BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, manusia memang selalu menggunakan lambang atau simbol. Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol, termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa (Chaer, 2012:39). Bahasa hadir atau ada karena dipakai untuk membahasakan benda atau satuan benda (baik konkrit atau abstrak), satuan pikiran atau gagasan, perasaan, keinginan, harapan, perbuatan, peristiwa, kejadian, atau keadaan (Subroto, 2011:13). Segala sesuatu yang dibahasakan merupakan dunia luar bahasa yang diproyeksikan di dalam gambaran angan atau digambarkan secara mental (mentally projekted world) (Subroto,
2011:19).
Bahasa
sebagai
lambang
yang
berwujud
bunyi,
melambangkan pada suatu pengertian, suatu konsep, suatu ide, atau suatu pikiran yang ingin disampaikan dalam wujud bunyi itu. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa bahasa mempunyai makna (Chaer, 2012:44). Makna adalah hubungan antara kata (lambang) dan sesuatu yang ditunjuknya (Wijana, 2010:24). Linguistik sebagai ilmu yang mempelajari bahasa memiliki dua cabang ilmu yang mempelajari seluk-beluk makna, yaitu pragmatik dan semantik. Pragmatik mempelajari makna secara eksternal, sedangkan semantik mempelajari makna secara internal. Makna yang ditelaah oleh pragmatik adalah makna yang terikat konteks, sedangkan makna yang dikaji oleh semantik adalah makna yang bebas konteks (Wijana, 1996:2).
Dalam semantik, lambang-lambang bunyi bahasa yang bermakna di dalam bahasa berupa satuan-satuan bahasa yang berwujud morfem, frase, klausa, kalimat, dan wacana. Semua satuan tersebut memiliki makna. Namun, karena ada perbedaan tingkatnya, maka jenis maknanya pun tidak sama. Makna yang berkenaan dengan morfem disebut makna leksikal; yang berkenaan dengan frase, klausa dan kalimat disebut makna gramatikal; dan yang berkenaan dengan wacana disebut makna pragmatik, atau makna konteks (Chaer, 2012:45). Makna leksikal, menurut Wijana (2010:29), adalah makna satuan-satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi tanpa satuan itu bergabung dengan satuan lingual yang lain. Misalnya, dalam bahasa Indonesia, kata ayah memiliki makna ‘orang tua lali-laki’, ibu ‘orang tua perempuan’, tidur ‘merebahkan tubuh sambil memejamkan mata’, lantai ‘bagian dasar rumah yang terbuat dari semen atau ubin’, dan sebagainya. Keempat kata ini memiliki makna leksikal, yang maknamakna tersebut mengacu pada sesuatu atau konsep di luar bahasa. Makna leksikal dapat ditemukan dalam setiap morfem. Tidak terkecuali dalam penggunaan kata sifat. Kata sifat merupakan atribut atau pelengkap dari nomina yang menjadi unsur pusatnya (Asrori, 2004:52). Kata sifat tersebut berfungsi untuk menyempurnakan kata yang berada di depannya (man‘ūt) dengan menjelaskan salah satu sifatnya atau beberapa sifat dari kata sebelumnya (Malik, tt:127). Al-Busyrā sebagai objek material dalam penelitian ini menggunakan banyak sekali kata sifat dalam penulisannya. Al-Busyrā sendiri merupakan biografi Siti Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW. Pada penelitian-penelitian
terhadap karya sastra terdahulu, biografi juga masih sangat jarang digunakan sebagai objek material. Selain itu, Al-Busyrā sendiri adalah biografi salah satu tokoh besar dalam Islam, yang tidak lain adalah istri Nabi Muhammad, orang paling berpengaruh yang dijadikan panutan dan tauladan oleh umat Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, penelitian ini sangat menarik untuk dilakukan. Sehubungan dengan latar belakang di atas, akan dianalisis kata sifat dalam al-Busyrā dengan menggunakan pendekatan semantik. Selain itu, karena kata sifat dalam bahasa Arab ada banyak ragamnya, maka bentuk-bentuk yang digunakan dalam al-Busyrā juga menarik untuk diteliti. Untuk itu, akan diteliti pula bentuk-bentuk kata sifat yang terdapat dalam al-Busyrā dengan pendekatan morfologi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah bentuk-bentuk dan tujuan-tujuan penggunaan kata sifat yang terdapat dalam al-Busyrā karya Muḥammad bin ‘Alawī al-Malikī al-Ḥasanī. 1.3 Tujuan Penelitian Dari paparan rumusan masalah di atas, dalam penelitian ini peneliti mempunyai
tujuan
untuk
mengetahui
bentuk-bentuk
dan
tujuan-tujuan
penggunaan kata sifat yang terdapat dalam al-Busyrā karya Muḥammad bin ‘Alawī al-Malikī al-Ḥasanī
1.4 Tinjauan Pustaka Pada penelitian-penelitian sebelumnya, objek formal yang berupa kata sifat dalam bahasa Arab belum pernah dilakukan, sedangkan penelitian dengan menggunakan analisis morfologi dengan objek bahasa Arab, sejauh pengamatan peneliti sudah banyak dilakukan, di antaranya pernah dilakukan oleh Astria Putri, pada tahun 2009, pada skripsinya yang berjudul “Hamzah dalam Antologi Cerpen “an-Nawādir” Karya Aḥmad Syihābuddīn bin Salamah al-Qalyūbi Halaman 103115: Analisis Morfologi”. Dalam penelitiannya tersebut, Putri membahas macammacam hamzah dan morfem pembentuk kata ber-hamzah dalam antologi cerpen “an-Nawādir” dengan menggunakan pendekatan morfologis. Dalam menganalisis datanya, Putri menggunakan metode agih dengan teknik dasar BUL (bagi unsur langsung) dan teknik baca markah sebagai teknik lanjutannya. Dari penelitian tersebut, diperoleh hasil, bahwa terdapat tujuh macam hamzah dalam antologi cerpen “an-Nawādir”, yaitu: hamzah qaṭ‘ī, hamzah waṣal, hamzah istifhām, hamzah aṣli, hamzah zā’idah, hamzah maqlūbah, dan hamzah munawwanah. Kemudian kata ber-hamzah dalam antologi cerpen “an-Nawādir” terbentuk dari morfem bebas dan gabungan dua morfem (morfem bebas dan morfem terikat). Adapun penelitian dengan menggunakan analisis semantik juga telah banyak dilakukan Pada tahun 2011, Ayu Dewi Mustika membahas sinonim kata ‘karuma’ dalam bahasa Arab pada Kaukabah al-Khuṭabah al-Munīfah min Minbar al-Ka‘bah asy-Syarīfah dengan mengunakan pendekaan analisis semantik leksikal, sedangkan metode yang digunakan adalah metode penyediaan data, metode analisis data, dan metode pemaparan analisis data. Dalam penelitiannya,
Mustika menemukan 104 kalimat yang mengandung kata yang bersinonim dengan kata karuma dalam enam bentuk, yaitu ism fā‘il berjumlah 9 kalimat, ism maf‘ūl berjumlah 1 kalimat, ṣifah musyabbahah berjumlah 31 kalimat, ism tafḍīl berjumlah 42 kalimat, maṣdar 17, dan ism mansūb berjumlah 5 kalimat. Dalam penelitian tersebut, dia juga menemuka kata-kata yang bersinonim dengan kata karuma yang memiliki derajat kesamaan yang dekat, yaitu kata al-karim dengan kata az-zakhir, al-‘aziz, dan al-majid, kata al-mukarram dengan kata al-mubajjal, dan kata akrama dengan a‘ẓama. Selain itu, terdapat kata-kata yang memiliki derajat kesamaan yang tidak dekat, yaitu kata al-karīmah dengan al-bahīrah, kata akrama dengan ajalla, kata karamah dengan sumuww dan muhābah, dan kata karamu dengan ‘ishāmiyyah. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas, terlihat jelas perbedaan antara penelitian ini dengan beberapa penelitian di atas. Perbedaan tersebut terletak pada objek formal maupun analisisnya. Pembahasan pada penelitian-penelitian di atas hanya fokus terhadap satu pendekatan linguistik saja, sedangkan pada penelitian ini, akan dibahas mengenai bentuk dan tujuan penggunaan kata sifat dengan mengkombinasikan dua pendekatan linguistik, yaitu morfologi dan semantik. Kemudian, jika ditinjau dari objek materialnya, alBusyrā belum pernah digunakan sebagai objek material dalam penelitianpenelitian sebelumnya. Dengan demikian, masih terbuka lebar kesempatan untuk meneliti lebih lanjut bentuk dan tujuan penggunaan kata sifat yang terdapat dalam al-Busyrā dengan menggunakan pendekatan morfologi dan semantik.
1.5 Landasan Teori Dalam suatu penelitian, diperlukan adanya landasan teori yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian tersebut. Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk dan tujuan penggunaan kata sifat yang terdapat dalam Al-Busyrā. Untuk mencapai tujuan tersebut, dalam penelitian ini, akan dikombinasikan dua teori, yaitu teori morfologi dan teori semantik. Morfologi dan semantik merupakan dua cabang linguistik yang berbeda. Morfologi adalah cabang linguistik yang mengidentifikasikan satuan-satuan dasar bahasa sebagai satuan gramatikal (Verhaar, 2010:97), sedangkan semantik adalah cabang linguistik yang membahas arti atau makna (Verhaar, 2010:13). Namun, semantik, dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh atau semua tataran linguistik, termasuk morfologi (Chaer, 2012:284). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa, makna dapat ditemukan dalam setiap satuan bahasa, tidak terkecuali dalam penggunaan kata sifat. Kata sifat (dalam bahasa Arab disebut juga na‘t) adalah kata yang berfungsi menyempurnakan kata yang berada di depannya dengan menjelaskan salah satu sifatnya atau beberapa sifat dari kata sebelumnya (Malik, tt:127). Menurut Gulāyainī (2005:79), kata sifat dalam bahasa Arab mempunyai beberapa bentuk, yaitu: ism fā‘il, ism maf‘ūl, ṣifah musyabbahah, ism tafḍīl, maṣdar, dan ism jāmid yang mengandung arti sifat yang musytaq, dan isim mansūb. Kata sifat yang memiliki bermacam-macam bentuk di atas, digunakan sebagai pelengkap dalam kalimat, dan tentunya memiliki tujuan dalam setiap penggunaannya karena sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi
langsung elemen makna unsur-unsurnya (Sperber & Wilson, 1989 dalam Wijana, 1996:10). Menurut ‘Awīḍah (2012:304), tujuan digunakannya kata sifat ada enam, antara lain: tauḍīḥ (menjelaskan), takhṣiṣ (mengkhususkan), madḥ (memuji), żam (mencela), taraḥḥum (memelas), dan taukīd (mengukuhkan). Kemudian, Huda (2010: 20) menambahkan satu tujuan lagi, yaitu tafṣīli (merinci). Berikut ini adalah contoh dari tujuan penggunaan kata sifat:
ﺃﻋﻮﺫ ﺑﺎﷲ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﺍﻟﺮﺟﻴﻢ A‘ūżu billāhi mina asy-syaitāni ar-rajīmi (‘Awīḍah, 2012:30) ‘Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk’ Kata /ar-rajīmi/ ‘yang dilaknati, dikutuk’ (Munawwir, 1997:480) pada contoh di atas merupakan kata sifat yang berfungsi untuk menyempurnakan kata /asy-syaitāni/ ‘syaitan’ dengan menjelaskan salah satu sifat dari /asy-syaitāni/ ‘syaitan’, yaitu terkutuk. Dari makna tersebut, terlihat bahwa si penutur menggunakan kata sifat tersebut dengan tujuan untuk menjelaskan sifat yang melekat pada /asy-syaitāni/ ‘syaitan’ yaitu /ar-rajīmi/ ‘terkutuk’. Pada kenyataannya, makna sebagai objek kajian semantik tidak dapat diamati atau diobservasi secara empiris (Chaer, 2007:67). Meskipun begitu, dalam banyak hal manusia mendasarkan diri atas keyakinan tertentu (Verhaar, 2010:6). Namun, keyakinan tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dengan adanya data dan fakta yang dapat diuji (Verhaar, 2010:5). 1.6 Metode Penelitian Dalam sebuah penelitian, metode sangat dibutuhkan untuk menjadi jembatan bagi penulis agar dapat sampai pada tujuan yang dimaksudkan. Menurut
Sangidu (2004:13), metode adalah cara kerja yang besistem untuk memulai pelaksanaan suatu kegiatan penelitian guna mencapai tujuan yang telah ditentukan. Pada penelitian tujuan penggunaan kata sifat yang terdapat dalam alBusyrā ini tedapat tiga tahap kegiatan yang ditempuh, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993: 5). Tahap yang pertama adalah tahap penyediaan data. Pada tahap ini penulis mengumpulkan data dengan menggunakan metode simak, yaitu dengan cara membaca dan atau menyimak penggunaan bahasa yang terdapat dalam al-Busyrā sebagai data material pada penelitian ini (Sudaryanto, 1993:133). Di dalam metode simak, terdapat dua teknik, yaitu teknik dasar dan teknik lanjutan (Sudaryanto, 1993:133-135). Teknik dasar pada penelitian ini berupa teknik sadap, yaitu teknik yang dilakukan dengan cara menyadap penggunaan bahasa, yang dalam hal ini adalah bahasa tulis yang berupa biografi Siti Khadijah, istri Nabi Muḥammad SAW. Penyadapan ini dilakukan dengan cara memilah semua data dengan menggarisbawahi satu persatu kata sifat yang tidak lain merupakan data dalam penelitian ini seperti yang telah dipaparkan dalam landasan teori. Selain itu, digunakan teknik catat sebagai teknik lanjutannya, yaitu dengan mencatat semua kata yang mengadung kata sifat yang terdapat dalam al-Busyrā ke dalam komputer, kemudian ditransliterasi dan diartikan. Teknik ini digunakan untuk memudahkan dalam menyaring data yang berupa teks. Selanjutnya, pada tahap kedua, setelah data yang berupa kata sifat sudah terkumpul, data tersebut diklasifikasikan berdasarkan bentuk dan tujuan
penggunaannya. Kemudian, data yang telah diklasifikasikan tersebut dipilah-pilah dan diambil masing-masing dua sampel yang akan dianalisis menggunakan metode agih. Menurut Sudaryanto (1993: 15), metode agih adalah cara penelitian yang alat penentunya adalah bagian dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Dalam metode ini, terdapat teknik bagi unsur langsung (BUL). Disebut teknik BUL karena cara yang digunakan pada analisisnya adalah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa unsur atau bagian dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993:31). Selain itu, kegiatan pembagian satuan lingual data yang berupa kata sifat membutuhkan adanya piranti yang tidak lain ialah daya bagi yang bersifat intuitif atau intuisi pemahaman kebahasaan si peneliti; kemudian, dibutuhkan juga alat penentu yang berupa jeda (Sudaryanto, 1993:31). Jadi mampu tidaknya si peneliti membagi data secara baik menjadi beberapa unsur mula-mula bergantung pada ketajaman intuisinya, kemudian penggunaan jeda tertentu (Sudaryanto, 1993: 31). Setelah dibagi, analisis dilanjutkan dengan teknik baca markah. Penerapan teknik ini dengan cara melihat langsung pemarkah yang bersangkutan. Adapun mengenai cara melihatnya dilakukan secara morfologis (Sudaryanto, 1993:95). Taṣrīf dan kamus digunakan oleh peneliti untuk membantu mengetahui kebenaran asal kata sifat. Tahap terakhir adalah tahap penyajian hasil analisis data, yaitu pemaparan tujuan-tujuan kata sifat yang terdapat dalam al-Busyrā. Pada tahap ini, penulis berusaha menyajikan hasil analisis dalam bentuk laporan tertulis dengan
menggunakan metode informal. Sudaryanto (1993:145) menyatakan, bahwa metode informal yaitu perumusan hasil analisis data dengan kata-kata biasa. 1.7 Sistematika Penulisan Laporan hasil penelitian ini akan disajikan dalam IV bab. Bab I berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, sistematika penulisan, dan pedoman transliterasi Arab-Latin. Bab II berisi kaidah-kaidah mengenai bentuk dan tujuan penggunaan kata sifat. Bab III berisi analisis bentuk dan tujuan penggunaan kata sifat, dan bab IV berisi kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian. 1.8 Pedoman Transliterasi Arab-Latin Penulisan translitersi Arab-Latin yang digunakan dalam peneitian ini adalah pedoman transliterasi berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543 b/U/1987, tanggal 22 Januari 1988. Konsonan Tunggal Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ﺍ
alif
tidak dilambangkan
tidak dilambangkan
ﺏ
ba’
b
be
ﺕ
ta’
t
te
ﺙ
sa’
ṡ
es (dengan titik atas)
ﺝ
jim
j
je
ﺡ
ḥa’
ḥ
ha (dengan titik bawah)
ﺥ
kha’
kh
ka dan ha
ﺩ
dal
d
de
ﺫ
żal
ż
zet (dengan titik atas)
ﺭ
ra’
r
er
ﺯ
zai
z
zet
ﺱ
sin
s
es
ﺵ
syin
sy
es dan ye
ﺹ
ṣād
ṣ
es (dengan titik bawah)
ﺽ
ḍaḍ
ḍ
de (dengan titik bawah)
ﻁ
ṭa’
ṭ
te (dengan titik bawah)
ﻅ
ẓa’
ẓ
zet (dengan titik bawah)
ﻉ
‘ain
‘
koma terbalik di atas
ﻍ
gain
g
ge
ﻑ
fa’
f
ef
ﻕ
qāf
q
qi
ﻙ
kāf
k
ka
ﻝ
lam
l
el
ﻡ
mim
m
em
ﻥ
nun
n
en
ﻭ
wawu
w
we
ھ
ha’
h
ha
ﺀ
hamzah
’
apostrof
ﻱ
ya’
y
ye
Vokal Tunggal Tanda
Nama
Huruf Latin
Keterangan
ِ
kasrah
i
i
َ
fatḥah
a
a
ُ
ḍammah
u
u
Contoh:
ﻛﺘﺐ
/kataba/ ‘dia (telah) menulis’
ﺫﻛﺮ
/żukira/
‘diingat’
Vokal Rangkap Tanda dan Huruf
Nama
Gabungan Huruf
Keterangan
ﻱ-َ
fatḥah dan ya’
ai
a dan i
َ ﻭ--
fatḥah dan wawu
au
a dan u
Contoh:
ﻛﻴﻒ ﻗﻮﻝ
/kaifa/
‘bagaimana’
/qaulun/ ‘perkataan’
Maddah Harakat dan Huruf
Nama
Huruf dan Tanda
Keterangan
ﺍ--َ
Fatḥah dan Alif
ā
a dengan garis
ﻱ--ِ
Kasrah dan Ya’
ُ ﻭ---
Ḍammah dan
di atas ī
di atas ū
Wawu
Contoh:
ﻗﺎﻝ – ﻳﻘﻮﻝ
i dengan garis
/qāla – yaqūlu/ ‘dia berkata’
Ta’ Marbūṭah Transliterasi ta’ marbūṭah ada dua, yaitu:
u dengan garis di atas
1.
Ta’ marbūṭah hidup Ta’ marbūṭah hidup atau mendapat harakat fatḥah, kasrah, atau ḍammah
transliterasinya adalah /t/. 2.
Ta’ marbūṭah mati Ta’ marbūṭah mati atau mendapat harakat sukun transliterasinya adalah
/h/. Apabila ada kata yang berakhir dengan tā’ marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al serta bacaan kedua kata tersebut terpisah maka tā’ marbūṭah tersebut ditransliterasikan /h/. Contoh:
ﺍﳌﺪﻳﻨﺔ ﺍﳌﻨﻮﺭﺓ
/al-madīnah al-munawwarah/ ‘kota yang diterangi’
Syaddah Syaddah atau tasydīd dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah atau tasydīd. Dalam transliterasinya, tanda syaddah itu dilambangkan dengan huruf yang sama dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut. Contoh:
ـﺎ ﺭﺑﻨـ
/rabbanā/ ‘tuhan kami’
ﺍﳊﺞ
/al-ḥajju/
‘haji’
Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf al. Kata sandang tersebut dalam transliterasi dibedakan menjadi kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah dan huruf qamariyyah. 1.
Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah Kata sandang yang diikuti huruf syamsiyyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya, yaitu /l/ diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata sandang tersebut. Contoh:
2.
ﺍﻟﺮﺟﻞ
/ar-rajulu/ ‘laki-laki itu’
ﺍﻟﺸﻤﺲ
/asy-syamsu/
‘matahari itu’
Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah Kata sandang yang diikuti huruf qamariyyah ditransliterasikan sesuai
dengan aturan yang digariskan di depan dan sesuai dengan bunyinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda simpang (-). Contoh:
ﺍﻟﻘﻠﻢ
/al-qalamu/ ‘pena itu’
ﺍﻟﻜﺎﺗﺐ
/al-kātibu/ ‘penulis itu’
Hamzah Hamzah yang ditransliterasikan dengan apostrof hanya berlaku untuk hamzah yang terletak di tengah dan belakang. Hamzah yang terletak di depan tidak dilambangkan dengan apostrof karena dalam tulisan Arab berupa Alif. Contoh:
ﺷﻴﺊ ﺇ ﹼﻥ
/syai’un/
/inna/
‘sesuatu’
‘sesugguhnya’
Penulisan Kata Pada dasarnya, setiap kata ditulis terpisah, tetapi untuk kata-kata tertentu yang penulisannya dalam huruf Arab sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat yang dihilangkan, maka transliterasinya dirangkaikan dengan kata lain yang mengikutinya. Contoh:
ﻭ ﺇ ﹼﻥ ﺍﷲ ﳍﻮ ﺧﲑ ﺍﻟﺮﺍﺯﻗﲔ /Wa innallāha lahuwa khairu ar-rāziqīna/ atau dengan /Wa innallāha lahuwa khairur-rāziqīna/ ‘Dan sesungguhnya Allah itu benar-benar sebaik-baik pemberi rezeki’ Huruf Kapital Meskipun dalam sistem tulisan Arab tidak dikenal huruf kapital, tetapi dalam transliterasinya huruf kapital digunakan dengan ketentuan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).
Contoh:
ﺪ ﺇ ﹼﻻ ﺭﺳﻮﻝﻭﻣﺎ ﳏﻤ /Wa mā Muhammadun illā rasūl/ ‘Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang utusan’