1
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya
Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan. Lahan yang semula dipergunakan untuk sawah, karena kekurangan lahan untuk permukiman, maka lahan sawah tersebut di alih fungsikan menjadi lahan permukiman. Pengalih fungsian lahan tersebut akan secara otomatis mengurangi luasan lahan pertanian, sehingga terjadi pembukaan lahan hutan menjadi lahan pertanian. Pengalih fungsian lahan hutan menjadi lahan pertanian tanpa disadari memiliki peranan yang besar terhadap rusaknya kestabilan ekosistem di dalam Daerah Aliran Sungai. Contoh nyata yang saat ini sering terjadi adalah banjir dan kekeringan. Banyak daerah aliran sungai yang sejak dulu tidak pernah banjir namun saat ini sering banjir dan saat kemarau kekeringan. Salah satu penyebab hal tersebut adalah alih fungsi lahan bervegetasi. Dari pemaparan diatas, kita dapat memahami bahwa vegetasi memiliki peran penting untuk menjaga kestabilan DAS. Sehingga perlu dilakukan suatu kajian penghitungan luasan vegetasi yang ada saat ini pada suatu sistem DAS. Selain itu perlu juga diketahui berapakah luasan vegetasi yang dibutuhkan agar tidak terjadi banjir, dengan suatu pemodelan.
1.2.
Perumusan Masalah Keberadaan vegetasi sangat penting untuk menjaga kesetabilan sistem DAS.
Sehingga perlu dilakukan suatu kajian penghitungan luasan vegetasi pada suatu sistem DAS. Selain itu perlu juga diketahui berapakah luasan vegetasi yang dibutuhkan agar tidak terjadi banjir, dengan suatu pemodelan. Dalam penelitian ini
2
diilih DAS Garang sebagai lokasi penelitian, oleh karena permasalahan diatas terdapat pada DAS Garang. Pertanyaan penelitian yang dapat disusun dalam perumusan masalah adalah sebagai berikut : 1. Berapakah luasan per kerapatan vegetasi existing di DAS Garang? 2. Berapakah luasan vegetasi yang dibutuhkan pada DAS Garang agar tidak terjadi banjir? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Multi Sensor dan Multi Resolusi untuk Pemodelan Luas Vegetasi Berbasis Nilai Koefisien Aliran”
1.3.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui luasan per kerapatan vegetasi existing di DAS Garang dengan menggunakan transformasi indeks vegetasi. 2. Mengetahui luasan vegetasi dengan kerapatan yang dibutuhkan pada DAS Garang agar tidak banjir dengan cara memodelkan luas vegetasi.
1.4.
Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah :
1. Dapat digunakan untuk pengembangan teknik penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam aplikasinya untuk studi hidrologi pada daerah aliran sungai. 2. Memberikan kontribusi bagi pengembangan penginderaan jauh dan system informasi geografi terutama dalam studi banjir pada daerah aliran sungai. 3. Memberikan informasi kepada pengambil keputusan dalam hal ini pemerintah sebagai bahan pertimbangan dalam memanajemen daerah aliran sungai sehingga permasalahan banjir dapat diatasi.
3
1.5.
Telaah Pustaka
1.5.1. Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan jalan menganalisa data yang diperoleh dengan menggunakan alat, tanpa kontak langsung terhadap objek atau gejala yang dikaji. (Lillesand et al, 2004). Dengan adanya sistem penginderaan jauh, yang memiliki komponen berupa sumber tenaga (energi), perjalanan energi melalui atmosfer, interaksi antara energi dengan kenampakan di muka bumi, sensor dari wahana, serta hasil pembentukan data, dapat membantu dalam pengumpulan informasi yang lebih efisien, terutama dalam hal waktu dan tenaga. Pada dasarnya objek di permukaan bumi dapat dibedakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu tanah, air, dan vegetasi. Ketiga objek tersebut secara alami memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sehingga akan menghasilkan karakteristik pantulan tertentu jika direkam dengan panjang gelombang tertentu pula. Hal tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar dalam pemilihan citra penginderaan jauh yang digunakan dan dasar dalam interpretasi objek. Unsur dalam pengenalan atau interpretasi citra menurut Lillesand et al tahun 2004 meliputi rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, tinggi, bayangan, situs, dan asosiasi.
1.5.2. Citra ALOS Satelit ALOS (Advance Land Observing Satellite) diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006 dengan pesawat peluncur roket H-IIA, dari lokasi peluncuran Tanegashima Space Center Jepang. Satelit ini memiliki 5 misi utama, yaitu untuk kepentingan kartografi, pengamatan regional, pemantauan bencana alam, untuk melakukan penelitian sumberdaya alam, dan untuk mengembangkan teknologi yang dibutuhkan untuk satelit – satelit pengamatan bumi pada masa depan. Satelit ALOS bergerak pada orbit sinkron matahari pada ketinggian 691,65 km pada ekuator, inklinasi 98,160 dengan siklus pengulangan orbit selama 46 hari dengan sub-cycle selama 2 hari. Satelit ini dirancang untuk tetap mengorbit dalam kurun 35 tahun. Satelit Alos dilengkapi dengan 3 sensor yang terdiri dari 2 sensor optik
4
yaitu sensor AVNIR-2 (Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2) dan sensor PIRSM (Panchromatic Instrument Remote Sensing for Stereo Mapping) serta satu sensor radar, yaitu sensor PALSAR (Phased Array type L-band Syntetic Aperture Radar). Tabel 1.1 Spesifikasi Sensor AVNIR-2 Sumber: http://citrasatelit.wordpress.com/jual-citra-satelit/alos/ (diakses: Senin, 7 Oktober 2013)
AVNIR-2 merupakan sensor optik yang terdiri 4 saluran, yaitu saluran
tampak dan inframerah dekat. Tujuan dari AVNIR-2 adalah untuk pemetaan penutup lahan, pemantauan bencana, dan pemantauan lingkungan regional. Sensor AVNIR-2 ini menghasilkan citra dengan resolusi spasial 10 meter dan lebar liputan satuan citra 70 km. Dengan kemampuan side looking dan kemampuan untuk melakukan pandangan menyilang jejak satelit (± 440) dari nadir, pengamatan daerah – daerah bencana dapat dilakukan dalam pengulangan waktu 2 hari, dengan lebar liputan citra sebesar 1500 km.
5
Gambar 1.1 Sensor AVNIR-2 Sumber: https://directory.eoportal.org/web/eoportal/satellite-missions/a/alos (diakses: Senin, 7 Oktober 2013)
1.5.3. Transformasi Indeks Vegetasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dengan teknik pengurangan citra. NDVI mampu menonjolkan aspek kerapatan vegetasi. (Danoedoro,1996). Saluran yang digunakan pada transformasi ini adalah saluran merah dan inframerah. Kedua saluran ini dipilih karena memiliki kepekaan yang berbeda terhadap vegetasi. Klorofil a dan b yang merupakan pigmen penting dari tanaman menyerap cahaya biru dan merah. Klorofil a pada panjang gelombang 0,43 dan 0,66 μm dan klorofil b pada panjang gelombang 0,45 dan 0,65 μm. (Farabee, 1997 dalam Jensen, 2005). Hal tersebut mengakibatkan pada band merah nilai reflectance vegetasi sangat rendah. Berbeda dengan band merah, pada band inframerah dekat nilai pantulan vegetasi sehat meningkat tajam. Menurut Jensen (2005), sepanjang julat inframerah dekat ini (0,7 – 1,2 μm) cahaya matahari yang diterima oleh tanaman mengandung sebagian besar energi matahari. Jika tanaman menyerap energi tersebut seperti pada panjang gelombang tampak maka tanaman akan terlalu panas sehingga protein yang ada di dalamnya akan rusak. Pada panjang gelombang ini terjadi pantulan yang tinggi
6
(40% - 60%), transmisi juga tinggi (40% - 60%), serta penyerapan yang rendah (5% - 10%). Dengan perbedaan respon vegetasi pada kedua panjang gelombang tersebut maka Rouse et al (1974) dalam Jensen (2005) mengembangkan formula : NDVI=
saluraninf ramerahdek at saluranmer ah saluraninf ramerahdek at saluranmer ah
..........................(1.1)
Hasil dari formula tersebut berkisar antara –1 sampai +1. Nilai –1 mengindikasikan bahwa pada saluran merah memiliki nilai pantulan maksimum dan pada saluran inframerah dekat memiliki pantulan minimum. Hal ini menunjukkan daerah nonvegetasi. Begitupun sebaliknya, nilai +1 menunjukkan terjadi pantulan maksimum pada saluran inframerah dekat dan pantulan minimum pada saluran merah, sehingga menunjukkan area bervegetasi dengan kerapatan tinggi.
1.5.4. Koefisien Aliran Suripin (2003) menyebutkan bahwa pengaruh tata guna lahan pada aliran permukaan dinyatakan dalam koefisien aliran (C), yaitu bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya aliran permukaan dan besarnya curah hujan. Nilai koefisien C ini berkisar antara 0–1. Nilai 0 menunjukkan bahwa air hujan yang turun terinfiltrasi sempurna ke dalam tanah, sedangkan nilai 1 menunjukkan bahwa seluruh air hujan mengalir di permukaan karena tidak dapat terinfiltrasi ke dalam tanah. Seyhan (1993) menyajikan batasan C yang tetap konstan untuk berbagai frekuensi pada suatu DAS tertentu, yaitu : C=
laju limpasan untuk suatu frekuensi tertentu ......... (1.2) intensitas curah hujan rata - rata untuk frekuensi yang sama
Koefisien aliran tersebut akan mempengaruhi dalam pendugaan besarnya debit puncak, yang merupakan komponen penting dalam rancang bangun pengendalian air permukaan. Selain perlu juga diketahui tentang waktu tercapainya debit puncak, volume, dan penyebaran air permukaan. Asdak (2007) menyebutkan
7
bahwa air permukaan tersebut akan terjadi setelah air hujan memenuhi keperluan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, dan berbagai bentuk cekungan tanah (surface detention) dan bentuk penampung lainnya. 12 Salah satu metode dalam penentuan debit puncak adalah metode rasional dari U.S. Soil Conservation Service (Seyhan, 1993). Q = 0,0028 C I A ………………………………….. (1.3) Dengan : Q = debit puncak (m3/detik) C = koefisien aliran I = intensitas hujan (mm/jam) A = luas DAS (ha) Metode tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa setiap bagian dari subdas akan memberikan kontribusi. Hal tersebut dapat dicapai jika lama hujan yang turun sama dengan waktu konsentrasi, yaitu waktu air akan mencapai outlet DAS dari titik terjauh dari outlet tersebut.
1.5.5. Sistem Informasi Geografi SIG adalah suatu sistem berbasis komputer yang memberikan empat kemampuan untuk menangani data bereferensi geografis, yaitu pemasukan, pengelolaan atau manajemen data (penyimpanan dan pengaktifan kembali), manipulasi dan analisis, serta keluaran (Aronoff ,1989 dalam Projo,1996). Saat ini SIG telah berkembang dengan berbagai aplikasi yang lebih canggih, didukung oleh software, hardware, serta sumberdaya manusia yang lebih maju seiring dengan perkembangan teknologi. Sistem informasi geografis banyak dimanfaatkan dalam berbagai disiplin ilmu. Dengan fasilitas yang digunakan, terutama penggunaan teknologi berbagai macam software maka pekerjaan para ilmuan untuk merepresentasikan fenomena alami maupun buatan yang ada di dunia nyata dapat dilakukan dengan mudah.
8
Fenomena dunia nyata sendiri, sebagai input dalam SIG, dapat direpresentasikan dalam empat macam, yaitu (de By, 2000) : 1. Modelling Model merupakan penyederhanaan dari objek maupun proses dalam dunia nyata. Keuntungan dari penggunaan model ini adalah dapat dilakukan berbagai skenario untuk merepresentasikan fenomena dunia nyata. Data yang menjadi masukan dalam model tersebut dapat diubah, kemudian dapat diketahui bagaimana perbedaan yang terjadi akibat dari hal tersebut. 2. Peta Board (1990) dalam Martha et al (2007) mendifinisikan peta sebagai penyajian atau abstraksi kenyataan geografik, suatu alat untuk menyajikan informasi geografi dengan cara visual, digital, atau nyata. 3. Basis Data Basis data merupakan tempat penyimpanan (repository) yang dapat digunakan untuk menyimpan data dalam jumlah yang besar. 4. Basis Data Spasial Basis data spasial merupakan tipe dari basis data yang lebih spesifik. Asumsi dari desain basis data spasial ini adalah fenomena spasial berada pada dua atau tiga dimensi euclidean space. Euclidean space dapat didefinisikan sebagai model spasial dimana lokasinya direpresentasikan dalam koordinat (x, y) dalam 2 dimensi, dan (x, y, z) dalam 3 dimensi. Dugaan seperti jarak dan arah juga didefinisikan dengan berbagai formula.
1.5.6. Model Elevasi Digital DEM merupakan susunan angka-angka yang memberikan informasi ketinggian (elevasi) di permukaan bumi dalam format digital. DEM terdiri dari 2 informasi, yaitu: data ketinggian dan data posisi koordinat dari ketingian tersebut di permukaan bumi. Struktur dari DEM dapat berupa (Meijerink et al, 1994) : 1. Model Garis
9
Model garis dalam DEM direpresentasikan dalam garis kontur, yang kemudian disimpan sebagai Digital Lines Graphs (DLGs). DLGs tersebut didapat dari digitasi garis kontur dari peta topografi. 2. Triangulated Irregular Network (TIN) Model TIN merepresentasikan permukaan bumi menjadi bentuk-bentuk segitiga yang saling berhubungan. Setiap segitiga (triangular facet) didapatkan dari 3 titik referensi. Titik-titik tersebut sebaiknya diambil berdasarkan konfigurasi permukaannya. Daerah dengan topografi yang lebih bervariasi memerlukan titik referensi yang lebih banyak daripada daerah yang datar. 3. Struktur Grid Struktur grid ini digunakan dalam SIG berbasis raster. Ukuran dari grid tersebut harus disesuaikan dengan bagian dari permukaan bumi dengan nilai heterogenitas yang tertinggi, misalnya pada daerah lembah yang curam. Hal tersebut dikarenakan adanya kemungkinan terjadinya nilai piksel yang tercampur.
1.6.
Penelitian Sebelumnya Penggunaan metode rasional untuk perhitungan debit puncak dalam hal
penanggulangan banjir telah banyak dilakukan. Metode rasional dipilih karena metode tersebut tergolong sederhana, dengan menggunakan variabel koefisien aliran, nilai intensitas hujan dan luas DAS. Salah satu penenlitian penanggulangan banjir yang menggunakan metode rasional adalah penelitian yang dilakukan oleh Dian Risa Sukesti (2010). Penelitian tersebut menggunakan metode rasional untuk perhitungan debit rencana. Citra penginderaan jauh yang dipergunakan dalam penelitian tersebut adalah citra Aster VNIR dan Citra Quickbird. Citra Aster VNIR dipergunakan untuk transformasi Indeks Vegetasi NDVI, sedangkan citra quickbird dipergunakan untuk pengukuran area kedap air dengan bantuan grid NDVI yang kemudian menghasilkan nilai koefisien Aliran. Nilai intensitas hujan maksimum diperoleh dengan menggunakan metode Gumbel dan rumus Mononobe. Nilai debit rencana hasil perhitungan menggunakan metode rasional terbagi menjadi dua, yaitu
10
kurang dari debit maksimum eksisting dan lebih dari debit maksimum eksisting. Nilai debit rencana yang lebih dari debit maksimum eksisting merupakan daerah berpotensi tergenang. Hendro Wibowo (2008) melakukan penelitian tentang transformasi NDVI untuk estimasi nilai koefisien aliran. Citra penginderaan jauh yang dipergunakan adalah citra Landsat ETM+. Metode yang digunakan adalah mengkaji hubungan nilai NDVI dengan presentase tutupan permukaan kedap air melalui analisis regresi dari data sampel terukur dengan bantuan citra Quickbird. Evaluasi dilakukan menggunakan data pengukuran dan data perhitungan. Mutia Mirza (2005) melakukan penelitian untuk estimasi nilai koefisien aliran dengan membandingkan kerapatan vegetasi dan nilai NDVI di beberapa subDAS. Citra yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat ETM pada dua waktu perekaman yang berbeda, yaitu citra Landsat ETM perekaman tahun 1994 dan tahun 2001. Diperlukan analisis regresi untuk mengkuantifikasi nilai kerapatan vegetasi, kemudian nilai tersebut ditransformasi menjadi nilai estimasi koefisien aliran. Akurasi nilai estimasi koefisien aliran diperoleh dengan membandingkan dengan nilai koefisien aliran hasil perhitungan menggunakan data sekunder. Hasilnya terdapat selisih yang tidak begitu besar antara nilai estimasi koefisien aliran dan nilai koefisien aliran hasil perhitungan data sekunder. Hal tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara kerapatan vegetasi dan nilai NDVI dapat dipergunakan untuk menentukan estimasi nilai koefisien aliran. Penelitian – penelitian yang telah disebutkan di atas kemudian dijadikan pijakan oleh penulis untuk melakukan penelitian ini. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya adalah dalam jenis citra dan daerah kajian. Pada penelitian ini penulis menggunakan citra ALOS AVNIR-2 untuk melakukan estimasi nilai koefisien aliran, melalui transformasi NDVI.
Distribusi gumbel dan rumus Mononobe
digunakan untuk menghitung intensitas hujan maksimum. Metode rasional kemudian digunakan untuk menghitung debit rencana. Debit rencana yang melebihi debit maksimum eksisting merupakan daerah dengan potensi genangan.
11
Table 1.2 Perbandingan Penelitian Sebelumnya dengan Penelitian Penulis No.
Peneliti
Data Yang Digunakan
Tahun
Judul
Lokasi
Metode
Hasil
1 Mutia Mirza
2005
Hubungan Kerapatan Vegetasi dan NDVI Dalam Kaitannya Dengan Estimasi Nilai Koefisien Aliran
Beberapa Sub-DAS Kampar Bagian Hulu
Citra Landsat ETM
Transformasi NDVI, menentukan hubungan dengan kerapatan tajuk, Estimasi koefisian aliran harian, Menentukan nilai koefisien aliran dengan kerja lapangan, evaluasi.
Persamaan regresi antara nilai NDVI dengan kerapatan vegetasi. Nilai koefisien aliran harian pada beberapa sub-DAS. Peta distribusi koefisien aliran harian pada beberapa sub-DAS
2 Hendro Wibowo
2008
Transformasi NDVI Untuk Estimasi Koefisien Aliran
DAS Citarum hulu
Citra Landsat Transformasi NDVI, TM, ETM+ interpretasi visual, kerja dan Quickbird lapangan, analisis regresi, estimasi nilai koefisien aliran, evaluasi
Persamaan regresi antara nilai NDVI dengan persentase tutupan permukaan kedap air. Penerapan hubungan antara nilai NDVI dengan persentase permukaan kedap air dan kerapatan vegetasi untuk estimasi nilai koefisien aliran DAS. Evaluasi menggunakan data pengukuran dan data perhitungan
12
3 Dian Risa Sukesti
2010
4 Yudo 2013 Pramono
Permodelan Daerah Genangan dengan Teknik Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
Kota Surakarta
Citra ASTER, Citra QUICKBIRD, Kontur Detail Kota Surakarta
Transformasi NDVI, estimasi koefisien aliran, distribusi Gumbel dan rumus Mononobe, metode rasional, modeling area genangan dengan DEM
Transformasi NDVI dari citra ASTER dapat digunkan untuk estimasi nilai koefisien aliran. Metode rasional digunakan untuk menghitung debit rencana untuk periode ulang 2, 5, 10, 25, dan 50 tahun. Daerah yang memiliki debit rencana lebih dari debit maksimum eksisting akan berpotensi menyebabkan genangan di sekitarnya.
Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh Multi Sensor dan Multi Resolusi untuk Pemodelan Luas Vegetasi Berbasis Nilai Koefisien Aliran
DAS Garang
Citra ALOS
Transformasi indeks vegetasi (NDVI), Membuat peta arahan penggunaan lahan, Mencari hubungan antara kerapatan vegetasi dengan debit sungai existing, Memvariasikan luas vegetasi, Memvisualisasikan daerah yang banjir berdasarkan simulasi luas vegetasi.
Peta luasan vegetasi existing di DAS Bogowonto. Model daerah terdampak banjir dari simulasi luas vegetasi.
13
1.7. Kerangka Pemikiran Pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup tinggi di dunia khususnya Indonesia memiliki banyak dampak. Dampak yang paling mudah dijumpai adalah kekurangan lahan. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan penggunaan lahan, dari lahan bervegetasi menjadi lahan terbangun. Lahan terbangun merupakan kawasan kedap air, sehingga daya infiltrasi tanah maupun akar tanaman akan turun, dan aliran permukaan akan meningkat. Perubahan penggunaan lahan tersebut akan berdampak meningkatnya aliran permukaan. Aliran permukaan sangat dipengaruhi oleh koefisien aliran (C), yaitu nisbah antara air hujan dengan aliran permukaan. Jika intensitas hujan yang turun tinggi, dan nilai koefisien yang tinggi pula, maka jumlah aliran permukaan akan tinggi. Berbagai metode telah dikembangkan untuk mencari nilai C. Salah satunya dengan berdasar pada vegetasi. Semakin rendah kerapatan dan luas vegetasi, maka infiltrasi air oleh tanah akan berkurang. Hal ini mengakibatkan aliran permukaan menjadi lebih tinggi. Luas dan kerapatan vegetasi dapat diidentifikasi langsung di lapangan, maupun interpretasi pada citra penginderaan jauh. Akan tetapi dengan daerah yang cukup luas, hal tersebut akan memerlukan waktu yang lama. Dengan meningkatnya pemanfaatan penginderaan jauh, maka berkembang pula teknik manipulasi atau transformasi citra penginderaan jauh untuk berbagai tujuan. Salah satunya adalah transformasi Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). Transformasi NDVI dapat menggambarkan luas dan kerapatan vegetasi. Pada penelitian ini digunakan citra ALOS AVNIR - 2 untuk transformasi NDVI dengan ukuran tiap piksel 10m x 10m. Hasil dari transformasi NDVI kemudian dapat digunakan untuk menghitung nilai kerapatan vegetasi tiap piksel, dengan analisis regresi. Perhitungan kerapatan vegetasi dilakukan dengan pengambilan sampel. Nilai kerapatan vegetasi tersebut kemudian diubah menajdi nilai koefisien aliran. Nilai koefisien aliran tersebut merupakan nilai persentase jumlah aliran permukaan untuk setiap piksel.
14
Metode rasional kemudian digunakan untuk menghitung debit rencana. Metode ini menggunakan parameter koefisien aliran yang telah dihitung sebelumnya serta intensitas hujan dan luas DAS. Intensitas hujan dapat dihitung dengan rumus Mononobe. Debit hasil perhitungan dibandingkan dengan debit sungai pada saat terjadi banjir. Jika debit hasil perhitungan melebihi debit saat banjir, maka vegetasi pada DAS Garang perlu ditambah. Untuk itu perlu diketahui luas dan kerapatan minimal pada DAS Garang agar tidak banjir dengan cara menambahkan luas vegetasi pada daerah yang telah dipilih. Pemilihan daerah yang dapat ditambah vegetasi, yaitu dengan menggunakan peta arahan penggunaan lahan. Peta arahan penggunaan lahan, diperoleh dengan melakukan tumapang susun peta tanah, peta hujan dan peta lereng.
15
Gambar 1.2 Kerangka Pemikiran