BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perseroan memainkan peranan penting dalam perekonomian nasional. Banyak masyarakat yang mengambil badan hukum ini sebagai pilihan dalam menjalankan usahanya dikarenakan pertanggungjawaban terbatas yang dimiliki oleh badan hukum ini. Peraturan perundang-undangan tentang perseroan terbatas (untuk selanjutnya disebut perseroan) telah beberapa kali mengalami perubahan, hingga terakhir kalinya diatur dalam Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007. Perubahan peraturan ini bertujuan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat akan pengaturan badan usaha dengan bentuk perseroan terbatas. 1 Perseroan merupakan suatu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban seperti halnya manusia dan oleh karenanya dapat mengadakan suatu hubungan hukum serta merupakan subjek hukum yang mandiri (Person Standi in Judicio). Sebagai subjek hukum yang mandiri, badan hukum Perseroan dianggap sama dengan manusia biasa yang secara hukum dapat digugat dan menggugat, memberikan kuasa, membuat perjanjian, mengatur kehidupannya sendiri, mempunyai utang piutang serta kekayaan tersendiri layaknya manusia biasa.
2
Perseroan terbatas juga memberikan kemudahan bagi
1
Frans Satrio Wicaksono, Tanggung Jawab Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris Perseroan Terbatas (PT), (Jakarta : Visimedia, 2009), hal 9 2 http;//en.wikipedia.org/wiki/Corporations, diakses tanggal 20 April 2010.
Universitas Sumatera Utara
pemegang saham untuk mengalihkan sebagian ataupun menjual perusahaannya kepada setiap orang dengan menjual seluruh saham yang dimilikinya pada perusahaan tersebut. 3 Berdasarkan UUPT Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 1 ayat (1) dapat diketahui bahwa perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Sebagai badan hukum, perseroan memiliki status, kedudukan dan kewenangan yang dapat dipersamakan dengan manusia sehingga disebut artificial legal person, maka ia tidak memiliki kehendak dan tidak dapat bertindak sendiri, Oleh karena itu diperlukan orang-orang yang memiliki kehendak untuk perseroan sesuai tujuan pendiriannya. Orangorang yang menjalankan, mengurus dan mengawasi perseroan inilah yang disebut organ. Sebagaimana layaknya manusia, perseroan juga memiliki organ, hanya saja organ perseroan hanya tiga, yaitu Rapat Umum Pemegang Sahan (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. 4 Direksi adalah organ perseroan pemegang kekuasaan eksekutif di perseroan. Direksi mengendalikan operasi perseroan sehari-hari dalam batas-batas yang ditetapkan oleh UUPT, anggaran dasar dan RUPS serta di bawah pengawasan dewan komisaris. Tugas dan fungsi utama direksi adalah menjalankan roda manajemen perseroan secara menyeluruh. Dengan demikian, setiap anggota direksi haruslah orang yang berwatak baik, berpengalaman, mempunyai kompetensi menduduki jabatan dan melaksanakan setiap
3
Sentosa Sembiring, Hukum Perusahan tentang Perseroan Terbatas, (Bandung : Nuansa Aulia, 2006), hal 1 4 Ridwan Khairandy, Perseroan sebagai Badan Hukum, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 26, 2007, hal 5
Universitas Sumatera Utara
kegiatan semata-mata untuk kepentingan perseroan. 5 Ketidak-transparanan direksi dalam hal mengambil keputusan dan cenderung mengambil keuntungan adalah hal yang sering terjadi di dalam suatu perusahaan. Krisis Moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997 memperlihatkan bukti itu. Perusahaan-perusahaan besar yang dulu begitu kuat, ternyata hancur oleh sistem pengelolaan yang tidak baik, misalnya penggunaan dana untuk investasi jangka panjang sementara dana itu diperlukan perusahaan untuk kegiatan jangka pendek, pengucuran dana yang berlebihan kepada perusahaan yang dalam satu kelompok. 6 UUPT mendefinisikan Direksi dalam Pasal 1 angka 5 yakni direksi sebagai organ perseoan yang berwenang dan bertanggungjawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Sedangkan untuk menjalankan tugasnya terdapat dalam Pasal 97 ayat (1), yang menyatakan bahwa: “Direksi bertanggung jawab atas pengurusan Perseroan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1)” 7 Dalam hal ini perseroan akan tetap terus diwakili oleh Direksi,
keberadaan
direksi dalam perseroan terbatas ibarat nyawa bagi perseroan, tidak mungkin suatu perseroan tanpa adanya direksi, oleh karena itu, keberadaan direksi dalam perseroan
5
Mas Achmad Daniri, Good Corporate Governance Konsep dan Penerapannya dalam Konteks Indonesia. (Jakarta : Gloria Printing, 2002) Hal 129 6 M. Irsan Nasaruddin- Indah Surya, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, (Jakarta : Preneda Media, 2004), hal 244. 7 Pasal 92 ayat (1) ‘’ Direksi menjalankan pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan.”
Universitas Sumatera Utara
terbatas sangat penting. 8 Direksi dengan perseroan (korporasi) sebagai badan hukum terdapat hubungan fiduciary 9 sehingga pihak direksi hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada perseroan. Dalam UUPT hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (2) “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab” Dalam menjalankan tugasnya direksi harus memperhatikan beberapa prinsipprinsip tanggung jawab direksi dalam menjalankan perseroan yakni duty of skill and care (prinsip kehati-hatian dalam tindakan direksi), duty of loyalty (itikad baik dari direksi semata-mata demi tujuan perseroan) dan no secret profit rule doctrine of corporate opportunity (tidak menggunakan kesempatan pribadi atas kesempatan milik atau peruntukan bagi perseroan) serta memiliki tugas-tugas dan kewajiban yang berdasarkan undang-undang (statutory duty). 10 Prinsip-prinsip manajemen perseroan yang baik (Good Corporate Governance) juga merupakan tugas direksi yang harus dikembangkan olehnya dalam kepengurusan perseroan. Hal yang paling relevan dengan pengembangan sistem dan manajemen
8
Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, keberadaan, tugas, wewenang, dan tangung jawab, (Jakarta : Ghalia, 2008), hal. 40 9 Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya, yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang yang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dari kewajiban (standard of duty) yang paling tinggi sesuai dengan yang dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian (scrupulous), itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). termasuk juga di dalamnya seorang lawyer yang mempunyai hubungan fiduciary dengan client-nya. http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/pertanggungjawaban -direksi diakses tanggal 27 Mei 2010 10 Robert J.P, Lebih Jauh tentang Kepailitan, (Jakarta : Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, 1998), hal 5
Universitas Sumatera Utara
perseroan adalah akuntabilitas dari perseroan itu sendiri. Berdasarkan prinsip tersebut, masing-masing komponen perusahaan, pemegang saham melalui lembaga RUPS, komisaris, dan direksi dituntut untuk mengerti dengan baik hak dan kewajiban, kewenangan, serta tanggung jawabnya. 11 Dengan kata lain Lembaga RUPS merupakan lembaga yang dapat digunakan oleh komponen perusahaan dan pemegang saham untuk mengetahui bagaimana kinerja dari direksi mereka. 12 Dengan demikian, direksi dan komisaris akan selalu menjaga profesionalismenya dalam mengamankan investasi dan asset perusahaan yang diamanatkan oleh pemegang saham khususnya dan stake holder pada umumnya. direksi juga dapat dan perlu untuk membuat mekanisme pengawasan internal bagi perseroan, yang meliputi bidang-bidang manajemen perusahaan pada umumnya, seperti keuangan, produksi, operasional dan marketing. Sementara itu, komisaris juga dituntut untuk harus terus menjaga kebijakankebijakan dalam keputusan direksi dan memberikan masukan-masukan untuk menghindari kesalahan manajemen serta penyalahgunaan wewenang oleh direksi dan karyawan dalam perseroan. 11
Ibid, hal 122 Adapun tanggung jawab direksi dalam kaitannya dengan RUPS pada umumnya adalah merupakan sebagian tugas dan wewenang direksi perseroan, yang dapat diuraikan sebagai berikut: 1. karena tugas dan wewenang setiap anggota Direksi serta besar dan jenis penghasilan Direksi ditetapkan oleh RUPS, dan Direksi itu sendiri diangkat dan diberhentikan oleh RUPS, maka Direksi bertanggung jawab kepada RUPS untuk memberikan laporan pertanggungjawaban mengenai segala pelaksanaan tugas dan wewenangnya terhadap perseroan. 2. direksi wajib dan bertanggung jawab untuk membuat risalah RUPS. 3. direksi bertanggung jawab melaksanakan pemanggilan dan penyelenggaraan RUPS tahunan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban seperti yang diatus dalam UUPT dan untuk kepentingan perseroan berwenang menyelenggarakan RUPS lainnya. 4. menjalankan semua keputusan RUPS yang telah disahkan pada rapat. 5. direksi wajib memberitahukan hasil keputusan RUPS kepada para pemegang saham. 6. direksi wajib meminta persetujuan RUPS untuk mengalihkan atau menjadikan jaminan utang, seluruh atau sebagian besar kekayaan perseroan. 7. direksi wajib mengadakan dan meminta persetujuan RUPS untuk perubahan anggaran dasar, penambahan modal perseroan, penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan pembubaran perseroan. Lihat,Parsian Simanungkalit, RUPS Kaitannya Dengan Tanggung Jawab Direksi Pada Perseroan Terbatas, (Jakarta : Yayasan Wajar Hidup, 2006), hal 74 12
Universitas Sumatera Utara
Dalam praktik, masih banyak perusahaan besar yang tetap diatur oleh pemilik. Penempatan Direktur atau Komisaris yang masih bertalian keluarga atau sahabat karib dari pemegang saham merupakan konsekuensi dari keengganan pemilik untuk melepas sepenuhnya kendali perusahaan. 13 Mengingat pentingnya peran direksi, maka sebagian besar perseroan yang baru didirikan, jabatan direksi biasanya dipegang oleh pemilik modal atau keluarganya, kecuali untuk perseroan-perseroan yang telah go public ataupun telah cukup lama berkembang sehingga diperlukan tenaga-tenaga professional untuk menanganinya. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, perbuatan yang dilakukan oleh direksi dianggap dan diperlakukan sebagai tindakan dan perbuatan yang dilakukan oleh perseroan. Sepanjang bertindak sesuai apa yang ditentukan dalam anggaran dasar perseroan, maka perseroanlah yang akan menanggung semua akibat dari perbuatan direksi tersebut. Sedangkan bagi tindakan-tindakan direksi yang merugikan perseroan, yang dilakukannya diluar batas dan kewenangan yang diberikan atau bahkan sesuatu yang dilakukannya demi kepentingan dirinya sendiri maka atas tindakan tersebut pribadi direksi dapat dimintakan pertanggung jawabannya. Direksi dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. 14 Tanggung jawab terhadap kerugian perseroan ini dapat ditujukan baik terhadap perseroan itu sendiri, tiap-tiap pemegang saham atau kreditor dalam hal terjadinya kepailitan perseroan. Dalam konteks yang demikian berarti baik perseroan, pemegang saham ataupun kreditor yang dirugikan sebagai akibat berkurangnya harta 13
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktik, Buku Kesatu, cetakan Ketiga, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), , hal 52 (selanjutnya disebut Munir Fuady I) 14 Frans Satrio Wicaksono, Op.Cit, hal 119
Universitas Sumatera Utara
kekayaan perseroan karena tidak adanya itikad baik direksi yang terjadi sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya dalam bertindak, berbuat atau mengambil keputusan, berhak untuk menggugat direksi. Ketentuan selanjutnya diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa “ Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”. Dalam menjalankan sebuah perusahaan seringkali direksi sebagai sebagai organ didalamnya mengambil keputusan bisnis yang seringkali spekulatif dan bertendensi untuk mengalami kerugian, bisa saja dikarenakan ada hal-hal genting yang harus segera diambil untuk menyelamatkan perusahaan dari kerugian yang lebih besar atau sebaliknya dapat membawa keuntungan besar bagi perusahaan jika diambil tindakan cepat yang tepat, karena bagaimanapun keputusan direksi harus dihormati oleh semua pihak bahkan pengadilan,
sebab
mereka
adalah
orang-orang
yang
memang
mengerti
dan
berpengalaman dibidang bisnisnya, terutama masalah yang kompleks, karena itu direksi patut diberikan diskresi yang besar, mereka yang berpengalaman dan mempunyai pengetahuan bisnis tentunya adalah pihak direksi. 15 Disisi lain ada juga direktur yang disela-sela kegentingan tersebut juga mengambil keuntungan pribadi didalamnya, dengan kata lain bukan untuk perusahaan, oleh karena itu disinilah pentingnya standar mengenai pertanggungjawaban untuk dapat melihat keputusan bisnis manakah yang diambil sesuai dengan prosedur demi kepentingan perusahaan ataukah keputusan bisnis yang diambil untuk kepentingan si direktur itu sendiri. Tanpa adanya standar yang jelas mengenai pertanggungjawaban
15
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya dalam Hukum Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal 199 (selanjutnya disebut Munif Fuady II)
Universitas Sumatera Utara
direksi maka dikhawatirkan direksi tidak akan berani mengambil keputusan bisnis. Hal ini bertentangan dengan posisi perusahaan sebagai risk taker sehingga secara tidak langsung akan menghentikan continuous improvement dari perusahaan itu sendiri. Atas latar
belakang
itu
pengadilan
yang
menganut
sistem
hukum
common
law
mengembangkan konsep business judgement rule yang dimaksudkan untuk melindungi direksi dan karyawan hanya yang beritikad baik, dari pertanggungjawaban secara pribadi akibat keputusan bisnis yang menyebabkan kerugian bagi perusahaan. Tentu saja tidak semua keputusan dan kebijakan direksi dapat berlindung dengan alasan pertimbangan bisnis sehingga dapat berlindung dalam business judgement rule, walaupun business judgement rule merupakan penyeimbang prinsip fiduciary duty. Di Amerika Serikat, menurut Sutan Remy bahwa setelah beliau mempelajari putusanputusan di Amerika, ternyata pengadilan-pengadilan itu tidak seragam dalam merumuskan pengecualian-pengecualian hal tersebut. Beberapa pengadilan berpendapat bahwa pertimbangan anggota direksi tidak dapat diganggu guugat kecuali apabila pertimbangan tersebut didasarkan atas sutau kecurangan (fraud), atau menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest), atau merupakan perbuatan melanggar hukum (illegality). Sementara beberapa pengadilan lain berpendapat bahwa, seorang direktur yang mengambil alih pertimbangan telah menimbulkan kerugian bagi perseroan, tidak dilindungi oleh business judgement rule, jika kerugian tersebut sebagai akibat kelalaian berat anggota direksi bersangkutan. 16 Dipandang secara sekilas hukum perseroan mengisyaratkan bahwa direksi harus mengelola perseroan dengan kehati-hatian (care) yang semestinya sebagaimana halnya
16
Sutan Remy Sjahdeni, Tanggung Jawab Pribadi Direksi dan Komisaris, Jurnal Hukum bisnis, Vol 14, 2001, hal 101
Universitas Sumatera Utara
para pengemudi harus mengendarai mobilnya dengan penuh kehati-hatian. 17 Direksi tidak boleh mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan dan mengambil tindakan yang mengakibatkan benturan kepentingan dengan membuat tindakan sepihak (self dealing). Jika hal tersebut terjadi maka kerugian yang timbul dalam keputusan atau tindakan tersebut merupakan tanggung jawab pribadi direksi. Dalam UUPT Nomor 40 tahun 2007, tidak ada secara khusus mengenai pengaturan hal tersebut diatas namun secara tersirat terdapat dalam Pasal 97 ayat (3) yaitu; “Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)” Selanjutnya yang dimaksudkan pada ayat 2 Pasal 97 ayat (3) UUPT tersebut yakni berisi tentang kewajiban direksi yang harus melaksanakan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain jika direksi melakukan sesuatu yang tidak beritikad baik yakni dengan melakukan self dealing maka ia bisa dikatakan bersalah dan lalai dalam menjalankan tugasnya maka kerugian yang timbul ditanggung secara pribadi oleh direksi. Berbeda dengan di Indonesia Negara-negara common law telah ada klasifikasi dari itikad baik tersebut, adapun yang dimaksud dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab di Negara-negara yang menganut sistem hukum common law yakni dengan tidak melakukan hal-hal seperti menghadiri rapat-rapat, tidak mempelajari hal-hal mendasar dari bisnis perseroan
dipimpinnya, tidak membaca laporan-laporan, tidak berupaya
meminta bantuan yang diperlukan ketika telah ada isyarat mengenai datangnya bahaya 17
Sebagaimana dikutip dari Detlev F. Vagts, Basic Corporation Law Materials-cases Text, (New York:The Foundation Press Inc.1989.) oleh Bismar Nasution http://bismar.wordpress.com/2009/12/23/pertanggungjawaban -direksi diakses tanggal 27 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
terhadap perseroan, atau telah mengabaikan kewajiban untuk melakukan tindakan dengan berhati-hati. Sehubungan dengan hal ini, sistem hukum common law telah mengecam dan memperingatkan para anggota direksi perseroan untuk jangan hanya menjadi direksi boneka, yaitu hanya menjadi pajangan saja di dalam perseroan. 18 Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, sebagai akibat dari tindakan direksi yang merugikan perseroan, maka perseroan dapat menggugat direksi tersebut untuk bertanggung jawab secara pribadi atas kerugian yang telah ditimbulkannya. Untuk membahas mengenai pertanggungjawaban pribadi direksi atas kerugian perseroan yang akan diteliti dalam tesis ini, maka penulis melakukan analisis terhadap putusan perkara perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL antara PT. Sigma Batara melawan Mantan direksi Indover Bank, dimana perseroan yang bergerak dibidang perdagangan efek, penjamin emisi dan manajer investasi mengajukan gugatan terhadap mantan direksinya yang telah melakukan tindakan sepihak (self dealing) yang merugikan perseroan dengan membeli surat utang (prommisory note) yang telah jatuh tempo dan gagal bayar (default) yang diputuskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, dapatlah dirumuskan beberapa pokok permasalahan dalam tesis ini, yaitu: 1.
Bagaimana pengaturan self dealing dalam hukum perusahaan di Indonesia?
2.
Bagaimana kriteria yang dapat menjerat direksi agar mempertanggungjawabkan kerugian perusahaan secara pribadi?
18
Frans Satrio Wicaksono, Op.cit., hal 130
Universitas Sumatera Utara
3.
Bagaimana pertanggungjawaban direksi dalam transaksi Self Dealing pada Putusan Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL.?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaturan self dealing dalam hukum perusahaan di Indonesia. 2. Untuk
mengetahui
kriteria
yang
dapat
menjerat
direksi
agar
mempertanggungjawabkan kerugian perusahaan secara pribadi 3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban direksi dalam transaksi Self Dealing pada Putusan Perkara Perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL.
D. Manfaat Penelitian Diharapkan kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini, baik bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1. Bersifat Teoritis Penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya ilmu hukum perusahaan dan hukum ekonomi pada umumnya. Juga diharapkan menambah khasanah kepustakaan yang berkaitan dengan substansi hukum perusahaan.
Universitas Sumatera Utara
2. Bersifat Praktis Secara praktis penelitian ini ditujukan kepada kalangan praktisi, agar dapat lebih mengetahui dan memahami tentang Pertanggungjawaban pribadi direksi atas kerugian perseroan, serta memberi masukan kepada setiap orang yang merupakan anggota direksi agar lebih professional dan berhati-hati dalam melakukan pengurusan perseroan.
E. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada yang terdapat di perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui penelitian mengenai bahasan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi sudah ada, tetapi pembahasan mengenai self dealing belum pernah dilakukan oleh karena itu Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian Perseroan Dalam Self Dealing belum pernah dilakukan dalam topik dan permasalahan yang sama. Jadi penelitian ini dapat disebut “asli” sesuai dengan asasasas keilmuan yaitu jujur, rasional, dan objektif serta terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
F.
Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka teori Untuk mengetahui tentang Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian
Perseroan Dalam Self Dealing didasarkan kepada teori yang saling berkaitan maksudnya teori yang belakangan merupakan reaksi atau perbaikan dari teori sebelumnya,
Universitas Sumatera Utara
19
Dalam kaitan teori yang dipergunakan dalam penulisan ini berawal dengan teori pengaruh manajerial (managerial influence theory), dimana perkembangan tentang pengaturan self dealing adalah sebagai akibat dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing tersebut. Di mulai pada hak perorangan yang lahir dari perjanjian dalam mendirikan Badan Hukum yang berbentuk PT. Pasal 1 ayat 1 UUPT Nomor 40 Tahun 2007 menyatakan bahwa Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan mewakili persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. Hak dan kewajiban tiap anggota badan hukum ditetapkan dalam peraturan-peraturan yang menjadikan badan hukum atau perkumpulan tersebut didirikan atau diakui, menurut akta pendirian sendiri, perjanjian sendiri, atau peraturan perundang-undangan. Para anggota badan hukum sebagai
perseorangan
tidak
bertanggung
jawab
atas
perjanjian-perjanjian
perkumpulannya. Semua hutang perkumpulan itu hanya dapat dilunasi dengan harta benda perkumpulan.
20
Dengan kata lain pertanggungjawaban tersebut adalah
pertanggungjawaban terbatas atau tanggung jawab terbatas berkaitan dengan tindakan pengurus, pemegang saham maupun perseroan terbatas itu sendiri. Jadi makna terbatas itu sekaligus mengandung arti keterbatasan, baik dari sudut perseroan terbatas, penanam 19
Made Wiratha, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi dan Tesis, (Yogyakarta : Andi, 2006), hal 6 20 Frans Satrio Wicaksono, Op. cit., hal 4
Universitas Sumatera Utara
modal maupun pengurus perseroan terbatas. Oleh karena itulah tanggung jawab terbatas mengandung arti penting sebagai umpan pendorong agar orang bersedia ikut serta menanamkan modal. Jadi dengan pertanggungjawaban terbatas itu sudah dapat diramalkan seberapa besar maksimal resiko kerugian yang mungkin diderita. 21 Tugas dan tanggung jawab melakukan pengurusan sehari-hari perseroan untuk kepentingan perseroan dilimpahkan dengan menunjuk direksi sebagai agen dari perseroan yang dituntut untuk bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan, serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun luar pengadilan. Direksi dengan iktikad baik dan penuh tanggung jawab harus menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. 22 Dalam sistem common law hal tersebut dikenal dengan prinsip fiduciary duties, dimana direktur telah mengikatkan diri dengan atau kepada perseroan untuk bertindak dengan itikad baik (bonafide) untuk kemanfaatan atau keuntungan perseroan. Segala hak dan kewajiban yang diberikan kepada direktur harus dijalankan untuk memajukan perseroan. Jadi, terdapat relasi integral antara kepentingan perseroan dengan itikad baik yang kedua-duanya harus dijalankan, dengan kata lain secara kumulatif bukan
21
Rudhy Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas Dengan Ulasan Menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1995, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2002), hal 12 (selanjutnya disebut Rudhy Prasetya I) 22 Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, direksi harus bertolak dari landassan bahwa tugas dan wewenang yang diperolehnya didasarkan pada dua prinsip, yaitu : pertama, kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya (Fiduciary Duty), dan kedua, prinsip yang merujuk pada kemampuan serta kehati-hatian tindakan direksi (duty of skill and care). Lihat Chatamarrasyid Ais, Penerobosan Cadar Perseroan dan Soal-soal aktual Hukum Perusahaan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal 7
Universitas Sumatera Utara
alternatif. 23 Direksi dapat digugat secara pribadi kepengadilan negeri jika perseroan mengalami kerugian yang disebabkan oleh kesalahan dan kelalaiannya. 24 Prinsip-prinsip manajemen perseroan yang baik, yang telah diakomodasi dalam ketentuan-ketentuan undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tersirat dalam Pasal 97 ayat (2) UUPT ini bahwa anggota direksi Wajib melaksanakan tugasnya dengan iktikad baik (in good faith) dan dengan penuh tanggung jawab (an withful sense of resposibility). Direksi tidak boleh mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan dan mengambil tindakan yang mengakibatkan benturan kepentingan dengan membuat tindakan sepihak (self dealing). Di Indonesia tidak ada pengaturan secara khusus mengenai hal ini namun hanya tesirat dalam ketentuan selanjutnya yakni diatur dalam Pasal 97 ayat (3) UUPT menyatakan bahwa “ Setiap anggota direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). Berkaitan dengan hal tersebut apabila direksi ternyata terbukti bersalah karena sengaja atau lalai dalam menjalankan kewajiban fiduciary duty 25 –nya tersebut, maka terhadap kerugian yang diderita perseroan, perseroan berhak untuk menuntutnya dari direksi tersebut. 26
23
Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissementsverordening juncto UU No. 4 Tahun 1998, (Pustaka Utama Grafiti : Jakarta), 2002, hal 425 24 Frans Satrio Wicaksono, Op. cit., hal 119 25 Fiduciary berasal dari akar bahasa latin yaitu fides yang berarti faith (kepercayaan). Benny S. Tabalajuan dan Valerie Du Toit-low,1997, seperti dikutip oleh Cornelius Simanjuntak dan Natalie Mulia, Organ Perseroan Terbatas, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009) , hal 39 26 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, (Jakarta : Forum Sahabat, 2008), hal 79-80
Universitas Sumatera Utara
Hal ini berkaitan dengan Prinsip Tanggung Jawab Direktur atau yang sering disebut dengan Fiduciary Duty.
27
Prinsip ini meletakkan direktur sebagai trustee dalam
pengertian hukum trust, sehingga seorang direktur haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (Duty of Care dan Duty of Loyality), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi (High Degree). 28 Dalam hal kelalaian tersebut, prinsip fiduciary duty oleh direksi ini dikembangkan sampai batas –batas tertentu dan diterapkan pula terhadap beberapa pihak lain dalam perseroan, jika
terdapat unsur kelalaian dan pelampauan wewenang yang diberikan
padanya maka kerugian yang diderita pihak ketiga bukan menjadi tanggungjawab perseroan, melainkan menjadi tanggung jawab pribadi direksi seluruhnya. Sebaliknya, direksi tidak bertanggungjawab secara pribadi kepada pihak ketiga, seandainya dapat membuktikan bahwa direksi telah menjalankan kepengurusan dan perwakilan perseroan dengan sebaik-baiknya dengan batas wewenang yang diberikan anggaran dasar. Dalam hal demikian, perseroanlah yang memikul tanggung jawab atas segala akibat hukum dari perikatan perseroan yang dilakukan dengan pihak ketiga dan direksi terbebas dari tanggung jawab secara pribadi terhadap pihak ketiga yang telah melakukan perikatan dengan perseroan. 29 Namun dalam ketentuan undang-undang tersebut hanya menjelaskan tanggung jawab direksi secara umum berdasarkan hubungan kepercayaan (fiduciary of
27
. Prinsip ini ditemukan dan dielaborasi oleh Court of Chancery pada sekitar abad 18-19 untuk menjamin bahwa orang yang memegang aset atau menjalankan fungsi dalam kapitasnya sebagai perwakilan untuk kepentingan orang lain berlaku dengan itikad baik dan secara konsisten melindungi kepentingan dari orang yang diwakilinya 28 . Munir Fuady, Perseroan Terbatas- Paradigma Baru, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal 81.(selanjutnya disebut Munir Fuady III) 29 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perseroan Terbatas, (Bandung : PT Alumni, 2004), hal 179
Universitas Sumatera Utara
relationship) antara direksi dan perseroan. Jika diperjelas lebih dalam, fiduciary of relationship tersebut mengandung tiga faktor penting, yaitu: 1. prinsip kehati-hatian dalam bertindak bagi direksi (duty of skill and care); 2. prinsip itikad baik untuk bertindak semata-mata demi kepentingan dan tanggung jawab perseroan (duty of loyality); dan 3. prinsip tidak mengambil keuntungan pribadi atas suatu kesempatan yang sebenarnya milik atau diperuntukkan bagi perseroan (no secret profit ruledoctrine of corporate opportunity) 30 Dalam perkembangannya penerapan prinsip fiduciary duty telah menimbulkan kekhawatiran yang mendalam bagi para direktur untuk mengambil keputusan bisnisnya. Dalam dunia bisnis adalah lazim bagi direktur untuk mengambil sebuah keputusan yang bersifat spekulatif karena ketatnya persaingan usaha. Permasalahan timbul ketika keputusan bisnis yang diambilnya ternyata merugikan perusahaan,
padahal
dalam
mengambil
keputusan
tersebut,
direktur
tersebut
melakukannya dengan jujur dan itikad yang baik. Untuk melindungi para direktur yang beritikad baik tersebut maka muncul Teori Business Judgement Rule yang merupakan salah satu teori yang sangat populer untuk menjamin keadilan bagi para direktur yang mempunyai itikad baik. Penerapan teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi para direktur sebuah perusahaan terbatas dalam melakukan suatu keputusan bisnis. Menurut Sutan Remy Sjahdeini, berdasarkan Business Judgement Rule, pertimbangan bisnis para anggota direksi tidak dapat ditantang atau diganggu gugat atau ditolak, baik oleh pengadilan maupun pemegang saham. Para anggota direksi tidak dapat 30
Frans Satrio Wicaksono, Op. cit., hal 120
Universitas Sumatera Utara
dibebani tanggung jawab atas akibat-akibat yang timbul karena telah diambilnya suatu pertimbangan bisnis oleh anggota direksi yang bersangkutan sekalipun pertimbangan itu keliru, kecuali dalam hal-hal tertentu, kemudian disebutkan juga bahwa hal tersebut prinsipnya mencegah campur tangan judisial terhadap tindakan direksi yang didasari iktikad baik dan kehati-hatian dalam rangka mencapai tujuan perusahaan yang sah menurut hukum. 31 Dalam Ilmu hukum Teori Business Judgement Rule diartikan sebagai aplikasi spesifik dari standar tingkah laku direktur pada sebuah situasi dimana setelah pemeriksaan secara wajar, Direktur yang tidak mempunyai kepentingan pribadi menggunakan serangkaian tindakan dengan itikad baik, jujur dan secara rasional percaya bahwa tindakannya dilakukan hanya semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Menurut Hukum Common Law direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu. misalnya: Direktur dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau menyalahgunakan dana perusahaan, juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia mengisukan sebagai saham yang disetor penuh padahal secara faktual saham tersebut belum disetor sama sekali, disamping itu menurut hukum Common Law (di Amerika Serikat) tanggung jawab direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, akan tetapi untuk dibebankan tanggung jawab direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal berikut ini terhadap perusahaannya,yakni 32 : a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau
31
Jamin Ginting, Hukum Perseroan Terbatas ( UU No. 40 Tahun 2007), (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007), hal 119 32 Munir Fuady I,Op.CIt, hal 60.
Universitas Sumatera Utara
b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau c. ikut dalam berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut Terhadap transaksi yang di lakukan atas nama dewan direksi, dalam keadaan tertentu di Amerika Serikat seseorang direktur bahkan bertanggung jawab secara pribadi sungguhpun dia berkeberatan dengan voting untuk menolaknya. menurut RMBCA Pasal 8.24(d), seorang direktur dipresumsi menyetujui terhadap perbuatan dewan direksi dan karenanya harus bertanggung jawab secara hukum,kecuali dia voting untuk menolaknya dan penolakannya dicatat menurut cara-cara yang tertentu. Pengadilan-Pengadilan Amerika Serikat cukup berhati-hati dalam mencari keseimbangan, dimana salah satu pihak menyalahkan direktur yang berbuat tidak layak untuk perusahaannya yakni bertentangan dengan prinsip “duty of care” tetapi di lain pihak pengadilan tidak layak jika tidak terlalu jauh mencampuri dan/atau menilai kebijaksanaan yang telah di lakukan oleh direktur. Dengan perkataan lain pengadilan tidak akan second guess terhadap keputusan bisnis yang telah diambil oleh direktur, sungguhpun keputusan direktur tersebut jelas-jelas tidak tepat (clear mistakes) yang lebih sering disebut (honest mistakes) kecuali terhadap beberapa pengecualiannya. inilah yang sering disebut dengan sebutan “Business Judgement Rule”. 33 Business Judgement Rule ini sering juga diterapkan terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan pembagian deviden, berarti umumnya pengadilan
33
http://yahyazein.blogspot.com/2009/07/perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html.
diakses
tanggal 27 Juli 2010
Universitas Sumatera Utara
dalam hal ini tidak akan meninjau kembali segala keputusan direktur terhadap hal tersebut. Business Judgement Rule disini mengandung unsur “reasonable deligence” 34 Ketentuan Pasal 97 ayat (5) UUPT menggambarkan dengan jelas makna dari itikad baik (good faith) dan prinsip kehati-hatian (due care) dalam businesss judgment rule bagi setiap anggota Direksi. Setiap pembuktian yang secara tegas dan jelas menyatakan bahwa direksi telah melanggar fiduciary duty atau telah melakukan kelalaian berat (gross negligence), kecurangan (fraud), hal-hal yang di dalamnya memiliki unsur atau menerbitkan terjadinya benturan kepentingan (conflict of interest), atau perbuatan yang melanggar hukum (illegality), maka prinsip business judgment rule tidak lagi melindungi direksi secara keseluruhan. Dengan aturan Pasal 97 ayat (4) UUPT, tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab renteng bagi seluruh anggota direksi. Jadi bagi anggota direksi yang ingin lepas dari tanggung jawab renteng ataupun tanggung jawab pribadi direksi tersebut maka ia harus dapat membuktikan sebaliknya, bahwa : a. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; b. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan; c. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan mengakibatkan kerugian; dan d. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut. 35 Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka penulis melakukan analisis terhadap putusan perkara perdata Nomor: 305/Pdt.G/1998/PN.JAK.SEL, dimana perseroan yang 34
Ibid Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris dan Pemilik PT, Jakarta; Forum Sahabat, 2008, hal 81 35
Universitas Sumatera Utara
bergerak dibidang perdagangan efek, penjamin emisi dan manajer investasi mengajukan gugatan terhadap mantan direksinya yang telah melakukan tindakan sepihak (self dealing) yang merugikan perseroan dengan membeli surat utang (prommisory note) yang telah jatuh tempo dan gagal bayar (default). Pelanggaran prinsip fiduciary duty dalam melakukan pengurusan perseroan dimana direksi melakukan sebuah kecurangan (fraud), sehingga seorang direksi yang mempunyai duty of care dan duty of loyality terhadap perseroan melakukan self dealing dimana pada saat itu kepentingan keuangan secara potensial bertentangan dengan kepentingan perseroan.
2.
Kerangka Konsepsi Konsep atau pengertian, merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, maka
untuk menghindari terjadinya salah tafsir dalam penelitian dan untuk menyamakan persepsi maka perlu penulis kemukakan beberapa konsep yang mengandung: 1.
P.T adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. 36
2. Badan Hukum adalah suatu badan yang memiliki harta kekayaan terlepas dari anggota-anggotanya,
dianggap
sebagai
subjek
hukum
mempunyai
kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, mempunyai tanggung jawab dan memiliki hak-hak serta kewajiban seperti yang dimiliki oleh seseorang. Pribadi hukum ini memiliki kekayaan tersendiri, mempunyai pengurus atau
36
Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 40 Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
pengelola dan dapat bertindak sendiri sebagai pihak di dalam suatu perjanjian. 37 3. Pertanggungjawaban adalah Perbuatan bertanggung jawab (berkewajiban menanggung; memikul tangung jawab) 38 4. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Komisaris. 39 5. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undangundang ini dan/atau anggaran dasar. 40 6. Direksi adalah Organ Perseroan yang berwewenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.41 7. Fiduciary Duty adalah tugas yang dijalankan oleh Direktur dengan penuh tanggung jawab untuk kepentingan (benefit) orang atau pihak lain (perseroan).
42
Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary
menyatakan bahwa: “fiduciary duty, a duty to act for someone else’s benefit, while subordinating one’s personal interest to that of the other person. It’s the hignest standars of duty implied by law” 43 artinya : suatu tindakan untuk
37
Purnadi Purbacaraka dan Agus Brotosusilo, Sendi-sendi Hukum Perdata, (Jakarta ; Rajawali, 1983) hal 51 38 http://www.sms-anda.com/indonesia/kamus/indonesia. diakses tanggal 31 Mei 2010 39 Pasal 1 angka 2 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 40 Pasal 1 angka 4 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 41 Pasal 1 angka 5 Undang-undang No. 40 Tahun 2007 42 Munir Fuady II, hal 33 43 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (West Kellgg Boulevard; West Publishing, 1990), hal 675
Universitas Sumatera Utara
dan atas nama orang lain, di mana seseorang mewakili kepentingan orang lain yang merupakan standar tertinggi dalam hukum. 8. Business Judgment Rule adalah aturan yang memberikan kekebalan atau perlindungan bagi manajemen perseroan dari setiap tanggung jawab yang lahir sebagai akibat dari transaksi atau kegiatan yang dilakukan olehnya sesuai dengan batas-batas kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya, dengan pertimbangan bahwa kegiatan tersebut telah dilakukan dengan memperhatikan standar kehati-hatian dan itikad baik. 44 9. Self Dealing adalah suatu keadaan dimana seorang pengambil keputusan dan perusahaan berada pada sisi yang berlawanan didalam sebuah transaksi tersebut atau dengan kata lain pengambil keputusan itu membantu mempengaruhi pengambilan keputusan perusahaan untuk memasuki atau menerima transaksi tersebut. “Ketika seorang pemegang kepercayaan memasuki sebuah transaksi dimana dalam transaksi itu kondisi perusahaan dalam kondisi yang tidak wajar, maka adalah sama halnya dengan ia merampas transaksi wajar dan nilai transaksi milik perusahaan yang bersangkutan” 45 10. Conflict of Interest adalah suatu keadaan ketika kepentingan pribadi perseroan bercampur dengan kepentingan dari perusahaan. Situasi benturan tersebut dapat timbul ketika pegawai, pemimpin atau direktur mengambil tindakan atau mempunyai keinginan yang dapat membuat hambatan dalam keobjektifan dan keefektifan berlangsungnya kegiatan perusahaan. Benturan 44
GunawanWidjaja, 150 Tanya Jawab Tentang Perseroan Terbatas, (Jakarta; Forum Sahabat, 2008), hal 66 45 http://en.wikipedia.org/wiki/Duty_of_Loyality. Diakses tanggal 22 Agustus 2010
Universitas Sumatera Utara
kepentingan juga dapat timbul ketika pegawai, pemimpin atau direktur atau keluarga dari mereka menerima keuntungan pribadi sebagai hasil dari posisi mereka di perusahaan.
46
Perbuatan atau tindakan dalam mengambil
keputusan dimana terdapat unsur benturan kepentingan antara para pihak dalam pengambilan keputusan. 47 11. Tanggung Jawab Pribadi Direksi adalah keadaan dimana direksi tidak melakukan fiduciary duty dalam kepemimpinannya sehingga merugikan perseroan dan pemegang saham, dan dalam hal ini ukuran saham tidak lagi sebagai patokan batasan nilai tanggung jawab tersebut, sehingga harta-harta milik pribadi direksi dapat juga terikut untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. 48 12. corporate opportunity adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa seorang direktur, komisaris atau pegawai perseroan lainnya ataupun pemegang saham utama, tidak diperkenankan mengambil kesempatan untuk mencari keuntungan pribadi manakala tindakan yang dilakukannya tersebut sebenarnya merupakan perbuatan yang semestinya dilakukan oleh perseroan dalam menjalankan bisnisnya itu Dengan demikian, manakala tindakan tersebut merupakan kesempatan (opportunity) bagi perseroan dalam menjalankan bisnisnya, direksi tidak boleh mengambil kesempatan tersebut untuk kepentingan pribadinya. 49
46
http://www.lee.net/governance/code.pdf. Diakses tanggal 22 Agustus 2010 Gunawan Wijaya, Tanggung Jawab Direksi Atas Kepailitan Perseroan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hal 32 48 M. Yahya harahap, Hukum Perseroan terbatas (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), hal 383 49 Munir fuady II, hal 224 47
Universitas Sumatera Utara
G. 1.
Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif artinya ini cenderung
menggunakan data sekunder baik berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu peraturan perundangan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban direksi sebagai organ perseroan misalnya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Bahan hukum sekunder yaitu pandangan para ahli hukum khususnya dibidang perseroan terbatas Bahan hukum tersier atau bahan penunjang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum jurnal ilmiah, serta bahan-bahan diluar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian. Untuk mengumpulkan data dalam tesis ini dilakukan dengan penelitian yang bersifat deskriptif analisis yaitu penelitian ini hanya menggambarkan tentang situasi atau keadaan yang terjadi terhadap permasalahan yang telah dilakukan, dengan tujuan untuk membatasi studi kepada suatu pemberian, suatu analisis atau suatu klasifikasi tanpa secara langsung bertujuan untuk menguji hipotesa-hipotesa atau teori-teori. Pengumpulan data dengan cara deskriptif ini dilakukan pendekatan yuridis normatif yaitu dengan melakukan analisis terhadap permasalahan dan penelitian melalui pendekatan terhadap asas-asas hukum serta mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
2.
Sumber Data Penelitian yuridis normatif ini menggunakan data sekunder yang berasal dari
penelitian kepustakaan (library research), penelitian kepustakaan sebagai salah satu cara mengumpulkan data didasarkan pada buku-buku literatur yang telah disediakan terlebih dahulu yang tentunya berkaitan dengan tesis ini, untuk memperoleh bahan-bahan yang bersifat teoritis ilmiah sebagai perbandingan maupun petunjuk dalam menguraikan bahasan terhadap masalah yang dihadapi selanjutnya dikumpulkan dan dipelajari beberapa tulisan yang berhubungan topik tesis ini.
3.
Teknik Pengumpulan data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian
kepustakaan (library research). Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 50 a. Bahan hukum primer, yaitu berupa undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan Pertanggungjawaban Pribadi Direksi Atas Kerugian Perseroan. Dalam hal ini khususnya Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas. b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer , 51 seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya, bahan dokumen pribadi berupa pendapat pakar hukum yang erat kaitamnya dengan objek penelitian.
50
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1995), hal 88 51 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi penelitian Hukum, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982), hal 24
Universitas Sumatera Utara
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan-bahan hukum yang sifatnya penunjang untuk memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer maupun sekunder, seperti jurnal hukum, jurnal ilmiah, kamus umum dan kamus hukum. 52 Surat kabar, internet, serta majalah mingguan juga dapat menjadi bahan dalam penulisan tesis ini, sepanjang memuat informasi yang berkaitan dengan objek penelitian.
4.
Analisis Data Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian tersebut selanjutnya diteliti kembali
sehingga diperoleh bahan hukum yang mempunyai kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang Pertanggungjawaban Pribadi Direksi dalam self dealing. Kemudian bahan hukum tersebut disesuaikan sehingga dapat dihasilkan klasifikasi yang sejalan dengan permasalahan tentang Pertanggungjawaban Direksi Terhadap Kerugian Perseroan dalam Self Dealing. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara induktif kualitatif untuk sampai pada suatu kesimpulan. Diharapkan melalui penelitian ini dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas lagi mengenai bagaimana pertanggungjawaban Direksi Perseroan sehingga nantinya dapat ditarik suatu kesimpulan tentang asas-asas hukum atau kaedah-kaedah hukum guna penyempurnaan ataupun penyesuaian pengaturan mengenai Pertanggungjawaban Pribadi Direksi Terhadap Kerugian Perseroan.
52
Soerjono Soekanto dan Sri mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Rajawali Pers, 1990), hal 14-15
Universitas Sumatera Utara