BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang. Pemilihan Umum (Pemilu) sebagai sebuah proses seleksi terhadap lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan menjadi representasi dari rakyat, karena pemilu merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan (policy). Dengan perkataan lain, pemilu adalah sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan oleh Undang-Undang Dasar. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah kekuasaan yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat. Pemilihan
umum
mengimplikasikan
terselenggaranya
mekanisme
pemerintahan secara tertib, teratur dan damai serta lahirnya masyarakat yang dapat menghormati opini orang lain. Disamping itu lebih lanjut akan lahir suatu masyarakat yang mempunyai tingkat kritisme yang tinggi, dalam arti bersifat selektif atau biasa memilih yang terbaik menurut keyakinannya. Memperhatikan hal tersebut berarti pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara. 1 Pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi logis dianutnya prinsip kedaulatan rakyat (demokrasi) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip dasar kehidupan kenegaraan yang demokratis adalah setiap warga negara berhak ikut aktif dalam proses politik. 2 Lebih lanjut Maurice Duverger dalam bukunya yang berjudul I’Es Regimes Des Politiques menyatakan sebagai berikut: Cara pengisian jabatan demokratis dibagi menjadi dua, yakni demokrasi langsung dan demokrasi perwakilan. Yang dimaksud demokrasi langsung merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat secara langsung memilih seseorang untuk menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam pemerintahan, sedangkan demokrasi perwakilan merupakan cara pengisian jabatan dengan rakyat memilih seseorang atau partai politik untuk memilih seseorang menduduki jabatan tertentu guna menyelenggarakan tugastugas (kelembagaan) negara seperti kekuasaan legislatif, eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. 3 Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratik mungkin tercipta. Masyarakat 1
Miriam Budiarjo, Hak Asasi Manusia Dalam Dimensi Global, (Jakarta: Jurnal Ilmu Politik, No. 10, 1990), hlm. 37. 2 Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 94. 3 Majelis Permusyawaratan Rakyat RI, Naskah Akademik Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Usulan Komisi Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2004), hlm. 92.
Universitas Sumatera Utara
demokratik ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan, maupun keharusan-keharusan lain seperti kesadaran hukum dan keseyogiaan dalam berperilaku untuk senantiasa dapat menakar dengan tepat berbagai hal memerlukan keseimbangan. Harmoni tersebut antara lain berwujud sebagai keserasian antara kepentingan individu dengan masyarakat, antara asfek kehidupan kerohanian dan kebendaan, antara kepentingan pusat dan daerah dan sebagainya. 4 Secara yuridis konstitusional, berkenaan dengan pemilihan umum di Indonesia dewasa ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 E Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan: 1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. 2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik. 4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan. 5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. 6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undangundang. Selanjutnya pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari hakikat otonomi daerah
4
dalam
mewujudkan
desentralisasi
atau
proses
pendemokrasian
Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 9.
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan dengan keterlibatan langsung masyarakat melalui pendekatan dalam pemilihan kepala daerah, guna mengatur dan mengurus urusan rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah secara bebas dan mandiri. Atas dasar hal tersebut, Bagir Manan mengemukakan paling tidak ada 3 (tiga) faktor yang menunjukkan keterkaitan antara susunan pemerintahan daerah dengan pendemokrasian pemerintahan: 1. Sebagai upaya untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty). 2. Sebagai upaya untuk menumbuhkan suatu kebiasaan (habit) agar rakyat memutus sendiri berbagai macam kepentingan (umum) yang bersangkutan langsung dengan mereka. Membiasakan rakyat mengatur dan mengurus sendiri urusan-urusan pemerintahan yang bersifat lokal, bukan hanya sekedar sebagai wahana latihan yang baik, tetapi menyangkut segi yang sangat esensial dalam suatu masyarakat demokratik. 3. Sebagai upaya memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai berbagai tuntutan yang berbeda. 5 Dalam hubungan ini, pengakuan negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 dan merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. Hal-hal mendasar yang menjadi isi UU Pemerintahan Aceh ini antara lain: 1. Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan daerah provinsi dalam sistem NKRI berdasarkan UUD Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan 5
Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, (Jakarta: Sinar harapan, 1994), hlm. 34.
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4. 5.
pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Tatanan otonomi seluas-luasnya yang diterapkan di Aceh berdasarkan UU Pemerintahan Aceh ini merupakan subsistem dalam sistem pemerintahan secara nasional. Pengaturan dalam Qanun Aceh maupun Kabupaten/Kota yang banyak diamanatkan dalam UU Pemerintahan Aceh merupakan wujud konkret bagi terselenggaranya kewajiban konstitusional dalam pelaksanaan pemerintahan tersebut. Pengaturan perimbangan keuangan pusat dan daerah tercermin melalui pemberian kewenangan untuk pemanfaatan sumber pendanaan yang ada. Implementasi formal penegakan syari’at Islam dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh.
Pengakuan sifat istimewa dan khusus oleh Negara kepada Aceh sebenarnya telah melalui perjalanan waktu yang panjang. Tercatat setidaknya ada tiga peraturan penting yang pernah diberlakukan bagi keistimewaan dan kekhususan Aceh yaitu Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/Missi/1959 tentang Keistimewaan Provinsi Aceh, UU 44/1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan UU 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dengan dikeluarkannya UU Pemerintahan Aceh, diharapkan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan di Aceh untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan yang berkeadilan dan keadilan yang berkesejahteraan di Aceh. Di era reformasi ini dimana telah terbuka kesempatan berdemokrasi dalam menyampaikan aspirasi mulai dari tingkat akar bawah sampai pada tingkat atas.
Universitas Sumatera Utara
Otonomi
khusus
telah
memberikan
konstribusi
yang
besar
terhadap
perkembangan perpolitikan dan demokrasi di tingkat daerah. Pemilihan kepala daerah merupakan pesta demokrasi di tingkat daerah yang dilaksanakan secara demokratis. Pemilihan kepala daerah dilaksanakan untuk memilih kepala daerah baik itu Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat setiap 5(lima) tahun sekali melalui pemilihan yang demokratis, bebas, rahasia, serta dilaksanakan secara jujur dan adil. Pemilihan Kepala Daerah di Propinsi Aceh memang berbeda dengan daerah yang lain, dimana memiliki keistimewaan dan fenomena yang lain.
Pesta
Demokrasi ditingkat lokal khususnya di Propinsi Aceh merupakan pemilihan kepala daerah yang terbesar di Indonesia, dimana dilaksanakan di 19 Kabupaten/kota.
Pemilihan
Kepala
Daerahyang
pertama
dilakukan
secaralangsung oleh rakyat Aceh. Ini artinya, masyarakatlah yang menentukan masa depan daerah dan pemimpinya. Dalam kurun sejarah Aceh merupakan daerah modal bagi Indonesia. Tetapi keistimewaan dan kekhususan yang diberikan ternyata belum bisa menyentuh hati rakyat. Dari segi aturan ada dua hal khusus yang membedakan pemilihan kepala daerah Aceh yaitu: 1. Penyelenggaraan pemilihan kepala Daerah dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan disingkat KIP adalah KIP propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang selanjutnya disebut KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota merupakan bagian dari komisi pemilihan Umum (KPU) KIP hanya
Universitas Sumatera Utara
berada di Aceh, berbeda dengan di daerah lain dimana pemilihan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Keberadaan KIP diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 tentang Pemerintahan Aceh, sedangkan teknis pelaksanaannya dirinci dalam Qanun Nomor 2, 3, dan 7 Tahun 2006. KIP beranggotakan 5 orang, dibentuk oleh oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh, diseleksi oleh tim independen yang bersifat ad hoc dan menjabat selama lima tahun. Anggota KIP telah dilantik oleh Pejabat Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 3 Maret 2005. Kedua; dibukanya ruang bagi calon independen untuk maju dalam pemilihan kepala daerah. Calon independen pertama kali dikenal dalam sistem hukum Indonesia melalui pemilihan kepala daerah Aceh yang lalu. Bukan saja itu pilkada kali ini dilaksanakan setelah konflik lebih dari 30 tahun dan bencana yang menewaskan ratusan ribu jiwa manusia. 2. Dibukanya ruang bagi calon independen untuk maju dalam pemilihan Kepala daerah. Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemerintah memberikan kewenangan pada Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota melalui sistem pemilihan langsung di Nanggroe Aceh Darussalam yang baru saja lepas dari konflik yang berkepanjangan. Pemilihan kepala daerah diidealkan memiliki tingkat kredibilitas yang benar-benar legitimasi untuk diterima umum, selanjutnya akan melahirkan proses serta mekanisme demokrasi berdasarkan aspirasi rakyat era reformasi. Eksistensi lembaga Komisi Independen (KIP) walaupun sifatnya independen, namun tetap dihadapkan oleh kasus-kasus yang krusial yang memiliki kepentingan banyak pihak. Terseretnya pakar politik saat itu menjabat sebagai ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP). Menyadari hal itu, tuntutan
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan pemilihan yang harus sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan dan desakan arus bawah reformasi kekuasaan, berbagai masalah teknis, yang harus dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP). Di sisi lain, kesuksesan penyelenggaraan pemilu seolah-olah terlepas dari kesuksesan sebuah pekerjaan besar. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, sebagaimana halnya pada pemilihan kepala daerah Kabupaten Aceh Tenggara dimana Pihak Komisi Independen Pemilihan (KIP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) mengambil alih proses Pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kabupaten Aceh Tenggara, menyusul gagalnya Komisi Independen (KIP) setempat untuk menetapkan hasil penghitungan suara pada pesta demokrasi yang berlangsung 11 Desember 2006, yang pada akhirnya menyisakan tanda tanya besar tentang keabsahan prosedural pengambilalihan tersebut. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat akan arti pentingnya peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah, maka penulis tertarik memilih dan menetapkan judul tentang ”Peran Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2006-2011)” untuk diteliti.
Universitas Sumatera Utara
B. Perumusan Masalah. Berdasarkan latar belakang sebagaimana dikemukakan diatas, maka penulis membuat perumusan masalah yang berkenaan dengan peranan KIP dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dalam lingkungan wilayah propinsi aceh, sebagai berikut: 1. Bagaimana peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan? 2. Bagaimana Mekanisme peneyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)? 3. Apa yang menjadi penyebab konflik pada pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2007-2012?
C. Tujuan Penelitian Sedangkan yang menjadi tujuan penelitian yang penulis lakukan adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui peranan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) dan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala Daerah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan. b. Untuk mengetahui Mekanisme peneyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD).
Universitas Sumatera Utara
c. Untuk mengetahui penyebab terjadinya konflik pada pemilihan umum kepala daerah Kabupaten Aceh Tenggara periode 2007-2012.
D. Manfaat Penelitian Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian yang penulis lakukan ini antara lain adalah sebagai berikut : 1. Secara teoritis. Hasil penelitian ini akan melahirkan beberapa konsep ilmiah yang pada gilirannya akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh. 2. Secara praktis. a. Sebagai pedoman dan masukan bagi Lembaga Hukum, Institusi Pemerintah dan Penegak Hukum dikalangan masyarakat luas. b. Sebagai bahan informasi bagi semua kalangan yang berkaitan dengan penegakan dan pengembangan ilmu hukum. c. Sebagai bahan kajian bagi kalangan akademis untuk menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum, khsususnya yang berkaitan dengan peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan serta penelusuran kepustakaan yang dilakukan, penelitian yang mengangkat judul tentang “Peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) Dalam Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dalam Lingkungan Wilayah Propinsi Aceh (Studi Kasus Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Periode 2006-2010)” ini belum pernah dilakukan baik dalam judul maupun permasalahan yang sama. Sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat saya pertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif dan terbuka serta dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis. Adapun beberapa judul penelitian yang mendekati yang pernah dilakukan sebelumnya adalah: Tesis Saudara Marudut Hasugian, dengan judul: “Pelaksanaan Pemilihan Presiden Berdasarkan Paradigma Demokrasi Konstitusional (Studi Mengenai Sidang Umum MPR 1999)”.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori a. Teori Kedaulatan Rakyat.
Universitas Sumatera Utara
Dalam teori ini terdapat 2 (dua) istilah yang terlebih dahulu harus dipahami maknanya, yakni: kedaulatan dan rakyat. Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang berlaku bagi seluruh wilayah dan rakyat negara tertentu. Sedangkan rakyat suatu negara adalah semua orang yang berada didalam wilayah negara dan tunduk kepada kekuasan negara. 6 Teori kedaulatan rakyat muncul pada zaman Renaissance yang mendasarkan hukum pada akal dan rasio. Dasar ini pada abad ke-18 Jeans Jacque Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu negara adalah ”perjanjian masyarakat” (contract social) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu negara. Adapun teori Jeans Jacque Rousseau tersebut dikemukakannya dalam bukum karangannya yang berjudul Le Contract Social. Teori ini menjadi dasar faham kedaulatan rakyat yang mengajarkan bahwa negara berstandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-peraturan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut. 7 Demokrasi
sebagai
asas
yang
dipergunakan
dalam
kehidupan
ketatanegaraan dewasa ini banyak dianut oleh negara-negara didunia, yakni suatu negara dengan sistem pemerintahan yang bersumber pada kedaulatan rakyat.
6 7
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1991), hlm. 109. Ibid, hlm. 110.
Universitas Sumatera Utara
Menurut paham kedaulatan rakyat, rakyat memerintah dan mengatur diri mereka sendiri (demokrasi). Hanya rakyat yang berhak mengatur dan menentukan pembatasan-pembatasan terhadap diri mereka sendiri. Oleh sebab itu dalam penyelenggaraan negara modern, keikutsertaan rakyat mengatur dilakukan melalui badan perwakilan yang menjalankan fungsi membuat undang-undang. 8 Hubungan antara rakyat dan kekuasaan negara sehari-hari lazimnya berkembang atas dasar dua teori, yaitu teori demokrasi langsung (direct democracy) dimana kedaulatan rakyat dapat dilakukan secara langsung dalam arti rakyat sendirilah yang melaksanakan kekuasaan tertinggi yang dimilikinya, serta teori demokrasi tidak langsung (representative democracy). Dizaman modern sekarang ini dengan kompleksitas permasalahan yang dihadapi, maka ajaran demokrasi perwakilan menjadi lebih populer. Biasanya pelaksanaan kedaulatan ini disebut sebagai lembaga perwakilan. 9 Oleh sebab itu menurut Sjahran Basah, kalaupun demokrasi langsung dimungkinkan terjadi pada masa yunani purba, hal itu disebabkan oleh karena: 1. Karena pengertian negara idntik dengan pengertian kota, dan yang dimaksud dengan kota pada waktu itu ialah hanya tempat sekitar itu saja, maka wilayah daerahnya terbatas sekali. 2. Dari segi jumlah penduduknya sebagai warga sebuah kota sudah tentu jumlahnya masih sedikit. 10
8
Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-Undangan Indonesia, (Jakarta: Hill. Co, 1992), hlm. 41. 9 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya Di Indonesia, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm. 70. 10 Sjahran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 83.
Universitas Sumatera Utara
Sejalan dengan realitas tersebut, maka ada beberapa sebab demokrasi langsung tidak dapat diterapkan, antara lain: 1. Pada umumnya wilayah suatu negara luas, dan kemungkinan tidak terdiri dari suatu daratan, melainkan terdiri atas banyak pulau-pulau. 2. Pada umumnya rakyat suatu negara sudah berjumlah besar. 3. Masalah negara yang bersifat politis, jumlahnya semakin meningkat dan kompleks serta rumit, sehingga rakyat awam (biasa) akan mendapatkan kesulitan apabila dimintai pendapatnya secara langsung (ditempat), untuk menilai dan menelaahnya, guna dipakai sebagai dasar untuk mengambil suatu keputusan, terutama bagi negara-negara yang tingkat pendidikan rakyatnya belum begitu maju. 11 Realitas tersebut menunjukkan bahwa ciri khas dari paham demokrasi (kedaulatan rakyat) adalah adanya pemerintahan yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, karena kekuasaan itu cenderung disalahgunakan disebabkan karena pada manusia itu terdapat banyak kelemahan dan jika hendak mendirikan negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasar atas aliran pikiran (staats idee) negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan dalam lapangan apapun. Seiring dengan itu, negara Indonesia juga menganut paham kedaulatan rakyat. Pemilik kekuasaan tertinggi yang sesungguhnya dalam negara Indonesia adalah rakyat. Kekuasaan itu harus disadari berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dalam sistem konstitusional berdasarkan
11
S. Toto Pandoyo, Ulasan Terhadap Beberapa Ketentuan UUD 1945, Proklamasi dan Kekuasaa MPR, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 66.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Dasar, pelaksanaan kedaulatan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi (constitutional democracy). Demokrasi tidak boleh hanya dijadikan hiasan bibir dan bahan retorika belaka. Demokrasi juga bukan hanya menyangkut pelembagaan gagasan-gagasan luhur tentang kehidupan bernegara yang ideal, melainkan juga merupakan persoalan tradisi dan budaya politik dan egaliter dalam realitas pergaulan hidup yang berkeragaman atau plural, dengan saling menghargai perbedaan satu sama lain. Oleh karena itu, perwujudan demokrasi haruslah diatur berdasar atas hukum. Perwujudan gagasan demokrasi memerlukan instrumen hukum, efektifitas dan keteladanan kepemimpinan, dukungan sistem pendidikan masyarakat, serta basis kesejahteraan sosial ekonomi yang berkembang makin merata dan berkeadilan. 12 Karena itu, prinsip kedaulatan rakyat (democracy) dan kedaulatan hukum (nomocracy) hendaklah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi dari mata uang yang sama. Untuk itulah, maka Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia hendaklah menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia itu adalah negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokratis yang berdasar atas hukum yang tidak terpisahkan satu 12
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
sama lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa Indonesia akan prinsip ke Maha-Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa. 13 Implementasinya dalam ketatanegaraan Republik Indonesia, UndangUndang Dasar 1945 telah menegaskan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia, yang pada hakekatnya menunjukkan mekanisme penyelenggaraan Negara Republik Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam penjelasan umum, yakni: 1. Indonesia adalah negara berdasar atas hukum. 2. Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi, tidak bersifat absolutisme. 3. Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. 4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara. 5. Presiden tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 6. Menteri negara adalah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Sendi demokrasi tersebut tidak hanya terdapat pada pemerintah pusat, tetapi juga harus direalisir dalam susunan pemerintahan daerah sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, yang menganut prinsip bahwa satuan pemerintahan tingkat daerah penyelenggaraannya dilakukan dengan memandang dan mengingat dasar dalam sistem pemerintahan negara. Prinsip ini menghendaki perwujudan keikutsertaan
13
Ibid, hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
masyarakat baik dalam ikut merumuskan kebijakan maupun mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. 14 B. Teori dan Sistem Pemilihan Umum. Pemilihan umum adalah merupakan institusi pokok pemerintahan perwakilan yang demokratis, karena dalam suatu negara demokrasi, wewenang pemerintah hanya diperoleh atas persetujuan dari mereka yang diperintah. Mekanisme utama untuk mengimplementasikan persetujuan tersebut menjadi wewenang pemerintah adalah melalui pelaksanaan pemilihan umum yang bebas, jujur dan adil, khususnya untuk memilih presiden / kepala daerah. Bahkan dinegara yang tidak menjunjung tinggi demokrasi sekalipun, pemilihan umum diadakan untuk memberi corak legitimasi kekuasaan (otoritas). 15 Oleh karena itu, pemilihan umum yang dituntut demokrasi bukanlah sembarang pemilihan umum, akan tetapi pemilihan umum dengan syaratsyarat tertentu. Pemilihan umum yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut hanyalah merupakan simbol belaka yang tidak banyak artinya bagi perkembangan demokrasi. Meskipun ketentuan perundang-undangan yang ada memang sudah memberikan syarat-syarat tersebut, sebagaimana misalnya istilah langsung, umum, bebas, rahasia yang bila dilaksanakan 14
Bagir Manan, Perjalanan Historis Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945, Perumusan dan Undang-Undang Pelaksanaannya, (Karawang: UNSIKA, 1993), hlm. 47. 15 Marzuki, Pengaruh Sistem Pemilihan Umum Terhadap Keterwakilan Politik Masyarakat Pada DPRD-DPRD Di Provinsi Sumatera Utara, Studi Konstitusional Peran DPRD Pada Era Reformasi Pasca Pemilu 1999, Disertasi, (Program Pasca Sarjana USU: Medan, 2007), hlm. 143.
Universitas Sumatera Utara
sesuai arti yang terkandung didalamnya sudah menjamin terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis, akan tetapi yang diperlukan adalah meningkatkan kualitas pemilihan umum dari pemilihan umum ke pemilihan umum, sehingga pemilihan umum yang diadakan semakin lama semakin baik. Dengan
demikian,
pemilihan
umum
yang
demokratis
haruslah
diselenggarakan dalam suasana keterbukaan, adanya kebebasan berpendapat dan berserikat, atau dengan perkataan lain pemilihan umum yang demokratis harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
Sebagai aktualiasi dari prinsip keterwakilan politik. Aturan permainan yang fair. Dihargainya nilai-nilai kebebasan. Diselenggarakan oleh lembaga yang netral atau mencerminkan berbagai kekuatan politik secara proporsional. 5. Tiadanya intimidasi. 6. Adanya kesadaran rakyat tentang hak politiknya dalam pemilihan umum. 7. Mekanisme pelaporan hasilnya dapat dipertanggungkawabkan secara moral dan hukum. 16
Dalam hubungan yang demikian, maka pemilihan umum sangat erat kaitannya dengan sistem pemilihan umum (electoral system). Akan tetapi, berkaitan dengan electoral system tersebut harus dibedakan antara electoral laws dengan electoral process. Didalam ilmu kepemiluan yang disebut dengan electoral laws adalah proses pembentukan pemerintahan melalui pilihan sistem pemilihan umum yang diartikulasikan kedalam suara, dan 16
Rusli M. Karim, Pemilu Demokratis Kompetitif, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), hlm. 37.
Universitas Sumatera Utara
kemudian suara tersebut diterjemahkan kedalam pembagian kewenangan pemerintahan diantara partai politik yang bersaing. 17 Berdasarkan pandangan yang demikian, electoral laws berkenaan dengan sistem pemilihan dan aturan yang menata jalannya pemilihan umum serta distribusi hasil pemilihan umum. Dalam kaitan ini sistem pemilihan umum adalah rangkaian aturan yang menurutnya pemilih mengekspresikan prefensi politik mereka, dan suara pemilih diterjemahkan menjadi kursi. Defenisi ini mengisyaratkan bahwa sistem pemilihan umum mengandung elemen-elemen struktur kertas suara dan cara pemberian suara, besar distrik serta penerjemahan suara menjadi kursi. Dengan demikian hal-hal seperti administrasi pemilihan umum dan hak pilih, walaupun penting berada diluar lingkup pembahasan sistem pemilihan umum. 18 Sedangkan electoral process adalah menyangkut mekanisme yang dijalankan didalam mengelola pemilihan umum, mulai dari pendaftaran pemilih, pencalonan, kampanye (baik yang menyangkut isi, tema, prosedur, dan teknik) pemberian suara, serta penghitungan suara. 19 Berkenaan dengan pemilihan umum, Soeharto dalam buku Otobiografi ”Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya”, mengemukakan:
17
Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, Pemilu dan Lembaga Perwakilan Dalam Ketatanegaraan Indonesia, (Yogyakarta: Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 1992), hlm. 31. 18 Ibid, hlm. 33. 19 Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum, Suatu Himpunan Pemikiran, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 72.
Universitas Sumatera Utara
Pemilu bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai alat untuk menyehatkan kehidupan demokrasi kita. Saya menyadari untuk menyehatkan kehidupan demokrasi itu, pemilu memang bukan merupakan satu-satunya alat. Meskipun demikian, pemilu adalah alat yang paling penting, yang sesuai dengan keinginan hati nurani kita semua. Justeru melalui pemilu inilah rakyat sendiri dapat secara langsung aktif memilih wakilnya yang dipercaya. 20 Didalam sistem pemiliha umum, paling tidak terdapat 3 (tiga) elemen sebagai berikut: 21 Pertama, besar distrik, yang dimaksud dengan distrik adalah wilayah geografis suatu negara yang batas-batasnya dihasilkan melalui suatu pembagian untuk tujuan pemilihan umum. Dengan demikian luas sebuah distrik dapat sama besar dengan wilayah administrasi pemerintahan, dapat pula berbeda. Oleh karena itu besar distrik adalah banyaknya anggota lembaga perwakilan yang akan dipilih dalam suatu distrik pemilihan. Besar distrik bukan berarti jumlah pemilih yang ada dalam distrik tersebut. Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat dibedakan menjadi distrik beranggota tunggal (single member distric) dan distrik beranggota jamak (nulty member distric). Kedua, struktur kertas suara, yaitu cara penyajian pilihan diatas kertas suara. Cara penyajian pilihan ini menentukan pemilih dalam memberikan suara. Jenis pilihan dapat dibedakan menjadi 2(dua), yaitu kategorikal,
20
G. Dwipanaya dan Ramadhan, K.H., Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Otobiografi), (Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hlm. 261. 21 Benjuino Theodore, Sistem Pemilihan Umum: Sebuah Perkenalan, http://www.geocities.com/benjuinotm/artikel/sistem pemilu-index.html, hlm 3-7.
Universitas Sumatera Utara
dimana pemilih hanya memilih satu partai atau calon, dan ordinal, dimana pemilih mempunyai kebebasan lebih dan dapat menentukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang diinginkannya. Kemungkinan lain adalah gabungan dari keduanya. Ketiga, electoral formula, adalah bahagian dari sistem pemilihan umum yang berhubungan dengan penerjemahan suara menjadi kursi. Termasuk didalamnya rumus yang digunakan untuk menerjemahkan perolehan suara menjadi kursi, serta ambang batas pemilihan (electoral threshold). Pemilihan umum sebagai salah satu dalam mewujudkan pemerintahan yang demokratis, tentunya dengan sendirinya akan membawa konsekuensi adanya berbagai sistem pemilihan umum yang berbeda satu sama lain berdasarkan sudut pandang terhadap rakyat, sehingga pemilihan umum dibedakan atas 2 (dua) macam: 1. Sistem Pemilihan Mekanis. Sistem pemilihan mekanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang sama. Individu-individu inilah sebagai pengendali hak pilih aktif dan memandang rakyat (korps) pemilih sebagai suatu massa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara (suara dirinya sendiri) dalam setiap pemilihan. Menurut sistem pemilihan umum mekanis, partai-partai yang mengorganisir pemilih-pemilih dan memimpin
Universitas Sumatera Utara
pemilih berdasarkan sistem be party, multy party, atau uny party, sehingga partai politik merupakan bahagian yang tak terpisahkan dari sistem ini. 22 Sejalan dengan pandangan tersebut, Jean Blondel mengemukakan dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum dengan berbagai variasinya, akan tetapi umumnya berkisar pada 2 (dua) prinsip pokok, yaitu: Pertama, single member constituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil, biasanya disebut sistem distrik). Kedua, multy member contituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil, biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional). 23 a. Sistem distrik (single member constituency). Sistem ini merupakan system pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang tercakup) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Didalam sistem ini, satu wilayah kecil (yaitu distrik pemilihan) memilih satu wakil tunggal (single member constituency) atas dasar pluralitas. Kondisi pluralitas terjadi. Kondisi pluralitas dapat terjadi apabila sejumlah partai atau calon mampu memperoleh suara yang lebih banyak atau besar dibandingkan dengan saingannya yang terkuat, sekalipun tidak berarti bahwa partai atau calon
22
Moh. Koesnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: CV. Sinar Bakti, 1983), hlm. 333. 23 Miriam Budiarjo, Demokrasi Di Indonesia, Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 244.
Universitas Sumatera Utara
tersebut memperoleh suara paling banyak dibandingkan dengan kombinasi suara lawan-lawannya. 24 Secara umum, sistem distrik memiliki prosedur pemilihan yang dapat memaksimalkan perwujudan kedaulatan rakyat. Pemilihan anggota badan perwakilan lebih banyak ditentukan oleh pemilih, bukan partai yang menentukan calonnya, melainkan rakyat. Partai politik yang menjadi cantolan seorang calon anggota badan perwakilan lebih banyak berperan sebagai fasilitator daripada penentu kebijakan, sehingga asfek representasinya lebih kuat. 25 Secara teoritis sistem distrik (isingle member constituency) ini memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut: 26 1. Anggota lembaga perwakilan rakyat yang terpilih akan benarbenar memperjuangkan kepentingan rakyat, terutama didaerah pemilihannya (distrik) karena wakil yang terpilih merupakan kehendak sepenuh rakyat. Pendapat ini diperkuat karena masyarakat tidak hanya memilih partai, tetapi memilih langsung nama calon anggota lembaga perwakilan rakyat. 2. Sistem ini akan lebih mendekatkan anggota lembaga perwakilan rakyat dengan masyarakat pemilihnya. Karena itu integritas dan kualitas personal akan menjadi prioritas. Posisi demikian lebih menguatkan anggota lembaga perwakilan rakyat lebih dekat dan lebih dikenal pemilih. 3. Dalam hubungannya antar lembaga perwakilan rakyat dengan partai politik tidak lagi dalam posisi dominan dalam menentukan calon. Karena pertimbangan pemilih akan lebih pada kualitas, integritas dan popularitas calon itu didaerah pemilihan (distrik). 4. Dalam hubungannya dengan sistem kepartaian, sistem pemilihan ini mendorong bersatunya partai-partai politik, karena calon yang terpilih hanya satu, maka berbagai partai politik dipaksa atau terpaksa bergabung untuk mencalonkan seseorang yang memiliki kualitas, integritas dan popularitas diantara calon-calon lain, sehingga akan mengakibatkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai politik.
24
Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, op. cit, hlm. 33. Abdul Bari Azed, op.cit, hlm. 132. 26 Dahlan Thaib dan Ni’matul Huda, op.cit, hlm. 24-25. 25
Universitas Sumatera Utara
5. Dalam hubungannya dengan organisasi penyelenggaraan pemilihan umum, dengan sistem ini lebih sederhana, tidak perlu memakai banyak orang untuk duduk dalam panitia pemilihan, juga biaya lebih murah dan perhitungan suara lebih cepat, karena tidak perlu menghitung suara yang terbuang. Namun demikian, patut disadari pemilihan dengan sistem distrik juga mengandung berbagai kelemahan, diantaranya: 27 1. Sistem ini mengakibatkan tidak terhindarkannya marginalisasi partai-partai kecil dan golongan minoritas.. Keterwakilan partai kecil dalam lembaga perwakilan akan tidak bersifat proporsional dibanding jumlah total suara yang diperoleh partai itu secara nasional. Demikian juga dengan golongan minoritas, apalagi terpencar dalam distrik yang berbeda. 2. Sistem distrik ini juga cenderung mengabaikan suara rakyat yang memilih calon yang kalah. Artinya jika seseorang memenangkan pemilihan disuatu distrik dengan angka 52 persen, maka suara 49 persen sisanya tidak diperhitungkan sama sekali. Akibatnya tanpa komitmen yang kuat pada demokrasi, kemenangan seorang calon dari suatu partai belum tentu mewakili aspirasi murni masyarakat pemilih didistriknya, yang pada gilirannya setelah terpilih, siwakil rakyat akan cenderung menempatkan para pemilih partai kalah pada posisi tak terwakili. 3. Sistem ini dapat menimbulkan kecenderungan bahwa wakil rakyat yang bersangkutan akan lebih memperhatikan kepentingan rakyat pemilih di distrik yang bersangkutan daripada kepentingan nasional yang lebih luas. 4. Dalam masyarakat yang heterogen atas dasar ras, suku, dan agama, sistem ini dianggap kurang efektif. Karena itu, ada anggapan bahwa sistem ini memerlukan prasyarat adanya suatu kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologi dan etnis. Namun sebaliknya, kekurangan yang terakhir ini, dapat pula disebut sebagai kelebihan atau keuntungan dari sistem distrik, yaitu dalam kondisi masyarakat yang sangat heterogen, penerapan sistem ini dalam 27
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah Dan Parlemen Dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996), hlm. 29-30.
Universitas Sumatera Utara
jangka panjang dapat membantu untuk mengintegrasikan berbagai potensi yang beraneka ragam itu. Pada tingkat nasional, wakil-wakil rakyat di parlemen akan benar-benar mencerminkan keberagaman etnis, suku, agama, geografis, dan bahkan tingkat sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini tentu sejalan dengan prinsip Bhineka Tunggal Ika yang menjadi falsafah hidup bangsa Indonesia sejak dahulu. 28 b. Sistem proporsional (multy member constituency). Sistem ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik. Sistem perwakilan proporsional ini adalah sistem dimana presentase kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagikan kepada tiap-tiap partai politik disesuaikan dengan presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Apabila sebuah partai besar memperoleh suara 40 persen, maka partai tersebut harus mendapatkan kursi 40 persen, demikian juga dengan sebuah partai kecil dengan 10 persen suara haru mendapat 10 persen kursi. 29 Oleh karena itu dalam sistem ini, masyarakat pemilih dibagi dalam beberapa unit besar wilayah dalam suatu negara. Suatu wilayah negara merupakan suatu daerah pemilihan, maka sisa suara disuatu daerah dapat ditambahkan dengan suara yang diperoleh dari daerah lain (stembus 28
Ibid. Peter Harris dan Ben Reilly, Demokrasi dan Konflik Yang Mengakar : Sejumlah Pilihan Untuk Negosiator, (Jakarta: International IDEA, 2000), hlm. 197. 29
Universitas Sumatera Utara
accord), sehingga besar kemungkinan setiap organisasi peserta pemilihan umum memperoleh kursi atau wakil diparlemen. Sistem perwakilan berimbang ini dikombinasikan dengan beberapa prosedur lain, diantaranya dengan sistem daftar (list system). Sistem daftar banyak variasinya, tetapi pada umumnya dalam sistem daftar setiap partai atau golongan mengajukan satu daftar calon dan si pemilih memilih satu partai dengan semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang diperebutkan. 30 Oleh karena itu, dalam tataran teoritis, sistem ini mengandung beberapa kelebihan, diantaranya: 31 1. Dalam hubungan antara anggota lembaga perwakilan rakyat yang terpilih dengan partai politik, sistem ini dianggap lebih representatif, karena jumlah kursi partai dalam parlemen sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya dari masyarakat dalam pemilihan umum. 2. Dalam hubungannya dengan suara para pemilih, sistem ini dipandang lebih demokratis, dalam arti lebih egalitarian karena asas one man one vote dilaksanakan secara penuh, praktis tanpa ada suara yang hilang. Implikasinya, semua kelompaok dalam masyarakat, termasuk kelompok minoritas mempunyai peluang untuk terwakili dalam parlemen, sehingga dianggap memenuhi asas keadilan (sense of justice). 3. Sistem ini tidak ada distorsi, dalam arti tidak ada suara yang terbuang, melainkan dapat digabungkan dengan suara dari daerah pemilihan lainnya.
30
Saifullah Yusuf dan Fahruddin Salim, Pergulatan Indonesia Membangun Demokrasi, (Jakarta: Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor, 2000), hlm. 107. 31 Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. 225-226.
Universitas Sumatera Utara
Akan tetapi juga, sistem ini mengandung berbagai kelemahan atau kekurangan, diantaranya sebagai berikut: 32 1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai politik, sehingga mengakibatkan timbulnya partai politik baru. Oleh karena itu, sistem ini tidak menjurus kepada integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat, melainkan kecenderungan untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk memanfaatkan persamaan-persamaan. 2. Wakil yang terpilih kemungkinan renggang ikatan dengan warga yang telah memilihnya, baik karena luasnya wilayah pemilihan sehingga sulit untuk dikenal banyak orang maupun karena dominannya peran partai dari pada kualitas, integritas dan popularitas seseorang, sehingga wakil yang terpilih lebih terikat kepada partai politik yang mencalonkan dan kurang loyalitas kepada masyarakat yang memilihnya. 3. Banyaknya partai politik mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, lebih-lebih dalam sistem pemerintahan parlementer. Hal ini disebabkan karena pembentukan pemerintahan atau kabinet harus didasarkan atas kerjasama (koalisi) antar dua partai politik atau lebih.
2. Sistem Pemilihan Organis. G.Y. Wolhoff , mengemukakan: Dalam sistem organis rakyat dipandang sebagai sejumlah individuindividu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup seperti genealogi (rumah tangga), iteritorial (desa, kota, daerah), fungsional spesial (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendikiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite organisme itu. Berdasarkan pandangan ini persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakan sebagai pengendali hak pilih, atau dengan perkataan lain sebagai pengendali untuk mengutus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat. 33 32
Ibid. Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Di Indonesia, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), hlm. 171. 33
Universitas Sumatera Utara
Dalam
sistem
pemilihan
organis
ini
partai-partai
tidak
perlu
dikembangkan, karena pemlihan diselenggarakan dan dipimpin oleh setiap persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri. Dengan demikian dalam sistem organis hak suara terletak pada kelompok. Badan perwakilan menurut sistem organisme ini didasarkan pada pengangkatan, sehingga bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup yang biasa disebut Dewan Korporatif. 34 Oleh karena itu, dalam sistem ini yang melalui persekutuan hidup, mungkin ada pemilih, mungkin juga tidak, tetapi itu tidak penting, karena yang terpenting adalah persekutuan-persekutuan hidup ini mengirimkan wakil-wakilnya ke lembaga perwakilan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan atau yang disepakati dalam undang-undang negara yang bersangkutan. 35 Berdasarkan pandangan yang demikian, kedudukan lembaga perwakilan ini agak lemah karena hanya didasarkan pada persekutuan hidup, sehingga pada umumnya apabila lembaga ini hendak menetapkan undang-undang yang menyangkut hak-hak rakyat, meskipun undang-undang tersebut telah disetujui lembaga perwakilan, akan tetapi baru berlaku setelah disetujui oleh rakyat melalui referendum. 36
34
Abdul Bari Azed, op.cit, hlm. 8. Bintan R. Saragih, op.cit, hlm. 172. 36 Ibid. 35
Universitas Sumatera Utara
Dinegara yang menganut susunan perwakilan rakyat bikameral, beberapa negara menggunakan gabungan sistem pemilihan organis dan sistem pemilihan mekanis, seperti halnya di Inggris perwakilan itu dinamakan parliement, yang terdiri atas house of lord dan house of commons. Anggotaanggota house of lord lebih berdasarkan kedudukan misalnya bangsawan, pemuka-pemuka agama, hakim-hakim tinggi. Sedangkan house of commons terdiri dari wakl-wakil yang dipilih langsung oleh rakyat. 37 Di Indonesia dalam rangka Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen ke empat, keanggotaan Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri atas lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum, terdapat juga Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang didasarkan pada pengangkatan. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pemilihan umum 2004, masih terdapat anggota yang diangkat yaitu dari Fraksi ABRI.
2. Kerangka konsepsi. Atas dasar kerangka teori yang dipaparkan diatas, maka dapat diartikan terhadap istikah-istilah yang terdapat dalam penelitian ini, yaitu: Komisi Independen Pemilihan (KIP) adalah adalah KIP Aceh dan KIP Kabupaten/Kota yang merupakan bagian dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk menyelenggarakan pemilihan Presiden/Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan 37
M. Solly Lubis, Asas-Asas Hukum Tata Negara, (Bandung: Alumni, 1980), hlm. 78.
Universitas Sumatera Utara
Perwakilan
Daerah,
Anggota
DPRA/DPRK,
Gubernur/Wakil
Gubernur,
Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota (Pasal 1 angka 16 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah semua kegiatan pemilihan yang meliputi tahapan persiapan pemilihan, pendaftaran pemilih, penetapan pemilih, pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan, penetapan pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota (Pasal 1 angka 13 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur,
Bupati/Wakil
Bupati
dan
Walikota/Wakil
WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing (Pasal 1 angka 2 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil
Universitas Sumatera Utara
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam). Pemerintahan Kabupaten/Kota adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pemerintah Kabupaten/Kota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan fungsi dan kewenangan masingmasing (Pasal 1 angka 3 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil
Gubernur,
Bupati/Wakil
Bupati
dan
Walikota/Wakil
WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).
G Metode Penelitian Metode penelitian berisi uraian tentang metode atau cara yang penulis gunakan untuk memperoleh data atau informasi. Metode penelitian berfungsi sebagai pedoman dan landasan tata cara dalam melakukan operasional penelitian untuk menulis suatu karya ilmiah yang penulis lakukan. Sesuai dengan permasalahan yang diangkat dan untuk menjawab tujuan penelitian, maka dalam metode penelitian ini langkah-langkah yang dipergunakan sebagai berikut: a. Spesifikasi Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif menurut Ronald Dworkin disebut juga penelitian doctrinal
Universitas Sumatera Utara
(doctrinal research), yaitu suatu penelitian yang menganalisi baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagai law as it by the judge through judicial process. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, 38 artinya bahwa penelitian ini menggambarkan bagaimana suatu ketentuan hukum dalam konteks teori-teori hukum yang dalam pemaparannya menggambarkan tentang berbagai persoalan yang berkaitan dengan peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh. . Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara melakukan penelaahan terhadap bahanbahan hukum yang bersumber dari data primer dan data sekunder. b. Alat Pengumpul Data. Dalam melakukan pengumpulan data, dilakukan 2 (dua) cara yaitu : a. Penelitian kepustakaan (library research) dengan instrument penelitian dokumentasi kepustakaan, artinya bahwa Penulis dalam mengkaji persoalan yang berhubungan dengan permasalahan diatas bersumber pada literatur-literatur yang relevan dengan permasalahan tersebut dengan sumber hukum primer yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Selain sumber hukum primer tersebut Penulis juga akan merujuk pada sumber hukum sekunder berupa tulisan-tulisan, baik dalam bentuk buku
38
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 12.
Universitas Sumatera Utara
maupun artikel yang mengandung komentar maupun analisis tentang peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh dan disamping itu juga Penulis menggunakan sumber hukum tertier seperti ensiklopedi, kamus, dan lain-lain yang relevan dengan pokok permasalahan sebagai pendukung terhadap 2 (dua) rujukan yang telah disebutkan sebelumnya. b. Penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan dilakukan guna memperoleh data primer tentang peranan Komisi Independen Pemilihan (KIP) dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dalam lingkungan wilayah Propinsi Aceh. Data ini diperoleh melalui wawancara dengan informan yang merupakan narasumber yang terkait dengan penelitian, seperti: 1. Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Tenggara.. 2. Bupati Kabupaten Aceh Tenggara. 3. Analisis Data. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Data dalam penelitian ini dikumpulkan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field research). Secara umum
Universitas Sumatera Utara
data dari pokok bahasan diawali dengan pengecekan data, inventarisasi bukubuku, peraturan perundang-undangan serta hasil dari penelitian lapangan. Berdasarkan analisis terhadap pokok bahasan tersebut diatas, maka dapat dilakukan interpretasi dengan menggunakan metode interpretasi yang dikenal dalam ilmu hukum. Hasil dari interpretasi yuridis ini diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini secara holistic.
BAB II PERANAN KOMISI INDEPENDEN PEMILIHAN (KIP) DAN KOMISI PEMILIHAN UMUM DAERAH (KPUD) DALAM PENYELENGGARAAN PEMILIHAN UMUM KEPALA DAERAH DIATUR DALAM BEBERAPA PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN
Salah satu agenda yang penting dalam proses perubahan politik adalah menyelenggarakan pemilihan umum. Makna pemilihan umum yang paling esensial bagi suatu kehidupan politik yang demokratis adalah sebagai institusi untuk melakukan perebutan kekuasaan (pengaruh) yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika sehingga sirkulasi elit politik (pergantian kekuasaan) dapat dilakukan secara damai dan beradab. Lembaga tesebut adalah produk dari pengalaman sejarah umat manusia dalam mengelola kekuasaan dimana kedaulatan rakyat menjadi sumber kekuasaan itu sendiri. Dalam bahasa yang
Universitas Sumatera Utara