BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor yang memegang peranan penting dalam perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat. Pada periode 2011-2013, sektor ini selalu menduduki peringkat teratas dari seluruh industri pengolahan non-migas dalam hal kontribusinya terhadap PDB (lebih dari 5 persen tiap tahunnya). Rumah tangga Indonesia rata-rata menghabiskan 50 persen pendapatannya untuk belanja makanan dan minuman pada periode 2005-2006. Oleh karena kontribusinya yang sangat besar, maka pemahaman mengenai perilaku dan kinerja industri makanan dan minuman menjadi penting agar pertumbuhannya dapat terus ditingkatkan (Setiawan, Emvalomatis, & Lansink, 2013). Tabel 1.1 Kontribusi Industri Pengolahan Non-Migas Terhadap PDB KONTRIBUSI (%) LAPANGAN USAHA 2011
2012
2013
Industri Makanan dan Minuman
5,24
5,31
5,14
Industri Alat Angkutan
1,98
1,93
2,02
Industri Barang Logam; Komputer, Barang Elektronik, Optik; dan Peralatan Listrik
1,81
1,89
1,95
Industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional
1,59
1,67
1,65
Industri Tekstil dan Pakaian Jadi
1,38
1,35
1,36
Sumber: (Kemenperin, 2014)
1
Di antara berbagai jenis makanan dan minuman, pangan sumber karbohidrat mendominasi pola konsumsi masyarakat Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2010 mencatat kontribusi karbohidrat terhadap total konsumsi energi mencapai 61 persen. Hingga sekarang, beras masih menjadi sumber karbohidrat favorit orang Indonesia. Hampir 80 persen asupan karbohidrat masyarakat berasal dari produk olahan padi tersebut. Meski demikian, angka tersebut terus mengalami penurunan. Hasil Susenas menunjukkan konsumsi beras pada rumah tangga Indonesia secara konsisten berkurang rata-rata 0,2 persen per tahun sepanjang 2010-2014. Penurunan jumlah konsumsi beras tersebut ternyata dibarengi oleh meningkatnya konsumsi sumber karbohidrat lainnya, utamanya produk olahan tepung terigu seperti mie dan roti. Pengeluaran rumah tangga untuk belanja mie meningkat rata-rata sebesar 5,95 persen per tahun selama periode 1995-2011 (Ruslan, 2015). Sementara nilai pasar roti mengalami pertumbuhan rata-rata majemuk tahunan (CAGR) sebesar 13 persen dari 2008-2013 (Dunia Industri, 2015). Sebagai akibatnya, permintaan tepung terigu pun meningkat cukup pesat. Dalam lima tahun terakhir, konsumsi tepung terigu di Indonesia tumbuh ratarata sebesar 4,62 persen. Meski sempat mengalami penurunan sebesar 2,19 persen akibat melambannya pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, tingkat konsumsinya pada tahun 2015 mencapai 5,5 juta ton. Sebesar 98,2 persen dari jumlah konsumsi tersebut berhasil dipenuhi oleh suplai domestik, meningkat 12,6 persen dari suplai domestik pada 2011. Hal ini memungkinkan karena jumlah pabrik tepung terigu yang juga terus meningkat (Welirang, 2014) (Welirang, 2016).
2
Grafik 1.1 Konsumsi Tepung Terigu Indonesia Periode 2011-2015 Dalam Ribuan Ton
6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2011
2012
2013
Suplai Domestik
2014
2015
Impor
Sumber: (Welirang, 2014) dan (Welirang, 2016) Sebelum pabrik penggilingan terigu didirikan, Indonesia mengimpor seluruh kebutuhan tepung terigu-nya. Lama-kelamaan disadari bahwa terigu yang tiba di pelabuhan Indonesia sering mengalami penurunan kualitas akibat waktu yang cukup lama selama perjalanan. Kondisi dan kandungan gizi tepung terigu tersebut menjadi tidak optimal. Oleh karena itu pada tahun 1971, perusahaan penggilingan terigu pertama yaitu PT Bogasari Flour Mills didirikan (Bogasari, 2002). Jumlah pabrik penggilingan terigu tumbuh secara gradual pada awal pendirian industri ini. Hanya empat pabrik baru yang didirikan setelah dua puluh tahun pabrik pertama berdiri. Hal ini disebabkan oleh regulasi Bulog yang mengatur secara ketat pelaku usaha, kapasitas produksi, harga jual, dan volume penjualan. Regulasi tersebut tidak memungkinkan pemain baru untuk masuk ke dalam industri. Namun, sejak deregulasi Bulog pada tahun 1998, jumlah perusahaan dan pabrik yang beroperasi di industri tepung terigu meningkat secara signifikan. Hingga 2015, terdapat 29 perusahaan dan 31 pabrik tepung terigu beroperasi di Indonesia dengan kapasitas giling gandum mencapai 11,4 juta ton per tahun (Welirang, 2016).
3
Tabel 1.2 Perkembangan Jumlah Pabrik Tepung Terigu di Indonesia PraDeregulasi (Era BULOG)
Jumlah Pabrik Yang Didirikan
Lokasi
Pasca-Deregulasi
Total
1970–1998
1999–2009
2010–2014
2015–2016
5
7
16
3
31
Gresik (1); Tangerang (1); Sidoarjo (1); Medan (1); Cilegon (1);
Cilegon (3); Tangerang (2); Medan (2); Bekasi (3); Gresik (3); Sidoarjo (1); Mojokerto (1); Semarang (1)
Jakarta (1); Cilegon (1); Medan (1)
Jawa: 26 Luar Jawa: 5
Jakarta (1); Surabaya (1); Makassar (1); Semarang (1); Cilacap (1)
Sumber: Aptindo (2016) Meski jumlah perusahaan dan pabrik yang beroperasi terus bertambah, struktur industri tepung terigu masih sangat terkonsentrasi. Tabel 1.3 menunjukkan bahwa perusahaan terbesar yang menguasai pangsa pasar tepung terigu pada tahun 2004 masih menduduki posisi yang sama pada 2011, meskipun pangsa pasar masingmasing perusahaan terus mengalami penurunan. PT ISM Bogasari mengisi peringkat teratas dengan market share lebih dari 50 persen. Posisi kedua hingga keempat secara berturut-turut diduduki oleh PT. Eastern Pearl Flour Mills, PT. Sriboga Flour Mills, dan PT. Panganmas Inti Persada. Keempatnya merupakan perusahaan yang berdiri pada era pra-deregulasi bulog. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai keberhasilan deregulasi yang dilakukan pada 1998 dalam meningkatkan kompetisi dan kinerja industri tepung terigu. Tingkat dominasi tersebut juga berpotensi menjadi polemik dengan kebijakan dan hukum persaingan usaha (UU No. 5 Tahun 1999) yang
4
sangat mewaspadai konsentrasi pasar, karena berpotensi menimbulkan berbagai pelanggaran seperti diantaranya penyalahgunaan posisi dominan. Tabel 1.3 Pangsa Pasar Tepung Terigu Indonesia PANGSA PASAR (%) PERUSAHAAN 2004
2009
2011
ISM Bogasari
69
57,3
50,3
Eastern Pearl/Berdikari
12
10.3
10,4
Sriboga
5
5.5
5,1
Panganmas Inti Persada
4
3,2
2,4
Sumber: Aptindo (2004, 2009, 2014, 2016) Di samping itu, peningkatan jumlah produksi dan penjualan tidak diimbangi oleh peningkatan jumlah tenaga kerja yang konsisten. Data periode 2010-2013 (Tabel 1.4) menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja yang ada dalam industri tepung terigu berfluktuasi, dan secara keseluruhan turun sebesar 4 persen. Angka tersebut kontras dengan jumlah produksi yang secara konsisten meningkat pada periode yang sama. Hal ini turut menimbulkan pertanyaan mengenai tingkat produktivitas tenaga kerja di industri tepung terigu.
5
Tabel 1.4 Penjualan dan Tenaga Kerja Industri Tepung Terigu Periode 2010-2013 TAHUN
PENJUALAN (TON) (SUPLAI DOMESTIK + EKSPOR)
TENAGA KERJA
2010
3.672.937
3.895
2011
4.072.656
4.042
2012
4.711.937
3.285
2013
5.214.183
3.757
Sumber: diolah dari BPS dan Aptindo (2011-2014) Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, maka analisis lebih lanjut mengenai industri tepung terigu perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja industri tepung terigu. Analisis struktur, perilaku, dan kinerja akan didasarkan pada paradigma Structure (struktur) – Conduct (perilaku) – Performance (kinerja) (SCP). Paradigma ini menjelaskan bahwa struktur suatu industri mempengaruhi perilaku perusahaan di dalamnya, yang kemudian turut mempengaruhi kinerja. Hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja tidak hanya bersifat satu arah, namun timbal-balik. Penelitian sebelumnya dengan paradigma SCP telah banyak ditemukan. Paradigma SCP selalu memegang peran penting dalam sejarah studi ekonomika industri. Banyak regulasi pemerintah di berbagai negara terhadap industri didasarkan pada paradigma tersebut, dengan asumsi bahwa intervensi dapat mempengaruhi struktur, yang kemudian turut berdampak pada perilaku, kinerja, dan kesejahteraan konsumen (Utton, 1970). SCP juga dipandang berguna untuk memperoleh informasi mengenai kompetisi di dalam suatu industri, yang cukup krusial dalam proses pembuatan strategi perusahaan (Caves, 1980). Maka tidak heran jika banyak studi 6
ekonomika industri yang berfokus analisis variasi struktur, perilaku, dan kinerja di berbagai jenis industri (Scherer, 1980). Industri tepung terigu Indonesia telah diteliti sebelumnya dengan kerangka analisis tersebut. (Sulistio, 2009) menganalisis struktur dan kinerja industri tepung terigu Indonesia pasca berlakunya paket kebijakan yang menerapkan deregulasi. Struktur industri diukur menggunakan rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar dan Herfindahl-Hirschman Index, dengan pertumbuhan permintaan, skala efisien minimum, price-cost margin, dan kebutuhan modal sebagai variabel determinan. Sementara kinerja diukur menggunakan price-cost margin dengan rasio konsentrasi dua perusahaan terbesar, produktivitas tenaga kerja, dan intensitas bahan baku impor sebagai variabel determinan. Data yang digunakan merupakan data panel periode 1993-2005. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi dan price-cost margin mengalami penurunan selama periode tersebut. Namun data regresi menunjukkan keduanya tidak saling mempengaruhi secara signifikan. Collins dan Preston (1966) dalam penelitiannya menganalisis hubungan antara tingkat konsentrasi dan price-cost margins pada industri makanan Amerika Serikat tahun 1958. Penelitian tersebut menggunakan variabel independen price-cost margin untuk mengukur kinerja industri. Sementara itu empat variabel dependen yang dipakai yaitu concentration ratio, index of geography dispersion, capital-output ratio, dan index of industry growth. Hasilnya menunjukkan bahwa tingkat konsentrasi di 32 industri pengolahan makanan berhubungan positif dengan price-cost margins. Hubungan yang sama juga ditemukan pada geographic dispersion dan capital-output ratio dengan price-cost margins. Hubungan antara industry growth dengan price-cost margins ditemukan tidak signifikan, dan tidak ada landasan teori yang kuat pula.
7
Penelitian Setiawan et al. (2013) menganalisis hubungan simultan antara tingkat konsentrasi (variabel struktur), price rigidity (variabel perilaku), technical efficiency (variabel kinerja), dan price-cost margins (variabel kinerja) dalam industri makanan dan minuman Indonesia periode 1995-2006. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat hubungan simultan yang signifikan antara keempat variabel tersebut. Hal ini memperkuat perkembangan paradigma SCP yang menyatakan bahwa hubungan antara struktur, perilaku, dan kinerja bersifat timbal balik. Dari penelitian tersebut ditemukan pula bahwa industri makanan dan minuman Indonesia memiliki tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar rata-rata mencapai 0,483, yang menunjukkan bahwa industri tersebut berstruktur oligopoli. Grønhaug dan Fredriksen
(1998) menggunakan kerangka SCP untuk menganalisis tingkat konsentrasi, strategi, dan kinerja industri telekomunikasi di Norwegia perioder 1976-1981. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa: (1) peningkatan konsentrasi pasar menyebabkan lebih banyak perusahaan yang keluar dan lebih sedikit yang masuk ke dalam industri; (2) market opportunities (ditunjukkan oleh meningkatnya exits dan menurunnya entries) berhubungan positif dengan tingkat konsentrasi; (3) perusahaan besar memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan kecil, terbukti dengan pangsa pasar yang terus dipertahankan oleh tiga perusahaan terbesar; dan (4) konsentrasi pasar berhubungan negatif dengan kinerja industri. Penelitian Lee et al. (1987) menjelaskan struktur, perilaku, dan kinerja industri Class I Railroad di Amerika serikat periode 1971–1984. Lee et al. menunjukkan bahwa kebijakan Staggers Act 1980 (yang membebaskan perusahaan dalam menentukan harga) menyebabkan konsentrasi pasar meningkat secara signifikan. Meski demikian, tidak ditemukan bahwa perusahaan terbesar menggunakan 8
kekuatannya untuk meningkatkan harga pasar. Sebaliknya, harga pasar justru menurun pasca kebijakan di atas. Berbeda dengan hasil penelitian Grønhaug dan Fredriksen (1998), peningkatan konsentrasi justru dibarengi oleh peningkatan kinerja, yang diukur dengan return-on-investment. Menggunakan kerangka yang sama, Bajtelsmit dan Bouzouita
(1998) meneliti struktur pasar dan kinerja dari industri asuransi mobil pribadi periode 1984-1992. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meningkatnya konsentrasi pasar memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap profitabilitas. Meski demikian, bukti bahwa perusahaan-perusahaan tidak menggunakan kekuatan pasarnya untuk mengendalikan harga belum konklusif. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu di atas, penulis akan meneliti industri tepung terigu Indonesia periode 1995-2013 menggunakan kerangka analisis struktur-perilaku-kinerja (SCP).
1.2 Batasan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis akan membatasi subjeknya hanya pada periode 1995-2013. Hal ini dilakukan karena keterbatasan yang dihadapi penulis dalam memperoleh data dengan rentang waktu yang lebih panjang.
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan, maka pertanyaan penelitian yang akan berusaha dijawab yaitu:
9
1. Bagaimana struktur industri tepung terigu di Indonesia? 2. Bagaimana perilaku industri tepung terigu di Indonesia? 3. Bagaimana kinerja dari industri tepung terigu di Indonesia 4. Bagaimana pengaruh struktur terhadap kinerja industri tepung terigu di Indonesia?
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis struktur, perilaku, dan kinerja dari Industri tepung terigu di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh struktur terhadap kinerja industri tepung terigu di Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kondisi industri tepung terigu di Indonesia, utamanya struktur, kinerja, serta perilakunya. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan mampu menjadi bahan pertimbangan dalam berbagai kebijakan yang berkaitan dengan industri tepung terigu.
1.6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan data sementara yang telah tercantum dalam latar belakang, dan penelitian sebelumnya yang telah penulis baca, maka hipotesis penelitan ini adalah:
10
1.
Tingkat konsentrasi empat perusahaan terbesar memiliki pengaruh positif terhadap price-cost margin. Semakin tinggi tingkat konsentrasi, maka semakin tinggi pula profitabilitas perusahaan.
2.
Produktivitas tenaga kerja berpengaruh positif terhadap price-cost margin. Semakin tinggi produktivitas tenaga kerja, semakin tinggi tingkat keuntungan yang diperoleh perusahaan.
3.
Intensitas bahan baku impor memiliki pengaruh negatif terhadap pricecost margin. Semakin tinggi jumlah bahan baku impor yang digunakan oleh perusahaan semakin rendah tingkat keuntungan yang diperoleh.
1.7 Sistematika Penelitian Penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu 1.
BAB I: Pendahuluan Dalam pendahuluan dijelaskan mengenai latar belakang, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, hipotesis penelitian, dan sistematika penelitian.
2.
BAB II: Tinjauan Pustaka Bab ini berisikan landasan teori yang menjadi dasar penelitian ini. Selain itu, akan dicantumkan pula studi empiris yang dapat mendukung penelitian ini.
3.
BAB III: Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan metodologi penelitian yang terdiri dari penjelasan data, variabel yang dipakai dalam penelitian, serta teknik analisis.
11
4.
BAB IV: Hasil dan Pembahasan Bab ini menjabarkan hasil analisis struktur, kinerja, dan perilaku industri. Kemudian, hubungan antara ketiganya akan diintepretasikan.
5.
BAB V: Kesimpulan dan Saran
12