1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bahasa Dawan (BD) adalah bahasa Austronesia, subkelompok Melayu Polenesia. Bahasa ini disebut juga Uab Meto atau Molok Meto oleh penuturnya, yakni suku Dawan atau Atoin Meto. Persebarannya meliputi sebagian distrik Oecusse-Ambeno (Timor Leste) dan Timor barat meliputi sebagian Kabupaten Belu, Timor Tengah Utara (TTU), Timor Tengah Selatan (TTS), Kabupaten Kupang, dan Kodya Kupang. Menurut sensus 2009 dari SIL International, penutur BD berjumlah 700.000 (SIL International, 2014). Bahasa Dawan memiliki sepuluh dialek, yaitu Molo, Amanatun, Amanuban, Amarasi, Amfoang, Biboki, Miomafo, Manlea, Kupang dan Manulai (Tarno dkk, 1992:1). Bahasa Dawan memiliki ciri yang dapat diamati, baik pada aspek fonologis, morfologis, maupun sintaksis. Secara fonologis, yaitu adanya proses metatesis, pelesapan bunyi, penambahan bunyi, dan pemampatan bunyi (Sanga, 1984; Tarno dkk., 1992; Isu, 2009). Secara morfologis, BD bertipe aglutinasi, bersifat vokalis, bersuku kata terbuka, dan dimarkahi dengan kehadiran klitik pada setiap verbanya (Tarno dkk., 1992:102; Reteg, 2002). Secara sintaksis, BD merupakan bahasa yang bertipe nominatif-akusatif juga sama seperti bahasabahasa lain pada umumnya, yaitu memiliki struktur klausa yang berpredikat verba dan nonverba. Klausa berpredikat nonverba terdiri atas klausa tata urut SVO atau AVP (Budiarta, 2009; Arka, 2000). Dijelaskan pula bahwa BD berpredikat
2
adjektiva, nomina, preposisi, dan numeralia, sedangkan klausa berpredikat verbal terdiri atas klausa intransitif dan transitif. Pembahasan mengenai klausa berpredikat verbal dalam BD yang dilakukan oleh para peneliti BD yang dikemukakan di atas belum secara lengkap membahas keberadaan verba sebagai kategori gramatikal yang utama dan sebagai pengisi fungsi predikat sebab tidak menyinggung adanya konstruksi klausa yang memiliki dua verba atau lebih sebagai elemen pengisi predikat klausa tersebut. Padahal, verba sebagai unsur inti pengisi fungsi predikat dalam klausa bisa muncul dalam bentuk verba sederhana atau verba tunggal, bisa juga dalam bentuk verba kompleks atau verba serial. Keberadaan konstruksi klausa berpredikat serial dalam BD telah dikemukakan oleh Arka (2003) dalam uraiannya mengenai ciri-ciri penting kelompok bahasa-bahasa Nusantara, yakni BD dikelompokkan sebagai bahasa yang memiliki kecenderungan adanya serialisasi verba. Dalam penjelasannya, Arka (2013) menegemukakan bahwa dalam serialisasi, biasanya PRED 1 tidak menjadi predikat atasan dari PRED 2, atau PRED 2 bukan argumen dari PRED 1. Verba-verba dalam konstruksi serialiasisasi mempunyai status yang sama, yaitu sama-sama sebagai verba inti atau predikat inti (head predicates) dan keduanya mengemban satu fungsi predikat, sebagaimana halnya verba tunggal. Selain itu, struktur serialisasi menyatakan bahwa subkejadian membentuk kejadian kompleks. Hal inilah yang membedakan konstruksi klausa berpredikat verba serial dan konstruksi klausa berpredikat kompleks atau verba kompleks. Verba kompleks (compound verb) adalah salah
3
satu tipe predikat kompleks, yaitu sebuah verba yang terdiri atas lebih dari satu verba, bisa verba inti dan verba bantu. Apabila dicermati dari strukturnya, maka klausa berpredikat verba kompleks ini dapat kelompokkan dalam konstruksi verba serial. Karakteristik KVS sebagai ciri pembeda antara konstruksi serial dan konstruksi verbal biasa atau konstruksi lain yang dapat dicermati dari aspek fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik dapat dirangkum dari pendapat beberapa linguis sebagai berikut: a) Secara fonologis: verba serial memiliki intonasi tunggal (Durie 1997: 291) dan Aikhenvald (2006:3-4). Arka dkk. (2013:193-4) dalam penjelasannya tentang verba serial dalam bahasa Rongga membuktikan bahwa kesatuan unit verba serialisasi didukung oleh prosodi (fonologis). Jendela gelombang suaranya (diukur dengan speech analyzer) memperlihatkan dua unit/penggalan gelombang yang berkorespondensi dengan dua unit klausa. b) Secara morfologis: pemarkahan pada KVS dapat terjadi hanya pada salah satu verba atau tiap-tiap verba tersebut memeroleh pemarkahan yang sama (Aikhenvald, 2006:3--4). c) Secara sintaksis, karakteristik KVS dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, diisi oleh dua verba atau lebih. Kedua, biasanya membentuk satu klausa (monoklausal), dengan kebersamaan argumen atau kategori fungsional (a) mempunyai satu subjek, atau (b) mempunyai subjek dan objek bersama, (c) mempunyai kategori gramatikal bersama kala (tense), aspek, dan negasi (Durie, 1997: 291; Aikhenvald, 2006:3--4). Ketiga, tidak disela oleh
4
konjungsi, baik koordinasi maupun subordinasi. Keempat, keberadaan verba serial sebagai elemen pengisi fungsi predikat dalam sebuah klausa dapat berdanpingan atau terbelah. Kombinasi verba semacam ini disebut juncture (Van Valin dan La Polla, 1997:443 ). d) Secara semantic, KVS dikonsepsikan sebagai peristiwa tunggal (Durie, 1997: 291; Aikhenvald, 2006:3--4). Durie menjelaskan lebih lanjut bahwa peristiwa tunggal ini dapat dibuktikan dengan menerjemahkan verba serial tersebut ke dalam bahasa lain, di mana dua verba atau lebih dapat diterjemahkan hanya dengan sebuah verba dalam bahasa lain. Pendapat Durie ini ditentang oleh Foley (2004) dan Newmeyer (2004) yang mennyatakan bahwa verba-verba dalam konstruksi verba serial merupakan verba inti sehingga tidak dapat serta merta mengklaim sebagai sebuah peristiwa tunggal. Selain itu, tiap-tiap bahasa berbeda sehingga tidak dapat diukur hanya dengan terjemahan.
Senada
dengan Foley dan Newmeyer, Arka dkk. (2013: 192) menjelaskan bahwa biasanya konstruksi verba serial menyatakan suatu kejadian kompleks yang terdiri atas dua (sub)kejadian atau lebih yang terjadi secara simultan atau berurutan secara dekat/ketat satu sama lainnya. Berdasarkan kriteria yang dikemukakan para linguis di atas, berikut ini adalah contoh klausa berpredikat verba serial dalam BD yang dimaksud dan perlu mendapat perhatian serta kajian lebih mendalam. a)
Nafo n-eku n-fek tani Tikus 3T-makan 3T-putus tali “Tikus menggigit tali sehingga putus”
b) Atoni sin n-eki atoni men ole mese n-em neu Yesus Orang 3J 3J-bawa orang sakit lemas satu 3J-datang 3J-PREP NAMA
5
“Orang-orang membawa seorang lumpuh kepada Yesus” c)
Mama n-leun kau he aen Ɂ-nao u’at benas neu bapa Ibu 3Tsuruh 1T supaya 1T-lari 1T-pergi 1T-antar parang 3T-PREP ayah “Ibu menyuruh saya untuk segera mengantarkan parang kepada ayah” Ketiga data di atas memperlihatkan bahwa predikat tiap-tiap klausa
tersebut dibentuk oleh verba neku nfek “gigit putus”, neki nem “bawa datang”, dan aen Ɂ-nao u’at “lari pergi antar”. Dengan demikian, ketiga data (a, b, c) ini memperlihatkan lima hal, yaitu sebagai berikut. Pertama, konstruksi klausa berpredikat verba serial yang dikemukakan oleh Arka (2003) memang ada dalam BD. Kedua, konstruksi klausa berpredikat verba serial tersebut terdiri atas klausa berpredikat dua verba yaitu neku nfek dan neki nem pada contoh (a) dan (b), sedangkan (c) berpredikat tiga verba, yaitu aen Ɂ-nao u’at. Ketiga, konstruksi klausa berpredikat verba serial (a) dan (c) merupakan serialisasi nukleus (nuclear serialization) sedangkan (b) merupakan serialisasi inti (core serialization). Keempat, setiap verba mendapatkan pemarkahan morfologis yang sama, yaitu klitik pronomina pemarkah subjek. Keberadaan pemarkah pronomina tersebut memang merupakan salah satu ciri verba BD. Kelima, konstruksi predikat berverba serial pada ketiga klausa tersebut terlihat bahwa ketiganya merupakan kombinasi antara verba transitif-transitif (a), transitif-intransitif (b), dan intransitif-itransitif-transitif (c). Penjelasan terhadap ketiga contoh klausa berpredikat verba serial yang dikemukakan di atas baru sebatas asumsi, bukan simpulan akhir. Oleh karena itu, penjelasan secara mendetail diperlukan kajian lewat penelitian, mengingat belum ada penelitian terhadap BD yang membahas topik ini.
6
Kajian mendalam mengenai fenomena KVS ini tidak hanya terbatas pada aspek sintaksis semata, tetapi juga perlu dilihat dari aspek morfologis dan makna verba-verba yang membentuk konstruksi tersebut sehingga memberikan informasi penting, baik secara teoretis maupun secara praktis. Oleh karena penelitian ini membahas aspek morfosintaksis yang membentuk KVS tersebut, maka menurut penulis, teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA) adalah teori yang tepat untuk dipakai membedah konstruksi verba serial BD. Terdapat dua hal penting sebagai dasar penggunaan teori ini. Pertama, teori TPA dikembangkan dari bukan saja bahasa Inggris, tetapi berdasarkan bahasa-bahasa lain seperti Lakhota, Tagalog, dan Dyirbal sehingga dianggap lebih universal. Kedua, teori TPA merupakan sebuah teori morfosintaksis yang mengaplikasikan saling keterkaitan antara aspek sintaksis, semantik, dan pragmatik dalam sistem gramatikal (Van Valin & La Polla, 1997:14). Dengan demikian, diyakini bahwa semua permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dapat dijawab melalui teori ini. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan yang diformulasikan sebagai berikut: 1) Bagaimanakah struktur konstruksi verba serial bahasa Dawan? 2) Bagaimanakah pemarkahan morfologis dan pola urutan verba pada konstruksi verba serial bahasa Dawan? 3) Tipe konstruksi verba serial apa sajakah yang terdapat pada bahasa Dawan berdasarkan fungsi dan maknanya?
7
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dibedakan menjadi dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Kedua tujuan tersebut diuraikan sebagai berikut. 1.3.1
Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan mendeskripsikan konstruksi verba
serial bahasa Dawan, di antaranya menyangkut struktur KVS BD, pemarkahan morfologis, pola urut dan tipe KVS BD. 1.3.2
Tujuan Khusus Penelitian ini secara terperinci bertujuan untuk mengkaji beberapa hal
berikut. 1) Mendeskripsikan struktur verba serial bahasa Dawan. 2) Menjelaskan pemarkahan morfologis dan pola urutan verba pada konstruksi verba serial bahasa Dawan. 3) Menjelaskan tipe konstruksi verba serial yang terdapat pada bahasa Dawan berdasarkan fungsi dan maknanya. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat, baik secara teoretis maupun secara praktis. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, penelitian ini kiranya sebagai bahan diskusi dan sumber acuan yang dapat memberikan sumbangan, baik pemikiran maupun penguatan
8
teori linguistik, dalam membahas konstruksi verba serial, khususnya teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA). 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini kiranya bermanfaat bagi pihak-pihak berikut. 1) Masyarakat umum, sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan tentang struktur klausa secara umum, khususnya konstruksi verba serial dalam BD. 2) Peneliti, baik sebagai informasi tertulis maupun sebagai bahan referensi untuk penelitian-penelitian yang akan dilakukan terutama menyangkut konstruksi verba serial. 3) Lembaga pendidikan, kiranya dapat menambah jumlah pustaka yang dapat dijadikan pedoman atau bahan acuan. Disamping itu, juga dapat memperkaya tata bahasa Dawan dalam upaya pengajaran bahasa Dawan sebagai muatan lokal di sekolah-sekolah.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Pada bagian kajian pustaka ini dipaparkan karya-karya ilmiah yang relevan dan merupakan bahan acuan berguna dalam penelitian ini. Penelitian-penelitian yang dikemukakan ini adalah yang mengulas aspek morfosintaksis dan sintaksis BD serta bahasa-bahasa lain. Di samping itu, lebih spesifik dengan penelitian tentang verba serial, baik yang menggunakan teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA) maupun teori-teori lain. Pemaparan ini bertujuan untuk mengetahui posisi penelitian yang dilakukan di antara penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya.
Penelitian-penelitian
yang digunakan sebagai acuan dalam
mengembangkan penelitian ini adalah sebagai berikut. Penelitian dilakukan oleh Tarno dkk yang hasilnya diterbitkan pada tahun 1992 dalam sebuah buku berjudul Tata Bahasa Dawan. Analisis terhadap hasil penelitian ini didasarkan pada teori linguistik struktural. Pengolahan data sintaksis dilakukan dengan cara mengklasifikasikan data-data sintaksis yang telah dialihaksarakan dalam bentuk satuan-satuan kalimat, yakni meliputi kesamaan bentuk, kategori, peran, dan distribusi. Analisis data didasarkan pada kriteria fungsi, peran, dan kategori sehingga diperoleh bentuk kalimat BD yang dibedakan atas kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal selanjutnya dibedakan atas kalimat mayor dan minor, sedangkan kalimat majemuk dibagi menjadi kalimat majemuk setara (koordinatif) dan majemuk bertingkat (subordinatif).
10
Dijelaskan pula bahwa BD mempunyai kalimat yang berpredikat verbal dan nonverba. Konstruksi kalimat verbal yang dibahas tidak satu pun menyinggung adanya kalimat yang berpredikat verba serial. Padahal, dalam sumber data yang dilampirkan berupa cerita rakyat, di dalamnya sangat banyak konstruksi kalimat berpredikat verba serial. Hal ini dapat dimaklumi karena sebagaimana disampaikan oleh tim penyusun buku ini bahwa sebenarnya masih banyak persoalan dalam BD khususnya aspek sintaksis yang mesti dibahas, tetapi karena keterbatasan dana dan waktu. Namun, penjelasan-penjelasan mengenai struktur kalimat dalam buku ini menjadi bahan acuan penting bagi peneliti dalam penelitian ini. Budiarta (2009) juga mengkaji aspek sintaksis BD. Penelitiannya ini bertujuan untuk memahami konstruksi dasar klausa BD, konstruksi kalimat kompleks, sistem pivot, dan sistem aliansi gramatikal. Teori yang dipakai oleh peneliti adalah Teori Bahasa Relational yang digunakan untuk membahas relasi gramatikal, terutama yang berkaitan dengan subjek, objek langsung, objek tak langsung, dan oblik. Hasil penelitianya menunjukkan bahwa klausa dasar BD terdiri atas klausa transitif dan intransitif. Verba pada kedua klausa tersebut diisi oleh verba yang berafiks dan tanpa afiks. Dikatakan pula bahwa afiks yang melekat pada verba tersebut terjadi karena adanya persesuaian dengan subjek. Hakikat subjek pada BD dapat dilihat dengan kasus, ekspansi adverbia, persesuaian, pivot, dan pemfokusan. Objek BD dapat ditentukan dengan kaidah pemasifan. Oblik adalah argumen yang berpreposisi.
11
Data pada konstruksi koordinatif dan subordinatif BD secara tipologis mengantarkan pada temuan bahwa secara sintaksis BD memperlakukan S sama dengan A, dan memberikan perlakuan yang berbeda kepada P (S = A ≠ P). Dengan demikian, BD merupakan bahasa yang bekerja dengan sistem S/A pivot. Sistem aliansi gramatikal seperti ini menunjukkan bahwa BD secara sintaksis adalah bahasa yang bertipe nominatif-akusatif. Perilaku S pada klausa intransitif dengan perilaku A dan P pada klausa transitif BD, menunjukkan bahwa S dimarkahi sama dengan A begitu pula dimarkahi sama dengan P. Dengan demikian, secara morfologis BD memiliki kecenderungan sebagai bahasa nominatif-akusatif. Penelitian lain dilakukan oleh Mekarini (2000) yang membahas sistem diatesis dan pengikatan dalam BD. Mekarini menyimpulkan bahwa BD tergolong bahasa bertipe SVO, di mana SUBJ hadir pada posisi praverba, sedangkan OBJK pada posverba. SUBJ harus diisi oleh frasa nomina, sedangkan predikat dapat diisi dengan frasa verba memiliki property, yaitu (1) dapat difokuskan, (2) dapat disisipi adverbial, (3) bersesuaian dengan verba, (4) berkasus nominatif, dan (5) memiliki ciri [+pivot]. Bahasa ini mengizinkan promosi bagi argumen noninti dalam peran benefaktif dan lokatif, tetapi tidak bagi instrumen. Terdapat tiga alternasi tata urutan, yakni A-V-P; P-A-V; dan P-V-A. Ketiga alternasi urutan ini melahirkan tiga diatesis, yaitu diatesis aktif, diatesis objektif, dan diatesis pasif. konstruksi kanonis dimiliki oleh diatesis aktif, sedangkan konstruksi nonkanonis dimiliki oleh diatesis objektif dan pasif. Perbedaan setiap diatesis dapat dilihat pada tata urutan, peran subjek, pemarkahan,
12
dan perlakuan terhadap agen. BD memiliki diatesis simetris dan asimetris bagi objek ganda. Disamping itu, hanya subjek yang dapat mengikat. Refleksif harus diikat oleh subjek nukleusnya. Pengikatan terhadap bentuk refleksif bersifat sensitif terhadap strukstur fungsi. Berbeda halnya dengan pengikatan terhadap refleksif, pengikatan terhadap resiprokal cenderung terjadi pada struktur semantik karena BD tidak memiliki leksikon pemarkah resiprokal, seperti halnya one another atau each other dalam bahasa Inggris. Quantifier dapat menjadi pengikat bilamana memiliki prominensi dalam srtruktur fungsi terhadap yang diikat. Penelitian Reteg (2000) terhadap afiksasi BD menggunakan teori Morfologi Generatif model Halle (1973) yang sudah dimodifikasi oleh Dardjowidjojo (1988) dan teori Aronof (1976). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa komponen DM memiliki kata dasar bebas, kata dasar terikat, dan afiks. Kata dasar bebas terdiri atas verba, nomna, dan adjektiva, sedangkan afiks BD terdiri atas prefiks a-, ma-, ak-, at-, pai-, dan hai-, sedangkan sufiks antara lain –s, -t, -b, -ah, -in, dan –en. Reteg (2009) juga menemukan bahwa secara morfosintaksis, afiks BD memiliki fungsi derivasional mentransformasi bentuk asal yang memiliki kategori verba menjadi nomina, nomina menjadi verba, adjektiva menjadi verba, dan numeralia menjadi verba. Di samping itu, afiks juga memiliki fungsi infleksional. Menurut dia, terjadinya transformasi bentuk akibat proses afiksasi mengakibatkan terjadinya transformasi makna asal ke makna bentuk turunan. Setiap afiks BD memiliki makna gramatikal dalam proses afiksasi. Makna gramatikal afiks BD di antaranya adalah makna kausatif dan makna reduplikatif. BD tergolong tipologi
13
morfologi aglutinasi. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya afiks, baik prefiks maupun sufiks dalam proses pembentukan kata. Penelitian Reteg ini sangat berguna sebagai bahan acuan, terutama pada proses pembentukan verba BD. Selain keempat hasil penelitian menyangkut BD yang telah dikemukakan di atas, berikut ini diulas pula beberapa penelitian mengenai konstruksi verba serial yang relevan dengan penelitian ini, baik topik bahasan maupun teori yang diaplikasikan. Sedeng (2010:296--314) dalam bukunya berjudul Morfosintaksis Bahasa Bali Dialek Sembiran (BBDS) juga menjelaskan adanya konstruksi serialisasi verba pada dialek tersebut. Pembahasan Sedeng ini menggunakan teori Tata Bahasa Peran dan Acuan dalam menganalisis konstruksi verba serial BD dalam penelitin ini. Pembahasan mengenai serialisasi verba BBDS menyangkut struktur serialisasi verba, kombinasi verba pembentuk serialisasi tersebut dilihat dari transitivitas verba, pemarkahan morfologis, dan makna tiap-tiap verba yang berkombinasi membentuk predikat serialisasi tersebut. Sedeng memaparkan bahwa serialisasi verba BBDS terwujud pada kaidah ikatan sendi (juncture) pada lapisan nukleus (nuclear juncture) dan lapisan inti (core juncture). Serialisasi verba BBDS pada sendi lapisan nukleus dibangun oleh dua verba inti atau lebih yang disejajarkan dengan argumen yang saling bertumpang tindih (shared), tanpa adanya komplementasi atau konjungsi penghalang. BBDS memiliki tiga bentuk serialisasi verba pada lapisan nukleus,
14
yaitu serialisasi bermakna resipien dengan verba behhang, serialisasi bermakna resipien dengan verba behhan, dan serialisasi bermakna perfek dengan verba modal mehhan. Serialisasi verba BBDS pada sendi lapisan inti dibangun oleh dua inti dengan nukleus dan argumennya masing-masing. Gabungan ini kemudian membentuk inti kompleks. Pada tataran inti ini juga terdapat tiga bentuk serialisasi verba, yaitu serialisasi dengan makna permintaan, serialisasi verba benefaktif dengan (V1) verba transitif, dan serialisasi verba dengan V1 verba intransitif tindakan. Kesemestaan struktur predikat kompleks BBDS sebagai bahasa yang secara morfologis bertipe aglutinasi adalah predikat kompleks yang berstruktur morfologis melalui kehadiran sufiks aplikatif -ang. Struktur ini memiliki struktur dasar verba serialisasi pada tataran inti dan melalui proses penaikan (raising) dari struktur datif. Keduanya mengandung makna yang berbeda, yakni verba serialisasi pada tataran goal dan proses datif raising mengandung makna ‘membantu’. Pembahasan Sedeng mengenai serialisasi verba BBDS ini menjadi acuan yang sangat bermanfaat dalam penelitian ini karena kesamaan teori yang digunakan dalam analisisnya. Selain itu, sebagai bahan perbandingan
dalam
menganalisis konstruksi klausa berpredikat verba serial BD meskipun secara morfologis berbeda tipologinya. Kosmas (2007) mengkaji struktur verba serial bahasa Rongga (KVSBR) menggunakan teori Lexical Functional Grammar (LFG) dengan metode wawancara dan pengamatan. Penelitian ini melibatkan teknik elisitasi,
15
pengamatan berpartisipasi, rekam, dan catat. Analisis terhadap data yang diperoleh menggunakan metode padan dan metode agih, yang diimplementasikan dalam teknik perluas, lesap, dan ubah wujud. Penyajian analisis data ditampilkan dalam bentuk formal dan informal. Hasil penelitian Kosmas ini juga merupakan salah satu bagian dalam buku tata bahasa Rongga yang merupakan karya bersama oleh Arka dkk. (2007:187--223). Hasil penelitian Kosmas ini juga sama seperti yang terdapat pada buku tersebut. Pembahasan atas sejumlah data KVS BR menunjukkan bahwa secara sintaktis membentuk sebuah klausa tunggal atau klausa sederhana. Karena membentuk sebuah klausa, maka fungsi gramatikal SUBJ yang terdapat pada klausa tersebut menjadi SUBJ bersama bagi kedua verba pembentuk KVS tersebut seperti pada contoh berikut. 1).
Kazhi ngai la’a pita bhate ko fato one kala (PWPJ) 3TG sedang pergi cari semua PART bekal di hutan “Dia sedang pergi cari makanan di hutan” SUBJ kazhi “dia” pada klausa di atas merupakan SUBJ bersama bagi
predikat KVS la’a pita ‘pergi cari’. Selain itu, kemunculan penanda aspek ngai ‘sedang’. Tampak bahwa aspek ngai pada klausa tersebut merupakan satu unit dengan KVS. Artinya, penanda aspek tidak hanya berhubungan dengan V atau 1
V , tetapi berhubungan langsung dengan kedua-duanya. Secara struktural, semua 2
verba sebagai unsur pembentuk KVS (V dan V ) BR berada di bawah satu simpul 1
2
struktur frasa dalam struktur konstituen, yakni simpul FV. Verba serial tau medho ‘buat jatuh/menjatuhkan’ pada klausa di atas terbentuk oleh verba transitif tau ‘buat’ sebagai V , dengan verba intransitif 1
16
medho ‘jatuh’ sebagai V . Jadi, secara kategorial, serialisasi verba pada klausa di 2
atas merupakan serialisasi dengan pola kategori gramatikal yang sama, yaitu verba dengan verba (V + V ). Jadi, pola KVS tersebut adalah pola V1 transitif + V2 1
2
intransitif. Keketatan hubungan antara verba pembentuk KVS BR (V dan V ) 1
2
pada tataran sintaksis dalam bahasa Rongga, tidak selalu berimplikasi pada keketatan hubungan semantis. Hubungan semantis antara verba pembentuk KVSR bervariasi dan tidak selalu jelas. Dalam arti bahwa serialisasi bisa membentuk konstruksi yang berkolokasi dan terleksikalisasi sehingga maknanya tidak terprediksi sepenuhnya dari makna subpredikatnya (salah satu verba pemebentuk KVS) meskipun kadang kala makna yang dihasilkan oleh KVS itu masih sedikit transparan. Penelitian terhadap KVSR ini menjadi sumber acuan penting sebagai bahan bandingan penulis dalam meneliti konstruksi predikat kompleks khususnya struktur predikat kompleks dalam klausa BD. Selain itu, penelitian Kosmas ini bermanfaat karena antara BR dan BD sama-sama merupakan kelompok bahasa Austronesia. Selain itu, secara morfologis merupakan bahasa isolatif meskipun harus diakui bahwa istilah yang digunakan dalam penelitian ini berbeda. Brill (2007) membahas predikat kompleks bahasa-bahasa Oseania dengan mengaplikasikan teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA). Hasil analisis Brill terhadap beberapa bahasa Oseania membuktikan bahwa fungsi-fungsi asimetris dan simetris predikat kompleks terdapat pada level inti (core) dan nukleus (nuclear). Modifikasi verba yang lebih banyak dikompresikan dalam predikat kompleks adalah sequential dan action-goal actions dan yang paling sedikit
17
adalah sebab – akibat (cause-result). Semua ini sering didasarkan pada tipe makna verba, yaitu keadaan, postur, gerak, dan arah. V2 cenderung memodifikasi fungsifungsi tersebut. Faktor-faktor yang mendukung konstruksi predikat kompleks bahasabahasa Oseania berdasarkan penelitian Brill ialah (1) sedikitnya morfem infleksional sehingga berkontribusi pada sintaksis dan ketidakjelasan fungsi dan (2) predikat kompleks sering memiliki pemarkah kasus dan fungsi perluasan valensi khususnya untuk partisipan yang didasarkan pada hierarki semantis. Kedua faktor di atas sering menyebabkan penafsiran ganda terhadap makna sehingga untuk mengatasinya maka makna predikat kompleks dalam bahasa-bahasa Oseania ini harus dilihat dari konteksnya. Sayangnya, Brill tidak menjelaskan secara terperinci mengenai hal ini bahwa apakah konteks yang dimaksud hanya sebatas pada nukleus kompleks atau keseluruhan struktur sintaksisnya. Selain itu, pembahasan lebih banyak mengulas predikat kompleks pada sendi lapisan nukleus meskipun realisasinya juga ada pada level inti. Analisis
Brill
terhadap
bahasa-bahasa
Oseania
mengantarkannya
menetapkan beberapa kriteria sebagai batasan dalam mengidentifikasi konstruksi predikat kompleks, yakni (1) terdiri atas serangkaian predikat yang mengandung satu predikat tunggal, (2) membentuk satu entitas prosodik tunggal tanpa sela di antara, (3) berbagi kala (tense), aspek (aspect), dan modal (modal) yang sama, atau jika tidak memiliki pemarkah yang sama, maka semua pemarkah akan berada di bawah lingkup pemarkahan negasi, (4) berdiri sendiri secara leksikal dan dapat diprediksi secara semantis (kebalikan dari co-lexical compound), (5) tidak
18
membuktikan hilangnya properti morfosintaksis atau ketiadaan pola tekanan atau bentuk fonologis. Pembahasan Brill mengenai predikat kompleks dalam bahasa-bahasa Oseania ini menjadi bahan pertimbangan dan acuan yang sangat bermanfaat bagi penulis ketika menganalisis konstruksi verba serial BD. Selain itu, penelitian Brill ini juga mengaplikasikan teori yang sama sehingga akan menjadi bahan rujukan penting dalam penelitian ini terutama tentang tata urut serta modifikasi verba dalam konstruksi verba serial BD. Penelitian lain sebagai acuan dalam penelitian ini dilakukan oleh Subiyanto (2013) yang mengkaji predikat kompleks bahasa Jawa (BJ) dari aspek sintaksis dan pragmatik, khususnya struktur informasi menggunakan teori tipologi dan teori Tata Bahasa Leksikal-Fungsional (TLF). Selain itu, penelitian ini juga menggunakan Teori Pemetaan Leksikal (TPL), yang merupakan bagian dari TLF. Teori ini diterapkan khususnya untuk menjelaskan alternasi diatesis dalam konstruksi predikat kompleks BJ. Fokus penelitian Subiyanto pada predikat kompleks BJ ini meliputi lima hal, yakni tipe-tipe semantik dan karakteristik predikat kompleks, struktur fungsi gramatikal, struktur konstituen dan korespondensinya dengan struktur fungsi gramatikal, struktur informasi dan korespondensinya dengan struktur konstituen dan struktur fungsional, serta alternasi diatesis dan pemetaan leksikal dalam predikat kompleks BJ. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa predikat kompleks BJ memiliki sembilan tipe semantik, yakni (1) tipe gerakan, (2) tipe kecaraan, (3) tipe
19
komitatif, (4) tipe instrumental, (5) tipe postur, (6) tipe komitmen, (7) tipe kausatif, (8) tipe sebab-akibat, dan (9) tipe aspektual dan modalitas. Ciri predikat kompleks yang dimiliki BJ adalah (1) dibentuk oleh verba-verba inti atau verba bantu dan verba inti tanpa dihubungkan oleh pemarkah koordinatif atau subordinatif, (2) diucapkan dalam satu unit intonasi, (3) dapat memiliki pola berdampingan atau terbelah, (4) verba-verba inti pembentuk predikat kompleks memeroleh afiks verbal (verbal affixes), (5) dibentuk oleh verba, baik transitif maupun intransitif, (6) verba-verba pembentuk predikat kompleks dapat berbagi pemarkah negasi, dan (7) verba-verba pembentuk predikat kompleks berbagi satu atau dua argumen inti. Berdasarkan ciri morfosintaksis, predikat kompleks BJ termasuk dalam serialisasi bebas. Di samping itu, predikat kompleks BJ juga memiliki serialisasi semiterikat, yang ditunjukkan oleh kehadiran predikat kompleks tipe kausatif. Penelitian Subiyanto ini memberikan sumbangsih yang cukup signifikan dalam meneliti konstruksi verba serial BD, terutama dalam menganalisis struktur dan fungsi setiap konstituen dalam verba serial BD. Penelitian ini juga kiranya sebagai acuan serta bahan perbandingan untuk melihat konstruksi verba serial ini dari perspektif teori yang berbeda. 2.1.
Konsep Konsep dalam penelitian menurut Berg (2001) adalah elemen-elemen
simbolik atau abstrak yang merepresentasikan objek, sifat, atau fitur-fitur objek, proses, atau fenomena. Konsep dapat dipakai untuk mengomunikasikan ide atau memperkenalkan perspektif tertentu, atau dapat dipakai sebagai alat untuk
20
membuat generalisasi. Terkait dengan ide, konsep merupakan hal penting karena merupakan dasar komunikasi dan pemikiran. Konsep juga merupakan alat untuk membuat orang lain memahami apa yang dipikirkan oleh peneliti. Atas dasar pemahaman tersebut, agar penelitian dapat lebih terarah, konsep-konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah verba serial, struktur klausa, morfosintaksis, serta fungsi dan makna verba serial. 2.2.1
Verba serial Verba sebagai unsur inti pengisi fungsi predikat dalam klausa, bisa muncul
dalam bentuk verba sederhana atau verba tunggal, tetapi bisa juga dalam bentuk verba kompleks atau verba serial. Konsep verba serial dalam penelitian ini mengacu pada karakteristik verba serial sebagai ciri pembeda antara konstruksi serial dan konstruksi verbal biasa atau konstruksi lain yang dikemukakan oleh Durie (1997: 291) dan Aikhenvald (2006:3--4). Karakteristik verba serial yang dikemukakan kedua linguis ini dapat dicermati dari aspek morfologis, sintaksis, dan semantik yang dapat dirangkum sebagai berikut. a)
Secara morfologis: pemarkahan dapat terjadi hanya pada salah satu verba atau tiap-tiap verba tersebut memeroleh pemarkahan yang sama.
b) Secara sintaksis: (i) konstruksi klausa berpredikat verba serial diisi oleh dua verba atau lebih; (ii) biasanya membentuk satu klausa (monoklausal) dengan kebersamaan argumen atau kategori fungsional: (a) mempunyai satu subjek (b) mempunyai subjek dan objek bersama, (c) mempunyai katergori gramatikal bersama kala (tense), aspek, dan negasi; (iii) tidak disela oleh
21
pemarkah konjungsi, baik kordinasi maupun subordinasi; (iv) keberadaan verba serial sebagai elemen pengisi fungsi predikat dalam sebuah klausa dapat berdanpingan atau terbelah. c)
Secara semantik: konstruksi verba serial dikonsepsikan sebagai peristiwa tunggal.
2.2.2
Struktur Klausa Struktur klausa dalam penelitian ini mengacu pada hierarki struktur klausa
dalam teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA) yang disebut Struktur Lapisan Klausa (SLK) (Van Valin dan La Polla, 1997:26). Unit-unit sintaksis dalam SLK ini adalah nukleus (nucleus), inti (core), dan perifer (periphery). Kaidah struktur verba serial dalam teori ini diwujudkan melalui kaidah ikatan sendi pada lapisan nukleus (nuclear juncture) dan sendi lapisan inti (core juncture). Kedua pola ikatan sendi (juncture) yang dimaksudkan Van Valin dan La Polla, (1997:442) sebagai berikut. 1)
Nuclear juncture: [CORE … [NUC PRED] …+… [NUC PRED] ….]
2)
Core juncture:
2.2.3
[CLAUSE … [CORE …] … +… [CORE …] … ]
Morfosintaksis Morfosintaksis adalah gabungan dari morfologi dan sintaksis. Morfologi
pengertiannya
membicarakan sruktur
internal kata,
sedangkan
sintaksis
membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain. Morfosintaksis sangat penting karena untuk menyebut kedua bidang itu sebagai satu bidang pembahasan, morfologi dan sintaksis terkadang dianggap satu pengertian.
22
Ulasan mengenai morfosintaksis dalam penelitian ini menyangkut pemarkahan morfologis dalam struktur klausa berpredikat verba serial. 2.2.4
Tipe Konstruksi Verba Serial Bahasa Dawan Tipe konstruksi verba serial bahasa Dawan dalam penelitian ini didasarkan
pada analisis terhadap makna verba-verba yang membentuk KVS BD. Tipe dapat mengungkap fungsi dari rangkaian verba-verba yang membentuk KVS seperti yang dikemukakan oleh Brill (2007) bahwa interpretasi fungsi konstruksi verba serial itu sendiri bisa terletak pada beberapa faktor, misalnya kelas verba atau predikatnya, tata urutnya secara sintaksis, atau secara konteksnya. 2.3 Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Tata Bahasa Peran dan Acuan (TPA). Teori ini pertama kali diusulkan oleh Foley dan Van Valin (1980), kemudian dikembangkan meluas oleh keduanya (Folley & Van Valin, 1984), tetap dan relatif tak mengalami perubahan hingga akhir 1990-an. (lih. Van Valin, 1993; Van Valin & LaPolla, 1997). Teori ini kemudian mengalami revisi dan pengembangan, yakni pada aspek ikatan klausa pada level kalimat kompleks (Van Valin, 2005; 2007). Alasan fundamental yang mendasari munculnya teori ini adalah bagaimana menjelaskan dan memahami hubungan antara sintaksis, semantik, wacana, dan pragmatik dalam sistem granmatikal yang berbeda-beda. Ada beberapa hal penting yang menjadi objek kajian teori TPA, yaitu (1) bahasa dipandang sebagai suatu sistem komunikasi manusia (communicative competence)
23
bukan seperangkat struktur kalimat (syntactic competence); 2) berfokus pada fungsi bahasa (fungsional explanation) khusus fenomena morfosintaksis, relasi pemarkahan, pragmatik, dan sosiolinguistik; (3) sentralitas semantik, pragmatik dan motivasi sintaksis; (4) dimensi kognisi; (5) teks dan hubungannya dengan konteks; dan (6) konsiderasi tipologis (tipologi leksikal). 2.3.1 Struktur Klausa dalam TPA Konsep TPA tentang struktur klausa dikenal dengan Struktur Lapisan Klausa (SLK). Unit sintaksis sebagai elemen pengisi predikat disebut nukleus (nucleus), sedangkan unit sintaksis yang berisi argumen dan nukleusnya disebut inti (core). Unit yang berada pada posisi bukan argumen inti (core argument) disebut perifer (periphery). Dengan demikian, klausa terdiri atas sebuah inti dan sebuah perifer. Komponen dari SLK dari klausa tersebut dapat digambarkan seperti di bawah ini. CLAUSE CORE Saya
makan
PERIPHERY nasi
di warung
NUCLEUS Dijelaskan pula dalam teori ini bahwa sebuah klausa dalam beberapa bahasa mempunyai Pre-Core Slot (PRCS), yakni posisi kata tanya (WH-words) dalam sebuah bahasa seperti bahasa Inggris dan Posisi Lepas Kiri (PLK) yakni posisi elemen pre-clausal dalam sebuah konstruksi lepas atau NP misalnya dimarkahi dengan –(n)un dalam bahasa Korea atau wa dalam bahasa Jepang.
24
Lebih lanjut, beberapa bahasa verb-final memiliki Post-Core Slot (POCS) dan beberapa bahasa mempunyai Posisi Lepas Kanan (PLKan), yaitu posisi elemen post-clausal dalam sebuah konstruksi right-dislocation. Kategori gramatikal yang secara morfologis merupakan kelas tertutup, seperti kala (tense), aspek (aspect), negasi (negation) dan modal (modal) dalam teori struktur klausa dalam TPA disebut operator. Representasi aspek keuniversalan dari struktur lapisan klausa dalam TPA digambarkan dalam diagram pohon berikut. SENTENCE CLAUSE CORE ARG
NUCLEUS
PERIPHERY ARG
PRED Saya
makan
nasi
di warung
Adapun konstruksi kalimat kompleks melibatkan kombinasi antara nuclei dengan nuclei, core dengan core, klausa dengan klausa, atau kalimat dengan kalimat. Dalam TPA, kombinasi ini disebut dengan lapisan sendi (juncture), yaitu sendi pada lapisan nukleus (nuclear juncture), sendi lapisan inti (core juncture), sendi lapisan klausa (clausal juncture) (Van Valin & La Polla, 1997:442). Pola konstruksi kalimat kompleks dalam TPA seperti terlihat di bawah ini. a. [CORE … [NUC PRED] …+… [NUC PRED]
Lapisan Nukleus
b. [CLAUSE … [CORE …] … +… [CORE …] … ] Lapisan Inti c. [SENTENCE … [CLAUSE … ] …+… [CLAUSE …] …] Lapisan Klausa
25
Berikut ini beberapa contoh sendi lapisan nukleus dan inti dalam beberapa bahasa yang dikutip dari Sedeng (2010:297). 2). Lapisan Nukleus a. Fu fase fi isoe 3T surat duduk tulis Dia duduk dan menulis surat b. Ina boter beli a’u apel Ibu beli beri 1T apel Ibu membelikan saya apel 3). Lapisan Inti a. Fu fi fase isoe 3T duduk surat tulis ‘Dia duduk dan menulis surat’ b. Ina boter apel beli a’u Ibu beli apel beri 1T ‘Ibu membeli apel untuk saya
(bahasa Berai)
(bahasa Sikka)
(bahasa Berai)
(bahasa Sikka)
Relasi sintaksis antarunit dalam TPA disebut nexus. Secara tradisional, hanya terdapat dua relasi nexus yang diakui, yakni koordinasi dan subordinasi, tetapi dalam TPA mempostulatkan tiga tipe nexus, yaitu koordinasi, subordinasi, dan kosubordinasi. Koordinasi ditandai oleh penggabungan dua unit atau lebih yang memiliki status yang sama, kemudian dalam kasus klausa secara keseluruhan, semua klausa memiliki bentuk klausa yang mandiri. Sebaliknya, subordinasi menyertakan pelekatan satu unit pada unit yang lain dan unit yang melekat biasanya tidak memiliki bentuk klausa yang mandiri atau struktur terikat. Sementara itu, kosubordinasi secara tradisional didefinisikan sebagai unit-unit yang wajib membagi satu operator atau lebih dalam level sendi. Ketiga tipe nexus dalam kalimat kompleks ini dapat dicermati dalam data bahasa Kewa (Van Valin & LaPolla, 1997:450) di bawah ini.
26
3) a. Nipu ipu-la pare ni paala na-pia 3T datang-3T PRES tetapi 1T takut NEG –KOP 3T PRES Dia datang tetapi saya tidak takut b. (Ni) epo la-ri epa-wa 1T siul ucap-SIM.SS datang-1T PAST ‘Saya bersiul ketika datang’ atau ‘saya datang bersiul’ c. (ni) epo la-lo-pulu irikai epa-lia 1T siul ucap-1T PRES-CAUSE anjing datang-3T FUT Karena saya bersiul, anjing itu datang Konstruksi kalimat (a) jelas merupakan koordinasi karena tiap-tiap klausa dapat berdiri sendiri, di mana dalam kalimat tersebut dihubungkan oleh konjungsi pare ‘tetapi’. Istilah ‘koordinasi’ di sini digunakan untuk sebuah relasi keterkaitan yang mengacu pada sebuah relasi ekuivalen dan bebas pada level juncture. Ini berbeda dengan kata sambung (conjunction), yang merupakan tipe konstruksi dari bentuk umum ‘X conj Y’. Konstruksi (b) secara sekilas memperlihatkan konstruksi subordinasi seperti (c), tetapi yang membedakan adalah verba klausa pertama epo la-ri tidak bisa berdiri sendiri karena tidak memiliki pemarkah, baik nomina maupun kala sedangkan kedua epa wa bisa karena memiliki pemarkah nomina dan kala. Ini yang disebut dengan konstruksi acuan silang. Acuan silang pada sebuah klausa memperlihatkan ketergantungan dengan operator yakni misalnya kala dan ilocutionary force. Sebaliknya, pada (c) dimarkahi oleh kala dan nomina di samping terdapat tambahan morfem yang bermakna subordinatif –pulu ‘sebab’. 2.3.2 Aspek Semantik Semantik memainkan peran yang sentral dalam TPA. Aspek-aspek semantik dalam TPA meliputi hal-hal berikut.
27
2.3.2.1 Representasi leksikal verba dan elemen-elemen predikat lainnya Inti pendekatan TPA tentang representasi leksikal adalah sistem dekomposisi yang diadopsi dari pandangan Vendler tentang actioasart, yaitu klasifikasi verba ke dalam state, activity, achievement, dan accomplishment. Van Valin menambahkan dua tipe yang lain yaitu semelfactive dan active accomplishment (Van Valin, 2007). Representasi semantik dalam TPA didasarkan pada sistem dekomposisi leksikal mengikuti teori actionsart dari Vendler. Struktur dekomposisi leksikal ini dalam TPA disebut struktur logis. 2.3.2.2 Peran semantik Peran semantik dalam TPA berbeda dari teori-teori lain, yaitu terletak pada relasi tematik dan peran makro semantik, yaitu peran semantik yang bersifat universal (Van-Valin, 2001). Dalam TPA, relasi tematik ini sebagai posisi argumen yang berada pada struktur logis verba, misalnya verba “pecah” yang termasuk dalam verba state yang memiliki satu argumen yang berperan sebagai penderita. Hanya terdapat dua peran semantik dalam TPA yaitu actor dan undergoer. 2.4 Model Penelitian Penelitian berjudul “Konstruksi Verba Serial bahasa Dawan” ini diawali dengan proses data, baik data lisan maupun data tulisan berupa klausa atau kalimat yang berpredikat verba serial. Data yang telah diperoleh diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. Selanjutnya, data yang telah diklasifikasikan dianalisis dengan menggunakan teori Tata Bahasa Peran dan Acuan. Hasil analisis data dirumuskan menjadi temuan penelitian
28
sesuai dengan tujuan penelitian ini. Selengkapnya model penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada bagan berikut ini.
Bahasa Dawan
Data Lisan Klausa / Kalimat Verba Serial
Struktur KVS BD
Pemarkah KVS BD
Teori Tata Bahasa Peran dan Acuan
Hasil Penelitian
Data Tulis
Tipe KVS BD
29
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian Penelitian konstruksi verba serial bahasa Dawan (BD) ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini diaplikasikan dengan tujuan membuat deskripsi mengenai sifat-sifat, keadaan, serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti sehingga akan didapat gambaran data yang ilmiah (Sudaryanto, 1993:62-63).
Dengan
demikian,
penelitian
ini
dilakukan
berdasarkan
filsafat
fenomenologis, yakni disajikan sebagaimana adanya sesuai dengan pemakaian. Selanjutnya, dalam upaya memecahkan masalah, ada tiga tahap strategis yang berurutan, yaitu menyediakan data, menganalisis data yang telah disediakan, dan menyajikan hasil analisis data yang bersangkutan. Semua data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data verbal berupa kalimat, tidak dalam bentuk angka, serta analisis terhadap data yang telah dipilih dilakukan menggunakan teknik analisis deskriptif-argumentatif dan kualitatif. Dalam hal ini, konsepsi metodologis kualitatif mengacu pada konsepsi epistemologis fenomenologis yang menyatakan bahwa objek ilmu tidak hanya terbatas pada data sensual atau empirik, tetapi mencakup fenomena yang berupa persepsi, kemauan, dan keyakinan subjek tentang sesuatu di luar subjek. 3.2 Lokasi Penelitian Bahasa Dawan memiliki sepuluh dialek dengan wilayah pakai yang luas, yaitu meliputi sebagian besar daratan Timor barat. Akan tetapi, penulis
30
memfokuskan diri pada dialek Amanuban, yaitu salah satu dialek di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS). Pertimbangannya adalah karena secara geografis, wilayah ini berada di antara dua kabupaten lain dari penutur BD. Dengan demikian, pengaruh bahasa lain, seperti bahasa Tetun dan Melayu Kupang sangat sedikit. Pemilihan dialek Amanuban karena dialek ini memiliki wilayah persebaran penutur paling luas, yaitu meliputi kecamatan Amanuban Barat, Amanuban Timur, Amanuban Tengah, Amanuban Selatan, Kolbano, dan Kota Soe. Meskipun begitu, tidak disangkal bahwa terdapat pengaruh dialek lain mengingat berbagai bidang perkembangan sehingga memudahkan interaksi antarpenutur dari berbagai dialek. Misalnya, seorang pendeta, guru, atau kepala desa yang bukan orang setempat, tetapi perbedaan-perbedaan ini tidak berpengaruh signifikan dalam komunikasi. Perbedaan-perbedaan antardialek BD terdapat pada empat hal berikut. Pertama, tekanan (tone dan aksen) pengucapan. Kedua, perbedaan fonem, misalnya konsonan /r/ dan /l/. Perbedaan ini dapat dilihat dalam kata raku ‘ubi’ atau kero ‘monyet’ dalam dialek Amarasi, di mana akan dilafalkan laku atau kelo dalam dialek Amanuban. Ketiga, perbedaan ketiadaan dan kehadiran konsonan tertentu, misalnya, konsonan /j/ di mana konsonan ini terdapat pada dialek Molo dan Amfoang, tetapi tidak terdapat pada dialek Amanuban. Keempat, perbedaan leksikal, tetapi sangat sedikit, misalnya untuk kata sapi dalam dialek Amanuban adalah bie, sedangkan Molo bijae atau kata ‘noso’ dalam dialek Amanatun adalah ‘baju’, tetapi dalam Amanuban adalah ‘celana’.
31
3.3 Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena jenis data yang digunakan adalah data kualitatif. Data tersebut berupa kalimat atau klausa yang di dalamnya terkandung konstruksi verba serial. Sumber data ada dua yang digunakan, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer mengenai verba serial diperoleh langsung dari lapangan, yakni peneliti terlibat langsung dengan penutur BD untuk menjaring kalimat atau klausa. Data didapatkan dari percakapan-percakapan, baik formal maupun informal antara peneliti dan sumber data serta antarsumber data. Data tersebut juga diperoleh dari tiga orang informan untuk menguji tingkat keberterimaan KVS yang diperoleh dari data lapangan. Cara memeroleh informan dilakukan melalui key person, dengan alasan bahwa peneliti sudah memahami informasi awal tentang objek penelitian, yaitu berupa KVS yang diperoleh secara intuitif. Untuk menentukan informan digunakan teknik sampling purposif, yaitu informan dipilih berdasarkan pertimbangan tujuan penelitian. Dalam hal ini beberapa persyaratan telah ditentukan untuk memilih informan, yaitu sebagai berikut. 1) Penutur asli BD 2) Lahir dan dibesarkan di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT 3) Berumur antara 20 sampai dengan 60 tahun 4) Tidak cacat wicara 5) Memiliki kecakapan berbahasa 6) Bisa diajak berkomunikasi
32
7) Mempunyai pengetahuan dan keterampilan berbahasa yang memadai 8) Memiliki waktu yang cukup untuk wawancara 9) Bersedia memberikan informasi kebahasaan secara jujur Sumber
data
sekunder
diperoleh
dari
sumber
data
lain
yang
memungkinkan penulis memperoleh KVS, yakni berasal dari sumber-sumber bacaan dalam BD, seperti Alkitab, dan cerita-cerita rakyat. Alkitab yang dipakai adalah Beno Alekot: Sulat Knino anbi Uab Meto neno-neno (Kabar Baik: Alkitab dalam bahasa Dawan sehari-hari) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LIA) tahun 2000. Selain-sumber-sumber data ini, peneliti sebagai penutur asli BD juga merupakan sumber data. 3.4. Instrumen Penelitian Sugiono (2005:59) menjelaskan bahwa tedapat dua hal yang memengaruhi kualitas data penelitian, yaitu kualitas instrumen penelitian berkenaan dengan validitas dan reliabilitas instrumen, sedangkan kualitas pengumpulan data berkenaan dengan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Lebih lanjut, Sugiono mengatakan bahwa yang menjadi instrumen dalam penelitian kualitatif harus menguasai wawasan terhadap bidang yang diteliti dan betul-betul siap untuk memasuki objek penelitian. Pernyataan Sugiono ini sejalan dengan penjelasan Djajasudarma (1993:11) bahwa hanya manusia yang mampu menyadari situasi dan memahami kondisi di lapangan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian.
33
3.5. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode trianggulasi (lih. Hesse-Biber, 2010:3--4), yaitu menggabungkan beberapa metode sehingga bisa mengatasi keterbatasan dan kelemahan yang terdapat dalam setiap metode. Metode-metode yang diaplikasikan dalam penelitian verba serial BD ini adalah metode simak, wawancara, dan dokumentasi. Metode
simak
digunakan
untuk
menjaring
data
percakapan
(conversational discourse) penutur BD. Teknik yang digunakan dalam metode simak ini adalah teknik simak libat cakap dan simak bebas libat cakap (Sudaryanto, 1988:3). Dengan teknik ini, peneliti terlibat langsung dalam percakapan dan menyimak pembicaraan. Keterlibatan peneliti dalam pembicaraan tersebut bersifat aktif dan reseptif, tergantung situasi yang terjadi di lapangan. Kedua teknik ini dipadukan dengan teknik rekam dan catat. Metode berikutnya adalah metode wawancara yang dipakai untuk menguji keberterimaan dan ketidakberterimaan konstruksi kalimat atau klausa yang mengandung verba serial. Untuk mendapatkan data yang diinginkan, dalam wawancara mendalam digunakan teknik elisitasi (pancingan). Dengan teknik ini peneliti mengarahkan informan untuk mengungkapkan kalimat, klausa, atau frasa yang berkaitan dengan KVS. Selain untuk memeroleh data KVS, teknik elisitasi juga digunakan untuk memeriksa tingkat keberterimaan variasi struktur kalimat atau klausa yang di dalamnya terdapat verba serial. Dengan teknik ini diperoleh data KVS beserta variasi-variasinya yang muncul dalam bahasa lisan.
34
Metode pengumpulan data berikutnya adalah dokumentasi atau metode pustaka, yang dilakukan dengan memeriksa KVS yang terdapat dalam sumber tulis dalam bahasa Dawan, yaitu Beno Alekot: Sulat Knino anbi Uab Meto nenoneno (Kabar Baik: Alkitab dalam bahasa Dawan sehari-hari) terbitan Lembaga Alkitab Indonesia (LIA) tahun 2000. Teknik yang digunakan dalam metode ini adalah teknik catat, yang dilakukan dengan mencatat konstruksi-konstruksi verba serial BD. Dalam penelitian ini peneliti sebagai penutur bahasa BD berperan pula sebagai sumber data dan sekaligus sebagai pengontrol kesahihan data yang bersangkutan. Metode yang demikian disebut dengan metode introspeksi (Muhamad, 2011:215). Dalam hal ini, data yang dibuat atas dasar intuisi kebahasaan peneliti, bila dianggap meragukan, ditanyakan atau diperiksa ulang melalui informan lain melalui metode wawancara untuk menguji keberterimaan dan ketidakberterimaan data. Dengan kata lain, metode ini digunakan untuk mengecek kevalidan dan validitas data. 3.6. Metode dan Teknik Analisis Data Data yang diperoleh melalui pengumpulan data dengan sistem triangulasi di atas dianalisis dengan metode padan atau metode agih. Dalam hal ini metode padan menggunakan alat penentu di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan, sedangkan metode agih menggunakan alat penentu berupa bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13--15). Kedua metode ini saling melengkapi untuk memeroleh hasil analisis data yang valid.
35
Dalam penelitian ini digunakan teknik analisis data berupa teknik pilah unsur penentu (PUP) dan teknik bagi unsur langsung (BUL) yang masing-masing merupakan teknik dasar dalam metode padan atau metode agih (Sudaryanto 1993:21, 31). Dengan daya pilah referensial, teknik PUP digunakan, di antaranya untuk mengklasifikasikan tipe KVS berdasarkan hubungan semantis verba-verba yang membentuk KVS. Dengan teknik PUP ini akan ditemukan tipe-tipe verba serial berdasarkan ciri semantis verba-verba pembentuknya. Teknik dasar berikutnya, yaitu teknik BUL digunakan untuk membagi satuan lingual yang terdapat dalam KVS. Dalam analisis data, teknik BUL diterapkan untuk mengetahui konstituen-konstituen yang membentuk KVS, baik secara kategorial atau berdasarkan kategori kata maupun secara fungsional. Dengan teknik BUL ini dapat dianalisis struktur konstituen dan struktur fungsional KVS. Selain teknik dasar, dalam penelitian ini digunakan pula teknik lanjutan, yang merupakan teknik lesap, teknik ganti, teknik sisip, teknik balik, teknik perluas. Teknik lesap diterapkan di antaranya untuk menentukan kadar keintian verba yang membentuk verba serial dan untuk menguji apakah verba-verba yang membentuk verba serial merupakan verba inti sehingga verba-verba tersebut dapat berdiri sendiri dalam klausa tunggal. Dengan kata lain, pelesapan salah satu verba pembentuk verba serial tidak berpengaruh pada tingkat keberterimaan kalimat. Dengan teknik lesap, dapat ditentukan KVS yang dibentuk dari verba-verba inti dan verba serial yang dibentuk dari verba bantu leksikal dan verba inti.
36
Teknik ganti diterapkan dengan mengganti satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain. Teknik ini digunakan untuk menentukan tingkat universalitas tipe KVS serta kendala (constraint) yang ditemukan dalam pembentukan KVS dengan tipe tertentu. Dengan teknik ini dapat diketahui kadar kesamaan jenis verba, baik secara sintaksis maupun semantis, yang membentuk KVS BD. Teknik berikutnya adalah teknik sisip dan teknik perluas. Teknik ini diaplikasikan di antaranya untuk menguji apakah verba serial membentuk klausa tunggal atau klausa ganda. Dengan teknik sisip dan teknik perluas bagi verba, berbagai alat uji sintaksis (syntactic operators), seperti pemarkah negasi, waktu, atau penggunaan adverbia dapat digunakan untuk menguji verba serial. Apabila verba-verba pembentuk verba serial bisa memeroleh perbedaan pemarkah tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa KVS tersebut membentuk klausa ganda. Namun, apabila verba-verba pembentuk verba serial hanya bisa memiliki pemarkah negasi atau pemarkah waktu yang sama, maka ada KVS harus dicurigai sebagai klausa tunggal. Penelitian ini juga menggunakan teknik balik, yaitu teknik analisis yang berupa pembalikan unsur satuan lingual. Kegunaan teknik ini adalah untuk mengetahui kadar ketegaran letak suatu unsur dalam susunan beruntun (Sudaryanto, 1993:74). Dalam penelitian ini, teknik balik diterapkan untuk menguji tingkat keberterimaan pola urutan konstituen dalam KVS. Misalnya, dengan membalik nhel nasanu “menarik turun” menjadi nasanu nhel atau urutan verba transitif–intransitif dbalik menjadi intransitif-transitif. Teknik balik ini
37
digunakan pula untuk menganalisis pola urutan konstituen serta kendala yang ditemukan dalam pola urutan konstituen dalam KVS. Dalam proses analisis data dilakukan tahap-tahap sebagai berikut. 1) Mengklasifikasikan
data
konstruksi
klausa
berpredikat
serial
untuk
menentukan keberadaan sendi lapisan klausa (juncture) konstruksi tersebut serta relasinya. 2) Melakukan pengujian terhadap variasi pola urutan konstituen. 3) Melakukan
pengujian
terhadap
tiap-tiap
tipe
verba
serial
dengan
menggunakan operator sintaksis atau alat uji sintaksis seperti penggunaan negasi dan adverbia untuk menemukan modus kombinasi verba-verba pembentuk predikat kompleks. Di samping itu, juga untuk menunjukkan mekanisme penggunaan argumen bersama dalam (argument sharing) tiap-tiap tipe verba serial. 4) Mengklasifikasikan data KVS berdasarkan hubungan semantis verba-verba untuk menentukan fungsi dan makna verba serial BD. 5) Tahap akhir analisis adalah membuat simpulan secermat mungkin berdasarkan fakta di lapangan dan hasil analisis data. 3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Metode formal dan informal dapat digunakan untuk penyajian hasil analisis data. Metode formal adalah metode penyajian analisis data dengan menggunakan lambang-lambang dan tanda, sedangkan metode informal menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145). Dalam penelitian ini, hasil analisis data disajikan, baik dengan menggunakan metode formal maupun metode
38
informal. Penyajian hasil analisis juga mengikuti proses deduktif dan induktif dengan tujuan pemaparannya tidak monoton.
39
BAB IV STRUKTUR DASAR KLAUSA BAHASA DAWAN 4.1 Pengantar Bab ini berisi penjelasan tentang struktur dasar klausa bahasa Dawan (BD). Penjelasan mengenai struktur dasar klausa ini sebagai sebuah pemahaman awal bagi pembaca untuk memahami konstruksi verba serial BD. Untuk itu, pembahasan ini meliputi pronomina BD, pola urut konstituen dalam sebuah klausa, ketransitifan dan realisasinya dalam klausa atau kalimat, serta pemarkahan morfologis. Pentingnya pembahasan mengenai pronomina BD ini dimaksudkan agar pembaca memiliki pemahaman awal tentang pronomina, baik yang berfungsi sebagai subjek maupun objek sebuah klausa karena BD memiliki pronomina yang berbeda-beda ketika berada pada posisi tertentu. Selain itu, pronomina BD selalu melekat pada predikat dalam bentuk morfem terikat, yaitu klitik. Penjelasan mengenai pola urut konstituen klausa sebagai pemahaman dasar pembaca dalam memahami tata urut konstituen-konstituen yang membentuk sebuah klausa, terutama struktur klausa verbal sehingga dapat memberikan gambaran jelas dalam memahami KVS BD. Ketransitifan verba sebagai elemen inti klausa verbal menjadi penting karena dalam KVS, predikat serialisasi dapat diisi oleh kombinasi verba yang memiliki nilai ketransitifan yang berbeda. Pembahasan mengenai pemarkahan morfologis juga menjadi hal penting untuk dikemukakan dalam bab ini mengingat hasil penelitian tidak menemukan produktivitas afiks sebagaimana dikemukakan oleh peneliti-peneliti sebelumnya.
40
Ketiadaan afiks dalam verba BD, ini merupakan salah satu alasan keberadaan KVS BD misalnya dalam konstruksi kausatif selain kendala makna leksikal dari sebuah verba. 4.2 Pronomina Bahasa Dawan Ada tiga macam pronomina dalam BD, yakni (1) pronomina persona, (2) pronomina penunjuk, dan (3) pronomina penanya. Pronomina BD mempunyai dua bentuk, yaitu pronomina bebas dan terikat. Pronomina bebas adalah pronomina yang dapat berdiri sendiri sebagai sebuah kata, sedangkan pronomina terikat selalu melekat pada kategori lain. Dalam tulisan ini pronomina terikat disebut klitik (Tarno dkk., 1992; Aikhenvald, 2003:25; Dixon, 2010:221), yaitu proklitik dan enklitik. Payne (2007: 22) juga menjelaskan bahwa klitik merupakan morfem terikat yang berfungsi pada level frasa atau klausa. Artinya, pada level klausa klitik merupakan suatu elemen bebas secara sintaksis karena pemarkah ini diperlakukan sebagai sebuah kata bebas. Karena
klitik
menyerupai sebuah
morfem
terikat,
maka
untuk
membedakan sebuah afiks dan klitik, yaitu dilihat dari maknanya. Satyawati (2010:29) mengatakan bahwa klitik dan afiks merupakan konstituen linguistik yang secara morfologis berupa morfem terikat. Akan tetapi, secara sintaksis, afiks memiliki makna gramatikal, sedangkan klitik memiliki makna leksikal apabila keduanya melekat pada bentuk dasar. Pronomina bebas BD pempunyai perubahan bentuk oleh karena perbedaan fungsi pronomina itu dalam sebuah klausa, yaitu berfungsi sebagai subjek, objek, posesor, dan refleksif. Berikut ini realisasi pronomina BD dalam klausa, di mana
41
terlihat bahwa pronomina tersebut berbeda secara leksikal, baik pada fungsi SUBJ, OBJ, POSS, dan REFL. 1) Au Ɂ-bel 1T 1T-jatuh “Saya jatuh”
(DL)
2) Ho m-tuf kau 2T 2T-pukul 1T “Dia memukul saya”
(DL)
3) Hai mi-tik kim bol 1J.e 1J.e-tendang 1J.e-REFL bola “Kami sendiri yang bermain sepak bola”
(DL)
4) a.
(DL)
b.
Hi ume 2Je rumah “Rumah kalian” Hi ume nua 2Je rumah dua “Kalian memiliki dua buah rumah”
Pronomina au “saya” pada data (1) merupakan subjek gramatikal klausa tersebut. Artinya, klausa tersebut merupakan klausa intransitif yang menetapkan au “saya” sebagai satu-satunya argumen (S). Dalam data (2), predikat mtuf “memukul” menetapkan dua argumen, yaitu ho “engkau” pada fungsi SUBJ dan kau “saya” pada fungsi OBJ. Dalam data tersebut dapat dicermati pula bahwa terjadi perubahan bentuk pronomina au sebagai SUBJ (S) pada klausa intransitif seperti pada data (1) menjadi kau sebagai OBJ (U) pada klausa transitif pada data (2). Bila dilihat dari relasi gramatikalnya, au “saya” sebagai SUBJ gramatikal pada klausa intansitif (S) sama dengan SUBJ pada klausa transitif (A). Dengan demikian, S berperilaku sama seperti A, tetapi berbeda dengan U seperti ditunjukkan pada data (1-2) di atas.
42
Pronomina refleksif BD terlihat dalam data (3), yaitu kim “kami sendiri”. Sama seperti yang dijelaskan di atas, terjadi perubahan bentuk pronomina pada fungsi SUBJ dan sebagai REFL, yaitu hai menjadi kim dan merupakan pronomina bebas yang tidak melekat pada kata lain, tetapi berdiri sendiri sebagai sebuah kata. Sementara data (4a-b) menunjukkan pronomina bebas yang menyatakan kepemilikan. Pronomina ini memiliki bentuk yang sama dengan pronomina yang berfungsi sebagai subjek. Frasa kepemilikan BD berpola pemilik+termilik (possessor+possession) seperti ditunjukkan pada data (4a-b). Selengkapnya mengenai pronomina persona BD sesuai dengan fungsinya disajikan dalam tabel 1 berikut. Tabel 4.1 Pronomina Persona Bahasa Dawan PRONOMINA 1
2
3
SUBJEK
OBJEK
POSESIF
REFLEKSIF
T
au
kau
au
kuk
J.i
hit
kit
hit
kuk
J.e
hai
kai
hai
kim
T
ho
ko
ho
kum
P
hi
ki
hi
kim
T
in
-
in
kun
J
sin
sin
sin
kukun
Data pada tabel (4.1) di atas terlihat bahwa pronomina 3T pada fungsi OBJ tidak memiliki pronomina bebas karena pronomina ini hadir dalam bentuk terikat, yaitu enlitik –n dan dapat melekat pada bentuk dasar, baik sebagai proklitik maupun enlitik. Klitik BD sebagai morfem terikat melekat pada kategori kata terbuka, yaitu verba, nomina, adjektiva, dan tertutup, yaitu preposisi dan kata
43
tanya sebagai host-nya. Keberadaan klitik pada tiap-tiap kategori ini dapat dijelaskan sebagai berikut. 4.2.1 Klitik pada Verba Verba BD selalu hadir dalam bentuk terikat yaitu tidak berdiri sendiri, yaitu tergantung pada subjeknya. Terdapat dua jenis verba BD yang sebagai bentuk terikat yaitu dinyatakan dengan proklitik dan yang tidak dimarkahi, tetapi sudah dinyatakan oleh makna verba. Kedua bentuk verba dimaksud dapat dicermati dalam contoh berikut. 5) a.
Au u-niu’ 1T 1T-mandi “Saya mandi”
b.
Au u-niu oli’ 1T 1T-mandi adik “Saya memandikan adik”
(DI)
6) a.
Au eik hau 1T bawa kayu “Saya membawa kayu”
b.
Ho om 2T 2T-datang “Engkau datang”
(DI)
Data (5 a-b) memperlihatkan bahwa verba –niu “mandi” dimarkahi oleh proklitik u-, yaitu proklitik pemarkah subjek klausa. Verba -niu adalah salah satu contoh verba dasar BD tetapi tidak diucapkan sediri sebagai sebuah bentuk bebas. Proklitik u- dapat diganti dengan proklitik lain sesuai dengan subjek klausa tersebut, misalnya mi-niu “kalian mandi”, ta-niu “kita mandi” mu-niu “engkau mandi”, dan na-niu “dia mandi”. Berbeda dengan verba –niu “mandi”, verba eik “bawa” (sering pula bermetatesis menjadi eki) dan om “datang” pada data (6 a-b) merupakan dua buah verba dasar, tetapi secara sintaksis merupakan sebuah klausa utuh. Kedua verba ini secara implisit mengacu pada subjek 1T sehingga eki bermakna “saya membawa” dan om bermakna “saya/engkau datang”. Hal ini dapat dibuktikan dengan melesapkan pronomina bebas au “saya” dan ho “engkau sebagai SUBJ
44
dari kedua klausa tersebut tetapi tetap berterima sebagai sebuah klausa. Sebaliknya menambahkan proklitik 1T menjadi u-eik dan u-om tidak berterima. Verba BD juga dapat dimarkahi dengan enklitik sebagai pemarkah pronomina 3T pada konstruksi aplikatif dan dan tindakan yang dikenai pada diri sendiri (refleksif) seperti contoh berikut. 7) a. Ho m-fe-n kokis 2T 2T-beri-3T kue “Engkau memberinya kue”
(DL)
b. Ho m-fe kokis neu-n 2T 2T-beri kue PREP-3T “Engkau memberi kue kepadanya” 8) Au Ɂ-ek-ok Ɂ-bi ume nanan 1T 1T-tutup-1T-REFL 1T-PREP rumah dalam “Saya mengurung diri di dalam rumah”
(DL)
Data (7a) adalah contoh verba yang dimarkahi enklitik, yaitu –n yang adalah pronomina 3T pada verba –fe- “beri”. Proklitik –n pada verba sebagai enklitik 3T dapat dicermati pada (7b), yaitu melekat pada pada preposisi neu “kepada”. Sementara, data (8) adalah contoh enklitik yang bermakna refleksif, yaitu –ok pada verba –ek- “tutup”. Enklitik refleksif dapat berubah sesuai dengan subjek klausa. 4.2.2. Klitik BD pada Nomina Kehadiran klitik yang melekat pada kategori nomina berfungsi sebagai pemarkah posesif dan menderivasi nomina menjadi verba. Pemarkah posesif pada nomina hadir dalam bentuk enklitik yang mengacu pada pemilik. Enklitik pemarkah posesif ini hanya terdapat pada nomina yang melekat dengan pemilik
45
misalnya neka-n “hatinya”, luke-k “telingaku” dan tei-m “perutmu”. Enklitik posesif ini juga sering hadir dalam bentuk silabik seperti data berikut. 9) a. Au tei-k 1T perut-1T-POSS “Perut saya”
b.
c. Au tei-ku na-men 1T perut-1T-POSS 3T-sakit “Perut saya sakit”
Au tei-ku 1T perut-1T-POSS “Perut saya” **d.
Au tei-k na-men 1T perut-1T-POSS 3T-sakit “Perut saya sakit”
Data (9) adalah contoh penggunaan enklitik posesif 1T pada nomina tei“perut”. Contoh (a—b) sama-sama berterima, enklitik –k dapat digunakan dengan bentuk silabik –ku. Sebaliknya, enklitik –k wajib hadir dalam bentuk silabik –ku seperti ditunjukkan dalam (c) karena ada konstituen lain sebagai predikat. Perubahan –k menjadi –ku terjadi karena klausa tersebut diperlakukan sebagai satu rangkaian bunyi secara fonologis sehingga –ku membentuk satu suku kata. Tanpa perubahan ini maka klausa tersebut tidak berterima seperti pada contoh (d). proklitik na- pada –men “sakit” mengacu pada FN au tei-ku “perut saya”. Selain klitik pada nomina yang berfungsi menyatakan kepemilikan seperti yang sudah dijelaskan, kehadiran klitik pada nomina tertentu dapat menderivasi nomina tersebut menjadi verba seperti hau “kayu”, eno’ “pintu’, hau tuka “kayu pendek”, atau ‘fanu’ “baju”. Proses derivasi nomina-nomina tersebut menjadi verba dapat dicermati pada data berikut. 10) a. Bapa na-hau suni Ayah 3T-kayu parang “Ayah membuatkan gagang pada parang” b. In na-eon in ume 3T 3T-pintu 3T rumah “Ia membuat pintu pada rumahnya”
46
c. Kulu n-hau tuk kau Guru 3T-kayu pendek 1T “Guru memukul saya dengan kayu pendek” Ketiga data (10) di atas memperlihatkan proses derivasi dari nomina (a) hau “kayu” menjadi na-hau “membuat(kan) gagang”, (b) eno “pintu” menjadi naeon “membuat (kan) pintu”, dan (c) hau tuka “kayu pendek” menjadi n-hau tuk “memukul dengan kayu pendek”. Proses derivasi nomina dilakukan melalui pemarkahan proklitik yang mengacu pada subjek klausa seperti yang ditunjukkan pada ketiga nomina tersebut yang dimarkahi oleh proklitik na- dan n- yang merupakan proklitik 3T. Proklitik yang melekat pada nomina ini bisa digantikan sesuai dengan (pro)nomina yang diacu. Meskipun sudah dijelaskan seperti di atas bahwa sebuah kategori nomina dapat dimarkahi dengan proklitik untuk menderivasinya menjadi verba yang bermakna kausatif, tetapi penulis berkesimpulan bahwa pemarkah tersebut bukan afiks tetapi klitik sebab hal yang sama juga terjadi pada kategori verba. Proses pengkausatifan BD dilakukan dengan pencipataan argumen causer yang menempati posisi subjek klausa. Jadi, karena argumen causer berada pada posisi subjek, maka predikat klausa tersebut wajib dimarkahi proklitik yang mengacu pada argumen causer pada fungsi subjek. 4.2.3 Klitik BD pada Ajektiva Adjektiva BD dibedakan atas dua jenis yaitu adjektiva yang pemakaiannya selalu disertai proklitik seperti m-sues “engkau susah” atau n-peh “dia malas” dan proklitik yang penggunaannyaa tidak disertai dengan klitikisasi seperti me’
47
“merah” atau meto “kering’. Proklitik yang melekat pada adjektiva mengacu pada subjek atau unsur yang tersifati. Jadi, proklitik m- pada m-sues merupakan proklitik pronomina persona 2T dan n- pada n-peh adalah proklitik pronomina persona 3T. Dalam penggunaanya sebagai predikat dalam klausa, adjektiva yang melekat dengan proklitik tidak mengalami perubahan. Sebaliknya, adjektiva yang tidak disertai proklitik harus dilekati proklitik pemarkah subjek, misalnya dalam contoh berikut. 11) a. Au u-me au fanu 1T 1T-merah 1T baju “Saya memerahkan baju saya” / “Saya membuat baju saya jadi merah” b.
In na-meot lulu-n 3T 3T-kering bibir-3T-POSS “Ia mengeringkan bibirnya” Dua contoh (11a-b) di atas memperlihatkan bahwa kehadiran proklitik
pada bentuk dasar dengan kategori adjektiva me “merah” dan meot “kering” menjadikan kedua kategori ini berubah menjadi verba, yaitu name “(dia) memerahkan” dan nameot (dia) mengeringkan”.
Hal itu terlihat pada kedua
klausa di atas, yaitu konstruksi kausatif dalam BD. 4.3.4 Klitik BD pada Preposisi Preposisi BD wajib dimarkahi proklitik sebagai pemarkan subjek. Penggunaan proklitik pada preposisi dapat dicermati pada data berikut. 12) a. Atoni na nem na-ko Denpasar Orang itu datang 3T-PREP Denpasar “Orang itu datang/berasal dari Denpasar”
48
b. m-tam om m-ok ume nana-n 2T-masuk datang 2T-PREP rumah dalam-3T-POSS “(engkau) masuk(lah) ke dalam rumah” Proklitik na- pada preposisi na-ko “dari” pada data (a) mengacu pada subjek klausa yaitu atoni na “orang itu” dan m- pada preposisi m-ok “ke” pada data (b) mengacu pada pronomina persona 2T sebagai subjek klausa. Proklitik ini selalu berubah sesuai dengan subjek gramatikal dari klausa tersebut. Preposisi BD juga dapat dimarkahi dengan enklitik yang mengacu pada pronomina 3T, misalnya pada data berikut. 13) a. Hai mi-pen hanaf na-ko-n 1J.e 1J.e-dapat suara 3T-PREP-3T “Kami mendapat berita dari dia” b.
Hai mi-pen hanaf na-ko ko 1J.e 1J.e-dapat suara 3T-PREP 2T “Kami mendapat berita dari engkau” Enklitik –n pada preposisi mi-ko “3T-dari” pada data (a) mengacu pada
pronomina 3T sebagai sumber berita. Pronomina 3T dalam BD selalu hadir dalam bentuk terikat, yaitu –n. Apabila sumber berita bukan pronomina 3T atau bukan pronomina, maka enklitik –n dihilangkan, seperti ditunjukkan pada data (b). Sementara itu, proklitik na- pada preposisi –ko mengacu pada hanaf “berita. 4.4.5. Klitik BD pada Kata Tanya Klitik BD wajib melekat pada sebuah kata tanya apabila berfungsi sebagai predikat seperti pada contoh berikut. 14) a. Ho mu-sa’ oli? 2T 2T-apa adik “Apa yang engkau lakukan kepada adik?”
49
b.
Ho mu-sa’-an 2T 2T-apa-3T “Apa yang engkau lakukan kepadanya?” Kedua data (14) di atas menunjukkan bahwa kata tanya sa’ “apa” menjadi
predikat dari klausa. Pada data (a), sa’ di markahi oleh proklitik mu-, yaitu proklitik pronomina 2T sebagai subjek klausa. Sebaliknya, sa’ pada data (b) juga berpemarkah enklitik -an karena objek klausa tersebut adalah pronomina 3T. Apabila bukan pronomina 3T, maka objek klausa tersebut hadir dalam bentuk bebas. 4.3 Struktur Dasar Klausa Bahasa Dawan Struktur dasar klausa BD terdiri atas klausa berpredikat nonverbal dan klausa berpredikat verbal. Kedua struktur klausa BD dijelaskan sebagai berikut, tetapi struktur klausa nonverbal hanya dijelaskan sepintas karena yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah klausa berpredikat verbal. 4.3.1 Struktur Klausa Nonverbal BD Klausa berpredikat nonverba berupa klausa yang berpredikat nomina, adjektiva, numeral, dan preposisi. Berikut ini dikemukakan masing-masing satu contoh klausa nonverbal BD. 15) a. Au bapa a-tof lene 1T ayah NOM-persih kebun “Ayah saya petani” b. Ho mu-to 2T 2T-marah “Engkau marah” c. Hai bie nua 1Je sapi dua “Sapi kami dua ekor”
a1.
b1.
Au bapa kulu’ 1T ayah guru “Ayah saya guru”
(DI)
Ho noso metan 2T celana hitam “Celana kamu berwarna hitam”
50
d. In na-ko Denpasar 3T 3T-PREP Denpasar “Dia dari Denpasar” Data (15a--d) menunjukkan konstruksi dasar klausa nonverbal dimaksud. Klausa berpredikat nomina terdapat pada klausa (a dan a1), yaitu ditunjukkan oleh nomina atof lene “petani” dan kulu’ “guru”. Berbeda dengan nomina kulu, atof lene memiliki prefiks a- yang berfungsi menderivasi verba tof menjadi nomina. Klausa berpredikat adjektiva ditunjukkan pada data (b) dengan hadirnya adjektiva mu-to “marah” sebagai predikat klausa tersebut. Predikat pada klausa ini dimarkahi oleh klitik mu- yang mengacu pada pronomina ho “engkau. Klitik ini tidak terdapat pada adjektiva yang menyatakan warna seperti ditunjukkan pada data (b1). Klausa berpredikat numeral terdapat pada data (c) di mana predikat diisi oleh numeral nua’ “dua”. Predikat jenis ini tidak mendapatkan pemarkah lain, misalnya klitik. Jadi, selalu berdiri sendiri sebagai sebuah morfem bebas. Sementara itu, klausa berpredikat preposisi terdapat pada data (d) yang ditunjukkan dengan adanya preposisi na-ko “dari”. Preposisi ini dalam fungsinya sebagai predikat selalu dilekati klitik pronomina persona seperti terlihat pada data tersebut yaitu kehadiran na- yang mengacu pada in “dia”. 4.3.2 Struktur Klausa Verbal Struktur dasar klausa verbal BD terdiri atas dua, yaitu (1) terdiri atas sebuah argumen inti dan predikat, serta (2) terdiri atas dua argumen inti dan sebuah predikat. Jenis klausa dasar dengan struktur dasar (1) mengisyaratkan bahwa kalimat dasar tersebut adalah kalimat intransitif, yakni kalimat yang hanya
51
terdiri atas sebuah argumen inti dan sebuah predikat. Satu-satunya argumen inti pada klausa intransitif tersebut secara fungsional merupakan S (S = argumen subjek intransitif). Sebaliknya, klausa dasar dengan struktur dasar (2) mengisyaratkan bahwa kalimat tersebut merupakan kalimat transitif, yakni kalimat yang terdiri atas dua argumen inti atau lebih dan sebuah predikat. Uraian lebih lanjut tentang kedua jenis klausa/kalimat tersebut adalah seperti berikut. 4.3.2.1 Klausa Intransitif Bahasa Dawan Berdasarkan tata urut konstituennya, predikat pada klausa dasar intransitif BD kebanyakan mengikuti argumen inti S. Tata urut klausa intransitif ini adalah S-V. Argumen inti S dapat berupa, baik agen maupun pasien. Perbedaan peran semantis ini tidak memengaruhi tata urut. Verba intransitif BD, misalnya tup “tidur”, tok “duduk”, aen “lari”, mouf “jatuh”, kae “menangis”. Verba-verba ini merupakan verba dasar, tetapi dalam realisasinya sebagai predikat klausa (nucleus) selalu dimarkahi dengan klitik yang mengacu pada S seperti terlihat pada data (16) berikut. 16) a. Ho m-aen 2T 2T-lari “Engkau lari”
b.
Oli n-mouf Adik 3T-jatuh “Adik jatuh”
(DI)
Persesuaian verba dengan SUBJ dalam klausa BD seperti dalam contoh di atas dapat dicermati dari kehadiran klitik pada predikat klausa. Kehadiran klitik ini tidak mengacu pada peran argumen, tetapi merupakan pemarkah S pada klausa intransitif. Verba maen “lari” dan nmouf “jatuh” pada kedua klausa di atas hanya memiliki satu patisipan, yaitu ho “engkau” dan oli “adik” bila dilihat dari struktur logisnya meskipun memiliki peran yang berbeda-beda. Misalnya, verba maen
52
“lari” memiliki struktur logis do´ (ho, [aen´ (ho)]). Verba ini hanya melibatkan satu partisipan yang terlibat merupakan argumen pelaku yang melakukan tindakan aen “lari” (mover). Sementara, verba mouf “jatuh” memiliki struktur logis be (oli, [mouf’ (oli)]. Verba mouf juga hanya melibatkan satu partisipan, yaitu oli “adik” yang merupakan argumen yang mengalami (experiencer) tindakan tersebut. Unsur tambahan lain seperti adjung pada klausa intransitif juga bisa hadir setelah predikat atau sebelum S. Adjung ini bisa hadir lebih dari satu unit seperti terlihat pada data (17) berikut. 17) a. Au u-niu ?-bi noe 1T 1T-mandi 1T-PREP sungai “Saya mandi di sungai” b. Noka i au u-niu ?-bi noe Pagi ini 1T 1T-mandi 1T-PREP sungai “Tadi pagi saya mandi di sungai”
(DL)
(DL)
Data (17a) menunjukkan bahwa adjung ditambahkan setelah nukleus, yaitu penambahan Ɂbi noe “di sungai” tidak termasuk klausa inti (core), tetapi menempati posisi perifer. Klausa tersebut dapat dimodifikasi lagi seperti terlihat pada (b) di mana keterangan waktu kejadian, yaitu noka i “tadi pagi” berada di awal sebelum S. 4.3.2.2 Klausa Transitif Bahasa Dawan Klausa dasar transitif mempunyai dua argumen inti atau lebih. Berdasarkan jumlah argumennya, predikat transitif dibedakan atas dua macam, yakni predikat monotransitif (dua argumen inti) dan predikat ditransitif (lebih dari dua argumen inti).
53
Argumen predikat monotransitif terdiri atas A (agen) dan U (pasien). Verba monotransitif menetapkan dua argumen yang secara fungsional berupa SUBJ dan OBJ. Verba BD, seperti biso “pukul”, ote “potong”, li’u “usir/kejar”, sos “beli”, dan fase “ cuci” merupakan verba berargumen dua. Tata urut klausa monotransitif BD adalah A-PRED-P seperti data (18) berikut. 18)
Ho m-tuf kau 2T 2T-pukul 1T “Engkau memukul saya”
(DI)
Pada klausa monotransitif di atas terlihat bahwa terdapat dua argumen yaitu A diisi oleh ho “engkau” dan P diisi oleh kau “saya”. Pemarkah m- yang melekat pada verba mtuf “pukul” bukan afiks, melainkan klitik yang mengacu pada A. Sebaliknya, predikat ditransitif, dengan tiga argumen (A, G (goal), dan T (theme) mempunyai tata urut A-PRED-G-T seperti terlihat pada data (19) berikut. 19)
Mama n-fe kau loit Ibu 3T-beri 1T uang “Ibu memberi saya uang”
(DL)
Verba nfe “beri” merupakan verba berargumen tiga murni karena dapat diamati dari argumen yang terdapat pada struktur logisnya seperti berikut: [MELAKUKAN’ (Mama ø)] MENYEBABKAN [MENJADI punya’ (au, loit)]. Jadi, terdapat tiga argumen dalam struktur logis verba fe “beri”, yaitu mama “ibu” sebagai pemberi, kau “saya” sebagai penerima, dan loit “uang” sebagai pemberian. Selain verba fe “beri”, juga teadapat verba tao “taruh” yang juga menetapkan tiga argumen apabila dicermati dari struktur logisnya, yaitu argumen
54
yang menaruh – yang ditaruh – lokasi. Struktur logisnya seperti berikut. [MELAKUKAN’ (x ø)] menyebabkan [BECOME ada di’ (y, z)]. Struktur klausa berargumen tiga dapat digambarkan dalam diagram pohon berikut, yaitu verba nfe “beri”. SENTENCE CLAUSE CORE ARG
NUC
ARG
ARG
PRED NP
V
NP
NP
Mama
nfe
kau
loi
Actor
undergoer
SL: [melakukan’ (Mama ø)] MENYEBABKAN [MENJADI punya’ (au, loit)] [do’ (x, ø)] MENYEBABKAN [MENJADI pred’ (y,z)]
4.4 Ketransitifan Verba Bahasa Dawan Ketransitifan verba ditentukan oleh jumlah argumen yang ditetapkan. Van Valin dan La Polla (1997:148) menyatakan bahwa jumlah argumen yang ditetapkan oleh sebuah verba tidak bisa hanya ditelusuri dari valensi sintaksisnya, tetapi harus dilihat pula dari sisi semantik. Misalnya, verba “makan” tampak memiliki variasi ketransitifan, yaitu verba ini bisa menetapkan satu argumen dalam hal ini intransitif dan dapat menetapkan dua argumen, yaitu transitif. 20) a. Saya makan b. Saya makan nasi Berdasarkan kenyataan ini maka Van Valin & La Polla (1997:150) menyatakan bahwa transitivitas tidak bisa dicirikan melalui jumlah argumen sintaksis yang ditetapkan oleh sebuah verba (valensi sintaksis), tetapi harus
55
didefinisikan berdasarkan jumlah peran makro (macroroles) yang ditetapkan oleh sebuah verba. Oleh karena itu, dalam penjelasannya tentang valensi dalam teori TPA dibedakan antara S-transitivity untuk jumlah argumen sintaksis dan Mtransitivity untuk jumlah peran makro. Jumlah peran makro dari sebuah verba ini memiliki keterkaitan erat dengan struktur logis verba tersebut, yakni sistem dekompossi leksikal verba. Jika sebuah verba memiliki dua argumen atau lebih dalam struktur logisnya, maka ia akan menetapkan dua peran makro. Sebaliknya, jika hanya satu argumen maka ia menetapkan satu peran makro. Peran makro yang dimaksud adalah ACTOR dan UNDERGOER, di mana salah satu dari keduanya bisa berfungsi sebagai satusatunya argumen pada verba intransitif. Representasi leksikal dalam TPA didasarkan pada dekomposisi leksikal yang didasarkan pada klasifikasi verba, yakni seperti dalam tabel berikut. Tabel 4.2 Dekomposisi Leksikal Berdasarkan Kelas Verba Kelas Verba
Struktur logis
STATE
predicate´ (x) atau (x, y)
ACTIVITY
do´ (x, [predicate´ (x) atau(x, y)])
ACHIEVEMENT
INGR predicate´ (x) or (x, y), atau INGR do´ (x, [predicate´ (x) or (x, y)])
ACCOMPLISHMENT
BECOME predicate´ (x) or (x, y), atau BECOME do´ (x, [predicate´ (x) or (x, y)])
ACTIVE ACCOMPLISHMENT
do´ (x, [predicate1 ´ (x, (y))]) & BECOME predicate2 ´ (z, x) or (y)
CAUSATIVE
CAUSE , where , are LSs
of any type
56
Dilihat dari sifat verba yang menetapkan satu peran makro, maka jika verba tersebut memiliki satu predikat activity dalam struktur logisnya maka peran makronya adalah actor dan jika sebaliknya, maka peran makronya adalah undergoer. Dixon dan Aikhenvald (2000:12), mngatakan bahwa beberapa verba merupakan verba intransitif murni yang hanya bisa berada pada klausa intransitif dengan S sebagai argumen inti, misalnya arrive dan chat dalam bahasa Inggris. Demikian juga beberapa verba merupakan verba intransitif murni yang menetapkan dua argumen dalam klausa transitif dengan A dan O sebagai argumen inti, misalnya recognize dan like. 4.4.1 Verba Transitif dengan Dua Argumen Verba transitif dengan dua argumen dapat dicermati pada klausa berikut. 21)
Au Ɂ-seu noah 1T 1T-petik kelapa “Saya memetik kelapa”
(DL)
Klausa di atas merupakan klausa transitif, yaitu dapat dicermati dari struktur logis verba seu “petik”, yaitu SL: seu’ (au, noah). Dengan demikian, verba seu ini menetapkan dua argumen (X,Y). Selain ketransitifan verba seperti dikemukakan di atas, peranan proses fonologis ikut menentukan makna ketransitifan verba BD, yaitu apakah verba tersebut intransitif atau transitif, seperti contoh berikut. 22) a. Au Ɂ-mouf
1T 1T-jatuh “Saya jatuh” b.
Au u-mofu 1T 1T-jatuh “Saya menjatuhkan (sesuatu)”
(DL)
57
c. Au u-mouf bol 1T 1T-jatuh bola “Saya menjatuhkan bola” Data (22a) di atas berpredikat verba intransitif mouf “jatuh” yang menetapkan satu-satunya argumen, yaitu au “saya” dengan predikat verba intransitif mouf “jatuh”. Pemarkah Ɂ- mouf mengacu pada argumen S yaitu au “saya”. Pada (22b), verba mouf bermetatesis menjadi mofu dan mendapat pemarkah proklitik -u. Perubahan ini juga mengubah nilai ketransitifannya verba, yaitu menjadi verba transitif sekaligus peran dan fungsi argumen au dari pasien menjadi pelaku dan S menjadi A. Perubahan proklitik Ɂ- menjadi u- untuk memenuhi kaidah fonologis yaitu dapat menjadi suku kata tersendiri. Perubahan ini juga terjadi karena ada konstituen lain setelah predikat seperti ditunjukkan pada (22c). Pelesapan argumen objek seperti pada (22b) dimungkinkan dalam BD apabila objek tersebut tidak penting atau sudah diketahui sebelumnya. Verba mouf tidak mengalami perubahan karena dipengaruhi oleh bunyi awal dari argumen bol “bola”, yaitu /b/. Berdasarkan kenyataan pada pada data (22c), yaitu ketiadaan pemarkah morfologis pada proses pengtransitifan verba mouf, maka pemulis menyimpulkan bahwa proses pentransitifan verba BD dapat dilakukan melalui proses penciptaan argumen, baik subjek maupun objek. Contoh lain dari proses ini sebagai berikut. 23) a. Umeke na n-maet Ular itu 3T-mati “Ular itu mati” b. Umeke na na’-mate ‘nafo na Ular 3T-mati tikus itu “Ular membunuh tikus itu”
(DI)
58
c. Ho mu’-maet umeke na 2T 2T-mati ular itu “Engkau membunuh ular itu” Proses pentransitifan melalui proses penciptaan objek dapat dicermati pada data (b), sedangkan penciptaan subjek ditunjukkan pada data (c). Pemarkah –na dan mu- pada predikat mengacu pada subjek klausa. Proses seperti ini tidak hanya terjadi pada jenis verba statif, tetapi juga pada verba aksi. 4.4.2 Verba Transitif dengan Tiga Argumen Data penelitian yang terkumpul menunjukkan bahwa hanya ada tiga verba BD yang murni berargumen tiga, yakni fe “beri”, ton “tunjukkan”, dan tao ‘taruh’. Perlu diketahui pula bahwa verba fe bersinonim dengan verba nona’ dan tao bersinonim dengan bela’/ plakab, okal. Verba berargumen tiga murni ini juga ditemukan dalam banyak bahasa seperti give (bahasa Inggris), beri (bahasa Indonesia), dan behhang (bahasa Bali). Cermati ketiga verba BD berargumen tiga seperti data berikut. 24) a. Bapa n-fe-n oli kokis Ayah 3T-beri-3T adik kue “Ayah memberikan adik kue”
(DI)
b.
Au u-ton-an fafi le au Ɂ-bu’i-en (DL) 1T 1T-lihat-3T babi FOK 1T 1T-kebiri-PERF “Saya memperlihatkan babi yang saya sudah kebiri kepadanya”
c.
Mama n-tao mnaht-enu es at mei tunan Ibu 3T-taruh makanan-J PREP LOK meja atas “Ibu menaruh/meletakkan makanan di atas meja”
(DL)
Verba nfen, utonan, dan ntao dikatakan murni berargumen tiga karena dapat diamati dari argumen yang terdapat pada struktur logis verba-verba tersebut. Verba nfe ‘3T-beri’ menetapkan tiga argumen yakni pemberi – penerima –
59
pemberian, verba utonan ‘1T-tunjukkan’ menetapkan argumen penunjuk – yang menyaksikan – (benda) yang ditunjukkan, dan verba ntao ‘3T-taruh’ menetapkan argumen (orang) yang menaruh – (benda) yang ditaruh – tempat (di mana benda tersebut diletakan). Berdasarkan kenyataan pada contoh yang dikemukakan maka dapat dicermati bahwa proses perubahan valensi hanya dilakukan dengan penambahan atau pengurangan argumen. Verba nfaes “cuci” dan naes “perah” pada klausa ekatransitif yang dikemukakan di atas dapat diubah menjadi klausa berargumen tiga (dwitransitif) seperti berikut. 25) a. Ena n-faes kau au sobalu Ibu 3T-cuci 1T 1T.POSS baju “Ibu mencucikan saya baju saya” b.
(DL)
In n-aes kai susu 3T 3T-peras 2Ji susu “Dia memeraskan kami susu”
(DL)
Demikian pula, verba nsos dan nanoina pada klausa berargumen tiga yang dikemukakan di atas dapat diubah menjadi klausa berargumen dua seperti berikut. 26) a. Ama
n-sos uki Ayah 3J-beli pisang “Mereka membeli pisang”
b. In na-noina uab labit 3T 3T-belajar bahasa asing “Dia belajar bahasa asing”
(DI)
(DI)
Verba nsos, dan nanoina pada contoh klausa di atas seperti umumnya verba lain selalu memiliki persesuaian dengan SUBJ yang diindikasikan dengan kehadiran klitik pada tiap-tiap verbanya. Keberadaan –an pada verba seperti dalam verba n-sos-an bukanlah afiks yang bermakna mofrologis, melainkan murni
60
sintaksis yang mengindikasikan pronomina ketiga. Jadi, verba nsosan dapat diinterpretasi sebagai sebuah klausa utuh yang dapat diterjemakhan dengan “3 Pro membelikan sesuatu untuk 3 Pro”. Apabila klitik -n dihilangkan menjadi nsos, maka terjemahannya menjadi “3Pro beli (sesuatu)”. 4.5 Pemarkahan Verba Bahasa Dawan Penelitian terdahulu membuktikan bahwa secara tipologi-morfologis BD termasuk bahasa aglutinasi (aglutinative language) di mana afiks dan proses morfologis memegang peranan penting dalam tataran morfosintaksis dan semantik. Reteg (2000) mengatakan bahwa BD tergolong tipologi morfologi aglutinasi dapat dibuktikan dengan ditemukannya afiks, baik prefiks maupun sufiks dalam proses pembentukan kata. Reteg juga mengatakan bahwa makna gramatikal afiks BD di antaranya adalah makna kausatif dan makna aplikatif. Banyaknya afiks BD yang dikemukakan oleh peneliti-peneliti terdahulu (lih: Tarno, 1991; Reteg, 2000; Budiarta, 2012) cukup meragukan, paling tidak dalam penelitian ini sebab hasil analisis data tidak membuktikan produktivitas afiks pada verba BD BD. Hasil analisis terhadap data dalam penelitian ini menemukan hasil yang berbeda dengan yang disimpulkan peneliti sebelumnya. Untuk lebih jelas, berikut dibahas kedua konstruksi tersebut untuk membuktikan ada tidaknya afiks dalam BD dan bagaimana mekanisme perubahan valensi sebuah verba. 4.5.1
Konstruksi Kausatif Struktur kausatif adalah struktur yang memperlihatkan relasi makna sebab
(-akibat), yang melibatkan aksi penyebab (dengan argumen penyebabnya
61
(causer)) dan efek (kejadian/keadaan) yang melibatkan argumen yang mengalami perubahan karena aksi tadi. Salah satu proses pengkausatifan yang umum adalah dengan menggunakan konstruksi kalimat kompleks, yaitu satu klausa yang menyatakan sebab dan klausa yang lain menyatakan akibat (Artawa, 2004:48). Dalam konstruksi kalimat kompleks, dua buah klausa pembentuk kalimat kompleks dihubungkan oleh konjungsi yang bermakna kausatif. Dalam BD, kedua klausa tersebut dihubungkan oleh konjungsi fun dan natuin “sebab / karena”. Penggunaan kedua konjungsi fun dan natuin ini tidak menunjukan perbedaan secara signifikan karena keduanya dapat dipakai dalam konstruksi yang sama. Pemakaiannya dapat dicermati dalam data berikut ini. 27)
In n-tup na-tuin in n-sesaɁ 3T 3T-tidur sebab 3T 3T-kantuk “Ia tidur sebab ia mengantuk”
(DI)
Klausa yang menyatakan sebab pada data di atas adalah in sesaɁ “dia mengantuk” dan klausa yang menyatakan akibat adalah in tup “dia tidur”. Kedua klausa di atas dihubungkan oleh konjungsi yang menyatakan sebab, yaitu natuin “sebab/karena”. Kedua klausa yang membentuk kalimat kompleks yang menyatakan penyebab in sesa “dia mengantuk” ini dapat dipindahkan posisinya dengan klausa sebabnya mendahului klausa akibat in ntup “dia tidur”. Konstruksi klausa seperti ini menunjukkan konstruksi kalimat yang meyatakan akibat yang dapat dicermati pada konstruksi (28) berikut. 28)
In n-sesaɁ talantia in n-tup 3T 3T-kantuk sehingga 3T 3T-tidur “Dia mengantuk sehingga dia tidur”
(DI)
62
Konstruksi kalimat kompleks di atas menunjukan bahwa kedua klausa pembentuk konstruksi tersebut, yaitu in n-sesaɁ “dia mengantuk” dan in n-tup “dia tidur” dihubungkan oleh konjungsi talantia “sehingga”. Selain proses pengkausatifan melalui konstruksi kalimat kompleks, Comrie (1989:167) mengemukakan tiga buah proses pengkausatifan, yaitu kausatif leksikal, kausatif analitik, dan kausatif morfologis. Kausatif leksikal adalah kausatif yang dinyatakan oleh sebuah leksikon tanpa melalui proses produksi apa pun. Leksikon tersebut secara mandiri dapat mengekspresikan hubungan sebab akibat sekaligus. Kausatif analitik adalah kausatif yang dibentuk dengan verba kausatif seperti cause dan make dalam bahasa Inggris. Sebaliknya, kausatif morfologis adalah proses pengkausatifan yang dibentuk melalui proses afiksasi. Ketiga tipe kausatif ini dapat dicermati dalam ketiga konstruksi bahasa Indonesia di bawah ini. 29)
a. Kamu membuat adikmu menangis b. Kamu matikan mesinnya dulu! c. Kamu jangan bunuh ayam itu!
(analitis) (morfologis) (leksikal)
Kausatif analitis dinyatakan dengan kata buat (contoh ( a), kausatif X
X
morfologi dengan sufiks –kan (contoh (b), dan kausatif leksikal, misalnya dalam X
kata bunuh (contoh (c) . Pada kausatif analitis dan morfologis PRED2 (menangis) X
.
dan PRED1 (buat, -kan) adalah morfem yang berbeda, tetapi pada kausatif leksikal hanya ada satu verba yang secara semantis mengandung makna kausatif. Pada konstruksi kausatif, OBJ biasanya secara semantis adalah pasien. Apabila pasien dipromosikan ke subjek kalimat, maka subjek konstruksi dasar,
63
yang secara semantis adalah agen, didemosi keluar dari struktur. Palmer (1994:218) mengatakan bahwa konstruksi kausatif terbentuk dari (1) pemarkahan pada verba (baik secara morfologis maupun perifrastik), (2) penambahan causer pada posisi subjek, (3) demosi terhadap argumen lain, dan (4) makna penyebaban. Konsep lain dikemukakan oleh Haspelmath (2002) yang memandang kausatif sebagai konstruksi penambahan agen. Dalam hal ini, kausatif dipandang sebagai suatu proses perubahan valensi. Perubahan valensi pada konstruksi kausatif ini tidak terbatas pada penambahan jumlah argumen agen saja, tetapi juga mengakibatkan perubahan relasi-relasi gramatikal dari argumen-argumen yang telah ada sebelumnya (pada konstruksi nonkausatif). Perubahan argumen agen ini misalnya pada konstruksi nonkausatif dengan verba intransitif sebagai dasarnya, mengakibatkan turunnya hierarki relasional argumen yang sebelumnya menempati posisi SUBJ menjadi argumen dengan posisi OBJ pada konstruksi kausatif. Konsep kausatif yang dikemukakan Haspelmath (2002) ini sejalan dengan Dixon (2000) yang memandang kausatif sebagai proses pentransitifan. Pandangan ini cukup beralasan karena pemarkah kausatif dapat mengubah verba intransitf menjadi transitif. Selanjutnya, pentransitifan ini berdampak pada perubahan jumlah dan fungsi sintaksis argumen-argumen suatu kalimat. Pengkausatifan BD tidak hanya berasal dari kategori verba, tetapi juga dapat diderivasi dari kategori lain, yaitu adjektiva seperti ‘naek “besar” dan me’ “merah”, di samping nomina, seperti hau tuka “pentungan” dan masi “garam”. Berikut ini adalah contoh dan penjelasan tentang proses pengkausatifan dalam BD.
64
30) Verba a. Au Ɂ-mouf 1T 1T-jatuh “Saya jatuh” 31) Adjektifa a. In lulu-n me 3T bibir-3T-POSS merah “Bibirnya merah”
(DI) b.
Ho mu-mouf kau 2T 2T-jatuh 1T “Engkau menjatuhkan saya”
b.
In na-me lulu-n 3T 3T-merah bibir-3T-POSS “Dia memerahkan bibirnya”
32) Nomina a. Suni na hau-n Parang itu kayu-3T-POSS “Gagang dari parang itu” b. Bapa na-hau suni na Ayah 3T-kayu parang itu “Ayah membuatkan gagang untuk parang itu” Proses pengkausatifan pada ketiga data di atas ditunjukkan pada data (b) yaitu mumouf “engkau menjatuhkan”, name “dia memerahkan”, dan nahau “dia membuatkan gagang” yang dibentuk dari bentuk dasar mouf “jatuh”, me “merah”, dan haun “gagang”. Pada proses pengkausatifan terlihat bahwa tidak terdapat pemarkah morfologis yang bermakna kausatif. Pemarkah mu- pada mu-mouf, napada na-me, dan na- pada na-hau bukan afiks pemarkah kausatif dalam BD, tetapi klitik yang mengacu pada argumen ho, in dan bapa sebagai causer. Demikian juga pada nomina hau “gagang” pada data (30b), tidak ada pemarkah morfologis derivatif, tetapi hanya dimarkahi oleh na- yang mengacu pada argumen penyebab, yaitu bapa “ayah”. Ketiga data di atas menunjukkan bahwa proses pengkausatifan dalam BD dilakukan melalui penciptaan argumen causer apabila klausa dasarnya adalah klausa inransitif sehingga penciptaan argumen causer ini sekaligus meningkatkan
65
valensi menjadi transitif. Selain penciptaan argumen, proses lain adalah melalui konstruksi verba serial yang dijelaskan pada bab berikut untuk tidak terjadi pengulangan. Proses pengkausatifan BD dengan penciptaan argumen ini berbeda dengan penelitian-penelitian terdahulu, antara lain Tarno dkk, (1992), Mekarini (2000), dan Reteg (2002) menyebutkan keproduktifan afiks pembentuk predikat kausatif dalam BD. Pemarkah morfologis yang bermakna kausatif seperti yang dikemukakan oleh ketiga peneliti di atas di antaranya –o, -b, -pa-, -ha, dan -haka. Akan tetapi, hasil penelitian menunjukan ketidakjelasan penggunaan afiks pemarkah kausatif dalam BD yang disebabkan oleh tidak semua verba dapat dilekati dengan pemarkah kausatif seperti yang dimaksudkan. Mekarini (2000) mengatakan bahwa perbedaan-perbedaan ini disebabkaan oleh kendala semantik sehingga tiap-tiap pemarkah kausatif ini tidak dapat saling dipertukarkan. Meskipun begitu, Mekarini tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai kendala semantik seperti apa yang dimaksudkan. Berikut ini penjelasan penulis tentang afiks-afiks pemarkah kausatif dimaksud. 4.5.1.1 Sufiks –o Penggunaan sufiks -o ini dapat dicermati dalam contoh kalimat berikut ini yang diambil dari Mekarini (2000). 33) Au oli na-mouf-o klas 1T adik 3T-jatuh-KAUS gelas “Adik menjatuhkan gelas”
(Mekarini, 2000)
Seperti terlihat pada data (33) bahwa pemarkah kausatif dalam klausa tersebut adalah sufiks –o. Sufiks ini, pada sebagian dialek seperti Amanuban dan
66
dan Molo melafalkannya dengan /u/ menjadi namofu. Prefiks na- pada verba namofu tersebut bukan prefiks melainkan klitik yang mengacu pada argumen au oli “adik saya”. Penulis meyakini bahwa sufiks -o ini bukan pemarkah kausatif oleh karena alasan fonologis, yaitu bunyi awal dari kata yang mengikuti verba tersebut. Jadi, penambahan bunyi vokal /o/ atau /u/ karena adanya bunyi velar hambat bersuara /k/. Sufiks kausatif itu sendiri akan hilang apabila bunyi awal dari kata yang mengikutinya tidak diawali dengan bunyi /k/. Cermati contoh berikut. 34)
Au oli na-mouf bol 1T adik 3T-jatuh bola “Adik saya menjatuhkan bola”
(DI)
Data di atas memperlihatkan bahwa kehadiran vokal /o/ di akhir verba namouf “menjatuhkan” tidak dibutuhkan karena bunyi awal dari kata yang mengikutinya bukan bunyi velar hambat bersuara. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sebuah bunyi vokal wajib ditambahkan pada akhir kata kerja seperti ditunjukkan dalam data di atas apabila bunyi awal dari kata yang mengikuti adalah velar hambat bersuara. Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa bunyi vokal pada kata namouf seperti yang ditunjukkan pada data (34) bukan afiks pemarkah kausatif, melainkan hanya merupakan penambahan bunyi akibat kebutuhan fonologis. Contoh berikut menunjukkan fenomena berbeda. 35) a. Oli n-tup Adik 3T-tidur “Adik tidur”
b.
Au u-tup-a oli 1T 1T-tidur-ø adik “Saya menidurkan adik”
(DI)
Penambahan vokal /a/ pada verba utupa “saya menidurkan” seperti yang terlihat pada data (35b) hanya berfungsi untuk memenuhi kaidah silabel. Dengan
67
demikian, verba utupa menjadi tiga suku kata untuk membedakannya dengan OBJ oli. Verba ntup “tidur” pada (35a) tidak diucapkan terpisah dari SUBJ oli, tetapi diucapkan sebagai satu rangkaian bunyi yakni ol-in-tup (dibaca seperti verba bahasa Indonesia: di-u-cap bukan diu-cap). Contoh lain seperti ho mtup “engkau tidur”, diucapkan hom-tup. Jadi, apabila verba tup tidak mendapatkan tambahan bunyi vokal /a/ maka klausa (35b) akan diucapkan: au-u-tu-po-li sehingga tidak gramatikal. Dengan menambahkan vokal /a/ di akhir verba tup menjadi tupa maka menjadikan pengucapannya lebih berterima yaitu au-u-tu-pa-o-li. 4.5.1.2 Sufiks –b Reteg (2002:122) menyimpulkan bahwa sufiks [b] adalah kausatif yaitu tindakan membuat jadi seperti bentuk asalnya. Pendapat Reteg ini senada dengan Tarno (1991:53). Reteg dan Tarno mengatakan bahwa sufiks -b dalam BD dapat dibubuhkan pada bentuk asal yang memiliki kategori sintaksis numeralia, verba tindakan, dan bentuk asal verba keadaan. Berikut dikemukakan contoh penggunaan sufiks pemarkah kausatif. 36) Ho mu-suse-b kau (Reteg, 2002) 2T 2T-sedih-KAUS 1T “Engkau menyusahkan saya / Engkau membuat saya sedih” Data (36) di atas memperlihatkan bahwa pemarkah kausatif –b berposisi sebagai sufiks pada predikat na-suse-b “menyusahkan” yang berasal dari bentuk dasar adjektiva sues “susah/sedih”. Prefiks na- pada na-suse-b bukan afiks melainkan klitik yang mengacu pada argumen penyebab, yaitu ho “engkau”. Seperti halnya sufiks –o seperti yang sudah dijelaskan pada data sebelumnya, sufiks –b ini menurut penulis juga bukan merupakan afiks pemarkah
68
kausatif, melainkan proses fonologis, yakni penambahan fonem yang sering berfariasi menjadi –ab dan –ba. Alasan utamanya adalah tidak semua bentuk dasar bisa dilekati dengan afiks –b dan variasinya ini sebagai pemarkah kausatif. Cermati kedua contoh berikut. 37)
Au u-sae-b pena neu pana 1T 1T-naik-KAUS jagung PREP loteng “Saya menaikkan jagung ke loteng”
(DI)
38)
Au u-sanu-ø pena nako pana 1T 1T-turun-KAUS jagung PREP loteng “Saya menurunkan jagung dari loteng”
(DL)
Kedua data di atas sama-sama berpredikat verba yaitu usaeb yang berasal dari bentuk dasar sae “naik”, dan usanu yang berasal dari bentuk dasar sanu “turun”. Verba sanu ini biasanya bermetatesis menjadi saun pada klausa intransitif. Penambahan fonem /b/ ini pada verba dasar sae seperti terlihat pada data (37) tidak dipengaruhi oleh bunyi awal pada kata yang mengikutinya, tetapi diakibatkan oleh kendala fonologis pada verba itu sendiri yaitu suku kata. Hal ini juga berlaku untuk bentuk dasar dengan kategori nonverbal. Penambahan bunyi bilabial-hambat bersuara /b/ hanya untuk memenuhi kaidah pelafalan (silabik) sehingga verba sae akan menjadi u-sa-eb. Apabila tanpa penambahan /b/, maka kata ini akan menjadi aneh pada pola fonologisnya. Berbeda dengan verba usanu “menurunkan” pada data (38) yang tanpa penambahan /b/ karena secara silabik sudah terpenuhi, yaitu dilafalkan u-sa-nu. Penambahan bunyi bilabial-hambat bersuara /b/ hanya untuk memenuhi kaidah pelafalan (silabik) juga seperti contoh berikut. 39) a. Oe n-saiɁ Air 3T-alir “Air mengalir”
b.
Au usai-baɁ oe 1T 1T-alir-ø air “Saya mengalirkan air”
(DL)
69
Klausa (39a) diucapkan oe-nsa-iɁ, sedangkan (39b) diucapkan au-u-saibaɁ. Bunyi glottal (Ɂ) dalam BD tidak pernah berada di awal suku kata sehingga tidak memungkinkan untuk menambah bunyi vokal pada verba dasar saiɁ. Contoh lain lagi, yaitu uleɁu “saya merusak”, diucapkan u-leɁ-u atau harus diucapkan u-leuɁ (bukan u-le-Ɂu). Perbedaan kedua verba ini adalah verba uleɁu dengan vokal di akhir secara otomatis menunjukan bahwa verba tersebut adalah verba transitif yang dalam realisasinya dalam klausa, argumen P tidak wajib hadir. Sebaliknya, verba uleuɁ dengan bunyi /Ɂ/ di akhir mewajibkan kehadiran argumen P dalam klausa. Contoh berikut menunjukkan fenomena berbeda. 40) a. Oli n-tup Adik 3T-tidur “Adik tidur”
b.
Au u-tup-a oli 1T 1T-tidur-ø adik “Saya menidurkan adik”
Penambahan vokal /a/ pada verba utupa “saya menidurkan” hanya berfungsi untuk memenuhi kaidah silabel sehingga verba utupa menjadi tiga suku kata untuk membedakannya dengan OBJ oli. Verba ntup pada (40a) tidak diucapkan terpisah dari SUBJ oli, tetapi diucapkan sebagai satu rangkaian bunyi yakni ol-in-tup (dibaca seperti verba bahasa Indonesia di-u-cap bukan diu-cap). Contoh lain seperti ho mtup “engkau tidur” diucapkan hom-tup. Jadi, apabila verba tup “tidur” tidak mendapatkan tambahan bunyi vokal /a/ maka klausa (40b) akan diucapkan au-u-tu-po-li sehingga tidak gramatikal. Berdasarkan penjelasan singkat di atas, dapat disimpulkan bahwa bunyi vokal pada akhir verba tersebut tidak merupakan pemarkah kausatif, sama seperti penambahan bunyi /b/, yaitu hanya untuk memenuhi kaidah suku kata.
70
Verba-verba yang mendapatkan pemarkahan ini hanya terjadi pada verbaverba intransitif, tetapi tidak terjadi pada verba-verba transitif. Fenomena ketransitifan verba BD ini sejalan dengan pernyataan Dixon (2010:115) bahwa (1) setiap klausa memiliki nilai ketransitifan yang menentukan jumlah argumen inti yang dibutuhkan, (2) ada pemahaman umum (konvensi) untuk pemarkahan argumen inti sehingga pendengar dapat megenalinya, dan (3) verba terdiri atas kelas-kelas transitivitas, tergantung pada tipe transitivitas dari klausa di mana suatu verba ada. Fenomena
yang disampaikan Dixon ini tampaknya
jelas untuk
menjelaskan contoh klausa yang dikemukakan oleh Mekarini (2000:50). 41)
Atoni nae n-em-ab polisi nae Laki DEF 3T- datang-KAUS polisi DEF “Laki-laki itu mendatangkan polisi”
(Mekarini 2000:50)
Tampaknya Mekarini menggeneralisasi penggunaan afiks –b/ab ini sebagai pemarkah kausatif dan dapat diaplikasikan dalam verba apa pun, padahal seperti sudah dijelaskan bahwa sufiks ini tidak berlaku untuk semua kategori. Data yang dikemukakan di atas ini tidak berterima dalam BD karena tidak gramatikal. Pengujian terhadap konstruksi kausatif BD dilakukan dengan teknik elisitasi, yakni menanyakan keberterimaaan sebuah konstruksi yang dibentuk oleh peneliti, yaitu peneliti menanyai informan apakah kalimat yang dibuat oleh peneliti tersebut benar atau tidak. Selain itu, pengujian dilakukan melalui proses terjemahan, yakni informan diminta menerjemahkan konstruksi yang peneliti buat yaitu konstruksi klausa BD dan informan di minta menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Asumsi penulis, bila informan tidak bisa menterjemahkan
71
klausa atau kalimat tersebut, maka tentu saja ada sesuatu yang salah dengan konstruksi tersebut. Alasan bahwa verba n-em-ab pada klausa (41) tidak gramatikal dapat dianalisis berdasarkan struktur verbanya. Verba datang dalam BD merupakan verba dasar yang terikat dengan proklitik (bound root) sehingga tidak bisa dipisahkan antara verba dasar dan proklitik, kecuali kita mau mengatakan bahwa bentuk dasarnya adalah –m. Berdasarkan penjelasan terhadap ketidakgramatikalan konstruksi (41) yang dikemukakan di atas adalah melalui proses serialisasi verba. Dengan demikian, salah satu fungsi KVS BD adalah membentuk konstruksi kausatif. KVS yang bermakna kausatif ini tentu saja berlaku untuk verba-verba yang tidak memungkinkan untuk dikausatifkan, baik melalui penambahan argumen penyebab maupun proses morfologis. KVS yang berfungsi untuk menyatakan sebab dapat hadir, baik dalam bentuk serialisasi nukleus maupun serialisasi inti. Untuk lebih jelasnya dapat dicermati dalam contoh (42--43) berikut. 42) a. Polisi na n-em Polisi itu 3T-datang “Polisi itu datang”
(DL)
b. Atoni na n-eik polisi na n-em Laki itu 3T-bawa polisi itu 3T-datang “Laki-laki itu mendatangkan polisi itu” KVS pada (42b) merupakan serialisasi inti (core serialization) yang dibentuk oleh verba -eik “bawa”pada posisi V1 dan nem “dia datang” menempati posisi V2. Tiap-tiap verba tersebut hanya dimarkahi oleh klitik tanpa pemarkah morfologis yang bermakna kausatif. Meskipun demikian, kehadiran verba neik
72
“3T-bawa” menyatakan aksi yang dilakukan oleh causer (atoni) terhadap causse (polisi), sedangkan verba nem merupakan verba perpindahan: [neik’ (atoni, polisi)] MENYEBABKAN [MENJADI ada di’ (polisi, ø)]. Peneliti meyakini adanya pengaruh fonologis terhadap sintaksis atau semantik BD, misalnya moen mese dan mone mese. Kedua frasa nomina ini memiliki makna berbeda, yaitu moen mese bermakna “anak laki-laki semata wayang” atau “anak tunggal”, sementara mone mese bermakna “seorang anak laki-laki”. mone dan moen adalah kata yang sama, tetapi hanya berbeda pada proses fonologisnya, yaitu metatesis. Jadi, pernyataan dalam penelitian-penelitian sebelumnya bahwa proses metatesis dalam BD tidak memengaruhi makna perlu ditelusuri ulang. 4.5.1.3 Prefiks Pemarkah Kausatif Tarno dkk, (1991:74--75) yang mengatakan bahwa BD memiliki tiga prefiks yaitu hai, ha-kai, dan pai yang berfungsi membentuk verba turunan yang bermakna kausatif. Sayangnya Tarno tidak menjelaskan bentuk dasar yang mana saja yang dapat dilekati dengan prefiks-prefiks ini meskipun secara kategori, dijelaskan bahwa prefiks-prefiks ini berfungsi menderivasi adjektiva menjadi verba seperti data berikut. 43) a. Oe na ma-putu Air itu panas “Air itu panas”
b.
Mama n-haput oe na Ibu 3T-panas air itu “Ibu memanaskan air itu”
(DI)
Proses pengkausatifan terdapat pada klausa (b) di mana terlihat bahwa adjektiva maputu “panas” pada klausa (a) berubah bentuk menjadi n-haput “memanaskan”. Proses fonologis yang terjadi adalah pelesapan vokal u dan
73
perubahan bunyi bilabial nasal /m/ menjadi glottal frikatif /h/. Verba n-ha-putu tidak dapat dikatakan berasal dari bentuk dasar putu “panas” sebab klausa berikut tidak berterima. 44) ** Oe putu Air panas “Air panas”
(DP)
Adjektiva BD yang diawali dengan ma- yang menyatakan sifat ini seperti mafena “berat”, manikin ‘dingin”, manuan “lebar”, malin “senang”, manenu “sulit”, makafa “ringan” dan masing-masing tidak dapat dipisahkan dengan bentuk dasarnya. Tidak semua kata sifat ini dapat dikausatifkan denga mengganti bunyi /m/ menjadi /h/ seperti halnya haput “memanaskan”. Oleh karena itu, adanya kajian mendalam menyangkut aspek morfofonemik BD sangat membantu dalam memahami proses pengkausatifan ini. 4.5.2 Konstruksi Aplikatif Konstruksi aplikatif dalam bahasa itu mempunyai dua fitur penting, yaitu (a) peran tematis yang baru dimasukkan ke struktur argumen dan (b) verba mengalami modifikasi morfologis, yaitu sufiksasi dengan morfem aplikatif (Artawa, 2004:66). Istilah aplikatif sering digunakan untuk merujuk ke proses derivasional yang meliputi penaikan valensi. Konstruksi aplikatif yang dikenal secara umum menurut Artawa (2004:69) adalah benefaktif, lokatif, instrumental, dan resipien. 4.5.2.1 Benefaktif Konstruksi benefaktif BD hanya dilakukan dengan cara menambahkan peran tematis baru pada struktur inti. Cermati data (45) berikut.
74
45) a. Bapa n-eik kokis Ayah 3T-bawa kue “Ayah membawa kue”
(DI)
b. Bapa n-eik kau kokis Ayah 3T-bawa 1T kue “Ayah membawakan saya kue” c. Bapa n-eki-n kokis Ayah 3T-bawa-3T kue “Ayah membawakan dia kue” Verba n-eik “3T-bawa” pada data di atas merupakan verba transitif yang menetapkan dua argumen seperti dalam data (a). Proses pengaplikatifan BD ditunjukkan oleh data (b dan c), yakni dengan menciptakan peran tematis baru, yaitu kau “saya” dan –n “dia”. Pemarkah –n pada verba berfungsi sebagai pemarkah pronomina ketiga. Fungsinya sama dengan kau “saya”, kai “kami”, kit “kita”, ko “engkau” , ki “kalian”, dan sin “mereka”. Bedanya adalah pemarkah objek 3T melekat pada verba seperti sufiks, sedangkan yang lain tidak. Untuk lebih jelas, cermati pada klausa di bawah ini: 46) a. Ho m-tui sulat 2T 2T-tulis surat “Engkau menulis surat” b. Ho m-tui kau sulat 2T 2T-tulis 1T surat “Engkau menuliskan saya surat” c. Ho m-tui kai sulat 2T 2T-tulis 1J.e surat “Engkau menuliskan kami surat” d. Ho m-tui-n/na sulat 2T 2T-tulis-3T surat “Engkau menuliskan dia surat”
(DI)
75
e. Au Ɂ-tui ko sulat 1T 1T-tulis 2T surat “Saya menuliskan engkau surat” f. In ntui kit sulat 3T 3T-tulis 1J.i surat “Dia menuliskan kita surat” Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa sufiks –n/na merupakan klitik yang mengacu pada pronomina ketiga. Keberadaan klitik ini hanya berlaku untuk 3Pro untuk mengakomodasi pronomina bukan persona (inanimate). Apabila menambah argumen benefaktif bukan (pro)nomina ketiga, maka sufiks pronomina itu harus dihilangkan. 4.5.2.2 Lokatif Penambahan argumen seperti yang sudah dijelaskan hanya berlaku untuk konstruksi benefaktif, sedangkan yang lain, seperti lokatif, instrumental, resipien, dan source berbeda. Cermati data berikut. 47) a. Bapa n-toko n-bi Ɂtoko Ayah 3T-duduk 3T-PREP kursi “Ayah duduk di kursi”
(DL)
b. Ho m-tup am-bi au hala 2T 2T-tidur 2T-PREP 1T tempat tidur “Engkau tidur di tempat tidur saya” Kedua data di atas menunjukkan bahwa lokatif Ɂtoko “kursi” dan au hala “tempat tidur saya” berstatus noninti (perifer). Tidak ada pemarkah morfologis yang memungkinkan untuk mempromosikan kedua lokatif ini menjadi inti. Hasil analisis terhadap data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa konstruksi lokatif dapat dipromosikan ke inti melalui dua cara, yaitu melalui pengedepanan argumen
76
lokatif dan proses serialisasi verba. Cara pertama seperti terlihat pada data (48) berikut. 48)
Au hala ho es am-tup am-bi-ne 1T tempat tidur 2T FOK 2T-tidur 2T-PREP-3T “Tempat tidur saya yang engkau tiduri”
(DL)
Pada konstruksi di atas terlihat bahwa lokatif au hala “tempat tidur saya” ditempatkan mendahului agen ho “engkau”. Sementara preposisi m-bi “2T di” mendapat tambahan pemarkah klitik –ne yang mengacu pada argumen lokatif au hala. Promosi argumen lokatif ke inti melalui pengedepanan seperti yang diperlihatkan dapat dikatakan kurang produktif. Dikatakan demikian karena konstruksi klausa seperti ini tidak pernah ditemukan selama proses pengambilan data melalui metode simak ataupun dari literatur-literatur berbahasa Dawan. Hal ini penting untuk ditelusuri secara lebih mendetail dalam penelitian berikutnya terutama untuk mengetahui apakah semua konstruksi klausa dapat dilakukan dengan hal seperti itu. Strategi untuk mempromosikan argumen lokatif ke inti yang ditemukan lebih produktif dibandingkan dengan sebelumnya adalah melalui konstruksi verba serial yang dibahas pada bab berikut. Alasan utama adanya serialisasi verba ini adalah ketiadaan afiks yang bermakna aplikatif untuk memodifikasi konstruksi lokatif. 4.4.2.3 Instrumental Konstruksi instrumental BD dapat dicermati dalam contoh (49) berikut. 49)
Kulu n-bios kau n-eik ue Guru 3T-pukul 1T 3T-pakai rotan “Guru memukul saya dengan rotan”
(DL)
77
Data (49) di atas memiliki tiga argumen, yaitu kulu’ “guru”, kau “saya”, dan ue “rotan”. Argumen ue “rotan” adalah instrumen yang dipakai oleh kulu untuk melakukan tindakan bios “pukul”.
Dalam BD, -eik bukan merupakan
preposisi, melainkan sebuah verba yang bermakna “menggunakan/memakai”. Dalam contoh konstruksi instrumental seperti data (49) di atas, argumen kau “saya” dapat dilesapkan, tetapi tidak memengaruhi makna keseluruhan dari klausa tersebut. Umumnya pelesapan ini disebabkan oleh objek yang dibicarakan sudah diketahui atau sudah dinyatakan sebelumnya, misalnya dalam data (50) berikut yang merupakan bagian ayat Alkitab dari Injil Matius 13:15. Instrumen pada konstruksi ini adalah mata “mata mereka”. 50)
henati' kais sin n-it n-eki sin mata-n supaya jangan 3J 3J-lihat 3T-pakai 3J mata-POSS “…supaya jangan mereka melihat dengan matanya…”
Matius 13:15
Konstruksi instrumental BD berbentuk serialisasi seperti contoh data (49—50) yang dikemukakan merupakan konstruksi verba serial. Verba -eik “pakai” yang menempati posisi V2 bukan merupakan preposisi seperti yang dikemukakan oleh Mekarini (2000:66) yang mengklaim adanya promosi instrumen dari noninti ke inti dengan syarat mendemosi objek dari struktur inti ke noninti. Jika demikian, maka isntrumen menjadi objek dari klausa, misalnya dalam data (50), instrumen mata “mata” berganti fungsi, yaitu objek. 4.5.2.4 Resipien Sama seperti konstruksi-konstruksi aplikatif lain yang sudah dijelaskan, BD tidak memiliki pemarkah morfologis dalam konstruksi resipien. Cermati contoh (51) berikut.
78
51) a. Tata n-fe kokis neu oli Kakak 3T-beri kue PREP adik “Kakak memberikan kue kepada adik”
(DL)
b. Tata n-fe-n oli kokis Kakak 3T-beri-3T adik kue “Kakak memberikan adik kue” Argumen resipien oli “adik” pada data (a) berada di luar struktur inti (perifer) yang ditandai dengan adanya preposisi neu “kepada”. Argumen resipien ini dapat dipromosikan ke struktur inti seperti terlihat pada data (b). Perubahan yang terjadi, yaitu verba n-fe menjadi n-fe-n. Pemarkah n- di awal verba merupakan proklitik yang mengacu pada argumen tata “kakak’ sedangkan –n pada akhir merupakan enklitik yang mengacu pada argumen resipien pronomina 3T, yaitu oli “adik”. Enklitik ini akan hilang apabila argumen resipien bukan 3T, misalnya dalam contoh data berikut. 52) a. Atoni na n-fe in an feto neo kau Orang itu 3T-beri 3T anak gadis PREP 1T “Orang itu memberikan anaknya kepada saya”
(DL)
b. Atoni na n-fe kau in an feto Orang itu 3T-beri 1T 3T anak gadis “Orang itu memberikan saya anak gadisnya” Pada konstruksi (52) di atas ini sama dengan contoh (51) sebelumnya dengan mengganti argumen resipien adalah pronomina 3T menjadi 1T yaitu kau “saya” seperti terlihat pada (52a) untuk memperlihatkan bahwa tidak ada pemarkah aplikatif pada konstruksi resipien BD. Pada (52b), verba n-fe “beri” tidak dimarkahi seperti yang terjadi pada (49b) ketika mempromosikan argumen resipien kau “saya” ke inti. Dengan demikian, jelas bahwa BD tidak memiliki pemarkah aplikatif pada konstruksi resipien.
79
BAB V STRUKTUR KONSTRUKSI VERBA SERIAL BAHASA DAWAN 5.1 Pengantar Bab ini membahas konstruksi verba serial bahasa Dawan. Pembahasan meliputi karakteristik konstruksi verba serial bahasa Dawan (KVS BD), kombinasi verba yang dilihat dari ketransitifan verba, dan fungsi KVS. Analisis terhadap ketiga topik utama ini menyangkut aspek sintaksis, morfologis, dan semantik
tetapi,
tidak
dibicarakan
secara
terpisah
untuk
menghindari
pengulangan-pengulangan dalam pembahasan yang dirasa tidak perlu. Karena penelitian ini dititikberatkan pada kajian morfosintaksis, kajian mengenai morfologi dan sintaksis dibahas secara bersamaan. Pembahasannya meliputi struktur dan pola pembentukan KVS, pemarkahan (baik morfologis maupun sintaksis) dalam KVS, dan ketransitifan verba. Hal yang dibahas terkait dengan ketransitifan verba ini adalah memaparkan tipe verba yang dapat berkombinasi membentuk KVS BD. Aspek semantik dalam KVS BD lebih banyak ditelusuri pada makna verba-verba yang membentuk predikat serial BD sekaligus dapat menelusuri fungsi KVS BD. Fungsi KVS yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah menyangkut apa yang dinyatakan oleh sebuah KVS. Hasil analisis terhadap data dalam penelitian menunjukkan bahwa secara sintaksis adalah sebagai berikut. Pertama, KVS BD sebagai elemen pengisi fungsi predikat dalam sebuah klausa dapat berdampingan atau terbelah. Kombinasi verba semacam itu disebut juncture (Van Valin dan La Polla, 1997:443). Kedua,
80
dibentuk oleh dua verba atau lebih tanpa disela oleh pemarkah konjungsi, baik koordinasi maupun subordinasi. Ketiga, membentuk satu klausa dengan kebersamaan argumen atau kategori fungsional, yaitu mempunyai satu subjek, atau mempunyai subjek dan objek bersama (argument sharing), mempunyai operator bersama (aspek, modal, dan negasi). Keempat, tiap-tiap verba yang membentuk KVS BD merupakan verba inti bukan verba bantu. Kelima, secara morfologis, pemarkahan morfologis dapat terjadi hanya pada salah satu verba atau tiap-tiap verba tersebut memeroleh pemarkahan yang sama. Keenam, dilihat dari aspek semantik, KVS BD menyatakan suatu kejadian kompleks yang terdiri atas dua (sub)kejadian atau lebih yang terjadi secara simultan, atau berurutan secara dekat/ketat satu sama lainnya. 5.2 Struktur Konstruksi Verba Serial Bahasa Dawan Hasil analisis terhadap data dalam penelitian menunjukkan bahwa KVS BD (1) berbentuk serialisasi nukleus (nuclear serialization) dan inti (core serialization), 2) dibentuk oleh dua verba atau lebih tanpa disela oleh pemarkah konjungsi, baik koordinasi maupun subordinasi, (3) membentuk satu klausa dengan kebersamaan argumen atau kategori fungsional, yaitu mempunyai satu subjek, atau mempunyai subjek dan objek bersama (argument sharing), mempunyai operator bersama (aspek, modal, dan negasi), (4) tiap-tiap verba yang membentuk KVS BD merupakan verba inti bukan verba bantu, (5) pemarkahan morfologis dapat terjadi hanya pada salah satu verba atau tiap-tiap verba tersebut memeroleh pemarkahan yang sama, (6) KVS BD menyatakan suatu kejadian kompleks yang terdiri atas dua atau lebih (sub)kejadian yang terjadi secara
81
simultan, atau berurutan secara dekat/ketat satu sama lainnya. Keenam karakteristik KVS BD seperti yang dikemukakan di atas dibahas masing-masing sebagai berikut. 5.2.1 Serialisasi Nukleus dan Inti Kecenderungan struktur verba serial dalam berbagai macam tipe kalimat lintas bahasa sama, yaitu bisa muncul berdampingan (berderet), bisa juga terpisah berjauhan. Selain itu, serialisasi bisa dalam bentuk inkorporasi, bisa juga dalam bentuk noninkorporasi (Durie, 1997: 330). Hal ini juga ditegaskan oleh Aikhenvald (2006:3) bahwa salah satu parameter konstruksi verba serial ini adalah verba-verba yang membentuk konstruksi verba serial dapat berdampingan (contiguous) atau dapat disela oleh konstituen lain atau terbelah (non-contiguous). Menurut Bowden (2008:96), tidak ada pengaruh adanya konstituen lain yang menyela kedua verba pembentuk KVS. Oleh karena itu, Bowden berpendapat bahwa perbedaan antara serialisasi nukleus dan inti hanyalah persoalan pada pilihan gaya (style of choice). Simpulan Bowden didasarkan atas dua buah contoh dalam bahasa Taba berikut ini. 1) a.
n-pun bobay n-pake sandal 3T-pukul nyamuk 3T-pakai sandal “Dia membunuh nyamuk dengan sandal”
(Bowden, 2008:96)
b. n-pun bobay pake sandal 3T-pukul nyamuk 3T-pakai sandal “Dia membunuh nyamuk dengan sandal” Kedua data adalah contoh KVS dalam bahasa Taba yang keduanya dibentuk oleh verba pun “pukul” dan pake “pakai” yang masing-masing memeroleh pemarkah proklitik n- yang mengacu pada argumen pronomina 3T
82
“dia” sebagai agen dari kedua verba. Kedua verba ini disela oleh nomina bobay “nyamuk” yang merupakan argumen pasien dari keseluruhan KVS. Argumen pengalam (undergoer) (sandal) dari pake menjadi argumen instrumental untuk keseluruhan KVS sehingga Bowden mengatakan bahwa contoh KVS bahasa Taba pada (1a-b) merupakan dua buah contoh karakteristik dari gaya bicara (speech style). Data (1a) merupakan karakteristik dari gaya bicara cepat, sedangkan (1b) merupakan karaktristik dari gaya bicara lambat. Istilah serialisasi nukleus (nuclear) dan inti (core) dalam tulisan ini mengacu pada struktur lapisan klausa dalam TPA. Pada serialisasi nukleus, terdapat dua nukleus atau lebih yang berfungsi sebagai predikat dari klausa dan tidak ada unit lain yang menyela. Sementara pada serialisasi inti, dua nukleus atau lebih yang berada pada struktur serialisasi dapat disela oleh satu argumen. Berdasarkan kasus pada bahasa Taba seperti yang dikemukakan Bowden, penulis berpendapat bahwa perbedaan utama kedua bentuk serialisasi ini tidak terletak pada konstituen yang menyela kedua verba yang membentuk KVS, tetapi terletak pada pembagian argumen (argument sharing). Kedua tipe serialisasi ini diilustrasikan dengan model serialisasi dalam kalimat bahasa Indonesia, seperti pada data (2) berikut. 2) a. Koruptor telah membawa lari uang rakyat ke luar negeri. b. Saya menyuruh dia pergi dari rumah. Dua verba yang membangun serialisasi pada (2a), yakni verba membawa dan lari adalah serialisasi nukleus (nuclear serialization) karena keduanya muncul berdampingan, tanpa disela oleh konstituen lain. Sebaliknya pada (2b), verba “menyuruh” dan “pergi” muncul terpisah (tidak berdampingan) karena disela oleh
83
argumen “dia” sehingga disebut serialisasi inti (core serialization). Argumen dia pada (2b) ini merupakan argumen bersama (argument sharing) yang berfungsi ganda. Pada satu sisi, “dia” berperan sebagai U bagi klausa matriks Saya menyuruh dia, sedangkan pada sisi lain, argumen “dia” berperan sebagai S (subjek intransitif) bagi klausa sematan dia pergi dari rumah. Kedua bentuk serialisasi ini juga ditemukan dalam BD, tetapi yang paling produktif adalah serialisasi pada tataran nukleus. Serialisasi nukleus dapat dibentuk oleh dua verba atau lebih, tetapi yang paling banyak ditemukan adalah dua. Presentasi kedua bentuk serialisasi BD dapat dicermati pada tabel berikut. Tabel 5.1 Perbandingan Serialisasi Nukleus dan Inti dalam BD Serialisasi Nukeus Jumlah verba
Serialisasi Inti
2
3
4
2
3
4
65
6
1
6
1
-
Jumlah
72
Total
7 79
5.2.1.1 Serialisasi nukleus Serialisasi nukleus dalam BD dibentuk oleh dua, tiga, dan empat verba, tetapi yang paling produktif atau yang paling banyak ditemukan dalam penelitian ini adalah yang dibentuk oleh dua buah verba. Realisasi ketiga bentuk serialisasi nukleus ini dapat dicermati dalam tiga buah data berikut. 3) Fafi n-mofu n-tam n-eu kona Babi 3T-jatuh 3T-masuk 3T-PREP lubang “Babi jatuh ke dalam di lubang”
(DL)
84
4) Bi Loka n-aen n-em n-at kau besi ART NAMA 3T-lari 3T-datang 3T-antar 1T pisau “Loka bergegas datang mengantarkan pisau kepada saya”
(DL)
5) Atoni na n-aen n-em n-tia n-pas kau Orang itu 3T-lari 3T-datang 3T-tiba 3T-pukul saya "Orang itu bergegas datang dan memukul saya”
(DL)
Serialisasi nukleus dengan dua verba terdapat pada data (3) yaitu dibentuk oleh verba mofu “jatuh” dan tam “masuk”. Masing-masing verba tersebut dimarkahi oleh klitik n- yaitu pemarkah pronomina tiga tunggal. Serialisasi nukleus dengan tiga verba terlihat pada data (4) yang dibentuk oleh verba n-aen n-em n-at “lari datang antar”. Ketiga verba yang membentuk serialisasi nukleus ini juga dimarkahi oleh klitik pronomina ketiga tunggal yaitu mengacu pada argumen Bi Loka. Serialisasi nukleus seperti pada data (5) dibentuk oleh empat buah verba yaitu n-aen n-em n-tia n-pas “lari datang sampai pukul”. Masingmasing verba yang membentuk predikat serialisasi nukleus ini juga dimarkahi oleh klitik pronomina ketiga yang mengacu pada argumen atoni na “orang itu”. 5.2.1.2 Serialisasi Inti Konstruksi verba serial (KVS) BD pada tataran inti (core serialization) dibentuk oleh dua buah verba seperti pada data berikut. 6) Ho m-tital mei n-em i 2T 2T-dorong meja 3T-datang ini “Engkau mendorong meja ke sini”
(DL)
Data (6) di atas dibentuk oleh dua buah verba, yaitu m-tital “dorong” dan n-em “datang” yang disela oleh argumen mei “meja”. Verba tital merupakan verba transitif yang menetapkan dua argumen, yaitu ho “engkau” dan mei “meja”. Proklitik m- yang melekat pada verba tital mengacu pada argumen A, yaitu ho.
85
Sementara itu, argumen mei “meja” merupakan argumen U dari verba tital sekaligus merupakan argumen S pada verba n-em “datang” yang dibuktikan adanya proklitik n- pada verba tersebut. Sebaliknya, adverbial i “ini/sini” pada posisi perifer mengacu pada keseluruhan KVS. Dalam KVS BD, argumen yang menyela kedua verba dalam struktur serialisasi inti dapat dilesapkan sehingga terlihat sepintas seperti KVS pada serialisasi nukleus. Pelesapan argumen ini tidak berpengaruh, baik pada makna maupun pada kaidah struktur KVS tetapi lebih didasarkan pada aspek pragmatis. Contoh KVS dimaksud dapat dicermati pada contoh berikut yang merupakan contoh ulangan dari data (6) agar lebih jelas. 7) Ho m-tital n-em i 2T 2T-dorong 3T-datang ini “Engkau mendorong (sesuatu) ke sini”
(DL)
Data (7) di atas merupakan contoh serialisasi inti yang dibentuk oleh dua buah verba yaitu m-tital “dorong” dan n-em “datang”. Meskipun tampak seperti bentuk serialisasi nukleus, perbedaan nyata yang dapat diamati dari serialisasi inti pada data (7) ini terletak pada proklitik yang memarkahi tiap-tiap verba dan nilai ketransitifan verba yang membentuk KVS tersebut. Verba m-tital pada posisi V1 merupakan verba transitif yang menetapkan dua argumen, yaitu A-U, sedangkan nem pada V2 merupakan verba intransitif yang menetapkan satu argumen, yaitu S sebagai subjek gramatikal klausa. Pada KVS (7), argumen U dari verba V1 dinyatakan dengan proklitik n- yang melekat pada V2. Argumen U dari V1 ini pada saat yang sama merupakan S dari V2. Jadi, argumen U pada KVS (7) ini tidak hadir secara leksikal, tetapi dalam bentuk
86
klitik. Pelesapan ini diperbolehkan apabila di antara penutur dan mitra tutur saling mengetahui objek yang dibicarakan. Berbeda dengan nomina bebas, kehadiran klitik pada verba dalam BD bersifat wajib. Argumen P pada serialisasi inti ini hanya diperbolehkan untuk lesap, tetapi tidak diperbolehkan untuk berpindah posisi seperti contoh (8) berikut. 8) **Ho m-tital n-em mei i 2T 2T-dorong 3T-datang meja ini “Engkau mendorong meja ke sini” Kendala ketidakberterimaan KVS di atas terletak pada V2, yaitu merupakan verba intransitif yang tidak memungkinkan untuk dinaikkan valensinya menjadi transitif seperti contoh berikut. 9) a. Au Ɂ-tital mei n-tam neo ke’an 1T 1T-dorong meja 3T-masuk PREP kamar “Saya mendorong meja ke dalam kamar”
(DL)
b. Au Ɂ-tital u-tam mei neo ke’an 1T 1T-dorong 1T-masuk meja PREP kamar “Saya mendorong meja ke dalam kamar” Data (9a) merupakan serialisasi inti yang dibentuk oleh verba tital “dorong” dan tam “masuk”. Penjelasan mengenai perilaku KVS ini sama seperti pada data (6). KVS pada (9b) merupakan serialisasi nukleus yang dibentuk dari KVS (9a) melalui mekanisme perubahan valensi pada V2 yang ditransitifkan. Perubahan ini menyebabkan verba n-tam yang dimarkahi proklitik n- yang mengacu pada S, yaitu mei “meja” berubah menjadi u-tam. Proklitik u- pada V2 ini mengacu pada argumen A, yaitu au “saya”. Karena V2 telah menjadi verba transitif maka argumen U, yaitu mei harus berpindah di akhir verba sehingga argumen ini menjadi argumen bersama untuk kedua verba.
87
5.2.2 KVS BD Tidak Disela oleh Konjugsi Karakteristik lain sebagai salah satu ciri yang membedakan KVS dengan konstruksi-konstruksi memisahkan,
baik
lain
adalah
koordinatif
ketiadaan
pemarkah
maupun subordinatif.
konjungsi
Untuk
yang
mengetahui
keberadaan pemarkah konjungsi pada KVS BD dilakukan pengujian dengan teknik sisip, yaitu menyisipkan konjungsi di antara verba-verba yang membentuk KVS tersebut seperti data berikut. 10) a. Oli n-biso n-pe klas Adik 3T-pukul 3T-pecah gelas “Adik memecahkan gelas”
(DL)
b. ** Oli n-biso talantia n-pe klas Adik 3T-pukul KONJ 3T-pecah gelas “Adik memecahkan gelas” c. Oli n-biso klas talantia n-pe Adik 3T-pukul gelas KONJ 3T-pecah “Adik memecahkan gelas”
(DL)
KVS (10a) dibentuk oleh verba dasar -biso “pukul” dan -pe “pecah” dan masing-masing verba tersebut dimarkahi oleh proklitik n- yang mengacu pada argumen A yaitu oli “adik”. KVS ini diuji keberterimaannya menggunakan konjungsi talantia, yaitu konjungsi subordinatif yang menyatakan akibat dalam kontruksi kalimat kompleks (KKK) BD. Penggunaan konjungsi talantia dalam KVS akan tampak seperti dalam (10b-c), yaitu KKK. Pada (10b), konjungsi disisipkan di antara verba nbiso dan npe sehingga terlihat seperti KKK tetapi tidak berterima. Secara gramatikal, argumen klas tidak bisa mengikuti verba pe’ “pecah” karena verba tersebut adalah verba intransitif,
88
sementara V1, yaitu biso “pukul” tidak memiliki OBJ, padahal merupakan verba transitif. Pada (10c) argumen klas dipindahkan ke posisi setelah V1 diikuti dengan konjungsi. Konstruksi seperti ini menjadi gramatikal karena berbentuk KKK. Proklitik n- pada verba n-pe mengacu pada klas A sebagai argumen P dari verba nbiso, sekaligus merupakan S untuk verba transitif npe. Perbedaan antara KVS pada (10a) dan KKK pada (10c) terletak pada aspek semantis, yaitu KVS dikonsepsikan sebagai sebuah peristiwa tunggal. Sebaliknya, KKK merupakan dua peristiwa kompleks. Penjelasan mengenai KVS sebagai sebuah peristiwa tunggal dalam tulisan ini dibahas pada subbab 5.5 dalam bab ini. 5.2.3 KVS BD Berperilaku seperti Klausa Tunggal Secara sintaktis, KVS BD selalu membentuk sebuah klausa tunggal atau klausa sederhana. Karena membentuk sebuah klausa, fungsi gramatikal SUBJ yang terdapat pada klausa tersebut menjadi SUBJ bersama bagi kedua verba pembentuk KVS itu. Hal ini dianggap wajar meskipun terdiri atas dua verba, kedua verba dalam KVS tersebut berperilaku seperti verba sederhana dan hanya menjalankan satu fungsi klausa, yaitu fungsi predikat sebagai konstituen inti klausa. Durie (1997: 291) dan Aikhenvald (2006:3--4) mengatakan bahwa KVS membentuk klausa tunggal ini didasarkan pada criteria, antara lain mempunyai satu subjek, atau mempunyai subjek dan objek bersama, dan mempunyai kategori gramatikal bersama kala, aspek, dan negasi.
89
5.2.3.1 KVS BD Mempunyai Satu Subjek Salah satu ciri khas BD adalah keberadaan proklitik pada setiap verba. Pada verba intransitif, proklitik ini mengacu pada argumen S, sedangkan pada verba transitif mengacu pada argumen A. Kehadiran proklitik ini tidak hanya berlaku pada klausa berpredikat tunggal, tetapi juga pada KVS. KVS yang memiliki subjek bersama terdapat pada struktur KVS yang dibentuk oleh dua buah verba intransitif seperti data (11) berikut. 11)
Fafi n-mofu n-tam n-eu kona Babi 3T-jatuh 3T-masuk 3T-PREP lubang “Babi jatuh ke dalam lubang”
(DL)
KVS (11) di atas dibentuk oleh dua buah verba dasar intransitif, yaitu mofu “jatuh” dan -tam “masuk”. Kedua verba ini dimarkahi oleh proklitik n- yang mengacu pada argumen fafi “babi” sebagai sebagai subjek gramatikal dari struktur inti. 5.2.3.2 KVS BD Mempunyai Subjek dan Objek Bersama KVS BD yang memiliki subjek dan objek bersama terdapat pada KVS yang dibentuk oleh kombinasi verba transitif seperti data berikut. Untuk jelasnya dapat dicermati pada contoh berikut. 12)
Asu n-lau n-fek tani Anjing 3T-gigit 3T-putus tali “Anjing memutuskan tali”
(DL)
KVS (12) dibentuk oleh dua buah verba dasar, yaitu -lau “gigit” dan -fek “putus”. Kedua verba dimarkahi dengan proklitik n- yang mengacu pada
90
arugumen asu ‘anjing” sebagai subjek gramatikal KVS tersebut. Kedua verba juga berbagi objek yang sama, yaitu tani “tali”. 5.2.3.3 KVS BD Memiliki Argumen Ganda KVS BD dikatakan memiliki argumen ganda karena salah satu argumen dalam KVS dapat berfungsi sebagai objek dari sebuah verba, tetapi juga merupakan subjek verba yang lain dari verba-verba yang membentuk KVS. Fungsi ganda argumen ini terdapat pada serialisasi inti seperti pada data berikut. 13)
Ho m-fonat mei n-em i 2T 2T-geser meja 3T-datang sini “Engkau menggeser meja mendekati saya”
(DL)
KVS (13) ini dibentuk oleh dua buah verba yang berbeda nilai ketransitifannya. Pada posisi V1 diisi oleh verba transitif fonat “geser” dan verba intransitif nem “datang” pada posisi V2. Argumen yang berfungsi ganda pada KVS ini diperankan oleh argumen mei “meja”, yaitu merupakan objek (U) dari verba transitif fonat pada V1 sekaligus merupakan subjek (S) dari verba nem pada V2. Perbedaan kedua verba pembentuk KVS (13) di atas yang menjadi indikator jelas terletak pada proklitik yang melekat pada kedua verba tersebut, yaitu mpada verba fonat “geser” mengacu pada argumen ho “engkau” sebagai subjek (A). Sebaliknya, proklitik n- yang melekat pada V2 mengacu pada argumen mei “meja”. 5.2.3.4 KVS BD Mempunyai Operator Bersama KVS BD membentuk klausa tunggal juga dapat dicemati lewat penggunaan operator. Operator adalah kategori-kategori atau unsur-unsur yang
91
berfungsi menampilkan kategori gramatikal yang sifatnya berbeda dari predikat dan argumen-argumennya (Van Valin & La Polla, 1997:40). Pengujian terhadap KVS BD digunakan tiga buah operator, yakni negasi, aspek, dan modal. Ketiga operator ini dijelaskan secara berturut-turut sebagai berikut. Negasi dalam BD secara leksikal adalah kaf “tidak”, tetapi sering bervariasi menjadi kahaf. Misalnya, dalam menjawab pertanyaan leko ai kaf “baik atau tidak”, maka jawabannya adalah kaf “tidak”. Penggunaan negasi ini mengalami perubahan ketika berfungsi sebagai operator dalam klausa karena muncul sebagai morfem terikat, yaitu menjadi ka-PRED-f/af/fa. Keberadaan f/af/fa sebagai sufiks yang melekat pada suatu predikat adalah menyangkut variasi bunyi yang umum terjadi dalam BD. Penggunaan negasi dalam klausa BD dapat dicermati dalam konstruksi klausa sederhana di bawah ini. 14) a. Au ka-Ɂ-seu-f noah 1T NEG-1T-petik-NEG kelapa “Saya tidak memetik kelapa”
(DL)
b. Bife na ka-na-mas-af Perempuan itu NEG-3T-cantik-NEG “Perempuan itu tidak cantik” Kedua klausa simpleks di atas memperlihatkan penggunaan negasi dalam BD. Perbedaan sufiks pemarkah negasi pada predikat kedua klausa di atas tidak menyangkut dengan kategori gramatikal yang menjadi predikat klausa, tetapi merupakan persoalan fonologis. Pemarkah –f pada verba seu “petik” yang terdapat (14a) disebabkan oleh bunyi akhir verba tersebut adalah bunyi vokal, sebaliknya bervariasi menjadi –af seperti (14b) karena bunyi akhir kata na-mas “cantik” yang
92
dilekati adalah konsonan. Penggunaan operator negasi klausa berpredikat tunggal seperti ditunjukkan dalam data (14) berlaku sama seperti klausa berpredikat serial seperti dalam data (15--16) berikut. 15)
Asu ka-n-lau n-fek-af tani Anjing NEG-3T-gigit 3T-putus-NEG tali “Anjing tidak memutuskan tali”
(DL)
16)
Ho ka-m-nao mu-mat mu-fani-fa in fani 2T NEG-2T-pergi 2T-antar 2T-pulang-NEG 3T kapak “Engkau tidak mengembalikan kapaknya”
(DL)
Data (15) adalah KVS yang dibentuk oleh dua buah verba yaitu n-lau n-fek “gigit putus”. Pemarkah n- pada tiap-tiap verba adalah proklitik yang mengacu pada argumen asu “anjing”. Negasi pada KVS ini ditunjukkan oleh prefik kapada V1 dan sufiks –af pada V1. Demikian juga dengan KVS (16) yang dibentuk oleh tiga buah verba, yaitu m-nao mu-mat mu-fani “pergi antar pulang”, di mana permarkah negasi dilekatkan pada V1 dan V3. Distribusi pemarkah negasi dalam KVS BD seperti terlihat pada data (1516) ini menunjukkan bahwa KVS BD dikonsepsikan atau berlaku sama seperti klausa sederhana. Pemarkahan negasi seperti yang ditunjukkan dalam data KVS ini juga membuktikan bahwa verba-verba yang membentuk predikat serial berfungsi sebagai nukleus dari klausa tersebut. Selain pemarkahan negasi seperti yang sudah dijelaskan, KVS BD bisa mengandung makna negasi yang diwakili oleh V2 seperti KVS berikut. 17)
Usif an-soiɁ na-poi-tan a-mnaist-enu Raja 3T-hitung 3T-keluar-KAUS NOM-tua-J “Raja tidak menghitung para orang tua”
(DI)
93
Verba napoitan yang menempati posisi V2 dalam KVS di atas bermakna “tidak memasukkan para orang tua dalam hitungan”. Verba ini tidak akan bermakna negasi lagi bila berdiri sendiri dalam konstruksi klausa simpleks. Selain penggunaan negator seperti yang sudah dijelaskan, KVS BD memiliki operator bersama dapat dicermati dari penggunaan operator modal dan aspek pada kedua KVS berikut. 18)
Asu lomes an-lau n-fek tani Anjing MDL 3T-gigit 3T-putus tali “Anjing akan memutuskan tali”
(DL)
19)
Meo n-aen an-poi-en n-ako ume nanan Kucing 3T-lari 3T-keluar-PERF 3T-dari rumah dalam “Kucing sudah keluar dari dalam rumah”
(DI)
Penggunaan operator modal dalam KVS BD ditunjukkan dalam data (18). Struktur kategorial penggunaan modal BD adalah MODAL+VERB (Tarno, 1992:112). Pada data (18) meskipun terbentuk oleh dua verba dasar yaitu lau fek “gigit putus”, hanya terdapat satu buah MODAL yaitu lomes “pasti” yang berada sebelum verba serial. Hal ini menunjukan bahwa meskipun klausa tersebut berpredikat lebih dari satu verba tetapi memiliki satu MODAL bersama. Posisi lomes selalu berada sebelum KVS dan bersifat pasti (fixed) pada KVS karena memindahkan posisinya akan menjadi tidak berterima. Operator aspek pada KVS BD terdapat pada data (19) yang ditunjukkan oleh sufiks –en yang bermakna perfektif dan melekat pada V2, yaitu -poi “keluar”. Permarkah perfektif dalam KVS ini wajib dilekatkan pada verba terakhir dari verba-verba yang membentuk KVS sehingga apabila diubah dan dilekatkan pada V1 maka tidak berterima dalam KVS BD. Akan tetapi, pemarkah perfektif
94
–en ini dapat juga dilekatkan pada argumen lokatif ume nanan “dalam rumah” seperti berikut. 20)
Meo n-aen an-poi na-ko ume nan-en Kucing 3T-lari 3T-keluar 3T-dari rumah dalam-PERF “Kucing sudah keluar dari dalam rumah”
(DI)
Meskipun berada pada argumen lokatif,–en memodifikasi keseluruhan peristiwa dalam KVS tersebut atau memodifikasi kesuluruhan klausa dalam KVS di atas. Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa KVS BD berlaku sama seperti klausa berpredikat tunggal dalam BD. 5.2.4 KVS BD sebagai Sebuah Peristiwa Tunggal Secara semantik, konstruksi verba serial dikonsepsikan sebagai peristiwa tunggal (Durie, 1997: 291). Durie menjelaskan lebih lanjut bahwa peristiwa tunggal ini dapat dibuktikan dengan menerjemahkan verba serial tersebut ke dalam bahasa lain, yaitu dua verba atau lebih dapat diterjemahkan hanya dengan sebuah verba dalam bahasa lain. Pendapat Durie ini ditentang oleh Foley (2004) dan Newmeyer (2004) yang mennyatakan bahwa verba-verba dalam konstruksi verba serial merupakan verba inti sehingga tidak dapat serta merta mengklain sebagai sebuah peristiwa tunggal. Selain itu, tiap-tiap bahasa berbeda sehingga tidak dapat diukur hanya dengan terjemahan. Senada dengan Foley dan Newmeyer, Arka dkk, (2013:192) menjelaskan bahwa biasanya konstruksi verba serial menyatakan suatu kejadian kompleks yang terdiri atas dua (sub)kejadian atau lebih yang terjadi secara simultan atau berurutan secara dekat/ketat satu sama lainnya. Akan tetapi, tidak
95
semua subkejadian pada serialisasi mudah diidentifikasi dengan jelas dan mungkin ada leksikalisasi atau perubahan makna. Yin (2007) menjelaskan bahwa, baik sederhana maupun kompleks, semua peristiwa selalu memiliki satu komponen inti (core component) atau aktivitas utama yang biasanya menonjol. Jika sebuah peristiwa hanya dibentuk oleh sebuah elemen verba inti, maka dapat dianggap sebagai peristiwa sederhana. Perdebatan mengenai apakah KVS merupakan sebuah peristiwa tunggal atau kompleks maka menurut peneliti, penting untuk melihat konsep peristiwa yang dimaksudkan. Peristiwa sederhana hanya terdiri atas satu fase tunggal, sedangkan peristiwa kompleks terdiri atas lebih dari satu peristiwa.
Verba kill “bunuh”
seperti dalam he kills a pig “dia membunuh seekor babi” tidak memberikan informasi secara lengkap mengenai aktivitas kill “bunuh” itu sendiri, yakni apakah babi yang dibunuh benar-benar mati atau tidak. Oleh karena itu, penambahan elemen (verba) lain pada verba kill akan memberikan informasi jelas di mana peristiwa tersebut memiliki fase permulaan (inception phase) dan / atau fase akhir (termination phase), di mana fase akhir ini menunjukkan tahap hasil/ akibat dari tindakan awal. Berdasarkan penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa suatu tindakan atau aktivitas juga dapat menghasilkan sebuah terminasi (akhir), pemenuhan (fulfillment), atau perubahan keadaan (change of state), yakni akibat (result). Suatu tindakan dan akibatnya diistilahkan oleh Talmy (2000) sebagai peristiwa makro (macro event). Dikatakan peristiwa makro karena merupakan satu jenis peristiwa kompleks yaitu terdiri atas paling tidak dua fase. Yin (2007)
96
memberikan contoh dalam bahasa Cina di mana fase akibat (resultative phase) dari tindakan kill “bunuh” selalu direalisasikan dalan dalam struktur peristiwa kompleks dengan menambahkan verba pencapaian (achievement). Dengan demikian, bertolak dari pendapat para linguis di atas dapat dikatakan bahwa peristiwa bisa sederhana atau kompleks tergantung pada berapa fase yang terkandung dalam predikat sebuah klausa dan bagaimana seorang penutur mengonsepkan peristiwa tersebut. Hampir semua tipe KVS yang ditemukan dalam penelitian ini menunjukkan tingkat keberagaman suatu kesatuan peristiwa kompleks dan di mana terdiri atas sedikitnya dua fase dari sebuah peristiwa. Yang dimaksudkan dengan fase peristiwa di sini adalah fase inti dan fase permulaan dan akhir. Peristiwa kompleks yang dimaksud di atas dapat dicermati dalam KVS di mana kehadiran verba nis setelah verba nken mengindikasikan pencapaian atau akibat dari tindakan nken. 21)
Polisi n-ken n-is abakat Polisi 3T-tembak 3T-mati pencuri “Polisi menembak mati pencuri”
(DI)
Perbedaan pendapat di atas dirangkum oleh Aikhenvald (2006:12) dengan mengatakan sebagai berikut. Semantically, serial verb construction may encode one event, or several subevent closely linked together, or even several subevents in sequence which may be conceptualized as connected to each other. Penjelasan Aikhenvald pada kontinum KVS ini berkorelasi dengan parameter-parameter sintaksis, antra lain pembagian argumen yang sama
97
(argument sharing) atau operator sintaksis lain seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Berikut ini tiga buah contoh KVS untuk dicermati. 22)
Oli n-‘eka n-tam asu et ume hana nanan Adik 3T-tutup 3T-masuk anjing PREP rumah masak dalam “Adik mengurung anjing di (dalam) dapur”
(DL)
23)
Hi m-aen em neu sa? 2J.i 2J.i-lari 2J.i-datang untuk apa? “Mengapa kalian datang terburu-buru?”
(DL)
24)
Au Ɂ-poli Ɂ-mof noah 1T 1T-lempar 1T-jatuh kelapa “Saya menjatuhkan kelapa (dengan cara melempar)”
(DL)
Tiap-tiap verba pembentuk predikat serial dalam keempat KVS di atas merupakan verba inti bukan merupakan verba bantu. Dikatakan verba inti karena tiap-tiap verba tersebut memiliki makna leksikal sendiri-sendiri ketika berdiri sendiri sebagai sebuah kata atau sebagai predikat dalam sebuah klausa seperti di bawah ini. 25) a. Au Ɂ-poil noah 1T 1T-lempar kelapa “Saya melempar kelapa”
b.
Au Ɂ-mof noah (DI) 1T 1T-jatuh-KAUS kelapa “Saya menjatuhkan kelapa”
Kedua verba pembentuk KVS dikonsepsikan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain sehingga membentuk makna tunggal. Misalnya, verba n‘eka ntam “tutup masuk”, di mana n‘eka yang menempati V1 merupakan verba aksi, sedangkan ntam pada V2 merupakan merupakan verba gerakan yang menuntut hadirnya lokasi. Dekomposisi verba n‘eka ntam seperti di atas juga menggambarkan bahwa kedua verba tersebut membentuk makna kausatif. Hal ini dapat dicermati dari struktur logis predikat serial tersebut MELAKUKAN’ (Oli, [n‘eka’(Oli)]) MENYEBABKAN MENJADI ada-di’ (ume ‘hana nanan, asu).
98
Hal lain yang harus dipertimbangakan dari KVS seperti (22) ini adalah bahwa rangkaian verba n‘eka “menutup” dan ntam “masuk” tidak bisa intrerpretasikan berdasarkan urutan kejadian sebab-akibat secara logika, seharusnya asu “anjing” dimasukkan dahulu ke dalam ume hana nanan “dalam dapur” lalu diikuti dengan tindakan menutup dapur. Akan tetapi, menggeser V2 ke posisi V1 dan sebaliknya membuat struktur klausa tersebut tidak berterima secara gramatikal. Berbeda dengan KVS (22) yang tidak dapat diinterpretasi berdasarkan urutan kejadian, pada contoh (23) yang dibentuk oleh verba maen em “lari datang” menunjukkan kombinasi cara gerak (manner of motion). Verba maen “lari” merupakan verba gerak, tetapi kombinasi dengan verba em “datang” menunjukkan peristiwa datang yang dilakukan secara terburu-buru. Verba maen dalam KVS selalu berkombinasi dengan verba gerakan arah (motion / directional) seperti naen neit “dia lari datang (ke sana)”, naen ansae “lari ke atas (naik)”, naen anpoi “ (lari) keluar”, naen antef “(lari) hadang”. KVS pada contoh (24) dibentuk oleh dua verba leksikal Ɂ-poli “1Tlempar” dan Ɂ-mof “1T-jatuh” yang masing-masing dapat berdiri sebagai sebuah predikat dalam klausa yang sama seperti di bawah ini. Apabila rangkaian verba ini dicermati, dapat diketahui bahwa keduanya merupakan dua verba yang berbeda secara semantis, tetapi penggabungan keduanya membentuk satu peristiwa tunggal, yakni menjatuhkan kelapa dengan cara (karena) dilempar. Hal ini menyiratkan bahwa kombinasi verba poli “lempar” dan mof “jatuh” membentuk serialisasi yang bermakna sebab-akibat (cause-effect serialization).
99
Kombinasi verba poli “lempar” dan mouf “jatuh” dalam KVS (24) tersebut juga harus dilihat dari aspek pragmatis meskipun keduanya dapat membentuk predikat tunggal, verba poli saja tidak memberikan informasi secara lengkap tentang hasil atau akibat dari aktivitas poli. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh klausa (25b) di mana verba Ɂmof meskipun bermakna kausatif, tidak memberikan informasi secara lengkap tentang bagaimana noah “kelapa” (U) bisa jatuh. Verba Ɂmof dalam klausa (25b) merupakan verba transitif karena menetapkan dua argumen inti, yaitu au “saya” dengan peran actor (A) dan noah “kelapa” sebagai undergoer (U). Kembali ke contoh KVS (24), informasi yang tidak lengkap dari verba mof juga adalah dari mana kelapa itu jatuh. Misalnya, seorang informan BD dalam penelitian ini menjelaskan bahwa kalau kelapa itu berada sama tingi dengan pelempar, maka tidak perlu dilempar atau apabila pelempar bisa memanjat, maka tidak perlu melempar tetapi memetik. Berdasarkan penjelasan narasumber di atas maka dapat disimpulkan bahwa kombinasi verba serial Ɂpoli Ɂmof “lempar jatuh” membentuk satu kejadian tunggal bermakna sebab akibat yang didasari oleh kendala pragmatik. Contoh KVS (26a) berikut juga menunjukkan kendala semantik dan pragmatik yang sama seperti KVS yang sudah dijelaskan di atas. Berbeda dengan kombinasi m-nao “2T-pergi” dan m-sos “2T-beli” pada contoh (26) berikut, di mana kedua verba tersebut dapat disisipi konjungsi seperti terlihat pada (26b). 26)
a.
Ho m-nao m-sos kokis 2T 2T-pergi 2T-beli kue “Engkau pergi membeli kue”
(DL)
100
b.
Ho m-nao ma m-sos kokis 2T 2T-pergi KONJ 2T-beli kue “Engkau pergi membeli kue”
Kedua konstruksi kalimat tersebut berterima secara gramatikal, tetapi berbeda makna. Kombinasi m-nao m-sos “pergi beli” pada (26a) dikonsepsikan sebagai sebuah peristiwa tunggal sehingga merupakan sebuah KVS. Sementara itu, contoh (26b) menunjukkan dua kejadian berbeda yang ditunjukkan oleh kehadiran konjungsi ma sehingga membentuk konstuksi kalimat kompleks. Kedua contoh (26a-b) di atas sama-sama gramatikal dan berterima dalam BD, tetapi keduanya berbeda, baik struktur maupun maknanya. Berdasarkan strukturnya, contoh (26a) merupakan KVS, sedangkan (26b) merupakan konstruksi kalimat kompleks yang ditandai dengan adanya pemarkah konjungsi ma “dan”. Kedua konstruksi memiliki subjek dan objek yang sama, tetapi berbeda makna. Hal ini dapat dibuktikan dengan teknik perluasan kalimat, yakni menambahkan adverbial lelon “tadi” atau he “ingin” yang terlihat seperti berikut. 27)
a1.** Lelon ho m-nao m-sos kokis Tadi 2T 2T-pergi 2T-beli kue “Tadi engkau pergi membeli kue” a2.
Lelon ho m-nao ma m-sos kokis Tadi 2T 2T-pergi KONJ 2T-beli kue “Tadi engkau pergi dan membeli kue”
b1.
Ho he m-nao m-sos kokis 2T ingin 2T-pergi 2T-beli kue “Engkau ingin pergi membeli kue”
b2**. Ho he m-nao ma m-sos kokis 2T ingin 2T-pergi KONJ 2T-beli kue “Engkau ingin pergi membeli kue”
(DL)
101
Berdasarkan teknik pengujian yang dipakai di atas dapat dicermati bahwa penambahan lelon “tadi” pada KVS (a1) tidak berterima dan dianggap berbeda makna dan konteksnya. Sebaliknya, berterima dalam KKK seperti pada (a2). Demikian juga dengan penggunaan he “ingin” berterima dalam KVS (b1), tetapi tidak dalam KKK dalam (b2). Penambahan he “ingin/akan” yang berterima pada (a1), tetapi tidak pada (a2). Sebaliknya lelon “tadi” yang berterima pada (b1), tetapi tdak pada (b2) menunjukkan bahwa perbedaannya terletak pada hasil dari aktivitas yang dilakukan oleh actor (au). Dikatakan perbedaan terletak pada hasil yang diperoleh dari aktivitas mnao msos “pergi beli” karena verba mnao “pergi” pada posisi V1 tidak dapat digantikan dengan verba gerakan berpindah yang lain, seperti om “datang (ke sini)”, eti “datang (ke sana)”, atau aen “lari”. Verba naen ‘lari” dan nao “pergi” memang ditemukan cukup produktif dalam KVS BD, tetapi dengan makna yang berbeda-beda seperti juga yang ditunjukkan dalam KVS (28--29) berikut. 28)
Mama nao na-saitan kit (DL) Ibu 3T-pergi 3T-tinggal-KAUS 2J.i “Ibu meninggal dunia (meninggalkan kita untuk selama-lamanya)”
29)
Mama nao na-saitan kit Ibu 3T-pergi 3T-tinggal-KAUS 2J.i “Ibu meninggalkan kita / Ibu menelantarkan kita”
(DL)
Kombinasi verba nao nasaitan pada kedua KVS di atas memiliki makna berbeda. Kedua KVS ini hanya dapat dipahami maknanya apabila dilihat dari konteks kejadian, di mana KVS (28) dimaknai dengan “meninggal dunia”, sedangkan KVS pada (29) dimaknai dengan “menelantarkan”. Interpretasi makna nao nasaitan pada (28) dilatari oleh faktor kesantunan berbahasa (language
102
politenes) yang berfungsi menghaluskan makna (eufimism) karena dianggap tidak santun untuk mengatakan “ibu kita mati”. Verba nao yang menempati posisi V1 pada KVS (29) dapat diganti dengan verba naen “lari” menjadi naen nasaitan yang juga bermakna sama, yaitu “menelantarkan”, tetapi naen tidak dapat dipakai untuk berkombinasi dengan nasaitan pada KVS (28). Untuk memperjelas keberadaan verba naen ini cermati pula KVS (30) berikut. 30) a. Hai nua kai m-aen mes in n-aen an-polin kau 1J.i dua 1J.i 2J.i-lari tetapi 3T 3T-lari 3T-buang 1T “Kami berdua lari (bersama), tetapi dia meninggalkan saya”
(DI)
**b. Hai nua kai m-nao mes in nao n-polin kau 1J.i dua 1J.i 2J.i-jalan tetapi 3T 3T-jalan 3T-buang 1T “Kami berdua berjalan (bersama), tetapi dia meninggalkan saya” c.
Hai nua kai m-nao mes in n-aen an-polin kau 1J.i dua 1J.i 2J.i-jalan tetapi 3T 3T-jalan 3T-buang 1T “Kami berdua berjalan (bersama), tetapi dia meninggalkan saya” Ketiga struktur klausa pada (30) merupakan konstruksi kalimat kompleks
yang dihubungkan oleh konjungsi koordinatif setara mes “tetapi”, yakni dibentuk oleh klausa hai nua kai maen/mnao “lari/jalan” dan in naen / nao npolin kau “dia meninggalkan saya”. Klausa (30b) tidak berterima karena nao tidak dapat bermakna “cepat”. Berdasarkan penjelasan di atas, diketahui bahwa KVS BD merupakan rangkaian verba-verba yang membentuk sebuah peristiwa tunggal. Konsep peristiwa tunggal yang dimaksudkan sesuai dengan penjelasan dan contoh KVS yang sudah dikemukakan tidak hanya didasarkan pada makna leksikal dari tiaptiap verba, tetapi juga oleh kendala budaya dan pragmatik penutur BD.
103
5.3 Pola Urut Verba Pembentuk KVS BD Seperti yang sudah dikemukakan bahwa KVS adalah serangkaian verba yang membetuk predikat sebuah klausa, bisa terdiri atas dua verba atau lebih. Karena KVS BD dibentuk oleh dua verba atau lebih, maka penting untuk menjelaskan kombinasi tersebut. Hasil analisis data menunjukkan bahwa kombinasi verba yang membentuk KVS BD seperti terlihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 5.2 Kombinasi Ketransitifan Verba dalam KVS BD
5.3.1
Pola
V1
V2
V3
1
Intansitif
Intransitif
2
Intransitif
Transitif
3
Transitif
Transitif
4
Transitif
Intransitif
5
Intransitif
Transitif
Transitif
6
Intransitif
Intransitif
Transitif
Intransitif- Intransitif Kombinasi verba ini dibentuk oleh dua buah verba yang semuanya
merupakan verba intransitif dan masing-masing menetapkan satu-satunya argumen inti dengan peran aktor actor atau undergoer. Kombinasi dua buah verba intransitif pada KVS BD dapat dicermati dalam contoh berikut ini. 31)
Li ana na n-mofu n-maet na-ko hau Anak kecil itu 3T-jatuh 3T-mati 3T-PREP pohon “Anak itu jatuh dari pohon sehingga mati”
(DL)
KVS (31) di atas dibentuk oleh verba n-mofu n-maet “jatuh mati” yang masing-masing merupakan verba intransitif karena menetapkan satu-satunya
104
argumen inti, yakni li ana na “anak kecil itu”. Kedua verba yang membentuk KVS ini dimarkahi oleh proklitik n- yang mengacu pada argumen li ana na. Ketransitifan kedua verba tersebut dapat dicermati dari struktur logisnya seperti berikut. SL:
mouf’ (x) maet’ (x)
x = pengalam x = pengalam
Argumen hau “pohon” pada KVS tersebut berada pada lapisan perifer dari struktur KVS sehingga bukan merupakan argumen inti yang ditunjukkan dengan adannya preposisi nako “dari”. 5.3.2
Intransitif-Transitif Kombinasi verba intransitif-transitif dapat dicermati pada dua contoh KVS
berikut dengan pola intransitif pada V1 dan transitif pada V2. 32)
Li mone na n-aen n-eik au anha Ɂbae-Ɂ Anak laki itu 3T-lari 3T-bawa 1T anak main-NOM “Anak laki-laki itu membawa lari mainan anak saya”
(DL)
KVS pada data (32) dibentuk oleh dasar aen “lari” dan eik “bawa” yang masing-masing dimarkahi oleh proklitik n- yang mengacu pada argumen li mone na “anak laki-laki itu”. Verba n-aen pada V1 menetapkan satu-satunya argumen dengan peran pelaku, yaitu li mone “anak laki-laki”. Sebaliknya, verba transitif neik “bawa” pada V2 menetapkan dua argumen, yaitu pembawa - yang dibawa yang dalam klausa di atas diwakili oleh li mone na “anak laki-laki itu” dan au anha Ɂbae “mainan anak saya”. Ketransitifan kedua verba ini dapat dicermati dari struktur logisnya seperti berikut. aen : do’ (x, [aen’ (x)])
x = pelaku
eik :
x = pelaku
do’ (x [eik’ (x,y)])
y = pasien
105
5.3.3
Transitif-Transitif Kombinasi dua verba transitif ini yang paling banyak ditemukan dalam
dalam KVS BD. Salah satu verba transitif dalam KVS merupakan derivasi dari verba intransitif menjadi transitif. Proses penaikan valensi verba dalam KVS adalah melalui proses kausatifasi. Umumnya yang mengalami proses ini adalah V2. KVS BD dengan pola transitif-transitif dapat dicermati dalam contoh berikut. 33)
Hai m-nut utan m-eik suni 1Je 1Je-iris sayur 1Je-pakai parang “Kami mengiris sayur dengan parang”
(DL)
KVS (33) dibentuk oleh verba dasar transitif nutu “iris” dan eki “pakai” dan keduanya mendapat pemarkah proklitik m- yang mengacu pada subjek hai “kami”. Kedua verba dasar ini ditulis seperti dalam KVS di atas karena pengaruh fonologis. Verba eki pada V2 dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan sebagai preposisi, tetapi dalam BD, kata ini bermakna leksikal “menggunakan / memakai”. Ketransitifan kedua verba ini dapat dicermati dari struktur logisnya, di mana masing-masing menetapkan dua argumen. Struktur logis verba nutu dan eki, yaitu do’ (x, [nutu’ (x,y)]) dan do’ (x, [eki’ (x,y)]). Argumen (x, y) dalam struktur logis ini adalah kedua partisipan yang terdapat dalam KVS, yaitu hai “kami” dengan peran A dan suni “parang” dengan peran U. Data KVS (34) berikut adalah contoh KVS yang salah satu verbanya (V2) merupakan verba transitif yang diderivasi dari verba intransitif. 34)
Au Ɂ-pes u-pina ai 1T 1T-kipas 1T-nyala api “Saya menyalakan api (dengan cara mengipas)”
(DI)
106
Verba pese “kipas” pada V1 pada KVS (34) merupakan verba intransitif yang menetapkan dua argumen. Verba ini dimarkahi proklitik Ɂ- yang mengacu pada argumen subjek klausa, yaitu au “saya”, sedangkan V2 diisi oleh verba dasar pina “menyala” yang merupakan verba intransitif. Kehadiran proklitik u- pada verba tersebut mengacu pada subjek klausa, yaitu au “saya” sehingga menyebabkan verba ini menjadi transitif. Struktur logis dari verba upina “menyalakan”, yaitu do’ (au, ø) MENYEBABKAN [MENJADI npin’(ai)], sedangkan struktur logis V1 adalah do’ (x, [pese’ (x,y)]). Jadi, berdasarkan struktur logis kedua verba tersebut jelas bahwa kedua verba yang berkombinasi membentuk KVS (34) adalah verba transitif. 5.3.4
Transitif-Intransitif Kombinasi verba transitif-intransitif ini terdapat pada serialisasi inti.
Bentuk KVS ini dan polanya dapat dicermati pada data berikut. 35)
Au Ɂ-tital mei n-tam neu ke’an 1T 1T-dorong meja 3T-masuk PREP kamar “Saya mendorong meja ke dalam kamar”
(DI)
Data (35) memperlihatkan bahwa KVS tersebut berada pada serialisasi inti yang dibentuk oleh verba tital “dorong” dan tam “masuk”. Verba tital pada posisi V1 menetapkan dua argumen, yaitu (orang) yang mendorong adalah au dan (barang) yang didorong, yaitu mei “meja”. Sebaliknya, V2 ditempati oleh verba tam “masuk” yang menetapkan satu-satunya argumen, yaitu mei “meja”. Proklitik Ɂ- pada verba tital mengacu pada subjek, yaitu au, sedangkan argumen mei berfungsi sebagai objek gramatikal dari verba tital. Selain itu,
107
argumen mei menjadi subjek (S) dari verba tam “masuk” yang diindikasikan oleh proklitik n- yang melekat pada verba tam. Verba tam pada V2 dalam KVS (35) ini akan menjadi verba transitif apabila struktur klausanya berubah seperti berikut. 36)
Au Ɂ-tital u-tam mei neu ke’an 1T 1T-dorong 3T-masuk meja PREP kamar “Saya mendorong meja ke dalam kamar”
(DI)
Proklitik u- pada verba tam “masuk” dalam KVS di atas mengacu pada subjek klausa, yaitu au “saya”. Argumen mei yang digeser ke posisi setelah verba menjadikannya bukan lagi merupakan subjek dari verba tam, melainkan objek. 5.3.5
Intransitif-Transitif-Transitif KVS BD juga dapat dibentuk oleh tiga buah verba, yaitu intransitif-
transitif-transitif seperti terlihat pada data berikut ini. 37)
Au Ɂ-nao u-at u-faniɁ baba Ɂheo (DL) 1T 1T-pergi 1T-antar 1T-pulang paman gergaji “Saya pergi ke rumah paman untuk mengembalikan gergajinya” KVS di atas dibentuk oleh tiga buah verba yaitu nao u’at ufaniɁ “pergi
antar pulang” yang merupakan kombinasi intransitif nao “pergi” pada posisi V1 dan dua buah verba transitif u’at ufani “antar pulang” pada posisi V2 dan V3. Khusus pada V3, verba ini dibentuk oleh verba dasar intransitif faniɁ “pulang” tetapi kehadiran klitik u- pada verba tersebut menaikkan valensinya menjadi transitif. Berbeda dengan Ɂnao “saya pergi”, di mana hanya menetapkan satu argumen, yaitu pelaku. Hal ini dapat diuji dengan cara membentuk klausa tunggal dengan verba-verba tersebut sebagai predikatnya.
108
5.3.6
Intransitif-Intransitif-Transitif KVS BD yang dibentuk oleh tiga verba juga bisa terdiri atas kombinasi
verba dua verba intransitif pada V1 dan V2, sedangkan V3 diisi oleh verba transitif seperti data berikut. 38)
Nem an-tia n-ah-ah 3T-datang 3T-makan-saja “Dia datang langsung makan”
(DI)
Verba transitif pada data KVS (38) terlihat pada verba nah ‘dia makan”, sedangkan verba nem “dia datang” dan antia “dia tiba” menetapkan satu argumen. 5.4 Pemarkahan KVS BD Pemarkahan yang dimaksud dalam tulisan ini adalah pemarkahan morfologis pada verba-verba yag membentuk KVS BD. Pemarkahan pada KVS BD terdapat pada setiap verba yang membentuk KVS atau hanya salah satu verba yang dimarkahi. Menurut Aikhenvald (2006:39), pemarkahan KVS terjadi pada predikat serial, yaitu meliputi pronomina (subjek dan objek), kala, aspek, modalitas, negasi, perubahan valensi, perubahan kelas kata (derivasi), dan daya ilokusi. Semua kategori gramatikal ini dapat memarkahi semua (concordant marking) verba atau hanya salah satu verba (single marking) pada predikat serial. Berikut ini adalah contoh kedua tipe pemarkahan dimaksud dalam bahasa Tariana dan Taba. 39) a. emite-tiki nu-na di-phani di-adeta-naka Anak-DIM 1T-OBJ 3T-kerja 3T-cegah-PRES “Saya mencegah anak itu untuk tidak bekerja”
(Aikhenvald, 2006:40)
109
b. n-han ait tesu 3T-pergi turun NEG “Dia belum ke atas”
(Aikhenvald, 2006:41)
Data (a) di atas adalah contoh KVS dalam bahasa Tariana yang memperlihatkan pemarkahan pada kedua verba yang membentuk KVS tersebut. Verba phani “kerja” dan adeta “cegah” dimarkahi oleh subjek pronomina dan hanya V2 yang dimarkahi oleh aspek naka “sekarang”.
Sementara data (b)
memperlihatkan pemarkahan tunggal dalam bahasa Taba, di mana hanya V1 yang dimarkahi oleh subjek pronomina. Pemarkahan verba seperti yang diperlihatkan dalam bahasa Tariana dan Taba dalam (39) di atas juga dapat ditemukan dalam KVS BD, di mana rangkaian verba yang membentuk KVS BD ini umumnya dimarkahi oleh kategori-kategori gramatikal lain, seperti pronomina, aspek perfektif, dan negasi. Kategori-kategori ini hadir dalam bentuk morfem terikat yang melekat pada verba. 5.4.1 Pemarkah Pronomina Ciri umum verba sebagai predikat klausa BD dalam penelitian ini adalah selalu bersesuaian dengan subjek. Persesuaian ini dapat diindikasikan dengan adanya proklitik, misalnya n-mouf “3T-jatuh”, m-kae “2-menangis”, ?-sae “1Tnaik”. Kehadiran proklitik pada verba ini tidak dapat dilesapkan karena akan membuat verba tersebut tidak gramatikal. Realisasinya dalam klausa dapat dicermati dalam contoh (40) berikut. 40) a. Oli n-mouf nako hala’ Adik 3T-jatuh 3T-PREP tempat tidur “Adik jatuh dari tempat tidur”
(DI)
110
b. Ho m-ken kolo 2T 2T-tembak burung “Engkau menembak burung” Contoh (a) berpredikat verba intransitif, yaitu mouf “jatuh” yang dimarkahi oleh proklitik n- yang mengacu pada argumen S, yaitu oli “adik’. Sementara pada contoh (b) berpredikat verba transitif yaitu ken “tembak” dan mendapat pemarkah proklitik m- yang mengacu pada argumen A, yaitu ho “engkau”. Meskipun pada kedua klausa tersebut terdapat subjek yang merupakan pronomina bebas, tetapi pelesapan proklitik pada verba yang mengisi predikat akan menyebabkan klausa tersebut tidak berterima. Selain verba bermarkah proklitik pada kedua contoh di atas, BD juga memiliki verba yang tak bermarkah, tetapi verba-verba tersebut tidak dapat diterjemahkan sebagai sebuah verba yang dapat berdiri sendiri karena selalu melekat subjek. Misalnya, verba datang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan om “saya/engkau datang”, em “kami/kalian datang”, tem “kita datang”, nem “dia/mereka datang”. Dengan demikian, verba om, em, tem, dan nem bila berada pada struktur klausa dengan subjek berbeda, akan menjadi tidak berterima seperti contoh (41) berikut. 41) ** a.
Au em 1T datang “Saya datang”
**b.
Ho nem 2T datang “Engkau datang”
Verba yang tidak memiliki pemarkah proklitik seperti dijelaskan di atas juga tedapat pada verba lain seperti eki “bawa”. Sebagai catatan bahwa verba eki ini selalu mengalami perubahan fonologis, yaitu proses metatesis menjadi eik. Verba ini hanya bersesuaian dengan subjek pronomina pertama tunggal karena
111
apabila subjeknya bukan pronomina pertama tunggal, maka harus dimarkahi dengan proklitik, seperti contoh (42) berikut. 42) a. Au eik hanaf 1T bawa suara “Saya membawa berita”
b.
Ho m-eik hanaf 2T 2T-bawa suara “Engkau membawa berita”
(DI)
Contoh penggunaan klitik pada verba dalam klausa sederhana yang sudah dijelaskan di atas juga berlaku sama ketika direalisasikan dalam klausa berpredikat serial seperti dalam dua contoh (43) berikut. 43) a. In nbiso npe’e klas 3T 3T-pukul 3T-pecah gelas. “Dia memukul gelas sehingga pecah”
(DL)
b. M-tital mei nane n-tam! 2T-dorong meja itu 3T-masuk “(engkau) Doronglah meja itu ke dalam!” KVS (a) dibentuk oleh verba dasar biso “pukul” dan pe’ “pecah” yang masing-masing dimarkahi oleh proklitik n- yang mengacu pada argumen in “dia”. Proklitik pada kedua verba ini wajib hadir karena penghilangannya akan membuat KVS menjadi tidak berterima. KVS ini merupakan salah satu contoh KVS BD yang kedua verbanya mendapat pemarkahan yang sama. KVS (b) menunjukkan KVS BD yang tiap-tiap verbanya mendapat pemarkah berbeda. KVS (b) dibentuk oleh verba dasar tital “dorong” dan tam “masuk”. Verba tital dimarkahi oleh proklitik m-, yaitu klitik pronomina kedua tunggal yang mengacu kepada argumen A, sedangkan V2, yaitu tam dimarkahi oleh proklitik n-, yang berupa klitik pronomina ketiga tunggal yang mengacu kepada argumen S, yaitu mei “meja”. Contoh kombinasi verba pada KVS BD yang tidak bermarkah dapat dicermati pada KVS (44) berikut.
112
44)
Au ait eik bapa besi 1T ambil bawa ayah pisau “Saya membawa (dengan sengaja) pisau ayah”
(DL)
Pada KVS (44) di atas, verba ait “ambil” dan eik “bawa” tidak berpemarkah, tetapi secara leksikal kedua verba ini sudah mengacu pada subjek gramatikal dari KVS tersebut, yaitu au “saya”. Hal ini dibuktikan dengan mengganti pronomina au yang menempati posisi subjek dengan pronomina lain menjadi tidak berterima seperti berikut. 45) ** Ho ait eik bapa besi 2T ambil bawa ayah pisau “Engkau membawa (dengan sengaja) pisau ayah”
(DL)
Ketidakberterimaan KVS (45) tersebut di atas karena verba ait (ambil) dan eik (bawa) sudah mengacu pada argumen nomina pertama tunggal. Apabila subjeknya berganti seperti KVS di atas, maka kedua verba tersebut harus dibubuhi pemarkah proklitik 2T, yaitu m-. Selain verba ait dan eik, verba BD lain yang berperilaku sama seperti kedua verba ini adalah om em, tem, dan nem yang semuanya bermakna “datang” tetapi mengacu pada argumen yang berbeda. Realisasinya dalam klausa seperti pada KVS berikut. 46)
Ho m-tam om m-ok ume nanan 2T 2T-masuk datang 2T-PREP rumah dalam “Engkau masuk ke (dalam) rumah”
(DL)
KVS (46) di atas dibentuk oleh verba tam “masuk” dan om “datang” tetapi berbeda pada pemarkahannya. Verba tam dimarkahi oleh proklitik m- yang mengacu pada subjek dari KVS tersebut, yaitu ho “engkau”, sedangkan V2, yaitu om “datang” tanpa pemarkah.
113
5.4.2 Pemarkah Aspek Aspek BD dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) aspek durative, yaitu fe’ “sedang”, misalnya fe nah “sedang makan”; (2) aspek futuratif, yaitu of dan mes “akan”, misalnya of naen “akan lari” (Tarno, 1992:111); dan 3) aspek perfektif yang selalu hadir dalam bentuk morfem terikat, yaitu –en yang bermakna “sudah”, misalnya n-tup-en “dia sudah tidur”. Aspek duratif dan futuratif selalu hadir dalam bentuk morfem bebas dan selalu hadir sebelum verba, yaitu mengikuti subjek seperti dalam contoh KVS berikut. 47)
Liana na of an-biso n-pe’ klas na Anak itu FUT 3T-pukul 3T-pecah gelas na “Anak itu memukul gelas itu sehingga akan memecahkannya”
(DL)
Data KVS di atas menunjukkan bahwa aspek futuratif of “akan” hadir dalam bentuk morfem bebas dengan posisi setelah subjek atau sebelum verba. Posisi ini bersifat pasti sehingga pemindahannya pada posisi tertentu di mana pun akan membuat KVS menjadi tidak berterima. Hal demikian juga berlaku untuk aspek duratif fe “sedang” sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada pemarkah aspek duratif dan futuratif pada verba-verba yang membentuk KVS BD. Berbeda dengan aspek duratif dan futuratif, aspek perfektif BD hadir dalam bentuk terikat. Tarno (1992:77) mengatakan bahwa sufiks –en dalam BD berfungsi sebagai verba beraspek perfektif, yaitu menyatakan tindakan yang terkandung di dalam kata dasarnya telah berlangsung seperti dalam n-tup-en “dia sudah tidur”.
114
Dalam KVS BD ditemukan bahwa sufiks perfektif –en ini melekat pada V2 dan tidak pernah berada pada V1 atau kedua verba mendapat pemarkahan perfektif yang sama. Dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa sufiks bermakna perfektif –en ini dapat dilekatkan pada argumen U yang berfungsi sebagai objek gramatikal dari KVS. Realisasi penggunaan aspek perfektif –en ini dapat dicermati pada dua buah contoh KVS BD berikut ini. 48) a. Baba nao n-fani-en neu in ume Paman jalan 3T-pulang-PERF PREP 3T-POSS rumah “Paman sudah kembali ke rumahnya”
(DL)
b. Liana na n-biso n-pe’e ‘pik-en Anak itu 3T-pukul 3T-pecah piring-PERF “Anak itu memukul piring sehingga sudah memecahkannya” Kedua KVS di atas memperlihatkan penggunaan aspek perfektif dalam KVS BD. Pada KVS (a), -en melekat pada V2 dan tidak diperbolehkan pada V1. Demikian pula, sufiks –en tidak dapat dilekatkan pada nomina ume “rumah” sebab nomina ini tidak berada pada struktur inti dan bukan objek dari KVS tersebut. Sementara pada KVS (b), sufiks –en melekat pada objek, yaitu Ɂpika “piring” dan tidak diperbolehkan untuk dilekatkan pada salah satu verba pembentuk KVS, baik V1 maupun V2. Sufiks –en ini hanya dapat dilekatkan pada V2 apabila objek klausa dilesapkan seperti berikut. 49)
Liana na n-biso n-pe’-en Anak itu 3T-pukul 3T-pecah-PERF “Anak itu memukul (sesuatu) sehingga sudah memecahkannya”
(DL)
115
Pelesapan objek seperti ditunjukkan pada KVS di atas diperbolehkan dalam BD karena antara penutur dan mitra tuturnya sudah sama-sama mengetahui objek pembicaraan. Dengan pelesapan objek seperti ini maka –en akan berpindah pada V2, yaitu verba npe’ “pecah’. Berdasarkan kedua data mengenai pemarkahan aspek perfektif di atas dapat disimpulkan bahwa pemarkahan aspek pada KVS BD dapat berupa pemarkahan tunggal pada salah satu verba atau tidak terdapat pemarkahan sama sekali.
Data membuktikan bahwa verba tak bermarkah ini diakibatkan oleh
kehadiran objek pada konstruksi klausa. 5.4.3 Pemarkah Negasi Pemarkah morfologis lain yang ditemukan selalu melekat pada verba dalam KVS adalah pemarkah negasi dengan pola ka-PRED-f. Sufiks –f ini sering bervariasi menjadi –af atau –fa karena tuntutan fonologis. Keberadaan pemarkah negasi ini dalam KVS BD dapat dicermati dalam dua contoh berikut. 50) a. Ɂnafo ka-n-lau-f tani Tikus NEG-3T-gigit-NEG tali “Tikus tidak menggigit tali” b. Ɂnafo ka-n-lau n-fek-af Tikus NEG-3T-gigit 3T-putus-NEG tali “Tikus tidak memutuskan tali”
(DI)
tani
c. Ho ka-m-nao mu-mat mu-fani-fa in fani 2T NEG-2T-pergi 2T-antar 2T-pulang-NEG 3T kapak “Engkau tidak mengembalikan kapaknya”
(DL)
(DL)
Ketiga data di atas memperlihatkan penggunaan negasi pada klausa BD. Data (a) adalah contoh penggunaannya dalam klausa berpredikat tunggal di mana dapat dicermati bahwa negasi BD hadir dalam bentuk konfiks yang melekat pada
116
verba lau “gigit”. Sementara, penggunaan negasi dalam KVS BD seperti terdapat pada data (b-c). Pemarkahan negasi pada KVS ini memperlakukan predikat serial sama seperti klausa berpredikat tunggal yaitu ka- menjadi menjadi prefiks V1 dan –f menjadi sufiks V2 atau V3. Pola seperti ini juga berlaku untuk KVS BD yang dibentuk oleh lebih dari dua verba, yaitu ka- menjadi prefiks pada V1 dan –f menjadi sufiks pada V3. 5.5 Tipe Konstruksi Verba Serial Bahasa Dawan Berdasarkan pemaparan hasil analisis terhadap keberadaan KVS sebagai predikat dalam konstruksi klausa BD dapat disimpulkan bahwa KVS BD dipengaruhi oleh faktor makna verba, struktur verba yang disebabkan oleh aspek morfosintaksis, serta aspek budaya dan pragmatik. Hasil analisis terhadap data yang berhasil dikumpulkan di lapangan membuktikan bahwa KVS BD mempunyai delapan tipe serialisasi berfungsi untuk menyatakan sebab-akibat (cause-effect), kausatif (causative), kecaraan (manner), arah (directional), lokatif, instrumental, tujuan (purpose), dan modal. 5.5.1 Serialisasi Verba Sebab-Akibat KVS yang menyatakan sebab akibat (cause-effect serialization) dalam KVS BD menunjukkan bahwa verba yang menjelaskan sebab (cause) mendahului akibat (effect) yang dijelaskan. Jadi, apabila dicermati dari pola urutannya, maka V1 adalah verba yang menyatakan sebab dan merupakan verba transitif. Sebaliknya, V2 adalah verba yang menyatakan akibat dan merupakan verba intransitif. Dengan kata lain, V2 adalah akibat dari V1 (Durie, 1997:331).
117
Tipe KVS sebab-akibat ini ditemukan paling produktif dalam BD. Contohnya dapat dicermati dalam data (51) berikut. 51)
Oli n-biso n-pe’e klas Adik 3T-pukul 3T-pecah gelas “Adik memukul gelas sehingga (gelas) pecah”
(DL)
Data (51) di atas dikategorikan sebagai KVS yang menyatakan sebabakibat karena semua verba yang menempati posisi V1, yaitu nbiso “pukul” merupakan verba tindakan yang menerangkan perbuatan yang dilakukan oleh oli “adik” sebagai pelaku. Sebaliknya, verba yang mengisi V2, yaitu npe “pecah” adalah verba intrasitif yang menyatakan akibat dari tindakan nbiso sehingga berakibat pada klas “gelas” sebagai pasien seperti pada diagram berikut. SENTENCE CLAUSE CORE ARG
NUC
ARG
NUC
NUC
PRED
RED
NP V
V NP
“Oli nbiso
npe klas”
Actor
Undergoer
[melakukan’ (oli, [nbiso’ (oli,ø)])] MENYEBABKAN [MENJADI npe’ (klas)]
Diagram 5.1: Relasi semantik ke sintaks dalam serialisasi sebab-akibat
118
5.5.2 Serialisasi Verba Kausatif Serialisasi verba kausatif berbeda dengan serialisasi sebab-akibat, yaitu verba yang menempati posisi V1 pada serialisasi sebab-akibat merupakan verba tindakan yang secara spesifik menerangkan tindakan yang dilakukan oleh SUBJ. Sementara pada serialisasi kausatif V1 tidak menyatakan tindakan spesifik apa yang dilakukan. Serialisasi verba kausatif BD muncul dalam bentuk kausatif analitik yaitu kausatif yang dibentuk dengan menggunakan verba kausatif mo’e “buat” yang selalu menempati posisi V1. Data (52) berikut memperlihatkan serialisasi kausatif dalam BD.
52)
Au Ɂ-moɁe Ɂ-pe klas 1T 1T-buat 1T-pecah gelas “Saya memecahkan gelas (karena saya buat)”
(DL)
Serialisasi kausatif pada data (52) dibentuk oleh verba moɁe “buat” dan peɁ “pecah” disertai dengan dua argumen inti (core argument) yaitu au “saya” dan klas “gelas”. Serialisasi ini terdiri atas sebuah verba kausatif, yaitu mo’e “buat” diikuti oleh kategori gramatikal lain yang bukan merupakan verba kausatif, yaitu verba statif pe’ “pecah”. Selain serialisasi verba kausatif dengan verba mo’e, BD memiliki verba yang dapat dikategorikan sebagai verba leksikal yang bermakna kausatif, yaitu eki “bawa”. Penggunaan verba ini berlaku untuk verba-verba yang tidak memungkinkan untuk dikausatifkan melalui penciptaan argumen causer, proses morfologis, atau dengan penggunaan verba moe, misalnya dalam verba gerak
119
direksional seperti “datang”. Dalam BD verba ini selalu hadir dalam bentuk dasar terikat (bound root) dengan subjek pelaku seperti berikut. Pronomina 1
2
3
“Datang”
Contoh
1T
au
om
Au om “saya datang”
1Ji
hit
tem
Hit tem “kita datang”
1Je
hai
em
Hai em “kami datang”
2T
ho
om
Ho om “engkau datang”
2J
hi
em
Hi em “kalian datang”
3T
in
nem
In nem “dia datang”
3J
sin
neman
Sin neman “mereka datang”
Cermati penggunaannya dalam contoh berikut. 53) a. Polisi na nem Polisi itu 3T-datang “Polisi itu datang”
(DI)
b. Atoni na n-moe pulisi na-m nem Orang itu 3T-buat polisi itu-KONJ 3T-datang “Orang itu membuat polisi itu datang” / “Orang itu mendatangkan polisi itu”
(DI)
c. Atoni na n-eik pulisi na nem Orang itu 3T-bawa polisi itu datang “Orang itu membuat polisi itu datang” / “Laki-laki itu mendatangkan polisi itu”
(DL)
Data (53a) merupakan klausa berpredikat verba intransitif nem “3T datang”. Proses pengkausatifan verba ini tidak dapat dilakukan melalui proses penciptaan argumen causer seperti yang umum terjadi dalam BD, demikian juga tidak ada afiks bermakna kausatif untuk verba ini (bdk. Mekarini, 2000:50). Proses pengkausatifan dengan verba mo’e “buat” seperti pada data (53b) menyebabkan klausa tersebut menjadi kalimat kompleks dengan hadirnya konjungsi ma “dan”. Karena tuntutan fonologis, maka tejadi pelesapan menjadi m.
120
Jadi, verba kausatif mo’e “buat” tidak bisa berpasangan dengan verba nem “datang” dalam KVS. Pengkausatifan verba nem “datang” hanya dapat dilakukan melalui proses serialisasi seperti pada data (53c), yaitu dengan verba eik “bawa” pada V1, sementara nem “datang” pada V2. Penggantian verba eik dengan verba lain akan menciptakan serialisasi sebab-akibat. 5.5.3 Serialisasi Verba Kecaraan Serialisasi kecaraan (manner serialization) adalah sejenis serialisasi yang menyatakan cara suatu pekerjaan dilakukan. KVS ini tidak bisa diinterpretasi berdasarkan rangkaian kejadian (sequence of events), tetapi aturan gramatikal bahasa yang secara spesifik mengharuskan kehadiran sebuah verba pada KVS. KVS yang menyatakan kecaraan dimaksud adalah seperti pada data berikut ini. 54)
In n-kios na-tesan kau 3T 3T-lihat 3T-melotot 1T “Dia memelototi saya”
(DL)
55)
Hai m-toko m-aksuli neu usif mata-n 1J.i 1J.i-duduk 1J.i- bersila di raja mata-POSS “Kami duduk bersila di hadapan raja”
(DL)
Secara semantis, makna kecaraan pada KVS yang terdapat pada klausa (54--55) di atas, lebih spesifik muncul dari verba kedua, sedangkan verba pertama hanya mengungkapkan makna aktivitas pelaku secara umum. Makna kecaraan pada KVS nkios natesan “memelototi” pada (54), muncul dari verba natesan “memelototi”, sedangkan makna aktivitas muncul dari verba nkios ‘lihat’. Dengan demikian, nkios natesan bermakna “melihat dengan cara melotot”.
121
Contoh lain dari serialisasi kecaraan ini dapat dicermati pada KVS (55). Makna kecaraan ditunjukkan oleh V2 yaitu aksuli “bersila / bersilang (kaki), sedangkan verba toko “duduk” yang menempati V1 lebih bermakna aktivitas. Verba aksuli mengacu pada entitas kaki sehingga KVS (55) dibentuk oleh dua buah verba intransitif. 5.3.4 Serialisasi Arah Serialisasi arah yang dimaksud di sini adalah tempat tujuan (directional serialization), yakni serialisasi yang mengandung makna arah tempat yang dituju oleh partisipan (agen dan pasien), tindakan, atau perbuatan. Penanda arah dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu arah sumber (source path), arah tujuan (goal path), dan arah rute (route path). Berdasarkan pembagian arah ini, maka verbaverba penunjuk arah dalam BD dapat dikelompokkan seperti berikut ini. 1. Arah sumber (source path) : tam “masuk” , om, “ke sini” 2. Arah tujuan (goal path) : poi “keluar”, eit “ke sana” 3. Arah
rute
(route
path):
fin
“melewati”,
fun
“mengitari”
lak
“menyeberang”, sae “naik”, saun “turun”, mof “jatuh”. Verba yang bermakna arah dalam KVS BD selalu menempati posisi V2, sedangkan V1 diisi oleh verba tindakan. Untuk jelasnya dapat dicermati dalam KVS berikut. 56)
Ait ho m-kios om Coba 2T 2T-lihat 2T-datang “Coba engkau lihat ke sini”
(DL)
57)
Noka-t au aen eit he Ɂ-tulun ko Besok-ASP 1T 1T-lari 1T-pergi supaya 1T-tolong 2T “Besok saya akan ke sana untuk membantu engkau”
(DL)
122
58)
In nao na-pun kot ok-oke 3T 3T-pergi 3T-keliling kota semua-RED “Ia mengililingi seluruh kota itu”
(Injil Lukas 8:39)
KVS (56--58) yang menyatakan arah ini dibentuk oleh verba kios om “lihat datang” , aen eit “lari pergi”, dan nao napun “jalan mengelilingi”. Verba yang menyatakan arah secara spesifik ditunjukkan oleh V2 yaitu om “datang”, eit “pergi” dan napun “mengelilingi”. Verba direksional dalam KVS BD mengikuti verba gerakan kecaraan, bukan sebaliknya.
5.5.5 Serialisasi Instrumental Serialisasi verba instrumental adalah KVS yang secara semantis menyatakan alat (instrumen). Dalam KVS BD, makna instrumen dinyatakan dengan menggunakan verba eki “pakai” seperti data berikut. 59)
Au Ɂ-leif hun eik suni 1T 1T-potong rumput pakai parang “Saya memotong rumput dengan parang”
(DL)
KVS pada data di atas dibentuk oleh verba leif eik “potong pakai”. KVS ini menjelaskan bahwa instrumen yang dipakai untuk leif hun “memotong rumput” adalah suni “parang”. Verba eik “pakai” pada V2, tetapi merupakan verba leksikal sebab dapat berdiri sendiri sebagai sebuah predikat tunggal seperti berikut. 60) a. Au eik suni 1T pakai parang “Saya memakai parang” b. Au Ɂ-leif hun 1T 1T-potong rumput “Saya memotong rumput”
(DI)
123
KVS berikut ini juga bermakna instrumental yang ditunjukkan oleh verba hau tuk “kayu pendek”. Verba hau tuk ini diderivasi dari nomina yang berarti hau tuka “kayu pendek”. Tidak ada afiks derivatif yang menunjukkan proses derivasi dari nomina ke verba, tetapi dapat dicermati dari keberadaan klitik n- yang melekat. Kehadiran klitik ini mengacu pada argumen pelaku, yaitu atoni na “orang itu”. 61)
Atoni na n-hau tuk na-hen anah (DL) Orang itu 3T-kayu pendek 3T-darah anak-POSS “Orang itu memukul (pakai kayu pendek) anaknya sehingga berdarah” KVS di atas jelas dibentuk oleh nhautuk nahen “membuat berdarah
menggunakan kayu pendek”. Verba hautuk dapat tetap menjadi nomina apabila di ikuti oleh verba neik “pakai” dan wajib berada pada tataran serialisasi inti (core serialization) seperti pada KVS pada contoh (60). Akan tetapi, instrumen suni “parang” tidak dapat diderivasi menjadi verba seperti halnya hau tuk pada contoh (61). Proses derivasi ini sulit dijelaskan secara morfologis sebab tidak ditemukan pemarkah apa pun yang mengindikasikan proses tersebut sehingga hanya dapat dianalisis berdasarkan aspek makna dan budaya. Dikatakan berkaitan dengan aspek budaya karena zaman duhulu belum mengenal benda lain seperti pipa atau besi selain hau “kayu”. Misalnya tidak ditemukan konstruksi seperti di bawah ini. 62) ** Atoni na n-pipa na-hen anah Orang itu 3T-pipa 3T-darah anak-POSS “Orang itu memukul (pakai pipa) anaknya sehingga berdarah”
(DI)
124
Makna sebuah verba BD dapat menunjukkan dengan alat apa sebuah aktivitas dilakukan, misalnya verba “memotong” yang diwakili oleh ote, tati, sapi “memotong pakai parang”, loki “memotong/membelah pakai kapak”, heli, lefi, nutu “ memotong pakai pisau”. 5.5.6 Serialisasi Lokatif
Serialisasi lokatif (locative serialization) dipahami sebagai suatu konstruksi verba serial yang mengandung makna lokatif. Pada konstruksi verba serial lokatif, secara semantis meminta konstituen lokatif. 63) a. In n-tupa n-bi au ke’an 3T 3T-tidur 3T-PREP 1T kamar “Dia tidur di kamar saya”
(DL)
b. In n-tup na-bala au ke’an 3T 3T-tidur 3T-tinggal 1T kamar Ia meniduri kamar saya 64) a. Ho m-aen m-eu ume 2T 2T-lari 2T-PREP rumah Engkau lari ke rumah
(DL)
b. Ho m-aen m-ani ume 2T 2T-lari 2T-tuju rumah Engkau lari menuju rumah Lokatif au kean “kamar saya” dan ume “rumah” (65a dan 66a ) berada pada posisi perifer yang ditandai dengan kehadiran preposisi nbi “di” dan meu “ke”. Kedua lokatif ini dapat dipromosikan ke inti (core) melalui KVS seperti terlihat dalam KVS (65b dan 66b). Selain kehadiran komponen lokatif yang berada dalam struktur inti klausa, verba na-bala dan m-ani juga merupakan verba yang menuntut kehadiran lokasi dan selalu menempati posisi V2 dalam KVS BD.
125
Kedua verba ini juga merupakan verba inti yang dapat berfungsi sebagai predikat dan tidak pernah berfungsi sebagai preposisi sebuah klausa. Apabila dilihat dari sisi adanya perpindahan partisipan, maka serialisasi ini juga bisa disebut serialisasi perpindahan (motion serializatin) (lihat Durie, 1997: 335). KVS maen mani ‘lari menuju’ pada contoh (65b) mengandung makna yang menyatakan arah tempat yang dituju oleh partisipan, yakni Ho. Tempat yang dituju pada contoh tersebut adalah ume ‘rumah’.
Selain KVS lokatif di atas, penunjuk lokatif BD memiliki tiga buah leksikon yang bermakna, lokatif yaitu at, ah dan pai. Cermatilah contoh berikut. 65) a. Kolo es/et at hau tunan Burung ada LOK pohon atas “Burung (ada) di atas pohon”
(DI)
b. Besi es/et ah me konan Pisau ada LOK meja lubang “Pisau (ada) di kolong meja” c. Na Nani es/et pai na ART NAMA ada LOK itu “Nani (ada) di sana” Pada contoh (65) di atas, preposisi at, ah, pai berfungsi menunjuk lokasi keberadaan objek. Ketiga preposisi bisa diartikan sama dengan “di” dalam BI, bedanya adalah “di” dalam BI berfungsi murni sebagai preposisi, sementara at, ah, pai bersesuaian dengan lokasi dari objek yang dituju menurut titik pandang penutur dengan keberadaan objek, seperti ilustrasi berikut. at pai ah
126
Berdasarkan ilustrasi di atas, at dipakai apabila objek berada di atas, ah apabila objek berada di bawah, dan pai digunakan apabila objek berada sejajar dengan pandangan orang yang berbicara. Hal lain yang harus diperhatikan dari contoh (65) di atas adalah es dan et yang berarti “ada”. Beda kedua leksikon ini adalah es digunakan apabila objek yang dituju tampak (visible) oleh si pembicara dan bila tidak (invisible), maka et yang dipakai. Perhatikan juga contoh berikut. 66) a. Na Lukas nem ah na ART NAMA 3T-datang PREP itu “Lukas datang (dari bawah sana)”
(DI)
b. Na Simon nem at na ART NAMA 3T-datang PREP itu “Simon datang (dari atas sana)” c. Bi Maria nem pai na ART NAMA 3T-datang PREP itu “Maria datang (dari sana)” Data (68) di atas dipakai apabila penutur dan mitra tuturnya melihat objek yang sedang dibicarakan dan lokasi yang dituju oleh subjek (Lukas, Simon, dan Maria) adalah menuju ke orang yang sedang berbicara, yaitu diwakili oleh verba nem “datang”. Kebalikan dari verba nem adalah neu “ke/menuju” bukan nao “pergi”. 5.5.7 Serialisasi Tujuan Serialisasi tujuan
(purpose
serialization)
adalah serialisasi
yang
mengandung makna yang menyatakan tujuan tertentu. Predikat klausa BD bermakna tujuan ditunjukkan oleh verba he (sebagian orang mengucapkannya dengan ha). Kata ini dikategorikan sebagai verba meskipun menyalahi kaidah
127
verba BD, di mana seluruh verba yang ditemukan selalu melekat dengan proklitik. Verba he/ha diterjemahkan dengan “mau” atau “ingin”. Cermati penggunaannya dalam data berikut. 67)
Au he Ɂ-tup 1T ingin 1T-tidur “Saya ingin tidur”
(DI)
68)
In he n-ah 3T ingin 3T-makan “Ia ingin makan”
(DI)
69)
Bapa he n-seu noah Ayah ingin 3T-petik kelapa “Ayah ingin memetik kelapa”
(DL)
Pada ketiga contoh di atas jelas bahwa he merupakan verba yang bermakna “ingin” atau “mau”, tetapi verba ini tidak dapat berdiri sendiri sebagai sebuah predikat, tetapi selalu harus diikuti oleh verba lain. Makna tujuan pada konstruksi serial BD tampaknya muncul pada V2, seperti pada dua data berikut. 70)
Au om he Ɂ-toit an ho Ɂ-pali 1T 1T-datang mau 1T-minta 1T-dapat 2T linggis “Saya datang ingin meminjam linggismu”
(DL)
71)
Au he Ɂ-nao Ɂ-sos kokis 1T ingin 1T-pergi 1T-beli kue “Saya ingin pergi membeli kue”
(DL)
Serialisasi verba om he toit an “datang meminjam” dan Ɂnao Ɂsos “pergi beli” semuanya mengandung makna tujuan. Artinya, secara semantis, ada sesuatu tujuan yang hendak dicapai dari suatu pekerjaan. Pada (70), tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mendapatkan sesuatu, yakni Ɂpali “linggis”. Makna tujuan untuk mendapatkan Ɂpali “linggis” itu terkandung dalam KVS om he toit an
128
‘datang pinjam’. KVS nao sos “pergi beli” pada (71) mengandung tujuan untuk mendapatkan kokis “kue”. 5.5.8 Serialisasi Modal KVS BD pada data berikut dapat dikategorikan sebagai serialisasi modal (modal serialization). Verba modal dalam KVS adalah -hin(e), -be’i, dan leko selalu menempati posisi V2 untuk menunjukkan keyakinan pembicara tentang kemampuannya melakukan sesuatu sehingga ketiganya dapat diterjemahkan dengan “bisa”, “dapat” atau “mampu”. Akan tetapi, apabila berfungsi sebagai predikat tunggal sebuah klausa, ketiga verba yang dikategorikan sebagai serialisasi modal ini memiliki makna sendiri-sendiri, yaitu u-hin “saya tahu”, mube’i “engkau kuat” dan leko “baik”. Ketiga verba ini dijelaskan satu per satu sebagai berikut. a). –hin(e) Verba ini secara leksikal bermakna “tahu”, tetapi penggunaannya dalam klausa dapat bermakna berbeda-beda. Verba u-hin “saya tahu” yang menempati V2 pada KVS berikut bermakna “saya bisa/mampu”. 72)
Au Ɂ-teun u-hin 1T 1T-tenun 1T-tahu “Saya bisa menenun”
(DL)
Fungsi verba –hin “bisa” pada V2 ini menunjukkan keyakinan pembicara bahwa ia bisa melakukan pekerjaan menenun. Verba -hin ini hanya akan bermakna “tahu” apabila berfungsi sebagai predikat tunggal dalam klausa atau berada pada V1 dalam KVS seperti contoh berikut.
129
73) a. Sekau es na-hin tenu’? Siapa yang 3T-tahu tenunan “Siapa yang tahu tentang tenunan?”
(DL)
b. Au u-hine tenu-t onme 1T 1T-tahu tenun-PART bagaimana “Saya tahu bagaimana (cara) kita menenun” Verba –hin “tahu” pada klausa (a) merupakan satu-satunya predikat dalam klausa tersebut, di mana klausa tersebut dimaksudkan untuk menanyakan pengetahuan tentang perihal tenunan. Sementara, contoh (b) merupakan KVS yang menempatkan verba hine “tahu” pada V1 yang menyatakan bahwa SUBJ au “saya” mengetahui cara menenun atau tahu tentang tenu’ “tenunan”. Dengan demikian, jelas bahwa verba –hine “tahu” pada posisi V2 dalam KVS BD berfungsi sebagai modal untuk menyatakan kemampuan. b). leko Kategori adjektiva leko dalam BD secara leksikal bermakna “baik” seperti atoin leko “orang baik” atau leko neis “lebih baik”. Akan tetapi, pada dua data berikut dikategorikan sebagai modal yang bermakna “dapat”, “bisa”, atau “mampu”. 74) Au ka-Ɂ-sae-f leko natuin au nim-ka na-ilo-n (DL) 1T NEG-1T-panjat-NEG baik KONJ 1T tangan-POSS 3T-keseleo-REFL “Saya tidak dapat memanjat karena tangan keseleo” KVS di atas dibentuk oleh verba sae “panjat” dan leko “dapat”. Verba sae dimarkahi oleh negasi ka-..-f dan proklitik -Ɂ-, sementara leko tak bermarkah. V2 dimaknai sebagai serialisasi modal terbukti dari ketidakmampuan narasumber ketika diminta untuk memetik kelapa, dalam hal ini adjektiva leko digunakan
130
untuk menyatakan penolakannya. Dengan demikian, pada KVS di atas ini, adjektiva leko ini berfungsi sebagai verba modal dan selalu berada pada posisi V2. c)
-be’i -be’i dalam BD termasuk dalam kategori adjektiva yang bermakna “kuat”.
Akan tetapi, adjektiva ini sering digunakan juga untuk menyatakan larangan untuk melakukan sesuatu sehingga dalam klausa KVS berikut, -bei’ dimaknai dengan “boleh” seperti dalam data berikut. 75)
Kais mu-be’i m-nao m-tein me-u in ume Jangan 2T-kuat 2T-pergi 2T-tambah 2T-PREP 3T rumah “Engkau tidak boleh pergi ke rumahnya lagi”
(DL)
Pada KVS di atas, be’i mengisi V1 dan tidak diperkenankan berada pada posisi lain, misalnya dipindahkan ke posisi V2 setelah verba mnao “engkau pergi” karena akan mengubah makna KVS di atas, yaitu akan diterjemahkan dengan “engkau tidak kuat berjalan lagi”.
131
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan temuan dan hasil analisis data konstruksi verba serial bahasa Dawan (KVS BD), maka dapat disimpulkan sebagai berikut. 1)
Kaidah pembentukan KVS BD memiliki karakteristik sebagai berikut. Pertama, berbentuk serialisasi nukleus (nuclear serialization) dan inti (core serialization). Kedua, KVS BD dibentuk oleh dua verba atau lebih tanpa disela oleh pemarkah konjungsi, baik koordinasi maupun subordinasi. Ketiga, KVS BD membentuk satu klausa dengan kebersamaan argumen atau kategori fungsional yaitu mempunyai satu subjek, mempunyai subjek dan objek bersama (argument sharing), atau mempunyai operator bersama (aspek, modal, dan negasi). Keempat, tiap-tiap verba yang membentuk KVS BD merupakan verba inti, bukan verba bantu. Kelima, pemarkahan morfologis dapat terjadi hanya pada salah satu verba atau tiap-tiap verba tersebut memperoleh pemarkahan yang sama. Keenam, KVS BD menyatakan suatu kejadian kompleks yang terdiri atas dua (sub)kejadian atau lebih yang terjadi secara simultan, atau berurutan secara dekat/ketat satu sama lainnya. Ketujuh, KVS BD ini dibentuk oleh dua verba atau lebih dengan
pola
transitif-transitif,
transitif-intransitif,
intransitif-transitif,
intransitif-intransitif, intransitif-intransitif-transitif, dan intransitif-transitiftransitif.
132
2)
Secara morfologis, pemarkahan pada verba-verba yang membentuk KVS BD adalah (i) pemarkah klitik pronomina yang selalu melekat dalam bentuk morfem terikat pada setiap verba pembentuk KVS, misalnya proklitik pronomina 3T, yaitu n- dalam n-mofu n-maet “jatuh mati”, atau salah satunya yang bermarkah, misalnya dalam serial m-tam om “masuk datang” di mana V1, yaitu mtam “masuk” dimarkahi oleh proklitik 2T, dan kedua verba tidak bermarkah pronomina seperti dalam aen om “ lari datang”; (ii) aspek perfektif, yaitu berupa sufiks -en yang bermakna “sudah” dan selalu melekat pada V2 apabila KVS dibentuk oleh dua verba misalnya dalam verba serial n-mofu n-mat-en “ sudah jatuh mati” dan pada V3 apabila KVS dibentuk oleh tiga verba misalnya dalam n-aen an-fain nem-en “sudah lari kembali ke sini”; dan (iii) negasi yang yang hadir dalam bentuk morfem terikat yang melekat pada semua atau salah satu verba yang membentuk KVS. Negasi hadir dalam bentuk konfiks ka-..-f atau berpola ka-PRED-f dalam serialisasi nukleus misalnya dalam serialisasi verba ka-nbiso npe’e-f “tidak memecahkan”. Sebaliknya, apabila serialisasi inti, maka V1 yang mendapatkan pemarkah negasi, misalnya dalam au ka-Ɂ-tital-fa mei n-tam “saya tidak mendorong meja ke dalam”.
3)
Dilihat dari fungsi dan maknanya, KVS BD terdiri atas delapan tipe serialisasi, yaitu (a) serialisasi verba sebab-akibat, misalnya dalam serialisasi verba n-biso n-pe’e “pukul sehingga pecah”; (b) serialisasi verba kausatif, misalnya dalam n-mo’e n-le’u “membuat rusak”; (c) serialisasi verba instrumental, misalnya dalam Ɂ-nut utan eik benas “mengiris sayur
133
dengan parang”; (d) serialisasi verba kecaraan, misalnya dalam m-toko maksuli “duduk bersila”; (e) serialisasi verba lokatif, misalnya dalam n-tup na-bala “tidur tinggal”; (f) serialisasi verba tujuan, misalnya dalam Ɂ-nao Ɂ-sos “pergi beli”; (g) serialisasi verba arah, misalnya dalam m-kios om “lihat datang”; dan (h) serialisasi verba modal, misalnya dalam ka nabei mnao m-tein “tidak boleh pergi lagi”. 6.2. Saran Tidak dapat dimungkiri bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan karena masih terdapat beberapa masalah yang perlu dikaji lebih lanjut. Pertama, aspek yang tidak dianalisis dalam penelitian ini adalah alternasi diatesis aspek pragmatik dalam KVS BD sehingga terbuka lebar peluang bagi para peneliti untuk melihat aspek ini lebih mendetail. Kedua, aspek penting yang perlu mendapat perhatian adalah terkait dengan aspek morfofonologis untuk membuktikan apakah sufiks atau prefiks BD benarbenar merupakan afiks ataukah gejala fonologis untuk memperlancar bunyi misalnya. Hasil penelitian pada aspek morfofonologis ini berkontribusi pada analisis terhadap aspek sintaksis BD. Misalnya, ketiadaan afiks pemarkah kausatif merupakan salah satu alasan terbentuknya KVS BD.
134
DAFTAR PUSTAKA Aikhenvald, Alexandra Y. 2006. “Serial Verb Constructions in Typological Perspective”. Dalam Aikhenvald, Alexandra Y. & Dixon, R. M. W. (Eds). Serial Verb Constructions: A Cross-Linguistic Typology. USA: Cambridge University Press. Pp. 1--68. Alexandra Y. Aikhenvald. 2003. “Typological Parameters For The Study Of Clitics, With Special Reference To Tariana”. Dalam Dixon, R. M. W dan Alexandra Y. Aikhenvald (Eds). Word: A Cross-Linguistic Typology. New York: Cambridge University Press. Pp. 42--78. Ameka, Felix. 2006. “Ewe Serial Verbs Construction in Their Grammatical Context”. Dalam Aikhenvald, Alexandra Y. & Dixon, R. M. W. (Eds). Serial Verb Constructions: A Cross-Linguistic Typology. USA: Oxford University Press. Pp. 124--143. Arka, I Wayan. 2000. “Nominative Marking and Linking in Dawan”. (paper) Department of Linguistics, RSAPS, ANU Arka,
I Wayan. 2003. “Bahasa-Bahasa Nusantara: Tipologinya dan Tantangannya bagi Tata Bahasa Leksikal Fungsional”. Dalam Bambang Kaswanti Purwo (Ed.). PELBA16: 51--113. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya, Unika Atmajaya
Arka, I Wayan, Jeladu Kosmas, & I Nyoman Suparsa. 2007. Bahasa Rongga: Tata Bahasa Acuan Ringkas. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya. Pp. 187--223. Artawa, Ketut. 2004. Balinese Language: A Typological description. Denpasar: Bali Media Adhikarsa. Berg, Bruce L. 2001. Qualitative Research Methods for the Social sciences. USA: Allyn & Bacon Boij, Geert. 2007. The Grammar of Words (2nd edition). New York: Oxford University Press Bowden, John. 2008. “Verb Serialization in Taba”. Dalam Gunter Senft (Ed). Serial Verb Constructions in Austronesian and Papuan Languages. Canbera: Addcolour Digital. Pp. 75--98 Brill, Isabelle. 2007. “Nexus and Juncture Types of Complex Predicate in Oceanic Languages: Functions and Semantics”. Dalam Language and Linguistics. Vol. 8.1. Pp. 267--310. Budiarta, I Wayan. 2009. “Aliansi Grammatikal Bahasa Dawan: Kajian Tipologi Bahasa” (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana Comrie, Bernad. 1989. Language Universal and Linguistic Typology: Syntax and Morphology. (2 nd Ed). Chicago: The University of Chicago Press.
135
Dixon, R.M.W. 2000. “A Typology of Causatives: Form, Syntax and Meaning”. Dalam Dixon, R. M. W dan Alexandra Y. Aikhenvald (Eds). Changing Valency: Case Studies in Transitivity. UK: Cambridge University Press. Pp. 30--41. Dixon, R.M.W. 2010. Basic Linguistic Theory: Grammatical Topics (Volume 2). New York: Oxford University Press Djayasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik: Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco Durie, Mark. 1996. “Grammatical Structures in Verb Serialization”. Dalam: Alsina, Alex, Joan Bresnan, & Peter Sells (Eds). Complex Predicates. USA: CLSI Publication. Pp. 289 -- 354. Foley, William A. 2004. “The Notion of ‘Event’ and Serial Verb Constructions: Arguments from New Guinea”. Dalam Wilaiwan Khanittanan & Paul Sidwell, (Eds) SEALSXIV: Papers from the 14th meeting of the Southeast Asian Linguistics Society (2004), Volume 1. Pacific Linguistics, Research School of Pacific and Asian Studies: The Australian National University. Pp.129-156. Hesse-Biber, Sharlene Nagy. 2010. Mixed Methods Research: Merging Theory with Practice. New York: The Guilford Press Isu, Rudolf J. 2009. “Fonologi Bahasa Dawan di Nusa Tenggara Timur: Kajian Teori Optimalitas”. (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana Johnson, Steve. 2007. “Revisiting the Structure of Serial Verb constructions”. Michigan State University Kroeger, Paul R. 2004. Analyzing Syntax: A Lexical – Functional Approach. Cambridge: Cambridge University Press. Larson, Richard K. 1991. Some Issues in Verb Serialization. Dalam Claire Lefebvre (Ed.). Serial Verbs: Grammatical, Comparative, and Cognitive Approaches:185–107. Amsterdam/Philadelphia: John Benjamins Publishing Company. Mekarini, Ni Wayan 2000. “Diatesis dan Pengikatan dalam Bahasa Dawan” (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana Muhammad. 2011. Metode Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Newmeyer, Frederick J. 2004. “Some Thoughts On The Serial Verb Construction”. USA: University of Washington Palmer, F.R. 1994. Grammatical Roles and Relations. UK: Cambridge University Press. Payne, Thomas E. 2007. Describing Morphosyntax (9 th Ed). UK : Cambridge University Press.
136
Reteg, I Nyoman, 2002. “Afiksasi Bahasa Dawan: Sebuah Kajian Morfologi Generatif”. (Tesis). Denpasar: Universitas Udayana Satyawati, Made Sri. 2010. “Relasi Sintaksis Bahasa Bima”. (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana. Sedeng, I Nyoman. 2010. Morfosintaksis Bahasa Bali Dialek Sembiran. Denpasar: Udayana University Press Senft, Gunter. 2004. “What Do We Really Know About Serial Verb Construction”. Tersedia di http//pubman.mpdl.mpg.de/. Diunduh Tanggal: 2 Juli 2013. Subiyanto, Agus. 2012. “Predikat Kompleks Bahasa Jawa” (Disertasi). Denpasar: Universitas Udayana Sudaryanto 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press Tarno, Wakidi, S.J. Mboik, P. Sarwado, S. Kusharyanto. 1992. Tata Bahasa Dawan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud. Van Valin, Robert D. Jr & William A. Foley. 1980. “Role and Reference Grammar”. Dalam Syntax and Semantic: Current Approaches to Syntax (Vol. 13) Edith A. Moravcsik & Jessica R. Wirth (Eds). New York: Academic Press Van Valin, Robert D. Jr & Randy J. Lapolla. 1997. Syntax: Structure, Meaning and Function. UK: Cambridge University Press Van Valin, Robert D. Jr. 2001. “Semantic Macroroles in Role and Reference Grammar”. Tersedia di Website RRG: http://linguistics.buffalo.edu/research/rrg.html. Diunduh tanggal: 9 Mei 2013 Van Valin, Robert D. Jr. 2005. Exploring the Syntax-Semantic Interface. Cambridge and New York: Cambridge University Press Van Valin, Robert D. Jr. 2007. “The Role and Reference Grammar Analysis of Three–Place Predicates”. Tersedia di Website RRG: http://linguistics.buffalo.edu/research/rrg.html. Diunduh Tanggal: 9 Mei 2013. Yin, Hui. 2007. “Serial Verb Constructions in English and Chinese”. Dalam Proceedings of the 2007 Annual Conference of the Canadian Linguistic Association.
137
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1 PETA BAHASA DAWAN
Sumber: http://www.ethnologue.com/language/aoz/*
138
Lampiran 2 DATA KONSTRUKSI VERBA SERIAL BAHASA DAWAN
Data KVS ini berasal dari dua sumber data, yaitu diperoleh dari penutur BD, baik melalui metode simak maupun wawancara, dan dokumentasi yang diambil dari Beno Alekot: Sulat knino anbi uab Meto neno-neno (Kabar Baik: Alkitab dalam bahasa Dawan sehari-hari). Data KVS yang terkumpul sebagai berikut. a.
Dua Verba
1) Au Ɂ-fen eti te mes mu-pen biso-t 1T 1T-bangun datang PART nanti 2T-dapat pukul-NOM “Kalau saya ke situ, nanti kamu dapat pukul” 2) Na Lukas n-ak kau m-n-ak. NAMA 3T-kata 1T 3T-berkata Lukas mengatakan kepada saya bahwa…. 3) bapa n-aik benas he n-‘oet na-‘belat hau bapa 3T-asah parang untuk 3T-potong 3T-jatuh pohon “Bapa mengasah parang untuk memotong/menumbangkan pohon” 4) m-tam om he t-bukae! 2T-masuk datang supaya 2J.i-makan “Masuklah (kemari) supaya kita makan” 5) t-koen-ok t-em t-ok ume nana-n! 2Ji-pergi-2Ji-REFL 2Ji-datang 2Ji-PREP rumah dalam-3T-POSS “Masuklah (kemari) ke dalam rumah” 6) tata n-fut na-bua-ba’ fafi hae-n-enu kakak 3T-ikat 3T-kumpul babi kaki-3T-POSS-J “Kakak mengikat kaki babi itu menjdi satu” 7) Na Simon n-pas na-kaena’ na Sam ART NAMA 3T-tampeleng 3T-tangis ART NAMA “Simon membuat Sam menangis” / “Simon menempeleng Sam sehingga menangis “
139
8) m-liuɁ mu-aen-ab mauna he kais n-euk pen-enu 2T-usir 2T-lari-CAUS ayam supaya jangan 3T-makan jagung-J “Usirlah ayam-ayam itu supaya jangan memakan jagung-jagung itu” 9) Oli n-fiso n-pe’e Ɂpika Adik 3T-pukul 3T-pecah piring “Adik memecahkan piring itu” / “Adik memukul piring sehingga pecah” 10) lek’a-t ho m-fain om? kapan-PART 2T 2T-pulang datang? “Kapan kamu kembali?” 11) Na Nani n-fen n-ah-ah ART NAMA 3T-bangun 3T-makan-saja “Nani bangun langsung makan” 12) In n-pos na-bol ‘nesat 3T 3T-tusuk 3T-tembus dinding “Dia melubangi dinding (dengan cara menusuk)” / “Dia menusuk dinding hingga tembus” 13) ‘nafo n-eku n-fek tani tikus 3T-makan 3T-putus tali “Tikus memutuskan tali (dengan cara menggigit/pakai gigi)”/ “Tikus menggigit tali hingga putus” 14) Au Ɂ-tital u-belat na Sepus 1T 1T-dorong 1T-jatuh ART NAMA “Saya menjatuhkan Sepus (dengan cara mendorong)” / “Saya mendorong Sepus sehingga ia terjatuh” 15) Au Ɂ-hani-n u-tam ni 1T 1T-gali-3T 1T-masuk tiang “Saya memasukkan tiang itu” 16) liana na n-liuɁ na-poita-n maun-a na’ko pai ume nana-n Anak itu 3T-usir 3T-keluar-3T ayam-J 3T-PREP rumah dalam-3T-POSS “Anak kecil itu mengeluarkan ayam-ayam itu dari dalam rumah” 17) Au Ɂ-naɁ u-hake-b bie-m ka-na-neoɁ-fa 1T 1T-pegang 1T-berdiri-KAUS sapi-CONJ NEG-3T-gerak-NEG “Saya pengang sapi itu sehingga (sapi) tidak bisa bergerak” 18) Usif an-lenu he n-tof na-sopu Ɂpuat Raja 3T-suruh supaya 3T-siangi 3T-selesai rumput “Raja menyuruhnya untuk menyelesaikan pekerjaan menyiangi rumput”
140
19) Atoin-enu na-en an-ek lus Orang-J 3J-lari 3J-tutup rusa “Orang-orng itu mengahadang rusa” 20) Au Ɂ-aen aɁ-tam ma Ɂhel u-poi-tan nako pai ume nanan 1T-lari 1T-masuk CONJ 1T-tarik 1T-keluar-3T 3T-dari rumah dalam “Saya bergegas masuk dan menariknya keluar dari dalam rumah” 21) Nok’at tena au aen om he Ɂ-tulun ko Besok barulah 1T lari 1T-datang supaya 1T-bantu 2T “Besok saja saya akan datang membantumu” 22) m-aen am-fen nane 2T-lari 2T-bangun situ “Menyingkirlah dari situ” 23) Au he Ɂ-nao Ɂ-hao fafi 1T mau 1T-pergi 3T-beri makan babi “Saya mau pergi memberi makan babi” 24) ait ho m-nao mu-tnin kit sin n-eo na-uab-eun sa coba 2T 2T-pergi 2T-dengar 2Ji 3J 3J-PREP 3J-bicara-J apa “Cobalah engkau pergi dengarkan apa yang mereka bicarakan” 25) In n-tital na-penit kau ok Ɂnesat 3T 3T-dorong 3T-tempel 1T PREP dinding “Dia mendorong saya hingga terjepit/menempel dengan dinding” 26) liana na n-ek na-tam asu et ume hana nanan anak itu 3T-tutup 3T-masuk anjing PREP rumah masak dalam “Anak itu mengurung anjing itu didalam dapur” 27) Na Lukas n-ak in n-it bapa n-eki n-sae ART NAMA 3T-kata 3T 3T-lihat ayah 3T-bawa 3T-naik “Lukas mengatakan bahwa ia melihat ayah (pergi) ke atas” 28) mama n-ak m-eki m-sanu le nane te mes am-bol ibu 3T-kata 2T-bawa 2T-turun FOK itu pasti FUT 2T-tembus neu be’ ume koti-n PREP nenek rumah belakang-3T-POSS “Ibu mengatakan, lewati saja jalan menurun itu, nanti engkau akan tembus di belakang rumah nenek” 29) Au Ɂ-pes u-pina ai 1T 1T-kipas 1T-nyala api “Saya menyalakan api (dengan cara mengipas)” /
141
“Saya mengipas api sehingga menyala” 30) ena n-au na-tup-a oli Ibu 3T-bujuk 3T-tidur-KAUS adik “Ibu membujuk adik sehingga tidur” / “Ibu membujuk adik dan menidurkannya” 31) ‘nafo n-eku n-fek tani tikus 3T-makan 3T-putus tali “Tikus meggigit tali sehingga putus” / “Tikus memutuskan (dengan cara menggigit) tali” 32) Ho mu-hine m-nesi-n kau 2T 2T-tahu 2T-lebih-3T 1T “Kamu mebih tahu dari saya” 33) Au Ɂ-tufu Ɂ-peɁ in ume eno-n 1T 1T-pukul 1T-pecah 3T rumah pintu-3T-POSS “Saya memecahkan pintu rumahnya “ 34) Meo n-aen an-poi-en n-ako ume nana-n Kucing 3T-lari 3T-keluar-PERF 3T-dari rumah dalam-3T-POSS “Kucing sudah keluar dari dalam rumah” 35) leka Yesus nao na-tuin nane te In n-it Nai Lewi. ketika Yesus 3T-pergi 3T-ikut itu maka 3T 3T-lihat Lewi “..Ketika Yesus berjalan lewat di situ, Ia melihat Lewi..” Injil Markus 2:14 36) oe n-pese-n an-tam n-eu beloɁ nane. air 3T-sembur-REFL 3T-masuk 3T-PREP perahu itu “...ombak menyembur masuk ke dalam perahu itu”
Injil Markus 4:37
37) nitu in n-em n-aiti a'an nane na'ko sin nekan….. Injil Lukas 8:12 iblis 3T 3T-datang 3T-ambil firman itu dari 3J-POSS hati “… kemudian iblis datang dan mengambil firman itu dari hati mereka…” 38) fun ka-tit-fa sa' esle' nakolo, le ka n-poi na-ton-on,… Injil Lukas 8:17 sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, 39) henati' In nao na-saitan sin supaya 3T pergi 3T-tinggal 3J “…. supaya ia meninggalkan mereka”
Injil Lukas 8:37
142
40) in nao na-pun kot ok-oke 3T 3T-pergi 3T-keliling kota semua-RED “..ia mengililingi seluruh kota itu …”
Injil Lukas 8:39
41) henati' kais sin n-it n-eki sin mata-n, ma an-nen supaya jangan 3J 3J-lihat 3T-pakai 3J mata-3J-POSS, CONJ 3T-dengar n-eki sin luken, ma na-hin n-eki in neka-n, …. 3J-pakai 3J telinga-3J-POSS, CONJ 3J-tahu 3J-pakai 3J hati-3J-POSS “… supaya jangan mereka melihat dengan matanya, dan mendengar dengan telinganya, dan mengerti dengan hatinya, …. Injil Matius 13:15 42) atoni namfau nem an-senu In orang banyak datang 3J-sambut 3T “….. orang banyak menyambut dia”
Injil Lukas 8:40
43) hai m-it atoni es an-li'u na-poitan nitu ….., 2J.e 2Je-lihat orang satu 3T-usir 3T-keluar setan… “...kami melihat seseorang mengusir setan ….”
Injil Lukas 9:49
44) fun in ka-nao na-tuin kit fa." sebab 3T NEG-pergi 3T-ikut 1Ji NEG “…karena dia bukan pengikut kita.’’
Injil Lukas 9:49
45) mes Yesus an-lelu in nao ma In n-ak…., tetapi NAMA 3T-suruh 3T 3T-pergi KONJ 3T 3T-kata “….tetapi yesus menyuruh dia pergi, katanya…”
Injil Lukas 8:38
46) Ho m-tao m-tein masi’ 2T 2T-taruh 2T-tambah garam “Engkau menambahkan garam” 47) li ana na n-sae neu hau ma n-mofu n-maet anak kecil itu 3T-naik PREP pohon KONJ 3T-jatuh 3T-mati “Anak itu jatuh dari pohon sehingga mati” 48) nok-noka te au aen fen-en pagi-RED FUT 1T 1T-lari 1T-bangun-PERF “Saya sudah akan bangun pagi-pagi” 49) li mone na n-aen n-eik au anha Ɂbae-Ɂ anak laki itu 3T-lari 3T-bawa 1T anak main-NOM “Anak laki-laki itu membawa lari mainan anak saya” 50) manu n-mofu n-tam es kona ayam 3T-jatuh 3T-masuk PREP lubang “Ayam jatuh di lubang”
143
51) polisi n-ken n-is abakat polisi 3T-tembak 3T-mati pencuri “Polisi menembak mati pencuri” 52) Hi m-aen em neu sa? 2J.i 2J.i-lari 2J.i-datang untuk apa? “Mengapa kalian datang terburu-buru?” 53) Au Ɂ-poli Ɂ-mof noah 1T 1T-lempar 1T-jatuh kelapa “Saya menjatuhkan kelapa (dengan cara melempar)” 54) Ho m-nao m-sos kokis 2T 2T-pergi 2T-beli kue “Engkau pergi membeli kue” 55) mama nao na-saitan kit ibu 3T-pergi 3T-tinggal-KAUS 2J.i “Ibu meninggalkan kita / Ibu menelantarkan kita” 56) Hai nua kai m-aen mes in n-aen an-polin kau 1J.i dua 1J.i 2J.i-lari tetapi 3T 3T-lari 3T-buang 1T “Kami berdua lari (bersama) tetapi dia meninggalkan saya” 57) mansa n-hoi na-meot no’ matahari 3T-jemur 3T-kering daun “Matahari menjemur daun sehingga kering” 58) In n-kios na-tesan kau 3T 3T-lihat 3T-melotot 1T “Dia memelototi saya” 59) Hai m-toko m-aksuli neu usif mata-n 1J.i 1J.i-duduk 1J.i- bersila di raja mata-POSS “Kami duduk bersila di hadapan raja” 60) ait ho m-kios om coba 2T 2T-lihat 2T-datang “Coba engkau lihat kesini” 61) nokat au aen eit he Ɂ-tulun ko besok 1T 1T-lari 1T-ke sana supaya 1T-tolong 2T “Besok saya akan ke sana untuk membantu engkau” 62) In n-tup na-bala au ke’an 3T 3T-tidur 3T-tinggal 1T kamar “Ia meniduri kamar saya”
144
63) Ho m-aen m-ani ume 2T 2T-lari 2T-tuju rumah “Engkau lari menuju rumah” 64) Au om he Ɂ-toit an ho ‘pali 1T datang mau 1T-minta dapat 2T linggis “Saya datang ingin meminjam linggismu” 65) Atoni sin n-eki atoni men ole mese nem neu Yesus Orang 3J 3J-bawa orang sakit lemas satu datang PREP NAMA “Orang-orang membawa seorang lumpuh kepada Yesus” 66) Au Ɂ-fit hau n-sae 1T 1T-angkat kayu 3T-naik “Saya mengangkat kayu itu ke atas” 67) Ho m-fonat mei nem i 2T 2T-geser meja 3T-datang sini “Engkau menggeser meja mendekati saya” 68) Au Ɂ-oet uik taɁu eik suni 1T 1T-potong pisang batang pakai parang “Saya memotong batang pisang menggunakan parang”
b. Tiga verba 69) atoin-enu n-fen an-ma-tuf-na maneun leuf orang-J 3J-bangun 3J-pukul sulit sangat “Perkelahian di antara orang-orang itu sangat dasyat” 70) Bi Loka n-aen n-em na-nat kau besi ART NAMA 3T-lari 3T-datang 3T-antar 1T pisau “Loka bergegas datang mengantarkan pisau kepada saya” 71) baba n-leun kau he Ɂ-nao aim ana hau paman 3T-suruh 1T supaya 1T-pergi cari dapat kayu “Paman menyuruh saya untuk pergi mencarikan sebatang kayu untuknya” 72) bife i n-em an-tia n-kae-ah perempuan ini 3T-datang 3T-sampai 3T-tangis-saja “Perempuan ini dating-datang langsung menangis” 73) lek’a-t ho m-nao mu-mat mu-fani in fani kapan-PART 2T 2T-pergi 2T-antar 2T-pulang 3T kapak “Kapan engkau akan pergi mengembalikan kapaknya”
145
74) Na Lukas nao n-eki n-sae ART NAMA jalan 3T-bawa 3T-naik “Lukas berjalan ke atas” 75) oke te an-li'-on an-fani nem, henati' Au u-leko sin habis PART 3J-lipat-REFL 3J-balik datang, suapaya 1T 1T-baik 3J “…lalu berbalik sehingga Aku menyembuhkan mereka” Injil Matius 13:15
c.
Empat verba
76) atoni na n-aen n-em an-tia n-pas-ah kau orang itu 3T-lari 3T-datang 3T-tiba 3T-pukul saya “Orang itu bergegas datang dan langsung memukul saya”