal dari ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja, dengan kinerja auditor yang sesungguhnya dengan menggunakan desain eksperimen sehingga mendorong peneliti untuk mengembangkan penelitian ini. Selama ini, sebagian besar penelitian yang menghubungkan tekanan dalam pekerjaan dan kinerja auditor menggunakan desain survei, sehingga pengukuran kinerja dilakukan dengan menggunakan ukuran self perception atau superior rating yang sifatnya sangat subjektif dalam menilai kinerja dari individu. Memasukkan karakteristik individu dalam menguji hubungan tersebut, penting karena tipe individu yang berbeda tentunya akan merespon tekanan yang dihadapinya juga secara berbeda. Fisher (2001) memasukkan karakteristik individu tipe A sebagai pemoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dan kepuasan kerja dari auditor. Namun hasil penelitian gagal untuk menemukan dukungan terhadap hipotesis yang diajukan. Kegagalan untuk memperoleh dukungan tersebut memberikan motivasi bagi peneliti, barangkali ada variabel karakteristik individu yang lain yang mungkin memoderasi hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja dari auditor, seperti misalnya tingkat toleransi terhadap ambiguitas. Tingkat toleransi terhadap ambiguitas
27
merupakan salah satu karakteristik individu yang berkaitan dengan tekanan dalam pekerjaan. Keenan and McBain (1979) di bidang psikologi meneliti karakteristik tingkat toleransi ambiguitas terhadap hubungan antara ambiguitas peran dan kepuasan kerja. Mereka menemukan adanya korelasi antara ambiguitas peran dan kepuasan kerja yang lebih tinggi pada grup yang tidak menoleransi ambiguitas dibandingkan grup yang menoleransi ambiguitas. Penelitian di bidang akuntansi dilakukan oleh Liedtka et al.(2008) yang mengkaitkan kepribadian yang tidak menoleransi ambiguitas dengan pengukuran kinerja menggunakan BSC. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa evaluator yang tidak menoleransi ambiguitas dapat memengaruhi reaksi mereka pada variasi diantara pengukuran kinerja dalam kategori BSC. Berdasar penelitian-penelitian tersebut, masih belum ada penelitian di bidang akuntansi yang mengkaitkan antara tingkat toleransi terhadap ambiguitas pada hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dan capaian kinerja yang dilakukan oleh auditor, khususnya dalam membuat judgment audit.
1.4. Kontribusi Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sejumlah kontribusi dalam pengembangan teori, metodologi penelitian, dan praktik. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan bukti empiris tentang kesahihan teori peran melalui eksperimen lapangan. Dalam Positive Accounting Theory (PAT) yang diungkapkan oleh Watts and Zimmerman (1986), sebuah teori positif dibangun dengan menggabungkan penelitian-penelitian empiris. Pengembangan teori
28
berawal dari pemikiran peneliti untuk menjelaskan beberapa fenomena. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan dukungan empiris pada teori peran. Teori peran menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada dirinya (Kahn et al. 1964). Sumber stress atau tekanan yang dihadapi oleh banyak individu dalam setting pekerjaan inilah yang disebut sebagai role stress atau job stress. Banyak penelitian yang menghubungkan bentuk dari tekanan dalam pekerjaan ini, yaitu ambiguitas peran, konflik peran, dan kelebihan beban kerja dengan kinerja dari auditor. Namun hasil penelitian-penelitian tersebut masih belum memberikan hasil yang konsisten. Sejumlah penelitian menyebutkan bahwa ambiguitas peran saja yang berhubungan dengan kinerja, sementara konflik peran tidak berhubungan dengan kinerja (Burney and Widener, 2007; Rebele and Michaels, 1990), sementara penelitian yang dilakukan oleh Fisher (2001) dan Marginson and Bui (2009) menemukan hasil yang berbeda, konflik peran berhubungan dengan kinerja, dengan semakin meningkatnya konflik peran maka akan menurunkan kinerja. Keempat penelitian yang tidak konsisten tersebut belum terkait erat dengan pekerjaan audit, dengan demikian hasil penelitian dengan menggunakan pertimbangan auditor dalam penugasan pembuatan judgment yang sesungguhnya ini, diharapkan mampu memperjelas arah hubungan antara konflik peran dengan kinerja dari auditor. Teori peran yang dikemukakan oleh Kahn et al. (1964) menyatakan bahwa individu akan mengalami konflik dalam dirinya apabila terdapat dua tekanan atau lebih yang terjadi secara bersamaan yang ditujukan pada dirinya. Peneliti sebelumnya
29
menguji ketiga bentuk dari tekanan dalam pekerjaan secara terpisah, namun penelitian ini mencoba untuk mengkombinasikan ketiga bentuk peran tersebut karena seorang auditor mungkin tidak hanya mengalami satu bentuk tekanan saja di dalam pekerjaannya, namun kemungkinan ia dapat mengalami lebih dari satu tekanan secara bersamaan. Sepanjang pengetahuan peneliti, belum ada penelitian yang melakukan hal ini, dengan demikian diharapkan hasil penelitian ini mampu memberikan kontribusi bagi pengembangan teori peran. Penelitian ini memberikan kontribusi bagi akuntansi karena penugasan dalam penelitian ini adalah penugasan pembuatan kertas kerja audit dan pengambilan judgment atas pengendalian internal klien, sehingga meskipun penelitian ini banyak mengambil teori dari psikologi namun fenomena yang terjadi adalah bidang akuntansi. Dalam bidang audit, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya literatur bahwa auditor mungkin tidak hanya mengalami satu bentuk tekanan saja dalam dirinya seperti konflik peran saja, ambiguitas peran saja, atau kelebihan beban kerja saja, namun sangat mungkin ia mengalami lebih dari dua tekanan secara bersamaan sehingga dapat mempengaruhi judgment yang dibuat olehnya. Ketika tekanan dalam pekerjaan mempengaruhi judgment auditor, maka selanjutnya akan berdampak pada laporan audit yang dihasilkannnya. Kontribusi teori yang kedua adalah memperkuat literatur tentang pengaruh karakteristik individu pada hubungan antara role stress dengan kinerja auditor. Penggunaan variabel tingkat toleransi terhadap ambiguitas sebagai variabel moderasi dalam hubungan antara ambiguitas peran dengan kinerja auditor, diduga akan memperlemah atau memperkuat hubungan antara ambiguitas peran dengan
30
kinerja. Tingkat toleransi terhadap ambiguitas yang tinggi (toleran terhadap ambiguitas), meskipun terdapat ambiguitas peran yang tinggi, cenderung tidak akan memengaruhi kinerjanya. Sepanjang literatur yang peneliti baca, belum banyak penelitian yang menghubungkan tingkat toleransi terhadap ambiguitas pada hubungan antara tekanan dalam pekerjaan dengan kinerja, khususnya di bidang akuntansi. Hasil penelitian diharapkan mampu memberikan sumbangan pada literatur pengaruh karakteristik individu terhadap hubungan antara role stress dan kinerja auditor, yang masih belum terjawab dari penelitian yang telah dilakukan oleh Fisher (2001). Sementara kontribusi penelitian di bidang metodologi adalah, penelitian ini mencoba untuk menggunakan desain eksperimen untuk menguji dampak tekanan dalam pekerjaan terhadap kinerja auditor dengan menggunakan penugasan audit atas laporan keuangan dan pembuatan judgment pengendalian internal klien untuk mengukur kinerja auditor tersebut. Selama ini kebanyakan penelitian di bidang ini menggunakan survei kuesioner dengan memakai pengukuran self perception atau superior rating untuk mengukur kinerja dari auditor, yang dalam hal ini pengukuran tersebut merupakan persepsi yang sifatnya sangat subjektif, sehingga tidak mencerminkan kinerja dari auditor yang berkaitan dengan penugasan audit. Penelitian ini juga berkontribusi bagi praktik karena penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak tekanan dalam pekerjaan yang berasal dari konflik peran, ambiguitas peran, dan kelebihan beban kerja terhadap kinerja auditor, maka jika terbukti ketiga dimensi role stress tersebut memiliki dampak
31
terhadap kinerja, maka KAP dapat memprioritaskan cara untuk mengurangi agar tekanan dalam pekerjaan tersebut tidak terlalu mengganggu kinerja auditor atau justru akan mampu mendorong kinerja auditor. Peneliti mengharapkan penelitian ini dapat dipergunakan oleh KAP dalam mengambil kebijakan yang sesuai untuk mengatasi tekanan peran yang dialami oleh auditor, khususnya auditor yang masih junior, karena satu opsi mungkin sesuai dengan satu kondisi namun tidak untuk kondisi yang lain. Sebagai contoh, untuk kondisi kelebihan beban kerja, ketika kelebihan beban kerja berdampak negatif pada kinerja, dapat diatasi dengan cara KAP membuat skedul kerja/prioritas pekerjaan bagi auditor. Untuk kondisi konflik peran, ketika konflik peran berdampak negatif terhadap kinerja, dapat diatasi dengan menggunakan mentoring pada auditor junior. Sedangkan untuk mengurangi kondisi ambiguitas peran yang berdampak negatif terhadap kinerja, maka sebelum menerima penugasan dari klien, auditor sebaiknya mencari informasi terlebih dahulu tentang kondisi klien, terutama jika ini merupakan penugasan yang pertama untuk klien tersebut.