BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Abdullah dkk.(2008: 1-2) menyatakan bahwa proses transformasi sosial yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia, baik mengenai cara keberagamaan, praktik-praktik ritus lokal, hingga bagaimana suatu komunitas berusaha membangun strategi bertahan di bawah bayang-bayang dan tantangan global, mengalami hambatan serius. Alasannya antara lain (1) bahwa penelitian tentang situasi lokal seringkali menempatkan peran yang kurang aktif dari agen setempat dalam konteks transformasi yang cukup luas. Aktor-aktor dalam konteks lokal ini dipandang hanya sekadar memberikan tanggapan atas tekanan-tekanan dari luar, baik aktor politik, ekonomi, hingga tokoh keagamaan; (2) studi tentang praktik keagamaan lokal dinilai kurang relevan bagi pemahaman perubahan politik dan ekonomi global. Anggapan ini tentu kurang beralasan karena transformasi lokal tidak saja berdampak pada dimensi politik dan ekonomi, tetapi juga pada aspek spiritualitas dan bangunan world view suatu masyarakat. Alasan lain tentang pentingnya studi- studi tentang lokalitas adalah bahwa pendekatan teoretis tentang globalisasi
ataupun
modernisasi,
telah
menciptakan
kekosongan
dan
ketidaktahuan akan praktik dan kearifan yang lahir dari perspektif lokal (local wisdom). Untuk mengisi kekosongan tersebut membutuhkan pelibatan secara intens konstruksi-konstruksi lokal. Penduduk yang menempati Pulau Bali, sejak zaman prasejarah telah memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup tinggi tentang adanya ’dunia lain’ di luar dunianya sendiri yang diyakini dapat memberikan pengaruh terhadap
2
kehidupannya. Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang hidup di pulau ini sejak zaman prasejarah telah mengenal agama. Kata ini memang berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti doktrin atau aturan tradisional yang suci (lihat Zoetmulder, 2000:12). Agama juga berarti datang mendekat. Dalam ajaran agama Hindu dikenal tripramana, yaitu anumana, pratyaksa, dan agama. Agama dalam hal ini berarti pengetahuan yang diajarkan oleh guru (Sura dkk., 2002:1). Meskipun istilah ini berasal dari bahasa Sanskerta yang masuk ke Indonesia pada zaman belakangan namun benih-benih keagamaan telah berkembang subur dalam masyarakat, jauh sebelum masuknya pengaruh Hindu (Sutaba,1980: 21; Ardana, 1986: 74; Utama, 2005: 42). Mantra (2006,71) mengatakan dinamika budaya dan agama di Bali menunjukkan bahwa agama Hindu yang dianut di Bali adalah sebuah akulturasi dari genius lokal dan pengaruh yang datang dari India. Hindu sebagai agama tertua di Indonesia berkembang sesuai dengan dinamika masyarakat pemeluknya. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi komunikasi telah merubah tata pergaulan dunia yang bergerak ke arah keterbukaan. Pergaulan lintas budaya, lintas agama, telah menyebabkan dinamika dalam kehidupan budaya dan agama. Perkembangan agama Hindu di Indonesia sebagai “ Message of Síntesis” yaitu menghormati kepercayaan yang ada dan mencari kesatuan jiwa untuk meningkatkan hidup kerohanian, tidak memperlihatkan kekerasan dan kebencian, merendahkan atau melenyapkan apa yang ada dan berarti melenyapkan kepribadi an bangsa Indonesia sendiri. Dengan kata lain Mantra ingin menyatakan bahwa telah terjadi perluluhan antara agama lokal dengan agama Hindu yang datang dari India secara damai dan saling menghormati satu dengan lainnya.
3
Agama Hindu yang tumbuh kembang di India, demikian juga yang berkembang di Nusantara, maupun di Bali yang terwariskan saat ini adalah hasil sebuah perjalanan panjang sejarah perkembangan agama yang merupakan proses dialektika yang sangat panjang. Dalam pandangan dialektika, apa pun yang ada merupakan kesatuan dari apa yang berlawanan, yakni sebagai perkembangan melalui langkah-langkah yang saling berlawanan. Apapun dilihat sebagai hasil sebuah proses yang maju lewat penyangkalan/negasi. Namun negasi bukan berarti bahwa yang dinegasi sudah itu hancur, melainkan yang disangkal hanyalah hal yang salah, sedangkan kebenarannya tetap dipertahankan (Adian,2002: 28) Pertemuan antara tradisi Veda (Arya) dan budaya lembah sungai Sindhu (Dravida) melahirkan Hindu di India (Majumdar,1998:19; Mantra, 2006:99-109; Phalgunadi,2006:6). Pertemuan antara bentuk-bentuk kepercayaan Indonesia dengan agama Hindu yang datang dari India telah menghasilkan agama Hindu Indonesia. Proses interaksi terjadi secara akulturatif, dimana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan lokal (Geria, 2000: 3). Oleh karena itu, masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan agama Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (Bosch,1983:7). Pandangan-pandangan ini mengindikasikan bahwa kebudayaan Indonesia (Bali) ketika terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang cukup kuat sehingga terjadilah proses dialektis dan tidak terjadi dominasi (Utama,2005:42). Bukti-bukti yang menunjukkan bahwa kebudayaan Bali sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi ketika proses akulturasi itu terjadi antara lain sebagai berikut.
4
(1) Kepercayaan tentang gunung dan laut sebagai alam roh (2) Kepercayaan adanya alam nyata dan tidak nyata (3) Adanya kepercayaan bahwa setelah mati, ada kehidupan lain dan akan menjelma kembali (4) Adanya kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau leluhur yang dapat dimintai pertolongan (Sutaba,1980:30-32; Pemda Bali, 1985 / 1986:52-53; Ardana, 1986:75-76) Masuknya pengaruh Hindu di Bali tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu serta tidak memberikan pengaruh secara merata pada masyarakat Bali. Akibatnya muncul klasifikasi masyarakat berdasarkan kuat lemahnya pengaruh Hindu yang diterima. Menurut Bagus perbedaan pengaruh dari kebudayaan Jawa Hindu di berbagai daerah di Bali dalam zaman Majapahit, menyebabkan adanya dua bentuk masyarakat di Bali yaitu masyarakat Bali Aga dan Bali Majapahit (wong Majapahit). Masyarakat Bali Aga sedikit sekali mendapat pengaruh kebudayaan Jawa Hindu dari Majapahit dan memiliki struktur tersendiri. Orang-orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di daerah pegunungan seperti Sembiran, Sidatapa, Cempaga, Tigawasa, Pedawa, di Kabupaten Buleleng dan Tenganan Pegringsingan di Kabupaten Karangasem (Bagus,2004:286; Triguna,1986:2; Putrawan,2008:20-21). Mitos yang berkembang dalam masyarakat Bali menyebutkan bahwa upaya-upaya menghindujawakan masyarakat Bali yang dilakukan oleh tokohtokoh agama dari Jawa seperti Markandeya, Kuturan, dan juga Dang Hyang Dwijendra menyebabkan terjadinya pergulatan keagamaan pada masyarakat Bali. Markandeya dipandang sebagai seorang Rsi yang pertama kali berusaha
5
menanamkan pengaruh Hindu Jawa di Bali melalui dua kali missi yang dilakukannya dengan membawa ratusan orang dari Jawa ke Bali, meskipun kisah ini masih sangat berbau mitos tetapi jelas bahwa langkah-langkah yang dilakukan merangsang terjadinya tranformasi agama di Bali (Ginarsa,1987). Kisah perjalanan tokoh-tokoh agama ini di Bali dalam upaya menyebarkan ajaran agama Hindu, sangat diyakini oleh beberapa kalangan di Bali meskipun bukti-bukti artefak belum ditemukan. Penelusuran masa lalu menggunakan cerita atau mitos kiranya masih dimungkinkan (Berg,1985:3). Menurut Sartono Kartodirdjo salah seorang sejarawan Indonesia (dalam Susanto dkk (eds), 2003:148-149) bahwa kelemahan penulisan sejarah selama ini karena selalu saja hanya menghandalkan sumbersumber dokumen atau arsip (artefact), belum banyak menggunakan sumber mentifact (fakta mental) maupun sumber socifact (fakta sosial). Fakta mental yang dimaksud dalam hal ini dianggap dekat dengan ingatan (memory) sosial kemasyarakatan yang diteliti. Generalisasi fakta mental masyarakat
biasanya
terdiri atas ide, gagasan, pandangan, orientasi nilai, mitos dan segala macam struktur kesadaran dalam masyarakat. Penelitian yang pernah dilakukan Goris menunjukkan bahwa paling tidak di Bali pernah berkembang 9 sekte yaitu Siwa-Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, dan Ganapatya (Goris, 1974: 12). Meskipun data tentang eksistensi dari masing-masing sekte itu masih sangat minim, tapi dapat disimpulkan bahwa pergulatan keagamaan pada masyarakat Bali sejak zaman pemerintahan raja-raja Bali Kuno sudah sangat tinggi. Proses itu berlangsung terus dan bahkan tidak tertutup kemungkinan telah
6
terjadi konflik-konflik antarsekte sehingga mengharuskan Mpu Kuturan seorang rohaniwan dari Jawa Timur yang menduduki jabatan penting dalam masa pemerintahan Raja Marakata (anak Raja Dharma Udayana) melakukan langkahlangkah untuk menata kehidupan keagamaan melalui konsep tata ruang pada tingkat desa dengan menetapkan konsep Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan Tri Murti (Pemda Bali,1982/1983:143). Meskipun keakuratan data yang dikemukakan ini masih sangat mungkin untuk diperdebatkan, tetapi paling tidak hal ini memberikan indikasi bahwa diferensiasi sistem keyakinan yang berkembang dalam masyarakat Bali saat itu telah membuat gerah pihak penguasa sehingga mengambil langkah-langkah pengaturan sistem kepercayaan masyarakat melalui indoktrinasi sistem keyakinan Hindu Jawa. Masyarakat Bali Aga memiliki varian agama Hindu dibandingkan dengan agama Hindu yang tersebar luas di Bali atau agama Hindu mainstream. Istilah ini digunakan untuk membedakan antara agama Hindu “arus utama” dengan ajaran Panca Sraddha sebagai doktrin utamanya dengan agama yang berkembang dalam masyarakat Bali Aga sebagai varian Hindu di Bali. Agama Hindu mainstream ( selanjutnya disebut Hindu saja) digunakan untuk menyebut atau memposisikan agama Hindu yang diakui negara dibandingkan dengan sistem kepercayaan yang berkembang pada masyarakat lokal (Jamil, 2008: 184).
Agama Hindu yang
berkembang pada desa-desa Bali Aga, mendekati sekte-sekte yang dikenal di Bali pada abad XI (Goris,1974:12; Atmadja, 2006:15). Dapat diasumsikan bahwa masyarakat Bali melakukan akomodasi, akulturasi dan bahkan resistensi terhadap Hindu Majapahit yang datang
7
belakangan ke Bali.
Ikut campurnya pihak kerajaan lewat penasihat rohani raja
dalam menata kehidupan beragama menunjukkan bahwa ada relasi antara politik dan agama (kolaborasi raja dan rohaniwan) yang sangat dominan dalam kehidupan keagamaan saat itu, sebab Kuturan pada waktu itu
berkedudukan
sebagai penasihat kerajaan. Ketika zaman Kerajaan Majapahit, upaya untuk menanamkan pengaruh Hindu Jawa di Bali semakin kuat dengan ditempatkannya Sri Kresna Kepakisan sebagai raja di Samprangan. Pada awalnya Dinasti Kresna Kepakisan adalah seorang Brahmana putra Mpu Kepakisan yang bernama Mpu Kresna Kepakisan yang berasal dari Daha (Kediri). Proses memajapahitkan Bali terus berlanjut melalui kerjasama pihak penguasa dengan pihak rohaniwan. Regulasi agama lewat campur tangan kekuasaan juga terjadi sampai datangnya Dang Hyang Dwijendra yang menjadi puruhita di Kerajaan Gelgel. Puruhita (baca : purohita) adalah penasihat kerajaan di bidang keagamaan.Pengaturan sistem keagamaan oleh penguasa mengarah pada penyeragaman dengan rujukan yang bersumber pada lontar-lontar yang dilansir oleh para penguasa Hindu Jawa; di samping membawa pengaruh positif pada eksistensi Hindu di Bali, juga menimbulkan resistensi dalam masyarakat (Pemda Bali,1985/1986; 66; Fox, 2002:270) Asumsi ini didasarkan pada beragamnya sistem keagamaan di Bali, atau paling tidak masih adanya masyarakat yang tetap berpegang pada tradisi agama lokal atau agama Bali Aga (Subagya,1981:31); di sisi lainnya terdapat masyarakat yang mengikuti agama anjuran pihak penguasa yang lebih merujuk pada Hindu Majapahit. Menurut Reuter (205:351) meskipun orang Bali Aga mungkin merupakan suatu bagian pinggiran saja dari seluruh masyarakat Bali, situasinya
8
dapat di atasi karena aliansi regional mereka cukup besar untuk menyediakan sebuah arena untuk mencari status secara bermakna lewat sistem banua. Banua adalah kawasan
sebagai realitas campuran dengan dimensi-dimensi material,
kemanusiaan,dan spiritual (Reuter,2005:9) Dengan meminjam pemikiran Purdy (1984:11; Kartodirdjo,1986; Vaezy, 2006:9) catatan yang bisa diambil dari paparan tersebut adalah kuatnya relasi antara politik dan agama yang akan berdampak pada pertarungan wilayah simbolik keagamaan masyarakat Bali Aga. Hal ini akan berdampak pada persoalan identitas mereka, sebab menurut pandangan Effendi (2001:7; Dhakidae, 2003:513) agama baik melalui simbol-simbol atau nilai-nilai yang dikandungnya memengaruhi, dan bahkan membentuk struktur sosial, budaya,
ekonomi dan
politik serta kebijakan publik (Alfian,1980:3). Sementara itu di sisi lain harus diingat pula sejarah telah mencatat bahwa agama juga potensial bagi munculnya konflik dalam masyarakat (Huntington, 2003:30;2005:41) Dari penelusuran terhadap hubungan antara agama dengan
negara,
menurut Saidi (2004: 23-25) setidaknya ada tiga jenis intervensi terhadap kehidupan beragama yang terjadi selama ini.Pertama, intervensi negara terhadap kehidupan beragama, yaitu campur tangan negara terhadap sebuah keyakinan agama yang sesungguhnya bersifat sangat privat. Negara tidak lagi menjadi manajer yang berkewajiban memfasilitasi serta mengatur atau menjaga eksistensi masing-masing agama dalam kerangka masyarakat yang majemuk, tetapi sudah memasuki ranah yang sesungguhnya menjadi hak masing-masing agama. Akibatnya adalah terjadinya masifikasi agama dalam kepentingan negara yang menyangkut
upaya
penyeragaman,
sehingga
kedaulatan
agama
sebagai
9
kepercayaan yang tidak “diakui”, menjadi lahan pelanggaran HAM. Untuk melengkapi argumen ini bisa dilihat kasus Hare Krisna (Hindu). Hare Krisna pernah dilarang beraktifitas di Indonesia oleh Jaksa Agung Ismail Saleh,SH berdasarkan Keputusan Nomor : Kep1107/0.A/5/1984. Demikian juga kasus Akhmaddiyah (Islam), yang sampai saat ini kasusnya belum diselesaikan dengan tuntas,
serta beberapa kasus lainnya yang belakangan ini makin marak di
Indonesia.
Kondisi seperti ini dapat dilihat dalam beberapa terbitan seperti
Politisasi Agama dan Konflik Komunal, Beberapa Isu Penting di Indonesia (Suaedy dkk.,2007) dan Merayakan Kebebasan Beragama, Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (Taher,:editor,2009). Kedua, pendefinisian agama resmi oleh negara yang mengacu pada kepentingan agama resmi dan yang membatasi diri pada formulasi agama semitis (agama langit), dalam kenyataannya telah membawa implikasi yang serius dalam pelanggaran hak berkeyakinan, khususnya terhadap berbagai sekte atau aliran yang dianggap sempalan dari agama induk. “Pembinaan” untuk mengembalikan sekte atau aliran kepada agama induk adalah istilah lain untuk memaksa mereka kembali kepada agama induk, yang sebenarnya telah berada di luar wewenang agama. Kondisi ini sebenarnya dapat memacu atau paling tidak merangsang munculnya gerakan radikalisme keagamaan. Ketiga, dampak dari kemutlakan terhadap ajaran yang diyakini dan adanya perasaan kewajiban untuk mendakwahkan ajaran kemutlakan itu, yang seharusnya hanya menjadi keyakinan internal masing-masing agama, di tingkat empiris telah menjadi proses kolonialisasi agama-agama besar (mayoritas) terhadap agama lokal (minoritas).
10
Kondisi ini bisa menimbulkan apa yang disebut ’predestinasi’. Konsep ini menurut Sumartana (1991:134-135) menempatkan sekalian makhluk dalam sebuah ’kerangka besi’ yang sudah pasti dan tidak bisa diubah sejak awal hingga akhir. Dari sini akan muncul pemahaman tentang ‘ketentuan nasib’ dan ‘ suratan takdir’
seseorang. Dalam bentuk yang ekstrim pandangan seperti ini bisa
menimbulkan sikap pasrah dan patalistis Akibatnya, elemen nilai-nilai fundamental yang semula telah memiliki fungsi perlindungan dalam menciptakan tertib sosial komunitas lokal telah kehilangan otonomi fungsionalnya. Imunisasi yang semula dimiliki sebagai daya tahan dalam menghadapi pluralitas mengalami kehancuran. Upaya pelestarian nilai-nilai lokal yang seringkali memiliki kelenturan dalam menghadapi konflik telah berubah ke arah sebaliknya. Kolonisasi agama resmi terhadap masyarakat lokal seringkali berangkat dari semangat misionaris, yang memandang hal itu sebagai tugas suci sehingga secara teologis dipandang telah mendapat legitimasi. Dengan demikian kearifan lokal boleh dikatakan telah kehilangan fungsinya dalam masyarakat. Dampak langsung dari semangat itu adalah agama lokal menjadi objek pendakwahan tanpa mempedulikan hak-hak yang paling dasar yang dimiliki setiap agama, khususnya terhadap agama lokal
yang dikategorikan
animisme (Saidi,2004:26) . Suasana seperti ini juga dialami oleh masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng. Indoktrinasi agama Hindu melalui lembaga Parisada Hindu Dharma Indonesia dan regulasi agama pada masa pemerintahan Orde Baru telah menimbulkan berbagai respons seperti lokalisasi, resistensi, revitalisasi, dalam masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng.
11
Dengan kata lain bahwa telah terjadi pergulatan agama dan kebudayaan pada masyarakat Bali Aga di desa Cempaga Buleleng akibat indoktrinasi dan regulasi agama, dengan segala kemungkinan dampak yang ditimbulkannya sebagai akibat penyeragaman-penyeragaman yang dilakukan yang merupakan salah satu ciri modernisme. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa sebuah kebijakan dalam bidang agama akan berdampak pada kebudayaan di masyarakat. Agama dan kebudayaan memang dua ranah yang berbeda tetapi memiliki keterkaitan yang sangat mendalam. Agama secara umum dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Sementara itu kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan
manusia
sebagai
makhluk
sosial,
yang
digunakan
untuk
menginterpretasikan dan memahami lingkungan yang dihadapi, dan untuk menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan. Dari batasan ini dapat dikatakan bahwa kebudayaan itu dimiliki oleh individu warga masyarakat atau warga satu kesatuan sosial, tetapi karena pada hakikatnya manusia itu adalah makhluk sosial, maka kebudayaan yang dimiliki oleh individu-individu sebetulnya pada prinsipnya juga dimiliki bersama oleh individu-individu yang menjadi warga suatu masyarakat (Suparlan,1981/1982:80). Sementara itu menurut Bakker (1984:48) kebudayaan dan agama memang berbeda, tetapi keduanya bisa bersifat komplementer. Agama, yang terdiri dari ajaran, peraturan dan upacaraupacara yang menjawab semua tuntutan zaman, banyak terdapat unsur-unsur kebudayaan. Sebaliknya banyak prestasi yang dicapai dalam bidang kebudayaan tak akan pernah terjadi seumpamanya tidak diilhami oleh jiwa agama.
12
Dari paparan ini dapat ditarik benang merah antara agama dan kebudayaan sebenarnya sama-sama berada dalam tataran ide manusia dalam menata perilakunya menuju keteraturan. Ajaran agama dapat diterima dan menjadi sebagian dari model-model pengetahuan yang ada dalam kebudayaan; dan bahkan dalam beberapa kebudayaan, ajaran agamalah yang terutama menjadi model pengetahuan yang dijadikan pegangan dalam memahami dan menanggapi lingkungan yang dihadapi serta bagi perwujudan kelakuan dan tindakannya (Suparlan, 1981/1982:86). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kebijakankebijakan dalam bidang keagamaan dapat berimplikasi pada kebudayaan. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng dikategorikan sebagai masyarakat Bali Aga yang memiliki sistem sosial keagamaan tersendiri yang sedikit berbeda dengan masyarakat Bali dataran. Masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng memiliki sistem sosial kesamen dalam relasi personal dengan sesamanya. Dalam masyarakat Bali Aga tidak dikenal struktur sosial berdasarkan sistem wangsa. Mereka dipandang memiliki derajat sama satu dengan lainnya atau disebut kesamen. Artinya siapa pun yang bertempat tinggal di daerah tersebut disamakan derajatnya (kesamen), mereka tidak mengenal sistem hierarki layaknya sistem wangsa. Sistem kepemimpinan pada masyarakat Cempaga berdasarkan senioritas menurut perkawinan (Sujaya, 2007:28) yang dikenal dengan sistem uluapad, serta berbagai karakteristik tertentu lainnya yang berbeda dengan
masyarakat Hindu Bali
lainnya. Sistem uluapad menempatkan hierarkhi kepemimpinan dan struktur sosial mereka didasarkan atas senioritas menurut catatan hari perkawinannya. Mereka yang tertua berdasarkan hari perkawinan berposisi sebagai tugun desa
13
atau orang yang tertua di desa tersebut dengan segala hak dan kewajiban yang menyertainya. Belakangan, perkembangan zaman memunculkan modernisasi dalam bidang agama dan politik yang secara langsung berdampak pada sistem sosial keagamaan di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng. Terbitnya keputusankeputusan Parisada dalam menata dan mengatur sistem keagamaan masyarakat telah menyebabkan terjadinya pergulatan budaya; dalam arti terjadi pergulatan pemikiran dalam bidang keagamaan pada masyarakat di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng. Uniknya masyarakat yang mendiami daerah Cempaga Kabupaten Buleleng ini meskipun menganut sistem kesamen, namun banyak dari mereka yang berasal dari daerah Klungkung yang datang di daerah itu untuk mencari penghidupan. Penduduk pendatang ini memberikan kontribusi tersendiri dalam proses pergulatan budaya di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng, sebab dapat diasumsikan bahwa mereka ini adalah pendukung tradisi besar yang berbeda dengan penduduk asli Desa Cempaga sebagai pengusung tradisi kecil. Pergulatan antara tradisi kecil dengan tradisi besar di satu sisi serta kuatnya regulasi negara pada bidang agama di sisi lainnya, menjadi sesuatu yang menarik untuk dikaji secara lebih mendalam. Homogenisasi sistem keyakinan melalui lembaga-lembaga keagamaan terjadi pada era tahun tujuh puluhan sampai sembilan puluhan ketika modernisme menjadi panji pembangunan di Indonesia saat itu. Modernisme cenderung berhasrat melakukan homogenisasi dan standarisasi kehidupan (agama), sedangkan multikulturalisme sebaliknya memberi jalan dan apresiasi yang lebih besar atas fenomena keanekaragaman budaya, bangsa, etnis dan agama (Budiman, 2005:36). Menurut Liliweri (2005:35) multikulturalisme bertautan dengan doktrin
14
atau “isme” tentang penyadaran individu atau kelompok atas keberagaman kebudayaan, yang pada gilirannya mempunyai kemampuan untuk mendorong lahirnya sikap toleransi, dialog, kerjasama diantara beragam etnis dan ras. Dari paparan tersebut tercatat dua hal penting dari multikulturalisme yaitu (1) adanya proses penyadaran individu atau kelompok atas keberagaman kebudayaan; dengan tujuan (2) mendorong lahirnya sikap toleransi, dialog dan kerjasama diantara beragam etnis dan ras. Dengan demikian dilihat dari semangat multikulturalisme pergulatan keagamaan yang terjadi pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng
terkait dengan adaptasi budaya, regulasi agama serta pergulatan
identitas yang terjadi di dalamnya menjadi sangat menarik untuk dicermati.
1.2 Rumusan Masalah Sebagaimana telah disampaikan pada paparan sebelumnya bahwa masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng sangat sedikit kena pengaruh Hindu. Kondisi ini menyebabkan masyarakat Bali Aga dipandang bagai semacam ruang kosong yang harus diisi, sehingga upaya-upaya menghindukan mereka terus dilakukan. Situasi ini menyebabkan terjadinya adaptasi budaya pada masyarakat Bali Aga. Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas maka muncul tiga permasalahan penelitian sebagai berikut. 1. Bagaimanakah proses adaptasi budaya masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng, dalam merespons regulasi negara di bidang agama?
15
2. Faktor-faktor apakah yang mendorong terjadinya adaptasi budaya masyarakat Bali Aga di Desa
Cempaga Kabupaten Buleleng dalam
merespons regulasi negara di bidang agama? 3. Bagaimanakah dampak dan makna adaptasi budaya masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng dalam merespons regulasi negara di bidang agama?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan topik penelitian tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa penelitian ini hendak mengungkapkan adaptasi budaya masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng. Pengungkapannya akan diarahkan pada tujuan umum dan tujuan khusus sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum Pada dasarnya penelitian ini hendak memahami dan mendeskripsikan secara menyeluruh tentang adaptasi budaya yang terjadi pada masyarakat di Desa Cempaga Buleleng dalam merespons regulasi negara di bidang agama. Hal ini dilandasi oleh proposisi yang mengatakan bahwa antara agama dan kebudayaan bersifat interrelasi. Pengungkapan ini diharapkan dapat menggali pemahaman dan ideologi yang mendasari terjadinya adaptasi budaya masyarakat Bali Aga terhadap regulasi negara dalam bidang agama.
16
1.3.2 Tujuan Khusus Bertitik tolak dari tujuan umum tersebut di atas, maka tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Untuk mengetahui, dan mendeskripsikan proses
adaptasi budaya
masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng dalam merespons regulasi negara di bidang agama. (2) Untuk mengungkapkan faktor-faktor pendorong adaptasi budaya masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng dalam merespons adanya regulasi negara di bidang agama. (3) Untuk memahami serta menginterpretasi implikasi adaptasi budaya dalam merespons regulasi negara di bidang agama pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Kabupaten Buleleng.
1.4 Manfaat Penelitian Pada dasarnya penelitian ini dimaksudkan untuk mengangkat aspek lokalitas dalam bidang kebudayaan agar mendapatkan perhatian yang lebih memadai pada era yang mengglobal saat ini. Dalam hal ini peran kajian budaya bagi tumbuh kembangnya multikulturalisme yang diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pemahaman terhadap subkultur sehingga bisa lebih berperan dalam pembangunan bangsa menjadi semakin nyata dalam masyarakat. Dengan demikian penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis sebagai berikut
17
1.4.1 Manfaat Teoretis (1) Temuan atau hasil penelitian ini paling tidak dapat memberikan informasi yang memadai kepada masyarakat ilmiah tentang budaya dan agama masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga Buleleng Bali, sebagai salah satu varian dari budaya dan agama Hindu Bali. Dilihat dari sudut pandang multikulturalisme penelitian ini menjadi sangat penting artinya sebab sebagai masyarakat plural, labeling yang diberikan kepada masyarakat Bali Aga cenderung memposisikannya sebagai masyarakat kelas dua bila dibandingkan dengan masyarakat Bali lainnya . Pandangan seperti ini sudah bukan zamannya lagi, dan pada ruang ini
cultural studies memiliki peran penting karena
menempatkan dirinya sebagai kajian yang memberikan pembelaan terhadap subculture yang terhegemoni atau yang dimarginalkan. Tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka memiliki kearifan lokal yang perlu dipelajari dan dicermati dalam kaitan strategi adaptasi budaya untuk eksistensi budaya di tengah gerusan pengaruh negatif budaya asing saat ini.
Dengan demikian penelitian ini akan memberikan
kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahun khususnya tentang masyarakat Bali Aga. (2) Gambaran yang rinci didukung data yang memadai dapat memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya, baik menyangkut proposisiproposisi maupun teori-teori yang dihasilkan. (3) Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi inspirasi bagi peneliti lainnya yang tertarik pada masalah etnisitas serta keunikan-keunikan
18
budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bali Aga. Dengan demikian program studi kajian budaya semakin menunjukkan eksistensi dalam masyarakat akademik. (4) Tidak tertutup kemungkinan bahwa hasil penelitian ini juga dapat memberikan kritik maupun penyempurnaan terhadap penelitianpenelitian sebelumnya terutama yang berkaitan dengan dinamika budaya masyarakat Bali Aga.
1.4.2 Manfaat Praktis (1) Temuan atau hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran yang jelas tentang adaptasi budaya pada masyarakat Bali Aga di Desa Cempaga dalam merespons regulasi negara di bidang agama. Adaptasi budaya selalu ditandai dengan adanya dekonstruksi, konstruksi dan rekonstruksi budaya sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dalam kehidupan ini. Dengan demikian temuan dalam penelitian ini akan bermanfaat bagi masyarakat dalam memahami tentang adaptasi budaya sebagai sebuah proses pembelajaran sebagaimana lazimnya budaya tersebut diwariskan kepada generasi selanjutnya. (2) Temuan atau hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan oleh para pengambil keputusan dan para praktisi dalam bidang agama dan kebudayaan yang selama ini banyak melakukan pembinaan di masyarakat.