1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang, sedangkan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila, demi terselengaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Istilah memutus perkara berkaitan dengan putusan pengadilan yang berarti pernyataan hukum yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.1 Kekuasaan kehakiman ketentuannya diatur dalam undang-undang no. 14 tahun 1970, undang-undang no. 2 tahun 1986 tentang peradilan umum dan undang-undang no. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Undang-undang no. 14 tahun 1970 merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, agama, militer dan Tata Usaha Negara, sedang masing-masing peradilan masih diatur dalam undang-undang tersendiri.2
1
Tutik Triwulan Tutik,, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Kencana Prenada Media Group Jakarta 2008, cet. 1 h. 313 2 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Ke-6, Liberti, Yogyakarta 1998 , cet. 1 h.18
2
Asas obyektivitas atau tidak memihaknya pengadilan terdapat dalam pasal 5 ayat 1 undang-undang no. 14 tahun 1970. Di dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, hakim harus obyektif dan tidak boleh memihak untuk menjamin asas ini bagi pihak yang di adili dapat mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya, yang disebut hak ingkar (recusatie, wraking : pasal 28 ayat 1 UU no. 14 Tahun 1970).3 Dalam nomokrasi islam, hakim memiliki kedudukan yang bebas dari pengaruh siapapun. Hakim bebas pula menentukan dan menetapkan putusannya. Bahkan ia memiliki suatu kewenangan untuk melakukan ijtihad dalam menegakkan hukum.4 Putusan hakim harus mencerminkan rasa keadilan terhadap siapapun. Seorang yuris islam terkenal Abu hanifah berpendapat bahwa kekuasaan kehakiman harus memiliki kebebasan dari segala macam bentuk tekanan dan campur tangan kekuasaan eksekutif, bahkan kebebasan tersebut mencakup pula wewenang hakim untuk menjatuhkan putusannya pada seorang penguasa apabila ia melanggar hak-hak rakyat.5 Adapun tentang sikap hakim, maka seyogianya seorang hakim mengarahkan
3
pandangan,
banyak
diam,
sedikit
bicara
dengan
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia……… h. 19 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu studi tentang prinsip-prinsipnya di lihat dari segi hokum islam, implementasinya pada periode Negara madinah dan masakini. Prenada Media, Jakarta 2003, cet. 1 h. 145 5 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum suatu studi tentang prinsip-prinsipnya di lihat dari segi hokum islam, implementasinya pada periode Negara madinah dan masakini…………….. h. 144 4
3
membatasinya dalam Tanya jawab, dan tidak menjelaskan suara kecuali untuk memperingatkan. Juga sedikit gerakan dan isyarat.6 Sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan. Tujuan dari pada asas-asas ini tidak lain untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair, tidak memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat. Asas ini di jelaskan dalam pasal 17 dan 18 undang-undang no. 14 Tahun 1970.7 Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya sengketa. Putusan mengikat kepada kedua belah pihak. Putusan mempunyai kekuatan pembuktian sehingga putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan eksekusi. Putusan harus diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 60 uu no. 7 tahun 1989). Dengan adanya putusan yang diucapkan oleh majelis hakim berarti telah mengakhiri suatu perkara atau sengketa para pihak karena ditetapkan hukumnya siapa yang benar dan siapa yang tidak benar.8
6
Samir Aliyah. Sistem Pemerintahan Peradilan & Adat Dalam Islam. Diterjemahkan oleh: Asmuni Solihan Zamarkhsyari, Lc. Pustaka Al-kautsar Grup Jakarta 2004, cet. 1 h. 440 7 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia……… h. 14 8 Abdullah Tri Wahyudi S.Ag. SH, Peradilan Agama di Indonesia, Pustaka pelajar ; Jakarta 2004., cet. I h. 167-168
4
Hakim sebagai organ pengadilan di anggap memahami hukum pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara.9 Kewajiban dan tanggung jawab hakim formal yuridis terutama bersumber dari undang- undang tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (uu. No. 14 tahun 1970). Melalui Bab IV pasal 27-29 UU no. 14 tahun 1970 diatur hal-hal yang berkaitan dengan hakim dan kewajibannya sedangkan pasal 4 ayat (1) dari undang-undang yang sama tersirat adanya tanggung jawab hakim.10 Sikap hakim dalam persidangan, yaitu : 1. Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku. 2. Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau antipati terhadap pihak-pihak yang berperkara. 3. Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan. 4. Harus menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan. 11
9
A. Qodri Azizy, Elektisisme Hukum Nasional, Gama Media offset,Yogyakarta 2002, cet. I, h. 216 10 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman R.I, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, cet. I, h. 10 11 As’ad Sungguh, Etika Professi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta 2005, cet. II, h. 56
5
Pasal 17 ayat 1 UU No. 4 Th. 2004 yang berbunyi : Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.12 Dari uraian di atas, maka penulis sengaja mengangkat judul PUTUSAN HAKIM TUNGGAL DALAM PERSIDANGAN MENURUT UU KEKUASAAN KEHAKIMAN DAN HUKUM ISLAM B. Rumusan Masalah Untuk memperjelas arah pembahasan serta guna memfokuskan analisis, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan untuk diangkat dalam skripsi ini: 1.Bagaimana putusan hakim tunggal dalam persidangan menurut undangundang Kekuasaan Kehakiman. 2.Bagaimana putusan hakim tunggal dalam persidangan menurut hukum islam. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini ada beberapa tujuan yang hendak dicapai,yaitu antara lain : 1.Untuk mengetahui putusan hakim tunggal dalam persidangan menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman. 2.Untuk mengetahui putusan hakim tunggal dalam persidangan menurut hukum islam. 3.
Adapun kegunaannya sebagai berikut : 12
Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 4 Th. 2004
6
1. Untuk memenuhi tugas dan melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I). 2. Untuk memberikan kontribusi keilmuan dalam bidang hukum pada umumnya dan hukum acara peradilan pada khususnya. D. Telaah Pustaka Pustaka tentang putusan hakim tunggal dalam persidangan, kami akan paparkan pustaka yang berkaitan langsung dengan permasalahan penulisan skripsi ini. Pertama, Himpunan undang-undang peradilan yang diterbitkan oleh sinar grafika. Dalam pustaka tersebut di jelaskan mengenai undangundang yang mengatur peradilan yang ada di Indonesia. Yang di kuatkan oleh pasal 24 ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. “kekuasaan kehakiman dalam pasal 24 ayat (1) UUD 1945 adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila demi terselenggaranya Negara hukum indonesia”. Kedua, di dalam buku yang berjudul pokok-pokok hukum acara perdata agama dan mahkamah syari’ah di Indonesia. Yang di tulis oleh Drs. M. Fauzan, S.H., MM. yang menjelaskan mengenai Asas-asas hukum dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, pasal-pasal cara mengajukan gugatan dan penerimaan perkara, pasal yang berkaitan acara putusan gugur, verstek, verzet, dan perdamaian pemeriksaan perkara
7
perdata di persidangan hukum pembuktian dan alat-alat bukti, acara pengambilan keputusan dan upaya hukum banding. Ketiga, di dalam bukunya Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqy yang berjudul Peradilan dan Hukum Acara Islam. Di terbitkan oleh Pustaka Rizki Putra Semarang, yang di dalamnya di jelaskan mengenai pengertian peradilan islam dan asas-asas peradilan dan hukum acara islam. Keempat, di dalam bukunya H. Muhammad Tahir Az hary, SH yang berjudul; Negara Hukum suatu studi tentang prinsip-prinsipnya di lihat dari segi hukum islam, implementasinya pada periode Negara Madina dan masa kini. Di terbitkan oleh prenada media Jakarta. Yang di dalamnya di jelaskan mengenai hakim memiliki kedudukan yang bebas dari pengaruh siapapun dan bebas dalam menentukan kewenangannya untuk melakukan ijtihad dalam menegakkan hukum. Kelima, Di dalam bukunya Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S. H, yang berjudul Hukum Acara Perdata yang diterbitkan oleh Liberti Yogyakarta. Yang membahas tentang asas-asas hukum acara perdata, kekuasaan kehakiman, cara mengajukan tuntutan hak, pemeriksaan di persidangan, pembuktian, putusan, dan pelaksanaan putusan. Keenam, Di dalam bukunya Dr. Samir Aliyah yang berjudul Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat Dalam Islam, yang di terbitkan oleh Pustaka Al-kautsar Grup Jakarta. Di dalamnya dijelaskan mengenai
8
sistem pemerintahan adat yang berkaitan dengan hukum acara peradilan islam, yang mencakup asas-asas hukum acara peradilan dalam islam. Ketujuh, Di dalam bukunya Ibnu Qoyyim al-jauziyah yang berjudul Hukum Acara peradilan Islam. Yang di terbitkan oleh Pustaka Pelajar Yogyakarta, di dalamnya di jelaskan mengenai hukum acara peradilan islam yang mencakup asas-asas hukum acara peradilan islam yang meliputi hukum-hukum perdata islam. Kedelapan, Di dalam bukunya Titik Triwulan Tutik, S. H. M. H, yang berjudul hukum perdata dalam sistem hukum nasional. Di terbitkan oleh Kencana Prenada Media Group. Di dalamnya di jelaskan mengenai pelaksanaan kewenangan pengadilan itu hanya dapat dilakukan dalam kerangka menegakkan hukum, undang-undang, kebenaran, dan keadilan masyarakat serta keadilan terdakwa itu sendiri. E. Kerangka Teori Penelitian ini adalah suatu penelitian yang berbeda dengan yang sebelumnya. Untuk itu saya paparkan sebuah kerangka teori yang bertujuan untuk membantu menjawab suatu permasalahan yang ada. Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus di adakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukannya para hakim, kedudukan para hakim yang dimaksud di atas telah di atur dalam
9
undang-undang
tentang
ketentuan-ketentuan
pokok
kekuasaan
kehakiman.13 Petunjuk-petunjuk oleh ketua majelis hakim kepada para pihak agar tercapai persidangan yang sederhana dan cepat, yang terdapat dalam pasal 132 HIR/156 R.Bg. Bahwasanya : “Jika menurut pertimbangan ketua supaya perkara berjalan dengan baik, dan teratur, ketua berwenang pada waktu memeriksa perkara memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menunjukkan kepada mereka tentang upaya hukum dan alat bukti yang dapat dipergunakan oleh mereka.14 Pasal 17 undang-undang kekuasaan kehakiman No. 4 Th. 2004 menyatakan; 1. Semua peradilan memeriksa, mengadili,dan memutus dengan sekurangkurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain. 2. Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang. 3. Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera. 4. Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang-undang menentukan lain.15
13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta 2004, cet. 3, h.
95 14
Fauzan, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah. Prenada Media, Jakarta 2005, cet. 1, h. 32 15 UNDANG-UNDANG KEKUASAAN KEHAKIMAN (UU No. 4 Th. 2004)
10
Pasal 99 UU No. 5 tahun 1986 1. Pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan dengan hakim tunggal 2. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat 1 dikabulkan, ketua pengadilan dalam jangka waktu tujuh hari setelah dikeluarkannya penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 98 ayat 2 menentukan hari, tempat, dan waktu sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 63. 3. Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi kedua belah pihak masing-masing ditentukan tidak melebihi 14 hari. Pasal-pasal di atas menyatakan bahwa, bila terdapat kepentingan penggugat yang dianggap cukup mendesak, maka penggugat dapat memohon pengadilan dalam gugatannya untuk memeriksa sengketa tersebut dengan menggunakan acara cepat (pasal 98 UU No. 5 tahun 1986). Biasanya pemeriksaan dengan acara cepat dilakukan oleh hakim tunggal. Hal-hal yang dipercepat tidak terbatas hanya menyangkut pemeriksaan saja, melainkan juga tercakup pembuktian dan penjatuhan putusan. Terhitung setelah tujuh hari sejak dikeluarkannya penetapan dengan beracara cepat, ketua pengadilan harus sudah menentukan hari, tanggal, dan tempat pemeriksaan sidang, tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan.16
16
M. Nasir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. ……….h.132-133
11
Pasal 11,14,18 Undang-undang Peradilan Anak No. 3 Tahun 1997 bahwasannya hakim pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi adalah 1. Hakim memeriksa dan memutus perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal. 2. Dalam hal tertentu dan di pandang perlu, ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan pemeriksaan perkara anak dilakukan dengan hakim majelis. 3. Hakim dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh seorang panitera atau seorang panitera pengganti.17 Tugas-tugas qadla (lembaga peradilan) ialah; menampakkan hukum agama, bukan menetapkan sesuatu hukum; karena hukum telah ada dalam hal yang dihadapi oleh hakim. Hakim hanya menerapkannya kedalam alam kenyataan, bukan menetapkan sesuatu yang belum ada.18 Mempertahankan persamaan perlakuan antara pihak berperkara di pengadilan juga dituntut bahkan dalam hal tempat duduk mereka di ruang pengadilan. Tidak boleh ada salah satu pihak yang duduk lebih dekat dengan hakim dari pihak yang lain. Jika salah satu pihak duduk sejajar dengan hakim atau lebih dekat dengannya, pihak lainnya akan meragukan ketidak berpihakan hakim dalam menangani kasusnya. Oleh karena itu,
17
Undang-undang Peradilan anak (UU N0. 3 Th. 1997) Teungku Muhammad Hasbi Ash Shidieqy.Peradilan Dan hokum acara Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang 2001, cet. 2 h. 34 18
12
penting bagi hakim untuk menyakinkan bahwa kedua pihak telah disediakan tempat duduk yang sama bagi mereka di pengadilan.19 Suatu putusan hakim itu tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim di mungkinkan untuk di periksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat di perbaiki.20 Putusan pengadilan harus di ucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu putusan di ucapkan, atas perintah hakim ketua sidang salinan putusan itu disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Bila putusan pengadilan itu tidak di ucapkan dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan itu menjadi tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 21 Para fuqaha telah menerangkan beberapa cara bagi pengadilan yang tercakup beberapa hukum. Antara lain : “hakim boleh memeriksa perkara dalam sidang terbuka dan boleh pula dalam sidang tertutup. Hakim boleh menyertakan beberapa ahli hukum untuk menyaksikan putusannya,
19
Abdul Manan, Etka Hakim dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian dalam Sistem Peradilan Islam). Kencana Prenada Media Group, Jakarta 2007, cet. 1 h. 131 20 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia……..,h. 202 21 Rozali Abdullah, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. PT. Raja Grafindo Persada , Jakarta 1999, cet. 6, h. 79-80
13
dan boleh pula dia memutuskan perkara dengan seorang diri dengan hanya ditemani oleh pegawai-pegawainya.22 Qadhi adalah hakim tunggal. Dia diangkat oleh otoritas politik tetapi validitas pengangkatannya tidak bergantung pada legitimasi penguasa, salah satu cirri hukum islam.23 F. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini meliputi : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis diskriptif, pada dasarnya jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) karena sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dari sumber-sumber kepustakaan yang relevan dengan tema pembahasan yang ada. Sumber tersebut kemudian dideskripsikan dan kemudian dianalisis sehingga menghasilkan kesimpulan-kesimpulan untuk menjawab pokok masalah / rumusan masalah yang ada. Sehingga tipe penelitian ini adalah penelitian deskriptif-analitik. 2. Sumber Data Sumber Data yang digunakan dalam studi ini adalah :
22
Teungku Muhammad hasbi Ash Shidieqqi. Peradilan & Hukum Acara Islam……………..h. 58 23 Joseph Schacht. Pengantar Hukum Islam. Penerjemah; Joko Supomo………… h. 266
14
a. Sumber Primer Sumber primer adalah sumber literatur utama yang memberikan informasi pokok tentang permasalahan yang berkenaan dengan topik di atas. Sumber primer dalam penelitian ini adalah undang-undang kekuasaan Kehakiman dan hukum acara peradilan islam. b.Sumber Sekunder Sumber sekunder adalah sumber literature yang memberikan penjelasan yang berkaitan dengan permasalahan diatas, yakni yang berupa peraturan-peraturan yang berkaitan dengan undang-undang kekuasaan kehakiman dan hukum acara peradilan islam. 3. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam Skripsi ini, penulis mencarinya dengan cara membaca, memahami, mempelajari dan menganalisis dari data yang di pandang relevan dengan pembahasan masalah, kemudiaan data tersebut di kumpulkan dengan mengelompokkan pada bab sesuai dengan sifatnya masing-masing guna mempermudah dalam proses analisis data. Dalam mengolah dan mengumpulkan data, penulis menggunakan teknik
library
research
(penelitian
kepustakaan),
yaitu
penulis
mengumpulkan buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan ini, kemudian membaca dan menelaahnya. Penelitian kepustakaan yaitu pengumpulan data dalam laporan dari kejadian-kejadian yang berisi pandangan serta pemikiran-pemikiran manusia dimasa lalu, secara sadar
15
ditulis untuk tujuan komunikasi dan tranmisi keterangan. Adapun jenis kepustakaan yang digunakan oleh penulis adalah beberapa hukum dan literatur yang membahas tentang kehakiman pada umumnya dan tentang suatu putusan hakim pada khususnya. 4.Teknik Analisis Data Selanjutnya penelitian ini juga menggunakan analisis induktif normatif. Analisis ini digunakan untuk menarik kesimpulan umum dari beberapa variable khusus yang ada, yaitu berupa metode-metode pembentukan hukum yang akhirnya berpengaruh terhadap proses penyimpulan hasil penelitian ini. G. Sistematika Penulisan Skripsi Uraian yang terdapat dalam skripsi ini akan disusun dalam lima bab, yang mana antara bab satu sampai terakhir merupakan uraian yang berkesinambungan. Uraian ini dimulai hal-hal yang bersifat terbatas hanya pada pokok permasalahan. Adapun urutannya adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan Dalam bab ini mencakup latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II : ketentuan-ketentuan putusan menurut undang-undang kehakiman Dalam bab ini penulis menguraikan tentang : a. Pengertian Putusan
16
b. Macam-macam Putusan dan bentuk dari isi putusan c. Kekuatan putusan, penetapan, dan jenis-jenis pelaksanaan putusan Bab III :Ketentuan-ketentuan putusan menurut hukum peradilan islam. a. Pengertian putusan menurut hukum islam b. Sistem peradilan dalam islam. c. Dasar-dasar dan penetapan hukum Bab IV : Analisis perbandingan hukum mengenai Putusan Hakim Tunggal Dalam Persidangan menurut UU Kekuasaan kehakiman dan hukum islam a. Putusan hakim tunggal dalam persidangan menurut
UU
Kekuasaan Kehakiman. b.Putusan hakim tunggal dalam persidangan menurut hukum islam c.Perbandingan
mengenai
putusan
hakim
UU Kekuasaan Kehakiman dan hukum islam. Bab V : Penutup Dalam Bab ini terdiri dari dua sub bab yaitu : a. Kesimpulan b.Saran-saran DAFTAR PUSTAKA
tunggal
menurut