BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kasus perusahaan Enron, WoldCom, Anderson, dan Tyco merupakan contoh kasus besar yang terungkap karena adanya laporan dari orang dalam perusahaan tersebut (Mesmer-Magnus & Viswesvaran, 2005). Pada kasus Enron terjadi manipulasi laporan keuangan yang melibatkan auditor eksternal, yaitu Arthur Anderson dan konsultan manajemen Enron gagal untuk mendeteksi dan mengungkap transaksi-transaksi keuangan Enron yang dilakukan dengan mengalihkan aset-aset perusahaan kepada entitas bertujuan khusus (special purpose entity), sehingga menyebabkan nilai perusahaan terlihat lebih besar daripada yang seharusnya (Duska dkk., 2011). Pelanggaran etika pada skandal akuntansi perusahaan Enron inilah yang kemudian memicu Wakil Presiden Enron, Sherron Watkins mengungkapkan skandal korporasi yang terjadi di Enron kepada publik. Sama halnya dengan Enron, kasus kecurangan perusahaan WorldCom juga terungkap atas laporan seorang yang berasal dari dalam perusahaan tersebut. Pada tahun 2000-2002, harga saham WorldCom jatuh dari $150 milyar menjadi $150 juta. WorldCom mengakui bahwa perusahaan mengklasifikasikan beban jaringan sebagai pengeluaran modal mereka dan pada bulan Mei 2002 auditor Cynthia Cooper melaporkan masalah tersebut kepada kepala komite audit Max Bobbit. Kemudian Max Bobbit meminta KPMG selaku eksternal audit untuk melakukan investigasi (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011). 1
Dampak terungkapnya kasus WorldCom dan Enron mendorong regulator pasar modal Amerika Serikat mengeluarkan peraturan yaitu Sarbanes Oxley Act of 2002 (SOX). Melalui SOX perusahaan publik diwajibkan menerapkan prosedur penanganan pengaduan. Perusahaan dianjurkan untuk mengembangkan kebijakan whistleblowing dan kebijakan ini dijadikan sebagai bagian dari sistem pengendalian internal (Brennan & Kelly, 2007). Pembahasan mengenai whistleblowing di Indonesia menjadi perhatian publik setelah terungkapnya kasus besar yang melibatkan seorang pengawai negeri sipil Direktorat Jendral Pajak, yaitu Gayus Tambunan. Susno Duadji menyatakan bahwa ada praktik mafia pajak yang dilakukan oleh Gayus dengan kasus pencucian uang dan korupsi puluhan miliar rupiah. Kasus whistleblowing di Indonesia yang dilakukan Susno Djuaji bukanlah satusatunya yang terjadi. Tuanakotta (2012) menjelaskan banyak kasus lain yang menunjukkan peran whistleblower untuk mengungkap kasus korupsi baik di sektor swasta maupun di sektor pemerintahan, misalnya Arifin Wardiyanto yang melaporkan dugaan korupsi dalam urusan perizinan wartel di Yogyakarta pada tahun 1996; Maria Leonita melaporkan dugaan suap oleh Zainal Agus Direktur Mahkamah Agung pada tahun 2001; Khairiansyah Salman mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan kasus suap anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) atas audit yang dilakukan BPK.
2
Peraturan mengenai whistleblowing di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan terhadap Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011). Namun, penerapan aturan tersebut tidak optimal tanpa adanya sistem whistleblowing yang baik. Septiyanti (2013) menjelaskan bahwa sistem whistleblowing yang efektif, transparan, dan bertanggung jawab diharapkan dapat mengatasi keengganan karyawan melaporkan dugaan pelanggaran yang diketahuinya dan diharapkan dapat meningkatkan partisipasi karyawan dalam melaporkan dugaan pelanggaran. Salah satu faktor yang mempengaruhi niat seseorang untuk melakukan whistleblowing adalah faktor individual. Penelitian pengaruh faktor individual terhadap niat melakukan whistleblowing telah banyak dilakukan seperti Park dan Blenkinsopp (2009), Banda (2012), Daivitri (2013), dan Putra (2015) yang menguji faktor individual yaitu sikap, norma subjektif, dan kontrol perilaku, serta penelitian Septiyanti (2013) yang menguji faktor individual, yaitu locus of control dan komitmen organisasi. Namun, faktor individual bukanlah satu-satunya faktor yang mempengaruhi niat whistleblowing, ada kemungkinan bahwa niat seseorang berubah karena situasi-situasi tertentu yang mempengaruhinya seperti personal cost, keseriusan pelanggaran, dan status pelanggar (Winardi, 2013b). Penelitian ini menguji pengaruh faktor individual (sikap, kontrol perilaku, komitmen organisasi) dan faktor
3
situasional (personal cost, keseriusan pelanggaran, status pelanggar) terhadap niat whistleblowing internal-eksternal. Dengan menguji faktor individual dan faktor situasional, model penelitian ini diharapkan lebih kompeherensif untuk menjelaskan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi niat untuk melakukan whistleblowing internal-eksternal, sehingga berguna bagi pembuat kebijakan untuk menerapkan sistem whistleblowing. Berdasarkan teori perilaku terencana, sikap dan kontrol perilaku merupakan dua faktor individual yang paling relevan untuk mengukur intensi seseorang melakukan perilaku tertentu (Alleyne dkk., 2013). Teori ini menjelaskan bahwa semakin individu memiliki evaluasi bahwa suatu perilaku menghasilkan konsekuensi positif maka individu cenderung bersikap favorable terhadap perilaku tersebut, sedangkan jika individu semakin memiliki evaluasi negatif maka individu cenderung bersikap unfavorable terhadap perilaku tersebut dan semakin individu merasakan banyak faktor pendukung dan sedikit faktor penghambat untuk dapat melakukan suatu perilaku, maka lebih besar kontrol yang mereka rasakan atas perilaku tersebut dan sebaliknya (Ajzen, 2005). Selain sikap dan kontrol perilaku, komitmen organisasi juga merupakan faktor individual yang dapat mempengaruhi niat seseorang untuk melakukan
whistleblowing.
Bagustianto
dan
Nurkholis
(2014)
mengemukakan bahwa individu yang memiliki komitmen organisasi tinggi menimbulkan rasa memiliki organisasi yang tinggi sehingga tidak ada
4
keraguan untuk melakukan whistleblowing karena ia yakin tindakan tersebut melindungi organisasi dari kehancuran. Penelitian pengaruh sikap, kontrol perilaku, dan komitmen organisasi terhadap niat whistleblowing belum menunjukkan hasil yang konsisten. Beberapa penelitian menunjukkan pengaruh sikap dan kontrol perilaku terhadap niat whistleblowing (Park & Blenkinsopp, 2009; Harvey, 2009; Trongmateerut & Sweeney, 2013; Bagustianto & Nurkholis, 2014), namun ada juga yang menunjukkan bahwa sikap dan kontrol perilaku tidak berpengaruh terhadap niat whistleblowing (Putra, 2015). Sedangkan, beberapa penelitian komitmen organisasi menunjukkan pengaruh terhadap niat whistleblowing (Narjes dkk., 2012; Miceli dkk., 1991; Street, 1995; Bagustianto & Nurkholis, 2014), namun ada juga yang menunjukkan bahwa komitmen organisasi tidak berpengaruh terhadap niat whistleblowing (Shawer & Lynn, 2008; Ahmad dkk., 2012; Jalil, 2012; Septiyanti, 2013). Hal inilah yang menjadi pertimbangan peneliti untuk meneliti lebih lanjut pengaruh sikap,
kontrol
perilaku,
dan
komitmen
organisasi
terhadap
niat
whistleblowing. Penelitian pengaruh faktor situasional (personal cost, keseriusan pelanggaran, status pelanggar) terhadap niat whistleblowing juga belum menunjukkan hasil yang konsisten. Winardi (2013a) menunjukkan tidak ada pengaruh personal cost, keseriusan pelanggaran, status pelanggar terhadap niat whistleblowing dan Winardi (2013b) menunjukkan personal cost tidak berpengaruh terhadap niat whistleblowing, namun penelitian Kaplan dan
5
Whitecotton (2001), Arnold dan Ponemon (1991) menunjukkan pengaruh personal cost terhadap niat whistleblowing. Penelitian Schultz dkk. (1993), Ayers dan Kaplan (2005), Curtis (2006), Ahmad dkk. (2010), Septiyanti (2013), Winardi (2013b), Bagustianto dan Nurkholis (2014) menunjukkan pengaruh keseriusan pelanggaran terhadap niat whistleblowing. Winardi (2013b)
menemukan
status
pelanggar
berpegaruh
terhadap
niat
whistleblowing. Ada beberapa perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya. Pertama, penelitian terdahulu banyak menguji pengaruh faktor individual dan faktor situasional terhadap niat whistleblowing (Hooks dkk., 1994; King, 1997; Miceli & Near, 1992; Near & Miceli, 1995; Miceli & Near, 1988; Sims & Keenan, 1998; Elias, 2008; Park & Blenkinsopp, 2009; Ahmad dkk., 2010; Ahmad dkk., 2012; Winardi, 2013a, 2013b; Putra, 2015) namun tidak memasukkan
pengaruh
persepsi
dukungan
organisasi
terhadap
niat
whistleblowing. Pada penelitian ini menggunakan persepsi dukungan organisasi sebagai variabel pemoderasi. Prediksi ini didukung dengan hasil penelitian Adebayo (2005) mengenai sikap etis dan perilaku prososial di kepolisian Nigeria yang menemukan bahwa persepsi dukungan organisasi yang dirasakan memoderasi hubungan antara sikap dan perilaku prososial. Alleyne dkk. (2013) menjelaskan pentingnya persepsi dukungan organisasi bagi individu untuk melaporkan tindakan tidak etis. Hal ini didasarkan pada teori pertukaran sosial yang dikembangkan Blau (1964), organisasi yang memperlakukan karyawan dengan baik menimbulkan rasa
6
kewajiban dalam diri karyawan, sehingga untuk memenuhi perasaan kewajibannya, karyawan merespon dengan cara yang mengungtungkan organisasi. Persepsi dukungan organisasi mengacu pada keyakinan luas yang dimiliki karyawan mengenai sejauh mana organisasi menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawannya (Eisenberger dkk., 1986). Sejalan dengan teori pertukaran sosial dan norma timbal balik, persepsi dukungan organisasi menciptakan perasaan balas budi karyawan terhadap organisasi dan dapat dikurangi dengan usaha timbal balik (Gouldner, 1960). Dengan demikian, persepsi dukungan organisasi yang tinggi menghasilkan dampak positif terhadap sikap dan perilaku karyawan untuk suatu kebaikan yang bermanfaat bagi organisasi, misalnya melaporkan kecurangan yang terjadi dalam organisasi. Meningkatnya partisipasi karyawan untuk melaporkan tindakan-tindakan kecurangan dapat meningkatkan keefektifan sistem pengendalian internal organisasi (Patel, 2003). Perbedaan kedua, penelitian sebelumnya di Indonesia menguji faktor individual (Banda, 2012; Daivitri, 2013) dan faktor situasional (Winardi, 2013a) terhadap niat whistleblowing eksternal, serta penelitian Winardi (2013b) dan Putra (2015) menguji faktor individual dan faktor situasional terhadap
niat
whistleblowing
internal.
Penelitian
ini
menguji
niat
whistleblowing internal-eksternal. Park dkk. (2008) menyarankan jalur pelaporan whistleblowing tidak hanya sebatas internal dan eksternal, tetapi
7
terdiri dari tiga dimensi, yaitu formal-informal, anonim-teridentifikasi, internal-eksternal, dan setiap dimensi merupakan pilihan bagi karyawan. Whistleblower berperilaku berbeda dalam membuat pilihan jalur pelaporan yang sesuai untuk mereka (Kaplan, 2012). Ayers dan Kaplan (2005) menjelaskan bahwa jalur pelaporan whistleblower memiliki kelebihan dan kekurangan yang unik dan kemungkinan untuk menghasilkan niat pelaporan yang berbeda. Penelitian ini mencoba untuk mengakomodasi berbagai bentuk perilaku whistleblower dengan menggunakan berbagai jenis pelaporan whistleblowing yaitu jalur pelaporan formal, internal-eksternal, anonim-teridentifikasi. Perbedaan ketiga, penelitian ini menggunakan responden tenaga kependidikan pada instansi universitas untuk menguji faktor-faktor yang mempengaruhi niat whistleblowing. Sebagian besar penelitian terdahulu yang dilakukan di Indonesia menggunakan responden mahasiswa akuntansi (Putri, 2013; Ridwan, 2013; Lyan, 2012), auditor internal (Ayu, 2014; Banda, 2012), auditor eksternal (Jalil, 2012), pegawai negeri sipil di kelembagaan pemerintah (Winardi, 2013a, 2013b; Bagustianto & Nurkholis, 2014, Septiyanti, 2013) dan staf kepolisian (Putra, 2015). Near dan Miceli (1985) menjelaskan bahwa yang dapat disebut sebagai whistleblower memiliki empat karakteristik, yaitu (1) karyawan atau mantan karyawan organisasi yang organisasinya mengalami kecurangan; (2) tidak memiliki otorisasi untuk mengubah atau menghentikan kecurangan yang berada di bawah kendalinya; (3) diizinkan atau tidak diizinkan membuat
8
laporan; (4) tidak menduduki posisi yang tugasnya mensyaratkan untuk melakukan pelaporan kecurangan korporat. Pada instansi universitas, karyawan yaitu tenaga kependidikan adalah pengguna potensial dari sistem whistleblowing karena mereka secara aktif terlibat dalam kegiatan operasional (Mesmer-Magnus & Viswesvaran, 2005). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional salah satu tugas tenaga kependidikan adalah pengawasan. Dengan demikian, tenaga kependidikan yang bekerja di instansi universitas diharapkan dapat mencengah dan melaporkan perilaku ilegal, tidak etis, dan tidak bermoral di lingkungan instansi pendidikan untuk mewujudkan good governance. Penelitian ini diharapkan berkontribusi secara praktik dan literatur akademik dengan menambah bukti empiris mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi niat whistleblowing di Indonesia dan penelitian ini mengembangkan model penelitian yang lebih kompeherensif dengan memasukkan
faktor
persepsi
dukungan
organisasi
sebagai
variabel
pemoderasi dan menggunakan jalur pelaporan internal-eksternal pada variabel niat whistleblowing. 1.2 Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian yang diajukan berdasarkan latar belakang masalah di atas adalah: 1. Apakah sikap terhadap whistleblowing berpengaruh positif terhadap niat whistleblowing internal-eksternal?
9
2. Apakah kontrol perilaku berpengaruh positif terhadap niat whistleblowing internal-eksternal? 3. Apakah
komitmen
organisasi
berpengaruh
positif
terhadap
niat
whistleblowing internal-eksternal? 4. Apakah personal cost berpengaruh negatif terhadap niat whistleblowing internal-eksternal? 5. Apakah keseriusan pelanggaraan berpengaruh positif terhadap niat whistleblowing internal-eksternal? 6. Apakah
status
pelanggar
berpengaruh
negatif
terhadap
niat
whistleblowing internal-eksternal? 7. Apakah persepsi dukungan organisasi memoderasi pengaruh faktor individual (sikap, kontrol perilaku, komitmen organisasi) terhadap niat whistleblowing internal-eksternal? 8. Apakah persepsi dukungan organisasi memoderasi pengaruh faktor situasional (personal cost, keseriusan pelanggaran, status pelanggar) terhadap niat whistleblowing internal-eksternal? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk menguji pengaruh sikap terhadap niat whistleblowing internaleksternal. 2. Untuk menguji pengaruh kontrol perilaku terhadap niat whistleblowing internal-eksternal.
10
3. Untuk
menguji
pengaruh
komitmen
organisasi
terhadap
niat
whistleblowing internal-eksternal. 4. Untuk menguji pengaruh personal cost terhadap niat whistleblowing internal-eksternal. 5. Untuk menguji pengaruh keseriusan pelanggaraan terhadap niat whistleblowing internal-eksternal. 6. Untuk menguji pengaruh status pelanggar terhadap niat whistleblowing internal-eksternal. 7. Untuk menguji persepsi dukungan organisasi sebagai pemoderasi pengaruh faktor individual (sikap, kontrol perilaku, komitmen organisasi) terhadap niat whistleblowing internal-eksternal. 8. Untuk menguji persepsi dukungan organisasi sebagai pemoderasi pengaruh faktor situasional (personal cost, keseriusan pelanggaran, status pelanggar) terhadap niat whistleblowing internal-eksternal. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan memberi manfaat terkait: 1. Literatur a. Menambah bukti empiris mengenai faktor individual (sikap, kontrol perilaku, komitmen organisasi) dan faktor situasional (personal cost, keseriusan pelanggaran, status pelanggar) yang mempengaruhi niat whistleblowing internal-eksternal di Indonesia.
11
b. Pengembangkan
model
penelitian
khususnya
variabel
persepsi
dukungan organisasi sebagai variabel pemoderasi dan menggunakan jalur pelaporan internal-eksternal pada variabel niat whistleblowing. 2. Praktik a. Bagi instansi, memberikan masukan mengenai pentingnya penerapan sistem whistleblowing sebagai bagian dari pengendalian internal. Implementasi sistem whistleblowing dapat bermanfaat bagi pihak manajemen suatu organisasi untuk meminimalisasi penyimpangan, pelanggaran, dan kecurangan yang terjadi di dalam organisasi. b. Diharapkan dapat memberikan sumbangan informasi dan menjadi bahan pertimbangan bagi instansi dalam mengembangkan pengetahuan terkait dengan sistem perlindungan bagi whistleblower, jalur pelaporan, dan program pelatihan terkait dengan etika manajemen. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II
Kajian Literatur Bab ini merupakan uraian landasan teori-teori yang menjadi dasar analisis penelitian, yaitu teori perilaku terencana, teori pertukaran
12
sosial, whistleblowing, dan penjelasan pengembangan hipotesis serta gambar kerangka konseptual penelitian. BAB III Metoda Penelitian Bab ini menjelaskan tentang desain penelitian, pemilihan sampel, definisi operasional variabel dan pengukuran variabel, analisis bias metoda umum, dan metoda analisis data. BAB IV Analisis Hasil Penelitian Bab ini menjelaskan tentang responden penelitian, karakteristik demografis responden, uji non-response bias, hasil pengolahan dan analisis data penelitian. BAB V
Simpulan, Implikasi, Keterbatasan, dan Saran Bab ini menyajikan penjelasan tentang simpulan penelitian, implikasi penelitian, serta keterbatasan penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.
13